BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang kefarmasian telah terjadi pergeseran orientasi dengan mengutamakan pelayanan pasien (patient oriented) yang mengacu pada Pharmaceutical Care. Kegiatan pelayanan yang sebelumnya hanya berfokus pada pengelolaan obat sebagai komoditi berubah menjadi pelayanan yang komprehensif mencakup pemberian informasi untuk mendukung penggunaan obat yang benar dan rasional, monitoring penggunaan obat untuk mengetahui hasil terapi serta kemungkinan terjadinya kesalahan pengobatan (medication error), dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien (Depkes RI, 2009a). Rumah sakit sebagai sarana kesehatan terpenting hendaknya memberikan pelayanan yang bermutu dan memuaskan konsumennya dalam hal ini pasien. Kepuasan pelanggan (customer satisfaction) adalah suatu ukuran kinerja yang diberikan oleh sebuah produk sepadan dengan harapan pembeli. Jika kinerja produk kurang dari harapan, pelanggan kecewa. Jika kinerja sepadan dengan harapan, pelanggan puas. Jika kinerja produk melebihi harapan, pelanggan senang atau sangat senang (Kotler dan Amstrong, 2001). Kepuasan pasien seharusnya dinilai dengan survey berkala yang dilakukan secara baik setidaknya setahun sekali. Lengkap dan
1
2
akuratnya pelayanan penunjang medik kerap kali menjadi fakor utama dalam promosi suatu rumah sakit dalam bersaing dengan rumah sakit lain (Aditama, 2000). Akhir akhir ini biaya kesehatan ataupun pengobatan dirasa tinggi oleh sebagian
besar
masyarakat.
Tingginya
biaya
yang
diperlukan
untuk
menyelenggarakan pelayanan kesehatan menyebabkan adanya perubahan paradigma dari pembiayaan yang bersifat swadana ke pembiayaan yang berkoorporasi dengan perusahaan penjamin atau dikenal dengan sebutan perusahaan asuransi yang banyak digunakan oleh masyarakat golongan ekonomi menengah ke atas, sehingga Pemerintah menjamin atau menanggung biaya pengobatan dengan Asuransi Kesehatan (ASKES) dan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Setelah dikeluarkannya Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1223/MENKES/SK/IX/2014 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit, banyak rumah sakit berusaha menerapkan standar pelayanan kefarmasian dengan harapan dapat meningkatkan kepuasan pasien yang dilayani oleh rumah sakit tersebut. Akan tetapi, sistem pelayanan kesehatan di Indonesia berpotensi menyebabkan adanya perbedaan antara harapan konsumen dan pelayanan kefarmasian yang di terima oleh pasien rawat jalan peserta BPJS ataupun pasien rawat jalan peserta asuransi swasta.
3
Untuk menilai perbedaan harapan konsumen dan pelayanan kefarmasian yang diterima oleh pasien rawat jalan peserta BPJS ataupun pasien rawat jalan peserta asuransi swasta, perlu dilakukan penelitian tentang analisis Perbedaan Tingkat Kepuasan Pasien Rawat Jalan BPJS dan Asuransi Swasta terhadap Pelayanan Kefarmasian di RS Bethesda Yogyakarta. Rumah sakit tersebut dijadikan sampel karena merupakan rumah sakit swasta yang sering dijadikan rujukan sehingga pasiennya lebih kompleks serta menerima pasien peserta BPJS ataupun asuransi swasta. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang, maka dapat dirumuskan masalah : 1. Apakah terdapat perbedaan tingkat kepuasan pasien peserta BPJS dan Asuransi Swasta terhadap pelayanan kefarmasian di RS Bethesda Yogyakarta? 2. Dimensi apakah yang perlu mendapat perhatian lebih dari pihak instalasi farmasi rawat jalan RS Bethesda Yogyakarta?
C. Tujuan Penelitian 1. Melihat perbedaan tingkat kepuasan pasien peserta BPJS dan Asuransi swasta terhadap pelayanan kefarmasian di RS Bethesda Yogyakarta. 2. Mengetahui pada dimensi mana yang perlu mendapat perhatian lebih dari pihak instalasi farmasi rawat jalan RS Bethesda Yogyakarta.
4
D. Manfaat Penelitian Hasil penelitian diharapkan memberikan manfaat sebagai berikut : 1. Bagi Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta, yaitu untuk: a) Mengetahui harapan dan persepsi pasien rawat jalan BPJS dan Asuransi Swasta terhadap pelayanan kefarmasian di rumah sakit tersebut, sehingga dapat dipergunakan sebagai acuan mengambil langkah yang strategis yang tepat sasaran untuk menerapkan standar pelayanan kefarmasian efektif dan efisien. b) Mengetahui dan mengevaluasi jalannya proses pelayanan yang diberikan pihak rumah sakit kepada pasien 2. Bagi peneliti, merupakan sebuah pengalaman yang sangat berharga dalam menerapkan ilmu pengetahuan yang diperoleh selama studi secara nyata. 3. Bagi pihak penyelenggara Asuransi, bermanfaat sebagai acuan dalam pengembangan perbaikan sistem kesehatan asuransi tersebut.
