BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Banyak penyakit erat hubungannya dengan mekanisme pertahanan tubuh yang menurun dan kerusakan sel yang sering disebabkan oleh radikal bebas. Radikal bebas terlibat dalam patogenesis penyakit, sedikitnya 50 penyakit (Percival, 1996). Radikal bebas dapat menyebabkan kerusakan karena mampu bergabung dengan molekul seperti enzim dan reseptor dalam tubuh manusia sehingga menyebabkan reaksi oksidasi secara langsung dan menginaktifkan atau menghambat fungsi normalnya. Radikal bebas dapat merusak lemak, protein, terutama merusak DNA yang akan menyebabkan pertumbuhan sel yang tidak terkontrol, dan akhirnya menyebabkan terjadinya kanker (Mimic-Oka et al., 1997). Radikal bebas merupakan salah satu bentuk senyawa reaktif, yang secara umum diketahui sebagai senyawa yang memiliki elektron yang tidak berpasangan. Dalam kondisi normal, oksigen reaktif memiliki peranan penting bagi manusia dalam reaksi oksidasi, diantaranya untuk transfer elektron dalam memproduksi adenosin trifosfat (ATP). Reaksi oksidasi juga berperan untuk menghilangkan senyawa beracun (xenobiotik) dengan cara mengoksidasi senyawa tersebut menjadi senyawa yang lebih polar agar lebih mudah diekskresikan ke luar tubuh. Akan tetapi, dalam jumlah berlebih menyebabkan tubuh manusia tidak dapat menoleransi keberadaan radikal bebas, sehingga memacu kerusakan oksidatif pada sel-sel tubuh. Kondisi stres oksidatif dan meningkatnya kerusakan jaringan
1
2
disebabkan adanya ketidakseimbangan antara jumlah radikal bebas dan kapasitas antioksidan dalam tubuh. Oleh karena itu, tubuh memerlukan substansi antioksidan tambahan yang berasal dari luar tubuh yang biasa disebut antioksidan eksogen. Antioksidan adalah bahan yang menghambat atau mencegah keruntuhan, kerusakan atau kehancuran akibat oksidasi (Yongson, 2005). Antioksidan mampu menyetabilkan atau menonaktifkan radikal bebas sebelum mereka menyerang selsel (Percival, 1996). Berdasarkan sumbernya, antioksidan digolongkan menjadi dua jenis yaitu antioksidan alami dan antioksidan sintetik. Hingga saat ini, studi mengenai antioksidan baik antioksidan alami maupun antioksidan sintetik masih terus dikembangkan mengingat semakin meningkatnya prevalensi penyakit degeneratif dan resiko penyakit lainnya akibat pengaruh reactive oxygen species (ROS) (Trilaksani, 2003). Dari hasil penelitian sebelumnya dilaporkan bahwa salah satu antioksidan alami adalah kurkumin. Kurkumin merupakan salah satu senyawa aktif yang diisolasi dari rimpang Curcuma longa L. (kunyit). Kurkumin merupakan komponen aktif dalam kunyit yang bertanggungjawab untuk aktivitas biologis, salah satunya adalah sebagai antioksidan (Chattopadhyay et al., 2004). Kurkumin merupakan senyawa tidak stabil yang sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan terutama pH. Dalam kondisi basa, kurkumin dapat mengalami hidrolisis dan degradasi yang disebabkan adanya gugus metilen aktif -
2-
pada
senyawa tersebut (Tonnesen and Karlsen, 1985 cit Kiswanto, 2009). Hal tersebut
3
menyebabkan pemanfaatan kurkumin sebagai obat kurang menguntungkan karena bioavailabilitanya rendah. Berbagai modifikasi struktur kurkumin telah dikembangkan untuk mendapatkan analog kurkumin yang lebih stabil, poten, memiliki aktivitas yang lebih spesifik, dan aman. Sintesis salah satu senyawa analog kurkumin telah berhasil dilakukan oleh Sardjiman (2000) yaitu Pentagamavunon-0 (PGV-0). Senyawa ini dilaporkan memiliki beberapa macam aktivitas farmakologi antara lain sebagai antiinflamasi, antibakteri, dan antioksidan yang lebih baik dari kurkumin (Sardjiman, 2000). PGV-0 memiliki kemiripan struktur dengan kurkumin, keduanya memiliki bioavailabilitas yang rendah dalam tubuh sehingga dihasilkan profil farmakokinetika yang kurang baik. Kadar kurkumin dan PGV-0 dalam darah cepat hilang sehingga profil kadar dalam darah mengalami fluktuasi terutama dengan pemberian oral (Hakim dkk., 2006). Berdasarkan hasil penelitian yang telah dipublikasi sebelumnya dilaporkan bahwa kurkumin mengalami metabolisme di dalam tubuh menjadi tetrahidrokurkumin (THC). Kurkumin akan mengalami reduksi oleh sistem reduktase endogen pada tahap pertama dan diikuti konjugasi glukoronida oleh UDP-glukoronil transferase (Pan et al., 1999). Studi lainnya menjelaskan bahwa THC memiliki aktivitas antioksidan dimana aktivitas antioksidan THC lebih kuat dibandingkan kurkumin secara in-vivo (Sugiyama et al., 1996). Selain itu, THC lebih mudah diabsorbsi di saluran gastrointestinal dibandingkan kurkumin (Okada et al., 2001). Studi tersebut diperkuat oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh Pan et al., (1999) yang melaporkan bahwa THC lebih stabil dibandingkan
4
kurkumin dalam buffer fisiologis pH 7,2 dan plasma darah. Secara sintetik, THC dapat diperoleh dengan mereduksi kurkumin dalam pelarut organik menggunakan katalis logam (Majeed et al., 1995). Berdasarkan hasil penelitian di atas, Ritmaleni dan Simbara (2010) melakukan sintesis senyawa Tetrahidropentagamavunon-0 (THPGV-0) dari starting material PGV-0 melalui reaksi hidrogenasi (reduksi menggunakan gas hidrogen) dalam pelarut metanol menggunakan katalis palladium karbon (Pd/C) 10%. Metode hidrogenasi telah berhasil diaplikasikan untuk sintesis senyawa analog kurkumin (Gambar 1) diantaranya Tetrahidropentagamavunon-1 (THPGV1) dari starting material Pentagamavunon-1 (PGV-1) (Andhini, 2012), Tetrahidroheksagamavunon-5
(THHGV-5)
dari
starting
material
Heksagamavunon-5 (HGV-5) (Wibowo, 2013), Tetrahidro-heksagamavunon-7 (THHGV-7) dari starting material Heksagamavunon-7 (HGV-7) (Praditya, 2014) dan 1,5-bis-(4'-triflorometilfenil)-pentan-3-on (THC7) dari starting material 1,5bis-(4'-triflorometilfenil)-penta-1,4-dien-3-on (C7) (Abimantranahita, 2014). Berdasarkan hasil hidrogenasi tersebut, kemudian dilakukan uji aktivitas biologis sebagai antioksidan. Hasil penelitian oleh Simbara (2009) menunjukkan bahwa THPGV-0 memiliki daya tangkap radikal DPPH dan daya reduksi yang lebih baik dibandingkan PGV-0 dan vitamin E. Hasil penelitian oleh Utama (2012) menunjukkan bahwa THPGV-1 juga memiliki daya tangkap radikal DPPH dan daya reduktif yang lebih baik dibandingkan PGV-1 dan vitamin C.
