1
BAB I PENDAHULUAN A.
Latar Belakang Penelitian Pada saat ini, era reformasi memberikan peluang bagi perubahan
paradigma pembangunan nasional dari paradigma pertumbuhan menuju paradigma pemerataan pembangunan secara lebih adil dan berimbang. Perubahan paradigma ini antara lain diwujudkan melalui diberlakukannya otonomi daerah dan perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diatur dalam satu paket undang-undang yaitu Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah dan Undang-Undang No. 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (Mardiasmo, 2002). Lahirnya Kebijakan pemberian otonomi daerah yang berlaku efektif mulai 1 Januari 2001 diberikan kepada daerah dengan memberikan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab kepada pemerintah daerah secara proposional agar tidak terjadi ketimpangan pembangunan antar wilayah. Pemberian otonomi daerah ini akan sangat mempengaruhi proses pembangunan ekonomi dikarenakan kebijakan-kebijakan yang dapat berpengaruh pada kemajuan pertumbuhan ekonomi daerahnya melalui rancangan keuangan pemerintah daerah tersebut. Implikasi dari adanya pemberian kewenangan ini menuntut kesiapan daerah dalam hal pelaksanaannya. Oleh karena itu, menurut Rizkiano (2011) ada beberapa aspek yang harus di persiapkan, antara lain sumber daya manusia, sumber daya keuangan, sarana dan prasarana daerah.
2
Dalam mengisi dan melaksanakan pembangunan, masalah keuangan merupakan masalah pokok pemerintah, dalam rangka penerimaan dan pengeluaran yang harus dilakukan oleh pemerintah demi kesejahteraan masyarakat (Rizkiano 2011). Adanya desentralisasi keuangan merupakan konsekuensi dari adanya kewenangan untuk mengelola keuangan secara mandiri. Apabila Pemerintah Daerah melaksanakan fungsinya secara efektif dan mendapat kebebasan dalam pengambilan keputusan pengeluaran disektor publik maka mereka harus mendapat dukungan sumber-sumber keuangan yang berasal dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Perimbangan, Pinjaman Daerah, dan lainlain dari pendapatan yang sah (Halim dalam Hastuti, 2011). Dengan demikian diharapkan proses pembangunan daerah secara keseluruhan akan dapat ditingkatkan dan secara bersamaan ketimpangan pembangunan antar wilayah akan pula dapat dikurangi (Fadilah, 2012). Salah satu faktor agar dapat mengetahui secara nyata kemampuan keuangan daerah adalah melalui kemampuan daerah dalam aspek keuangannya. Aspek keuangan ini dapat dilihat dari sumber-sumber keuangan yang sangat berkaitan dengan pengelolaan sumber daya yang dimiliki daerah, yang meliputi sumber daya manusia, sumber daya alam, sumber ilmu pengetahuan dan teknologi, sumber budaya, dan sumber daya modal. Oleh karena itu prioritas pembangunan daerah harus sesuai dengan potensi yang dimilikinya, sehingga akan terlihat peranan dari sektor-sektor potensial terhadap pertumbuhan
3
perekonomian daerah, sebagaimana yang diperlihatkan pada perkembangan PDRB dan sektor-sektornya. Rizkiano (2011) mengemukakan bahwa Kemampuan keuangan suatu daerah dapat dilihat dari besar kecilnya Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang diperoleh daerah yang bersangkutan. Dalam kaitannya dengan pemberian otonomi daerah yang lebih besar kepada daerah. PAD selalu dipandang sebagai salah satu indikator atau kriteria untuk mengukur ketergantungan suatu daerah kepada pusat. Pada prinsipnya semakin besar sumbangan PAD kepada APBD maka akan menunjukkan semakin kecil ketergantungan daerah kepada pusat sebagai konsekuensi pelaksanaan otonomi daerah dari prinsip secara nyata dan bertanggung jawab. Permasalahan kemudian yang timbul adalah pemerintah daerah terlalu menggantungkan transfer pemerintah untuk membiayai belanja daerah tanpa mengoptimalkan potensi yang dimiliki oleh daerah. Di saat transfer DAU yang diperoleh besar, maka pemerintah daerah berusaha agar pada periode berikutnya DAU yang diperoleh tetap besar. Padahal daerah diharapkan mampu mengalokasikan sumber dana ini pada sektor-sektor produktif sehingga dapat mendorong peningkatan investasi di daerah dan meningkatkan respon pemerintah kepada masyarakat dan meningkatkan kuantitas dan kualitas layanan yang disediakan seperti tujuan dari desentralisasi itu sendiri. Yang kemudian memunculkan efek dalam peningkatan kontribusi publik terhadap PAD seperti dalam bentuk pajak yang juga meningkatnya kapasitas fiskal daerah, sehingga
