BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Berdasarkan data estimasi United Nations Programme on HIV and AIDS (UNAIDS), hingga akhir tahun 2013 jumlah orang yang hidup dengan HIV/AIDS (ODHA) di seluruh dunia mencapai 34 juta. Namun dari tingginya jumlah kasus ini, telah terjadi penurunan kasus baru dimana dari 3,4 juta kasus baru pada tahun 2001 menurun 38% yaitu 2,1 juta kasus baru pada tahun 2013 (UNAIDS, 2014a). Berbeda dengan Indonesia, hingga Juni 2014, jumlah kumulatif HIV sebanyak 142.961 kasus dengan angka prevalensi nasional 19,0 per 100.000 penduduk (Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2014). Pada tahun 2013, kasus baru HIV di Indonesia meningkat hingga 48% dan menyumbangkan sekitar 23% kasus baru di wilayah Asia Pasifik. Dari tahun 2005 ke 2013, kematian akibat AIDS di Indonesia naik sekitar 427% dan angka kematian ini merupakan 2% dari seluruh kematian AIDS di dunia (UNAIDS, 2014a). Laporan KPAN (2009) menyebutkan bahwa Indonesia adalah salah satu negara dengan perkembangan epidemi HIV tercepat di Asia. Epidemi HIV di Indonesia bersifat multidimensi, sudah meningkat sampai pada tingkat terkonsentrasi, dimana prevalensi HIV sudah melampaui angka 5% pada populasi kunci yang rentan tertular HIV yaitu pekerja seks perempuan (PSP), pengguna narkoba suntik (penasun), warga binaan lembaga pemasyarakatan dan lelaki yang berhubungan seks dengan lelaki (LSL). Di Provinsi Papua dan Papua Barat, epidemi bahkan sudah menyebar sampai ke masyarakat umum, dimana prevalensi HIV pada populasi dewasa (15-49 tahun) mencapai 2,4%. Jika hal ini terus berlanjut, tanpa adanya upaya penanggulangan yang serius, maka diperkirakan akan terjadi peningkatan prevalensi HIV pada populasi usia dewasa, peningkatan jumlah infeksi baru HIV pada perempuan, sehingga akan berdampak meningkatnya jumlah infeksi HIV pada anak, peningkatan infeksi baru yang bermakna pada seluruh kelompok LSL, potensi meningkatnya infeksi baru pada pasangan seksual (intimate partner) dari masing-masing populasi kunci (Komisi Penanggulangan AIDS Nasional, 2010). Untuk menghadapi epidemi HIV tersebut, berbagai upaya telah dilakukan oleh berbagai pihak. Namun upaya pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS perlu dilakukan lebih intensif, menyeluruh, terpadu dan terkoordinasi, untuk menghasilkan 1
2
program yang cakupannya tinggi, efektif dan berkelanjutan. Berdasarkan uraian strategi dan rencana aksi nasional (STRANAS) penanggulangan HIV dan AIDS tahun 2010-2014, program yang telah dilaksanakan meliputi program pencegahan penularan melalui alat suntik yaitu layanan alat suntik steril (LASS), program terapi rumatan metadon (PTRM), program di lembaga pemasyarakatan, program pencegahan penularan HIV melalui transmisi seksual, program pencegahan penularan HIV melalui ibu ke bayi (PPIA), konseling dan testing sukarela (KTS), program perawatan dukungan dan pengobatan (PDP), dan cakupan program pada populasi kunci. Dari upaya yang telah dilakukan, ditetapkan target universal access dimana 80% populasi kunci terjangkau oleh program yang efektif dan 60% populasi kunci berperilaku aman di tahun 2014. Namun dari data tahun 2008, masih ada gap yang besar antara target universal access yaitu program HIV yang efektif hanya menjangkau sekitar 50% pada PSP; 20% pada penasun dan 5% pada LSL (Komisi Penanggulangan AIDS Nasional, 2010). Sebagai salah satu upaya menghadapi epidemi HIV di Indonesia dan memperlambat penyebaran HIV dari populasi kunci ke masyarakat yang lebih luas, maka Kementerian Kesehatan Republik Indonesia mengeluarkan kebijakan baru