1
BAB I. PENDAHULUAN A.
Latar Belakang Penelitian
Infeksi virus dengue (DENV) merupakan masalah kesehatan utama di dunia. Selama lebih dari tiga dekade terdapat peningkatan jumlah kasus infeksi dengue. Infeksi dengue dapat ditemukan pada daerah tropis dan sub tropis, terutama di area urban dan semi urban. Penyakit ini disebabkan oleh virus famili Flaviviridae yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes atau Stegomyia (WHO, 2011). Diperkirakan 2,5 milyar penduduk tinggal di negara endemik demam berdarah (WHO, 2009). Sejak tahun 2000, epidemik dengue telah menyebar ke beberapa area baru. Pada tahun 2003, untuk wilayah A sia dilaporkan bahwa epidemik dengue terjadi di Bangladesh, India, Indonesia, M aldives, M yanmar, Srilanka, Thailand, dan Timor Leste. Pada tahun 2004 outbreak dengue pertama kali terjadi di Bhutan. Pada tahun 2005, WHO’s G lobal Outbreak Alert and Response Network (GOARN) melaporkan adanya outbreak dengue di Timor Leste dengan case-fatality rate (CFR) 3.65%. Pada bulan November 2006, kasus dengue ditemukan pertama kali di Nepal (WH O, 2010). Setiap tahun terdapat sekitar 100 juta kasus infeksi dengue, 500.000 kasus merupakan Demam Bedarah Dengue (DBD). Sembilan puluh persen penderita DBD adalah anak-anak di bawah usia 15 tahun. Deteksi awal dan pemberian terapi secara tepat dapat menurunkan morbiditas dan mortalitas akibat penyakit ini (M alavige et al,. 2004).
2
Data dari Ditjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kementrian Kesehatan Republik Indonesia tahun 2012 menunjukkan bahwa Incidence Rate (IR) demam dengue per 100 ribu penduduk masih cukup tinggi. Pada tahun 2010 IR mencapai 65,7, tahun 2011 mencapai 27,67 , dan tahun 2012 mencapai 31,18, sedangkan Case Fatality Rate (CFR) dari tahun 2010 sampai dengan 2012 beruturut-turut adalah 0,87; 0,91; dan 0,83 (Kemenkes RI, 2012). Berdasarkan survei yang dilakukan di 19 kota yang mewakili Sumatra, Batam, Kalimantan, Sulawesi, Papua, Jawa, Bali, dan Lombok dari tahun 2003 sampai dengan 2005, menunjukkan bahwa DEN -2 merupakan serotipe yang terbanyak (65%), kemudian disusul DEN -3 (15%), DEN-4 (12%), dan D EN-1 (8%) (Aryati, 2006), sedangkan penelitian yang dilakukan pada tahun 2010 di 7 kota yang mewakili 6 pulau di Indonesia menunjukkan pergeseran, kasus terbanyak disebabkan oleh DEN -3 (42,9%), kemudian disusul DEN-4 (28,5%), DEN-1 (16,1%), dan DEN-2 (12,5%) (Aryati, 2011). M anifestasi klinis dari infeksi dengue dapat bersifat asimptomatis maupun simptomatis, seperti demam undifferentiated, demam dengue (DD), dan demam berdarah dengue (DBD). D emam berdarah dengue (DBD) terjadi pada sebagian k ecil pasien dan ditandai oleh kebocoran plasma sehingga dapat menyebabkan syok. Kondisi tersebut sering dinyatakan sebagai sindroma syok dengue (SSD). Luasnya spektrum manifestasi klinik tersebut antara lain disebabkan oleh perbedaan serotipe virus dengue yang menginfeksi, viral load, intensitas aktivasi dari sistem imun, sel endotel, dan faktor-faktor yang mengatur permeabilitas vaskuler (Tsai et al., 2009; Srikiatkhacorn, 2010).
