BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pharmaceutical care menggeser paradigma praktik kefarmasian dari drug oriented menjadi patient oriented (Hepler dan Strand, 1990). Perubahan paradigma tersebut mempengaruhi bentuk pelayanan kefarmasian di komunitas, rumah sakit, puskesmas, maupun fasilitas pelayanan kesehatan yang lain. Apoteker dituntut memiliki peran lebih dalam praktik kefarmasian untuk dapat mengikuti perubahan paradigma tersebut. Apoteker yang semula hanya berperan sebatas distribusi dan penyediaan obat, sekarang memiliki tanggung jawab lebih besar terhadap kesehatan pasien. Apoteker
diharapkan
mampu
melaksanakan
kegiatan
menyeluruh
dari
mengidentifikasi, mencegah, sampai menyelesaikan berbagai masalah terkait pengobatan pasien. Bentuk nyata dari kegiatan tersebut adalah konseling pasien, pemberian informasi obat, dan monitoring kadar obat dalam darah pasien (Idayanti dkk., 2006). Implementasi pharmaceutical care tergolong lebih lambat dari yang diharapkan meskipun banyak apoteker yang menyetujui konsep tersebut (Gastelurrutia dkk., 2005; Dunlop dan Shaw, 2002). Hambatan dari penerapan pharmaceutical care dapat berasal dari dalam apoteker seperti kurangnya kemampuan komunikasi, rasa percaya diri, dan kemampuan klinik. Selain itu,
1
2
hambatan juga berasal dari luar apoteker seperti keengganan tenaga kesehatan lain berkolaborasi dengan apoteker (Rokhman dkk., 2012). Kolaborasi antara tenaga kesehatan, termasuk kolaborasi antara apoteker dengan tenaga kesehatan lain, dikenal juga dengan istilah interprofessional collaborative practice (IPC). Penelitian di Kanada menunjukkan bahwa dokter dan apoteker menilai IPC dapat meningkatkan luaran terapi pasien. Namun, mereka memiliki perbedaan persepsi tentang pembagian peran dalam IPC. Dokter mengharapkan apoteker lebih fokus dalam hal dispensing obat, sedangkan apoteker mengharapkan adanya peran yang melibatkan pengetahuan dan ketrampilan mereka untuk memastikan penggunaan obat yang rasional (Kelly dkk., 2013). Adanya perbedaan persepsi tersebut dapat diminimalisir ketika calon profesi kesehatan terbiasa melakukan interprofessional education (IPE). IPE merupakan kolaborasi antar tenaga kesehatan yang dimulai sejak berada di bangku pendidikan (Pojskic dkk., 2009). Diharapkan kebiasaan untuk berkolaborasi sejak berada di bangku pendidikan akan berlanjut dan berkembang baik saat praktik di pelayanan. Di Indonesia, beberapa institusi pendidikan farmasi sudah menginisiasi penerapan IPE. Namun demikian, beberapa institusi pendidikan belum menerapkan IPE dalam kegiatan perkuliahan mereka. Oleh karena itu, penelitian ini ingin mengetahui gambaran persepsi mahasiswa kesehatan terhadap IPE dan keterlibatan apoteker dalam interprofessional collaborative practice (IPC),
3
sekaligus membandingkan persepsi mahasiswa yang sudah mendapat IPE dan belum mendapat IPE.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang diatas, rumusan masalah pada penelitian ini adalah: 1. Bagaimana persepsi mahasiswa kesehatan terhadap keterlibatan apoteker dalam interprofessional collaborative practice (IPC)? 2. Apakah ada perbedaan persepsi mahasiswa kesehatan yang sudah dan belum mendapat interprofessional education (IPE) terhadap keterlibatan apoteker dalam IPC? 3. Apakah ada perbedaan persepsi mahasiswa kesehatan mengenai keterlibatan apoteker dalam IPC berdasarkan asal fakultas?
C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian adalah : 1. Untuk mengetahui persepsi mahasiswa kesehatan terhadap keterlibatan apoteker dalam interprofessional collaborative practice (IPC). 2. Untuk mengetahui perbedaan persepsi mahasiswa kesehatan yang sudah dan belum mendapat interprofessional education (IPE) terhadap keterlibatan apoteker dalam IPC. 3. Untuk mengetahui perbedaan persepsi mahasiswa kesehatan mengenai keterlibatan apoteker dalam IPC berdasarkan asal fakultas.