berupa Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia, nomor 21 tahun 2013, tentang Penanggulangan HIV dan AIDS. Kemudian diperkuat dengan adanya Surat Edaran Kementerian Kesehatan Republik Indonesia nomor 1154 pada bulan Mei 2013 tentang pemberitahuan akselerasi tes HIV dan inisiasi dini pengobatan ARV (Test and Treat). Selanjutnya disusul Surat Edaran Kementerian Kesehatan Republik Indonesia nomor 129 tentang pengobatan ARV sebagai pencegahan penularan HIV pada populasi kunci. Dalam hal ini, setiap populasi kunci yang dijumpai positif HIV bisa diberikan pengobatan ARV tanpa memandang status CD4-nya. Sebelumnya, pemberian ARV hanya diberikan jika penderita HIV yang telah menunjukkan stadium klinis 3 atau 4 atau jumlah sel limfosit T-CD4 ≤350 sel/mm3 (Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2013a; Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2013b). Akses terapi ARV (ART) merupakan kunci untuk menurunkan angka kematian terkait AIDS (Poka-Mayap et al., 2013). Dengan menggunakan ARV, dapat memperpanjang harapan hidup, perbaikan kualitas hidup dan merupakan kunci penurunan penularan kasus baru HIV. Cohen et al. (2011) telah menunjukkan bahwa dengan penggunaan ARV secara dini dapat mengurangi risiko penularan HIV pada pasangan diskordan hingga 96%. Namun muncul berbagai kontroversi tentang hasil
3
penelitian ini, diantara keraguan mempertahankan kepatuhan minum ARV dan resistensi obat. Beberapa studi menyebutkan bahwa mempertahankan kepatuhan minum obat ARV masih merupakan masalah pada berbagai kelompok masyarakat yang diteliti (Mills et al., 2006; Wasti et al., 2012; Do et al., 2013). Sebaliknya, ada pula studi yang menyebutkan kesuksesan mempertahankan kepatuhan minum ARV (Ware et al., 2009). Faktor penerimaan dan persepsi tentang kemudahan akses terapi merupakan isu penting sebelum memulai terapi ARV. Beberapa studi menyebutkan bahwa faktor penerimaan terapi ARV dini sangat berkaitan dengan persepsi tentang pencegahan penularan, stigma sosial, pembiayaan, akses layanan, efek samping, kondisi klinis termasuk infeksi oportunistik dan mempertahankan kepatuhan pengobatan (Dombrowski et al., 2010; Kalichman et al., 2011; Aryani et al., 2013; Holt et al., 2013). Hingga bulan Juni 2014, sebanyak 43.677 ODHA (30,5%) di Indonesia telah menggunakan ARV, dengan 96,06% (42.394 ODHA) menggunakan ARV lini 1 dan 2.94% (1.283 ODHA) menggunakan ARV lini 2 (Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2014). Untuk Bali sendiri, jumlah ODHA secara kumulatif dari tahun 1987 hingga Desember 2014 ada sebanyak 10.881 orang. Bali juga mengalami epidemi terkosentrasi dengan prevalensi HIV/AIDS di Bali sebesar 100,2 per 100.000 orang, merupakan prevalensi terbesar ketiga setelah Provinsi Papua dan Papua Barat. Angka ini lima kali lipat dibandingkan dengan angka HIV nasional (Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2014). Penularan untuk kasus HIV di Bali terjadi secara heteroseksual (78,7%), diikuti dengan penasun (7,5%) dan homoseksual (6,7%). Sebanyak 9.799 ODHA tercatat dalam layanan PDP. Sekitar 69% (6.783 ODHA) diantaranya layak secara kondisi klinis mendapatkan terapi ARV dengan 6.590 ODHA (97%) telah mendapat terapi dan 3% belum di terapi. Mereka yang telah di terapi, 10% meninggal, 62% masih terapi, 18% lost to follow up, 8% di rujuk keluar Bali dan tercatat 0,2% berhenti ARV (Dinas Kesehatan Provinsi Bali, 2014). Sedangkan tercatat sebanyak 3.016 ODHA (31%) secara klinis tercatat belum layak menerima terapi ARV. Angka ini cukup besar dan berpotensi sebagai sumber penularan HIV pada populasi kunci maupun masyarakat. Kebijakan Test and Treat mulai diterapkan di beberapa layanan PDP di Bali sejak tahun 2013. Salah satu layanan PDP yang menerapkan program ini adalah Klinik Amertha Yayasan Kerti Praja (YKP). Klinik ini merupakan satelit PDP dari Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah. Klinik Amertha YKP adalah yayasan nirlaba
