BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Islam adalah agama yang dalam mengatur keperluan dan tuntutan hidupnya berdasarkan pada ketetapan hukum yang berlaku. Sejalan dengan itu Islam juga menggabungkan antara tuntutan rohani dan jasmani dengan nilai
keadilan
dan
kebenaran.
Apabila
Islam
menggariskan
jalan
keberuntungan bagi rohani, maka Islam juga menggariskan pula jalan keberuntungan bagi kehidupan kebendaan, dan memerintahkan agar dalam perolehannya menggunakan cara yang baik dan bermanfaat. Untuk itu Islam memerintahkan pencarian dan pengumpulan harta benda harus melalui jalan yang bisa mendatangkan kebaikan dan keberuntungan bagi manusia, membangkitkan kegiatan dan kegairahan kerja, memakmurkan alam, serta menciptakan perubahan dibumi.1 Allah telah menciptakan dunia dan menjadikannya sarana bagi orang mukmin untuk memperoleh hasilnya diakhirat serta beramal didalamnya dengan melaksanakan ketaatan kepada Tuhannya. Namun bagi orang durhaka dunia ini adalah sesuatu yang dinikmatinya demi memuaskan hatinya dan melampiaskan syahwatnya.2 Manusia telah diberi fitrah oleh Allah sejak ia telah mengenal dan bermakrifat kepada Allah. Maka dari fitrah itulah manusia dituntut agar mengenal Allah yang telah menciptakannya dan melindungi dirinya. Sekalipun manusia itu telah diberi fitrah oleh Allah kalau tidak mendapat anugrah-Nya, niscaya manusia itu akan mengingkari-Nya dan tidak percaya kepada-Nya.
Untuk itu manusia harus menghindari dunia agar dia bisa
bermakrifat dan bertemu dengan Allah. Sikap menghindari dunia ini disebut
1
Drs. H. Abdul Qadir Djaelani, Koreksi terhadap Ajaran Tasawuf, Gema Insani Press, Jakarta, 1996, hlm. 129 – 130 2 Alamah Sayyid Abdullah Haddad, Menuju Kesempurnaan Hidup, Penerbit Mizan, Bandung, 1986, hlm. 30
1
2
zuhud. Sedangkan orang yang tidak ingin atau tidak tertarik kepada kenikmatan dunia, pangkat, dan harta benda disebut zahid.3 Tasawuf merupakan suatu ilmu pengetahuan dan sebagai ilmu pengetahuan tasawuf atau sufisme mempelajari cara dan jalan bagaimana seorang
Islam dapat berada sedekat mungkin dengan Allah Swt. Suatu
kenyataan sejarah bahwa kelahiran tasawuf diawali oleh gerakan hidup zuhud. Jadi bisa dikatakan bahwa sebelum seorang sufi telah ada orang zahid yaitu orang-orang yang secara tekun mengamalkan ajaran esoteris Islam yang kemudian dikenal dengan ajaran tasawuf. Sebagaimana kita ketahui bahwa munculnya gerakan zuhud itu diakibatkan beberapa hal antara lain : pertama, ajaran Islam yang terkandung dalam al-Quran dan sunnah yang berkaitan dengan uraian tentang ketidakartian dunia maupun hiasannya. Dan perlunya berusaha secara sungguh-sungguh demi akherat untuk memperoleh pahala atau selamat dari azab neraka.4 Kedua, dikarenakan kondisi sosio politik umat Islam waktu itu yaitu konflik-konflik yang terjadi sejak akhir khalifah Usman yang mengakibatkan munculnya kelompok-kelompok dalam Islam.5 Dari beberapa peristiwa di atas, ada sebagian ulama yang memilih sikap tidak memihak terhadap salah satu kelompok yang bertikai. Dan untuk menghadapi kericuhan-kericuhan politik yang terjadi didalam dunia tersebut, mereka mencari selamat dan menjauhi konflik itu dan menyukai hidup menyendiri dengan kata lain mereka lebih mengarah kepada kehidupan zuhud. Dalam hal ini zuhud diartikan sebagai sikap hidup yang seharusnya dilakukan oleh seseorang muslim dalam meniti kehidupan dunia fana ini. Dunia dipandang sebagai sarana dan fasilitas ibadah serta untuk meraih keridhaan Allah, jadi bukan sebagai tujuan hidup.