4
D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat kepada : 1. Institusi Pendidikan Sebagai sumber informasi tentang metode pengajaran yang mendukung terwujudnya pelayanan kefarmasian berbasis pharmaceutical care. 2. Pengampu Kebijakan di bidang Pendidikan Sebagai bahan pertimbangan untuk menentukan metode pendidikan yang tepat agar pharmaceutical care dapat terlaksana secara optimal. 3. Profesi Apoteker Sebagai masukan bagi profesi apoteker untuk mempercepat implementasi pharmaceutical care.
E. Tinjauan Pustaka 1.
Interprofessional Collaborative Practice (IPC) IPC adalah suatu kondisi ketika berbagai profesi kesehatan bekerja sama
dengan pasien, keluarga pasien, masyarakat, dan profesi kesehatan lain untuk memberikan pelayanan kesehatan dengan kualitas terbaik (Hopkins, 2010). IPC fokus pada pelayanan yang efektif dan efisien. Profesi kesehatan yang melakukan IPC akan mengkombinasikan ketrampilan dan pengetahuan yang dimiliki oleh masing–masing profesi kesehatan sehingga tercapai luaran terapi pasien yang optimal dan berkurangnya biaya kesehatan (Bridges dkk., 2011; Law dkk., 2013). Profesi kesehatan yang melakukan IPC harus paham bahwa mereka bekerja sebagai sebuah tim. Agar tujuan dari tim dapat tercapai, setiap profesi kesehatan perlu memahami ketrampilan, pengetahuan, dan ranah praktik dari profesi
5
kesehatan yang terlibat (Fair dkk., 2007). Selain itu, setiap profesi kesehatan perlu memahami dasar dari IPC yaitu tanggung jawab (responsibility), akuntabilitas (accountability),
koordinasi
(coordination),
komunikasi
(communication),
kerjasama (cooperation), ketegasan (assertiveness), otonomi (autonomy), serta saling percaya dan menghormati (mutual trust and respect) (Way dkk., 2000). Tantangan dalam penerapan IPC antara lain pelatihan dalam dunia professional, perilaku, tingkat percaya diri, tingkat kenyamanan, isu terkait kekuatan profesi dan komunikasi, waktu, beban kerja, kedekatan, kurangnya kepekaan untuk menerapkan dan mengadopsi regulasi, serta sistem pembayaran. Kurangnya pelatihan untuk melakukan tindakan terkolaborasi mengakibatkan apoteker kurang percaya diri dan nyaman untuk melakukan kerja terkolaborasi. Selain itu, perbedaan sikap untuk melakukan kerja terkolaborasi juga menjadi tantangan saat ini. Umumnya, profesi yang dianggap memiliki kekuatan lebih besar, cenderung kurang menerima kerja terkolaborasi (Law dkk., 2013)
2.
Apoteker PP No.51 Tahun 2009 menyebutkan bahwa apoteker adalah tenaga kesehatan
yang
bertanggungjawab
melaksanakan
pekerjaan
kefarmasian.
Pekerjaan
kefarmasian terdiri dari pembuatan dan pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan, pendistribusian obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat, serta pengembangan obat, bahan obat, dan obat tradisional. Pekerjaan kefarmasian tersebut dilakukan dalam pengadaan sediaan farmasi, produksi sediaan farmasi, distribusi atau penyaluran sediaan farmasi, dan pelayanan sediaan farmasi.
