BAB I PENDAHULUAN A.
Latar Belakang Masalah Tindak pidana pemalsuan adalah suatu tindak pidana yang sangat
merugikan bagi siapa saja, baik itu bagi konsumen ataupun produsennya. Sehingga dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) telah diatur ketentuan tentang pemalsuan barang terutama pada merek ataupun tanda teranya. Adapun Pasal-pasal yang mengatur tentang pemalsuan merek adalah sebagai berikut: Pasal 256 KUHP Diancam dengan pidana penjara paling lama tiga tahun: 1. barang siapa membubuhi merek lain daripada yang tersebut dalam pasal 254 dan 255, yang menurut ketentuan undang-undang harus atau boleh dibubuhi pada barang atau bungkusnya secara palsu pada barang atau bungkus tersebut, dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai barang itu seolaholah mereknya asli dan tidak dipalsu; 2. barang siapa yang dengan maksud yang sama membubuhi merek pada barang atau bungkusnya dengan memakai cap yang asli secara melawan hukum; 3. barang siapa memakai merek yang asli untuk barang atau bungkusnya, padahal merek itu bukan untuk barang atau bungkusnya itu, dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai barang itu seolah-olah merek tersebut ditentukan untuk barang itu. Selain Pasal pada KUHP di atas, maka disebutkan pula dalam Pasal 1 ayat (1) UU No. 15 Tahun 2001 tentang Merek, bahwa Merek adalah tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna, atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa. Berdasarkan kutipan undangundang tersebut di atas maka pihak kepolisian harus turut proaktif dalam penegakannya. Pemalsuan ataupun penipuan tentang merek tidak jarang terjadi, sehingga menyebabkan kerugian bagi para perusahaan yang mereknya telah dipalsu. Sehingga dalam hal ini para aparat penegak hukum dituntut untuk bekerja keras dalam upayanya mengungkap jaringan ataupun peredaran barang-barang palsu.
1
Sebagaimana diketahui bahwa menurut sistematika KUHAP mengenai pembuktian diatur dalam BAB XVI Bagian keempat dengan judul Pembuktian dan Putusan Dalam Acara Pemeriksaan Biasa. Pasal 184 di dalam ayat 1 KUHAP mencantumkan bahwa alat bukti yang sah adalah keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa. Berdasarkan ketentuan pasal 184 KUHAP dapatlah dijelaskan bahwa dalam ketentuan ternyata ada lima alat bukti yang dapat digunakan untuk menentukan bersalah atau tidaknya seseorang yang dijadikan tersangka/terdakwa dalam kasus tindak pidana yang terjadi. Bagaimana cara untuk mendapatkan alat-alat bukti itu hukum acara pidana telah menetapkan tahap-tahap pada proses beracara pidana. Ada tiga tahap yang harus dilaukan dalam pemubktian kasus pidana yaitu : penyelidikan atau penyidikan, Penuntutan dan pemeriksaan di pengadilan. Tahap penyidikan adalah tahap dimana penyidik melakukan serangkaian tindakan untuk mencari dan menemukan suatu kejadian yang diduga sebagai tindak pidana guna untuk menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan (Pasal 1 butir 5 KUHAP). Kuffal menjelaskan, “Demikian pula dalam hal penyidik menentukan seseorang berstatus tersangka, setidak-tidaknya penyidik harus sudah menguasai alat pembuktian yang disebut sebagai “bukti permulaan”. Selanjutnya apabila penyidik sudah melakukan upaya paksa, misalnya penahanan terhadap orang yang dianggap sebagai pelaku tindak pidana (tersangka), maka tindakan penyidik tersebut paling kurang harus didasarkan pada “bukti yang cukup”.1 Jadi meskipun kegiatan upaya pembuktian yang paling penting dan menentukan itu adalah pada tingkat pemeriksaan perkara di muka sidang pengadilan, namun upaya pengumpulan sarana pembuktian itu sudah berperan dan berfungsi pada saat penyidik mulai melakukan tindakan penyidikan. Sehingga apabila pejabat penyidik dalam melakukan penyidikan kurang memahami atau tidak memperhatikan ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan sarana pembuktian, maka tindakan penyidikan yang dilakukan akan mengalami kegagalan. Oleh karena itu kuffal menyatakan bahwa:
1
Kuffal, Penerapan KUHAP Dalam Praktik Hukum, (Universitas Muhammadiyah Malang, Malang, 2002), hal 7
2
“Dalam upaya untuk mencegah atau meminimalkan terjadinya kegagalan dalam pemeriksaan pada tingkat penyidikan, maka sebelum penyidik menggunakan kewenangannya untuk melakukan penyidikan seyogyanya sejak awal telah memahami dan mendalami segala sesuatu yang berkaitan dengan pengertian dan fungsi dari setiap pembuktian”.2 Hasil penyidikan dikatakan baik dan sukses apabila hakim dapat menggunakan alat bukti yang di dapat oleh penyidik sebagai dasar di dalam mengambil keputusannya. Tentunya timbul pertanyaan bagaimana hakim dapat menggunakan alat bukti tersebut. Pasal 184 KUHAP menyebutkan, bahwa Alat bukti yang sah ialah: Keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa. Berdasarkan pasal 184 tersebut diatas, maka seorang penyidik harus mempunyai pola pikir, bahwa penyidikan atau upaya pembuktian, hakekatnya adalah untuk menampilkan alat bukti yang bisa meyakinkan Hakim di sidang pengadilan. Guna melakukan penyidikan dan penyelidikan, maka Polres Magelang telah melakukan upaya penyidikan terhadap pelaku tindak pidana pemalsuan obatobatan tanaman yang telah terjadi di wilayah hukum Kabupaten Magelang. Pemalsuan obat-obatan memang sangatlah meresahkan, karena hal ini dapat merugikan bagi para konsumen atau pengguna barang-barang tersebut. Dalam UU No. 15 Tahun 2001 Tentang Merek ini mengatur tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna, atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa. Untuk itulah diperlukan penyidikan yang benar dan obyektif dalam melakukan upaya pembuktian tindak pidana pemalsuan obat-obatan tanaman ini, dimana dalam penyidikan tindak pidana pemalsuan telah dilakukan dan diselesaikan oleh Polres Magelang pada tahun 2008. Berdasarkan hal tersebut di atas dan sangat pentingnya penyidikan dan penyelidikan
terhadap
tindak
pidana
pemalsuan
obat-obat
tanaman,
maka penulis tertarik untuk mengambil judul “Sistem Pertanggungjawaban Pidana Dalam Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 Tentang Merek” 2
loc.cit
3
B. 1.
Perumusan Masalah Bagaimanakah sistem pertanggungjawaban pidana terhadap pemalsuan dalam Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 Tentang Merek?
2.
Hambatan
apakah
yang
dialami
dalam
menentukan
sistem
pertanggungjawaban pidana dalam Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 Tentang Merek dan bagaimanakah cara mengatasinya? C. Tujuan Penelitian -
Untuk mengetahui sistem pertanggungjawaban pidana dalam UndangUndang No. 15 Tahun 2001 Tentang Merek.
-
Untuk mengetahui hambatan dalam menentukan sistem pertanggungjawaban pidana dalam Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 Tentang Merek dan cara mengatasinya.
D. Kegunaan Penelitian Penelitan ini berguna untuk peneliti, pembaca dan para penegak hukum lainnya. -
Untuk mengembangkan ilmu pengetahuan sebagai salah satu tujuan teoritis.
-
Untuk dasar pengambilan keputusan dalam upaya memecahkan masalah yang timbul di lapangan.
E. Sistematika Penulisan Penelitian Bab I (satu) Pendahuluan, di dalam bab ini penulis mengemukakan 5 (lima) sub bab yaitu : Latar Belakang Penelitian, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Kegunaan Penelitian dan Sistematika Penulisan Penelitian. Bab II (dua) Tinjauan Pustaka, di dalam bab II ini penulis membagi tinjauan pustaka menjadi 5 (lima) sub bab yaitu : Pengertian Merek, Pengertian dan Unsurunsur Pemalsuan Merek, Unsur-Unsur Tindak Pidana, Pertanggungjawaban Pidana dan Tinjauan Umum Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek. Bab III (tiga) Metode Penelitian, di dalam penelitian penelitian ini penulis menggunakan 6 (enam) metode yaitu : Metode Pendekatan, Bahan Penelitian, Spesifikasi Penelitian, Alat Penelitian, Teknik Penelitian dan Metode Analisis Data.
4
Bab IV (empat) Hasil Penelitian dan Pembahasan, di dalam bab IV ini penulis akan menguraikan dan menggambarkan hasil penelitian yang membahas tentang : sistem pertanggungjawaban pidana dalam Undang-undang No. 15 Tahun 2001 Tentang Merek, hambatan yang dialami dalam menentukan sistem pertanggungjawaban tindak pidana pemalsuan merek. Bab V (lima) Penutup, dalam bab ini berisi kesimpulan dan saran.
5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A.
Pengertian Merek Istilah merek (merken) dalam kejahatan pemalsuan merek ini pengertiannya
terbatas pada merek atau tanda atau cap pada benda-benda emas dan perak, dan tanda atau cap pada benda-benda yang digunakan sebagai alat ukur, alat timbang dan alat penakar (benda-benda tera), serta tanda atau cap yang diharuskan atau dibolehkan undang-undang diletakkan pada benda tertentu atau bungkusnya, dan tidak termasuk merek dagang dan merek jasa sebagaimana yang dimaksud dan diatur dalam Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 sebagai pengganti UndangUndang No. 14 Tahun 1997 Jo Undang-Undang No. 19 Tahun 1992 Tentang Merek. Merek Dagang adalah Merek yang digunakan pada barang yang diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk membedakan dengan barang-barang sejenis lainnya. Merek Jasa adalah Merek yang digunakan pada jasa yang diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk membedakan dengan jasa-jasa sejenis lainnya. B.
Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana Pemalsuan Merek Suatu perbuatan dapat dijatuhi pidana, jika telah menemui unsur-unsur tindak pidana atau rumusan (delik), namun tidak selalu suatu perbuatan dapat dijatuhi pidana jika perbuatan tersebut tercantum di dalam suatu rumusan delik. Berkaitan dengan hal itu maka diperlukan dua syarat, bahwa perbuatan tersebut:
1. perbuatan manusia 2. bersifat melawan hukum 3. perbuatan tersebut dapat dicela.3
3
E.PH Sitorus, Hukum Pidana, (Liberty, Yogyakarta,1995), halaman: 27
6
Perbuatan manusia tersebut sudah dilakukan dan bukan hanya niat atau keyakinan belaka, atau sudah ada tindakan konkret dari suatu niat atau keyakinan. Pelakunya hanya dapat dipertanggungjawabkan (Pasal 44 KUHP). Kemudian tentang bersifat melawan hukum, tidak dapat dipidana suatu perbuatan jika perbuatan tersebut tidak bersifat melawan hukum. Perihal melawan hukum dapat berarti materiil dan formil. Kemudian yang terakhir bahwa, perbuatan itu dapat dicela. Semua perbuatan yang memenuhi unsur delik di dalam undang-undang tentunya bersifat melawan hukum, tidaklah dapat dipidana jika perbuatan tersebut dapat dicela. Sifat dapat dicela dan melawan hukum suatu perbuatan ini merupakan syarat umum untuk dapat dipidananya suatu perbuatan ini merupakan syarat umum untuk dapat dipidananya suatu perbuatan. Meskipun suatu perbuatan tidak disebutkan di dalam rumusan delik, jika perbuatan tersebut bersifat melawan hukum dan dapat dicela maka perbuatan tersebut dapat dipidana. Dalam buku II KUHP memuat rumusan perihat tindak pidana tertentu yang termasuk dalam kelompok kejahatan, dan Buku III adalah pelanggarannya. Ternyata ada unsur yang selalu disebutkan dalam setiap rumusan, ialah mengenai tingkah laku/perbuatan, walaupun ada perkecualian seperti pasal 351 KUHP (penganiayaan).
Unsur
kesalahan
dan
melawan
hukum
kadang-kadang
dicantumkan, dan seringkali juga tidak dicantumkan. Sama sekali tidak dicantumkan adalah mengenai unsur kemampuan bertanggungjawab. Disamping itu banyak mencantumkan unsur-unsur lain baik sekitar/mengenai obyek kejahatan maupun perbuatan secara khusus untuk rumusan tertentu. Telah disebutkan di atas bahwa pemalsuan merek dirumuskan dalam Pasal 90 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek yang menyebutkan bahwa: Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan Merek yang sama pada keseluruhannya dengan Merek terdaftar milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis yang diproduksi dan/atau diperdagangkan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
7
Kemudian dalam Pasal 92 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek, bahwa: (1)
(2)
(3)
Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan tanda yang sama pada keseluruhan dengan indikasi-geografis milik pihak lain untuk barang yang sama atau sejenis dengan barang yang terdaftar, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan tanda yang pada pokoknya dengan indikasigeografis milik pihak lain untuk barang yang sama atau sejenis dengan barang yang terdaftar, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah). Terhadap pencatuman asal sebenarnya pada barang yang merupakan hasil pelanggaran ataupun pencantuman kata yang menunjukkan bahwa baranng tersebut merupakan tiruan dari barang yang terdaftar dan dilindungi berdasarkan indikasi-geografis, diberlakukan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2). Yang dimaksud dengan indikasi geografis dalam pasal ini adalah suatu
indikasi atau identitas dari suatu barang yang berasal dari suatu tempat, daerah, atau wilayah tertentu yang menunjukan adanya kualitas, reputasi dan karakteristik termasuk faktor alam dan faktor manusia yang dijadikan atribut dari barang tersebut. Tanda yang digunakan sebagai indikasi geografis dapat berupa etiket atau label yang dilekatkan pada barang yang dihasilkan. Tanda tersubut dapat berupa nama tempat, daerah, atau wilayah, kata, gambar, huruf atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut. Pengertian nama tempat dapat berasal dari nama yang tertera dalam peta geografis atau nama yang karena pemakaian secara terus menerus sehingga dikenal sebagai nama tempat asal barang yang bersangkutan. Perlindungan indikasi geografis meliputi barang-barang yang dihasilkan oleh alam, barang hasil pertanian, hasil kerajinan tangan atau hasil industri tertentu lainnya. Dan selanjutnya disebutkan pada pasal Pasal 93 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek, bahwa : Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan tanda yang dilindungi berdasarkan indikasi-asal pada barang atau jasa sehingga dapat memperdaya atau menyesatkan masyarakat mengenai asal barang atau asal jasa tersebut, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah).
8
Delik pemalsuan merek adalah merupakan delik aduan, sehingga dalam Pasal 95 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek disebutkan bahwa: “Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90, Pasal 91, Pasal 92, Pasal 93, dan Pasal 94 merupakan delik aduan”. Berdasarkan rumusan pasal tersebut, maka tanpa adanya laporan tentang adanya delik aduan ataupun pihak korban yang melapor maka delik pemalsuan merek tersebut tidak dapat ditindak oleh pihak kepolisian. Kejahatan pemalsuan dan dalam hubungannnya dengan merek atau tanda, diatur dalam pasal 254, 255, 256, 258, 259, dan 262 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yang menyebutkan bahwa: Pasal 254 KUHP Diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun: - barang siapa membubuhi barang-barang emas atau perak dengan merek Negara yang dipalsukan, atau dengan tanda keahlian menurut undang-undang yang dipalsukan atau memalsu merek atau tanda yang asli dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai seolah-olah merek atau tanda itu asli dan tidak dipalsu; - barang siapa dengan maksud yang sama membubuhi barang-barang tersebut dengan merek atau tanda, dengan menggunakan cap yang asli secara melawan hukum; - barang siapa memberi, menambah atau memindah merek Negara yang asli atau tanda keahlian menurut undang-undang yang asli pada barang emas atau perak yang lain daripada yang semula dibubuhi merek atau tanda itu, dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai barang itu seolah-olah merek atau tanda dari semula sudah dibubuhkan pada barang itu. Ada tiga kejahatan yang dirumuskan dalam pasal 254 tersebut di atas, masing-masing dirumuskan dalam ayat 1, 2 dan 3. Kejahatan pasal 254 itu adalah tiruan belaka dari kejhatan yang sama dari KUHP Belanda. Maksud diadakannya kejhatan ini yakni untuk melindungi keaslian benda-benda yang terbuat dari emas dan perak yang dibuat di negeri Belanda dari pemalsuan. Untuk itu maka setiap benda-benda yang dibuat dari emas dan perak harus diberi cap oleh negara (rijks merk) atau oleh orang ahli yang membuatnya (meesterteken). Negara yang berwenang memberi/membubuhi cap tersebut adalah Kerajaan Belanda, bukan Pemerintah Hindia Belanda, sedangkan yang dimaksud dengan
9
orang yang berwenang memberi cap adalah orang ahli si pembuat benda emas atau perak itu sendiri. Oleh karena benda-benda emas atau perak yang dibuat dinegeri Belanda itu masuk/dikirim juga ke Indonesia (Hindia Belanda), maka untuk Indonesia diadakan juga kejhatan yang sama dengan dalam KUHP Belanda tersebut, dan dimasukkan ke dalam Pasal 254 KUHP. Berhubung kini Indonesia sudah merdeka, dan Pemerintah Hindia Belanda sudah tiada, dan peraturan perihal cap negera atau cap oleh ahli pembuat benda emas dan seperti itu tidak ada di Indonesia, maka praktis ketentuan pasal 254 tersebut tidak berlaku. Walaupun tidak berlaku lagi, tapi masih penting bagi sejarah hukum di Indonesia. Di dalam pasal 255 merumuskan seperti pasal 254 tetapi mengenai cap tera yang diwajibkan oleh Undang-undang atau atas permintaan yang berkepentingan pada benda-benda yang digunakan sebagai alat pengukur, penakar dan penimbang. Kejahatan yang dimaksud, ditempatkan pada pasal 255 yang rumusannya sebagai berikut: Pasal 255 KUHP Diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun: 1. barang siapa membubuhi barang yang wajib ditera atau yang atas permintaan yang berkepentingan diizinkan untuk ditera atau ditera lagi dengan tanda tera Indonesia yang palsu, atau barang siapa memalsu tanda tera yang asli, dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai barang itu seolah-olah tanda teranya asli dan tidak dipalsu; 2. barang siapa dengan maksud yang sama membubuhi merek pada barang tersebut dengan menggunakan cap yang asli secara melawan hukum; 3. barang siapa memberi, menambah atau memindahkan tera Indonesia yang asli kepada barang yang lain daripada yang semula dibubuhi tanda itu, dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai barang itu seolah-olah tanda tersebut dari semula diadakan pada barang itu. Berdasarkan beberapa teori tersebut di atas, maka penulis akan menganalisa pasal-pasal tersebut yaitu: Kejahatan ini diadakan untuk melindungi kepentingan hukum masyarakat dari akibat kerugian karena digunakannnya benda-benda yang dipakai sebagai alat pengukur, penakar dan penimbang yang tidak benar, dan dalam hubungannya dengan perlindungan hukum atas kepercayaan perihal kebenaran dari benda-benda itu. 10
Untuk menjamin agar alat pengukur, alat penimbang dan alat penakar yang digunakan dalam perdagangan sebagai alat pengukur, alat penakar dan alat penimbang yang benar, maka UU No. 2 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal mengharuskan pada pemiliknya atau pemakainya agar alat-alat yang digunakan itu diperiksakan pada Jawatan Tera yang setiap tahun ataupun waktu tertentu.4 Setelah diperiksa dan benar, maka lalu diberi tanda tera tertentu yang membuktikan bahwa alat itu benar dapat digunakan, yang setahun kemudian wajib diperiksa atau ditera ulang. Apabila setelah diperiksa ternyata alat tersebut tidak benar/tidak cocok lagi dengan alat pengukur, penakar atau penimbang yang benar, maka diberi tanda apkir, membuktikan alat itu tidak dapat lagi dipakai sebagai alat pengukur, alat penakar dan alat penimbang yang benar. Ada tiga macam kejahatan pemalsuan cap/tanda tera dalam pasal 255 tersebut, yakni masing-masing dirumuskan dalam butir 1, 2 dan 3. Butir 1 mempunyai unsur-unsur sebagai berikut: 1.