3
Murtadha Muthahari, Mengenal Tasawuf (Pengantar menuju Dunia Irfan), Pustaka Zahra, Jakarta, 2002, hlm. 70 4 Dr. Abu al-Wafa al-Ghanimi al-Taftazami, Sufi dari Zaman ke Zaman, Penerbit Pustaka, Bandung, 1985, hlm. 59 5 Ibid., hlm. 64
3
Melihat hal ini, orang yang tidak mau turut dalam hidup kemewahan dan ingin mempertahankan hidup kesederhanaan hidup di zaman Rasul dan sahabat-sahabatnya menjauhkan diri dari dunia kemewahan itu. Sebelum timbul hidup mewah itu, di zaman perlombaan dan persaingan untuk merebut kekuasaan dalam khilafah, terutama dimasa Usman dan Ali yang telah mengasingkan diri yaitu bersikap i’tizal.6 Dalam Islam asketisisme (zuhud) bukanlah pendetaan atau terputusnya kehidupan duniawi, akan tetapi ia adalah hikmah pemahaman yang membuat para penganutnya mempunyai pandangan khusus terhadap kehidupan duniawi, dimana mereka tetap bekerja dan berusaha, akan tetapi kehidupan itu tidak menguasai kecenderungan kalbu mereka, serta tidak membuat mereka mengingkari Tuhannya. Asketisisme dalam Islam mempunyai makna, hendaklah seseorang menjauhkan dirinya dari hawa nafsunya. Dengan kata lain hendaklah dia membebaskan dirinya secara penuh dari segala hal yang menghalangi kebebasannya. Asketisisme tidak membuat kaum muslimin memalingkan diri dari kehidupan masyarakat. Bahkan asketisisme membekali mereka tenaga rohaniah yang membuat mereka mampu menghadapi kehidupan masyarakat. Dengan asketisisme (zuhud) itu mereka tidak diperbudak harta kekuasaan, ataupun hawa nafsu sehingga mereka dapat mewujudkan keadilan sosial dalam bentuknya yang luhur.7 Dengan demikian zuhud mulai memperoleh pengertian baru seperti yang terkandung pada makna istilah asketisisme yaitu mengasingkan diri dari kehidupan dunia untuk tekun beribadah dan menjalankan latihan rohani, memerangi keinginan hawa nafsu didalam pengasingan dan dalam pengembaraan, berpuasa, menyedikitkan makan dan memperbanyak dzikir.8
6
Prof. Dr. Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1973, hlm. 65 7 Dr. Abu al-Wafa al-Ghanimi al-Taftazami, op.cit., hlm. 54-56 8 Simuh, Tasawuf dan Perkembangannya dalam Islam, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996, hlm. 60
4
Diantara sifat-sifat orang zuhud terhadap dunia adalah : 1.
Hendaklah jangan gembira dengan adanya sesuatu dan janganlah bersusah diri jika sesuatu tadi tidak ada
2.
Dapat menganggap sama pada orang yang memuji atau yang mencelanya
3.
Hendaklah ketenangan itu dengan Allah dan yang dapat menenangkan dalam hatinya ialah kemanisan berbuat ketaatan serta kebaktian kepadaNya.9 Dalam tasawuf zuhud menempati posisi maqam (station) yang sangat
penting, sehingga seluruh ulama tasawuf seperti al-Kalabadzi dalam alTa’aruf, al-Thusi dalam al-Luma, dan al-Ghazali dalam Ikhya’ Ulum al-din menempatkannya sebagai maqam, meskipun berbeda dalam menempatkan urut-urutannya dalam deretan maqam itu. Dalam maqam ini dunia dan Tuhan itu dipandang sebagai sesuatu yang dikotomik.