E. Tinjauan Pustaka 1. Produk Jasa (Pelayanan) Produk adalah sesuatu yang dapat ditawarkan kepada pasar yang dapat memuaskan kebutuhan atau keinginan konsumen. Oleh karena itu produsen harus mengetahui kebutuhan dan keinginan konsumen, kemudian memproduksinya dengan tujuan untuk memuaskan konsumen. Konsep produk tidak terbatas hanya
5
benda/barang fisik. Segala sesuatu yang dapat memuaskan konsumen juga dapat disebut produk (Sampurno, 2009). Jasa adalah kegiatan, manfaat, atau kepuasan yang ditawarkan untuk dijual misalnya jasa reparasi, jasa potong rambut, dan jasa pendidikan. Menurut penggolongan tersebut, jasa dimasukkan sebagai barang yang tidak konkrit atau tidak kentara (Dharmmesta dan Sukotjo, 2007). Jasa adalah setiap tindakan atau kegiatan yang dapat ditawarkan oleh satu pihak kepada pihak lain yang pada dasarnya tidak berwujud dan tidak mengakibatkan kepemilikan apapun. Jasa memiliki empat karakteristik utama menurut Kotler dan Keller (2006), yaitu : 1. Tidak berwujud (intangible), jasa mempunyai sifat tidak berwujud, tidak dapat dilihat, dirasa, diraba, didengar atau dicium sebelum jasa tersebut dibeli. Untuk mengurangi ketidak pastian, para pembeli akan mencari tanda atau bukti mutu jasa tersebut. Mereka akan menarik kesimpulan mengenai mutu jasa dari tempat, orang, peralatan, alat komunikasi, simbol, dan harga yang mereka lihat. 2. Tidak terpisahkan (inseparibility), umumnya jasa dikonsumsi dan dihasilkan bersamaan. Jika seseorang memberikan pelayanan, maka penyediaannya merupakan bagian jasa tersebut. 3. Bervariasi (variability), karena tergantung siapa penyediannya dan juga waktu tempat jasa itu diberikan, jasa sangat bervariasi. Pembeli jasa menyadari
6
keragaman tersebut dan sering membicarakannya dengan orang lain sebelum memilih seorang penyedia jasa. 4. Mudah lenyap (perishability), jasa tidak dapat disimpan dan merupakan komoditi yang tidak tahan lama. Nilai jasa hanya ditentukan pada saat konsumen menerima pelayanan tersebut dan berlangsung saat itu juga. Produksi jasa dapat terkait atau tidak terkait dengan suatu produk fisik, seperti yang ditunjukkan dalam service mix, produk yang ditawarkan kepada konsumen dapat berupa (Kotler dan Keller, 2006) : 1. Murni benda yang berwujud, misalnya sabun, sikat gigi, atau garam 2. Benda berwujud yang disertai pelayanan jasa, misalnya mobil dan komputer yang biasanya disertai layanan purna jual 3. Gabungan benda berwujud dan jasa dengan porsi yang sama, misalnya restoran 4. Pelayanan jasa yang disertai benda berwujud, misalnya jasa penerbangan yang juga menyediakan makanan selama penerbangan 5. Murni pelayanan jasa, misalnya salon dan spa Pelayanan kefarmasian dapat dikategorikan sebagai gabungan benda berwujud dan tidak berwujud dalam porsi yang sama karena menggabungkan produk obat (benda berwujud) dengan pemberian informasi dan konseling (benda tidak berwujud) dalam porsi yang sama.
7
Para peneliti sudah lama berfokus pada faktor faktor yang terkait dengan pemilihan penyedia layanan kefarmasian. Faktor klasik yang telah ada sejak lama adalah mandat dari pihak asuransi, kenyamanan lokasi, kedekatan dengan farmasis dan stafnya, pertimbangan harga, pelayanan yang cepat, jam buka, dam parkir (Dominelli dkk., 2005). Menurut Crosby dkk. (1990) pihak manajemen harus merencanakan strategi yang tepat untuk mendorong loyalitas konsumen, terkait dengan pengaruhnya pada daya tahan konsumen dan daya tahan perusahaan. 2. Konsep Pelayanan Kefarmasian / Pharmaceutical Care Menurut Peraturan Pemerintah No 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian, Pelayanan Kefarmasian adalah
suatu pelayanan langsung dan
bertanggung jawab kepada pasien yang berkaitan dengan sediaan farmasi dengan maksud mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan mutu kehidupan pasien. Dalam pertemuan di Jerman, International Pharmaceutical Feferation (FIP) mendefinisikan pharmaceutical care sebagai berikut: "Pharmaceutical care is the responsible provision of pharmacotheraphy for the purpose of achieving definite outcomes that improve and maintain patient's quality of life. It is a collaborative process that aims to prevent or identify and solve medicinal product and health related problems. This is a continuous quality improvement process for the use of medicinal product"
8