5
O H3CO
OCH3
HO
OH
a O
H3C
CH3
HO
OH
b
CH3
O
H3CO
CH3 OCH3
HO
OH OCH3
c
OCH3
O
F3C
CF3 d O
F3C
e
CF3
Gambar 1. Struktur analog kurkumin: THPGV-0 (a), THPGV-1 (b) , THHGV-5 (c), THHGV-7 (d), THC7 (e)
2,6-bis-(4'-metoksibenzilidin)sikloheksanon (A4) (Gambar 2) merupakan salah satu analog kurkumin yang memiliki aktivitas antioksidan, namun memiliki potensi yang sangat lemah. Berdasarkan fakta yang ada, THPGV-0 dan THPGV-1 yang memiliki aktivitas antioksidan yang lebih baik baik dibandingkan PGV-0 dan PGV-1 (Simbara, 2009; Utama, 2012), maka telah dilakukan sintesis 2,6-bis(4'-metoksibenzil)-sikloheksanon (THA4) dari starting material A4 dengan harapan dapat memberikan aktivitas antioksidan yang lebih baik dibandingkan starting material A4. Sintesis THA4 telah berhasil dilakukan oleh Ritmaleni et al., (2013). Akan tetapi, setelah dilakukan sintesis kembali memberikan titik lebur
6
dan profil kromatogram KLT yang berbeda. Untuk lebih meyakinkan bahwa senyawa hasil sintesis merupakan senyawa yang sama dengan penelitian sebelumnya, perlu dilakukan elusidasi struktur terhadap senyawa hasil sintesis yang diduga sebagai THA4 menggunakan metode spektroskopi IR, MS dan NMR (1H-NMR dan
13
C-NMR) dengan frekuensi alat yang lebih besar. Apabila hasil
elusidasi struktur tersebut menunjukkan senyawa yang sama dengan hasil penelitian sebelumnya, maka selanjutnya dapat dilakukan uji aktivitas biologis yaitu uji aktivitas antioksidan. Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai bukti ilmiah dan gambaran dalam pengembangan obat baru sebagai antioksidan yang lebih stabil, aman, dan poten. O
H3CO
OCH3 Gambar 2.Struktur THA4
B. Rumusan Masalah 1.
Apakah elusidasi struktur senyawa THA4 hasil sintesis kembali menunjukkan senyawa yang sama dengan penelitian sebelumnya?
2.
Apakah senyawa THA4 memiliki aktivitas sebagai antioksidan melalui daya tangkap radikal DPPH dan daya reduksi terhadap ion ferri yang lebih baik dibandingkan starting material A4 yang merupakan analog kurkumin?
7
C. Tujuan Penelitian 1.
Meyakinkan bahwa senyawa THA4 hasil sintesis kembali merupakan senyawa yang sama dengan penelitian sebelumnya
2.
Mengetahui aktivitas biologi senyawa THA4 sebagai antioksidan melalui daya tangkap radikal DPPH dan daya reduksi terhadap ion ferri yang lebih baik dibandingkan starting material A4 yang merupakan analog kurkumin.
D. Manfaat Penelitian Hasil
penelitian
diharapkan
dapat
memberikan
manfaat
untuk
pengembangan obat baru sebagai antioksidan yang lebih aman dan poten.
E. Tinjauan Pustaka 1. Kurkumin Kurkumin (Gambar 3) merupakan pigmen kuning dalam rimpang Curcuma longa (kunyit). Kurkumin dihasilkan secara alami bersamaan dengan dua senyawa analog kurkumin lainnya yaitu demetoksikurkumin dan bisdemetoksikurkumin, yang dikenal dengan nama kurkuminoid. Kurkumin merupakan zat aktif yang memiliki aktivitas biologis sebagai antioksidan, antiinflamasi, antibakteri, antijamur, antialergi, kemopreventif, kemoterapi, antikanker,
antimutagenik,
antikoagulan,
antifertilitas,
antidiabetes,
antiprotozoa, antivirus dan antifibrosis (Chattopadhyay et al., 2004). Kurkumin memiliki rumus molekul C21H20O6 dengan titik lebur 184°C-185°C (Majeed et al., 1995) dan berat molekul (BM) sebesar 368 g/mol.
8
Kurkumin berbentuk serbuk dengan rasa sedikit pahit, aroma yang khas, dan tidak toksik. Kurkumin tidak larut dalam air dan dietileter, tetapi larut dalam aseton, asam asetat glasial, dan alkali hidroksida (Kiswanto, 2009). O
O
H3CO
OCH3
HO
OH Gambar 3. Struktur Kurkumin
Kurkuminoid tidak stabil terhadap perubahan pH lingkungan. Jika terjadi perubahan pH lingkungan, maka terjadi perubahan warna kurkuminoid. Dalam suasana asam, kurkuminoid berwarna kuning atau kuning jingga, sedangkan dalam suasa basa menjadi berwarna merah. Selain perubahan warna menjadi merah, dalam suasana basa dapat terjadi proses disosiasi serta degradasi membentuk asam ferulat dan ferulloilmetan (warna kuning coklat yang mempengaruhi terbentuknya warna merah). Degradasi terjadi bila kurkumin berada dalam pH 8,5-10,0 dalam waktu yang relatif lama. Akan tetapi, proses degradasi juga dapat terjadi pada waktu singkat karena proses degradasi juga dipengaruhi oleh suhu lingkungan. Selain pengaruh pH, kurkuminoid juga mudah terdekomposisi oleh cahaya (Tonnesen and Karlsen, 1985 cit Kiswanto, 2009). Kurkumin juga memiliki daya serap yang rendah sampai menengah di dalam tubuh. Di dalam tubuh, kurkumin diabsorpsi oleh darah, dan dengan cepat dimetabolisme di dalam hati dan diekskresi bersama kotoran. Penggunaan jangka pendek dan menengah cukup aman (Aggarwal et al., 2006).
9
2. Terahidrokurkumin (THC) Tetrahidrokurkumin (THC) merupakan hasil metabolisme kurkumin di dalam tubuh untuk pemberian kurkumin secara sistemik atau intraperitoneal. Sedangkan pada pemberian secara oral, kurkumin akan dimetabolisme menjadi kurkumin glukoronida dan kurkumin sulfonat. Senyawa ini memiliki aktivitas biologis sebagai antioksidan dan antikanker (Pan et al., 1999). Perbedaan struktur kurkumin dan THC terletak pada ikatan α,β karbonil. Pada kurkumin ikatan tersebut merupakan ikatan rangkap (tak jenuh) sedangkan pada THC merupakan ikatan tunggal (jenuh). Perbedaan tersebut menyebabkan terjadinya perbedaan warna pada kedua senyawa, kurkumin berwarna kuning sedangkan THC berwarna putih. O
O
H3CO HO
OCH3
a O
O
H3CO HO
OH OCH3
b
OH
Gambar 4. Perbedaan Struktur kurkumin (a) dan tetrahidrokurkumin (b)
Tetrahidrokurkumin (THC)
merupakan
bentuk
metabolit
dari
kurkumin. THC bersifat lebih hidrofil dibandingkan kurkumin sehingga THC lebih mudah larut dalam pelarut yang bersifat polar. Hal tersebut menyebabkan THC memiliki kestabilan yang lebih baik dalam media berair (Sneharani et al., 2001). THC dapat disintesis melalui proses hidrogenasi dari kurkumin menggunakan katalis PtO2. Sugiyama et al., (1996) melaporkan bahwa THC memiliki aktivitas antioksidan yang lebih baik dibandingkan dengan kurkumin.
