1
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sejumlah penyakit disebabkan oleh radikal bebas, diantaranya kanker, arteriosklerosis, dan penuaan (Kikuzaki & Nakatani, 1993). Radikal bebas juga dapat menginisiasi timbulnya penyakit degeneratif (Leong & Shui, 2002). Radikal bebas bersifat sangat reaktif dan tidak stabil sehingga keberadaannya di dalam tubuh dapat menimbulkan beberapa kerusakan, di antaranya kerusakan seluler, jaringan, dan mutasi genetik (Hernani & Rahardjo, 2005). Menurut Cadenas & Packer (2002) radikal bebas sebenarnya diproduksi secara normal selama proses metabolisme oleh tubuh dan berperan baik dalam menjaga kesehatan maupun timbulnya penyakit. Sel-sel radang seperti sel monosit, makrofag, dan granulosit menghasilkan senyawa radikal bebas. Senyawa ini dapat menghancurkan mikroorganisme, namun senyawa ini dapat pula merusak sel-sel tubuh bila jumlahnya terlalu banyak. Radikal bebas berperan dalam transport elektron, tranduksi sinyal dan ekspresi gen, serta aktivasi faktor transkripsi nukleus, akan tetapi juga berpengaruh dalam proses penuaan dan timbulnya berbagai penyakit melalui kerusakan oksidatif pada molekul, sel, dan jaringan. Mengingat peran positif dan negatif dari radikal bebas terhadap tubuh manusia, diperlukan keseimbangan antara oksidan dan antioksidan di dalam tubuh. Antioksidan dapat menangkal aktivitas berbahaya radikal bebas (Rohmatussolihat, 2009). Radikal bebas terbentuk selama proses metabolisme oksidatif. Secara umum, lingkungan di dalam sel membantu dalam proses
2
penangkalan kerusakan oksidatif. Beberapa enzim dan senyawa antioksidan berperan dalam proses ini diantaranya glutation, thioredoksin, vitamin E, dan vitamin C. Namun memungkinkan terjadi kondisi dimana sistem pertahanan enzim dan senyawa antioksidan alami dalam tubuh melemah atau jumlah antioksidan tidak seimbang dengan jumlah radikal bebas, sehingga tidak sanggup menangani terjadinya kerusakan (Cadenas & Packer, 2002). Pencegahan kondisi tersebut dapat dilakukan dengan konsumsi antioksidan tambahan. Menurut Sherwin (1990), antioksidan sintetik seperti BHA (Butil Hidroksi Anisol) dan BHT (Butil Hidroksi Toluen) dapat menyebabkan karsinogensesis. Oleh karena itu, saat ini banyak penelitian mengarah pada penemuan dan isolasi senyawa antioksidan alami yang berasal bahan alam. Antioksidan alami diperkirakan lebih aman untuk digunakan, diantaranya polifenol dan flavonoid. Polifenol dan flavonoid mempunyai daya antioksidan sangat kuat, dan aktivitasnya berkaitan dengan struktur kimianya (Van Acker dkk., 1996). Batang brotowali merupakan salah satu tanaman yang banyak digunakan sebagai obat tradisional, diantara untuk mengatasi penyakit kuning, kencing manis, nyeri perut, demam, kudis, scabies, dan pembersih luka (Sudarsono dkk., 1996). Batang brotowali juga mempunyai efek antiproliferatif berdasarkan pengujian pada sel kanker tertentu dan bersifat tidak toksik pada sistem biologis dan sel normal (Amom dkk., 2008). Ekstrak metanolik batang brotowali diketahui memiliki aktivitas antioksidan (Ibahim dkk., 2011), begitu pula dengan ekstrak air batang brotowali aktivitasnya hampir seperti vitamin C dalam menangkap radikal bebas DPPH (Amom dkk., 2009).
3
Berdasarkan penelitian Irianti dkk. (2011), ekstrak etanolik, fraksi etil asetat dan fraksi air dari batang brotowali diduga mengandung senyawa golongan kumarin dan flavonoid. Ketiga fraksi tersebut memiliki aktivitas antiradikal terhadap radikal DPPH, dimana fraksi etil asetat memiliki aktivitas tertinggi, kemudian diikuti oleh fraksi air, ekstrak etanolik, dan fraksi n-heksan. Menurut Machwiyyah (2011), hidrolisis pada fraksi air dari daun mengkudu dapat meningkatkan aktivitas penangkapan radikal DPPH, hal ini dikarenakan terjadi pembebasan glikosida flavonoid membentuk suatu aglikon flavonoid. Oleh karena itu, penelitian ini disusun untuk mengetahui seberapa besar peningkatan aktivitas penangkapan radikal DPPH dari fase air terhidrolisis batang brotowali sehingga dapat menjadi penuntun optimasi efek antioksidan dari tanaman brotowali ini. B. Rumusan Masalah 1.