3
Perjalanan penyakit infeksi dengue sulit diramalkan. Pasien yang pada waktu masuk keadaan umumnya baik, dalam waktu singkat dapat memburuk dan tidak tertolong karena mengalami SSD , tetapi beberapa kasus dijumpai pasien dengan DBD yang pada aw alnya tampak sakit berat secara klinis d an laboratoris, ternyata selamat dan sembuh dari penyakitnya. Respon imun terhadap infeksi virus dengue mendasari pemahaman dan penjelasan mengen ai patogenesis dan arah perjalanan penyakit DBD apakah pasien tersebut m enuju kepada kesembuhan atau justru m enuju keparahan (Soegijanto, 2008). Luasnya spektrum klinik dari demam berdarah ini dipengaruhi oleh status imun yang dimiliki host dan jenis virus yang menginfeksi (Thomas, 2008). Patogenesis dari DB D sampai saat ini m asih belum diketahui dengan jelas. Keterbatasan metode penelitian baik secara in vivo maupun in vitro pada infeksi dengue menyebabkan kesulitan un tuk memahami mekanisme progresivitas infeksi dengue untuk menjadi infeksi yang berat. Data epidemiologi dan klinis menunjukkan hubungan antara faktor imunologis dan faktor virus dapat mempengaruhi keparahan penyakit. Faktor risiko yang lain adalah faktor predisposisi genetik pada populasi tertentu, usia, jenis k elamin, umur, dan status nutrisi (Raekiansyah d an Sudiro, 2004). Sampai saat ini terdapat beb erapa teori yang m enjelaskan b agaimana timbulnya DBD dan SSD pad a individu yang terinfeksi dengue. Teori tersebut antara lain
antibody-mediated
pathogenesis
atau
disebut
juga
antibody-dependent
enhancement (ADE), cell-mediated pathogenesis, cytokin e storm phenomenon, individual’s genetic background , virus strain differences, levels of virus circulating in individuals during the acute phase, dan status nutrisi dari individu yang terinfeksi (Noisakran, 2008). Diantara teori-teori tersebut, teori ADE diangg ap sebagai teori
4
yang memiliki peran paling utama dalam menjelaskan terjadinya DBD ( Lei et al, 2001). Antibody-dependent enhancement (ADE) merupakan hipotesis yang masih kontroversial. Hipotesis ini muncul berdasarkan pengamatan bah wa infeksi sekunder oleh virus dengue heterotypic berhubungan dengan peningkatan risiko un tuk mengalami DBD dan antibodi subnetralisasi dapat meningkatkan titer virus. M ekanisme ADE pada infeksi den gue terjadi melalui reseptor Fc pada permukaan sel monosit yang berikatan dengan kompleks virus -IgG yang dapat memfasilitasi masuknya virus ke dalam sel target, kemudian berkembang biak dan menyebabkan viremia yang hebat, sehingga titer virus pada infeksi sekunder lebih tinggi daripada infeksi primer (Raekiansyah dan Sudiro, 2004; Gujarati, 2010). Pengamatan
epidemiologis m enunjukkan bahwa tidak
semua infeksi
sekunder dengue bermanifestasi berat, tetapi hampir semua infeksi berat disebabkan oleh infeksi dengue sekunder (Yeh et al., 2006; Durbin et al., 2008; Thai et al., 2010; Pawitan, 2011). Status imun host merupakan komponen penting dari perjalanan infeksi dengue. Pada anak -anak y ang pernah terinfeksi dengue dan bayi y ang mewarisi antibodi dengue dari ibunya memiliki ri siko untuk mengalami DBD (K lick, 1988). Hipotesis ADE menjelaskan bahwa fase akut infeksi dengue oleh serotipe dengue tertentu menghasilkan imunitas homotipik yang long-lasting,
sedangkan
cross-reactive heterotypic im munity dilaporkan berakhir setelah 2 bulan sampai 1 tahun (Halstead , 1981). Virus dengue dapat menginfeksi sel monosit, makrofag, dendritik, limfosit B, limfosit T, sumsum tulang, dan sel endotel. Sel yang terinfeksi bertanggungjawab terhadap replikasi dan penyebaran virus dengue (Halstead, 1989). Berdasarkan
5
beberapa penelitian tentang hipotesis antibody dependent enhancem ent, monosit dan turunannya merupakan target utama infeksi virus dengue. M onosit dan makrofag merupakan sel fagosit yang aktif dengan komponen sitoplasma yang mengandung lisosom sehingga dapat mengeliminasi mikroorgan isme. M onosit/makrofag yang terinfeksi
virus
dengue
akan
mengelu arkan
mediator -mediator
yang
dapat
mempengaruhi fungsi endotel dan sel hematopoetik. Hal ini menunjukkan bahwa interaksi antara virus dengue dan monosit/makrofag bersifat pen ting untuk patogenesis DB D dan SSD (Sullivan et al., 1994). Fc-gamma receptor (FcγR) merupakan reseptor yang berperan penting pada proses fagositosis dan opsonisasi dari mikroba yang telah diika t oleh immunoglobulin G (IgG). Kompleks antara mikroba dan IgG yang berikatan dengan FcγR akan memberikan sinyal p ada Fc bearing cell untuk m emfagosit mikroba yang telah diopsonisasi kemudian menghancurkannya, tetapi b eberapa virus seperti flavivirus menggunakan FcγR untuk memfasilitasi virus tersebut memasuki sel targetnya melalui mekanisme A DE (Kontny et al., 1988). Penelitian secara in vitro d engan menggunakan human peripheral blood mononuclear cells (PBM C) menunjukkan bahwa FcγR pada monosit atau makrofag merupakan jalur yang efisien untuk masuknya virus pada kondisi ditemukannya IgG kadar non-neutralized dengan membentuk flavivirus-antibody complex (Peiris et al., 1981). Penelitian y ang dilakukan oleh Rodrigo et al tahun 2006 dengan menggunakan human macrophage like cells (COS-7 transfected cells) menunjukkan hasil bahwa FcγRI (CD64) dan FcγRII (CD32) dapat memfasilitasi infeksi dengue dengan mekanisme A DE (Rodrigo et al., 2006).