(Anonim, 2015a). Pelayanan Kefarmasian adalah sebuah tanggung jawab penggunaan obat untuk terapi yang bertujuan untuk mencapai hasil tertentu untuk meningkatkan dan menjaga kualitas hidup pasien. Merupakan sebuah proses kolaboratif yang bertujuan untuk mencegah atau mengidentifikasi dan memecahkan masalah produk obat dan masalah lain yang terkait kesehatan, yang merupakan proses perbaikan kualitas yang terus-menerus dalam penggunaan produk obat. Prinsip-prinsip implementasi Pharmaceutical care diantaranya (Sampurno, 2009): 1. Koleksi data Dalam koleksi data, farmasis melakukan wawancara kepada pasien yang bersifat tertutup (privacy). Data yang diperoleh tersebut harus cukup akurat, dikumpulkan dengan baik, dan harus selalu diperbaharui. Data pasien bersifat rahasia dan hanya dapat diberikan kepada pihak lain dengan sepengetahuan pasien atau atas nama hukum. 2. Evaluasi informasi dan penyusunan rencana Farmasis yang berkerja sama dengan tenaga kesehatan lainnya dan pasien, melakukan identifikasi dan evaluasi terhadap langkah-langkah penting yang akan dilakukan guna menjamin keamanan (safety) dan efektivitas (termasuk biaya) terhadap penggunaaan obat untuk terapi yang
9
dilakukan, sekaligus untuk mengurangi potensial masalah kesehatan yang mungkin dapat ditimbulkannya. 3. Penerapan rencana Farmasis bekerja sama dengan pasien dengan tujuan untuk memaksimalkan pemahaman pasien dan komitmennya terhadap rencana terapi. Farmasis harus dapat menjamin bahwa pasien mengetahui penggunaan obat yang rasional dan berbagai peralatan yang terkait dengan pemantauan penggunaan obat secara benar. 4. Monitoring dan modifikasi rencana untuk mencapai hasil terapi positif Farmasis secara reguler melakukan telaah terhadap kemajuan yang dicapai pasien dan memberikan laporan kepada pasien maupun petugas kesehatan lainnya secara layak. Jika kemajuan yang diharapkan tidak tercapai, maka harus dilakukan modifikasi sehingga dapat diperoleh hasil dan kemajuan yang lebih baik. 5. Tindak lanjut Jika hasil yang diinginkan telah dapat dicapai, prosedur lanjutannya mesti dilaksanakan untuk menjamin pemulihan kesehatan bagi pasien. Sasaran pelayanan kefarmasian adalah untuk optimasi kesehatan pasien dengan meningkatkan kualitas hidupnya dan outcomes klinis yang positif. Untuk mencapai sasaran tersebut perlu dibina dan dipelihara hubungan yang berbasis kepedulian, saling percaya, komunikasi yang terbuka, dan pengambilan keputusan yang melibatkan pihak pihak tertentu. Dalam
10
hubungan tersebut farmasis memberikan prioritas pada kesembuhan pasien, dan menggunakan seluruh pengetahuan dan keterampilan profesionalnya untuk kepentingan pasien. Sementara itu pasien setuju memberikan informasi yang bersifat personal dan preferensi pembiayaan serta berpartisipasi dalam penyiapan rencana terapi (Sampurno, 2009). 3.
Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit Rumah
sakit
adalah
salah
satu
sarana
kesehatan,
tempat
menyelenggarakan upaya kesehatan. Upaya kesehatan adalah setiap kegiatan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, bertujuan untuk mewujudkan derajad kesehatan yang optimal bagi masyarakat. IFRS dapat didefinisikan sebagai suatu departemen atau unit atau bagian di suatu rumah sakit di bawah pimpinan seorang apoteker, dan dibantu oleh beberapa orang apoteker yang memenuhi persyaratan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan kompeten secara profesional (Siregar, 2004). Pelayanan rumah sakit juga merupakan salah satu kegiatan di rumah sakit
yang menunjang pelayanan kesehatan yang bermutu. Hal tersebut
diperjelas
dalam
Keputusan
Menteri
Kesehatan
Nomor:1223/MENKES/SK/IX/2014 yang mengacu pada Keputusan Menteri Kesehatan Nomor:1197/Menkes/SK/X/2004, Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit, menyebutkan bahwa pelayanan farmasi rumah sakit adalah bagian yang tidak terpisahkan dari sistem pelayanan kesehatan rumah sakit yang berorientasi kepada pelayanan pasien, penyediaan obat yang
11