Berapa IC50 ekstrak etanol, fraksi etil asetat, fraksi air, dan fraksi air terhidrolisis batang brotowali melalui uji penangkapan radikal DPPH?
2.
Apakah perlakuan hidrolisis asam pada fraksi air batang brotowali dapat meningkatkan aktivitas penangkapan radikal DPPH? C. Tujuan Penelitian
1.
Untuk mengetahui IC50 ekstrak etanol, fraksi etil asetat, fraksi air, dan fraksi air terhidrolisis batang brotowali melalui uji penangkapan radikal DPPH.
2.
Untuk mengetahui pengaruh perlakuan hidrolisis asam pada fraksi air batang brotowali dalam peningkatan aktivitas penangkapan radikal DPPH.
4
D. Pentingnya Penelitian Dilakukan Penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi terkait pengaruh hidrolisis serta waktu hidrolisis terhadap aktivitas penangkapan radikal dari fraksi air batang brotowali serta menambah bukti ilmiah tentang penggunaannya sebagai antioksidan.
E. Tinjauan Pustaka 1. Brotowali (Tinospora crispa (L.) Miers ex Hook. f & Thoms) a. Morfologi Brotowali tergolong tanaman perdu. Brotowali tumbuh memanjat dengan batang sebesar kelingking atau jari-jari tangan, bercabang-cabang, tertutup dengan benjolan-benjolan kecil, berwarna hijau, dan berasa sangat pahit. Daun brotowali merupakan daun tunggal berbentuk jantung dengan ujung runcing dan tepi rata, pangkalnya menekuk ke dalam. Bunganya majemuk dengan bentuk bulat telur berukuran kecil. Buah brotowali berukuran kecil dan berwarna hijau. Akarnya merupakan akar tunggang (Sudarsono dkk., 1996).
(a)
(b)
Gambar 1. Tanaman Brotowali (a) dan Batang Brotowali (b) (Anonim, 2012)
5
b. Klasifikasi Divisi
: Spermathophyta
Sub divisi
: Angiospermae
Kelas
: Dicotyledonae
Bangsa
: Ranunculales
Suku
: Menispermaceae
Marga
: Tinospora
Jenis
: Tinospora crispa (L.) Miers ex Hook. f & Thoms (Backer & Brink, 1965)
c. Kandungan Kimia Seluruh bagian dari tanaman brotowali mengandung senyawa pahit, picrotein dan glikosida furanoditerpen tinocrisposide. Bagian batang, akar, dan umbi mengandung tinosporan. Sedangkan musilago dari daun mengandung galaktan, pentosan, metil pentosan, dan gula. Bagian batang dari brotowali juga mengandung berberine, flavon O-glikosida (apigenin), picroretoside, palmatin, picroretine, dan resin (Dweck & Cavin, 2007), serta cycloeucalenol dan cycloeucalnon yang merupakan triterpen (Kongkathip dkk., 2002). Pada bagian batang diketahui terdapat senyawa yang memiliki aktivitas penangkapan radikal DPPH yaitu N-cis-feruloyltyramine, N-transferuloyltyramine, dan secoisolariciresinol (Cavin dkk., 1998). Kemudian, berdasarkan penelitian Irianti dkk. (2011), ekstrak etanolik, fraksi etil asetat dan fraksi air dari batang brotowali diduga mengandung senyawa golongan
6
kumarin dan flavonoid. Batang brotowali diketahui mengandung flavonoid katekin, luteolin, morin, dan rutin (Amom dkk., 2009). d. Manfaat Batang brotowali merupakan salah satu tanaman yang banyak digunakan sebagai obat tradisional, diantara untuk mengatasi penyakit kuning, kencing manis, nyeri perut, demam, kudis, scabies, dan pembersih luka (Sudarsono dkk., 1996). Brotowali mempunyai efek meningkatkan nafsu makan (Sartori & Swift, 2003). Batang brotowali mempunyai efek antiproliferatif berdasarkan pengujian pada sel kanker tertentu dan bersifat tidak toksik pada sistem biologis dan sel normal (Amom dkk., 2008). Ekstrak metanol batang brotowali diketahui memiliki aktivitas antioksidan (Ibahim dkk., 2011), begitu pula dengan ekstrak air batang brotowali yang keefektifannya hampir seperti vitamin C dalam menangkap radikal bebas DPPH (Amom dkk., 2009). Pada uji ketoksikan secara oral, brotowali tidak dipertimbangkan sebagai bahan yang toksik, karena nilai LD50 pada tikus lebih dari 4g/kg. Brotowali juga tidak menimbulkan iritasi maupun sensitisasi pada kulit (Dweck & Cavin, 2007). 2. Flavonoid Flavonoid merupakan salah satu metabolit sekunder dalam tanaman dan disintesis sebagai respon terhadap infeksi mikroba (Dixon dkk., 1983). Hingga saat ini lebih dari 4000 variasi senyawa golongan flavonoid telah diidentifikasi dari berbagai macam bagian tumbuhan seperti daun, batang, akar, buah, atau
7
biji (Harborne dkk., 1999; Beecher, 1999). Flavonoid dibentuk di tanaman dari asam amino aromatik fenilalanin dan tirosin, serta malonat (Harborne, 1986). Flavonoid merupakan golongan senyawa alam dengan struktur rangka karbon C6-C3-C6 (gambar 2). Aktivitas dan sifat kimiawi dari flavonoid tergantung dari struktur, derajat hidroksilasi, subsitusi dan konjugasi lainnya, dan derajat polimerisasi (Kelly dkk., 2002). Gugus fungsional hidroksil pada flavonoid berperan dalam efek antioksidan dengan cara menangkap radikal bebas dan/atau dengan mengkhelat ion logam (Kumar dkk., 2013).
Gambar 2 . Struktur dasar flavonoid (Marais dkk., 2006)
Berdasarkan posisi cincin aromatik terhadap benzopiran, golongan senyawa produk alam ini dibagi menjadi 3 kelas, yaitu flavonoid (2fenilbenzopiran),
isoflavonoid
(3-benzopiran),
dan
neoflavonoid
(4-
benzopiran) (Marais dkk., 2006). Flavonoid terdapat dalam bentuk aglikon, glikosida, turunan termetilasi, terhidroksilasi, dan O-glikosilasi atau Cglikosilasi (Stobiecki & Kachlicki, 2006). Secara dasar, struktur flavonoid adalah aglikon. Flavonoid sering terhidroksilasi pada posisi 3, 5, 7, 3′, 4′, dan 5′. Sedangkan dalam bentuk glikosida, ikatan glikosidik normalnya berada pada posisi 3 atau 7 dan gulanya bisa berupa L-rhamnosa, D-glukosa, glukorhamnosa, galaktosa, atau arabinosa (Lopez, 2001). Flavonoid dalam
8
bentuk glikosida seringkali tersubsitusi oleh molekul asam alifatik atau aromatik. Turunan dari golongan ini rentan terhadap panas sehingga selama proses isolasi dan purifikasi memungkinkan terjadinya degradasi parsial (Stobiecki & Kachlicki, 2006). Flavonoid mempunyai sejumlah fungsi penting bagi tumbuhan, diantaranya sebagai pigmen warna, pelindung tanaman dari sinar UV-B, dan antimikroba. Delfinidin, salah satu jenis flavonoid, memberikan warna biru pada kelopak bunga. Salah satu resistensi tanaman dari sinar UV-B di antaranya terletak pada peranan flavonoid yang diketahui secara umum terdapat pada daun-daun berwarna hijau. Flavonoid dapat berperan sebagai penapis sinar UV-B karena flavonoid dapat menyerap sinar pada panjang gelombang 280-315 nm. Sebagai antimikroba, flavonoid mempunyai kemampuan untuk menghambat pengecambahan spora patogen pada tanaman (Harborne & Williams, 2000). Selain memegang peran penting pada tumbuhan, flavonoid juga memiliki beberapa fungsi medis pada manusia, yaitu aktivitas antioksidan, antiinflamasi, mengurangi resiko penyakit jantung koroner, sejumlah aktivitas pada
vaskular,
oestrogenik,
sitotoksik
