BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Kepemimpinan adalah faktor yang mulai banyak diperhitungkan menjadi penentu keberhasilan suatu misi. Begitu juga presiden sebagai pemimpin dalam lingkup negara sekaligus pengemban tanggung jawab moral, sangat menentukan bagaimana suatu masalah dalam negaranya akan diselesaikan. Benigno Aquino III atau Noynoy Aquino sebagai Presiden Filipina yang menjabat sejak 2010 lalu, menaruh perhatian besar terhadap masalah insurgensi Bangsamoro dan telah melakukan berbagai upaya resolusi konflik terhadapnya. Kebijakan akomodatif Noynoy dipahami signifikan dalam proses ini. Kebijakan tersebut beliau sebut dengan kebijakan all-out justice. Di luar faktor kepemimpinan Noynoy, determinan lain seperti fasilitasi Malaysia, International Contact Group (ICG), dan kooperatifnya Moro Islamic Liberation Front (MILF) juga adalah faktor penting. Namun di atas semuanya, kombinasi dari faktor-faktor ini yang secara internal dipayungi dan dimanajemeni oleh Noynoy berhasil menciptakan Morolandia yang lebih berkedamaian. Konflik Bangsamoro telah berlangsung sangat lama, dari abad ke 16 sampai sekarang. Sejumlah inisiatif untuk menyelesaikan konflik Bangsamoro telah dilakukan, yang diawali dengan Tripoli Agreement 1978, Jeddah Accord (JA) 1987, dan Final Peace Agreement (FPA) 1996, dengan menempatkan representasi Bangsamoro kepada Moro National Liberation Front (MNLF). Upaya perdamaian ini terlembagakan dengan dibentuknya pemerintahan Autonomous Region on Muslim Mindanao (ARMM). ARMM pada awalnya diyakini akan menjadi titik baru terciptanya perdamaian di Mindanao lewat mekanisme pemberian otoritas bagi Bangsamoro untuk mengelola persoalan administrasi, politik, dan ekonomi. ARMM sebagai hasil negosiasi dalam FPA 1996, merupakan pemerintahan otonomi khusus, sebagai hasil perluasan dari formula otonomi dalam JA 1987 yang merupakan
bentuk otonomi yang diperluas. Perluasan otonomi bagi Bangsamoro dipahami akan berkorelasi positif dengan terciptanya perdamaian. Namun, fakta di lapangan justru menunjukkan konflik di Mindanao tetap berlangsung. Penyelesaian konflik Bangsamoro yang menempatkan MNLF sebagai
representasi
tunggal
bagi
Bangsamoro
dianggap
terlampau
menyederhanakan masalah. Realitas menunjukkan bahwa terdapat mobilitas yang sangat pesat dari faksi MILF, yang dianggap sebagai faksi paling representatif bagi Bangsamoro. Inisiatif untuk melibatkan MILF dalam proses perdamaian sebenarnya sudah mulai dilakukan secara parsial di era pemerintahan Joseph Estrada, maupun Gloria Macapagal Arroyo. Namun sejumlah negosiasi yang dilakukan di 2003, 2006, dan 2009 senantiasa mengalami deadlocked dalam proses negosiasi terkait dengan ancestral domain. Inisiatif perdamaian yang ditawarkan oleh Noynoy dengan konsepsi Comprehensive Agreement on Bangsamoro (CAB) 2014 kepada MILF, menawarkan gagasan yang sangat baru dibandingkan sejumlah inisiatif perdamaian yang pernah dilakukan oleh pemerintah Filipina sebelumnya. CAB 2014 memberikan ruang yang besar, bagi pihak-pihak yang berkonflik untuk dapat saling berkomunikasi secara produktif, di tengah sejumlah upaya kelompok pro-perang yang hendak mengganjal inisiatif damai tersebut. Noynoy Aquino menawarkan gagasan damai kepada Bangsamoro melalui upaya untuk menata ulang sejumlah kegagalan 3 perjanjian damai sebelumnya, yakni Tripoli Agreement 1976, Jeddah Accord 1987, dan Final Peace Agreement 1996 dan badan otonom yang terbentuk dari hasil 3 perjanjian tersebut yakni ARMM (Autonomous Region on Muslim Mindanao), bahkan secara terangterangan menyebut institusi perdamaian tersebut sebagai “eksperimen gagal”1. Pilihan Noynoy dalam CAB 2014, sesungguhnya sangat rumit, baik di dalam peta politik konflik Bangsamoro, yang pada satu sisi masih terdapat pemerintah regional yang legal dalam formula ARMM yang dikuasai oleh MNLF,
1
A. Calonzo, „Govt, MILF agree to create „Bangsamoro‟ to replace ARMM‟ GMA News Online, (daring), 7 Oktober 2012,
, diakses 13 Mei 2015.
2
dan di sisi lain memberikan ruang kepada MILF untuk membangun pemerintahan regional yang legal.2 Pilihan ini jelas berpeluang mengecewakan faksi MNLF. Di sisi politik Filipina, pilihan untuk bersedia menegosiasikan tentang ancestral domain, juga akan mengundang kegaduhan politik di Kongres, terkait dengan banyak elit politik Manila yang memiliki akses tanah di Mindanao yang akan diregulasi ulang. Sejumlah pengalaman sebelumnya, ketika Arroyo berinisiatif mendiskusikan tentang ancestral domain pada 2009, Supreme of Court lewat desakan Parlemen membatalkan sejumlah kesepakatan dengan MILF.