4
tanggungan pemerintah untuk memberikan DAU bisa lebih dikurangi. Dengan arti lain pemberian DAU yang seharusnya menjadi pendorong peningkatan kemandirian daerah, justru direspon berbeda oleh daerah. Daerah tidak lebih mandiri, malah semakin bergantung pada pemerintah pusat (Kurnia, 2013). Hal yang sama juga di benarkan oleh Hastuti (2011) yang mengungkapkan tujuan utama implementasi transfer yang dilakukan oleh pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah adalah untuk merubah dari eksternalisasi fiskal menjadi internalisasi, perbaikan sistem perpajakan, koreksi ketidakefisienan fiskal, dan pemerataan fiskal antardaerah (Oates, 1999). Sayangnya, alokasi transfer di negara-negara sedang berkembang pada umumnya lebih banyak didasarkan pada aspek belanja tetapi kurang memperhatikan kemampuan pengumpulan pajak lokal (Naganathan dan Sivagnanam, 1999). Akibatnya, dari tahun ke tahun pemerintah daerah selalu menuntut transfer yang lebih besar lagi dari pusat (Shah, 1994), bukannya mengeksplorasi basis pajak lokal secara lebih optimal (Oates, 1999). Keadaan tersebut juga ditemui pada kasus pemerintah daerah kota dan kabupaten di Indonesia. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa keberhasilan otonomi daerah tidak terlepas dari kemampuan suatu daerah dalam bidang keuangan. Aspek keuangan merupakan salah satu dasar kriteria untuk dapat mengetahui secara nyata kemampuan daerah dalam mengurus rumah tangganya sendiri. Kemampuan daerah yang dimaksud adalah sampai sejauh mana daerah dapat menggali sumbersumber keuangan sendiri guna membiayai kebutuhan keuangan daerahnya tanpa
5
harus menggantungkan diri pada bantuan dana dari pemerintah pusat/pemerintah daerah yang lebih tinggi (Prihatningsih, 2010). Untuk itu, peranan data keuangan daerah sangat dibutuhkan guna mengidentifikasi sumber-sumber pembiayaan daerah serta jenis dan besar belanja yang harus dikeluarkan agar perencanaan keuangan dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien. Data keuangan daerah yang memberikan gambaran statisitik perkembangan anggaran dan realisasi, baik penerimaan maupun pengeluaran dan analisa terhadapnya merupakan informasi yang penting terutama untuk membuat kebijakan dalam pengelolaan keuangan daerah dan melihat kemampuan atau tingkat kemandirian daerah (Prihatningsih, 2010). Dalam hal ini, pertimbangan ekonomi menjadi sangat penting sebagai pijakan dalam sistem birokrasi, karena tujuan ekonomi sangat mewarnai dalam aspek organisasi di dalam otonomi daerah. Di sini birokrasi dituntut untuk dapat menggerakkan dan mendorong pertumbuhan ekonomi serta pemberdayaan otonomi dan ekonomi, khusunya ekonomi rakyat. Dengan demikian birokrasi harus efektif dan efesien sehingga mampu membawa daerahnya memiliki daya saing yang tinggi. Pada Gambar 1.1 menggambaran tingkat pertumbuhan total Pendapatan Daerah beserta komponen utamanya yaitu PAD dan Dana Perimbangan. Dapat di lihat bahwa secara agregat pendapatan seluruh daerah per provinsi pada rata-rata pertumbuhan total Pendapatan Daerah yang tertinggi adalah di Provinsi Banten (21,4%), lalu diikuti oleh Provinsi DKI Jakarta (19,5%) dan Provinsi Sumatera
6
Utara (19,4%). Sedangkan rata-rata pertumbuhan Pendapatan Daerah yang terendah adalah di Provinsi Papua Barat (11,1%), Provinsi Kalimantan Tengah (11,4%), dan Provinsi Sulawesi Utara (11,6%).