antitumor,
antispasmolitik,
hepatoprotektif, antijamur, antiansietas, dan pencegahan terhadap malaria (Harborne & Williams, 2000). Sebagai antioksidan, flavonoid dapat menangkap sejumlah ion oksidatif, di antaranya anion superperoksida, radikal hidroksil atau radikal peroksi. Flavonoid juga dapat memadamkan oksigen singlet. Berdasarkan
9
penelitian, ada beberapa mekanisme dalam aktivitas antioksidan oleh flavonoid ini. Menurut Tournaire dkk. (1993), keberadaan katekol pada cincin B berperan utama dalam mengontrol pemadaman 1O2 dan keberadaan gugus hidroksil pada posisi 3 sebagian besar menentukan efisiensi reaktivitas kimia flavonoid dengan 1O2. Sedangkan berdasarkan penelitian Das & Pereira (1990), gugus karbonil pada C-4 dan ikatan rangkap antara C-2 dan C-3 pada flavonoid juga berperan pada aktivitas antioksidan yang tinggi. Kemungkinan mekanisme lain yaitu kemampuan flavonoid dalam menstabilkan membran dengan cara mengurangi fluiditas membran (Arora dkk., 2000). 3. Radikal Bebas Radikal bebas merupakan atom atau molekul dengan elektron tidak berpasangan. Elektron tak berpasangan cenderung untuk membentuk pasangan dengan menarik elektron dari atom atau molekul lain sehingga menyebabkan terjadinya
radikal
baru.
Radikal
bebas
bersifat
sangat
reaktif
dan
kecenderungan membentuk radikal baru secara terus menerus. Kondisi ini dikenal sebagai rantai reaksi (chain reaction) dan akan berhenti jika radikal bebas dapat diredam. Radikal bebas sebenarnya diproduksi secara normal selama proses metabolisme oleh tubuh dan berperan baik dalam menjaga kesehatan maupun timbulnya penyakit. Sel-sel radang seperti sel monosit, makrofag, dan granulosit menghasilkan senyawa radikal bebas. Senyawa ini dapat menghancurkan mikroorganisme, namun dapat pula merusak sel-sel tubuh bila jumlahnya terlalu banyak. Radikal bebas berperan dalam transport elektron,
10
tranduksi sinyal dan ekspresi gen, serta aktivasi faktor transkripsi nukleus, akan tetapi juga berpengaruh dalam proses penuaan dan timbulnya berbagai penyakit yang disebabkan kerusakan oksidatif pada molekul, sel, dan jaringan (Cadenas & Packer, 2002). Sejumlah penyakit yang disebabkan oleh radikal bebas diantaranya kanker, arteriosklerosis, dan penuaan (Kikuzaki & Nakatani, 1993). Radikal bebas juga dapat menginisiasi timbulnya penyakit degeneratif (Leong & Shui, 2002). Radikal bebas bersifat sangat reaktif dan tidak stabil sehingga keberadaannya di dalam tubuh dapat menimbulkan beberapa kerusakan, di antaranya kerusakan seluler, jaringan, dan mutasi genetik (Hernani & Rahardjo, 2005). 4. Antioksidan Antioksidan adalah molekul yang dapat menghambat oksidasi pada molekul lain. Antioksidan dapat menangkal aktivitas berbahaya radikal bebas (Rohmatussolihat, 2009). Status antioksidan suatu sel atau jaringan dipengaruhi oleh paparan oksidan. Secara umum, lingkungan di dalam sel membantu dalam proses penangkalan kerusakan oksidatif. Beberapa enzim dan senyawa antioksidan yang berperan dalam proses ini diantaranya glutation, thioredoksin, vitamin E, dan vitamin C. Namun memungkinkan terjadi kondisi dimana sistem pertahanan enzim dan senyawa antioksidan alami melemah atau jumlah antioksidan tidak seimbang dengan jumlah radikal bebas, sehingga tidak sanggup menangani kerusakan (Cadenas & Packer, 2002).