Unsur-unsur obyektif a.
Perbuatan : (1) membubuhi tanda tera Indonesia yang palsu; (2) memalsu tanda tera yang asli;
b.
Pada : (1) benda-benda yang wajib ditera; (2) benda-benda yang dimohonkan untuk ditera; (3) benda-benda yang ditera ulang.
2.
Unsur subyektif: dengan maksud untuk memakai atau menyuruh memakai benda itu seolah-olah tanda teranya asli dan tidak palsu. Sedangkan perbuatan memalsu tanda tera yang asli, artinya pada benda/alat
pengukur, penakar atau penimbang yang sudah ada tanda tera yang asli dengan cara bagaimanapun ditaruh tanda tera yang palsu, dan menjadi lain dari yang asli tadi. Misalnya dengan cara mengubah sedemikian rupa terhadap tanda tera yang asli, tanda tera mana berupa tanda apkir, yang artinya alat pengukur, penimbang dan penakar itu tidak dapat lagi digunakan, lalu ditaruh tanda tera palsu yang lain dari tanda apkir tadi, dan dengan demikian tanda tera yang dipalsu itu menjadi lain dengan tanda tera yang asli. Dengan demikian pula, alat penimbang, penukur 4
ibid, halaman : 76
11
dan penakar yang sebenarnya sudah apkir tadi menjadi (seolah-olah) dapat digunakan. Pasal 256 KUHP Diancam dengan pidana penjara paling lama tiga tahun: - barang siapa membubuhi merek lain daripada yang tersebut dalam pasal 254 dan 255, yang menurut ketentuan undang-undang harus atau boleh dibubuhi pada barang atau bungkusnya secara palsu pada barang atau bungkus tersebut, dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai barang itu seolah-olah mereknya asli dan tidak dipalsu; - barang siapa yang dengan maksud yang sama membubuhi merek pada barang atau bungkusnya dengan memakai cap yang asli secara melawan hukum; - barang siapa memakai merek yang asli untuk barang atau bungkusnya, padahal merek itu bukan untuk barang atau bungkusnya itu, dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai barang itu seolah-olah merek tersebut ditentukan untuk barang itu. Pasal 257 KUHP Barang siapa dengan sengaja memakai, menjual, menawarkan, menyerahkan, mempunyai persediaan untuk dijual, atau memasukkan ke Indonesia, meterai, tanda atau merek yang tidak asli, dipalsu atau dibikin secara melawan hukum, ataupun benda-benda di mana merek itu dibubuhkannya secara melawan hukum seolah-olah meterai, tanda atau merek itu asli, tidak dipalsu dan tidak dibikin secara melawan hukum, ataupun tidak dibubuhkan secara melawan hukum pada benda-benda itu, diancam dengan pidana penjara sama dengan yang ditentukan dalam pasal 253 - 256, menurut perbedaan yang ditentukan dalam pasal-pasal itu. Berdasarkan analisa penulis, jika diperinci rumusan pasal 257 tersebut di atas, maka terdiri dari unsur-unsur sebagai berikut: a. Unsur-unsur obyektif yaitu - perbuatan memakai, menjual, menawarkan, menyerahkan, mempunyai persediaan untuk dijual, memasukkan ke Indonesia. - Unsur-unsur obyeknya adalah materai tidak asli atau materai dipalsu atau materai yang dibuat dengan melawan hukum, tanda atau merek tidak asli, atau yang dipalsukan atau yang dibuat dengan melawan hukum, dan benda-benda yang dibubuhi materai, tanda atau merek palsu atau dipalsu atau yang dibuat dengan melawan hukum, yang dimaksud dengan melawan hukum adalah perbuatan tersebut bertentangan dengan norma hukum tertulis (peraturan perundang-undangan) norma hukum tidak tertulis (kepatutan atau kelayakan) atau bertentangan dengan hak orang
12
lain. - Seolah-olah materai, tanda atau merek itu asli dan tidak dipalsu atau tidak dibuat dengan melawan hukum. b. Unsur-Unsur subyektifnya, dengan sengaja Pasal 258 KUHP (1)
(2)
Barang siapa memalsu ukuran atau takaran, anak timbangan atau timbangan sesudah dibubuhi tanda tera, dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai barang itu seolah-olah asli dan tidak dipalsu, diancam dengan pidana penjara paling lama tiga tahun. Diancam dengan pidana yang sama barang siapa dengan sengaja memakai ukuran atau takaran, anak timbangan atau timbangan yang dipalsu, seolaholah barang itu asli dan tidak dipalsu.
Memalsu dalam pasal ini merupakan delik formal, yang sudah dapat dipandang sebagai telah selesai dilakukan oleh pelaku yaitu segera setelah pelaku selesai memalsukan ukuran atau takaran, anak timbangan atau timbangan. Pasal 259 KUHP 1. Barang siapa menghilangkan tanda apkir pada barang yang ditera dengan maksud hendak memakai atau menyuruh orang lain memakai barang itu seolah-olah tidak diapkir, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan. 2. Diancam dengan pidana yang sama barang siapa dengan sengaja memakai, menjual, menawarkan, menyerahkan atau mempunyai persediaan untuk dijual suatu benda yang dihilangkan tanda apkirnya seolah-olah benda itu tidak diapkir. Yang dimaksud tanda apkir dalam pasal ini adalah suatu tanda yang menyatakan bahwa barang tersebut tidak dapat/tidak boleh dipakai lagi. Untuk selesainya tindak pidana ini tidaklah perlu bahwa maksud pelaku itu telah terlaksana pada waktu ia selesai melakukan perbuatannya yang terlarang. Terlepas dari beberapa pasal yang terdapat dalam KUHP tersebut di atas, maka Tindak pidana merek ini telah diatur dalam Bab XIV Pasal 90 tentang Ketetuan Pidana UU No. 15 Tahun 2001, bahwa: Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan Merek yang sama pada keseluruhannya dengan Merek terdaftar milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis yang diproduksi dan/atau diperdagangkan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
13
Pasal 91 Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan Merek yang sama pada pokoknya dengan Merek terdaftar milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis yang diproduksi dan/atau diperdagangkan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah). C.
Unsur-Unsur Tindak Pidana Unsur tindak pidana dapat digolongkan menjadi dua, yaitu golongan
pertama adalah mereka yang bisa dimaksudkan kedalam “aliran monistis” dan yang
kedua
adalah
aliran
“dualistis”.
Monistis
adalah
aliran
yang
mempertimbangkan unsur syarat-syarat itu berdasar perbandingan yang dilakukan. Jadi unsur-unsur strafbaar feit menurut Simon adalah : Perbuatan manusia (positief atau negatief; berbuat atau tidak berbuat atau membiarkan); diancam dengan pidana (straffbaar gesteld); melawan hukum (onrechtmatig); dilakukan dengan kesalahan (sengaja atau tidak sengaja); dan oleh yang mampu bertanggung jawab. Padangan dualistis adalah melihat unsur-unsur tindak pidana berdasarkan pandangan orang yang melakukan perbandingan dan perbuatan itu. Menurut Vos straffbaar feit hanya berunsurkan : Kelakuan manusia dan diancam pidana dalam undang-undang. Kemudian menurut Pompe “hukum positif strafbaar feit adalah tidak lain daripada feit, yang diancam pidana dalam ketentuan undang-undang”. Moeljatno berpendapat arti kepada perbuatan pidana sebagai perbuatan yang diancam pidana, barang siapa melanggar larangan tersebut. Untuk adanya perbuatan pidana harus ada unsur-unsur: perbuatan (manusia); yang memenuhi rumusan dalam undang-undang (ini merupakan syarat formil), dan bersifat melawan hukum (ini merupakan syarat materiil). Ny. D Hazwinkel, mengatakan bahwa: definisi dari Simons dan Van Hamel, yang diambil dari ilmu hukum Pidana Jerman tidak dapat dipakai untuk hukum Nederland, dan bahwa unsur-unsur yang disebut dalam hukum pidana Nederland bukan atau tidak selalu merupakan unsur. Oleh karena ada pertentangan maka beliau mengemukakan unsur-unsur tindak pidana, yang diambil dari rumusan undang-undang, yaitu: 1. Dalam tiap-tiap delik terdapat tindak seseorang 2. Untuk beberapa delik, undang-undang menyebutkan apa yang dinamakan
14
3. 4.
5.