Sumber: DJPK 2013 (Diolah) GAMBAR 1.1 RATA-RATA PERTUMBUHAN (2009 – 2013) PENDAPATAN DAERAH PER AGREGAT PROVINSI, KABUPATEN DAN KOTA
Bila dilihat berdasarkan rata-rata pertumbuhan PAD per tahunnya yang tertinggi adalah terdapat di Provinsi Kalimantan Timur sebesar 30,7%, lalu diikuti oleh Provinsi Lampung yaitu sebesar 29,5%, dan Provinsi Kalimantan Selatan yaitu sebesar 29,4%. Sedangkan rata-rata pertumbuhan PAD yang terendah yaitu di bawah 11% terdapat di Provinsi Sulawesi Tenggara yaitu di kisaran 2,0%, Provinsi Bengkulu sebesar 7,0%, Provinsi Aceh sebesar 10,9%.
7
Di sisi lain rata-rata pertumbuhan dana perimbangan dari tahun 2009 hingga 2013 cenderung tidak terlalu tajam fluktuasinya antar provinsi yaitu di kisaran 9,0% hingga 16,0%, dengan pengecualian Provinsi DKI Jakarta dengan rata-rata pertumbuhan dana perimbangan -0,4%. Sedangkan pada Gambar 1.2 digambarkan potret rasio PAD dengan dana transfer terhadap pendapatan seluruh pemda yang dikelompokkan per provinsi.
Sumber: DJPK 2013 (Diolah) GAMBAR 1.2 RASIO KETERGANTUNGAN AGREGAT PROVINSI, KABUPATEN DAN KOTA
Secara agregat (provinsi, kabupaten, dan kota), rata-rata rasio PAD terhadap pendapatan sebesar 17% dan rata-rata rasio Dana Transfer terhadap Pendapatan sebesar 82%. Hal ini menunjukkan bahwa transfer pemerintahan memiliki porsi yang besar terhadap pendapatan daerah khususnya pada Kabupaten/Kota.
8
Alokasi transfer (DAU) yang diberikan pemerintah pusat kepada pemerintah
daerah
kurang
memperhatikan
kemampuan
daerah
dalam
mengoptimalkan sumber-sumber pendanaannya. Akibatnya, pemerintah daerah akan selalu menuntut transfer yang besar dari pemerintah pusat, bukannya memaksimalkan kapasitas fiskal daerah (potensi fiskal). Ketergantungan ini akan menimbulkan rendahnya peran daerah itu sendiri dalam mendanai belanja daerah serta semakin dominannya peran transfer dari pusat, dalam hal ini adalah Dana Alokasi Umum (DAU). Fenomena tersebut di dalam banyak literatur disebut sebagai flypaper effect (Tampubolon, 2011). Sedangkan, menurut Afrizawati (2012) Flypaper Effect itu sendiri merupakan respon yang tidak simetri atau asimetris terhadap peningkatan dan penurunan penggunaan dana transfer dari pemerintah pusat, dimana Tresch (2002:920) menyatakan bahwa dana transfer tersebut diberikan untuk jangka waktu tertentu dengan indikasi adanya pihak yang memperoleh keuntungan dari penerimaan transfer (grants) yang cenderung meningkat. Dengan kata lain penemuan flypaper effect pada alokasi pengeluaran, maka diharapkan pemerintah dapat seminimum mungkin memperkecil respon yang berlebihan pada belanja daerah. Penelitian ini mengacu pada penelitian yang telah dilakukan oleh Pramela Augustina Siagian yaitu “Flypaper effect pada Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Dana
Alokasi
Umum
(DAU)
terhadap
Belanja
Daerah
Pemerintahan
Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara” yang mengambil penelitian secara
9
runtun, mencakup periode penelitian dari tahun 2004 hingga 2006. Sedangkan penelitian sekarang menggunakan periode tahun 2010 hingga 2014 dengan sempel Kota dan Kabupaten di Provinsi Banten, relatif lebih luas daripada peneliti terdahulunya. Provinsi Banten adalah salah satu provinsi di pulau jawa, Indonesia. Dahulu wilayah banten (Cilegon, Tangerang, Serang, Pandeglang dan Lebak) merupakan bagian dari Provinsi Jawa Barat, namun dengan adanya pemekaran daerah maka sejak tanggal 4 Oktober 2003 Banten resmi menjadi sebuah Provinsi dengan Ibukota Serang, berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tantang pembentukam Provinsi Banten dengan wilayah meliputi Kabupaten Lebak, Kabupaten Pandeglang, Kabupaten Serang, Kabupaten Tangerang, Kota Tangerang, Kota Cilegon dan beribukotakan Serang. Sebagai Provinsi yang relatif masih sangat muda, Provinsi Banten akan menghadapi berbagai tantangan, ketertinggalan, dan permasalahan. Namun demikian, Provinsi Banten memiliki potensi yang dapat di daya gunakan dan dimanfaatkan secara optimal untuk dijadikan modal dalam mengatasi berbagai tantangan, ketertinggalan dan setiap permasalahan yang timbul, dikarenakan Provinsi Banten memiliki kekayaan dan keanekaragaman sumber daya alam, antara lain keberadaan hutan produksi yang terus mengalami peningkatan, disamping itu, sumber daya lahan pertanian, perkebunan dan budidaya palawija, hortikultura, sayuran dan buah-buahan yang masih terus dikembangkan.