11
Terdapat dua jenis antioksidan, yaitu antioksidan alami dan antioksidan sintetik. Antioksidan alami dapat ditemukan pada hampir seluruh tanaman, mikroorganisme, fungi, dan beberapa jaringan hewan (Pokorny, 1999). Berdasarkan studi epidemiologi, hubungan berbanding terbalik antara konsumsi sayur dan buah-buahan terhadap tingkat kematian terkait umur seperti penyakit jantung koroner dan kanker kemungkinan dikarenakan aktivitas antioksidan dalam sayur dan buah-buahan (Eberhardt dkk., 2000; Ganesan dkk., 2011). Menurut Bocco dkk. (1998), mayoritas senyawa bioaktif yang berperan adalah senyawa fenolik dan flavonoid. Vitamin C, tokoferol, dan karetenoid juga memiliki aktivitas antioksidan. Flavonoid kebanyakan terdapat pada tumbuhan. Lebih dari 8000 polifenolik, termasuk 4000 flavonoid telah diidentifikasi pada berbagai macam tumbuhan (Harborne dkk., 1999). Dasar dari struktur flavonoid adalah inti flavan, terdiri dari 15 atom karbon yang tersusun dalam 3 cincin (C6-C3-C6) berlabel A, B, dan C. Secara umum, efektivitas kemampuan antioksidan flavonoid bergantung pada beberapa faktor; kemampuan mengkhelat logam terkait kuat dengan susunan gugus hidroksil dan karbonil di sekitar molekul, keberadaan substituen pendonor elektron atau hidrogen dapat mengurangi radikal bebas dan kemampuan flavonoid untuk mendelokalisasi elektron tak berpasangan mengarahkan pada pembentukan radikal fenolik yang stabil. Selain antioksidan alami, ada juga antioksidan sintetik. Antioksidan sintetik yang paling banyak digunakan adalah komponen fenolik seperti butylated hydroxyanisole (BHA), butylated hydroxytoluene (BHT), tert-
12
butylhydroquinone (TBHQ) dan propyl gallate (PG). Antioksidan sintetik umumnya digunakan pada makanan dan penggunaan farmakologis. Untuk meningkatkan kelarutannya dalam lemak dan minyak, antioksidan sintetik selalu disubstitusi dengan alkil (Hudson, 1990). Namun, BHA dan BHT dibatasi dalam penggunaannya karena adanya kemungkinan efek toksik dan karsinogenik (Sherwin, 1990). 5. Ekstraksi (Penyarian) Di dalam tumbuhan terdapat zat-zat yang bermanfaat bagi manusia. Zat aktif tersebut dapat digolongkan ke dalam alkaloida, glikosida, flavonoid, dan lain-lain. Untuk mengambil zat ini dapat dilakukan dengan cara penyarian. Menurut Hargono (1986), penyarian merupakan cara penarikan zat dengan pelarut cair. Kecepatan penyarian dipengaruhi oleh kecepatan difusi zat yang larut melalui lapisan-lapisan batas antara cairan penyari dengan bahan. Penyarian harus memperhatikan sifat fisik simplisia dan sifat zat aktifnya. Berdasarkan sifat fisik, simplisia dapat dibedakan menjadi simplisia lunak dan simplisia keras. Untuk bahan lunak, sebelum penyarian bahan tidak perlu diserbuk. Sementara untuk bahan keras, perlu diserbuk terlebih dahulu. Sifat zat aktif seperti kelarutan, ketahanan terhadap pemanasan dan cahaya, dipengaruhi oleh struktur kimianya. Penggunaan cairan penyari harus menyesuaikan dengan jenis zat aktif dan sifatnya, sehingga nantinya didapatkan zat yang diinginkan. Proses penyarian terdiri dari beberapa tahap, yaitu pembuatan serbuk, pembasahan, penyarian, dan pemekatan. Pembuatan serbuk dimaksudkan untuk
13
memperluas bidang sentuh antara bahan dengan cairan penyari, sehingga diharapkan proses penyarian berjalan lebih baik. Pembasahan serbuk dilakukan agar cairan penyari dapat memasuki seluruh pori-pori bahan sehingga memudahkan proses berikutnya. Penyarian ditujukan untuk menarik zat aktif keluar dari bahan menuju cairan penyari, pada proses ini difusi lebih berpengaruh daripada osmosis. Berikut adalah kriteria cairan penyari yang baik. a.
Murah dan mudah diperoleh
b.
Stabil secara fisika dan kimia
c.
Bereaksi netral
d.
Tidak mudah menguap dan tidak mudah terbakar
e.
Selektif yaitu hanya menarik zat yang diinginkan
f.
Tidak mempengaruhi zat berkhasiat
g.