6.
akibat Banyak delik memuat unsur-unsur bersifat psychisch misalnya dengan tujuan, dolus atau culpa. Berbagai delik menghendaki adanya keadaan obyektif misalnya delik penghasutan (Pasal 160 KUHP), Pelanggaran kesusilaan Pasal 281. Pada delik-delik ini dikehendaki obyektif (dimuka umum). Pada delik-delik lain berisi faktor-faktor subyektif, baik yang bersifat psychisc ataupun tidak. Faktor subyektif psychiesch misalnya pada Pasal 340 (pembunuhan direncakan). Faktor subyektif yang tak psychisc pasal 307 jo pasal 305, membunuh anak segera anak itu dilahirkan. Beberapa delik memuat apa yang disebut: syarat tambahan untuk dapat dipidana (bijkomende voor waarde van strafbaarheid). Yang dimaksudkan disini ialah keadaan-keadaan yang a) terjadi sesudah terjadinya perbuatan yang diuraikan dalam undang-undang, bisa juga disertai akibat konstitutifnya dan yang b) justru memberikan sifat dapat dipidanakannya (pasal 123, 164, 165 KUHP) ialah “Jika … “ misalnya: Ada usaha untuk membunuh Presiden, dan bila ada yang mengetahui dan diam saja, ia dapat dituntut jika terjadi betul-betul maksud di atas. Disana sini sifat melawan hukum juga memegang peranan sebagai unsur delik, seperti tersebut dalam pasal 167 ialah : merusak ketenteraman rumah (huisvredebreuk). 5 Selanjutnya Hazwinkel-Suringa mengatakan bahwa sifat melawan hukum
itu hanya merupakan unsur dari strafbaar feit apabila dalam rumusan delik nyatanyata disebut. Jika tidak, sifat itu bukan unsur tapi hanya tanda ciri (kenmerk) saja dari tiap delik, sebab suatu perbuatan dilarang dan diancam dengan pidana, karena tak dapat dibenarkan oleh hukum atau karena bertentangan dengan hukum. Barang siapa memenuhi rumusan delik, maka ia berbuat melawan hukum atau ia melakukan tindak pidana, keculai jika ada hal-hal yang merubah perbuatan yang biasanya tidak dapat diterima menjadi perbuatan yang dapat diterima, atau bahkan sangat diharapkan. Dalam hal-hal ini maka hilanglah sifat dapat dipidananya feit itu dan menjadi rechmatig (sah) Dalam Seminar Hukum Nasional 1963, yang sudah disebut di atas, dalam bidang hukum pidana ada satu usul yang berbunyi: “yang dipandang berbagai perbuatan jahat, adalah perbuatan-perbuatan yang dirumuskan unsur-unsurnya dalam KUHP ini, maupun dalam perundang-undangan lain. Hal ini tidak menutup pintu bagi larangn-larangan perbuatan-perbuatan menurut hukum adat yang hidup 5
Sudarto, Hukum Pidana I, (UNDIP, Semarang, 1990), halaman 45-46
15
dan tidak menghambat pembentukan masyarakat yang dicita-citakan tadi, dengan sanksi adat yang masih berlaku sesuai dengan martabat bangsa”. Usul ini dilengkapi dengan usul supaya dalam bagian umum dari KUHP yang akan dibentuk itu dimuat antara lain: “Meskipun perbuatan secara formil termasuk rumusan delik, tetapi tidak merupakan bahaya bagi masyarakat, hal mana ditentukan oleh hakim, maka perbuatan itu tidak merupakan delik”. 6 D.
Pertanggungjabawan Pidana
Simons menyebutkan bahwa kemampuan bertanggung jawab dapat diartikan sebagai suatu keadaan psychis sedemikian, yang membenarkan adanya penerapan sesuatu upaya pemindaan, baik dilihat dari sudut umum maupun dari orangnya.7 Dikatakan selanjutnya, bahwa seseorang mampu bertanggung jawab, jika jiwanya sehat, yakni apabila a.
Ia mampu untuk mengetahui atau menyadari bahwa perbuatannya bertentangan dengan hukum.
b.
Ia dapat menentukan kehendaknya sesuai dengan kesadaran tersebut. Van Hamel, menyatakan bahwa kemampuan bertanggungjawab adalah suatu keadaan normalitas psychis dan kematangan (kecerdasan yang membawa 3 kemampuan, yaitu:
a.
Mampu untuk mengerti nilai dari akibat-akibat perbuatannya sendiri.
b.
Mampu untuk menaydari, bahwa perbuatannya itu menurut pandangan masyarakat tidak dibolehkan.
c.
Mampu untuk menentukan kehendaknya atas perbuatan-perbuatannya itu. Definisi-definisi tersebut memang ada manfaatnya, tetapi untuk setiap kali
dalam kejadian yang konkret dalam praktek peradilan meilai jiwa seorang terdakwa dengan ukuran-ukuran tadi tidaklah mudah. Sebagai dasar dapatlah dikatakan bahwa orang yang normal jiwanya itu mampu bertanggungjawab, ia mampu untuk menilai dengan fikiran atau
6 7
Ibid, halaman 48 ibid , halaman 93
16
perasaannya bahwa perbuatannya itu dilarang, artinya tidak diekhendaki oleh undang-undang dan berbuat sesuai dengan pikiran atau perasaannya itu. Dalam persoalan kemampuan bertanggung jawab itu ditanyakan apabiola seseorang itu merupakan sasaran norma (norm adressat), yang mampu. Seorang terdakwa pada dasaranya dianggap (supposed) mampu bertanggungjawab, keculai dinyatakan sebaliknya. KUHP menentukan tidak dapat dipertangunggjawabkannya sipembuat itu adalah deskriptif normati, yang mempunyai arti bahwa: Deskriptif, karena keadaan jiwa itu digambarkan “menurut apa adanya: oleh psychiater. Normatif, karena hakimlah yang menilai, berdasarkan hasil pemeriksaan tadi, sehingga dapat mnyimpulkan mampu dan tidak mampunya tersangka untuk bertanggungjawab. Mempertanggungjawabkan adalah suatu pengertian yang normatif.8 Keadaan jiwa yang cacat pertumbuhannya, misalnya gil, ibeciel, jadi merupakan cacat biologisch (hayati); disamping itu juga orang gagu, tuli dan buta apabila hal ini mempengaruhi keadaan jiwanya. Keadaan jiwa yang terganggu karena penyakit ada pada mereka yang disebut “psychose” Tidak dapat dimasukkan dalam pasal 44 tersebut cacat kemasyarakat, misalnya keadaan seseorang yang karena kurang pendidikan atau terlantar menjadi liar atau kejam. Tidak dapat dimasukkan pula keadaan seseorang yang mempunyai watak yang perasa dan mudah tersinggung. Dalam praktek ada beberapa jenis penyakit jia, hingga penderitanya bisa disebut tidak mampu bertanggung jawab sebagian. Jenis tidak mempun bertanggung jawab untuk sebagai, misal: a.
Kleptomanie: ialah penyakit jiwa yang berujud dorongan yang kuat dan tak tertahan untuk mengambil barang orang lain, tetapi tak sadar bahwa perbuatannya terlarang. Biasanya barang yang dijadikan sasarn itu barang yang tidak ada nilainya sama sekali baginya. Dalam keadaan biasa ia jiwanya sehat.
8
Sudarto, ibid, halaman 95
17
b.
Pyromanie: ialah penyakit jiwa yang berupa kesukaan untuk melakukan pembakaran tanpa alasan sama sekali.
c.
Clustrophobie: ialah penyakit jiwa yang berupa ketakutan untuk berada di ruang yang sempit. Penderitannya dalam keadaan tersebut misal memecahmecah jendela.
d.
Penyakit yang berpa perasaan senantiasa dikejar-kejar oleh musuh-musuhnya. Keadaan-keadaan tersebut di atas mereka yang dihinggapi penyakit it tidak
dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya, yang ada hubungan dengan penyakit itu. Kalau antara penyakit dan perbuatannya tidak ada hubungannya, maka mereka tetap dapat dipidana. Hazewinke-Suringa, yang tidak memberi definisi tentang tindak pidana, melainkan hanya menyebutkan isi dari tindak pidana yang dimabilnya dari rumusan delik dalam undang-undang menyatakan: “kemampuan bertanggungjawab bukanlah isi dari delik, tetapi hanya merupakan syarat untuk dapat menjatuhkan pidana secara normal. Ia tidak bersangkut paut dengan sifat “dapat dipidananya” perbuatan.9 Konsekuensi dari penadangan ini ialah bahwa penganjur (pembujuk atau uitloker) dan pembantu (medeplichtige) terhadap tindak pidana yang dilakukan seorang yang cacat jiwanya tetap dapat dipidana. E.
Tinjauan Umum Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek Era perdagangan global hanya dapat dipertahankan jika terdapat iklim
persaingan usaha yang sehat. Di sini Merek memegang peranan yang sangat penting yang memerlukan sistem pengaturan yang lebih memadai. Berdasarkan pertimbangan tersebut dan sejalan dengan perjanjian-perjanjian internasional yang telah diratifikasi Indonesia serta pengalamam melaksanakan administrasi Merek, diperlukan penyempurnaan Undang-undang Merek yaitu Undang-undang Nomor 19 tahun 1992 (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 81) sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 14 Tahun 1997 (Lembaran Negara Tahun 1997
9
Ibid, halaman 98
18
Nomor 31) selanjutnya disebut Undang-undang Merek –lama , dengan satu Undang-undang tentang Merek yang baru. Beberapa perbedaan yang menonjol dalam undang-undang ini dibandingkan dengan Undang-undang Merek lama antara lain menyangkut proses penyelesaian permohonan. Dalam undang-undang ini pemeriksaan substantif dilakukan setelah Permohonan
dinyatakan
memenuhi
syarat
secara
administratif.