6
Penelitian yang dilakukan oleh Guardo et al dengan menggunakan sel U-937 menunjukkan
bahwa
75%
sel
mengekspresikan
FcγRII
(CD32)
dan
4%
mengekspresikan FcγRI (CD64), sehingga diduga bah wa FcγRII (CD32) merupakan mediator utama mekanisme A DE pada infeksi dengue. Pada pen elitian ini juga didapatkan hasil bahw a konsentrasi antibodi sub netralisasi secara signifikan meningkatkan jumlah sel yang terinfeksi (Guardo et al., 2010). Perbedaan FcγRII (CD32) pada PBM C dari subyek yang terinfeksi dengue dengan outcome DD dan DBD telah diteliti oleh Durbin et al. H asil p enelitian menunjukkan bahwa pada pasien DBD didapatkan ekspresi FcγRII (CD32) yang lebih tinggi secara signifikan dibandingkan dengan pasien DD (43,7%±3,3% vs 31%±2,7%; p=0,01) (Durbin et al., 2008). Kompleks
imun
yang
terbentuk
antara
DENV
d engan
antibodi
memperantarai masuknya virus ke dalam monosit/makrofag melalui FcγR . M oi et al melakukan penelitian menggunakan sel BHK -21 yang mengekspresikan FcγRII (CD32) dan yang tidak mengekspresikan FcγRII (CD32). Sel BHK -21 tersebut diberi perlakuan menggunakan serum pasien yang sembuh dari infeksi primer dan sekunder. Hasil penelitian menunjukkan bahw a pada sel yang diberi p erlakuan serum pasien paska infeksi primer tidak ditemukan perbedaan titer viremia antara kedua sel tersebut, sedangkan pada perlakuan serum pasien paska infeksi sekunder ditemukan titer virus 10 k ali lebih tinggi pada sel BHK -21 y ang mengekspresikan FcγRII (CD32) dibandingkan yang tidak m engekspresikan FcγRII (CD32) , sehingga diduga pada infeksi sekunder berhubungan dengan titer viremia pada kasus infek si dengue in vivo (M oi et al., 2011).
7
B. Perumusan M asalah Berdasarkan fakta-fakta tersebut maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: 1. Infeksi virus dengue merupakan masalah kesehatan utama di dunia termasuk Indonesia. 2. M anifestasi klinis infeksi dengue bervariasi, dap at asimptomatik , undifferentiated fever, DD , DB D, dan SSD . Berbagai teori dan hipotesis masih belum dapat menjelaskan imunopatogenesis infeksi DENV ataupun membedakan secara jelas bahwa penderita infeksi DEN V akan menunjukkan manifestasi klinik tersebut. 3. Hipotesis A DE yang selama ini dianggap paling sesuai masih m enunjukkan hasil yang kontroversial dengan hasil pen elitian klinis yang telah dilakukan. Tidak semua infeksi sekunder bermanifestasi sebagai D B D. Fakta lain menunjukkan bahwa sebagian infeksi primer juga dapat bermanifestasi sebagai DB D, sehingga diduga ada faktor lain yang berpengaruh. 4. Adanya Ab heterotipik pada infeksi sekunder diduga meningkatkan masuknya virus dengue ke dalam monosit melalui reseptor Fcγ. Sejauh yang diketahui oleh penulis bahwa belum
ada penelitian mengenai ekspresi FcγRII dengan
menggunakan whole blood pada pasien dengan infeksi primer dan sekunder. C. Pertanyaan Penelitian Apakah terdapat perbedaan ekspresi FcγRII (CD32) monosit pada pasien yang terinfeksi dengue primer dan sekunder? D.
Keaslian Pen elitian
Beberapa penelitian tentang hubungan reseptor Fcγ dengan infeksi dengue telah banyak dilakukan, tetapi masih banyak kontroversi. Sejauh p eneliti ketahui
8
belum ada penelitian tentang ekspresi FcγRII (CD32) monosit pad a p asien infeksi dengue primer dan sekunder pada fase akut. Peneliti menemukan beberapa artikel atau jurnal penelitian yang dapat digunakan sebagai acu an, diantaranya terlihat pada tabel 1. Tabel 1. Penelitian tentang FcγRII (CD32) dengan infeksi dengue Peneliti, T ahun Penelitian Brown et al., 2009
Tujuan Penelitian M engetahui keterlibatan FcγR dalam kejadian ADE pada human mast cell yang menunjukkan ekspresi FcγR dan FcεR
Durbin et al., 2008
M engamati peningkatan + CD32 pada pasien DBD dibandingkan dengan DD
M oi et al., 2011
M engetahui apakah adanya kompleks imun antara DENV dengan antibodi menyebabkan tingginya titer viremia pada infeksi sekunder dengan menggunakan sel yang menunjukkan ekspresi Fcγ M engetahui ekspresi FcγRII (CD32) monosit pada subyek sehat dan subyek dengan infeksi dengue.
Salim, 2013
M etode Penelitian
Hasil
Desain eksperim ental. M enggunakan kultur sel KU812, HM C-1, dan CBMC. Sel kultur diberi perlakuan dengan pooling serum dari 9 pasien fase konvalesens setelah sembuh dari infeksi DEN -2. Ekspresi FcγR dinilai dengan flowcytometri. Desain potong lintang. M enggunakan PBMC dari 4 pasien DBD dan 12 pasien DD. + Ekspresi CD32 diperiksa menggunakan flowcytometri. Desain eksperim ental. M enggunakan kultur sel BHK-21 yang mengekspresikan FcγRIIA dan yang tidak mengekspresikan FcγRIIA. Serum yang digunakan berasal dari serum pasien yang sembuh dari infeksi primer dan sekunder. Titer viremia diperiksa menggunakan plaque assay.
- Pada sel KU812 dan HMC -1, ekspresi Fcγ RII (CD32) lebih tinggi dibandingkan dengan FcγRI (CD64), dan FcγRIII (CD16). - Pada CBM C, ekspresi FcγRI, FcγRII, dan FcγRIII hampir sama.
Desain potong lintang. M enggunakan darah whole blood dari pasien infeksi dengue fase akut dan dari subyek sehat. Ekspresi FcγRII (CD32) diperiksa menggunakan flowcytometri.
-
Terdapat perbedaan yang signifikan pada ekspresi CD32 pada pasien DBD dibandingkan dengan DD (43,7%3,3% vs 31%2,7%) (p=0,01). - Pada infeksi primer tidak ditemukan perbedaan titer viremia an tara kedua sel tersebut. - Pada infeksi sekunder, titer virus 10 kali leb ih tinggi pada sel BHK -21 yang mengekspresikan FcγRIIA.
- Ekspresi FcγRII (CD32) monosit pada subyek yang terinfeksi dengue lebih tinggi secara bermakna apab ila dibandingkan dengan subyek sehat (208,7732,06 vs 124,0347,76) (p<0,001).
9
Penelitian ini berbeda dengan penelitian sebelumnya karena dilakukan pada populasi yang berbeda, yaitu pasien dengan infeksi dengue primer dan infeksi dengue sekunder fase akut. Reseptor FcγII diperiksa menggunakan flowcytometri. E.
M anfaat Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat: -
memberikan informasi kepada klinisi mengenai ekspresi FcγRII (CD32) monosit pada infeksi dengue sehingga diharapkan dapat memberikan kontribusi pada tatalaksana infeksi dengue untuk mencegah timbulnya manifestasi klinis yang lebih berat terutama pada infeksi sekunder.
-
memberikan sumbangan pengetahuan mengenai ekspresi reseptor FcγII (CD32) monosit pada pasien infeksi dengue primer dan sekunder.
-
memberikan evidence based mengenai peranan FcγRII (CD32) monosit dan mekanisme ADE dalam patogenesis keparahan infeksi dengue. F.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan rerata ekspresi FcγRII (CD32) monosit pada pasien yang terinfeksi dengue primer dan sekunder.