Pentingnya posisi zuhud
dalam tasawuf ialah karena melalui maqam zuhud seorang sufi akan membawa dirinya pada kondisi pengosongan kalbu dari selain Tuhan, dan terpenuhinya dengan dzikir kepada Allah. Dengan demikian zuhud merupakan salah satu upaya menata hati untuk memahami bahwa kehidupan di dunia ini hanyalah sekedar sarana bukan tujuan, hati tidak boleh terpikat olehnya. Dunia diambil sebagai sarana beribadah kepada Allah.10 Apabila engkau tergoda oleh dunia dan dalam keadaan khawatir dan gelisah maka itulah tandanya bahwa kehidupan dunia ini penuh was-was selalu menimbulkan kegelisahan dan air mata. Imam al-Qusyairi menukil pendapat kaum sufi yang menyatakan bahwa zuhud adalah tidak merasa berbangga terhadap kemewahan dunia yang telah dimilikinya, dan tidak bersedih dengan hilangnya kenikmatan dari dirinya.11 Disini al-Quran menjelaskan tentang sikap tersebut yang terdapat dalam surat al-Hadid ayat 23 9
al-Allamah almarhum Asysyaikh, Muhammad Jamaluddin al-Qasimi Addimasyqi, Bimbingan untuk Mencapai Mukmin, terj. Moh. Abdar Rathomy, CV. Diponegoro, Bandung, 1994, hlm. 966 10 Prof. Dr. H.M. Amin Syukur, Menggugat Tasawuf, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1999, hlm. 81 11 Abu Jihaduddin Rifqi al-Hanif, Ilmu dan Ma’rifat, CV. Bintang Pelajar, t.th, hlm. 176
5
ﹸﻛ ﱠﻞﺤﺐ ِ ﻳ ﻟﹶﺎﺍﻟﻠﱠﻪﻢ ﻭ ﺎ ﹸﻛﺎ ﺀَﺍﺗﻮﺍ ِﺑﻤﺮﺣ ﺗ ﹾﻔ ﻭﻟﹶﺎ ﻢ ﺗ ﹸﻜﺎ ﻓﹶﺎﻋﻠﹶﻰ ﻣ ﺍﺳﻮ ﺗ ﹾﺄ ﻲ ﻟﹶﺎ ِﻟ ﹶﻜ (23 : ﻮ ٍﺭ )ﺍﳊﺪﻳﺪ ﺎ ٍﻝ ﹶﻓﺨﺨﺘ ﻣ Artinya : (Kami jelaskan yang demikian itu) “Supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (al-Hadid : 23) 12 Ayat di atas menerangkan bahwa segala sesuatu yang terjadi di dunia ini adalah atas ketentuan-Nya. Dalam menerima kenyataan hidup itu, manusia diharapkan berada dalam kondisi mental yang stabil yaitu tidak melampui batas dalam susah dan gembira. Dalam agama Budha hakekat hidup manusia di dunia ditanggapi secara mendasar dengan pandangan negatif atas situasi yang dihadapi manusia yang diibaratkan suatu lingkaran setan yang berputar tanpa henti. Perputaran ini tidak berawal dan berakhir, orang tidak dapat bebas darinya dan karenanya orang akan mengalami kelahiran kembali, hidup yang satu mengikuti hidup yang lain sesuai dengan lingkaran karmanya yang tidak berakhir ini. Hanya dengan mengikuti ajaran Budha semua karma yang jahat ini bisa dibersihkan sehingga hidup kembali di dunia bisa diakhir untuk mencapai pencerahan. Ajaran ini merupakan suatu proses panjang dari praktek meditasi yang dilakukan oleh Sidharta Gautama yang dianggap telah mendapat pencerahan dan sebagai guru besar Budha. Pelepasan sebagai sebab awal dari menjalani hidup kebhikkhuan dimana ia melepaskan kehidupan duniawi tidak lain untuk menjalani kehidupan pertapa. Orang mengasingkan diri (pertapa) karena tidak punya banyak keinginan, berhati lembut, senang menyendiri, dan karena hal ini bermanfaat.13 Menjadi bhikkhu adalah suatu pola kehidupan yang tidak bisa diperbandingkan dengan rohaniawan penganut agama-agama lainnya. Tradisi 12
Yayasan Penyelenggara Penterjemah al-Qur'an, Al-Qur'an dan Terjemahnya, Departemen Agama RI, 1989, hlm. 904 13 Sayagyi U BA Khin, Empat Kesempurnaan (Pelepasan, Kebijaksanaan, Upaya, Kesabaran), Yayasan Penerbit Karaniya, Bandung, 1997, hlm. 13
6
mengasingkan diri dari asketisisme begitu meluas.