Semula
pemeriksaan substantif dilakukan setelah selesainya masa pengumuman tentang adanya Permohonan. Dengan perubahan ini di maksudkan agar dapat lebih cepat diketahui apakah Permohonan tersebut di setujui atau ditolak dan memberi kesempatan kepada pihak lain untuk mengajukan keberatan terhadap Permohonan yang telah disetujui untuk didaftar. Sekarang jangka waktu pengumuman dilaksanakan selama 3 (tiga ) bulan lebih singkat dari jangka waktu pengumuman berdasarkan Undang-undang Merek –lama. Dengan dipersingkatnya jangka waktu pengumuman secara keseluruhan akan dipersingkat pula jangka waktu penyelesaian Permohonan dalam rangka meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Berdasarkan ketentuan Pasal 15 ayat (1) ini, setiap tanda atau gabungan dari tanda-tanda yang dapat membedakan barang dan jasa suatu perusahaan dengan perusahaan lainnya dapat dianggap sebagai merek dagang. Tanda semacam itu, khususnya, kata-kata yang termasuk nama pribadi, huruf, angka, dan gabungan warna, serta setiap gabungan dari tanda semacam itu, dapat didaftarkan sebagai merek dagang. Hal terpenting dalam mendefinisikan merek yang dikemukakan dalam Pasal 15 ayat (1) Persetujuan TRIPs10 adalah penekanan mengenai “unsur pembeda”. Menurut Persetujuan TRIPs, pembedaan (seringkali disebut dengan “daya pembeda“) adalah satu-satunya kondisi substantif bagi perlindungan merek. 10
Persetujuan TRIPs pada tanggal 15 April 1994 dengan meratifikasi hasil Putaran Uruguay yaitu Agreement Establishing the World Trade Organization melalui Undangundang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia. Selain itu juga telah meratifikasi Paris Convention for the Protection of Industrial Property dan Convention Establishing the World Intellectual Property Organization, melalui Keppres No. 15 tahun 1997 tentang Perubahan Keputusan Presiden No. 24 Tahun 1979, dan Trademark Law Treaty (TLT) melalui Keppres No 17 Tahun 1997.
19
Penolakan terhadap pendaftaran suatu merek menurut Pasal 15 Ayat (1) Persetujuan TRIPs tersebut adalah berdasarkan alasan-alasan tidak adanya daya pembeda itu tadi. Dalam hal penolakan perlindungan atas merek diperbolehkan pula sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam Konvensi Paris.11 Dalam Konvensi Paris, penolakan suatu perlindungan diperbolehkan apabila registrasi atau pendaftaran di negara yang bersangkutan melanggar hak-hak pihak ketiga terdahulu apabila merek yang bersangkutan tidak memiliki karakter pembeda, atau secara eksklusif mengandung syarat-syarat deskriptif, atau apabila merek tersebut bertentangan dengan prinsip-prinsip moralitas atau ketertiban umum yang diterima masyarakat. Sementara daya pembeda adalah kunci utama bagi perlindungan menurut Persetujuan TRIPs. Berkaitan dengan perlindungan merek, perdagangan tidak akan berkembang baik jika suatu merek tidak memperoleh perlindungan hukum yang memadai di suatu negara. Adanya pembajakan, jelas akan merugikan tidak hanya bagi para pengusaha yang memiliki atau memegang hak atas merek tersebut, tetapi juga bagi para konsumen. Merek-merek terkenal tertentu, sebagai contoh misalnya CARTIER, LEVI’S dan NIKE, telah mengembangkan kemampuan untuk menciptakan nilai yang tinggi terhadap barang atau produknya, prestise karena upaya promosi yang gencar dan investasi yang besar yang dilakukan oleh pemilik merek sehingga merek-merek tersebut menjadi terkenal di seluruh dunia serta didukung oleh manajemen yang baik. Daya tarik merek merek dunia ini menyebabkan banyaknya permintaan terhadap produk-produk yang menggunakan merek-merek ini – namun sayangnya permintaan ini sering dipenuhi oleh pemalsu yang memproduksi dan mendistribusikan produk-produk yang tidak sah. Pemalsu memasarkan produknya ke seluruh dunia, dari Hong Kong hingga New York dimana kota-kota tersebut dibanjiri dengan produkproduk palsu. Dari segi ekonomi maupun segi-segi lainnya, pemilik merek 11
Pasal 1 Undang-undang No. 15 tahun 2001 tentang Merek: “ Merek adalah tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna, atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa.”
20
menderita kerugian akibat penjualan produk produk palsu ini. Produk palsu biasanya murah dan berkualitas lebih rendah dibandingkan dengan produk aslinya. Pemerintah Indonesia telah memberlakukan Undang-undang Merek No. 15 tahun 2001 pada tanggal 1 Agustus 2001.8 Undang-undang Merek No. 15 tahun 2001 menganut
sistem konstitutif dimana perlindungan hukum terhadap
pemegang hak atas merek baru akan diperoleh apabila merek tersebut didaftarkan (first to file), menggantikan sistem deklaratif (first to use) yang pertama kali dianut oleh Undang-undang No. 21 tahun 1961 tentang Merek Perusahaan dan Merek Perniagaan. Ketentuan Pidana yang mengatur tentang sanksi dan denda bagi pelanggar merek diatur dalam Pasal 90 – 95 Undang-undang No. 15 tahun 2001 tentang Merek. Pidana penjara yang dikenakan pada terdakwa adalah paling lama 5 (lima) tahun, sedangkan denda paling banyak sebesar Rp. 1.000.000.000 (satu miliar rupiah). Dalam hal perlindungan merek, Indonesia sesungguhnya tidak hanya mendasarkan kepada peraturan perundang-undangan nasional di bidang merek semata, akan tetapi sangat dipengaruhi oleh TRIPs yang merupakan bagian tak terpisahkan dari Perjanjian Pembentukan Agreement on Establishing the World Trade Organization (WTO). Oleh karena perjanjian WTO merupakan perjanjian multilateral, maka bagi negara yang menandatanganinya seperti Indonesia harus taat pada ketentuan tersebut. Pemerintah Indonesia telah mengakomodasikan ketentuan-ketentuan Persetujuan TRIPs tersebut ke dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek.
21
BAB III METODE PENELITIAN Guna memperoleh data yang jelas, maka diperlukan suatu penelitian untuk mendapatkan suatu gambaran yang cukup jelas, sehingga dalam pembahasan penelitian ini dapat berjalan dengan lancar dan terarah. Metode adalah ilmu tentang metode yang menyangkut cara kerja untuk mendapatkan atau memahami obyek yang menjadi sasaran ilmiah. Penelitan atau research adalah suatu kegiatan yang dilakukan oleh seseorang untuk mengetahui terhadap sesuatu secara sistematis. Penelitian merupakan suatu proses yaitu suatu rangkaian atau langkahlangkah yang dilakukan secara terencana dan sistematis guna mendapatkan suatu pemecahan masalah atau mendapatkan jawaban tentang pertanyaan tertentu. Sehingga dengan metode penelitian, diharapkan mempunyai bobot yang cukup memadai dan memberi kesimpuan-kesimpulan yang tidak meragukan. A.
Metode Pendekatan Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode pendekatan yuridis normatif, artinya dilakukan dengan cara meneliti sistematika hukum, asal hukum, dan bahan pustaka yang merupakan data sekunder dan disebut juga penelitian kepustakaan.12 Serta peraturan yang mengatur tentang sistem pertanggungjawaban pidana tentang merek.
B.
Bahan Penelitian Di dalam penelitian ini penulis menggunakan beberapa sumber data sekunder antara lain peraturan perundang-undangan, keputusan-keputusan pengadilan, teori-teori hukum dan pendapat hukum. Dimana penelitian ini dikhususkan pada pertanggungjawaban pidana dalam Undang-undang No. 15 Tahun 2001. Disamping dari data sekunder penulis juga menggunakan data primer yang penulis peroleh secara langsung melalui responden yang telah penulis
12
Ronny Hanitiyo Sumitro, Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri, (Ghalia Indonesia, Jakarta, 1990), halaman 9
22
tentukan. Bahan yang digunakan terdiri dari: a. Data Skunder Yaitu data yang diperoleh dengan bersumber pada berbagai bahan kepustakaan,
seperti:
buku-buku,
literatur-literatur,
dan
peraturan
perundang-undangan yang terkait. b. Data Primer Yaitu data yang diperoleh secara langsung pada obyek yang diteliti di lapangan. C.
Spesifikasi Penelitian Agar suatu permasalah yang berkaitan dengan judul penelitian ini, maka penelitian ini berbentuk diskriptif atau gambaran. Dimana dalam penelitian ini menggambarkan tentang sistem pertanggungjawaban pidana dalam Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 tentang merek.
D.
Alat Penelitian Pada data primer data didapatkan dari Studi Lapangan (Field Research), yang dimaksud disini adalah bahwa peneliti langsung terjun kelapangan untuk mengadakan penelitian. Studi lapangan ini dilaksanakan dengan metode wawancara, yaitu proses pengumpulan data melalui proses tanya jawab secara lisan sehingga muncul komunikasi langsung dengan responden. Wawancara tersebut dilakukan dengan Kasat Reskrim Polres Magelang. Pada data sekunder, data didapatkan dari studi pustakaan (Library Research) Dalam penelitian ini penyusun menggunakan metode atau dengan cara membaca dan mempelajari buku literatur, surat kabar dan dokumen resmi lainnya yang sesuai dengan judul penelitian. Jenis dan sumber data yang digunakan : 1. Data Primer, yaitu sejumlah keterangan atau fakta yang langsung diperoleh dari hasil penelitian di lapangan. Dalam hal ini penyusun mendapatkan data primer dari Kasat Serse Polres Magelang.
