BAB I PENDAHULUAN A.
Latar Belakang Permasalahan
Kondisi politik Indonesia saat ini tentu sudah jauh berkembang dibandingkan pada masa lampau. Akan tetapi sejumlah krisis moral dalam dinamika politik Indonesia juga tidak dapat dielakkan. Cita-cita mulia founding father untuk menciptakan bangsa yang bermartabat masih jauh dari harapan. Bagaimana tidak, sejumlah kasus korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) mulai terkuak laiknya fenomena gunung es yang tidak kunjung selesai. Perebutan kursi pejabat politik menjadi tradisi lima tahunan yang selalu terjadi, dan berbagai masalah politik lainnya yang semakin berkembang ke arah lebih kompleks. Berkaca kembali pada masa akhir pemerintahan Orde Lama di bawah kepemimpinan Presiden Soekarno yang akhirnya ambruk karena instabilitas sosial ekonomi dan politik. Kemudian dilanjutkan masa pemerintahan Orde Baru Presiden Soeharto yang dirancang dengan kebijakan jangka panjang 25 tahun atau dikenal dengan istilah REPELITA (rencana pembangunan lima tahun). Memang, di awal pemerintahan Orde Baru memberikan angin segar bagi kondisi pembangunan
infrastruktur,
sosial,
politik
dan
perekonomian
negara.
Pembangunan jangka panjang I sampai IV terus dilakukan dalam segala bidang kehidupan. Akan tetapi, kemajuan positif tersebut mulai menunjukkan penurunan level yang sangat kentara pada akhir Pembangunan Jangka Panjang (PJP) IV. Penurunan ini berdampak sangat signifikan yang berimplikasi pada perilaku elite
1
2
politik berbangsa dan bernegara, baik dalam aspek suprastruktur maupun infrastruktur (Natsir, 2010: 1-3). Kondisi ekonomi nasional mulai menampakkan keterpurukan dan ketidakadilan. Kebijakan ekonomi nasional cenderung menguntungkan kelompok elite politik tertentu, yang mengakibatkan golongan miskin semakin tertindas. Gelombang amuk massa bahkan menjadi trend politik diakhir tumbangnya rezim Orde Baru. Misalnya saja peristiwa kerusuhan besar di Jakarta pada 27 Juli 1996 yang kemudian menyulut kerusuhan-kerusuhan lain di Indonesia seperti di Tasikmalaya, Situbondo, Pekalongan, dan lain sebagainya. Maraknya kerusuhan tersebut menampakkan radikalisasi rakyat sebagai bentuk protes sosial dan politik secara signifikan (Fatah, 1998: xxvi). Belum lagi selesai permasalahan sosial politik tersebut, pemerintah Orde Baru juga dipusingkan dengan permasalahan etnis yang muncul di berbagai daerah. Semisal kebijakan pemerintah terkait transmigrasi ke daerah-daerah terpencil di luar Jawa justru mendorong kecemburuan penduduk asli dengan penduduk pendatang. Migrasi besar-besaran orang Muslim Jawa dan Madura ke daerah Timur Indonesia yang mayoritas Kristen menimbulkan gejolak yang berlatarbelakang agama. Akibatnya, muncul banyak gelombang protes terhadap pemerintah pada tahun 1997 tentang masalah etnis, suku, ras dan agama (Setyawan, 2005: 29). Ambruknya rezim Orde Baru pada 21 Mei 1998 memberikan harapan besar bagi rakyat Indonesia untuk menuju kehidupan politik berbangsa dan
3
bernegara yang bermartabat. Berangkat dari cita-cita inilah kemudian Indonesia masuk dalam babak baru era reformasi. Bergulirnya agenda reformasi merupakan upaya rekonstruksi sistem, aktor, ideologi, struktur dan mekanisme politik kekuasaan (Jurdi, 2008: 20). Tujuannya adalah untuk menstabilkan stabilitas ekonomi, pendidikan, sosial dan politik ke jalur yang benar, kemudian meletakkan demokrasi pemerintahan yang sesungguhnya. Hal ini terjadi karena pada masa Orde Baru demokrasi hanyalah kedok untuk melanggengkan kekuasaan sebagian kelompok tertentu. Pasca
runtuhnya
Orde
Baru
kemudian
muncul
reformasi
pada