Jejaknya bisa dilacak
kembali hingga peradaban lembah Indus. Para pencari kehidupan pertapa ini meninggalkan rumah dan keluarga mereka, menolak semua kenyamanan sumpah setia, dan mengembara di pedesaan. Mereka hidup dengan sangat sederhana hanya mengandalkan hasil mengemis untuk kelangsungan hidup. Teknik meditasi dan perenungan digunakan untuk menenangkan pikiran dan mendorong tercapainya kesadaran yang dianggap bisa mengantarkan seseorang kedalam rasa pengertian yang lebih dalam. Asketisisme menuntut penolakan diri, pelatihan mental, dan mati rasa dengan keyakinan bahwa tubuh yang semakin lemah akan tunduk terhadap kehendak pikiran. Sejumlah pengembara bertelanjang dalam cuaca apapun, adalagi yang meniru kehidupan binatang, dan banyak yang berpuasa dalam waktu yang lama. Banyak pertapa (asketis) dan orang-orang bijak berhasil menarik perhatian orang dan murid dari penarikan diri yang mereka lakukan. Beberapa pertapa lainnya memilih untuk hidup menyendiri.14 Dalam Budhisme asketis menjalankan tapa tidak dengan penyiksaan jasmani. Kepercayaan kepada diri sendiri untuk mencapai kebebasan merupakan lampu penerang bagi jalan yang akan ditempuhnya, sebagaimana yang diajarkan Budha dalam khutbahnya yang ditujukan kepada muridnya bernama Ananda sebagai berikut : “Maka dari itu, wahai Ananda, menjadilah lampu untuk dirimu sendiri; jadikanlah dirimu tempat perlindungan bagi dirimu; janganlah kamu pergi ketempat perlindungan diluar dirimu; peganglah teguh “kebenaran” itu sebagai tempat perlindungan; usahakanlah keselamatan untuk diri sendiri dengan rajin”. Nyatalah bahwa Budha memandang setiap manusia memiliki kemampuan individual dalam usahanya mencapai nirwana dengan optimis tanpa melakukan penyiksaan tubuh jasmaniah.15
14
Gillian Stokes, Seri Siapa Dia? Budha, Penerbit Erlangga, Jakarta, 2001, hlm. 21 15Prof. H.M. Arifin, Menguak Misteri Agama-agama Besar, Golden Trayon Press, Jakarta, 1987, hlm. 103-104
7
Selanjutnya seorang Bhikkhu harus hidup membujang, ia tidak diperkenankan berhubungan dengan wanita. Sebab hubungan seks dipandang sebagai sumber dosa. Oleh karena itu ada banyak sekali peringatan supaya seorang bhikkhu untuk menjauhi wanita. umpamanya
terpaksa
harus
Jika karena keadaan didalam
menghadapinya
ia
tidak
diperkenankan
memandangnya, jika hal memandang itu tidak mungkin dihindari, pikirannya harus diawasi benar. Akhirnya seorang bhikkhu harus hidup dengan ahimsa (tanpa kekerasan).
Didalam prakteknya hal ini tidak diperkenankan
membunuh atau melukai makhluk lainnya. Empat dosa yang harus dihindari yaitu hidup mesum, mencuri, membunuh makhluk yang hidup, dan meninggikan diri karena kecakapannya membuat mukjizat.16 Ajaran Budha menganjurkan orang agar membebaskan diri dari segala ikatan duniawi serta kehidupan, karena dunia dan segala macam kehidupan bagi jasmani maupun rohani adalah dukha (penderitaan) yang penuh dengan nafsu-nafsu duniawi.