bermutu, termasuk pelayanan farmasi klinik, yang terjangkau bagi semua lapisan masyarakat. Praktek pelayanan kefarmasian merupakan kegiatan yang terpadu dengan tujuan untuk mengidentifikasi, mencegah, dan menyelesaikan masalah obat dan masalah yang berhubungan dengan kesehatan. Menurut standar, untuk menunjang pelayanan kefarmasian harus disediakan sarana dan prasarana yang memadai (bangunan, peralatan, sistem informasi), harus ada sumber daya manusia yang memadai, serta harus ada sistem dan kebijakan yang mendukung pelaksaan pelayanan kefarmasian. Standar pelayanan kefarmasian sendiri meliputi ( Depkes RI, 2014a): 1. Pengkajian dan Pelayanan Resep Pelayanan resep dimulai dari penerimaan, ketersediaan, pengkajian resep, penyiapan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai termasuk peracikan obat, pemeriksaan, penyerahan, disertai pemberian informasi. Pada setiap tahap alur pelayanan resep dilakukan upaya pencegahan terjadinya kesalahan pemberian obat (Medication Error). Kegiatan dalam pelayanan kefarmasian yang dimulai dari seleksi persyaratan administrasi, persyaratan farmasetik dan persyaratan klinis baik untuk pasien rawat inap ataupun rawat jalan. 2. Penelurusan Riwayat Penggunaan Obat Merupakan proses untuk mendapatkan informasi mengenai seluruh obat/sediaan farmasi lain yang pernah dan sedang digunakan, riwayat
12
pengobatan
dapat
diperoleh
dari
wawancara
atau
data
rekam
medik/pencatatan penggunaan obat pasien. 3. Rekonsiliasi Obat Merupakan proses membandingkan instruksi pengobatan dengan obat yang telah didapat pasien dilakukan untuk mencegah terjadinya kesalahan obat (Medication Error) yang rentan terjadi pada pemindahan pasien dari satu rumah sakit ke rumah sakit lain, antar ruang perawatan, serta pada pasien yang keluar dari rumah sakit ke layanan kesehatan primer dan sebaliknya. 4. Pelayanan Informasi Obat (PIO) Merupakan
kegiatan
penyediaan
dan
pemberian
informasi,
rekomendasi obat yang independen, akurat, tidak bias, terkini dan komprehensif yang dilakukan oleh apoteker kepada dokter, apoteker, perawat, profesi kesehatan lainnya serta pasien dan pihak di luar rumah sakit. 5. Konseling Pemberian konseling obat bertujuan untuk mengoptimalkan hasil terapi, meminimalkan resiko reaksi obat yang tidak dikehendaki (ROTD), dan meningkatkan cost-effectiveness yang pada akhirnya meningkatkan keamanan penggunaan obat bagi pasien (Patient Safety).
13
6. Visite Merupakan kegiatan kunjungan ke pasien rawat inap yang dilakukan oleh apoteker secara mandiri atau bersama tim tenaga kesehatan untuk mengamati kondisi klinis pasien secara langsung, dan mengkaji masalah terkait obat, memantau terapi obat, dan reaksi obat yang tidak dikehendaki, meningkatkan terapi obat yang rasional, dan menyajikan informasi obat kepada dokter, pasien serta professional kesehatan lainnya. 7. Pemantauan Terapi Obat Merupakan suatu proses yang mencakup kegiatan untuk memastikan terapi obat yang aman, efektif, dan rasional bagi pasien. 8. Monitoring Efek Samping Obat Merupakan kegiatan pemantauan setiap respon terhadap obat yang tidak dikehendaki, yang terjadi pada dosis lazim yang digunakan pada manusia untuk tujuan profilaksis, diagnosa, dan terapi. Efek samping obat adalah reaksi obat yang tidak dikehendaki yang terkait dengan kerja farmakologi. 9. Evaluasi Penggunaan Obat Merupakan program evaluasi penggunaan obat yang terstruktur dan berkesinambungan secara kualitatif dan kuantitatif. 10. Dispensing Sediaan Steril Kegiatan yang harus dilakukan di instalasi farmasi rumah sakit dengan teknik aseptik untuk menjamin sterilitas dan stabilitas produk dan
14
melindungi petugas dari
paparan zat berbahaya serta menghindari
terjadinya kesalahan pemberian Obat 11. Pemantauan Kadar Obat dalam Darah (PKOD) Merupakan interpretasi hasil pemeriksaan kadar Obat tertentu atas permintaan dari dokter yang merawat karena indeks terapi yang sempit atau atas usulan dari apoteker kepada dokter. 4.
Kepuasan Konsumen a. Definisi kepuasan konsumen Kepuasan adalah perasaan senang atau kecewa seseorang yang dihasilkan dari membandingkan persepsi produk yang diterima atau outcomes, dihubungkan dengan harapannya. Jika performansi produk jauh dari harapan konsumen maka tidak akan dapat memuaskan konsumen. Jika performansi produk sesuai dengan harapan konsumen maka konsumen terpuaskan. Jika persepsi yang diperoleh jauh lebih tinggi
dari harapan konsumen maka
konsumen akan sangat terpuaskan (Kotler dan Koller, 2006). Menurut Wijono (1999) kepuasan pelanggan rumah sakit atau unit/instalasi dalam suatu rumah sakit dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain yang bersangkutan dengan: 1) Pendekatan dan perilaku petugas, perasaan pasien terutama pada saat pertama kali datang.
