BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pegertian anak sah menurut Pasal 42 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 (UUP) adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Menurut Pasal 44 UUP seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan oleh istrinya bilamana ia dapat membuktikan bahwa istrinya telah berzina dan anak itu akibat dari perzinahan tersebut. Jadi apabila penyangkalan tersebut diputuskan oleh pengadilan maka status anak yang disangkal menjadi anak luar kawin Menurut Ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 mengatur bahwa “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu” dan ayat (2) mengatur bahwa “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam ketentuan tersebut diatas selain menyatakan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan sesuai dengan hukum agama, disamping itu adanya keharusan untuk mencatatkan peristiwa perkawinan itu, agar segala akibat hukum yang timbul mendapatkan perlindungan serta pengakuan hukum dari negara. Jika perkawinan yang dilakukan tidak dicatat maka negara tidak mengakui adanya perkawinan tersebut, demikian juga terhadap anak yang dilahirkan
1
2
dari perkawinan itu dianggap anak yang dilahirkan di luar perkawinan yang sah menurut negara. Mengenai
kedudukan
anak
luar
kawin
Undang-Undang
Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 43 ayat (1) mengatur bahwa „anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya‟ , frasa „hanya‟ pada pasal tersebut membatasi hubungan perdata anak luar kawin. Jadi antara anak luar kawin dan „Ayah biologis‟ tidak mempunyai hubungan keperdataan. Sejalan dengan ketentuan yang ada dalam UUP, ketentuan dalam Instuksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam juga mengatur mengenai kedudukan anak, baik mengenai anak yang sah maupun anak yang lahir di luar perkawinan. Menurut ketentuan Kompilasi Hukum Islam Pasal 99 bahwa “anak yang sah adalah : a. anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah dan b. hasil pembuahan suami istri yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh istri tersebut”. Jika ditafsirkan secara a contrario maka anak yang tidak sah adalah anak yang lahir di luar perkawinan atau akibat dari perkawinan yang tak sah, atau lahir dalam perkawinan yang sah akan tetapi disangkal oleh suaminya dengan sebab li’an sebagaimana Pasal 101 Kompilasi Hukum Islam. Anak luar kawin tidak mempunyai hubungan nasab kepada ayah biologisnya karena menurut ketentuan Pasal 100 Kompilasi Hukum Islam yang mengatur bahwa anak yang lahir di luar perkawinan hanya
3
mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya. Jadi anak yang lahir di luar perkawinan termasuk anak lahir dalam perkawinan tetapi diingkari/disangkal (li’an) menurut Kompilasi Hukum Islam hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya. Nasab merupakan hal yang sangat penting dan merupakan salah satu dari lima tujuan agama (maqasid asy-syariah) yaitu menjaga agama, jiwa, akal, harta dan keturunan 1 maka untuk memelihara dan menjaga nasab, disyariatkan nikah sebagai cara yang yang dipandang sah untuk menjaga dan memelihara kemurnian nasab. Di samping itu, nasab juga merupakan hak yang paling pertama yang harus diterima oleh seorang anak sebelum hak-hak lain yaitu hak radha’ untuk mendapatkan ASI, hak hadanah untuk mendapatkan perawatan, pemeliharaan dan pendidikan secara baik serta hak mendapatkan warisan serta hak perwalian yang diperoleh dari kedua orang tuanya2 Dalam hukum Islam para ulama sepakat bahwa nasab seseorang kepada ibunya terjadi dengan sebab kehamilan sebagai akibat hubungan seksual yang dilakukan dengan seorang lelaki, baik hubungan itu dilakukan berdasarkan akad nikah yang sah maupun melalui perzinahan, sedangkan menurut Wahbah aZ-zuhaili yang dikutip oleh Nurul irfan 3 bahwa nasab anak terhadap ayah kandungnya hanya bisa terjadi dan memungkinkan dibentuk melalui tiga jalan yaitu pertama melalui
1
Abdul Ghofur Anshori & Yulkarnain Harahab, 2008, Hukum Islam Dinamika dan perkembangannya di Indonesia, Total media, Yogyakarta, hlm 32. 2 Nurul Irfan, 2012, Nasab & Status Anak dalam Hukum Islam, Amzah, Jakarta, hlm 23 3 Ibid, hlm 79
4
perkawinan yang sah, kedua melalui perkawinan yang fasid atau batil, termasuk dalam nikah dibawah tangan dan ketiga, melalui hubungan badan secara subhat. Selain tiga jalan tersebut ada yang berpendapat bahwa
dimungkinkan
terjadi
hubungan
nasab
dengan
jalan
istilhaq/pengakuan.4 Pada tanggal 17 Februari 2012 Mahkamah Konstitusi dengan putusan
nomor
46/PUU-VIII/2010
telah
mengabulkan
sebagian
permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Pengujian dilakukan terhadap Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1) sedangkan yang dikabulkan hanya pengujian Pasal 43 ayat (1) yang dalam amar putusannya disebutkan antara lain : “Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan (lembaran Negara republik Indonesia tahun 1974 nomor 1; Tambahan lembaran Negara republik Indonesia nomor 3019) yang menyatakan : “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya” Bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya, sehingga ayat tersebut harus dibaca : “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya”. Mahkamah konstitusi sebagai lembaga pengawal konstitusi dengan keputusannya dapat membatalkan norma (negative legislature) yang 4
Lihat Abdul Manan, 2012, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Fajar Interpratama, Jakarta, hlm 9, dan Nurul Irfan, Op.cit hlm 125 .
5
termuat dalam Undang-undang jika bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Artinya keputusan mahkamah konstitusi setara dengan Undang-undang karena dapat membatalkan Undang-undang. Secara teoritis seolah-olah putusan Mahkamah Konstitusi tersebut membuat norma baru (positif legislature) dalam tata hukum di Indonesia khususnya dalam hukum keluarga. karena positif legislature dipahami sebagai kewenangan dari para legislator bukan pengadilan. Padahal menurut Hens Kelsen yang dikutip oleh Jimly5 dalam konteks melakukan pengujian Undang- undang atas konstitusi, Mahkamah Konststitusi berfungsi sebagai negative legislature (membatalkan norma), yaitu berwenang mengesampingkan dan bahkan membatalkan undang-undang yang terbukti bertentangan dengan konstitusi. Putusan Mahkamah Konstitusi berlaku sebagai undang-undang sehingga bersifat general, tidak individual, dan tidak kasuistis (Pasal 56 ayat (3) jo Pasal 57 ayat (1) UUMK). Putusan ini dipergunakan oleh para hakim untuk menyelesaikan kasus-kasus yang bertalian dengan asal-usul anak dengan segala akibat hukumnya. Dengan adanya putusan MK ini, maka: setiap anak yang dilahirkan mempunyai hubungan perdata baik dengan ibunya dan keluarga ibunya maupun dengan ayahnya dan keluarga ayahnya, baik ia lahir dari perkawinan yang sah, perkawinan yang batal, hubungan badan yang syubhat, perkawinan tidak tercatat, ataupun lahir di luar perkawinan. 5
Jimly Assiddiqie, 2005, Model-Model Pengujian Konstitusional di Berbogai Negara, Konstitusi Press, Jakarta , hlm 4
6
Perubahan yang terjadi dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 dianggap membawa pengaruh yang cukup signifikan dalam hukum keluarga di Indonesia khususnya mengenai anak luar kawin akan berdampak pada antara lain : kedudukan hukum anak yang lahir di luar perkawinan, pengakuan/penetapan asal-usul anak yang lahir di luar perkawinan maupun penyebutan orang tua anak dalam akta kelahiran, yang nantinya berpengaruh terhadap hak keperdataan seorang anak. Secara alamiah tidaklah mungkin seorang perempuan hamil tanpa terjadinya pertemuan antara ovum dan spermatozoa, baik melalui hubungan seksual maupun melalui cara lain berdasarkan perkembangan teknologi yang menyebabkan terjadinya pembuahan (contoh : bayi tabung). Dengan demikian logikanya adalah setiap anak yang lahir sudah pasti