23
2. Data sekunder, ialah suatu data yang diperoleh secara tidak langsung. Data sekunder merupakan keterangan atau fakta yang diperoleh penyusun dari literatur, arsip-arsip, perundang-undangan, ataupun dokumen resmi yang berhubungan dengan penelitian ini. E.
Teknik Penelitian Dengan mengumpulkan dokumen dan kemudian melakukan observasi berstruktur, wawancara secara bebas terpimpin serta memberikan daftar pertanyaan kepada responden yang terlibat langsung dengan permasalahan yang diambil. Teknik penelitian yang digunakan dalam data primer adalah dengan cara mempelajari literatur dan arsip-arsip yang mendukung penelitian, serta didukung dengan peraturan-peraturan perundang-undangan yang ada. Sedangkan untuk teknik penelitian yang digunakan dalam data skunder peneliti menggunakan cara wawancara/interview, wawancara dilakukan dengan metode wawancara terarah, dengan menggunakan daftar pertanyaan sehingga diharapkan topik tidak meluas
F.
Analisis Data Dalam penelitian ini penyusun menggunakan analisa kualitatif yang dilaksanakan
melalui
tahapan-tahapan
pengumpulan
data,
mengklasifikasikan, menghubungkan dengan teori dan masalah yang ada, kemudian menarik kesimpulan guna menentukan hasil penelitian.
24
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A
Pertanggungjawaban Pidana Dalam Undang-Undang No. 15 tahun 2001 tentang Merek Unsur pertama dari tindak pidana adalah perbuatan atau tindak seseorang.
Perbuatan orang ini adalah titik penghubung dan dasar untuk pemberian pidana. Perbuatan ini meliputi berbuat dan tidak berbuat. Meskipun pengertian perbuatan pemalsuan merek ini sepintas kelihatan mudah dan tidak menimbulkan persoalan, namun tidaklah demikian halnya. Seperti halnya kasus tindak pidana merek dimana si pelaku tersebut dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan merek yang sama yaitu merek pada obatobatan tanaman pada keseluruhan atau pokoknya dengan merek terdaftar milik orang lain atau badan hukum lain, untuk barang atau jasa sejenis yang diproduksi dan atau diperdagangkan merupakan suatu kejahatan yang diancam dengan pidana penjara atau denda. Sedangkan memperdagangkan obat tanaman tersebut diketahui atau patut diketahui bahwa barang tersebut menggunakan merek terdaftar milik orang lain secara tanpa hak, merupakan pelanggaran yang dapat diancam dengan pidana. Diperbuatnya tindak pidana oleh subyek hukum tindak pidana, tidak akan menjadi suatu perkara pidana dan diperiksa disidang pengadilan yang pada akhirnya diputus, apabila sebelumnya tidak dilakukan penuntutan oleh Jaksa Penuntut Umum ke sidang pengadilan. Namun sebelum Jaksa Penuntut Umum dapat mengajukan tuntutan, haruslah terlebih dahulu dilakukan penyidikan mengenai tindak pidana itu beserta segala sesuatu yang bersangkut paut baik dengan si pembuat maupun perbuatannya, penyidikan ditujukan selain untuk memberkas perkara juga ditujukan untuk menentukan apakah perkara itu cukup bukti dan alasan untuk dapat diajukan penuntut pidana oleh Jaksa Penuntut Umum ataukah tidak. Bahkan kadang-kadang sebelum tindakan penyidikan dilakukan, diperlukan tindakan penyelidikan terlebih dahulu, untuk menentukan apakah suatu peristiwa itu dapat dilakukan penyidikan ataukah tidak.
25
Tindak pidana pemalsuan adalah suatu hal yang sangat meresahkan di dalam dunia usaha khususnya usaha perdagangan yang telah mendapatkan trade mark yang sangat terkenal. Berikut adalah beberapa penyajian data tentang penyidikan terhadap tindak pidana pemalsuan merek yang terjadi diwilayah hukum Kabupaten Magelang.13 Dalam melakukan penelitian ini maka peneliti melakukan studi dokumen di Kejaksaan Negeri Kabupaten Magelang, adapun beberapa hasil penelitian dokumen tersebut dilakukan dengan melakukan penelitian salinan Berita Acara Pemeriksaan yang diberikan di Kantor Kejaksaan Negeri Magelang. Salinan Berita Acara Pemeriksaan yang telah didapatkan penulis di Kantor Kejaksaan Negeri Magelang, maka didapatkan kasus tentang tindak pidana pemalsuan merek obat-obatan pertanian, dimana dalam pemalsuan tersebut telah merugikan beberapa produsen obat tumbuhan pangan dan sayuran, adapun beberapa hasil penelitian yang telah peneliti dapatkan di Kantor Kejaksaan Negeri Magelang adalah sebagai berikut: Sesuai Laporan Polisi No. Pol: LP/84/IV/2008/SPK, tanggal 24 April 2008, bahwa telah terjadi suatu tindak pidana pemalsuan merek sebagaimana yang dimaksud dealam Pasal 90 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek dan atau Pasal 257 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Menanggapi beberapa laporan tindak pidana yang telah terjadi di wilayah hukum Magelang, khususnya dalam hal ini adalah tindak pidana pemalsuan, maka Polres Magelang beserta jajarannya telah berhasil mengungkap kasus tindak pidana pemalsuan merek, dimana tindak pidana ini sangat meresahkan di kalangan petani. Disebutkan dalam Pasal 1 butir 5 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), bahwa: “Penyelidikan adalah serangkaian tindakakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut dan yang diatur dalam undang-undang ini”. Namun mengingat bahwa pemalsuan adalah merupakan tindak pidana aduan maka, pihak polisi tidak dapat 13
Ibu Sandra Lilianasari, SH selaku Jaksa Kejaksaan Negeri Kabupaten Magelang, wawancara 6 Januari 2010
26
melakukan tindakan sebelum adanya laporan tentang telah terjadinya suatu tindak pidana. Sebelum melakukan penyelidikan, maka pihak kepolisian menerima laporan terlebih dahulu. Laporan adalah pemberitahuan oleh seseorang yang karena hak atau kewajiban berdasarkan undang-undang disampaikan kepada pejabat yang berwenang tentang telah terjadinya suatu tindak pidana, sehingga tindak pidana yang dimaksud adalah tindak pidana pemalsuan merek. Setelah mendapatkan laporan dari pihak korban, kemudian pihak Kepolisian melakukan penyelidikan terhadap laporan tindak pidana pemalsuan merek tersebut. Berdasarkan hasil dari penyelidikan yang telah dilakukan oleh tim Reskrim Polres Magelang, didapatkan bahwa Sony Prabowo diduga sebagai tersangka pemalsuan merek obat-obatan pertanian tersebut. Setelah dilakukan penyelidikan, maka pada tanggal 25 April 2008 tersangka yang bernama Sony Prabowo dipanggil ke Polres Magelang untuk dimintai keterangan, bahwa dalam keterangan tersebut ia (tersangka) menyatakan bahwa ia telah mempunyai dan mengedarkan obat tanaman bentuk cair dengan merek GRAMAXONE, CURACRON, SCORE dan MATADOR palsu. Adapun barangbarang tersebut ia (tersangka) produksi sendiri dengan alat-alat berupa: -
Mixer,
-
Jrigen Plastik,
-
Drum,
-
Timbangan,
-
Botol,
-
Ragum/Tanggem,
-
Screen,
-
Rakel,
-
Film,
-
Karton,
-
Gelas takaran,
-
Setrika,
-
Packing dan tube,
-
Herdreyer,
27
-
Mesin pres plastik. Adapun untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini : Tabel 1 Kegunaan Alat No.
Jenis Alat
Kegunaan
1
Mixer
Mengaduk cairan yang diperlukan.
2
Jrigen Plastik
Menampung cairan yang telah diaduk.
3
Drum
Menampung sarana pencampuran dan pengoplosan.
4
Timbangan
Menimbang berat jenis cairan atau serbuk bahan atau yang sudah jadi.
5
Botol
Tempat/mengemas barang yang sudah jadi.
6
Ragum/Tanggem
Mencantumkan registrasi bulan pengeluaran barang hasil produksi.
7
Screen
Sebagai sarana membubuhkan tulisan, logo dan merek pada karton pembungkus kemasan.
8
Rakel
Mengoleskan tinta sablon diatas permukaan screen.
9
Film
Membuat / mengcopy logo gambar atau tulisan pada screen.
10
Karton
Mengemas barang yang telah jadi
11
Gelas takaran
Manakar volume bahan yang telah jadi.
12
Setrika
Merekatkan segel dan botol kemasan.
13
Packing dan tube
Menutup botol kemasan dalam karton.
14
Herdreyer
Membuka segel yang menempel pada tutup kemasan.
28
15
Mesin pres plastik
Merekatkan dan menutup kemasan yang berbahan alumunium foil dan plastik.