10
Mekanisme antioksidan tersebut dipengaruhi oleh bagian β-diketon dari tetrahidrokurkumin. THC terbukti memiliki potensi besar sebagai agen kemopreventif baru yang lebih poten dari kurkumin dan telah diuji secara in vivo (Lai et al., 2011). 3. Senyawa analog kurkumin Sardjiman (2000) berhasil mensintesis beberapa senyawa analog kurkumin
yang
diharapkan
dapat
ditemukan
senyawa
baru
untuk
pengembangan obat baru dengan aktivitas biologis yang lebih baik daripada kurkumin. Senyawa-senyawa hasil sintesis ini dikelompokkan menjadi tiga kelompok berdasarkan struktur cincin tengahnya yaitu Heksagamavunon, Pentagamavunon, dan Gamavuton (Gambar 5). Selanjutnya, dibedakan berdasarkan substituen pada R1, R2 dan R3. O R1
R1
R2 R3
a O
R2 R3
R1
R1 R2
R2
b R3
O
R3 R1
R1
c R2
R2
R3 R3 Gambar 5. Struktur analog kurkumin: Heksagamavunon (a), Pentagamavunon (b), dan Gamavuton (c)
a.
Pentagamavunon-0 (PGV-0) dan Pentagavunon-1 (PGV-1) Senyawa
hasil
sintesis
analog
kurkumin
diantaranya
pentagamavunon-0 (PGV-0) dan pentagamavunon-1 (PGV-1). Kedua
11
senyawa tersebut memiliki perbedaan pada substituen R1 dan R3. Substituen R2 dan struktur cincin tengah memiliki kesamaan. Pada PGV0, substituent R1 berupa gugus metoksi dan tidak ada substituen pada R 3. Sedangkan pada PGV-1, substituen R1 dan R3 berupa gugus metil. O H3CO
OCH3
HO
OH
a O
H3C
CH3
HO CH3
b
OH CH3
Gambar 6. Struktur PGV-0 (a) dan PGV-1 (b)
PGV-0 dan PGV-1 (Gambar 6) memiliki aktivitas antioksidan yang lebih baik daripada kurkumin (Sardjiman, 2000). Selain aktivitas antioksidan, PGV-0 dan PGV-1 juga dilaporkan memiliki aktivitas antiinflamasi melalui penghambatan siklooksigenase dan sitotoksik yang lebih baik daripada kurkumin Da’i, 1998 , antikanker terhadap sel kanker payudara T47D (Nurulita dan Meiyanto, 2000), dan aktivitas antiproliferatif terhadap sel myeloma yang lebih kuat dibanding kurkumin Da’i dkk., 2004). Hasil penelitian tentang farmakokinetika yang telah dilakukan menunjukkan bahwa profil kadar PGV-0 dalam darah mengalami fluktuasi terutama dengan pemberian secara oral (Hakim dkk., 2006).
12
b. Tetrahidropentagamavunon-0 (THPGV-0) dan Tetrehidropentagamavunon-1 (THPGV-1) Ritmaleni dan Simbara (2010) berhasil melakukan sintesis THPGV-0 dari starting material PGV-0 melalui reaksi hidrogenasi dengan gas
dan katalis logam Paladium/Karbon (Pd/C) 10% dalam
pelarut metanol. Selain THPV-0, Ritmaleni et al., (2013) melaporkan bahwa sintesis THGPV-1 dari starting material PGV-1 juga berhasil dilakukan. Sintesis THPGV-1 menghasilkan rendemen sebesar 24% dan THPGV-1 menghasilkan rendemen sebesar 18%. Senyawa THPGV-0 berupa serbuk putih yang memiliki jarak lebur 122,2-123,4°C. Sedangkan THPGV-1 berupa serbuk putih yang memiliki jarak lebur 133-135°C. Kedua struktur senyawa tersebut telah dikarakterisasi dengan spektroskopi UV-Vis,
IR,
MS,
1
H-NMR
dan
13
C-NMR yang
menunjukkan bahwa senyawa hasil sintesis tersebut adalah THPGV-0 dan THPGV-1 (Gambar 7). O H3CO
OCH3
HO
OH
a O
H3C
CH3
HO
OH
b CH3
CH3
Gambar 7. Struktur THPGV-0 (a) dan THPGV-1 (b)
Sintesis THPGV-0 menggunakan pelarut protik yang bersifat lebih polar, seperti metanol, menghasilkan rendemen THPGV-0 yang
13
lebih banyak dibandingkan menggunakan pelarut protik yang kurang polar, seperti etanol. Hasil penelitian
Ritmaleni
et
al.,
(2013)
menunjukkan bahwa pelarut protik yang paling optimum untuk mensintesis THPGV-0, yaitu metanol, menghasilkan rendemen sebesar 40%. Hasil penelitian sebelumnya melaporkan bahwa THPGV-0 memiliki daya tangkap radikal DPPH dan daya reduktif yang lebih baik dibandingkan PGV-0 dan vitamin E (Simbara, 2010). Penelitian oleh Utama (2012) juga melaporkan bahwa THPGV-1 memiliki daya tangkap radikal DPPH dan daya reduktif yang lebih baik dibandingkan PGV-1 dan vitamin C. 4. 2,6-bis-(4'-metoksibenzilidin)-sikloheksanon (A4) Sardjiman
(2000)
berhasil
melakukan
sintesis
2,6-bis- -
metoksibenzilidin)-sikloheksanon (A4) (Gambar 8) yang merupakan analog kurkumin dalam kelompok heksagamavunon. Struktur cincin tengah berupa sikloheksanon. Senyawa A4 memiliki jarak lebur 157-160°C dengan berat molekul (BM) sebesar 334 g/mol. O
H3CO
OCH3 Gambar 8. Struktur A4
5. Reaksi hidrogenasi Reaksi hidrogenasi merupakan reaksi kimia yang menghasilkan penambahan hidrogen (H2). Reaksi ini biasanya dilakukan untuk mereduksi
14
atau menjenuhkan ikatan rangkap pada senyawa-senyawa organik. Reaksi ini secara khas didasari penambahan sepasang atom hidrogen pada suatu molekul. Hidrogen bertambah pada ikatan rangkap dua atau rangkap tiga dalam senyawa hidrokarbon (Hudlicky, 1996). Dalam proses hidrogenasi, banyak yang menggunakan gas hidrogen (H2) sebagai agen pereduksi. Hidrogenasi berbeda dengan protonasi atau penambahan hidrida. Dalam hidrogenasi, produk mempunyai muatan yang sama dengan reaktan. Contoh klasik hidrogenasi adalah adisi hidrogen pada asam maleat menjadi asam suksinat (Hudlicky, 1996). Pada industri makanan, reaksi hidrogenasi diaplikasikan pada pembuatan minyak nabati dan lemak, yaitu untuk mengubah asam lemak tak jenuh menjadi asam lemak jenuh, seperti dalam proses pembuatan margarin (Kataren, 2005). Selain pada industri makanan, reaksi hidrogenasi ini juga banyak digunakan pada industri petrokimia dan farmasetika. 6. Hidrogenasi senyawa analog kurkumin dengan katalis Pd/C Pada umumnya, reduksi senyawa atau reaksi hidrogenasi mempunyai energi aktivitas yang tinggi. Hidrogenasi alkena dapat dilakukan pada suhu kamar dengan adanya katalis logam. Katalis dapat menyebabkan energi aktivasi yang lebih rendah dalam reaksi hidrogenasi (Solomons, 1990). Salah satu katalis logam yang digunakan dalam reaksi hidrogenasi adalah Paladium (Pd). Paladium (Pd) adalah jenis logam halus berwarna putih keperakan yang mirip dengan platinum (Pt). Paladium (Pd) merupakan logam yang memiliki titik lebur paling rendah dalam grup platinum, sehingga aman digunakan.
15
Logam ini sedikit larut dalam asam nitrit, asam sulfur panas dan asam klorida (Aldrich, 1996). Selain digunakan sebagai katalis dalam reaksi hidrogenasi, Paladium (Pd) juga dapat digunakan sebagai katalis dalam reaksi hidrogenolisis,
karbonilasi,
dehidrogenasi,
sikloisomerisasi
dan
reaksi
perisiklik lainnya. Reaksi yang menggunakan Pd dapat dilakukan pada kondisi ruang dan menghasilkan jumlah rendemen yang tinggi dengan level stereo- dan kemoselektivitas yang baik (Tsuji, 2003). Hasil studi mengenai pengaruh katalis logam pada sintesis THPGV-0 juga menunjukkan bahwa hanya katalis Pd/C 10% yang mampu menghasilkan senyawa THPGV-0 dibandingkan katalis logam lainnya seperti FeCl3, AlCl3, dan ZnCl2. Ketiga katalis logam lainnya mereduksi semua ikatan rangkap pada bagian benzilidin dan keton pada PGV-0, dimana hasil reduksi tersebut merupakan hasil samping pada reaksi hidrogenasi menggunakan katalis Pd/C (Ritmaleni et al., 2013). Dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa katalis Pd/C merupakan katalis yang paling baik untuk reaksi hidrogenasi THPGV-0. 7. Kromatografi Kromatografi dapat diartikan sebagai suatu metode analisis dimana fase gerak (mobile phase) akan melewati sebuah fase diam (stationary phase) sehingga campuran suatu zat dapat dipisahkan menjadi komponenkomponennya. Fase diam berfungsi untuk menahan komponen campuran sedangkan fase gerak berfungsi untuk melarutkan zat komponen campuran. Pemisahan senyawa dalam kromatografi didasarkan pada polaritas dari suatu senyawa. Komponen yang memiliki polaritas yang sama dengan fase diam
16
akan tertinggal di fase diam, sedangkan komponen yang mudah larut dalam fase gerak akan bergerak lebih cepat (Hahn, 2007). a.
Kromatografi Lapis Tipis (KLT) Kromatografi Lapis Tipis (KLT) merupakan suatu metode analisis lama yang hingga saat ini masih sering digunakan dalam analisis kualitatif karena mudah, murah, cepat dan sederhana (Firdaus dan Utami, 2009). KLT merupakan metode untuk memisahkan campuran senyawa organik berdasarkan pada perbedaan migrasi dari masing-masing komponen campuran. KLT banyak digunakan untuk analisis kualitatif. Selain itu, metode ini sering digunakan dalam analisis senyawa kimia untuk pemeriksaan identitas dan kemurnian suatu senyawa obat (Handayani dkk., 2005). Fase diam dalam KLT berupa lapisan yang seragam pada permukaan suatu bidang datar yang didukung oleh suatu lempeng. Lempeng tersebut terbuat dari kaca, aluminium, atau plastik. Fase diam tersebut merupakan penjerap berukuran kecil, umumnya partikel berdiameter 12 µm. Semakin kecil ukuran rata-rata partikel fase diam dan semakin sempit ukuran kisaran fase diam, maka semakin baik kinerja KLT dalam hal efisiensi dan resolusinya. Beberapa contoh fase diam diantaranya silika gel, selulosa, alumina, poliamida, dan penukar ion (Gocan, 2002). Fase gerak atau pelarut pengembang (eluen) dapat berupa pelarut tunggal atau campuran pelarut organik. Pemilihan fase gerak
17
yang sesuai memiliki peranan yang sangat penting dalam proses pemisahan dengan KLT. Fase gerak akan bergerak sepanjang fase diam karena pengaruh gaya kapiler pada pengembangan (elusi) secara menaik (ascending), atau pengaruh gravitasi pada pengembangan (elusi) secara menurun (descending). Komponen senyawa dapat berinteraksi dengan fase diam dan fase gerak pada tingkat yang berbeda-beda sehingga memiliki waktu retensi yang berbeda-beda dan dengan demikian komponen senyawa akan terpisah (Widada, 2000). Jarak pengembangan senyawa pada KLT biasanya dinyatakan dengan Rf (Retention factor). Angka Rf berkisar antara 0-1. arak ang ditempuh sen awa arak ang ditempuh fase gerak Jarak yang telah ditempuh fase gerak dapat diukur dengan mudah, sedangkan jarak tempuh senyawa diukur pada pusat bercak tersebut atau pada titik kerapatan maksimum. Pemisahan suatu senyawa berwarna dengan menggunakan kromatografi akan mudah terlihat daripada pemisahan senyawa yang tidak berwarna. Pada senyawa yang tidak berwarna, penampakan bercak dapat dilakukan dengan visualisasi bercak pada KLT yang mengandung indikator fluoresensi yaitu menggunakan sinar ultraviolet (UV), namun cara ini terbatas untuk senyawa yang mempunyai cincin aromatik atau kromofor (Gocan, 2002). Cara lain yaitu menggunakan pereaksi semprot yang dapat berfungsi uji kualitatif karena penampakan bercak dapat bersifat spesifik terhadap gugus-gugus tertentu. Salah satu pereaksi
18
semprot yang digunakan untuk visualisasi senyawa organik adalah KMnO4. b. Kromatografi Kolom Kromatografi kolom merupakan salah satu jenis metode kromatografi cair-padat yang digunakan untuk memisahkan campuran senyawa organik. Metode ini merupakan metode kromatografi paling awal yang digunakan untuk pemisahan sampel dalam jumlah banyak. Mekanisme pemisahan kromatografi kolom berdasarkan kekuatan serapan atau adsorpsi senyawa analit terhadap fase diam di dalam kolom kromatografi. Pada dasarnya, prinsip pemisahan dalam kromatografi kolom sama dengan pemisahan dalam KLT. Pemisahan dalam kromatografi kolom dibantu dengan adanya gravitasi sehingga akan mengalir melewati fase diam. Fase diam ditempatkan dalam kolom yaitu tabung kaca berbentuk silinder yang bagian bawahnya tertutup dengan katup atau kran. Sedangkan fase gerak dibiarkan mengalir ke bawah karena gaya gravitasi. Fase gerak atau eluen yang merupakan komponen campuran biasanya dipisahkan dengan cara membiarkannya mengalir keluar dari kolom dan mengumpulkannya sebagai fraksi. Dalam perkembangannya, kromatografi kolom digunakan untuk isolasi dan kuantitasi molekul bioaktif contohnya jaringan otak (Chruch, 2005). 8. Pemeriksaan Jarak Lebur Titik lebur merupakan suhu dimana terjadi perubahan bentuk dari padatan menjadi cairan pada tekanan 1 atm. Jarak lebur merupakan parameter
19
kemurnian suatu senyawa. Senyawa murni akan memiliki jarak lebur yang sempit yaitu 1-2°C (Sharp et al., 1989; Pramitasari, 2013). 9. Spektroskopi a.