10
Berbagai kondisi karakteristik ekonomi, geografis dan demografis yang bervariatif ini merupakan potensi yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber pendapatan daerah untuk dapat dikelola lebih maksimal dan dapat meningkatkan PAD-nya. Hal ini terbukti Provinsi Banten masuk dalam PAD tertinggi ke empat dalam APBD 2013 di Pemerintahan Republik Indonesia yaitu sebesar 62,6% setelah DKI sebesar 64,2%, kemudian Jawa Timur sebesar 63% dan Kalimantan Selatan sebesar 62,6%. Seharusnya Provinsi Banten dapat menjadi daerah yang mandiri tanpa perlu meminta dana dari pusat dalam jumlah besar untuk mendanai Belanja Daerahnya. Oleh karena itu peneliti tertarik untuk mempelajari lebih jauh apakah terjadi pengaruh dana alokasi umum (DAU) yang berlebih dan pendapatan asli daerah (PAD) terhadap belanja daerah (flypaper effect) pada pemerintahan kabupaten/kota provinsi Banten. Berdasarkan uraian diatas, Skripsi ini mengambil judul : “Analisis Pengaruh Dana Alokasi Umum (DAU) Yang Berlebih Dan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Terhadap Belanja Daerah (Flypaper Effect) Pada Pemerintahan Kabupaten/Kota Provinsi Banten periode 2010 – 2014”
B.
Rumusan Masalah Penelitian Berdasarkan latar belakang tersebut diatas, maka penulis merumuskan
masalah sebagai berikut : 1)
Apakah PAD berpengaruh terhadap Belanja Daerah Pemerintahan Kabupaten/Kota di Provinsi Banten ?
11
2)
Apakah DAU berpengaruh terhadap Belanja Daerah Pemerintahan Kabupaten/Kota di Provinsi Banten ?
3)
Apakah terjadi flypaper effect terhadap Belanja Daerah Pemerintahan Kabupaten/Kota di Provinsi Banten ?
C.
Tujuan dan Kontribusi Penelitian
1.
Tujuan Penelitian Dalam melakukan penelitian ini tujuan yang diharapkan oleh penulis
adalah: 1)
Untuk menganalisis pengaruh signifikan PAD terhadap Belanja Daerah Pemerintahan Kabupaten/Kota di Provinsi Banten.
2)
Untuk menganalisis pengaruh signifikkan DAU terhadap Belanja Daerah Pemerintahan Kabupaten/Kota di Provinsi Banten.
3)
Untuk menganalisis kemungkinan terjadinya flypaper effect terhadap Belanja Daerah Pemerintahan Kabupaten/Kota di Provinsi Banten.
2.
Kontribusi Penelitan Adapun penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk
berbagai pihak yang berkepentingan. Kontribusi dalam penelitan ini berupa : 1)
Kontribusi praktik Aspek teoritis hasil kajian ini diharapakan dapat memperluas pengetahuan dan memberikan sumbangan empiris yang dapat diterapkan dalam praktik nyata atau dapat digunakan untuk memperbaiki praktik yang ada dengan lebih baik.
12
2)
Kontribusi kebijakan Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi regulator terutama pemerintah daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, dalam mengambil kebijakan menyangkut keuangan daerah serta kinerja ekonomi yang
dapat
memberikan
kemajuan
pembangunan
daerah,
yang
mendasarkan pada pengembangan ekonomi lokal dan infrastruktur sebagai modal untuk dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi.