BAB 1 PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Pharmaceutical care atau asuhan kefarmasian merupakan bentuk optimalisasi peran yang
dilakukan oleh apoteker terhadap pasien dalam melakukan terapi pengobatan sehingga dapat meningkatkan derajat kesehatan pasien. Apoteker berperan dalam
memberikan konsultasi,
informasi dan edukasi (KIE) terkait terapi pengobatan yang dijalani pasien, mengarahkan pasien untuk melakukan pola hidup sehat sehingga mendukung agar keberhasilan pengobatan dapat tercapai, dan melakukan monitoring hasil terapi pengobatan yang telah dijalankan oleh pasien serta melakukan kerja sama dengan profesi kesehatan lain yang tentunya bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien (ISFI, 2000). Hal tersebut menegaskan peran apoteker untuk lebih berinteraksi dengan pasien, lebih berorientasi terhadap pasien dan mengubah orientasi kerja apoteker yang semula hanya berorientasi kepada obat dan berada di belakang layar menjadi profesi yang bersentuhan langsung dan bertanggungjawab terhadap pasien. Pelayanan kefarmasian mulai berubah orientasinya dari drug oriented menjadi patient oriented. Perubahan paradigma ini dikenal dengan nama Pharmaceutical care atau asuhan pelayanan kefarmasian (Kemenkes RI, 2011). Pharmaceutical care atau asuhan kefarmasian merupakan pola pelayanan kefarmasian yang berorientasi pada pasien. Pola pelayanan ini bertujuan mengoptimalkan penggunaan obat secara rasional yaitu efektif, aman, bermutu dan terjangkau bagi pasien (Depkes RI, 2008). Hal ini meningkatkan tuntutan terhadap pelayanan farmasi yang lebih baik demi kepentingan dan kesejahteraan pasien. Asuhan kefarmasian, merupakan komponen dari praktek kefarmasian yang memerlukan interaksi langsung apoteker 1
dengan
pasien
untuk menyelesaikan masalah terapi
pasien, terkait dengan obat yang
bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien (Kemenkes RI, 2011). Akibat dari perubahan paradigma pelayanan kefarmasian, apoteker diharapkan dapat melakukan peningkatan keterampilan, pengetahuan, serta sikap sehingga diharapkan dapat lebih berinteraksi langsung terhadap pasien. Adapun pelayanan kefarmasian tersebut meliputi pelayanan swamedikasi terhadap pasien, melakukan pelayanan obat, melaksanakan pelayanan resep, maupun pelayanan terhadap perbekalan farmasi dan kesehatan, serta dilengkapi dengan pelayanan konsultasi, informasi dan edukasi (KIE) terhadap pasien serta melakukan monitoring terkait terapi pengobatan pasien sehingga diharapkan tercapainya tujuan pengobatan dan memiliki dokumentasi yang baik (Depkes RI, 2008). Apoteker harus menyadari serta memahami jika kemungkinan untuk terjadinya kesalahan pengobatan (Medication Error) dalam proses pelayanan kefarmasian dapat terjadi sehingga diharapkan apoteker dapat menggunakan keilmuannya dengan baik agar berupaya dalam melakukan pencegahan dan meminimalkan masalah tentang obat (Drug Related Problems) dengan membuat keputusan yang tepat dan profesional agar pengobatan rasional (Depkes RI, 2008). Standar tentang pelayanan kefarmasian di apotek telah disusun pada tahun 2003 oleh Ditjen Pelayanan Farmasi Departemen Kesehatan melibatkan Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia (ISFI). Tujuan dari penetapan standar pelayanan kefarmasian di apotek adalah digunakan acuan dalam melakukan pengawasan terhadap pelayanan kefarmasian oleh profesi apoteker, sebagai pembinaan serta meningkatkan mutu pelayanan farmasi di apotek, untuk melakukan perlindungan kepada pasien dari pelayanan yang tidak profesional, dan melakukan perlindungan profesi dari tuntutan pasien yang tidak wajar (Depkes RI, 2006). Berdasarkan hal tersebut, maka ditetapkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1027/Menkes/SK/IX/2004
tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek. Dalam standar tersebut dipaparkan bahwa saat ini pelayanan kefarmasian mengacu pada Pharmaceutical Care (Asuhan Kefarmasian) yang menuntut apoteker untuk bertanggungjawab penuh atas mutu obat yang diberikan kepada pasien disertai dengan informasi yang lengkap tentang cara pemakaian dan penggunaan, efek samping hingga monitoring penggunaan obat demi meningkatkan kualitas hidup pasien. Pelayanan kefarmasian selama ini dinilai oleh banyak pengamat masih berada di bawah standar. Kuncahyo (2004) menyebutkan bahwa apoteker belum melakukan fungsinya secara optimal dan tanggungjawab penuh apoteker dalam memberikan informasi obat kepada masyarakat, ternyata masih belum dilaksanakan dengan baik. Wiryanto (2005) juga mengungkapkan bahwa apotek telah berubah menjadi semacam toko yang berisi semua golongan obat baik obat bebas, obat keras, psikotropika dan narkotika dengan pelayanan yang tidak mengacu pada kaidah-kaidah profesi, karena tidak dilakukan oleh apoteker. Seperti halnya penelitian di DKI Jakarta pada tahun 2003 menunjukkan bahwa APA yang berkerja tidak penuh waktu atau kurang dari 40 jam per minggu memberikan pelayanan masih cukup besar yaitu sebanyak 76,5% dan apotek yang apotekernya bekerja penuh hanya 23,5%. Frekuensi kehadiran apoteker yang tidak bekerja penuh antara lain 12,8% yang datang 2 kali per minggu; 57,4% hadir 1 kali per minggu; 2,1% hadir 2 kali per bulan, 23,4% hadir 1 kali per bulan dan sisanya sebanyak 4,3% hadir 1 kali per dua bulan (Purwanti, dkk, 2004). Pelayanan kefarmasian masih belum mendapatkan perhatian yang serius dari pemerintah. Hal ini ditunjukkan dari penelitian yang menggambarkan dari 4953 sarana pelayanan kesehatan dasar milik pemerintah di Indonesia, hanya 605 yang memiliki apoteker sebagai penanggungjawab terhadap instalasi farmasinya (Kementrian Kesehatan RI, 2011). Penelitian tentang gambaran pelaksanaan
pelayanan kefarmasian di apotek pernah dilakukan di DKI
Jakarta pada tahun 2003. Ditemukan bahwa 76,5% apotek tidak memenuhi standar pelayanan obat non resep, 98,5% apotek tidak memenuhi standar pelayanan KIE, 67,6% apotek tidak memenuhi standar pelayanan obat resep dan 5,8% apotek tidak memenuhi standar pengelolaan obat di apotek. Berdasarkan rata-rata keempat sub bidang pelayanan kefarmasian tersebut didapatkan nilai rerata 61,02 sehingga masuk dalam kategori yang kurang baik (Purwanti dkk, 2004). Penelitian serupa di Kota Padang (Monita, 2009) menemukan
bahwa
pelayanan
kefarmasian di apotek di Kota Padang belum terlaksana baik, dengan kategori baik (≥85) sebesar 3%, sedang (65-85) 16%, dan kurang (≤65) 81%. Penelitian tersebut mengungkapkan bahwa beberapa faktor pendukung yang mendasari adalah: (1) motivasi apoteker dalam bekerja, (2) dukungan pemilik sarana apotik (PSA) dan staf, (3) komitmen seluruh stakeholder (pembuat kebijakan/regulasi, instansi yang melakukan sosialisasi, monitoring dan pembinaan, perguruan tinggi dan organisasi profesi). Beberapa faktor penghambat yang ditemukan adalah (1) apoteker belum berperan di apotek, (2) lemahnya dukungan dan evaluasi oleh pihak manajemen apotek, (3) pengadaan sarana dan prasarana, (4) kurangnya sosialisasi, legislasi, dan lemahnya kontrol regulasi oleh aparat terkait. Belum maksimalnya pelayanan kefarmasian yang diberikan ditunjukkan pula dengan penelitian yang dilakukan di Provinsi NTB, tentang pelayanan kefarmasian pada Rumah Sakit Umum Daerah Kelas C di Propinsi Nusa Tenggara Barat tahun 2012. Penelitian ini menemukan bahwa pelayanan kefarmasian di rumah sakit tersebut belum terlaksana dengan baik. Persentase pencapaian standar pelayanan kefarmasian dari ketiga rumah sakit masih kurang dari 75%, yaitu 52,17% untuk Rumah Sakit A, 54,78% untuk Rumah Sakit B dan 44,35% untuk Rumah Sakit C. Penelitian ini menemukan bahwa beberapa faktor penghambat pelaksanaan layanan kefarmasian yang optimal adalah (1) lemahnya dukungan pihak manajemen rumah sakit terhadap pelayanan