Spektroskopi Infra Merah Spektrokopi infra merah merupakan metode spektroskopi yang memanfaatkan vibrasi dari suatu molekul yang tereksitasi menghasilkan suatu spektra infra merah (Silverstein and Webster, 1998). Spektra infra merah banyak digunakan dalam analisis senyawa hasil isolasi dan sintesis. Spekta infra merah ini berfungsi untuk memberikan informasi gugus fungsional molekul pada analisis kualitatif dan kuantitatif (Kaban, 2005; Siregar, 2005). Radiasi infra merah merupakan pengukuran gelombang elektromagnetik antara daerah visible dan microwave. Penggunaan spektra inframerah untuk penentuan struktur senyawa organik biasanya antara 4000-400 cm-1. Daerah di atas frekuensi 4000 cm-1 disebut daerah dekat sedangkan daerah di bawah frekuensi 400 cm-1 disebut daerah jauh (Silverstein and Webster, 1998). Pada dasarnya, tidak semua senyawa mampu menyerap radiasi infra merah secara sempurna. Hanya senyawa yang memiliki ikatan kimia tertentu yang mampu menyerap radiasi infra merah, yaitu ikatan yang cukup memiliki momen dipol. Setiap ikatan kimia memiliki frekuensi vibrasi alamiah yang spesifik sesuai dengan ikatan tersebut. Jika ikatan kimia yang dipapari radiasi infra merah memiliki frekuensi yang sesuai dengan frekuensi alaminya, maka akan terjadi interaksi
20
medan listrik. Hal tersebut menyebabkan perubahan vibrasi yang menandakan absorpsi radiasi inframerah oleh molekul bersangkutan. Energi yang diserap digunakan untuk meningkatkan amplitudo vibrasi ikatan-ikatan dalam molekul (Silverstein and Webster, 1998). Vibrasi dibagi menjadi dua macam, yaitu ulur (stretching) dan tekuk (bending). Vibrasi ulur adalah vibrasi yang disebabkan adanya perubahan jarak antara dua atom sepanjang sumbu kedua atom tersebut secara terus-menerus. Vibrasi tekuk adalah vibrasi yang disebabkan adanya perubahan jarak antara dua atom yang disertai dengan perubahan sudut ikatan ke dua atom tersebut (Silverstein and Webster, 1998). b. Spektroskopi massa Spektroskopi massa (MS) merupakan suatu teknik analisis kualitatif yang dapat memberikan informasi berat molekul (BM) suatu senyawa organik. Spektrometer massa bekerja dengan cara menembaki suatu molekul dengan elektron yang berenergi tinggi. Tabrakan antara sebuah molekul organik dan salah satu elektron berenergi tinggi menyebabkan lepasnya sebuah elektron dari molekul tersebut dan berubah menjadi ion radikal positif. Ion yang dihasilkan oleh pemborbadiran elektron berenergi tinggi ini tidak stabil dan pecah menjadi fragmen yang kecil, baik berbentuk radikal bebas maupun ionion lain. Ion-ion tersebut kemudian dipercepat dalam medan listrik dan dipisahkan sesuai rasio muatan-muatan dalam medan magnet atau medan listrik. Ion dengan rasio massa-muatan (m/z) tertentu dideteksi dengan
21
alat yang dapat menghitung jumlah ion yang menumbuknya (Silverstein and Webster, 1998). Ada beberapa cara ionisasi untuk menjadikan suatu molekul ion agar dapat dideteksi oleh spektrometer massa. Metode Electron Impact adalah cara yang paling sering digunakan dalam analisis spektroskopi massa. Hasilnya sebagian besar berupa ion M+•. Karena ion M+• ini dihasilkan secara kimia, energinya lebih rendah sehingga tidak terfragmentasi seperti pada Electron Impact (Silverstein and Webster, 1998). Data yang diperoleh dari spektra massa dapat memberikan informasi antara lain puncak ion molekuler (sebagai berat molekul senyawa) dan m/z fragmen yang terjadi beserta kelimpahannya. Puncak ion molekuler menunjukkan berat molekul senyawa yang dianalisis, sedangkan massa ion fragmen beserta kelimpahannya dapat digunakan untuk menyusun kemungkinan reaksi fragmentasi yang terjadi. Analisis mekanisme reaksi fragmentasi digunakan untuk mendukung struktur molekul asal serta bagaimana fragmen-fragmen terbentuk (Silverstein and Webster, 1998). c.
Spektroskopi NMR Spektroskopi NMR merupakan salah satu teknik yang paling sering digunakan untuk menentukan atau verifikasi struktur senyawasenyawa organik dan biomolekul. Kualitas spektra NMR ditentukan oleh 2 parameter, yaitu sensitivitas dan resolusi alat (Zangger, 2015).
22
1) Spektroskopi 1H-NMR Suatu inti atom dalam keadaan ground state memiliki nilai spin tertentu. Inti atom akan menyerap radiasi elektromagnetik pada medan eksternal yang kuat. Jika suatu inti dipaparkan pada suatu medan magnet, maka inti tersebut akan mengalami presesi di sekitar sumbu spin-n a dengan frekuensi angular ώ . Frekuensi presisi suatu proton berbanding lurus dengan kekuatan medan magnet yang digunakan. Tidak semua inti dapat berlaku sebagai magnet sehingga inti memiliki momen magnet (µ) yang dihasilkan oleh medan megnet dan spin-nya (Silverstein and Webster, 1998). Fenomena resonansi magnet ini terjadi apabila inti yang searah dengan medan magnet eksternal mengabsorpsi energi (radiasi elektromagnetik) sehingga berubah orientasi spin-nya. Perubahan terjadi dari searah menjadi berlawanan arah dengan medan magnet eksternal. Kegunaan utama dari resonansi magnet ini ialah untuk mengetahui banyaknya lingkungan proton pada suatu senyawa karena tidak setiap proton dalam molekul senyawa beresonansi pada frekuensi yang sama. Hal ini disebabkan elektron pada proton tersebut dapat terlindungi (shielding) atau tidak terlindungi (deshielding) dari medan magnet eksternal (Bo) (Silverstein and Webster, 1998). Proton
tersebut
mengalami
shielding
oleh
elektron
disekitarnya. Dalam medan magnet, elektron valensi dari proton
23
yang bergerak menimbulkan medan magnet yang berlawanan arah dengan medan magnet yang dipaparkan pada proton tersebut. Hal ini menyebabkan medan magnet yang dirasakan oleh proton tersebut berkurang. Shielding atau perlindungan suatu proton bergantung pada kerapatan elektron yang mengelilinginya. Perubahan frekuensi resonansi yang terjadi sangat kecil. Oleh karena itu, frekuensi resonansi diukur secara relatif terhadap frekuensi resonansi proton senyawa referensi. Referensi baku yang digunakan secara universal adalah tetrametilsilan (TMS). Senyawa ini dipilih karena protonnya lebih shielded daripada kebanyakan senyawa organik lainnya (Silverstein and Webster, 1998). Pergeseran resonansi terhadap TMS dipengaruhi oleh kekuatan medan magnet yang digunakan. Agar tidak menimbulkan kesalahan saat membandingkan spektra yang dihasilkan oleh dua instrumen dengan kekuatan medan magnet yang berbeda, maka perlu didefinisikan suatu parameter baru berupa geseran kimia δ
ang
tidak dipengaruhi oleh kekuatan medan magnet yang digunakan. δ ppm
ergeseran Frekuensi Frekuensi pektrofotometer
Suatu proton akan muncul pada daerah geseran kimia tertentu sesuai dengan shielding yang dialaminya. Proton yang mengikat atom elektronegatif atau heteroatom akan lebih deshielded karena elektronegatifitas heteroatom tersebut menarik elektron valensi dari proton yang mengakibatkan geseran kimianya akan muncul pada
24
daerah yang lebih tinggi (downfield). Hibridisasi atom karbon yang mengikat proton berpengaruh pada geseran kimianya. Karbon sp2 memiliki karakter s lebih besar daripada karbon sp3. Hal ini berakibat elektron valensi pada karbon sp3 menjadi lebih dekat tertarik ke karbon sp2 daripada sp3 sehingga proton yang terikat pada karbon sp2 lebih deshielded daripada karbon sp3. Struktur senyawa kimia ang memiliki ikatan π menunjukkan efek anisotropi ang disebabkan oleh pergerakan elektron ikatan π.
ika medan magnet
dipaparkan pada cincin benzena, maka cincin benzena akan berorientasi tegak lurus terhadap medan magnet eksternal. Sirkulasi elektron terdelokalisasi menimbulkan medan magnet internal yang berlawanan dengan medan magnet eksternal di bagian tengah cincin. Hal ini menyebabkan proton pada bagian tepi cincin merasakan medan magnet yang lebih kuat dan hal sebaliknya dirasakan terjadi pada proton yang terletak di bagian dalam cincin benzena. Fenomena seperti ini juga terjadi pada alkena dan senyawa karbonil yang berbentuk planar dan memiliki orientasi tegak lurus terhadap medan magnet eksternal. Hal ini tidak berlaku pada alkuna dikarenakan bentuk orientasinya sejajar terhadap medan magnet eksternal. Hal ini menyebabkan proton yang berada pada satu garis lurus dengan ikatan rangkap tiganya menjadi lebih shielded (Silverstein and Webster, 1998).