mempunyai
ibu
dan
ayah
biologis,
yang
menyebabkan
keberadaannya Dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi itu maka anak luar kawin juga dapat mempunyai hubungan perdata dengan ayah biologisnya jika dapat dibuktikan antara anak yang dilahirkan di luar perkawinan dan ayah biologisnya mempunyai hubungan darah melalui ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lainnya. Namun apakah dengan lahirnya hubungan perdata sebagaimana putusan Mahkamah Konstitusi secara otomatis lahir juga hubungan nasab antara anak luar kawin dengan ayah biologisnya? Tentu ada yang
7
berpendapat demikian, maka dari itu lahir pro dan kontra di masayarakat karena tidak adanya keseragaman penafsiran antara hubungan perdata dan hubungan nasab. Menurut Mahfud MD6 bahwa masih ada kesalahpahaman terkait putusan MK, bahwa anak luar nikah tidak memiliki nasab (dengan ayah biologis) tetapi memiliki hubungan keperdataan, tidak sama antara hubungan nasab dengan hubungan keperdataan, kalau hubungan keperdataan anak memiliki hak kepada orang tuanya. Tidak lama setelah putusan Mahkamah Konstitusi dibacakan, Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada tanggal 10 maret 2012 mengeluarkan fatwa Nomor 11 Tahun 2012 tentang Kedudukan Anak Hasil Zina Dan Perlakuan Terhadapnya yang keputusannya antara lain menetapkan bahwa : Anak hasil zina tidak mempunyai hubungan nasab, wali nikah, waris dan nafaqah dengan lelaki yang menyebabkan kelahirannya, anak hasil zina hanya mempunyai hubungan nasab, waris dan nafaqah dengan ibunya dan keluarga ibunya. Dari fatwa MUI tersebut diketahui bahwa anak hasil zina tidak mempunyai hubungan nasab, wali nikah, waris dan nafaqah dengan ayah biologisnya. Dapat
diartikan bahwa hubungan perdata yang lahir
berdasarkan putusan MK adalah hubungan perdata selain dari yang disebutkan dalam fatwa MUI, selanjutnya timbul pertanyaan, sejauh mana hubungan perdata yang lahir antara anak luar kawin dan ayah biologisnya.
6
Mahbib Khoiron, “Polemik UU Perkawinan, MK: Hubungan Perdata Menyangkut Hak Kemanusiaan”, http://www.nu.or.id, diakses pada tanggal 20 maret 2014
8
Asal usul anak merupakan dasar untuk menunjukan adanya hubungan perdata maupun hubungan nasab dengan ayahnya, asal usul anak hanya dapat dibuktikan dengan akte kelahiran atau alat bukti lainnya namun jika akta kelahiran atau alat bukti lainnya tidak ada maka pengadilan agama dapat mengeluarkan penetapan tentang asal-usul seorang anak setelah mengadakan pemeriksaan yang teliti berdasarkan bukti-bukti yang sah7 Untuk membuktikan asal usul anak, dalam rangka menentukan siapa ayah seorang anak, maka masalahnya harus dibawa ke Pengadilan. Secara teoritis hal ini dapat berbentuk volunter (permohonan) yang produk pengadilannya nanti akan berbentuk penetapan atau berbentuk contentius (gugatan) yang produk pengadilannya nanti berbentuk putusan. Asal usul anak diajukan secara volunter apabila ayah dan ibu biologis dari anak luar nikah mengajukan penetapan asal usul anak ke pengadilan secara bersama-sama sebagai para pemohon. Asal usul anak diajukan secara contentius apabila orang tua biologis anak luar nikah terdapat sengketa, salah satu dari orang tua biologis menghendaki penentuan asal usul anak dan pihak yang lain tidak menghendaki penentuan asal usul anak. Biasanya yang menjadi penggugat adalah ibu anak luar nikah dan yang menjadi tergugat adalah ayah biologis anak luar nikah.