4
yang berdiri sejak 1992 yang memberikan layanan kesehatan komprehensif pada mayoritas PSP di Denpasar dan Badung; termasuk layanan KTS dan pengobatan ARV. Hingga Desember tahun 2013, telah dilakukan KTS pada setidaknya 2.900 PSP dan sebanyak 551 (19%) PSP diketahui positif HIV. Jumlah PSP positif tersebut mencapai 70% dari total estimasi PSP positif HIV tahun 2012, artinya capaian KTS telah cukup baik. Namun jika dicermati kelanjutan program terhadap PSP yang positif, diketahui bahwa 23% berada dalam pengobatan ARV dan sisanya belum mendapatkan terapi ARV. Dari yang telah mendapatkan ARV, sebanyak 16% diketahui mengalami putus obat, 17% pindah, sedangkan 55% masih berlanjut. Sedangkan dari mereka yang belum menjalankan terapi, sebanyak 50% masih berada dalam pantauan YKP, namun sisanya telah hilang kontak dengan YKP. Dengan masih banyaknya jumlah ODHA yang belum memulai terapi ARV baik secara nasional, Bali dan khususnya di Klinik Amertha, menjadi peluang besar sebagai sumber penularan HIV di komunitas. Keputusan pemerintah untuk mempersempit gap dengan menetapkan program Test and Treat merupakan peluang untuk memberikan kesempatan bagi ODHA agar dapat mengakses layanan ARV secara dini. Dengan demikian penting untuk melihat determinan dari ODHA untuk mulai terapi ARV dini, sebagai bentuk upaya penanggulangan dan pencegahan penularan dari ODHA ke populasi kunci dan masyarakat umum.
B. Perumusan Masalah Apa faktor determinan ODHA untuk memulai terapi ARV pada program Test and Treat di Klinik Amertha Denpasar Bali tahun 2015?
C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan umum Untuk mengetahui faktor-faktor determinan ODHA untuk memulai terapi ARV pada program Test and Treat di Klinik Amertha Denpasar Bali tahun 2015. 2. Tujuan khusus a. Untuk mengetahui gambaran karakteristik ODHA pada program Test and Treat di Klinik Amertha Denpasar Bali tahun 2015. b. Untuk mengetahui hubungan faktor predisposisi (predisposing) ODHA untuk memulai terapi ARV dalam program Test and Treat di Klinik Amertha Denpasar Bali tahun 2015.
5
c. Untuk mengetahui hubungan faktor pemungkin (enabling) ODHA untuk memulai terapi ARV dalam program Test and Treat di Klinik Amertha Denpasar Bali tahun 2015. d. Untuk mengetahui hubungan faktor penguat (reinforcing) ODHA untuk memulai terapi ARV dalam program Test and Treat di Klinik Amertha Denpasar Bali tahun 2015.
D. Manfaat Penelitian 1. Bagi peneliti Peneliti dapat meningkatkan pengalaman dan mengembangkan wawasan dalam melakukan penelitian ilmiah mengenai HIV dan program Test and Treat khususnya pada populasi kunci di Provinsi Bali. 2. Bagi institusi terkait Menjadi masukan bagi perbaikan program Test and Treat terutama dalam meningkatkan penerimaan ODHA dalam memulai terapi ARV sebagai upaya pencegahan penularan HIV di populasi kunci dan masyarakat. 3. Bagi peneliti lain Dapat menjadi rujukan pada penelitian yang terkait dengan determinan ODHA dalam memulai terapi ARV.
E. Keaslian Penelitian Penelitian ini dirancang dengan pertimbangan novelti atau keaslian penelitian dibandingkan penelitian-penelitian sebelumnya. Beberapa penelitian terkait dengan topik penelitian ini pernah dilakukan di beberapa negara dengan metode dan subyek berbeda. Berikut dijabarkan secara rinci perbedaan penelitian-penelitian tersebut dengan penelitian ini.