Bila seseorang berada dalam Dhamma ia akan
melepaskan diri dari akhir penderitaan. Dhamma adalah suatu hukum yang tidak dapat dielakkan oleh setiap makhluk. Dhamma tidak akan berubah oleh waktu, tempat, maupun keadaan. Sesuatu yang terbentuk pasti akan mengalami perubahan, kelapukan, dan kematian. Demikian juga dengan diri kita bila kita berpikir, berkata, dan berbuat dengan pikiran yang penuh dengan keserakahan, kebencian, dan kebodohan maka penderitaanlah yang akan kita peroleh sebagai hasilnya, sedangkan yang berbuat kebajikan akan memperoleh kebahagiaan. Hal ini hanya akan terjadi pada waktu lampau saja, akan tetapi juga terjadi pada waktu sekarang bahkan akan tetap terjadi pada waktu yang akan datang.17 Manusia adalah makhluk yang mempunyai kekuatan bercorak suci dan bercorak jahat yang dapat muncul kepermukaan kesadaran hidup pada saat yang tidak terduga. Kejahatan yang kuat bersifat menghancurkan yang ada 16
Harun Hadiwiyono, Agama Hindu dan Budha, PT. BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1971,
hlm. 84 17
Phra Vidhurdhamma Bhron (Bhante Win Vijano), Ajaran Bagi Pemula, Yayasan Bandung Sucino Indonesia, Bandung, 1992, hlm. 10
8
dalam diri manusia ialah kebencian atau dosa. Kebajikan mulia yang dapat menaklukan kekuatan kebencian yang jahat ini adalah cinta kasih (metta), yang juga akan meluhurkan batin manusia. Kebengisan (himsa) merupakan salah satu bentuk kejahatan yang banyak menimbulkan penderitaan dan kekejaman yang menjadikan dunia ini kacau balau. Kasih sayang (karuna) adalah kekuatan yang dapat menaklukkan kebengisan. Iri hati (issa) adalah kejahatan yang dapat meracuni dan merusak batin manusia sehingga menimbulkan persaingan tidak sehat dan membahayakan.18 Hidup jauh dari hinaan adalah salah satu sumber kebahagiaan paling baik bagi orang awam. Orang yang hidup tanpa dihina adalah berkah bagi dirinya sendiri dan juga bagi orang lain. Ia dikagumi banyak orang dan merasa lebih bahagia dengan dipengaruhi getaran kedamaian orang lain. Orang yang berakal budi agung hanya mau hidup tanpa tercela dan tak memperdulikannya godaan dari luar. Dalam dunia ini sebagian besar orang menyenangkan dirinya dengan memuaskan nafsu indrawinya, sedangkan yang lainnya mencari kesenangan dengan meninggalkan kenikmatan-kenikmatan indrawi.19 Untuk memanfaatkan sebaik-baiknya potensi kemanusiaan memerlukan rencana hidup dalam pengembangan nilai-nilai yang penting bagi perolehan kebahagiaan, kesuksesan, dan keamanan dalam hidup duniawi dan bagi kemajuan menuju tujuan akhir yaitu nirwana. Sementara itu berjalan sepanjang jalan menuju pembebasan sebagai umat awam kita harus hidup didunia, dan tujuan jangka pendek kita adalah untuk membuat hidup kita sukses secara duniawi serta menuju pembebasan akhir.20 Budhisme menjunjung tinggi nilai-nilai moral karena etika Budhisme didasarkan pada hukum sebab dan akibat dalam lingkup moral dan hukum. Dengan mengenali obyektifitas hukum moral dan hubungan pribadi antara 18
Bhante Narada Mahathera, Cermin Kehidupan, Yayasan Dhammadipa Arama, Jakarta, 1983, hlm. 52 19 Narada Mahathera, Fakta Kehidupan, Lembaran Khusus Agama Budha, Jakarta, 1989, hlm. 25 20 Robert Bogoda, Hidup Sederhana Hidup Bahagia, Yayasan Penerbit Karaniya, t.tpn, 2003, hlm. 25
9
perbuatan dan akibatnya, seseorang dengan pandangan benar akan menghindari tindakan yang salah dan mendekati standar tindakan baik yang terdapat dalam lima sila. Dengan menerima aturan moral, seseorang bertekad untuk mengatur tindakannya sesuai dengan nilai kebaikan, ketidakmelekatan (niat baik), dan kebijaksanaan. Lima sila telah diwariskan sang Budha bagi kita untuk menghindarkan kita dari tindakan jahat dan mengarahkan pada tindakan yang akan terbukti bermanfaat bagi diri kita dan orang lain. Jika kita membentuk tindakan kita sesuai dengan lima sila, kita bertindak sesuai dengan Dhamma, menghindarkan kesengsaraan masa depan serta membangun perlindungan dan kebahagiaan bagi diri sendiri dan orang lain, jadi semakin dekat kita hidup dengan lima sila semakin besar kekuatan dalam hidup didunia.21 Berdasarkan pada latar belakang tersebut penulis berkeinginan mengangkat judul yang berkenaan dengan “Studi Komparatif Konsep Dunia menurut Pandangan Bhikkhu dan Zahid.” B. Pokok Permasalahan Sehubungan dengan latar belakang tersebut di atas ada beberapa masalah pokok yang perlu dianggap mendapat perhatian : 1. Bagaimana konsep dunia menurut pandangan Bhikkhu dan Zahid? 2. Bagaimana persamaan dan perbedaan konsep dunia menurut pandangan Bhikkhu dan Zahid? 3. Bagaimana implikasi konsep dunia menurut pandangan Bhikkhu dan Zahid dalam kehidupan sekarang? 4. Bagaimana latar belakang pemikiran konsep dunia menurut pandangan Bhikkhu dan Zahid?
21
Ibid., hlm. 44-45
10
C. Tujuan Penulisan Skripsi Setiap penulisan karya ilmiah tentu berdasar atas maksud dan tujuan ide pokok yang akan dicapai atas pembahasan materi tersebut, maka penulis merumuskan tujuan penulisan skripsi sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui konsep dunia menurut pandangan Bhikkhu dan Zahid. 2. Untuk mengetahui persamaan dan perbedaaan konsep dunia menurut pandangan Bhikkhu dan Zahid. 3. Untuk mengetahui implikasi konsep dunia menurut pandangan Bhikkhu dan Zahid dalam kehidupan sekarang. 4. Untuk mengetahui latar belakang pemikiran konsep dunia menurut pandangan Bhikkhu dan Zahid? D. Manfaat Penulisan Skripsi 1. Agar dapat mengetahui perbedaan dan persamaan konsep dunia menurut pandangan Bhikkhu dan Zahid 2. Agar dapat mengetahui lebih jauh tentang konsep dunia menurut pandangan Bhikkhu dan Zahid bila dikaitkan dengan masa sekarang.
E. Tinjauan Kepustakaan Untuk dapat memecahkan persoalan dan mencapai tujuan sebagaimana diungkapkan di atas, maka perlu dilakukan tinjauan pustaka guna mendapatkan kerangka berpikir yang dapat mewarnai kerangka kerja serta memperoleh hasil sebagaimana yang diharapkan. Dr. Abu Al-Wafa al-Ghanimi al-Taftazami, dalam bukunya yang berjudul Sufi dari Zaman ke Zaman menjelaskan bahwa asketisisme dalam Islam ialah berpaling dari keterpuasaan dunia sehingga dengan begitu terealisasikan kebebasan manusia yang tercermin dalam keterhindarannya dari hawa nafsunya dengan berdasar kehendak sendiri. Phra Vidhurdhamma Bhorn (Bante Win Vijono) dalam bukunya yang berjudul “Ajaran Bagi Pemula”, menjelaskan tentang ajaran Dhamma yaitu dengan menghentikan roda putar kehidupan di dunia sehingga manusia dapat
11
membebaskan diri dari segala ikatan dan pengaruh duniawi untuk mencapai tujuan tertinggi yaitu nirwana. Robert Bogoda, dalam bukunya “Hidup Sederhana Hidup Bahagia” menjelaskan kepada Sang Budha dalam pencarian tujuan duniawi para umat awam sebaiknya berhati-hati agar tidak melanggar aturan dasar moralitas. Aturan-aturan ini disimpulkan dalam lima sila kebajikan. Dengan melakukan lima sila tersebut seseorang akan mencapai puncak nirwana dengan usaha tekun dan hening dalam jangka waktu yang panjang. Ust Drs. Moh. Saifullah Aziz S dalam bukunya Risalah Memahami Ilmu Tasawuf menjelaskan tentang Zuhud menempati posisi sebagai maqam. Dalam posisi ini berarti hilangnya kehendak kecuali berkehendak untuk bertemu dengan Tuhan.