7
Lihat Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 55, bandingkan dengan Kompilasi Hukum Islam Pasal 103.
9
Imbas putusan Mahkamah Konstitusi ini diperkirakan akan membuat pengadilan agama (Islam) dan pengadilan negeri (non-Islam) kebanjiran perkara. Prediksi ini dikatakan Ketua Pengadilan Tinggi Agama DKI Jakarta Khalilurrahman. Ia khawatir putusan itu akan memberi peluang bagi orang untuk mengajukan gugatan. “Dampak lanjutan putusan Mahkamah Konstitusi ini akan banyak gugatan ke pengadilan agama dari anak luar kawin ini untuk memperoleh hak waris setelah bapaknya ditetapkan sebagai ayah biologisnya lewat sidang permohonan penetapan pengesahan asal-usul anak”.8 Pengadilan Agama sebagai salah satu badan pelaksana kekuasaan kehakiman, mempunyai tugas menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya. Wewenang Pengadilan Agama untuk memberikan pelayanan hukum dan keadilan dalam
bidang
hukum
keluarga
dan
perkawinan
bagi
mereka
yang beragama Islam, berdasarkan hukum Islam Bahwa perkara tentang penetapan asal usul anak adalah merupakan bagian dari perkara perkawinan yang menjadi kewenangan atau kompetensi pengadilan agama (untuk yang beragama Islam) sebagaimana diatur dalam penjelasan Pasal 49 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989, yang telah di amandemen pertama dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006.
8
Hukum Online, “Pengadilan Bisa „Kebanjiran‟ Perkara Akibat Putusan MK” http://www.hukumonline.com, diakses pada tanggal 20 Februari 2014
10
Maka penelitian ini dilakukan di pengadilan agama dengan meneliti putusan/penetepan dalam menentukan status dan asal usul anak luar kawin baik sebelum maupun sesudah keluarnya putusan MK apakah berpengaruh dengan putusan tersebut. B. Rumusan Masalah Dari latar belakang tersebut diatas maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut : 1.
Bagaimana Konstruksi yuridis hubungan keperdataan antara anak luar kawin dengan ayah biologisnya menurut putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 dan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 11 tahun 2012 ?
2.
Bagaimana implikasi yuridis putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 terhadap penetapan asal usul anak luar kawin dan hubungan keperdataan dengan ayah biologisnya di Pengadilan Agama di Indonesia?
C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk menjawab apa yang menjadi pertanyaan pada rumusan masalah yaitu : 1.
Untuk mengetahui dan mengkaji konstruksi yuridis hubungan keperdataan antara anak luar kawin dengan ayah biologisnya menurut putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 dan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 11 tahun 2012.
11
2.
Untuk mengetahui dan mengkaji implikasi yuridis putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 terhadap penetapan asal usul anak luar kawin dan hubungan keperdataan dengan ayah biologisnya di Pengadilan Agama di Indonesia.
D. Manfaat Penelitian Faedah atau manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini nantinya dibagi menjadi dua, yaitu : 1.
Faedah penelitian secara toritis Secara teoritis diharapkan hasil penelitian ini nantinya dapat berguna bagi pengembangan ilmu hukum pada umumnya dan hukum keluarga pada khususnya, atau setidak-tidaknya sebagai wacana yang dapat memperkaya pemikiran hukum di indonesia yakni yang terkait dengan persoalan penetapan asal-usul anak luar kawin dan hubungan keperdataan antara anak luar kawin dengan ayah biologisnya pasca putusan Mahkamah Konstitusi nomor 46/PUU-VIII/2010.
2.
Faedah penelitian secara praktis Secara praktis diharapkan hasil penelitian ini nantinya dapat berguna sebagai bahan masukan bagi para praktisi hukum (Hakim, Notaris dan pegawai pencatatan sipil) juga sebagai bahan kepustakaan bagi penelitian lebih lanjut yang relevan dengan masalah yang akan diteliti saat ini.