15
2) Mutu informasi yang diterima, seperti: apa yang dikerjakan dan diharapkan. 3) Prosedur perjanjian. 4) Waktu tunggu. 5) Fasilitas umum yang tersedia. 6) Outcome yang diterima pasien. b. Mengukur kepuasan konsumen Kepuasan pasien adalah keluaran dari layanan kesehatan dan suatu perubahan dari sistem layanan kesehatan yang ingin dilakukan tidak mungkin tepat sasaran dan berhasil tanpa melakukan pengukuran kepuasan pasien. Karena pengukuran pasien akan digunakan sebagai dasar untuk mendukung sistem layanan kesehatan, perangkat yang digunakan untuk mengukur kepuasan itu harus handal dan dapat dipercaya (Pohan, 2004). Pengukuran terhadap kepuasan pelanggan menjadi kebutuhan yang mendasar bagi suatu rumah sakit. Hal ini dikarenakan pengukuran terhadap kepuasan pelanggan dapat memberikan masukan dan umpan balik dalam strategi peningkatan kepuasan pelanggan. Menurut Kotler (2001) ada empat metode yang bisa digunakan untuk mengukur kepuasan pelanggan, yaitu : 1) Sistem keluhan dan saran Perusahaan yang berorientasi pada pelanggan (Costumer Oriented) menyediakan
kesempatan
penuh
bagi
para
pelanggannya
untuk
16
menyampaikan saran, kritik, pendapat, dan keluhan mereka. Media yang bisa digunakan meliputi kotak saran yang diletakkan di tempat-tempat strategis, menyediakan saluran telepon khusus pengaduan pelanggan, dan membuat account di situs jejaring sosial. 2) Ghost shopping (Mystery shopping) Metode ini dilaksanakan dengan mempekerjakan beberapa orang perusahaan
(ghost
shopper)
untuk
berperan
atau
bersikap
sebagai
pelanggan/pembeli di perusahaan dan pesaing. Kemudian ghost shopper menyampaikan temuan-temuan mengenai kekuatan dan kelemahan produk perusahaan dan pesaing sehingga dapat dijadikan sebagai koreksi terhadap kualitas pelayanan perusahaan itu sendiri. 3) Analisa pelanggan yang hilang (Lost customer analysis) Metode ini dilakukan perusahaan dengan cara menghubungi kembali pelanggan yang sudah lama tidak berkunjung atau melakukan pembelian lagi di perusahaan tersebut karena telah berpindah ke perusahaan pesaing, sehingga diperoleh informasi penyebab terjadinya hal tersebut. 4) Survei kepuasan pelanggan Sesekali perusahaan perlu melakukan survei kepuasan pelanggan terhadap kualitas jasa atau produk perusahaan tersebut. Survei ini dapat dilakukan dengan penyebaran kuesioner oleh karyawan perusahaan kepada para pelanggan. Melalui survei tersebut, perusahaan dapat mengetahui kekurangan dan kelebihan produk atau jasa perusahaan tersebut, sehingga
17
perusahaan dapat melakukan perbaikan pada hal yang dianggap kurang oleh pelanggan. Selain empat metode tersebut, kepuasan dapat diukur dengan metode SERVQUAL yaitu metode yang dapat digunakan untuk menganalisis kualitas pelayanan adalah analsis gap seperti yang dikemukakan oleh Pasuraman dkk. Dalam
penelitiannya
mereka
mengidentifikasi
ada
lima
gap
yang
menyebabkan kegagalan penyampaian jasa, antara lain sebagai berikut : 1. Gap antara harapan konsumen dan persepsi manajemen. Gap tersebut adalah perbedaan antara penawaran pelayanan untuk pelanggan dan anggapan manajemen tentang harapan pelanggan. 2. Gap antara persepsi manajemen terhadap harapan konsumen dan spesifikasi kualitas jasa atau spesifikasi kualitas. Gap tersebut disebabkan oleh tidak adanya komitmen total manajemen terhadap kualitas jasa, kekurangan sumber daya, atau karena adanya kelebihan permintaan. 3. Gap penyampaian pelayanan. Gap tersebut adalah kesenjangan antara spesifikasi kualitas jasa dan pemyampaian jasa. 4. Gap komunikasi pemasaran adalah kesenjangan antara penyampaian jasa dan komunikasi eksternal. 5. Gap dalam pelayanan yang dirasakan adalah kesenjangan yang terjadi karena ada perbedaan antara jasa yang dirasakan dan jasa yang diharapkan.
18
Gambar 1. Model Servqual (Pasuraman dkk. 1988)
Pasuraman dkk. (1998) mengemukakan lima dimensi pokok kualitas jasa yang dapat diukur sebagai berikut : 1. Tangibles (berwujud) meliputi penampilan fisik, peralatan, petugas, dan materi komunikasi. 2. Reliability (keandalan) adalah kemampuan untuk melaksanakan jasa yang dijanjikan secara terpecaya dan akurat. Keandalan berhubungan dengan konsistensi kinerja dan ketergantungan.
19
3. Responsiveness (daya tanggap) adalah kemampuan untuk membantu pelanggan dan memberikan jasa dengan cepat. Daya tanggap berhubungan dengan kesiapan karyawan menyediakan layanan jasa, serta menyangkut ketepatan waktu pelayanan. 4. Assurance (jaminan) adalah pengetahuan dan kesopanan karyawan serta kemampuan mereka untuk menimbulkan kepercayaan dan keyakinan. Jaminan mencakup kebebasan dari rasa takut, beresiko, dan keraguan. 5. Empathy (empati) adalah kesediaan untuk peduli, memberikan perhatian kepada pelanggan, sensitif terhadap harapan konsumen, dan senantiasa berupaya untuk memenuhi kebutuhan konsumen. Seperti konsumen pada umumnya, pasien kadang-kadang (atau selalu) memiliki pandangan yang berbeda dengan petugas kesehatan ketika menilai kualitas perawatan dan pelayanan. Sangat penting untuk mengetahui kebutuhan pasien dan mengumpulkan informasi tentang penyampaian pelayanan jasa dan kegiatan pelayanan dari sudut pandang pasien. 5. Asuransi Kesehatan (ASKES) Menurut
Undang-Undang
Nomor
2
Tahun
1992,
Asuransi
atau
Pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak
20
ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan. Asuransi kesehatan adalah sebuah jenis produk asuransi yang secara khusus menjamin biaya kesehatan atau perawatan para anggota asuransi tersebut jika mereka jatuh sakit atau mengalami kecelakaan. Secara garis besar ada dua jenis perawatan yang ditawarkan perusahaan-perusahaan asuransi, yaitu rawat inap (in-patient treatment) dan rawat jalan (out-patient treatment). Produk asuransi kesehatan diselenggarakan baik oleh perusahaan asuransi sosial, perusahaan asuransi jiwa, maupun juga perusahaan asuransi umum. Berdasarkan pengelola dana asuransi dibagi menjadi dua, yaitu askes pemerintah dan askes swasta. a. ASKES PEMERINTAH (BPJS) BPJS
Kesehatan
(Badan
Penyelenggara
Jaminan
Sosial
Kesehatan)
merupakan Badan Usaha Milik Negara yang ditugaskan khusus oleh pemerintah untuk
menyelenggarakan jaminan
pemeliharaan
kesehatan bagi
seluruh
rakyat Indonesia, terutama untuk Pegawai Negeri Sipil, Penerima Pensiun PNS dan TNI/POLRI, Veteran, Perintis Kemerdekaan beserta keluarganya dan Badan Usaha lainnya ataupun rakyat biasa. BPJS Kesehatan sebelumnya bernama Askes (Asuransi Kesehatan), yang dikelola oleh PT Askes Indonesia (Persero), namun sesuai UU No. 24 Tahun 2011 tentang BPJS, PT. Askes Indonesia berubah menjadi BPJS Kesehatan sejak tanggal 1 Januari 2014 Tujuannya adalah agar semua
21
penduduk Indonesia terlindungi dalam sistem asuransi, sehingga mereka dapat memenuhi kebutuhan dasar kesehatan masyarakat yang layak yang diberikan kepada setiap orang yang telah membayar iuran atau iurannya dibayar oleh Pemerintah. Asuransi sosial merupakan mekanisme pengumpulan iuran yang bersifat wajib dari peserta, guna memberikan perlindungan kepada peserta atas risiko sosial ekonomi yang menimpa mereka dan atau anggota keluarganya (UU SJSN No.40 tahun 2004). 1) KEPESERTAAN Beberapa pengertian: a)
Peserta adalah setiap orang, termasuk orang asing yang bekerja paling singkat 6 (enam) bulan di Indonesia, yang telah membayar Iuran.
b)
Pekerja adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima gaji, upah, atau imbalan dalam bentuk lain.
c)
Pemberi Kerja adalah orang perseorangan, pengusaha, badan hukum, atau badan lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja, atau penyelenggara negara yang mempekerjakan pegawai negeri dengan membayar gaji, upah, atau imbalan dalam bentuk lainnya.
22
Peserta BPJS kesehatan ada dua kelompok, yaitu:
a. PBI Jaminan Kesehatan
PBI (Penerima Bantuan Iuran) adalah peserta jaminan kesehatan bagi fakir miskin dan orang tidak mampu sebagaimana diamanatkan UU SJSN yang iurannya dibayari pemerintah sebagai program Jaminan Kesehatan. Peserta PBI adalah fakir miskin yang ditetapkan oleh pemerintah dan diatur melalu peraturan pemerintah dan seseorang yang mengalami cacat total tetap dan tidak mampu.
b. Bukan PBI Jaminan Kesehatan
Peserta bukan PBI (Non PBI) jaminan kesehatan terdiri atas pekerja penerima upah dan anggota keluarganya; pekerja bukan penerima upah dan anggota keluarganya; bukan pekerja dan anggota keluarganya. Seluruh penduduk Indonesia wajib menjadi peserta BPJS kesehatan meskipun yang bersangkutan sudah memiliki jaminan kesehatan lain. Pada tahun 2019, diharapkan seluruh penduduk Indonesia sudah menjadi peserta BPJS kesehatan (BPJS Kesehatan, 2014).