Diperbolehkan oleh peraturan
Contoh cairan penyari adalah etanol, air, atau campuran keduanya. Penyari air dapat melarutkan garam alkaloid, minyak menguap, glikosida, tannin dan gula, namun kurang menguntungkan karena juga menyari zat lain yang biasanya tidak diperlukan seperti gom, pati, protein, dan lemak. Sementara penyari etanol dapat melarutkan alkaloida basa, minyak menguap, glikosida, kurkumin, kumarin, antrakinon, flavonoid, steroid, damar, dan klorofil, sementara lemak, tannin, dan saponin hanya terlarut sedikit. Salah satu cara penyarian adalah maserasi. Maserasi merupakan cara penyarian yang sederhana. Maserasi dilakukan dengan merendam serbuk bahan
14
dalam cairan penyari. Untuk maserasi, biasanya diperlukan 10 bagian simplisia, kemudian direndam dalam 75 bagian cairan penyari, ditutup dan dibiarkan selama beberapa waktu terlindung dari cahaya, sambil diaduk berulang-ulang. Setelah sekian waktu, ampas dipisahkan dari cairan penyari, kemudian ditambahkan sisa 25 bagian cairan penyari dan dibiarkan selama 2 hari sebelum akhirnya disaring. Menurut Hargono (1986), maserasi biasanya dilakukan selama 5 hari, sementara menurut Farmakope Herbal Indonesia, maserasi jika tidak dinyatakan lain dilakukan selama 24 jam. Setelah proses penyarian dilakukan penyaringan dengan tujuan memisahkan zat padat dari zat cair. Pada proses ini biasanya digunakan kertas saring atau penyaring tekstil. Setelah filtrat (cairan penyari) didapat, langkah berikutnya adalah penguapan. Dengan penguapan, cairan penyari akan menguap sehingga tersisa zat yang diinginkan dalam bentuk ekstrak kering ataupun ekstrak kental. Untuk memisahkan senyawa-senyawa di dalam sampel dilakukan tahapan lebih lanjut yaitu dengan fraksinasi. Fraksinasi memisahkan senyawa berdasarkan tingkat kepolaran. Umumnya fraksinasi untuk mendapatkan flavonoid dilakukan dengan menggunakan heksan, etil asetat, dan air. Senyawa-senyawa akan tertarik ke masing-masing penyari berdasarkan sifat kepolarannya yaitu non polar, semi polar, dan polar. 6. Hidrolisis Hidrolisis berasal dari kata hidro (air) dan lisis (pecah/putus), yang berarti pemutusan ikatan oleh air. Pada flavonoid, hidrolisis dilakukan untuk
15
memutuskan ikatan glikosida antara flavonoid dengan gulanya. Aglikon flavonoid mempunyai aktivitas antioksidan yang lebih baik bila dibandingkan dengan bentuk glikosidanya. Hal ini dikarenakan keberadaan gula menurunkan efisiensi antioksidan (Fuhram & Aviram, 2002). Reaksi hidrolisis ini dapat dilakukan dengan 3 cara, yaitu hidrolisis asam, hidrolisis basa, dan hidrolisis enzimatik (Stalikas, 2007). Salah satu asam yang biasa digunakan untuk hidrolisis adalah HCl. Campuran larutan HCl 2 M dengan metanol dapat menghidrolisis antosianin menjadi antosianidin (Gao & Mazza, 1994). Contoh lain, glikosida flavon dan flavonol dari madu bunga matahari dapat dihidrolisis dengan merefluks sampel dalam campuran HCl 1-2M dan 50% MeOH-H2O v/v (McDonald dkk., 1998), sementara ekstrak fenoliknya dihidrolisis dengan NaOH 2N (Sabattier dkk., 1992). 7. Spektrofotometri Teknik spektroskopi merupakan salah satu teknik analisis fisiko-kimia yang mengamati tentang interaksi atom atau molekul dengan radiasi elektromagnetik (REM). Interaksi REM dengan molekul akan menghasilkan satu atau dua macam dari tiga kemungkinan, yaitu hamburan (scattering), absorpsi (absorption), dan emisi (emission) REM oleh atom atau molekul yang diamati. Hamburan REM oleh atom atau molekul mendasari spektrofotometri raman, absorpsi mendasari spektrofotometri UV-Vis dan inframerah, sementara absorpsi yang diikuti emisi mendasari fotoluminensi (Mulja & Suharman, 1995).
