BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Program pembangunan kesehatan nasional mencakup lima aspek pelayanan yaitu bidang promosi kesehatan, kesehatan lingkungan, kesehatan ibu dan anak, termasuk keluarga berencana, pemberantasan penyakit menular dan pengobatan. Pada era Jaminan Kesehatan Nasional saat ini pembangunan kesehatan dibidang obat, antara lain bertujuan untuk menjamin tersedianya obat dengan jenis dan jumlah yang tepat sesuai kebutuhan, dengan mutu yang terjamin dan tersebar secara merata dan teratur sehingga mudah diperoleh pada tempat dan waktu yang tepat, serta digunakan secara rasional (Departemen Kesehatan, 2006). Pemerintah
berkewajiban
menyediakan
fasilitas
kesehatan
seperti
puskesmas yang tersebar di seluruh Indonesia. Puskesmas merupakan unit pelaksana tingkat pertama serta ujung tombak dari pembangunan kesehatan di Indonesia yang secara teknis bertanggung jawab menyelenggarakan programprogram kesehatan di wilayah kerjanya termasuk dalam hal menjamin ketersediaan obat maupun alat kesehatan. Salah satu aspek pelayanan kesehatan dalam mewujudkan program pembangunan kesehatan nasional adalah pemberantasan penyakit menular. Penyakit menular yang masih menjadi masalah dunia termasuk Indonesia adalah infeksi tuberkulosis. Indonesia menduduki peringkat ketiga di antara 22 negara di dunia yang memiliki beban penyakit tuberkulosis tertinggi. Menurut Global
Tuberculosis Control Report 2009 WHO, diperkirakan terdapat 528,063 kasus baru infeksi tuberkulosis. Perkiraan angka insidensi tuberkulosis 228 kasus baru per 100,000 populasi (WHO, 2009a). Pada tahun 2006 WHO menetapkan strategi baru untuk menghentikan infeksi tuberkulosis yang disebut dengan strategi DOTS (Directly Observed Treatment Short-course). Strategi ini memiliki tujuan untuk mengintensifkan penanggulangan tuberkulosis, menjangkau semua pasien, dan memastikan tercapainya target Millennium Development Goals (MDGs) pada tahun 2015. Millennium Development Goals atau tujuan pembangunan millenium merupakan deklarasi yang dikeluarkan oleh PBB berdasarkan pendekatan yang inklusif, dan berpijak pada perhatian bagi pemenuhan hak-hak dasar manusia. MDGs (Millennium Development Goals) memiliki 8 tujuan, salah satunya adalah memerangi HIV/AIDS, Malaria, TBC dan Penyakit Menular lainnya dengan target mengendalikan penyebaran penyakit tersebut dan menurunkan jumlah kasus baru pada tahun 2015, dengan indikator untuk tuberkulosis yaitu prevalensi tuberkulosis dan angka kematian tuberkulosis dengan sebab apapun selama pengobatan, angka penemuan penderita baru tuberkulosis BTA positif dan angka kesembuhan penderita tuberkulosis. Strategi DOTS (Directly Observed Treatment Short-course) terdiri atas lima komponen utama yaitu (1) Komitmen politis yang berkesinambungan; (2) Akses terhadap pemeriksaan mikroskopis dahak yang berkualitas; (3) Kemoterapi standar jangka pendek untuk semua kasus TB dengan manajemen kasus yang tepat, termasuk pengawasan langsung pengobatan; (4) Keteraturan penyediaan
obat yang dijamin kualitasnya; (5) Sistem pencatatan dan pelaporan yang memungkinkan penilaian hasil pada semua pasien dan penilaian kinerja keseluruhan program. Penjabaran dari DOTS itu sendiri adalah Pusatkan (Directly attention) pada identifikasi Bakteri Tahan Asam (BTA) positif, Observasi (Observe) langsung pasien, lakukan pengobatan (Treatment) dengan regimen obat, dan OAT jangka pendek (Short Course) melalui pengelolaan, distribusi dan penyediaan obat yang baik. Keberhasilan strategi DOTS di Indonesia menempatkan Indonesia pada tahun 2009 menduduki peringkat kelima setelah India, Cina, Afrika Selatan, dan Nigeria yang sebelumnya menduduki peringkat ketiga setelah India dan Cina dengan jumlah kasus TB (Tuberculosis) terbanyak di dunia berdasarkan survei dari Global Tuberculosis Control. Implementasi strategi DOTS di Indonesia difokuskan pada Puskesmas karena Puskesmas merupakan ujung tombak program penanggulangan TB (Departemen Kesehatan, 2010). Sesuai dengan tujuan khusus dalam roadmap stop TB strategi Nasional yang menegaskan bahwa pengendalian logistik OAT (Obat Antituberkulosis) dari pusat sampai ke UPK harus bisa dilaksanakan oleh puskesmas yang bertanggung jawab terhadap kesehatan masyarakat. Strategi DOTS (Directly Observed Treatment Short-course) akan mencapai sasaran dan target apabila didukung oleh ketersediaan logistik yang cukup baik mulai dari jenis dan jumlah obat antituberkulosis dengan kualitas yang terjamin. Logistik dalam program pengendalian TB terdiri dari dua kelompok besar yaitu obat antituberkulosis (OAT) dan Non OAT (WHO, 2009b, hal. 200).
Lima provinsi di Indonesia yang terbanyak mengobati tuberkulosis dengan obat program yaitu DKI Jakarta (68,9%), Yogyakarta (67,3%), Jawa Barat (56,2%), Sulawesi Barat (54,2%) dan Jawa Tengah (50,4%). Ditemukan cakupan semua kasus tuberkulosis paru di daerah Jawa Tengah mencapai 39.238 penderita (Dinkes Provinsi Jateng, 2011). Penyakit tuberkulosis setiap tahunnya selalu menempati 3 besar dari sepuluh besar penyakit yang ada di BBKPM Surakarta. Prevalensi TB paru di BBKPM Surakarta sebesar 15%. Jumlah pasien tiap tahun meningkat sejak tahun tahun 2010, pada tahun 2010 jumlah pasien di BBKPM 108 orang, pada tahun 2011 jumlah pasien 130 orang, dan pada tahun 2012 jumlah pasien meningkat menjadi 165 orang 2012 (Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat Surakarta, 2012). Penemuan penderita TB paru di Surakarta mencapai 3.697 kasus pada tahun 2012 (Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat Surakarta, 2012). Penemuan kasus Tuberkulosis di Surakarta cukup tinggi yaitu sekitar 90%, melebihi target nasional 70% (Departemen Kesehatan, 2014). Tingginya angka penemuan kasus tuberkulosis di kota Surakarta menjadi alasan penunjukan Kota Surakarta sebagai Pilot Project PMDT (Programmed Management on Drug-resistant TB). Program PMDT tersebut dibagi menjadi dua Unit Pelayanan Kesehatan, yaitu UPK Satelit 1 berfungsi menemukan kasus dugaan MDR dan pelacakan pasien, dan Satelit 2 untuk melanjutkan pengobatan pasien Tuberkulosis MDR setelah didiagnosa oleh RS Rujukan dr.Moewardi (Netra, 2011).
Pada Panduan Pengelolaan Logistik OAT tertuliskan "No OAT, No Program", hal ini menggambarkan bahwa ketersediaan OAT menjadi faktor utama dalam meningkatkan keberhasilan program pengendalian TB (Departemen Kesehatan, 2010). OAT sendiri merupakan salah satu obat program yang pengadaannya
dilakukan
oleh
pemerintah
pusat,
yang kemudian
akan
didistribusikan ke tingkat provinsi dan daerah. Sehingga untuk menjamin ketersediaan
OAT,
pada
pelaksanaannya
logistiknya,
tergantung
pada
perencanaan kebutuhan yang dilakukan oleh dinas kesehatan kabupaten/kota (Departemen Kesehatan, 2010). Pengelolaan logistik OAT meliputi: tahap perencanaan, permintaan obat ke pusat, penyimpanan, pendistribusian dan penggunaan obat, dengan tujuan untuk menjamin kelangsungan ketersediaan dan keterjangkauan obat OAT dan non OAT secara efektif dan rasional (Mentri Kesehatan, 2014). Berdasarkan
uraian
masalah
diatas
maka
sebagai
upaya
untuk
meningkatkan ketersediaan obat antituberkulosis yang bermutu, maka perlu dilakukan penelitian tentang evaluasi pengelolaan obat antituberkulosis di Dinas Kesehata Kota Surakarta.