Dunia dianggap penghalang (hijab) bertemunya
seseorang dengan Tuhan. Seseorang yang ingin bertemu dengan-Nya harus melakukan perjalanan, dan menghilangkan sesuatu yang menghalangi antara dirinya dengan Tuhan yaitu dunia materi serta dengan melakukan riyadah (latihan) dan mujahadah (bersungguh-sungguh). Prof. Dr. H.M. Amin Syukur, dalam bukunya yang berjudul Zuhud di Abad Modern menjelaskan bahwa dunia bukan menjadi tujuan hidup dan tidak membuatnya mengingkari Tuhan tetapi dunia dijadikan sebagai sarana beribadah kepada Allah. Sehingga dalam mengarungi kehidupan dunia ini manusia diperintahkan untuk bekerja keras untuk bekal kehidupan di dunia ini dan apa yang diperolehnya diperuntukkan bagi kehidupan akherat tanpa melupakan posisinya di dunia. Imam al-Ghazali dalam bukunya yang berjudul Ihya’ Ulumuddin, menjelaskan bahwa orang yang menggemari dunia dan panjang anganangannya niscaya dibutakan oleh Allah hatinya dan barang siapa zuhud dunia niscaya ia diberikan ilmu oleh Allah. Bhikkhu Jotidhammo Thera, M.Hum dan Rudy Ananda Limiadi, S.Si, M.M dalam bukunya Majjhima Nikaya I
menjelaskan ajaran paticca
samuppada dan Sang Budha juga menyebutkan bahwa suatu batin yang berada di alam transendental telah melampaui dunia ini dibagi menjadi
12
sepuluh belenggu dunia (Samyojana) dan beberapa tingkatan yang ditandai oleh pematahan ikatan-ikatan yang mengikat manusia di dunia. F. Metode Penulisan Skripsi Dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan metode sebagai berikut : 1. Pengumpulan Data Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (library research) yaitu data yang diperoleh berasal dari kajian teks atau buku-buku yang relevan dengan pokok masalah di atas. 2. Sumber Data Sumber data dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan sekunder, data primer atau data tangan pertama adalah data yang diperoleh langsung dari subyek penelitian sebagai sumber informasi yang dicari.22 Dalam hal ini data primer antara lain terdiri dari Ihya Ulum al-Din karangan Imam al-Ghazali Zuhud di Abad Modern karangan Prof. Dr. H. M. Amin Syukur, M.A Sufi dari Zaman ke Zaman karangan Dr. Abu alWafa al-Ghanimi al-Taftazami, Majjhima Nikaya I (kitab suci agama Budha) karangan Bhikkhu Jotidhammo Thera, M.Hum dan Rudy Ananda Limiadi, S.Si, M.M, Masuk ke Arus Dhamma karangan Phra Acariya Thoon Khippanno. Sedangkan data sekunder sendiri sebagai data penunjang berupa buku-buku atau sumber-sumber tulisan lain yang diperoleh melalui segala kepustakaan diluar data primer. Dalam hal ini data sekunder antara lain terdiri dari buku Risalah Memahami Ilmu Tasawuf karangan Ust. Drs. Moh. Saifullah Aziz S dan Hidup Sederhana Hidup Bahagia karangan Robert Bogoda.