6
Pelayanan kefarmasian dapat dilakukan di fasilitas pelayanan kefarmasian. Fasilitas pelayanan kefarmasian antara lain apotek, instalasi farmasi rumah sakit, puskesmas, klinik, toko obat, dan tempat praktik bersama. Apoteker yang bekerja di apotek, toko obat, atau tempat lain yang berinteraksi langsung dengan masyarakat umum disebut dengan apoteker komunitas. Aktivitas utama apoteker komunitas antara lain memproses resep, memberikan pelayanan terhadap pasien atau melakukan farmasi klinik, monitoring penggunaan obat, preparasi obat, menyediakan obat tradisional atau obat alternatif, mengatasi gejala dari penyakit minor, pelayanan informasi obat, promosi kesehatan, pelayanan dalam lingkup rumah tangga, serta menyediakan pengobatan untuk hewan (WHO, 1988a). Di Indonesia, tanggung jawab apoteker komunitas tercantum dalam Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek yang disusun berdasar Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004. Selain sebagai apoteker komunitas, apoteker juga berperan sebagai apoteker rumah sakit. Peran apoteker rumah sakit tidak jauh berbeda dengan apoteker komunitas. Di Indonesia, tanggung jawab apoteker dalam pelayanan kefarmasian di rumah sakit tercantum dalam Standar Pelayanan Farmasian di Rumah Sakit yang disusun berdasarkan Kepmenkes RI Nomor 1197/MENKES/SK/X/2004.
3.
Interprofessional Education (IPE) Pada
tahun
2010,
International
Pharmaceutical
Federation
(FIP)
mengeluarkan kebijakan agar semua negara mempersiapkan apoteker dan tenaga kesehatan lainnya untuk menyongsong IPC. Tahap awal untuk mempersiapkan era tersebut adalah dengan memperbaiki sistem pendidikan kefarmasian, salah
7
satunya dengan mengadakan IPE. Dengan adanya IPE, diharapkan sikap tenaga kesehatan terhadap kerja terkolaborasi akan lebih positif (Law dkk., 2013). Interprofessional education (IPE) adalah kondisi ketika calon profesi kesehatan dari dua atau lebih profesi yang berbeda belajar bersama-sama dalam satu ruang dan satu waktu menyelesaikan permasalahan dalam terapi pasien agar dicapai outcome terapi yang optimal (Hopkins, 2010). Interprofessional education (IPE) memiliki nama lain yaitu multiprofessional education dan interdisciplinary studies. IPE memiliki banyak kelebihan, antara lain (WHO, 1988b) : 1. Membangun kemampuan untuk saling mengkombinasikan pengetahuan dan ketrampilan sehingga tercapai kerja terkolaborasi yang efisien. 2. Memungkinkan mahasiswa untuk bekerjasama, memahami kekuatan serta keterbatasan dari profesi lain. 3. Mencegah model kurikulum yang terlalu memisah-misahkan satu profesi dengan profesi yang lain. 4. Mengintegrasikan berbagai ketrampilan baru dan berbagai area pengetahuan yang penting bagi bidang kesehatan. 5. Memudahkan komunikasi antar pengajar dan pelajar dari disiplin ilmu yang berbeda. 6. Memungkinkan adanya pembagian peran, tanggung jawab, dan minat yang lebih sesuai dengan kondisi sekarang. 7. Memungkinkan adanya penelitian interprofessional yang mencakup berbagai hal baru dan hal-hal yang jarang diteliti.
8
8. Memungkinkan adanya kolaborasi dalam pelatihan dan penelitian antar departemen dalam suatu institusi. 9. Memungkinkan profesi yang berbeda untuk mendiskusikan bersama tentang bagaimana menggunakan dan memanfaatkan sumber daya yang ada untuk memenuhi kebutuhan tertentu. 10. Memungkinkan konsistensi dan mencegah kotradiksi dalam desain kurikulum berbagai profesi. Sejumlah universitas di USA telah mencoba merumuskan kompetensi dalam IPE. Ada empat kompetensi yang perlu dimiliki oleh seorang profesional kesehatan yaitu nilai/etika dalam praktik antarprofesi, peran/tanggung jawab, komunikasi antarprofesi, serta tim dan kerjasama (Interprofessional Education Collaborative Expert Panel, 2011). Menurut Suter dkk (2009), adanya pemahaman yang baik dalam kompetensi peran/tanggung jawab dan komunikasi antar profesi, efektif untuk meningkatkan luaran terapi pasien.
4.
Mahasiswa Bidang Kesehatan Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), definisi mahasiswa adalah
orang yang belajar di perguruan tinggi. Definisi kesehatan adalah keadaan dimana seluruh badan dan bagian-bagiannya dalam kondisi baik serta bebas dari penyakit. Undang – Undang Republik Indonesia (UU RI) Nomor 36 Tahun 2009 mendefinisikan kesehatan sebagai keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spiritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup secara sosial dan ekonomis.