16
Ada
dua
macam
instrumen
pada
teknik
spektroskopi,
yaitu
spektrometer dan spektrofotometer. Spektrometer adalah instrumen yang menggunakan monokromator celah tetap pada bidang fokal. Apabila spektrometer dilengkapi detektor foto elektrik maka disebut sebagai spektrofotometer. Salah satu jenis spektrofotometri yaitu spektrofotometri UV-Vis. Spektrofotometri
UV-Vis
merupakan
teknik
analisis
spektroskopik
menggunakan sumber radiasi elektromagnetik ultra violet dekat (190-380 nm) dan sinar tampak (380-780 nm) dengan memakai instrumen spektrofotometer. Senyawa yang akan dianalisis dengan spektrofotometer UV-Vis harus mempunyai gugus kromofor. Kromofor mampu mengabsorpsi radiasi UVVis. Pada senyawa organik terdapat pula gugus auksokrom, yaitu gugus fungsional dengan elektron bebas, seperti –OH, O-NH2, dan OCH3. Terikatnya gugus auksokrom oleh gugus kromofor akan mengakibatkan pergeseran pita absorpsi menuju panjang gelombang lebih panjang disertai peningkatan intensitas. Analisis dengan spektrofotometri UV-Vis melibatkan pembacaan absorban radiasi elektromagnetik oleh molekul, dikenal sebagai nilai absorbansi (A) tanpa satuan, atau radiasi elektromagnetik yang diteruskan, dikenal sebagai trasmitan dengan satuan persen (%T). Absorbansi merupakan nilai logaritma dari 1/T. Nilai absorbansi dipengaruhi oleh absorbansi molar, konsentrasi, dan tebal larutan bahan. Pembacaan absorbansi pada rentang 0,2-
17
0,8 atau transmitan pada rentang 15%-65% akan memberikan persentase kesalahan analisis yang dapat diterima (0,5-1%) untuk ΔT=1%. Menurut Gandjar & Rohman (2010), ada beberapa hal yang perlu diperhatikan
dalam
analisis
spektrofotometri
UV-Vis,
yaitu
waktu
operasional dan panjang gelombang maksimum. Waktu operasional (operating time) biasa digunakan untuk pengukuran hasil reaksi atau pembentukan warna, dengan tujuan untuk mengetahui waktu pengukuran yang stabil. Waktu operasional ini dapat ditentukan dengan mengamati nilai absorbansi selama selang waktu tertentu, umumnya setiap 5 menit selama 60 menit. Gambar 3 menunjukkan penentuan waktu operasional dengan menghubungkan waktu pengukuran dengan absorbansi senyawa. Absorbansi Waktu operasional
Waktu pengukuran Gambar 3. Salah satu bentuk kurva waktu operasional (Gandjar, 1991)
Pengukuran absorbansi sebaiknya dilakukan pada panjang gelombang maksimum karena pada panjang gelombang ini kepekaan maksimal dan kesalahan yang disebabkan pemasangan ulang panjang gelombang akan kecil sekali. Panjang gelombang maksimal dapat diketahui dari proses scanning larutan baku pada konsentrasi tertentu.
18
8. Uji Aktivitas Penangkapan Radikal DPPH Uji DPPH mengukur sifat antioksidan suatu senyawa berdasarkan kemampuan mereka dalam menangkap radikal 2,2-difenil-1-pikrilhidrazil (DPPH•). DPPH• merupakan radikal bebas yang sangat stabil dan tersedia secara komersial. DPPH dapat menerima atom hidrogen atau elektron kemudian membentuk molekul DPPH non radikal. Senyawa radikal DPPH mengabsorpsi sinar tampak pada panjang gelombang 515 nm dengan warna violet-merah. Namun jika dicampur dengan senyawa yang mampu mengubah radikal DPPH menjadi non radikal, warna violet akan memudar menjadi kuning pucat. Reaksi yang berlangsung selama uji DPPH merupakan pemindahan atom hidrogen antara radikal dan larutan senyawa (Sanchez, 2002). Gambar 4 menunjukkan terjadi pemindahan atom hidrogen dari senyawa antioksidan dan berikatan dengan nitrogen pada DPPH.
Gambar 4. Efek penangkapan radikal DPPH oleh antioksidan (AH) (Gulcin, 2012)
Senyawa antioksidan dapat mendonorkan atom hidrogen dan elektron sehingga kapasitas antioksidan dapat dievaluasi dengan metode DPPH.