kenyataannya ternyata tidak jauh lebih baik dibandingkan dengan era sebelumnya. Kebebasan yang dikekang pada masa Orde Baru ternyata berubah menjadi kebebasan tanpa batas sehingga mengarah kepada anarkhisme, saling curiga antar elite politik. Kemudian muncul berbagai pemberontakan seperti Gerakan Aceh Merdeka, Organisasi Papua Merdeka, dan lain sebagainya. Bahkan di saat pemerintah sibuk menyelesaikan kasus-kasus terorisme yang marak terjadi, di lain pihak banyak juga pejabat yang ditangkap tangan oleh KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) karena kedapatan melakukan praktik KKN. Belum lagi selesai permasalahan tersebut, masyarakat disuguhi dengan drama persidangan di Mahkamah Kehormatan Dewan laiknya sandiwara politis belaka. Serta berbagai masalah politik lainnya di negeri ini yang datang silih berganti. Suguhan-suguhan problem politik tersebut kemudian menimbulkan persepsi negatif bahwa politik itu penuh dengan keculasan, intrik-intrik kotor guna memperoleh dan membangun kekuasaan. Sering orang menilai bahwa rambu-
4
rambu moral dalam berpolitik hanyalah bagian dari retorika politik. Stigma semacam inilah, selanjutnya menjadikan sebagian orang menilai sinis terhadap pentingnya etika politik. Kondisi ini tentu sangat berbahaya karena menunjukkan suatu sikap keputusasaan. Etika politik terdiri dari banyak sekali ragam dan varian, salah satunya adalah etika politik Islam. Etika politik Islam pada perkembangan selanjutnya berusaha memberikan aspek dan kriteria-kriteria normatif dalam dunia perpolitikan. Tujuannya adalah menawarkan konsep-konsep politik santun. Sehingga berbagai macam tindakan politik yang menyimpang dari kaidah politik santun dapat diminimalisir. Konsekuensinya rakyat menjadi sejahtera, kehidupan politik berbangsa dan bernegara menjadi stabil dan lain sebagainya. Kajian etika politik secara umum tentunya tidak hanya mengkaji persoalan perilaku politikus saja. Akan tetapi, etika politik juga membicarakan persoalan polity, policy dan politics (Haryatmoko, 2003: 25-26). Dari sekian banyak tokoh-tokoh politik khususnya di Indonesia peneliti tertarik untuk mengkaji konsep-konsep etika politik Islam dari sudut pandang pemikiran Hamka. Di masa-masa penjajahan hingga perjuangan kemerdekaan, pembicaraan masalah agama, politik, sastra dan lain sebagainya tidak lepas dari pengaruh Hamka baik pemikiran maupun sepak terjangnya. Dalam berbagai karangan dan juga ceramah serta orasi yang disampaikan Hamka banyak berbicara terkait bidang-bidang tersebut. Dalam dunia sastra Hamka menulis novel Di Bawah Lindungan Ka’bah (1936), Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck (1937), dan lain sebagainya. Demikian juga dalam bidang agama dan politik, pemikiran
5
Hamka banyak tertuang dalam tafsirnya yang fenomenal seperti Tafsir Al-Azhar kemudian Falsafah Ideologi Islam, Keadilan Sosial dalam Islam, dan lain sebagainya. Karir politik Hamka juga nampak dalam sepak terjangnya di kala aktif sebagai anggota Partai Masyumi dan kemudian sebagai ketua MUI pada 1975 hingga 1981 (Damami, 2000: 78). Berbagai permasalahan politik yang telah disebutkan di atas tentu memiliki akar masalah yang menyebabkan terjadinya ketimpangan-ketimpangan tersebut. Mulai dari sistem politik, sarana politik maupun tujuan politik yang perlu diluruskan kembali sesuai dengan relnya. Misalnya saja praktik korupsi, kolusi dan nepotisme sebagai salah satu aspek yang menjadikan kemiskinan, kecemburuan dan kesenjangan sosial terjadi di negara ini. Semua orang tentu sepakat bahwa korupsi, kolusi dan nepotisme sangat merugikan rakyat dan hanya menguntungkan segelintir oknum atau golongan saja. Hamka
kemudian
mengatakan
bahwa
kalaupun
suatu
pekerjaan
mendatangkan keuntungan namun Tuhan melarang, maka mau tidak mau harus ditinggalkan (Hakim & Thalhah, 2005: 70). Demikian halnya tindakan korupsi, kolusi dan nepotisme yang nyata-nyata merupakan perampokan atas uang rakyat. Harga seseorang adalah pribadinya. Seseorang dinilai baik dan buruk dilihat dari konsistensi pribadinya (Hamka, 1966: 12). Seorang Muslim yang konsisten dengan keimanannya akan selalu teguh dalam melawan kemunkaran termasuk berbagai bentuk tindakan KKN. Persoalan ini tentunya tidak hanya menjadi tugas dan tanggung jawab seorang Muslim saja, namun seluruh komponen Bangsa Indonesia secara umum.