12
E. Keaslian Penelitian Dari penelusuran penulis ditemukan bcberapa karya ilmiah yang berkaitan dengan judul yang penulis teliti antara lain : 1.
Politik Hukum Kedudukan Anak Luar Kawin Dalam Sistem Hukum Pewarisan Di Indonesia9 Dengan rumusan masalah 1. Bagaimanakah latar belakang terbitnya putusan mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010, 2. Bagiamanakah proses terbitnya putusan mahkamah konstitusi, 3. Bagaimanakah kedudukan produk hukum putusan mahkamah konstitusi dalam system hukum di Indonesia, 4. Bagaimanakah idealnya penyelesaian sengketa waris anak luar kawin setelah adanya putusan mahkamah konstitusi. Hasil Penelitiannya adalah sebagai berikut : a.
Permohonan pengujian yudicial review diajukan oleh Machica Mochtar, artis yang menikah secara sirri dengan mantan menteri sekertaris negara di era orde baru Moerdiono. Machica memohonkan agar pasal 2 yat (2) yang mengatur masalah pencatatan perkawinandan pasal 43 yat (1) yang mengatur masalah keperdataan ana luar kawin UU nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dinyatakan bertentangan dengan konstitusi dan harus dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum dengan segala akibatnya. Machica dan putranya Muhammad Iqbal Ramadhan merasa dirugikan hak konstitusionalnya oleh ketentuan
9
Erlyanti, “Politik Hukum Kedudukan Anak Luar Kawin Dalam Sistem Hukum Pewarisan Di Indonesia”, Tesis, Magister llmu Hukum, Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta, 2013.
13
pasal tersebut. hal ini karena perkawinan antara Machica Mochtar dengan Moerdiono tidak diakui menurut hukum positif, sehingga anaknya (Iqbal), tidak mempunyai hubungan perdata dengan ayahnya (Moerdiono) dan keluarga ayahnya. b.
Terhadap permohonan uji materil terhadap ketentuan pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang diajukan machica mochtar tersebut, mahkamah konstitusi memberikan putusan mengabulkan permohonan untuk sebagian sebagaimana tertuang di dalam Putusan Nomor 46/PUUVIII/2010. Dalam putusan tersebut MK menyatakan ketentuan pasal
43
ayat
(1)
conditionally
unconstitutional
atau
konstitusional bersyarat. Artinya ketentuan pasal 43 ayat (1) inkonstitusional sepanjang ayat tersebit dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang secara ilmu pengetahuan dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya sehinnga harus dibaca
: anak yang
dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya. c.
Putusan MK bersifat final dan mengikat (final and binding) pasal 24C ayat (1) UUD NRI 1945 menyatakan bahwa putusan MK
14
bersifat final. Artinya tidak ada peluang menempuh upaya hukum berikutnya paska putusan itu sebagaimana putusan pengadilan biasa yang masih memungkinkan kasasi dan peninjauan kembali, selain itu juga ditentukan putusan MK memiliki kekuatan hukum tetapa sejak dibacakan dalam persidangan MK. Putusan MK ini berlaku sebagai “hukum baru” yang berlaku secara nasional. Pada sisi ini, dalam konteks hukum sebagai alat rekayasa sosial (law is a tool of social engenering) putusan MK sarat dengan nilai-nilai hukum progresif. Walaupun demikian, perkembangan mutakhir dari kasus ini putusan dari mejelis hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan mengeluarkan putusan atas nama Muhammmad Iqbal Ramadhan, yang menyatakan anak Machica Mochtar itu tidak mendapatkan hak perdata atas Moerdiono, sehingga tak berhak atas hak waris.Pengadilan Agama masih berpegang pada UU No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Di mana dalam putusan tersebut majelis menolak hubungan keperdataan dari Iqbal dengan Moerdiono dan keluarga, status Iqbal tak bisa dinyatakan berdasarkan putusan MK (di mana hukum tidak dapat berlaku surut), soal hubungan perdata dengan ayah dan keluarga ayahnya, sehingga tidak berhak mendapat waris. d.