22
Saifuddin Azwar, M.A, Metode Penelitian, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1998, hlm. 91
13
3. Pengolahan dan Analisis Data Setelah data terkumpul, maka pengolahan data dilakukan dengan content analysis yaitu analisis ilmiah isi pesan dan komunikasi menggunakan kriteria dasar klasifikasi.23 Analisis data merupakan upaya mencari dan menata secara sistematis catatan hasil observasi, dan untuk meningkatkan pemahaman peneliti tentang kasus yang diteliti dan menyajikannya sebagai temuan bagi orang lain. Dalam metode analisis data ini penulis menggunakan metode sebagai berikut : a. Metode Deskriptif, yaitu prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan keadaan obyek penelitian pada saat sekarang berdasarkan fakta yang tampak atau sebagaimana adanya.24 Metode ini dipakai dalam pengertian umum segi teknik untuk mendiskripsikan yaitu menguraikan dan menjelaskan konsep dunia menurut pandangan Bhikkhu dan Zahid. b. Metode komparatif yaitu metode yang menemukan persamaanpersamaan dan perbedaan-perbedaan tentang ide-ide, kritik terhadap orang.25 Dalam hal ini penulis akan membandingkan konsep dunia menurut pandangan Bhikkhu dan Zahid. G. Sistematika Penulisan Skripsi. Untuk memudahkan para pembaca sebelum mengetahui semua isi yang tertuang dalam skripsi ini, maka dirasa ada manfaatnya jika penulis menyajikan lebih dahulu materi yang akan dibahas mulai bab pertama sampai selesai.
23
Prof. Dr. H. Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif Pendekatan Positivistik, Rasionalistik, Phenomenologik dan Realisme Metaphisik Telaah Studi Teks dan Penelitian Agama, Rake Sarasin, Yogyakarta, 1989, hlm. 49 24 Prof. Dr. Hadari Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial, Gadjah Mada Press, Yogyakarta, 1990, hlm. 63 25 Prof. Dr. Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian suatu Pendekatan Praktek, PT. Rineka Cipta, Jakarta, 1998, Ed. IV, hlm. 247
14
Penyajian ini tentunya tidak secara keseluruhan tetapi sekalipun demikian penulis berharap tetap dapat menjiwai semua isi yang ada dalam skripsi ini. Skripsi ini memuat lima bab yang setiap bab terdiri dari sub bab yang isinya saling berkaitan antara satu dengan lainnya sehingga merupakan satukesatuan yang umum. Adapun sistematika tersebut adalah sebagai berikut : Bab pertama berupa pendahuluan yang berisi pendahuluan yang meliputi latar belakang masalah, pokok permasalahan, tujuan penulisan skripsi, manfaat penulisan skripsi, tinjauan kepustakaan, metode penulisan skripsi, dan sistematika penulisan skripsi. Bab Kedua, yang akan memuat konsep dunia menurut pandangan Zahid yang meliputi pengertian dunia, macam-macam ikatan yang mempengaruhi dunia, tingkatan-tingkatan untuk meninggalkan dunia. Bab Ketiga yang akan memuat konsep dunia menurut pandangan Bhikkhu yang meliputi pengertian dunia, macam-macam ikatan yang mempengaruhi dunia, tingkatan-tingkatan untuk meninggalkan dunia. Bab Keempat, merupakan inti masalah yakni analisis tentang persamaan dan perbedaan konsep dunia menurut pandangan Bhikkhu dan Zahid, implikasi konsep dunia menurut pandangan Bhikkhu dan Zahid dalam kehidupan sekarang, latar belakang pemikiran konsep dunia menurut pandangan Bhikkhu dan Zahid. Penulisan ini diakhiri dengan bab kelima yang merupakan bab penutup yang terdiri dari kesimpulan, saran-saran dan penutup. Demikianlah sistematika ini disusun dengan maksud memberikan gambaran tentang arah pembahasan kepada para pembaca.