25
2) Spektroskopi 13C-NMR Karbon memiliki isotop yaitu 12C dan 13C. Isotop karbon 12C jumlahnya lebih melimpah di alam, namun tidak memiliki sifat magnetik dikarenakan mempunyai nomor atom dan nomor massa genap. Atom 13C memiliki sifat magnetik atau mempunyai spin tetapi kelimpahannya di alam sangat sedikit (hanya 1,1%) dari seluruh atom karbon dan memiliki momen magnetik yang rendah (resonansi atom
13
C 6000 kali lebih kecil daripada atom H). Spektroskopi
13
C-
NMR berbeda dengan 1H-NMR, parameter yang digunakan hanya geseran kimia (chemical
shift). Integral tidak reliabel dan tidak
menunjukkan jumlah relatif dari atom karbon yang menghasilkan sinyal tersebut. Spin-spin antar karbon yang bersebelahan atau berdekatan sangat jarang karena kelimpahan atom bersebelahan relatif kecil. Atom
13
C yang
13
C mengalami interaksi spin-spin
dengan atom H yang diikatnya. Dengan melihat harga geseran kimianya, dapat diketahui jenis atom karbon sesuai dengan hibridisasinya, yaitu sp, sp2, atau sp3. Selain itu, dapat diperkirakan pula gugus fungsional yang terikat pada atom karbon tersebut. Dengan demikian, spektrum
13
C-NMR akan memberikan informasi
mengenai kerangka atom karbon dari suatu senyawa (Silverstein and Webster, 1998).
26
10. Radikal bebas Suatu radikal bebas mampu menyerang sel-sel tubuh yang sehat menyebabkan sel-sel tersebut kehilangan struktur dan fungsinya. Radikal bebas merupakan suatu molekul yang memiliki satu atau lebih elektron bebas (tidak berpasangan) yang sangat reaktif pada orbit atomik atau molekuler, ditimbulkan oleh suatu reaksi kimia yang disebut oksidasi (Martha dkk., 2013). Oksidasi adalah sejenis pembakaran dan selalu merusak apapun yang dioksidasinya. Unsur oksigen yang mengisi 20% dari atmosfer udara dapat berikatan secara kimia dengan subtansi asli, baik itu besi, selulosa atau hidrokarbon, untuk membentuk senyawa yang baru. Istilah oksidasi sebenarnya berarti penambahan oksigen, sekarang telah diperluas oleh para ahli kimia merumuskan oksidasi sebagai setiap reaksi kimia yang melibatkan hilangnya sebuah elektron dari sebuah atom. Pelepasan elektron dari atom sesungguhnya adalah keahlian utama dari radikal bebas. Oksidasi selalu berkaitan dengan pelepasan energi, biasanya dalam bentuk panas (Yongson, 2005). Reaksi oksidasi suatu molekul terdiri dari 3 tahap, yaitu: inisiasi, propagasi dan terminasi. Salah satu reaksi oksidasi dapat disebabkan oleh oksigen. Tahap inisiasi adalah tahapan pembentukan radikal bebas sebagai tahap awal reaksi oksidasi. Setelah radikal bebas terbentuk, tahapan selanjutnya yaitu tahap propagasi. Tahap propagasi adalah tahapan reaksi radikal bebas dengan oksigen membentuk radikal peroksi dan selanjutnya
27
dapat mengambil hidrogen dari molekul tak jenuh yang lain menghasilkan peroksida dan radikal bebas baru. Dengan demikian, mulai terjadi reaksi penyebaran dan reaksi akan terjadi berulang-ulang sehingga bersifat sebagai reaksi berantai. Reaksi pada tahap propagasi akan diikuti tahap terminasi yang merupakan tahapan akhir dari reaksi oksidasi. Tahap terminasi terjadi jika radikal bebas bereaksi sendiri menghasilkan produk yang stabil. Salah satu contoh mekanisme reaksi oksidasi yaitu sebagai berikut: Tahap inisiasi: → •+ • Tahap propagasi: •+ OO• +
→ OO• → OO + •
Tahap terminasi: •+ •→
−
• + OO• → OO (Hapsari dan Siti, 2014) Beberapa radikal bebas dan oksidan-oksidan lebih dikenal sebagai Reactive Oxygen Species (ROS) yang aktif di dalam organisme hidup. ROS diproduksi secara terus-menerus di dalam tubuh manusia sebagai konsekuensi dan proses metabolisme normal. ROS diproduksi oleh banyak jalur dan metabolisme. Kebanyakan oksidan diproduksi sel terjadi sebagai:
28
a. Konsekuensi metabolisme aerobik normal: sekitar 90% oksigen digunakan oleh sel yang dikonsumsi oleh sistem transport elektron mitokondria b. Oksidatif meledak dari fagosit (sel darah putih) sebagai bagian dari mekanisme bakteri dan virus yang dibunuh dan protein asing (antigen) yang terdenaturasi c. Metabolisme senyawa beracun (xenobiotik), yaitu detoksifikasi zat-zat beracun Jenis ROS diantaranya radikal hidroksil, superoksida yang anion radikal, nitrat oksida radikal, peroksida lipid hipoklorit radikal, dan lain sebagainya. Semua mampu bereaksi dengan membrane lipid, asam nukleat, protein, dan enzim, dan molekul kecil lainnya yang dapat menyebabkan kerusakan sel (Percival, 1996). Radikal bebas hidroksil biasanya tidak terjadi pada sistem yang hidup karena kuatnya ikatan antara atom-atom hidrogen dan oksigen di dalam molekul air. Tetapi, jika seseorang terpejan radiasi ionisasi, ikatan ini dapat dipecah oleh radiasi sehingga terbentuk radikal hidroksil. Inilah dasar dari penyakit radiasi yaitu kerusakan yang mengerikan, sering kali mematikan, yang terjadi pada orang-orang yang terkena radiasi dalam dosis besar. Jika radiasi hidroksil menyerang DNA, maka reaksi berantai terjadi di sepanjang molekul DNA dan menimbulkan kerusakan serta mutasi pada bahan genetik. Reaksi berantai ini bahkan bisa menyebabkan putusan tali DNA. Tubuh memperbaiki kerusakan dengan proses replikasi perbaikan DNA yang alami,
29
tetapi perbaikan yang tidak sempurna akan menghasilkan DNA yang telah berubah dan bisa menimbulkan kanker. 11. Antioksidan Tubuh tidak dapat berfungsi tanpa radikal bebas karena radikal bebas terlibat dalam berbagai reaksi kimia yang penting. Tetapi jika radikal bebas diproduksi lebih banyak daripada yang diperlukan oleh tubuh, atau jika metode pengolahan radikal bebas dari tubuh tidak memadai, maka kita berada dalam kesulitan. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu antiokasidan. Antioksidan adalah bahan yang menghambat atau mencegah keruntuhan, kerusakan atau kehancuran
akibat
oksidasi
(Yongson,
2005).