6
Problem politik lain yang perlu diperhatikan menurut Hamka bahwa keterpurukan bangsa ini nampak ketika banyak orang yang bukan ahlinya memegang tampuk kekuasaan. Dalam pandangan Hamka ada dua syarat dasar yang harus ada pada diri seorang pemimpin, pertama ilmu dan kedua adalah tubuh yang sehat. Hamka tidak mempersoalkan gender bagi kepala negara, karena yang terpenting adalah ilmu dan fisik yang memadai (Hakim & Thalhah, 2005: 79). Sedikit pemikiran etika politik Islam Hamka di atas menarik minat peneliti untuk mengkaji lebih jauh pemikiran Hamka yang khusus terkait etika politik Islam. Selama ini sejauh penelusuran peneliti masih sedikit kajian-kajian tentang etika politik Islam Hamka secara sistematis. Kebanyakan adalah kajian-kajian ilmu Agama karena Hamka dikenal sebagai ulama sejak masih tinggal di tanah Minang. Kajian ini berusaha menyingkap konsep-konsep etika politik Islam dalam pemikiran Hamka. 1. Rumusan Masalah a. Apa etika politik Islam? b. Bagaimana konsep etika politik Islam dalam pemikiran Hamka? c. Apa kelebihan dan kekurangan pemikiran etika politik Islam dalam pemikiran Hamka? 2. Keaslian Penelitian Penelitian yang mengkaji tentang pemikiran Hamka telah banyak dilakukan. Berikut ini beberapa penelitian terkait yang mengkaji pemikiranpemikiran Hamka:
7
a. Ahmad Hakim dan M. Thalhah, 2005, Buku: “Politik Bermoral Agama Tafsir Politik Hamka”, UII Press Yogyakarta. Buku ini menjelaskan bahwa pemerintahan Islam atau politik Islam dalam perspektif Hamka adalah sistem kekuasaan yang menjamin kemaslahatan hakiki umat manusia dunia dan akhirat. Di dalam buku ini juga menjelaskan konsep Hamka tentang syura, negara dan kepala negara, agama dan negara serta hubungan internasional. Bertolak dari judul buku ini, namun kajian moral politik Hamka sangat sedikit dan dangkal. Analisis dalam buku ini terlalu banyak komparasi dengan pemikiran tokoh politik Islam lainnya sehingga ide-ide politik bermoral agama Hamka tidak nampak menonjol. b. Imam Rofiq, 1988, Skripsi: “Konsepsi Kebahagiaan Menurut Prof Dr. Hamka”, Jurusan Ilmu Filsafat, Fakultas Filsafat, Universitas Gadjah Mada. Skripsi ini menjelaskan bahwa konsep kebahagiaan Hamka bersifat etisreligius,
artinya
kebahagiaan
manusia
tergantung
kepada
amal
perbuatannya baik atau buruk yang selanjutya akan mengarah kepada Tuhan (Tauhid). c. Eknanthon, 1991, Skripsi: Konsepsi Pendidikan Hamka dalam Pembinaan Umat Islam Indonesia, Jurusan Ilmu Filsafat, Fakultas Filsafat, Universitas Gadjah Mada. Skripsi ini menjelaskan bahwa Hamka berusaha mengembalikan ilmu pengetahuan dan kebudayaan serta menanamkan aqidah yang lurus,
8
mempunyai rasa kebanggaan kepada agama, bangsa dan Negara Indonesia. Konsep pendidikan Hamka bersifat teologis untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. yang mengutamakan budi pekerti luhur, nilai-nilai agama, dan sekaligus memperhatikan kehidupan Umat Islam Indonesia. Konsep pendidikan Hamka tersebut tidak bertentangan dengan GBHN dan UUD 1945. d. Suprapto, 1994, Skripsi: Pandangan Hamka tentang Manusia Ditinjau secara Filsafati, Jurusan Ilmu Filsafat, Fakultas Filsafat, Universitas Gadjah Mada. Skripsi ini menjelaskan bahwa manusia terdiri dari aspek jasmani dan rohani yang harus berjalan seimbang. Menurut fitrahnya manusia adalah makhluk religius. e. Muji, 2005, Skripsi: Politik Menurut Hamka (Kajian terhadap Ayat-ayat yang Berkaitan dengan Politik dalam Tafsir Al-Azhar), Jurusan Tafsir Hadis, Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga. Skripsi ini menjelaskan bahwa dalam pandangan Hamka, kedaulatan adalah mutlak milik Tuhan. Sedangkan manusia dianugerahi kedaulatan nisbi atau insani sebagai khalifatullah dengan menjalankan syariat dan ketentuan Allah. Penelitian ini lebih mengarah kepada kajian ilmu politik Islam di dalam Tafsir Al-Azhar. f. Achmad Syahrul, 2009, Skripsi: Penafsiran Hamka tentang Syura dalam Tafsir Al-Azhar, Jurusan Tafsir dan Hadis, Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga.