6
Tabel.1 Penelitian Terkait Penerimaan dan Memulai Terapi ARV No
1
2
3
Peneliti (tahun) dan Tempat penelitian Altice FL et al. (2001) USA
Judul Penelitian
Metode Penelitian
Persamaan
Perbedaan
Trust and the Acceptance Studi cross Variabel bebas: karakteristik individu, Subyek penelitian: ODHA penghuni lembaga of and Adherence to sectional sikap tentang pengobatan ARV dan pemasyarakatan yang layak mendapat ARV Antiretroviral Therapy HIV Variabel bebas: keadaan sosial sebelum masuk Variabel tergantung: penerimaan penjara, keadaan klinis, pengalaman dengan ART, ARV status depresi, kepercayaan pada dokter, institusi dan sosial Variabel tergantung: kepatuhan ARV Dombrowski Treatment as Prevention: Studi kohort Subyek penelitian: ODHA yang Subyek penelitian: pasien HIV positif yang belum JC et al. Are HIV Clinic Patients prospektif belum memulai terapi memulai ARV dari Harborview Medical Center HIV (2010) Interested in Starting Clinic di Seattle, Washington Variabel bebas: jenis kelamin, umur, USA Antiretroviral Therapy to pendidikan, penghasilan Variabel bebas: waktu terdiagnosis HIV, identitas Decrease HIV seksual, partner, kepercayaan tentang HIV, diagnosis Transmission? IMS, penggunaan narkoba Tran D A et Structural Barriers to Studi Variabel bebas: umur, jenis kelamin, Subyek penelitian: ODHA di 6 klinik dari 5 Provinsi al. (2012) Timely Initiation of kualitatif dan keputusan mulai pengobatan ARV di Vietnam Vietnam Antiretroviral Treatment kuantitatif Pengumpulan data: ekstraksi data sekunder, focus in Vietnam: Findings from group discussion dan Six Outpatient Clinics wawancara mendalam
7
No
Peneliti (tahun) dan Tempat penelitian
Judul Penelitian
Metode Penelitian
Persamaan
4
Aryani et al. (2012) Bali, Indonesia
Implementation of Test Studi And Treat Program kualitatif Among Female Sex Workers In Bali: A Feasibility Study
5
Ahmed et al. (2013) Etiopia
Predictors of loss to Studi Case follow-up before HIV Control treatment initiation in Northwest Ethiopia: a case control study
6
Holt M, et al. HIV-Negative and HIV- Studi (2013). Positive Gay Men’s Crossectional Australia Attitudes to Medicines, HIV Treatments and Antiretroviral-based Prevention
Perbedaan
Variabel bebas: kadar CD4 awal, tanggal tes HIV, tanggal mulai ARV, rujukan asal, fasilitator struktural dan hambatan struktural yang dihubungkan dengan waktu memulai ARV dan bagaimana pengaruhnya dalam perilaku mencari layanan pengobatan Subyek penelitian: PSP ODHA Subyek penelitian: PSP ODHA, pasangan ODHA, stakeholder terkait, layanan kesehatan Variabel: karakteristik individu, pengetahuan tentang HIV, ARV, Metode pengumpulan data: focus group discussion dan persepsi tentang test and treat, wawancara mendalam konseling, penerimaan program test and treat, dukungan kelompok dukungan sebaya Variabel bebas: sosial demografi Subyek penelitian: Pasien HIV positif baru dari tahun (umur, jenis kelamin, pendidikan, 2008-2011 di Rumah Sakit Universitas Gondar Etiopia status pernikahan, pekerjaan. Variabel: alamat, open status, riwayat TB, kadar CD4 Variabel tergantung: menggunakan awal, stadium HIV ARV dan lost sebelum menggunakan ARV Subyek penelitian: melibatkan LSL Subyek penelitian: LSL dengan status HIV positif (populasi kunci) maupun negatif di Australia Variabel bebas: karakteristik Variabel bebas: perilaku seksual dengan laki-laki, demografi, persepsi tentang terapi hubungan dengan laki-laki, tes HIV dan status HIV, HIV persepsi tentang pre-exposure prophylaxis (PrEP)