Antioksidan
mampu
menstabilkan atau menonaktifkan radikal bebas sebelum mereka menyerang sel-sel. Antioksidan ini bekerja dengan mendonorkan atom hidrogen ke radikal hidroksil sehingga terbetuk air: H+ + OH- → H2O. Dengan kata lain, dua radikal aktif yang berbahaya bergabung membentuk sebuah molekul yang tidak berbahaya yaitu air. Antioksidan dapat berasal dari dalam tubuh (endogen) atau tambahan dari luar tubuh (eksogen). Komponen-komponen yang termasuk yaitu: 1.
Antioksidan turunan nutrisi. Contohnya asam askorbat (vitamin C), tokoferol dan tokotrineol (vitamin E), karotenoid, dan komponen lain dengan bobot molekul yang rendah seperti glutation dan asam lipoat.
30
2.
Enzim antioksidan. Contohnya adalah Superoksida dismutase, glutation peroksidase, dan glutation reduktase, yang mengkatalisis reaksi pemadaman radikal bebaas
3.
Logam pengikat protein, seperti ferritin, laktoferrin, albumin, dan seruloplasmin yang menyerap besi bebas dan ion tembaga yang mampu mengkatalisis reaksi oksidatif.
4.
Adanya banyak fitonutrisi antioksidan lain dalam makanan yang berasal dari tumbuhan. (Percival, 1996) Salah satu antioksidan alami dari dalam tubuh yang paling efektif
adalah α-tocopherol (vitamin E), larut dalam lemak. Vitamin C juga merupakan antioksidan yang kuat, tetapi larut dalam air. Antioksidan dapat digolongkan berdasarkan fungsinya menjadi lima yaitu : 1.
Antioksidan primer Antioksidan primer berfungsi untuk mencegah terbentuknya radikal bebas baru karena antioksidan tersebut dapat merubah radikal bebas yang ada menjadi molekul yang stabil. Antioksidan primer bekerja untuk mencegah pembentukan senyawa radikal bebas baru dengan cara mengubah radikal bebas yang ada menjadi molekul yang berkurang dampak negatifnya, sebelum radikal ini sempat bereaksi. Contoh antioksidan ini adalah enzim SOD yang berfungsi sebagai pelindung hancurnya sel-sel dalam tubuh serta mencegah proses peradangan karena radikal bebas
31
2.
Antioksidan sekunder Antioksidan sekunder berfungsi sebagai senyawa penangkap radikal bebas serta mencegah terjadinya reaksi berantai sehingga tidak terjadi kerusakan yang lebih besar. Contoh antioksidan sekunder: vitamin E, vitamin C, beta karoten, likopen, bilirubin, dan albumin.
3.
Antioksidan tersier Antioksidan tersier merupakan senyawa yang memperbaiki sel-sel dan jaringan yang rusak karena serangan radikal bebas. Contoh enzim yang memperbaiki DNA pada inti sel adalah metionin sulfoksi dan reduktase. Adanya enzim-enzim perbaikan DNA ini berguna untuk mencegah penyakit kanker dan degeneratif lainnya.
4.
Oxygen scavenger Antioksidan yang termasuk oxygen scavenger mengikat oksigen sehingga tidak mendukung reaksi oksidasi.
5.
Chelators dan seguesstrants Chelators dan seguesstrants merupakan senyawa antioksidan yang mengikat logam yang mampu mengkatalisis reaksi oksidasi. (Purba dan Martono, 2009)
12. Vitamin E Vitamin E pertama kali ditemukan oleh Evans dan Bishop pada tahun 1922 sebagai nutrien esensial dalam fungsi reproduksi. Vitamin E terdiri dari dua grup yaitu tokoferol dan tokotreniol, keduanya disebut tokokromanol. Dua sub grup dari tokromanol dapat diklasifikasikan menjadi
32
isomer ang berbeda, aitu α-, β-, γ-, dan δ- tergantung pada jumlah dan posisi gugus metil pada cincin kromonal (Marthadkk., 2013). Akan tetapi, ang dimaksud dengan vitamin E selama ini adalah α-tokoferol. CH3 HO
CH3
H3C
O CH3
CH3
CH3
CH3
CH3
Gambar 9. Struktur Vitamin E (α-tokoferol)
Vitamin E merupakan senyawa tidak larut dalam air tetapi larut dalam minyak, lemak, alkohol, aseton, eter, kloroform, benzene, dan pelarut organik lainnya. Vitamin E stabil pada pemanasan dan tidak bersifat basa jika tidak ada oksigen dan tidak terpengaruh oleh asam pada suhu di atas 100°C. Jika terkena oksigen yang ada di dalam udara, akan teroksidasi secara perlahan-lahan. Bila terkena cahaya, secara bertahap warnanya akan menjadi gelap. Sumber alami yang paling banyak mengandung vitamin E adalah minyak tak jenuh, seperti minyak hati ikan cod, minyak jagung, minyak kacang kedelai, dan minyak biji bunga matahari. Vitamin E berfungsi sebagai antioksidan chain-breaking yaitu mencegah reaksi radikal bebas dan disfungsi mitokondria akibat stres oksidatif. Vitamin E berperan pada regulasi sinyal seluler, proliferasi sel, dan ekspresi gen, serta memicu radikal peroksil lipid dengan menyumbangkan hidrogen, bereaksi dengan oksigen reaktif, serta spesies nitrogen. Pada studi in vivo, vitamin E berperan pada penghambatan tahap inisiasi dan propagasi (Machlin, 1984).
33
13. Uji Antioksidan Metode Daya Tangkap Radikal DPPH Senyawa radikal yang biasa digunakan dalam berbagai penelitian tentang antioksidan adalah DPPH (2,2-diphenyl-2-picrylhydrazyl) (Purba dan Martono, 2009). DPPH dapat menerima elektron atau radikal hidrogen menjadi suatu senyawa yang stabil secara diamagnetik (Kim, 2005). Metode penangakapan radikal DPPH dianggap sebagai salah satu metode kolorimetri standar dan mudah untuk evaluasi sifat antioksidan pada senyawa murni (Molyneux, 2004; Mishra et al., 2012).
N N O2N
+ NO2
NO2 Ungu
N NH
RH O2N
+
R
NO2
NO2 Kuning
Gambar 10. Reaksi umum penangkapan radikal DPPH
Kemampuan radikal DPPH untuk direduksi atau distabilisasi oleh antioksidan diukur dengan menggunakan penurunan absorbansi pada panjang gelombang 517 nm. Elektron yang tidak berpasangan pada DPPH memiliki kemampuan penyerapan yang kuat pada panjang gelombang 517 nm dengan warna ungu. Perubahan warna menjadi kuning terjadi karena DPPH berubah menjadi DPPH-H. antioksidan berperan mendonorkan atom H sehingga berbentuk DPPH-H tereduksi. Kapasitas penangkapan radikal bebas ditunjukkan dengan presentase berkurangnya warna ungu dari DPPH (Molyneux, 2004; Ionita, 2005; Kim, 2005; Xie and Schaich, 2014).