farmasi, (2) pengadaan sarana dan prasarana penunjang pelayanan farmasi yang masih belum memadai, (3) kurangnya jumlah tenaga kefarmasian di instalasi farmasi, (4) sistem dokumentasi instalasi farmasi yang kurang baik, (5) kurangnya evaluasi yang terus menerus dalam upaya peningkatan kinerja instalasi farmasi dalam melaksanakan pelayanan farmasi (Sidrotullah, 2012). Penelitian di Kota Denpasar dan Kabupaten Badung tentang kehadiran apoteker mendapatkan bahwa kehadiran apoteker di apotek masih sangat rendah. Dari total 111 apotek wilayah Denpasar Utara, Denpasar Timur, Denpasar Selatan, Denpasar Barat, Kuta Utara, dan Kuta Selatan, hanya 24 apotek (26,64%) yang terdapat tenaga ahli apoteker pada saat dilakukannya survei (Gunawan dkk, 2011). Berbagai penelitian yang telah dilakukan ditemukan beberapa faktor yang berhubungan dengan kualitas pelayanan kefarmasian meliputi kepemilikan modal, kehadiran Apoteker Pengelola Apotek (APA), peran Pemilik Modal Apotek (PMA), jabatan APA di luar apotik, motivasi APA untuk melakukan pelayanan kefarmasian dan omset apotek (Harianto, dkk, 2008). Berdasarkan wawancara yang telah dilakukan kepada 4 (empat) orang apoteker di wilayah Kota Denpasar dan kabupaten Badung tentang kualitas pelayanan kefarmasian di apotek, diketahui bahwa keempat apotek tersebut tergolong dalam pelayanan kefarmasian yang buruk (skor pencapaian < 65). Adapun beberapa faktor yang mempengaruhi pelayanan kefarmasian di apotek tersebut meliputi peran PMA, kepemilikan apotek, kehadiran APA, motivasi kerja, pengetahuan apoteker, sikap apoteker, status apoteker, omset apotek, ketenagaan, peranan IAI (Ikatan Apoteker Indonesia Bali), fasilitas apotek, gaji, situasi kerja, dan manajemen pengelolaan obat maupun alkes di apotek. Setelah sepuluh tahun pasca pengesahan standar pelayanan kefarmasian di Apotek diberlakukan, muncul pertanyaan apakah standar ini benar-benar diimplementasikan oleh
apoteker dalam melaksanakan aktifitas profesi di masyarakat khususnya pada apotek di Kota Denpasar. Pharmaceutical care menuntut apoteker untuk memberikan pelayanan yang optimal kepada masyarakat sehingga apoteker harus mengalokasikan waktunya lebih banyak untuk memberikan pelayanan, berkomunikasi, dan memberikan jasa konsultasi atau konseling kepada pasien. Pelayanan kefarmasian yang mengacu pada Kepmenkes Republik Indonesia Nomor 1027/Menkes/SK/IX/2004 secara optimal akan meningkatkan citra dan posisi apoteker. Apoteker tidak lagi dilihat sebagai prasyarat berdirinya suatu apotek dan tidak hanya sebagai toko obat, namun bertanggungjawab penuh dalam menjamin mutu, memberikan informasi tentang efek samping, indikasi, penggunaan terhadap obat yang dikonsumsi oleh pasien guna meningkatkan derajat kesehatan hidup pasien. Penelitian tentang kualitas pelayanan kefarmasian di apotek Kota Denpasar dan faktorfaktor yang berpengaruh terhadap pelayanan kefarmasian yang dilakukan oleh apoteker belum pernah dilakukan. Berdasarkan hal tersebut perlu dilakukan penelitian tentang kualitas pelayanan kefarmasian di Apotek-apotek Kota Denpasar agar diketahui tingkat keberhasilannya, faktor pendorong dan faktor penghambat yang berpengaruh terhadap kualitas pelayanan kefarmasian di apotek. Penelitian ini dapat dipergunakan untuk kepentingan monitoring terhadap kebijakan pemerintah terkait dengan kualitas pelayanan kefarmasian di Apotek.