19
Kemampuan senyawa menangkap radikal umumnya diekspresikan dengan parameter konsentrasi efisiensi (EC50) atau konsentrasi penghambatan (IC50) . Nilai IC50 merupakan nilai konsentrasi senyawa antioksidan yang mampu mereduksi 50% dari konsentrasi awal radikal DPPH (Litescu dkk., 2010). Kelebihan uji DPPH yaitu sederhana dan dapat dilakukan dengan cepat, serta instrumen dan bahan yang diperlukan mudah tersedia. Sementara kekurangannya adalah DPPH mudah rusak oleh cahaya sehingga uji ini perlu dilakukan di ruang gelap, selain itu DPPH juga rentan terhadap oksigen (Karadag dkk., 2009). 9. Kromatografi Lapis Tipis Kromatografi merupakan metode pemisahan berdasarkan distribusi senyawa di antara dua fase terpisah. Salah satu jenis kromatografi adalah kromatografi lapis tipis. Pada kromatografi lapis tipis, satu fase berada tetap pada sebuah lempeng (fase diam) dan fase lainnya dapat bergerak dan bermigrasi melalui fase diam (fase gerak). Larutan sampel ditotolkan pada fase diam dan terelusi oleh fase gerak sehingga terjadi pemisahan senyawa (Spangenberg dkk., 2011). Pemilihan fase gerak sangat dipengaruhi oleh macam dan polaritas zat-zat kimia yang dipisahkan (Mulja & Suharman, 1995). Hasil pemisahan pada kromatografi lapis tipis berupa kromatogram. Kromatogram berisi bercak-bercak terpisah. Bercak-bercak ini dapat divisualisasi secara fisika atau kimia. Secara fisika yaitu dengan melihat bercak yang mengalami pemadaman atau mengalami flouresensi pada
20
panjang gelombang 254 nm atau 366 nm. Sedangkan visualisasi secara kimia dengan mereaksikan kromatogram dengan pereaksi warna sehingga memberikan warna atau flouresensi spesifik (Mulja & Suharman, 1995). Dari kromatogram diukur jarak migrasi dari masing-masing bercak dan dibandingkan dengan jarak migrasi fase gerak. Nilai ini dikenal dengan istilah faktor retardasi (Rf). = Untuk tujuan analisis kualitatif dapat dilihat nilai faktor retensi relatif (Rx), yaitu perbandingan jarak migrasi sampel dengan jarak migrasi pembanding standar. =
F. Landasan Teori Menurut Irianti dkk. (2011), ekstrak etanolik, fraksi etil asetat, dan fraksi air dari batang brotowali memiliki aktivitas antiradikal terhadap radikal DPPH, dimana fraksi etil asetat memiliki aktivitas tertinggi, kemudian diikuti oleh fraksi air, ekstrak etanolik, dan fraksi n-heksan. Salah satu senyawa yang mungkin berpotensi sebagai antioksidan di dalam batang brotowali adalah flavonoid. Batang brotowali diketahui mengandung flavonoid katekin, luteolin, morin, dan rutin (Amom dkk., 2009). Flavonoid dalam bentuk aglikon memiliki aktivitas penangkapan radikal lebih baik dibanding glikosida flavonoid. Perlakuan hidrolisis pada fraksi air telah dilakukan oleh Machwiyyah (2011) pada fraksi air
21
daun mengkudu dengan hasil terjadi peningkatan aktivitas penangkapan radikal DPPH, hal ini dikarenakan hidrolisis mampu membebaskan aglikon flavonoid dari bentuk glikosidanya. Dengan perlakuan hidrolisis asam pada fraksi air batang brotowali diharapkan dapat membebaskan aglikon flavonoid dari bentuk glikosidanya, sehingga dapat meningkatkan aktivitas antioksidan. Aktivitas penangkapan radikal dari fraksi air dan fraksi air terhidrolisis batang brotowali dilihat dari nilai IC50 yang didapat melalui uji penangkapan radikal DPPH.
G. Hipotesis 1.
Ekstrak etanolik, fraksi etil asetat, fraksi air, dan fraksi air terhidrolisis batang brotowali mempunyai aktivitas penangkapan radikal DPPH yang ditunjukkan dengan nilai IC50.
2.
Perlakuan hidrolisis asam pada fraksi air batang Brotowali dapat meningkatkan aktivitas penangkapan radikal DPPH.