34
Metode penangkapan radikal DPPH ini telah banyak digunakan dalam penelitian uji aktivitas antioksidan terutama untuk senyawa-senyawa yang memiliki gugus fenolik. Hasil penelitian oleh Xie and Schaich (2014) menunjukkan bahwa asam galat memiliki kemampuan menangkap radikal DPPH yang tinggi karena adanya gugus hidroksi. Reaksi penangkapan radikal DPPH oleh asam galat dapat dilihat pada gambar berikut: O N N O2N
O
OH N NH
+ NO2
HO
OH
O2N
+ NO2
HO
O OH
OH NO2 DPPH (ungu)
NO2 Kuning O
N N O2N
OH
O N NH
+ NO2
HO
OH
O2N
HO
NO2 Kuning O
OH
O N NH
+ NO2
HO
OH
O2N
OH
+ NO2
OH NO2 DPPH (ungu)
OH O
NO2 DPPH (ungu)
O2N
OH
+ NO2
OH
N N
OH
O
OH OH
NO2 Kuning
Gambar 11. Reaksi penangkapan radikal DPPH oleh asam galat (Xie and Schaich, 2014)
Gambar di atas (Gambar 11) menunjukkan bahwa asam galat yang memiliki banyak gugus hidroksi akan cenderung mendonorkan atom H lebih
35
banyak sehingga lebih banyak radikal DPPH yang berbentuk DPPH-H, mengakibatkan intensitas warna ungu semakin berkurang. 14. Uji Antioksidan Metode Daya Reduksi Terhadap Ion Ferri Metode
lain
untuk
mengukur
aktivitas
antioksidan
adalah
penangkapan ROS dengan jalan transfer elektron melalui reaksi reduksi oksidasi. Antioksidan dengan kemampuan mendonorkan elektron akan mereduksi senyawa yang menyebabkan oksidasi. Daya reduksi merupakan indikator suatu senyawa berpotensi sebagai antioksidan. Daya reduksi diukur dari kemampuan suatu senyawa antioksidan untuk mengubah ion ferri (Fe3+) menjadi ion ferro (Fe2+). Ion ferro merupakan prooksidan yang aktif dengan mengkatalisis dekomposisi hidroperoksida menjadi radikal bebas. Ion ferro kemudian dapat bereaksi dengan pengompleks membentuk senyawa berwarna yang memiliki serapan pada panjang gelombang tertentu. Pengompleks yang dapat digunakan adalah TPTZ (2,4,6-trypyridyls-triazin), kalium ferrisianida, dan 1,10-fenantrolin (Antolovich et al., 2002; Singhal, 2011). Ion Fe2+ akan membentuk kompleks berwarna merah anggur dengan 1,10-fenantrolin yang memiliki serapan pada 510 nm (Wuryantoko dan
argono, 1997; Da’I, 1998;
holisoh dan Utami, 2007; Dianawati dan
Sugiarso, 2013). Ion Fe2+ bereaksi dengan
tiga mol 1,10-fenantrolin,
kemudian terjadi kompleks dengan menyumbangkan elektron bebas pada atom N 1,10-fenantrolin untuk membentuk ikatan kovalen koordinasi dengan
36
ion Fe2+ (Cholisoh dan Utami, 2007). Reaksi umum reduksi ion ferri oleh senyawa antioksidan dapat dilihat pada gambar berikut: Fe3+ + antioksidan reduktor → Fe2+ 2+ N
+
3 N
Fe2+
N
N Fe
N
N N
N
Gambar 12. Reaksi reduksi ion ferri dan kompleks ion ferro-fenantrolin
Metode daya reduksi terhadap ion ferri dengan pengompleks 1,10fenantrolin ini telah digunakan dalam uji aktivitas antioksidan pada kurkumin dan turunannya. Berdasarkan hasil penelitian Wuryantoko dan Margono (1997), menunjukkan bahwa turunan kurkumin yang tidak mempunyai gugus metoksi maupun hidroksi, dan senyawa tersebut masih mempunyai gugus karbonil yang kaya elektron sehingga mampu mereduksi ion ferri menjadi ion ferro meskipun mempunyai kemampuan reduksi yang lebih kecil. Reaksi reduksi ion ferri oleh turunan kurkumin dapat dilihat pada gambar 13 berikut:
37
Fe3+ O
O
O
O
+ Fe3+ Kurkumin-Fe3+
Kurkumin tak tersubstitusi
Fe2+ O
O
N
+
3 N
Kurkumin-Fe2+
2+
N
N Fe
N
O
O
N N
+
N
Kurkumin+
Komplek ferro-fenantrolin Gambar 13. Reaksi reduksi ion ferri oleh turunan kurkumin (Wuryantoko dan Margono, 1997)
15. Landasan Teori Radikal bebas merupakan salah satu bentuk senyawa
oksigen
reaktif, yang secara umum diketahui sebagai senyawa yang memiliki elektron yang tidak berpasangan. Radikal bebas dapat menyebabkan kerusakan jaringan, sehingga menimbulkan suatu penyakit. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu antioksidan yang mampu menstabilkan atau menonaktifkan radikal bebas sebelum mereka menyerang sel-sel. Beberapa senyawa analog kurkumin yang berhasil disintesis diantaranya THPGV-0 (Ritmaleni dan Simbara, 2010), THPGV-1 (Andhini,
38
2012), THHGV-5 (Wibowo, 2013), THHGV-7 (Praditya, 2014), dan THC7 (Abimantranahita, 2014). Sintesis dilakukan melalui reaksi hidrogenasi dari starting material-nya menggunakan katalis Pd/C 10% dan gas hidrogen (H2) dalam pelarut organik. Katalis Pd/C 10% memungkinkan terjadinya reaksi hidrogenasi pada suhu kamar karena dapat menurukan energi aktivasi (Solomons, 1990). Ritmaleni et al., (2013), juga telah berhasil melakukan sintesis THA4 melalui reaksi hidrogenasi. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa THA4 memiliki titik lebur 156°-157°C dan profil kromatogram KLT berupa bercak tunggal dengan R f = 0.68 (CCl4:etil asetat=5:1). Untuk lebih memastikan hasil reaksi hidrogenasi tersebut merupakan senyawa target, maka perlu dilakukan elusidasi struktur, diantaranya analisis spektroskopi IR, MS, 1H-NMR, dan
13
C-NMR. Data
spektra tersebut dibandingkan dengan data spektra penelitian yang sebelumnya untuk menganalisis kesesuaian struktur senyawa hasil sintesis dengan hasil penelitian sebelumnya. Hasil sintesis THPGV-0 dan THPGV-1 terbukti memiliki aktivitas sebagai antioksidan karena adanya gugus fenolik. Kedua senyawa tersebut mampu menangkap radikal DPPH dan mereduksi ion ferri lebih baik dibandingkan dengan starting material-nya. Hal ini disebabkan karena hilangnya ikatan rangkap di tengah sehingga pengaruh resonansi oleh karbonil menjadi sangat kecil sehingga memungkinkan untuk melepaskan atom H dan mendonor elektron lebih besar (Simbara, 2009; Utama, 2012). Venkatesan et al., (2000) melaporkan bahwa gugus hidroksi fenolik memiliki
39
peranan yang sangat penting terkait dengan aktivitas antioksidan senyawa kurkuminoid dan turunannya. Senyawa-senyawa yang tidak memiliki gugus fenolik mempunyai potensi yang lebih rendah sebagai antioksidan dibandingkan dengan senyawa-senyawa yang memiliki gugus fenolik. Akan tetapi, adanya substituen gugus pendonor elektron seperti metoksi dapat memungkinkan suatu senyawa non fenolik memiliki aktivitas antioksidan karena gugus pendorong elektron akan memperkuat kabut elektron pada gugus karbonil melalui konjugasi positif dan induksi negatif sehingga akan mempermudah perpindahan elektron (Wuryantoko dan Margono, 1997).
F. Hipotesis 1. Berdasarkan hasil elusidasi struktur, diprediksikan bahwa senyawa yang dihasilkan dari sintesis kembali merupakan senyawa THA4 yang sama dengan penelitian sebelumnya. O
H3CO
OCH3 H2, metanol Pd/C 10%
O
H3CO
OCH3
Gambar 14. Prediksi Reaksi Hidrogenasi A4 menjadi THA4
2. Senyawa THA4 juga memiliki aktivitas antioksidan menangkap radikal DPPH dan mereduksi ion ferri yang lebih baik dibandingkan dengan A4 meskipun memiliki potensi yang sangat lemah.