Putusan MK terkait tema pembahasan tesis ini tidak memberikan penjelasan ketika ada pihak yang bersengketa waris dan terhalang oleh istilah “anak luar kawin” sebagaimana yang telah dibatalkan
15
oleh Mahkamah Konstitusi ini sebagai yurisprudensi, terlepas bahwa dia beragama islam atau tidak, sehingga masih terdapat kekosongan hukum mangaai masalah pewarisan anak luar kawin paska putusan MK tersebut, maka menurut hemat penulis pengaturannya tetap menggunakan KUHPerdata (bagi penduduk yang tunduk pada KUHPerdata). Menurut KUHPerdata seorang anak dapat dipanggil sebagai ahli waris apabila mempunyai hubungan darah sebagai pewaris (pasal 823 KUHPerdata) baik sebagai anak sah maupun anak luar kawin yang telah diakui sah melalui akta-akta otentik 2.
Tinjauan Yuridis Mengenai Kedudukan Anak Luar Kawin Dengan Adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VlII/20l0 10 Rumusan masalah : 1, anak luar kawin yang dimaksud dalam putusan mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010, 2. Apa akibat hukum putusan mahkamah konstitusi terhadap anak luar kawin dalam hal alimentasi, perwalian dan kewarisan. Hasil penelitiannya adalah sebagai berikut : a.
Anak luar kawin yang dimaksud dalam Putusan MK adalan anak yang
keabsahan
perkawinan
orang
tuanya
masih
dipersengketakan atau dengan kata lain anak hasi perkawina yang tidak dicatatkan atau perkawinan siri. Hal tersebut berdasarkan pertimbangan majelis hakim MK dan alasan berbeda yang 10
Ansi Widya, “Tinjauan Yuridis Mengenai Kedudukan Anak Luar Kawin Dengan Adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VlII/20l0”, Skripsi, Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta, 2012.
16
dikemukakan hakim MK, Maria Farida Indrati, yang keduanya lebih menekankan pada keberadaan anak luar kawin yang keabsahan perkawinan orang tuanya masih dipersengketakan, serta klarifikasi Mahfud MD mengenai pengertian frasa “anak di luar perkawinan” b.
Melihat bahwa anak luar kawin yang dimaksud dalam putusan mahkamah konstitusi tersebut adalah anak luar kawin hasil penikahan siri, maka sudah seharusnya bila hubungan perdata yang dimaksud dalam putusan tersebut adalah hubungan nasab. Anak luar kawin siri, dalam konteks agama islam, mempunyai hubungan nasab dengan sang ayah yang terikat perkawinan secara siri dengan ibu yang melahirkan anak tersebut. anak luar kawin tersebut kedudukannya adalah seperti anak sah bagi ayahnya. Timbul hak dan kewijiban alimentasi diantara keduanya yang bersifat timbal balik. Anak berada di bawah kekuasaan orang tua yang terikat perkawinan secara siri, dengan demikian, berlaku ketentuan mengenai perwalian terhadap anak tersebut sesuai dengan ketentuan hukum. Anak tersebut juga menjadi ahli waris apabila sang ayah meninggal dunia menurut ketentuan hukum waris islam.
3.
Peranan Notaris Dalam Pembuatan Akta Waris Terhadap Anak Luar Kawin Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-
17
VIII/201011 Rumusan masalah : 1. Bagaimana peran notaris di dalam pembuatan akta waris terhadap anak luar kawin pasca putusan mk, 2. Bagaimanakah besar pembagian harta warisan terhadap anak luar kawin pasca putusan MK. Hasil penelitiannya adalah sebagai berikut : a.