9
Skripsi ini menjelaskan bahwa syura merupakan dasar pemerintahan suatu negara Islam sekalipun Hamka tidak secara tegas menyebut negara Islam. Syura harus disesuaikan dengan situasi dan kondisi kaum Muslim berada. Hendaknya di dalam syura mempertimbangkan maslahat mafsadat. Berdasarkan ulasan-ulasan yang terdapat di dalam skripsi ini dapat dikategorikan bahwa kajian ini termasuk ke dalam kategori penelitian ilmu politik pemerintahan Islam khususnya yang terkait Syura. g. Zainuddin Arifin, 2009, Tesis: Konsep Etika Hamka (Haji Abdul Malik Karim Amrullah): Kontribusi bagi Pendidikan Islam di Indonesia, Program Studi Ilmu Filsafat, Pascasarjana Fakultas Filsafat, Universitas Gadjah Mada. Tesis ini menjelaskan bahwa substansi etika yang diusung oleh Hamka yaitu: etika religius, etika individual, etika sosial dan etika kebahagiaan yang bernuansa Islami. Hamka berjasa besar dalam merekonstruksi pendidikan tradisional Indonesia menjadi sistem pendidikan modern. h. Eknathon, 1999, Tesis: Konsep Filsafat Pendidikan Hamka dalam Sistem Pendidikan Nasional, Program Studi Ilmu Filsafat, Jurusan Ilmu-ilmu Humaniora, Program Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada. Tesis ini menjelaskan bahwa filsafat pendidikan Hamka bercorak essensialitis yang berorientasi kedepan dengan prinsip Tauhid. Dasar essensial edukatif seharusnya ditumbuh-kembangkan agar mengarah kepada tujuan manusia sebagai „abid dan khalifah di muka bumi.
10
i. Elfi, 2003, Tesis: Konsep Manusia Ideal dalam Pemikiran Hamka, Program Pascasarjana Fakultas Filsafat, Universitas Gadjah Mada. Sistem pemikiran Hamka cenderung bercorak sufistik. Konsep manusia Ideal
menurut Hamka
sejalan dengan
manusia
Indonesia
yang
berkepribadian Pancasila dan menekankan keseimbangan jiwa-raga, individu-sosial, dan pribadi-makhluk Tuhan. j. Sudin, 2013, Disertasi: Religiusitas Moral Kebangsaan: Studi atas Pemikiran Hamka, Program Doktor, Program Studi Ilmu Filsafat, Fakultas Filsafat, Universitas Gadjah Mada. Disertasi ini mengkaji tentang konsep filsafat moral Hamka yang religious dan kebangsaan. Dasar religiusitas ini adalah doktrin tauhid. Berdasarkan sejumlah penelitian, karya tulis tentang Hamka dan pemikirannya di atas, penelitian ini memiliki objek kajian yang jelas. Objek material dalam penelitian ini adalah konsep-konsep etika politik Islam dalam pemikiran Hamka. Objek formal penelitian ini adalah etika politik Islam. Kekhususan penelitian ini terletak dalam upaya untuk merumuskan konsep etika politik Islam berdasarkan karya-karya asli tulisan Hamka dan karangan lain tentang Hamka. 3. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi: a. Pengembangan filsafat, khususnya etika politik Islam; b. Pengembangan ilmu khususnya ilmu-ilmu sosial humaniora;
11
c. Pembangunan moral masyarakat dan politik negara sehingga diharapkan penelitian ini dapat menjadi acuan dalam politik berbangsa dan bernegara berdasarkan mutiara-mutiara pemikiran Hamka. B.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk: 1. Menjelaskan pengertian etika politik Islam; 2. Menganalisis konsep etika politik Islam dalam pemikiran Hamka; 3. Menjelaskan kelebihan dan kekurangan pemikiran etika politik Islam dalam pemikiran Hamka. C.
Tinjauan Pustaka
Haji Abdul Malik bin Abdul Karim Amirullah (Hamka) merupakan akronim pertama bagi orang Indonesia, hidup di dalam tradisi Minangkabau yang kebanyakan adalah beragama Islam (Tamara, dkk, 1996: 51). Pada awal abad ke19 Tanah Minang identik dengan gerakan kebangkitan Islam yang kemudian dikenal sebagai Gerakan Paderi. Gerakan ini dipelopori oleh Syeikh Taher Djamaluddin, Syeikh Muhammad Djamil Djambek, Dr. Haji Karim Amrullah (ayah Hamka) dan Haji Abdullah Ahmad. Namun, semangat gerakan ini ternyata berlawanan dengan kaum Tua khususnya dalam upaya menumpas paham bid’ah, takhayul dan khurafat. Hal ini menyebabkan posisi kaum Tua di Tanah Minang menjadi terancam (Hakim & Thalhah, 2005: 29). Di tengah ketegangan sosial inilah kemudian Hamka kecil tumbuh dan berkembang di bawah asuhan ayahnya (Dr. Haji Karim Amrullah). Di waktu
12
masih belia, Hamka kemudian pergi merantau ke Jawa untuk menuntut ilmu yang kemudian
membawanya
mengenal
tokoh-tokoh
Islam
seperti
H.O.S
Cokroaminoto, Ki Bagus Hadikusumo, dll. Tokoh-tokoh inilah yang kemudian mempengaruhi pola pikir Hamka sehingga Hamka tertarik untuk mempelajari lebih dalam orientasi Organisasi Muhammmadiyah yang tumbuh subur di Yogyakarta (Hakim & Thalhah, 2005: 30). Setelah perjalanan panjang pencarian Hamka untuk menuntut ilmu di Jawa dan bahkan pergi ke Mekkah untuk belajar dari ulama-ulama di sana, kemudian Hamka pulang ke Tanah Minang untuk berjuang di sana. Akan tetapi takdirlah yang kemudian membawa Hamka untuk menetap di Jakarta. Di masa pemerintahan Orde Lama Hamka berseberangan dengan ideologi PKI sehingga dirinya dimusuhi oleh banyak pihak. Klimaksnya adalah saat Hamka dijebloskan ke dalam tahanan selama 20 bulan. Selama masa tahanan inilah kemudian Hamka menulis Tafsir Al-Azhar yang merupakan isi kuliah subuhnya di Masjid Al-Azhar Jakarta (Hakim & Thalhah, 2005: 34). Al-Qur’an bukanlah kitab politik, namun hanya memberikan prinsip-prinsip politik secara umum. Perhatian utama Qur’an adalah memberikan petunjuk kepada manusia untuk selalu berada dalam jalan kebenaran dan kehidupan yang baik. Sebagai petunjuk manusia Al-Qur’an mengandung prinsip-prinsip etika dan moral yang diperlukan bagi manusia. Demikian juga dengan prinsip-prinsip berpolitik yang terkandung di dalam Al-Qur’an kemudian ditafsirkan oleh pemikir-pemikir Islam guna memberikan konsep-konsep politik yang ditawarkan oleh Qur’an (Sofyan, 2012: 18).