1.2 Rumusan Masalah 1. Bagaimana kualitas pelayanan kefarmasian di Apotek-apotek Kota Denpasar ? 2. Bagaimana pengaruh faktor kehadiran APA terhadap kualitas pelayanan kefarmasian di Apotek-apotek Kota Denpasar ?
3. Bagaimana pengaruh faktor motivasi APA terhadap kualitas pelayanan kefarmasian di Apotek-apotek Kota Denpasar ? 4. Bagaimana pengaruh faktor status APA terhadap kualitas pelayanan kefarmasian di Apotek-apotek Kota Denpasar ? 5. Bagaimana pengaruh faktor kepemilikan apotek terhadap kualitas pelayanan kefarmasian di Apotek-apotek Kota Denpasar ?
1.3 Tujuan 1.3.1
Tujuan Umum Untuk mengetahui kualitas pelayanan kefarmasian dan faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan pelayanan kefarmasian oleh apoteker di apotek-apotek Kota Denpasar.
1.3.2
Tujuan Khusus Penelitian ini memiliki tujuan untuk mengetahui : 1. Gambaran kualitas pelayanan kefarmasian di Apotek-apotek Kota Denpasar 2. Pengaruh faktor kehadiran APA terhadap kualitas pelayanan kefarmasian di Apotek-apotek Kota Denpasar. 3. Pengaruh motivasi APA terhadap kualitas pelayanan kefarmasian di Apotekapotek Kota Denpasar. 4. Pengaruh status APA terhadap kualitas pelayanan kefarmasian di Apotek-apotek Kota Denpasar.
5. Pengaruh faktor kepemilikan apotek terhadap kualitas pelayanan kefarmasian di Apotek-apotek Kota Denpasar.
1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah informasi khususnya untuk ilmu manajemen farmasi terkait tentang kualitas pelayanan kefarmasian oleh apoteker di apotek,
faktor pendorong dan faktor penghambat terhadap kualitas
pelayanan
kefarmasian yang sesuai standar. 1.4.2 Manfaat Praktis 1. Masyarakat Meningkatkan derajat kesehatan masyarakat melalui peningkatan peranan apoteker dalam melaksanan pelayanan kefarmasian di apotek sehingga masyarakat mendapatkan pelayanan yang memadai. 2. Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) Mengetahui implementasi pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian pada Apotek di Kota Denpasar dan sebagai bahan pertimbangan bagi IAI khususnya IAI Bali untuk lebih memaksimalkan peran Apoteker di Kota Denpasar sehingga dapat meperbaiki dan ikut meningkatkan pelayanan sesuai dengan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek.
3. Pemerintah
Bagi pemerintah khususnya Dinas Kesehatan Kota Denpasar dapat memberikan gambaran dan untuk kepentingan monitoring tentang kualitas pelayanan kefarmasian di apotek, serta dapat digunakan sebagai bahan masukan untuk mengadakan pelatihan dan pembinaan pada Apotek-apotek di Kota Denpasar.