2)
PEMBIAYAAN
Iuran Jaminan Kesehatan adalah sejumlah uang yang dibayarkan secara teratur oleh Peserta, Pemberi Kerja, dan/atau Pemerintah untuk program Jaminan Kesehatan (pasal 16, Perpres No. 12/2013 tentang Jaminan Kesehatan). Setiap Peserta wajib
23
membayar iuran yang besarnya ditetapkan berdasarkan persentase dari upah (untuk pekerja penerima upah) atau suatu jumlah nominal tertentu (bukan penerima upah dan PBI). Setiap Pemberi Kerja wajib memungut iuran dari pekerjanya, menambahkan iuran peserta yang menjadi tanggung jawabnya, dan membayarkan iuran tersebut setiap bulan kepada BPJS Kesehatan secara berkala (paling lambat tanggal 10 setiap bulan). Apabila tanggal 10 (sepuluh) jatuh pada hari libur, maka iuran dibayarkan pada hari kerja berikutnya. Keterlambatan pembayaran iuran JKN dikenakan denda administratif sebesar 2% (dua persen) perbulan dari total iuran yang tertunggak dan dibayar oleh Pemberi Kerja. Peserta Pekerja Bukan Penerima Upah dan Peserta bukan Pekerja wajib membayar iuran JKN pada setiap bulan yang dibayarkan paling lambat tanggal 10 (sepuluh) setiap bulan kepada BPJS Kesehatan. Pembayaran iuran JKN dapat dilakukan diawal. b.
ASURANSI SWASTA
Asuransi kesehatan swasta (Private Health Insurance). Asuransi kesehatan milik swasta atau pengelolaan dana dilakukan oleh suatu badan swasta. Kecepatan, kemudahan dan fleksibilitas itu yang utama dalam proses berobat. Model asuransi kesehatan ini juga berkembang di Indonesia, dapat dibeli preminya baik oleh individu maupun segmen masyarakat kelas menengah ke atas. Premi asuransi kesehatan murni (tanpa investasi, premi hangus) paling tidak tarifnya Rp 300.000 – Rp 500.000 per orang per bulan. Premi tersebut jauh lebih mahal bila dibandingkan dengan premi asuransi kesehatan milik pemerintah. Beberapa perusahaan swasta
24
yang menyediakan asuransi kesehatan misalnya : PT Asuransi Central Asia, PT AIA Financial, PT Asuransi Jiwa Recapital, PT Asuransi Allianz Life Indonesia, PT Astra Aviva Life, PT Bosowa Asuransi, PT Asuransi Jiwa Bringin Jiwa Sejahtera, PT Equity Life Indonesia, PT Great Eastern Life Indonesia, PT MNC Life Assurance, PT Asuransi Jiwa Inhealth Indonesia, PT Asuransi Sinar Mas, PT Asuransi Tugu Mandiri, PT Asuransi AXA Mandiri Financial Service, PT Lippo Insurance, dan PT Avrist Assurance.
6. Sekilas Tentang Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta
RS Bethesda diresmikan pada tanggal 20 Mei 1899 oleh Dr. J. Gerrit Scheurer dengan nama PETRONELLA ZIENKENHUIS. Kemudian oleh masyarakat disebut sebagai RS TOELOENG/PITULUNGAN karena dalam pelayanan terhadap pasien, rumah sakit ini tidak memandang Apa dan Siapa pasien itu, tetapi mengutamakan pertolongan lebih dahulu. Pada zaman penjajahan Jepang (1942-1945) namanya diganti dengan YOGYAKARTA TJUO BJOIN, dan kemudian setelah terlepas dari penjajahan Jepang dikenal sebagai RUMAH SAKIT PUSAT. Agar masyarakat umum mengetahui bahwa Rumah Sakit Pusat ini merupakan salah satu rumah sakit pelayananan kasih (Kristen), maka pada tanggal 28 Juni 1950 diganti dengan nama Rumah
Sakit
Bethesda (kolam
penyembuhan).
Rumah
Sakit
Bethesda tergabung dalam suatu yayasan yang menaungi rumah sakit-rumah sakit
25
Kristen, yang bernama YAKKUM (Yayasan Kristen Untuk Kesehatan Umum). Yayasan ini resmi berdiri pada tanggal 1 Februari 1950. VISI Menjadi rumah sakit pilihan yang bertumbuh dan memuliakan Allah. MISI
1. Menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang holistik, unggul, efisien, efektif, dan aman yang berwawasan lingkungan 2. Menyelenggarakan
pendidikan,
penelitian
dan
pengembangan
yang
berkesinambungan untuk menghasilkan SDM yang berintegritas dan berjiwa kasih. 3. Mewujudkan pelayanan kesehatan yang terjangkau, memuaskan customer dengan jejaring yang luas dan mampu berkembang dengan baik. 4.