13
Sebagai seorang mufassir Hamka juga mengkaji ayat-ayat politik di dalam Tafsir Al-Azhar, selain juga dalam buku-buku lainnya seperti Keadilan Sosial dalam Islam, Falsafah Ideologi Islam, dan lain sebagainya. Konsep politik Hamka bermula dari persoalan Syura (musyawarah). Hamka menjelaskan bahwa Islam mengajak umatnya untuk mempraktikkan sistem pemerintahan yang berazaskan Tauhid dengan prinsip syura dan keadilan (Muji, 2005: 77-82). Adapun teknik di dalam menjalankannya disesuaikan dengan situasi dan kondisi umat Islam tersebut berada. Hal ini karena Rasulullah tidak menetapkan satu sistem demokrasi tertentu yang harus dijalankan oleh umat Islam. Dalam menjalankan pemerintahan yang terpenting adalah sistem yang menjamin kebebasan dan berasaskan prinsip bahwa pengangkatan kepala negara dan kebijaksanaannya harus sepersetujuan rakyat, bahwa rakyat berhak mengawasi dan meminta pertanggungjawaban dari pemerintah yang berkuasa (Sjadzali, 1990: 188). Haikal seorang pemikir politik Islam kontemporer menyebutkan bahwa ada beberapa prinsip politik Islam yang harus dijalankan. Prinsip pertama adalah Iman, yakni percaya akan keesaan Tuhan (Tauhid). Kedua, prinsip kedua adalah kepercayaan bahwa alam semesta ini termasuk kehidupan manusia tunduk kepada hukum alam atau Sunnatullah yang tidak pernah dan tidak akan berubah. Ketiga, prinsip terakhir adalah persamaan, maksudnya bahwa semua manusia memiliki derajat yang sama sehingga kebebasan beragama dan berpendapat tetap terjamin (Sjadzali, 1990: 186). Hasan Al-Banna, pemimpin utama Ikhwanul Muslimin di Mesir menetapkan ada 3 prinsip dasar dalam politik Islam. Pertama, pemerintah
14
bertanggung jawab dihadapan Tuhan dan rakyat. Pemerintah adalah pelayan bagi rakyat dan pekerja dihadapan mereka. kedua, umat atau rakyat yang (harus) bersatu dengan berlandaskan persaudaraan dan saling nasehat-menasehati. Ketiga, kehendak rakyat harus dijunjung tinggi dan dihormati dengan berhak mengawasi pemerintah. Pemerintah diharuskan bermusyawarah dengan rakyat di dalam menyelesaikan persoalan negara (Ahmad, 1977b: 107-108). Konsep Haikal dan Hasan Al-Banna yang tersebut di atas senada dengan konsep Hamka bahwa pertimbangan yang harus diambil tatkala menyelesaikan suatu perkara muamalah hendaknya menggunakan syura. Hamka lebih lanjut menegaskan bahwa syura yang harus dilakukan adalah berdasar atas maslahat (apa yang lebih baik untuk umum) dan mafsadat (apa yang membahayakan) (Hakim & Thalhah, 2005: 47-52). Di dalam Al-Qur’an Surah As-Syura (42) ayat 38, yang artinya: “dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya, dan mendirikan salat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan syura di antara mereka, dan mereka menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka.” Konsep politik Hamka yang selanjutnya adalah berkaitan dengan masalah negara dan kepala negara. Perbedaan istilah umat dan negara adalah terletak pluralitas yang ada di dalamnya. Hanya akan disebut umat jika sebuah kaum terbentuk dalam suatu kelompok masyarakat karena kesamaan keyakinan. Sedangkan negara tidak hanya dihuni oleh sebuah golongan saja namun terdiri dari banyak golongan yang saling berinteraksi dan berasimilasi. Kesamaan pandangan hiduplah kemudian yang menyatukan antar golongan tersebut untuk
15
kepentingan bersama walau berangkat dari sumber dan latar belakang yang berbeda (Hakim & Thalhah, 2005: 53). Pemimpin negara adalah kepala negara yang bertanggung jawab dalam menyelesaikan masalah kenegaraan baik yang sifatnya intern maupun ekstern. Oleh karena besarnya tanggung jawab seorang kepala negara, Hamka mensyaratkan bagi seseorang yang akan ditunjuk sebagai kepala negara. Pertama, ilmu dan kedua, tubuh (fisik yang baik walaupun tidak dikatakan sempurna). Setiap pemimpin tidak harus mengetahui semua cabang ilmu namun wajib memiliki pengetahuan dan ilmu tentang kepemimpinan. Sedangkan fisik yang baik (tidak cacat) adalah modal seorang pemimpin dalam melaksanakan pemerintahan. Tidak dianjurkan seorang pemimpin yang memiliki kecacatan sebagai kepala negara kecuali yang didapat karena pertempuran saat melaksanakan tugas (Hakim & Thalhah, 2005: 60). Hamka menegaskan bahwa seorang pemimpin atau kepala negara wajib menghindarkan diri dari hal-hal yang tidak jelas hukumnya. Seorang pemimpin dituntut untuk mampu membangun kepribadian yang teguh dan tenang terlebih di saat menyelesaikan sebuah perkara. Bahkan Hamka juga menegaskan seorang pemimpin harus berani mengambil resiko untuk kebenaran sekalipun berat konsekuensinya (Haris, 2012: 208). Nabi Muhammad SAW diutus di muka bumi tujuannya adalah menyebarluaskan syariat Agama Allah. Salah satu jalan untuk melaksanakan tugas tersebut dapat dilalui dengan jalan kekuasaan. Sekalipun Nabi Muhammad
16
tidak pernah mengusahakan kekuasaan namun, kekuasaan itu sendiri yang kemudian mendatangi Nabi sebagai konsekuensi pemimpin tertinggi umat Islam. Rasulullah datang dengan membawa satu ideologi yakni ideologi Islam. Berangkat dari asumsi tersebut, Hamka menegaskan bahwa dalam Islam tidak ada pemisahan antara negara dan agama. Keduanya harus berjalan secara harmonis dalam semua aspek yang berkaitan antara keduanya (Hakim & Thalhah, 2005: 63). D.
Landasan Teori
Objek material dalam kajian ini adalah pemikiran Hamka yang berkaitan dengan politik. Hamka sebagai seorang ulama besar yang lahir dan hidup di masa kolonial hingga Orde Baru ikut menyoroti kondisi politik Indonesia yang ada pada saat itu dan juga turut ambil bagian di dalamnya. Dalam berbagai tulisan yang dibuat olehnya merupakan gagasan Hamka dalam melaksanakan kehidupan politik yang sesuai dengan syariat Islam. Sekalipun pada akhirnya Hamka harus berurusan dengan pemerintahan karena dianggap memprovokasi jamaahnya dengan tuduhan neo-masyumi atau Hamkaisme. Puncaknya pada 27 Januari 1964, Hamka ditangkap dan dijadikan tahanan politik yang ditempatkan di salah satu tempat peristirahatan di Puncak. Pada saat menjadi tahanan politik inilah waktu Hamka dihabiskan untuk menulis tafsir Al-Azhar 30 Juz (Hakim & Thalhah, 2005: 31). Kembali pada persoalan konsep politik Hamka bahwa dalam penelitian ini ada 3 aspek yang akan dikaji sejauh bahasan etika politik Islam seputar policy,
17
polity, dan politics. Kajian etika politik secara umum tidak lepas dari masalah apa itu etika dan apa itu politik. Istilah etika mengacu kepada kajian tentang kesusilaan (moral). Kesusilaan adalah keseluruhan aturan, kaidah atau hukum yang mengambil bentuk amr (perintah) dan larangan. Kesusilaan memiliki misi untuk mengatur manusia agar tidak berbuat semaunya (Sofyan, 2012: 38). Politik secara sederhana diartikan sebagai segala usaha masyarakat untuk mengatur negara. Politik menyangkut sistem partai, sistem pembagian daerah, sistem pembagian kekuasaan dan lain sebagainya. Asal-mula istilah politik berasal dari kata polis yang berarti “Negara Kota”. Maksudnya, segala aktivitas polis untuk kelestarian dan keberlanjutan makna polis disebut “politike techne” (politika). Hakikat polis dapat diartikan sebagai seni pemerintahan (Efriza, 2008: 12). Kajian etika politik secara umum bermula dari filsafat politik, karena keduanya memiliki keterkaitan yang sangat erat. Alan Brown menyebutkan bahwa persoalan filsafat politik berangkat dari pertanyaan “Apa cara terbaik atau yang benar bagi manusia untuk hidup bersama?” filsafat politik terkait juga dengan persoalan “Bagaimana seharusnya masyarakat diorganisir?” (Zubaidi, 2015: 26) Berangkat dari pertanyaan tersebut dapat diketahui bahwa sebenarnya etika politik merupakan landasan atau titik tolak kajian filsafat politik. Frans Magniz Suseno kemudian mengartikan bahwa etika politik adalah filsafat moral tentang dimensi politik kehidupan manusia (Suseno, 1988: 8).
18
Kedudukan filsafat dalam kajian etika politik Islam bukan diartikan sebagai suatu kebijaksanaan hidup, sikap hati, sistem nilai, pandangan dunia yang bersifat imajiner tetapi dalam arti ilmiah yang berciri akademis dan bersumber dari realitas (Sofyan, 2012: 62). Etika politik Islam memberikan acuan dan norma penilaian mutu politik dan penyelenggaraan negara dengan tolok ukur martabat manusia.
Kemudian
etika
politik
Islam
juga
membantu
dalam
mengimplementasikan sistem moral atau ideologi yang dianut oleh suatu negara ke dalam realitas politik. Implementasi etika politik Islam bagi umat Islam sendiri merupakan keharusan yang wajib dilaksanakan dalam semua sendi kehidupan perpolitikan. Kajian etika politik Islam tidak semata-mata untuk kepentingan pengembangan ilmu atau kritik ideologi saja, tetapi aturan hidup yang harus dilaksanakan (Sofyan, 2012: 50-51). Paul Ricoeur menyebutkan bahwa pada perkembangan selanjutnya tujuan etika politik adalah mengarahkan ke hidup baik, bersama dan untuk orang lain, dalam rangka memperluas lingkup kebebasan dan membangun institusi-institusi yang adil (Haryatmoko, 2003: 204). Setelah memaparkan sedikit istilah etika politik Islam, kemudian muncul pertanyaan perbedaan kajian etika politik Islam dan ilmu politik. Menurut J. Barents ilmu politik adalah “ilmu yang mempelajari kehidupan negara … yang merupakan bagian dari kehidupam masyarakat: ilmu politik mempelajari bagaimana negara melakukan tugasnya”. Lebih lengkap, Wilbur White menjelaskan bahwa ilmu politik adalah ilmu pengetahuan tentang bentuk, susunan, dan proses dari suatu negara dan pemerintahan (Efriza, 2008: 7).
19
Sedangkan Hoogerwerf mengartikan ilmu politik sebagai ilmu tentang kebijakan pemerintah. Kebijakan di sini maksudnya adalah usaha membangun masyarakat secara terarah melaui pemakaian kekuasaan (efriza, 2008: 10). Harold Lasswell seorang pakar politik modern mendefinisikan ilmu politik sebagai disiplin empiris (yakni) pengkajian tentang pembentukan dan pembagian kekuasaan serta tindakan politik seperti yang ditampilkan seseorang dalam perspektif-perspektif kekuasaan (Dhal, 1994: 3). Zainal Abidin Ahmad dalam bukunya “Ilmu Politik Islam” membagi kajian ilmu politik kedalam dua golongan besar. Pertama, ilmu politik yang bersifat praktis. Artinya, ilmu politik merupakan ilmu tentang kepandaian dan kebijaksanaan dalam memerintah. Kedua, ilmu politik teoretis, menyelidiki segala macam teori mengenai soal-soal kenegaraan dengan semua bagiannya. Kedua definisi tersebut memang terkesan sama dalam hal objeknya, namun perbedaannya terletak di dalam cara pembahasannya. Kalau ilmu politik praktis mendasarkan kepada kenyataan dalam pemerintahan harus dijalankan dengan kepandaian, sedangkan ilmu politik teoretis adalah kajian ilmu politik praktis secara ilmiah (Ahmad, 1977a: 52-54). Masih banyak tokoh lain yang mendefinisikan ilmu politik dari sudut pandang dan pertimbangan masing-masing. Akan tetapi dari beberapa pengertian ilmu politik tersebut di atas sudah cukup untuk diketahui bahwa sekalipun etika politik Islam dan ilmu politik memiliki objek material yang sama, namun sudut pandang dan tujuannya berbeda. Etika politik Islam mengarahkan kajiannya dalam lingkup pemikiran dan tindakan politik dalam perpektif filsafat moral.
20
Sedangkan, ilmu politik lebih kepada konsep-konsep teoretis terkait tindakan dan kebijakan politik. Keterangan di atas akan sangat membantu dalam mengkaji etika politik Islam dalam pemikiran Hamka sesuai sumber aslinya. Semua aspek yang termasuk dalam kajian etika politik Islam dalam pemikiran Hamka akan dijabarkan sedetail mungkin sehingga dapat dijabarkan dengan baik. Pada akhirnya penelitian ini dapat digolongkan ke dalam kajian etika politik Islam dalam pemikiran Hamka. E.
Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian Jenis penelitian ini adalah library research yang termasuk model penelitian historis faktual mengenai tokoh. Model penelitian historis faktual tokoh merupakan kajian tentang pemikiran suatu tokoh dalam suatu naskah atau buku. Konsep-konsep di dalam naskah atau buku tersebut dikaji sejauh sebagai suatu naskah filsafat (Bakker & Zubair, 1996: 67). Tokoh yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah Hamka. 2. Bahan Penelitian Bahan atau sumber materi penelitian ini diperoleh dari berbagai literatur yang terdiri dari buku, jurnal, penelitian yang dipublikasikan dan yang tidak dipublikasikan. Bahan penelitian tersebut dikumpulkan dari berbagai sumber yang relevan sehingga kajian ini terarah secara sistematis dan komprehensif. Bahan
21
penelitian ini diklasifikasikan menjadi dua yakni bahan data primer dan bahan data sekunder. a. Bahan data primer Bahan data primer merupakan bahan atau materi penelitian yang menjadi acuan utama dalam penelitian ini. Berikut beberapa bahan data primer yakni: 1) Hamka, 2015, Falsafah Hidup, Republika, Jakarta. 2) Hamka, 2015, Lembaga Hidup, Republika, Jakarta. 3) Hamka, 2015, Lembaga Budi, Republika, Jakarta. 4) Hamka, 1951, Keadilan Sosial dalam Islam, Widjaya, Djakarta. 5) Tafsir Al-Azhar. b. Bahan data sekunder Kajian ini juga memanfaatkan sumber data sekunder lainnya sebagai tambahan dan pendukung penelitian ini. Bahan data sekunder terdiri dari buku, artikel-artikel, jurnal penelitian dan lain sebagainya yang berhubungan dengan tema dan kajian penelitian ini. 3. Jalan Penelitian Penelitian ini dilakukan atas beberapa tahapan sebagai berikut: a. Tahap persiapan yakni diawali dengan mengumpulkan sebanyak mungkin sumber-sumber pustaka yang relevan dengan tema dan judul penelitian ini sebagai sumber data penelitian. Langkah selanjutnya adalah menganalisa
22
dan mengelompokkan data-data tersebut berdasarkan kesesuaian dengan objek material dan objek formal; b. Tahap
pengolahan
data
yakni
mengolah
data-data
yang
telah
dikelompokkan pada tahap pertama untuk dideskripsikan secara sistematis dan dianalisa secara kritis dan mendalam; c. Tahap penyusunan laporan penelitian, yaitu menyusun data dan analisis yang telah dilakukan ke dalam bentuk laporan penelitian. d. Tahap akhir adalah editing dan penyuntingan laporan hasil penelitian. 4. Analisis Data Dalam menganalisis dan mengolah data kepustakaan yang telah didapatkan, peneliti menggunakan beberapa metode analisis data sebagaimana berikut: a. Deskripsi yakni menyajikan sejarah hidup Hamka dan pemikiran politik Hamka secara sistematis; b. Verstehen yaitu pemahaman yang mendalam terkait konsep Hamka yang berkaitan dengan politik; c. Intepretasi yakni proses menafsirkan konsep-konsep dan pemikiran Hamka yang terkait etika politik Islam secara mendalam; d. Komparatif yaitu mempertemukan antara pemikiran etika politik Islam dalam pemikiran Hamka dengan pendapat-pendapat tokoh politik Islam; e. Kesinambungan historis, pertama, menarik hubungan historis latar belakang Hamka dengan konsep etika politik Islam-nya. Kedua, menjelaskan bahwa konsep etika politik Islam dalam pemikiran Hamka
23
sangat relevan jika dikaitkan dan diaplikasikan dalam praktik politik Indonesia saat ini. 5.
Hasil yang Dicapai Hasil yang dicapai dalam penelitian ini adalah: a. Memperoleh pengetahuan etika politik Islam; b. Memperoleh pemahaman terkait konsep etika politik Islam dalam pemikiran Hamka; c. Memperoleh pandangan reflektif dan kritis kelebihan dan kekurangan konsep etika politik Islam dalam pemikiran Hamka.
6.
Sistematika Penelitian Sistematika penelitian yang berjudul, “Etika Politik Islam dalam Pemikiran
Hamka” ini terdiri dari lima bab sebagaimana berikut: Bab I adalah pendahuluan yang mencakup butir-butir sub-bab proposal skripsi. Bab ini meliputi uraian tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan, manfaat, keaslisan penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori dan metode penelitian. Bab II membahas masalah etika politik Islam yang menjadi objek formal dalam kajian ini. Dalam bab ini akan diuraikan tentang ruang lingkup etika politik Islam dan pendekatan kajian etika politik Islam. Bab III memaparkan biodata dan profil kehidupan Hamka. Bab ini meliputi riwayat hidup, karya dan tokoh-tokoh yang mempengaruhi pemikiran Hamka.
24
Ban IV berisi pembahasan tentang konsep etika politik Islam Hamka. Bab ini akan membahas tema-tema pokok etika politik Islam Hamka yang terkait politics, policy, polity dalam pemikiran Hamka. Dalam bab ini juga dilengkapi dengan kajian analisis kelebihan dan kekurangan serta kontribusi pemikiran etika politik Islam Hamka terhadap kondisi politik di Indonesia. Bab V merupakan penutup yang berisi kesimpulan dan saran.