Sumber: Kantor Kejaksaan Negeri Magelang 2010 Kemudian ia (tersangka) dalam melakukan aksinya dengan menambah beberapa zat kimia lain apabila dianggap kurang pekat ataupun kurang menyengat sesuai dengan aslinya. Zat-zat kimia tersebut ia dapatkan dari toko kimia yaitu PT. Multi Kimia Raya di Semarang. Setelah dilakukan pencampuran dan penambahan zat kimia lain sehinga mirip dengan aslinya, maka dilakukanlah pengepakan (paking) yang selanjutnya ditutup dengan menggunakan tutup yang terbuat dari bahan plastik dan di segel dengan cara di setrika agar plastik penutup bisa merekat dengan plastik botol, selanjutnya botol tersebut di beri tiket merek yang bertuliskan dianyaran GRAMOXONE, CURACRON, SCORE dan MATADOR yang kemudian dimasukkan kedalam kardus. Adapun isi kardus tersebut masing-masing untuk merek GRAMAXONE berisi 10 (sepuluh) botol ukuran 1 liter, 20 (dua puluh) botol ukuran 1,5 liter. Untuk merek CURACRON berisi 50 botol ukuran 100 ml, 40 botol ukuran 250 ml dan 20 bolot ukuran 0,5 liter. SCORE 50 botol ukuran 80 ml, 40 botol ukuran 250 ml. MATADOR berisi 100 botol ukuran 80 m3. Tabel 2 PEMBUATAN OBAT TANAMAN PALSU/HARI No.
Nama Barang
Ukuran
Hari
1.
GRAMAXONE
300 liter
3 (tiga)
2.
CURACRON
100 liter
2 (dua)
3.
SCORE
100 liter
2 (dua)
4.
MATADOR
100 liter
tidak dapat dipastikan tergantung jumlah pasokan
Sumber: Kantor Kejaksaan Negeri Magelang 2010 Pemasaran yang ia (tersangka) lakukan oleh dibantu oleh 4 (empat) orang sales yaitu Fatoni, Budi Amanto, Dani dan sebagai pengemudi Sulistyo. 29
Mengingat pemasarannya yang cukup luas yaitu wilayah Sawangan, Talun, Magelang, Purworejo, Temanggung dan Wonosobo maka dalam operasinya ia (tersangka) menggunakan kendaraan roda empat (AA 1752 TB). Dari beberapa data penjualan yang telah peneliti dapatkan di Kantor Kejaksaan Negeri Magelang, adalah sebagai berikut: Tabel 3 HARGA OBAT TANAMAN PALSU No.
Nama Barang
Ukuran
1.
GRAMAXONE
1 liter
GRAMAXONE
0,5 liter
Rp 23.500,-
CURACRON
100 ml
Rp 16.500,-
CURACRON
250 ml
Rp 39.500,-
CURACRON
0,5 liter
Rp 77.500,- s/d Rp 78.500,-
2.
3. 4.
Harga Rp 43.500,- s/d Rp 44.500,-
SCORE
80 ml
Rp 31.500,-
SCORE
250 ml
Rp 91.000,-
MATADOR
80 ml
Rp 12.500,-
Sumber: Kantor Kejaksaan Negeri Magelang 2010 Tabel 4 KEGUNAAN OBAT TANAMAN No.
Nama Barang
Kegunaan
1.
GRAMAXONE
Untuk membunuh tanaman liar
2.
CURACRON
Untuk membunuh serangga dan ulat
3.
SCORE
Untuk pengendalian jamur dan tanaman dan horman pertumbuhan
4.
MATADOR
Untuk membasmi serangga
Sumber: Kantor Kejaksaan Negeri Magelang 2010 Setelah melakukan pengamatan dokumen resmi yang telah penulis dapatkan di Kantor Kejaksaan Negeri Magelang, maka peneliti juga melakukan wawancara kepada beberapa responden. Dalam wawancara secara langsung ini penulis memberikan beberapa pertanyaan kepada responden yaitu peneliti menanyakan
30
bahwa apa yang menjadi faktor utama yang menyebabkan tersangka melakukan pemalsuan merek GRAMAXONE, CURACRON, SCORE
dan MATADOR;
kemudian responden menjawab bahwa : “Jika dilihat dari beberapa hasil pemeriksaan yang telah penyidik lakukan bahwa tersangka melakukan pemalsuan merek tersebut dikarenakan merek-merek yang ia (tersangka) palsukan merupakan merek-merek yang laku dipasaran.14 Disisi lain beliau juga mengatakan bahwa tersangka telah memiliki modal pendidikan pertanian, sehingga tersangka ini secara rapi dapat memalsukan isi botol merek-merek yang telah ia palsukan dan sangat sulit untuk dibedakan oleh para pembeli/petani yang menjadi konsumen. Pernyataan Ibu Sandra Liliatiasari, SH selaku Jaksa Kejaksaan Negeri Kabupaten Magelang,
ditegaskan pula bahwa tersangka sebelumnya juga
mendapatkan bekal pendidikan formal di salah satu sekolah yaitu SPMA dan pengembangannya dari pengalaman ker di PT HOBSON INTERBUANA Jakarta dan PT Petro Kimia di Gersik Jawa Timur. Di dalam melakukan penuntutan, maka pihak kejaksaan juga tidak dapat bekerja sendiri, tetapi harus bekerja sama dengan pihak Departemen Pertanian serta Laboratorium Farmasi di Kawasan Muntilan Magelang untuk mendapatkan data dan akurasi terhadap berita acara pemeriksaan yang telah dilakukan oleh penyidik Polri. Dari hasil penelitian laboratorium maka ditemukan beberapa kandungan zatzat kimia yang antara lain: 1. DBP (Dibuthyl phtalate) 2. NP. 10 (Nonyl Phenol) 3. Pewarna Buthyl Cellusolve 4. Oxytol 5. Silol 6. Vonce 7. Solubel Concentrat 14
Ibu Sandra Lilianasari, SH selaku Jaksa Kejaksaan Negeri Kabupaten Magelang, wawancara 6 Januari 2010
31
8. M.3 Metanol Super 9. EA (Ethyl Acetate).15 Melalui uji laboratorium kimia dan farmasi serta berkat bantuan dari Departemen Perairan dan Pertanian ini maka dapat diungkap secara jelas mengenai pemalsuan merek obat yang telah dilanggar oleh tersangka tersebut. Penyerahan hasil penyidikan tersebut dilakukan dalam dua tahap, yakni pada tahap pertama dilakukan penyerahan berkas perkara. Pada tahap kedua dilakukan penyerahan secara fisik atas tersangka dan barang bukti di Pengadilan Kejaksaan Negeri Magelang. Pelaksanaan penyidikan terhadap tindak pidana pemalsuan merek tersebut, maka pihak Kepolisian Resor Magelang telah sesuai dengan Pasal 1 butir 1 KUHAP mengatakan, penyidik adalah pejabat Polisi Negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan. Disebutkan dalam Pasal 1 Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek, bahwa: Merek adalah tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna, atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa. Sehingga wajar saja apabila ada produsen barang terkenal yang merasa dirugikan untuk melapor kepada pihak yang berwajib tentang telah adanya tindak pidana pemalsuan merek. Disebutkan dalam Pasal 95 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek, bahwa: “Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90, Pasal 91, Pasal 92, Pasal 93, dan Pasal 94 merupakan delik aduan”. Jika melihat dari kasus tindak pidana pemalsuan merek obat-obat tanaman di atas, maka penulis dapat menganalisa bahwa tindak pidana pemalsuan merek tersebut merupakan tindak pidana aduan relatif. Tindak pidana aduan relatif, adalah suatu tindak pidana yang penuntutannya ke depan sidang pengadilan, hanya dapat dilakukan atas pengaduan dari pihak yang dirugikan atau mendapat malu dengan dilakukannya tindak pidana itu. Pengaduan dalam hal ini dapat dicabut sewaktu-waktu dalam 15
Laboratorium Kimia dan Farmasi Yogyakarta, 14 Februari 2008
32
tempo tiga bulan sejak dimaksukkannya pengaduan. Selain daripada itu, delik aduan juga dirumuskan dalam Pasal 1 butir 25 KUHAP, bahwa: “Pengaduan adalah pemberitahuan disertai permintaan oleh pihak yang berkepentingan kepada pejabat yang berwenang untuk menindak menurut hukum seorang yang telah melakukan tindk pidana aduan yang merugikannya”. Dalam hal kejahatan aduan, pengaduan itu menjadi syarat mutlak untuk dapatnya negara melakukan penuntutan pidana. Peranan korban pada kejahatan aduan adalah menentukan untuk dapat tidaknya dilakukan penuntutan pidana (vervolging). Jadi jelaslah dalam hal kejahatan aduan negara tidak berwenang menuntut pidana apabila korban kejahatan (yang berhak mengadu) tidak meminta agar perkara pidana yang diadukan itu diperiksa, diajukan ke sidang pengadilan dan diputus. Selain daripada itu, berdasarkan hasil penelitian data yang telah dilakukan oleh Kejaksaan Negeri Magelang bahwa tersangka telah melanggar pasal 257 KUHP tersangka juga melanggar Pasal 90 dan 91 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek, yang menyatakan bahwa : Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan Merek yang sama pada pokoknya dengan Merek terdaftar milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis yang diproduksi dan/atau diperdagangkan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah). “Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan merek yang sama pada pokoknya dengan merek terdaftar milik orang lain untuk barang dan jasa sejenis yang diproduksi dan atau diperdagangkan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak . 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah). Melihat rumusan kejahatan-kejahatan merek obat-obat tanaman dalam bentuk cair seperti tersebut di atas, bahwa tersangka telah secara melawan hukum menggunakan merek orang lain atau badan yang terdaftar dan memperdagangkan
33
barang yang diketahui atau patut diketahuinya barang tersebut hasil dari penggunaan merek orang lain. Adapun unsur tindak pidana yang telah dilakukan oleh tersangka pemalsuan obat-obat tanaman pertanian adalah sebagai berikut: 1. Dengan sengaja memalsukan seluruh isi obat-obatan tersebut. 2. Dengan sengaja menggunakan merek serta label tanpa ijin dari pemilik merek tersebut. 3. Dengan sengaja memperjualbelikan/memperdagangkan produk tersebut. 4. Dengan sengaja membuat barang-barang tersebut seolah-olah seperti aslinya.16 Berdasarkan dari penyajian data sebelumnya, maka penyidikan terhadap tindak pidana pemalsuan merek tersebut di atas telah sesuai dengan Pasal 8 ayat (3) KUHAP yang menyebutkan bahwa: Penyerahan berkas perkara sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilakukan : 1. pada tahap pertama penyidik hanya menyerahkan berkas perkara; 2. dalam hal penyidikan sudah dianggap selesai, penyidik menyerahkan tanggungjawab atas tersangka dan barang bukti kepada penuntut umum. Penuntutan terhadap tindak pidana pemalsuan obat-obat tanaman yang dilakukan oleh Kejaksaan Negeri Magelang, juga merupakan suatu perwujudan dari Pasal 1 butir 28 KUHAP yang menyatakan bahwa: “Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki kehalian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan”. B.