Menyediakan
sarana
dan
prasarana
pelayanan
kesehatan
dengan
mempertimbangkan perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Kebijakan Mutu RS. Bethesda:
Rumah Sakit Bethesda memberikan layanan yang Cepat, Tepat, Komunikatif, dan Terpadu sesuai dengan standar mutu, sehingga menghasilkan pelanggan yang puas dan setia
Rumah Sakit Bethesda berkomitmen untuk selalu melaksanakan dan meningkatkan keefektifan sistem mutu
26
F. Landasan Teori Rumah sakit adalah salah satu sarana kesehatan tempat menyelenggarakan upaya kesehatan. Instalasi Farmasi sebagai salah satu unit pelayanan utama di rumah sakit berperan untuk meningkatkan mutu kehidupan pasien, untuk itu harus mampu memberikan pelayanan yang berkualitas kepada pasien tanpa memandang status ekonomi dan sosial pasien baik itu pasien peserta BPJS (asuransi pemerintah) maupun asuransi kesehatan swasta (asuransi swasta). Pasien peserta BPJS merupakan pasien yang menerima bantuan biaya kesehatan dari pemerintah untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang layak dengan premi asuransi yang terjangkau. Prosedur untuk mendapatkan pelayanan kesehatan bagi peserta BPJS diketahui lebih rumit bila dibandingkan dengan pasien asuransi swasta. Karena bersifat wajib dan preminya cukup terjangkau, mengakibatkan jumlah peserta BPJS sangat banyak. Implikasinya adalah ke proses antrian dalam pelayanan di rumah sakit yang begitu lama. Dalam sebuah hasil survei kepuasan peserta dan fasilitas kesehatan terhadap BPJS Kesehatan yang dilakukan salah satu lembaga survey pada tahun 2014, Myriad Research Comitted menyebutkan hasil sebagai berikut: “Di tingkat FKRTL, kepuasan peserta yang datang ke RS Pemerintah berada pada angka 80%, sementara untuk RS Swasta adalah 83%. Dari sisi jenis layanan, rawat jalan atau rawat inap di rumah sakit, tidak ada perbedaan tingkat kepuasan di antara keduanya” (BPJS Kesehatan, 2015). Sebagai pelaksana program jaminan
27
kesehatan yang baru berjalan selama satu tahun pada tahun 2014, BPJS Kesehatan terbilang sukses dalam pelaksanaannya. Namun, Sistem Jaminan Kesehatan Nasional masih perlu dilakukan perbaikan secara terus menerus sehingga penerapan standar pelayanannya dapat terlaksana semakin baik pada tahun-tahun selanjutnya. Pasien peserta asuransi swasta adalah pasien yang dianggap mampu untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang layak dengan biaya sendiri dan premi asuransi yang cukup tinggi yang di bayarkan langsung kepada perusahaan swasta pengelola asuransi kesehatan. Asuransi swasta ini biasanya digunakan oleh masyarakat golongan menengah ke atas. Lumenta (1989) yang menyatakan bahwa masyarakat berpenghasilan rendah pada umumnya sangat banyak bergantung pada fasilitas pelayanan kesehatan, Sebaliknya, jika seseorang mendapatkan penghasilan yang besar maka kebutuhan pelayanan kesehatan yang ia dapatkan akan lebih banyak (Barata, 2006). Hal ini menyatakan bahwa orang yang berpenghasilan tinggi akan merasa tidak puas dibandingkan dengan orang yang berpenghasilan rendah karena orang yang berpenghasilan tinggi cenderung lebih banyak kebutuhan pelayanan kesehatan yang harus terpenuhi. Untuk mencapai peningkatan pelayanan yang berkesinambungan antara pasien peserta BPJS dengan pasien peserta asuransi swasta perlu dilakukan evaluasi kualitas pelayanan sehingga dilakukan penelitian untuk mengetahui tingkat kepuasan pasien rawat jalan peserta BPJS dan pasien peserta asuransi swasta di suatu rumah sakit yaitu Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta.
28
Kepuasan pasien berkaitan erat dengan kualitas pelayanan yang diberikan oleh suatu rumah sakit. Banyak penelitian yang mengangkat tentang permasalahan kepuasan pasien terhadap kualitas pelayanan rumah sakit diantaranya penelitian yang dilakukan oleh Tiana (2013) mendapatkan hasil bahwa pada dimensi reliability memiliki nilai gap tertinggi sehingga perlu mendapat perhatian lebih dari pihak instalasi farmasi RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarinda. Penelitian yang dilakukan oleh Afiyah (2015) mendapatkan hasil bahwa pasien BPJS belum puas terhadap pelayanan farmasi di depo farmasi rawat jalan RS PKU Muhammadiyah Gamping Yogyakarta. Hal ini ditunjukkan dengan nilai gap negatif pada semua dimensi. Dimensi dengan nilai gap terbesar adalah dimensi reliability dan dimensi assurance adalah dimensi dengan nilai gap terkecil, serta penelitian yang dilakukan oleh Ariyani (2015) mendapatkan hasil bahwa pada dimensi reliability memiliki nilai gap tertinggi Hal ini ditunjukkan dengan nilai gap negatif pada semua dimensi sehingga pasien rawat jalan di IFRS Islam Ibnu Sina Pekanbaru belum merasa puas terhadap pelayanan yang diberikan. G. Hipotesis Hipotesis yang diambil dalam penelitian adalah: 1. Terdapat perbedaan tingkat kepuasan pasien rawat jalan BPJS dan Asuransi swasta terhadap pelayanan kefarmasian di Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta. 2. Dimensi reliability merupakan dimensi yang perlu mendapat perhatian lebih dari pihak instalasi farmasi Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta.
29
H. Kerangka konsep RUMAH SAKIT
PASIEN PESERTA Asuransi Swasta
HARAPAN
PERSEPSI
KEPUASAN PASIEN PESERTA Asuransi Swasta
PASIEN PESERTA BPJS
HARAPAN
PERSEPSI
KEPUASAN PASIEN PESERTA BPJS
Gambar 2. Kerangka Konsep Penelitian