Peran notaris di dalam pembuatan akta waris terhadap anak luar kawin pasca ptusan MK adalam membuatkan sebuah akta yang menyatakan anak luar kawin tersebut adalah ahli waris dari lakilaki yang mempunyai hubungan biologis dengannya dan menghitung besaran harta warisan yang diperoleh oleh anak luar kawin tersebut.
b.
Besar pembagian harta warisan terhadap anak luar kawin pasca putusan MK adalah di besarnya bagian warisan yang diperoleh anak luar kawin tergantung bersama-sama dengan siapa anak luar kawin itu mewaris atau dengan golongan ahli waris yang mana anak luar kawin itu mewaris. 1) ALK bersama golongan I bagiannya adalah 1/3 dari bagiannya seandainya ia anak sah 2) ALK bersama golongan II bagiannya ½ dari seluruh harta warisan 3) ALK bersama golongan IV bagiannya ¾ dari seluruh harta warisan.
11
Lydia Amelia, “Peranan Notaris Dalam Pembuatan Akta Waris Terhadap Anak Luar Kawin Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010”, Tesis, Magister Kenotariatan Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta, 2013.
18
4.
Status Hukum Anak Luar Kawin Berdasarkan Hukum Waris Islam Dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata 12 Rumusan Masalah 1. Bagaimanakah status hukum anak luar kawin menurut hukum Islam dan KUHPerdata, 2, Bagaimanakah hak atas harta warisan bagi anak luar kawin menurut hukum Islam dan perdata. Hasil penelitiannya adalah sebagai berikut : a.
Status hukum anak luar kawin menurut hukum islam dan KUHPerdata maka anak luar kawin hanya memiliki hubungan hukum dengan ibunya yang melahirkan, sedangkan dalam hubungan hukum dengan ayahnya terdapat perbedaan menurut hukum islam anak zina tidak bisa dinasabkan kepada ayahnya atau keluarga ayahnya karena dalam hukum islam tidak mengenal adanya pengakuan. Sedangkkan menurut KUHPerdata, anak luar kawin bisa memiliki hubungan perdata dengan ayahnya apabila ada pengakuan
b.
Hak atas warisan bagi anak luar kawin menurut hukum islam dan KUHPerdata, maka menurut hukum islam anak luar kawin tidak mendapatkan warisan dari ayahnya. Anak luar kawin hanya meneriman harta peninggalan dari ayahnya apabila ada wasiat sebelum ayahnya meninggal atau dengan hibah. Dalam hukum waris islam tidak diaturbesarnya warisan bagi anak luar kawin dari ayahnya karena dianggap sebagi anak zina. Anak luat kawin
12
Erla Pratidina, “Status Hukum Anak Luar Kawin Berdasarkan Hukum Waris Islam Dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata”, Tesis, Magister Kenotariatan Fakultas Hukum UGM, Yoyakarta, 2012.
19
dalam KUHPerdata akan menerima warisan apabila diakui. Besar bagiannya tergantung dengan golongan yang mana anak luar kawin menerima warisan. Dari beberapa karya ilmiah di atas tentunya terdapat perbedaan dengan apa yang akan penulis teliti, yaitu mengenai Implikasi putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 46/PUU-VIII/2010 terhadap Penetapan asal-usul dan hak keperdataan anak luar kawin di Pengadilan Agama. Perbedaan pokok antara penelitian ini dengan keempat penelitian diatas, adalah fokus untuk meneliti bagaimana implikasi yuridis putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VII/2010 terhadap penetapan asal usul anak luar kawin di Pengadilan Agama, serta akan mengkaji bagaimana Kontruksi Yuridis hubungan keperdataan anak luar kawin menurut Undang-Undang Perkawinan dan hubungan keperdataan anak luar kawin menurut Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 11 tahun 2012 setelah adanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VII/ 2010. Jadi lebih kepada perubahan Norma hukum dan bagaimana penerapan norma hukum setelah terjadi perubahan dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 serta bagaimana penerapan
hukumnya
di
Pengadilan
permohonan/perkara asal usul anak.
Agama
dalam
memutus