9
Orang-orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan, memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan, serta memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan tertentu disebut dengan tenaga kesehatan. Tenaga kesehatan berwenang melakukan pelayanan kesehatan
sesuai
dengan
bidang
keahlian
yang
dimiliki.
Berdasarkan
keahliaannya, tenaga kesehatan terdiri dari tenaga medis, tenaga kefarmasian, tenaga keperawatan, tenaga kesehatan masyarakat dan lingkungan, tenaga gizi, tenaga keterapian fisik, tenaga keteknisian medis, dan tenaga kesehatan lain. Keahlian tersebut didapatkan dari pendidikan yang sesuai (Depkes, 2009).
5.
Persepsi Persepsi adalah proses mengetahui obyek dan berbagai kejadian secara
obyektif, dengan bantuan alat indera (Chaplin, 1999). Terbentuknya persepsi, melibatkan integrasi dari sensasi dan pengalaman (Anonim, 2010). Individu yang berbeda bisa mempersepsikan hal yang sama secara berbeda. Perbedaan tersebut terjadi karena pengaruh individu yang mempersepsikan, situasi, dan target yang dipersepsikan. Dalam hal individu yang mempersepsikan, setiap individu memiliki sikap, latar belakang, dan harapan yang berbeda sehingga persepsi yang dimiliki oleh masing-masing individu juga berbeda. Dalam hal situasi, waktu dan lokasi yang berbeda juga mempengaruhi persepsi seseorang terhadap target yang dipersepsikan. Salah satu alat yang digunakan untuk mengukur persepsi mahasiswa terhadap IPC adalah kuesioner berjudul Scale of Attitudes Toward PharmacistPhysician Collaboration. Kuesioner tersebut telah divalidasi oleh Winkle dkk
10
(2011) dan telah dipublikasikan pada American Journal of Pharmaceutical Education. Dalam publikasinya, Winkle dkk (2011) menyatakan bahwa kuesioner tersebut mengkonfirmasi tiga faktor yang mendukung terlaksananya IPC. Tiga faktor tersebut adalah pembagian kewenangan, tanggung jawab, dan IPE. F. Kerangka Konsep Variabel pembeda: Asal Fakultas
Variabel pembeda: Penerimaan IPE
Populasi : Mahasiswa Kesehatan
Hasil : Persepsi mengenai keterlibatan apoteker dalam IPC
Persepsi mengenai IPE
Persepsi mengenai kewenangan apoteker
Persepsi mengenai tanggung jawab apoteker
Gambar 1 Kerangkan Konsep Penelitian
G. Keterangan Empiris Dalam penelitian ini, peneliti melihat perbedaan persepsi mahasiswa kesehatan yang mendapatkan IPE dengan yang tidak mendapatkan IPE. Variabel yang diukur dalam penelitian ini adalah persepsi mahasiswa terhadap keterlibatan Apoteker dalam IPC. Ada tiga faktor dari IPC yang akan dikonfirmasi dalam
11
penelitian ini yaitu pembagian kewenangan, tanggung jawab, dan IPE. Selain itu, juga akan dilihat perbedaan persepsi berdasarkan asal fakultas. Salah satu faktor yang mendukung terlaksananya IPC adalah penerapan IPE sejak bangku perkuliahan. Kemungkinan persepsi mahasiswa kesehatan yang mendapat IPE lebih baik daripada mahasiswa ksehatan yang belum mendapat IPE. Mahasiswa kesehatan yang mendapat IPE kemungkinan lebih memahami peran dan tanggung jawab antar profesi karena ada empat kompetensi yang menjadi dasar dari IPE yaitu nilai/etika dalam praktik antarprofesi, peran/tanggung jawab, komunikasi antarprofesi, serta tim dan kerjasama. Apabila ditinjau berdasarkan asal fakultas, kemungkinan mahasiswa farmasi menunjukkan rata-rata persepsi lebih tinggi daripada fakultas lain dikarenakan mahasiswa farmasi mendapat pendidikan yang mempersiapkan mereka menjadi seorang apoteker.