Hambatan Dalam Menentukan Sistem Pertanggungjawaban Pidana Dalam Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 Tentang Merek dan Cara Mengatasinya Berdasarkan hasil wawancara dengan Ibu Sandra Liliatiasari, SH selaku
Jaksa Kejaksaan Negeri Kabupaten Magelang penuntutan tindak pidana pemalsuan merek di Wilayah Hukum Kabupaten Magelang, beliau mengatakan 16
Ibu Sandra Lilianasari, SH selaku Jaksa Kejaksaan Negeri Kabupaten Magelang, wawancara 6 Januari 2010
34
bahwa “hambatan yang dihadapi dalam melakukan penuntutan terhadap pelaku tindak pidana adalah sulitnya menentukan antara sales/marketing yang resmi atau yang palsu karena tersangka mengaku bahwa dia adalah utusan/pegawai yang resmi dari pihak distributor obat-obat tanaman tersebut.”.17 Pernyataan tersebut dapatlah dimengerti, karena salah satu dari pelaku adalah merupakan sales resmi dari distributor tanaman obat-obat tanaman pertanian tersebut. Selain daripada itu untuk menentukan unsur tindak pidananya juga kurang begitu jelas, karena pelaku disamping memalsukan obat-obat tanaman tersebut juga memasarkan obat-obat tanaman yang asli. Sehingga pelaku sangat sulit untuk dilakukan penuntutan. Namun hal tersebut dapat diatasi dengan cara mendatangkan pihak distributor ataupun produsen untuk mengevaluasi lebih lanjut tentang seluruh kerugian yang ditimbulkan akibat perbuatan pelaku tersebut. Kemudian beliau juga mengatakan bahwa untuk menentukan asli dan palsu maka pihak Kejaksaan Negeri mendatangkan ahli dari pihak produsen obat tanaman tersebut dan meminta pihak laboratorium untuk memeriksa seluruh isi botol obat pembunuh gulma ataupun pengganggu tanaman tersebut.18 Pernyataan beliau tersebut di atas, sangatlah mungkin sehingga dalam penuntutan perkara tindak pidana pemalsuan ini tidak dapat berdiri sendiri, melainkan harus bekerjasama dengan pihak lain seperti halnya pihak laboratorium kimia ataupun laboratorium farmasi lainnya. Selain daripada itu hambatan lain adalah melihat efek samping dari adanya obat tanaman palsu tersebut. Kesulitan tentang efek samping dari pemalsuan tersebut tidaklah mungkin pihak Polres Magelang melakukan penelitian ataupun percobaan ulang terhadap obat tersebut, jika dilakukan percobaan lagi tentu akan membutuhkan waktu yang lama. Namun hambatan tersebut dapat diatasi dengan mendatangkan ahli tanaman 17 18
Ibu Sandra Lilianasari, SH selaku Jaksa Kejaksaan Negeri Kabupaten Magelang, wawancara 6 Januari 2010 Ibu Sandra Lilianasari, SH selaku Jaksa Kejaksaan Negeri Kabupaten Magelang, wawancara 6 Januari 2010
35
dari dinas pertanian, sehingga mereka dapat menentukan hasil serta efek samping dengan adanya obat tersebut. Dalam upaya penututan tindak pidana pemalsuan merek tidaklah semudah seperti halnya tindak pidana lain, karena dalam pengungkapan tindak pidana pemalsuan merek selalu membutuhkan pihak lain ataupun ahli yang benar-benar tahu tentang efek samping ataupun tingkat keaslian dari obat tersebut, sehingga dalam proses ini juga membutuhkan biaya yang tidak sedikit karena untuk pengujian kimia sangatlah membutuhkan biaya yang sangat tinggi. Kurangnya partisipasi petani dalam mengungkap kasus pemalsuan obat-obat tanaman, sehingga pihak kepolisian, kejaksaan dan kehakiman maupun distributor kesulitan untuk memerangi tindak pidana pemalsuan merek obat-obatan tanaman tersebut, hal ini dapat diatasi dengan cara bekerja sama dengan dinas pertanian untuk memberikan penyuluhan tentang kerugian yang diakibatkan oleh obat-obat tanaman yang palsu. Di dalam upaya untuk menanggulangi pemalsuan merek maka pihak Kejaksaan Negeri Magelang menghimbau kepada seluruh distributor obat-obatan tanaman dan terhadap dinas pertanian agar selalu memberikan sosialisasi kepada para petani, sehingga para petani tidak akan mudah tertipu dengan merek yang sudah beredar. Selain daripada itu pihak Kejaksaan dan Kepolisian juga merasia atau menyita seluruh obat tanaman yang telah dipalsukan untuk dihancurkan dan sebagian dijadikan sebagai barang bukti tindak pidana dihadapan hakim dan juga memberikan sangsi secara tegas terhadap para pedagang yang diketahui telah menjual obat-obat tanaman palsu.
36
BAB V PENUTUP Berdasarkan dari beberapa hasil penelitian dan pembahasan sebelumnya, maka dalam hal ini peneliti akan memberikan kesimpulan dan saran dari bab-bab sebelumnya. A. 1.
Kesimpulan Tindak pidana pemalsuan merek tersebut merupakan tindak pidana aduan relatif. Tindak pidana aduan relatif, adalah suatu tindak pidana yang penuntutannya ke depan sidang pengadilan, hanya dapat dilakukan atas pengaduan dari pihak yang dirugikan atau mendapat malu dengan dilakukannya tindak pidana itu. Pengaduan dalam hal ini dapat dicabut sewaktu-waktu dalam tempo tiga bulan sejak dimaksukkannya pengaduan.
37
2.
Dalam hal penyidikan tidaklah penting ada pengaduan atau tidak. Jadi jelaslah dalam hal kejahatan aduan negara tidak berwenang menuntut pidana apabila korban kejahatan (yang berhak mengadu) tidak meminta agar perkara pidana yang diadukan itu diperiksa, diajukan ke sidang pengadilan dan diputus.
3.
Sulitnya untuk membedakan kemasan yang asli dan palsu, selain itu juga harus mendatangkan ahli dari laboratorium untuk mengetahui indikasi apa saja yang telah terkandung dalam obat-obatan tanaman yang dipalsukan. Hambatan tersebut dapat diatasi dengan cara bekerja sama dengan pihakpihak terkait seperti halnya Departemen Pertanian, Distributor Obat-obatan tanaman yang dipalsukan dan pihak laboratorium kimia.
B. -
Saran Agar pihak kepolisian tidak hanya memeriksa tersangka saja, tetapi juga harus bekerjasama dan menghimbau pihak pedagang supaya tidak menjual obat-obat tanaman lainnya yang palsu. Karena hal ini dapat merugikan para petani.
-
Agar pihak kepolisian mau belajar tentang pertanian, karena dengan belajar pertanian diharapkan kepolisian bisa mandiri dalam menangani kasus-kasus serupa.
-
Pihak kepolisian harus menangkap dan melakukan penyidikan secara intensif bagi para pedagang obat-obat tanaman palsu.
38
DAFTAR PUSTAKA Adami Khazawi, 2002. Kejahatan Mengenai Pemalsuan Cetakan ke 2. PT Raja Grafindo Persada, Jakarta ___________, Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, Edisi Revisi. Cetakan keempat, Gahlia Indonesia, Jakarta. _____________, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 2, Mengenai Hukum Pidana Dasar Peniadaan, Pemberatan Peringanan Pidana, Kejahatan Aduan, Perbarengan & Ajaran Kausalitas, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta. Andi Hamzah, 1990. KUHP & KUHAP, Rineka Cipta, Jakarta. Kuffal. H.M.A, 2002. Penerapan KUHAP Dalam Praktik Hukum, Universitas Muhammadiyah Malang, Malang. Lamintang PAF, 1991. Kejahatan-Kejahatan Membahayakan Kepercayaan Umum Terhadap Surat-Surat, Alat-alat Pembayaran, Alat-Alat Bukti dan Peradilan, CV Mandar Maju, Bandung. Purnianti, Moh.Kemal Darmawan, 1994. Mazhab dan Penggolongan Teori dalam Kriminologi. Bandung, Citra Aditya Bakti. Romli Atmasasmita, 1992. Teori dan Kapita Selekta Kriminologi. Bandung, Eresco Rony Hanitijo, 1990. Metodologi Penelitian Hukum dan Yurimetri, Ghalia Indonesia, Jakarta. Topo Santoso, Eva Achjani Zulfa, 2002. Kriminologi, Raja Grafindo Persada, Jakarta Yan Pramdya Puspa, 1989. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta. Peraturan Perundang-Undangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia
40