B. Rumusan Masalah Dari uraian pada latar belakang masalah, dirumuskan masalah sebagai berikut: Bagaimana personalitas Presiden Benigno Aquino III melalui kebijakan all-out justice mempengaruhi proses perdamaian di Morolandia?
C. Kerangka Konseptual Untuk menjawab rumusan masalah yang diajukan dalam skripsi ini, akan dipergunakan sejumlah konsep dan teori sebagai berikut; Transformational Leader, Rawlsian Justice dan Constructive-Conflict Resolution.
C.1. Transformational Leader Merujuk studi yang dilakukan oleh Joseph S. Nye didefinisikan transformational leader sebagai berikut berikut: “Transformational leaders empower and elevate their followers; they use conflict and crisis to raise their followers’ consciousness and transform them. Transformational leaders mobilize power for change by appealing to their followers’ higher ideals and moral values rather than their baser emotions of fear, greed, and hatred.… Transformational leaders induce followers to transcend their self-interest for the sake of the higher purposes of the group that provides the context of the relationship.… Charisma in the sense of personal magnetism is only one part of transformational leadership.… Transformational leaders are
2
Surwandono, Manajemen Konflik Separatisme: Dinamika Negosiasi dalam Penyelesaian Konflik Mindanao, Jusuf Kalla School of Governance, Bantul, 2013, pp. 28-29.
3
contrasted with transactional leaders, who motivate followers by appealing to their self-interest.”3 Dari definisi yang disampaikan oleh Nye, dapat diambil sejumlah karakter dari transformational leader: Pertama, memberdayakan dan memanusiakan para pengikutnya dengan mengelola konflik dan krisis sosial yang terjadi dalam masyarakat sebagai alat untuk meningkatkan kesadaran sekaligus mengubahnya untuk kepentingan yang lebih produktif. Kedua, mengerahkan kekuasaan yang dimiliki untuk melakukan sejumlah perubahan yang lebih ideal dan bermoral. Ketiga, mengajak kepada para pengikutnya untuk lebih mengedepankan tujuan kelompok yang lebih besar dibandingkan dengan kepentingan sendiri untuk mendapatkan hubungan yang lebih baik. Pemimpin transformatif membangun perdamaian secara serius, hati-hati, moralis dan terukur. Ketika kebijakan pemimpin transformatif mendapatkan tantangan yang serius, yang ditandai dengan aksi kekerasan dan sabotase, cenderung akan disikapi secara serius, hati-hati dan tidak mudah terpancing, untuk menarik kembali atau merevisi kebijakannya. Ketika konflik horizontal antara MILF
dan
MNLF
semakin
rumit,
Noynoy tetap
fokus
untuk
terus
mengimplementasi kebijakan perdamaiannya. Noynoy tidak mengubah kebijakan perdamaian dengan kebijakan represif militer, bahkan tetap membangun insfrastruktur ekonomi Morolandia dan menciptakan program pelatihan pencaharian bagi para kombatan untuk beralih menjadi sipil. Program ini berjalan melalui PAMANA, dan MinDA. Merujuk pada tulisan Margaret G. Hermann (et.al), Noynoy sebagai transformational leader dalam tulisan ini diklasifikasikan lagi pada pemimpin berkarakter crusader-evangelistic4. Hal ini dikarenakan karakter beliau yang coba menerobos batas-batas dan rintangan pewujudan perdamaian di Morolandia, dan ketertutupan beliau untuk merespon berbagai tanggapan dari rakyat Filipina ketika 3
J.S. Nye, The Powers to Lead, The Oxford University Press, New York, 2008, p. 62. M.G. Hermann, T. Preston, B. Korany, & T.M. Shaw, „Who Leads Matters: The Effects of Powerful Individuals‟, International Studies Review, Vol. 3, No. 2, Leaders, Groups, and Coalitions: Understanding the People and Processes in Foreign Policymaking (Summer, 2001), p. 95. 4
4
insiden-insiden bentrokan AFP dengan militer Bangsamoro untuk menghabisi pemberontakan Bangsamoro ini.
C.2. Rawlsian Justice John Rawl dalam pemikiran posmodernismenya menyatakan dua prinsip keadilan atau yang terkenal disebut rawlsian justice, yang selaras dengan esensi kebijakan all-out justice yang diusung Noynoy Aquino dalam resolusi konflik Bangsamoro. Rawlsian justice memiliki dua prinsip sebagai berikut: “First: each person is to have an equal right to the most extensive scheme of equal basic liberties compatible with a similar scheme of liberties for others. Second: social and economic inequalities are to be arranged so that they are both (a) reasonably expected to be to everyone’s advantage, and (b) attached to positions and offices open to all.”5 Dalam tulisan Gail Furman dua prinsip keadilan oleh Rawls ini disebut secara lebih spesifik dengan cultural justice dan associational justice.6 Prinsip pertama atau cultural justice dipahami menjadi ketiadaan dominasi kultural dan non-recognition oleh pihak mayoritas terhadap minoritas. Prinsip kedua atau associational justice dipahami menjadi pemberian kondisi dari pihak mayoritas kepada pihak minoritas untuk saling terlibat membangun keadilan secara bersama. Sementara kebijakan dari Official Gazette milik Pemerintah Filipina, penulis rangkumkan pernyataan Presiden Benigno Aquino III, untuk menjelaskan kebijakan all-out justice: “There have been calls to wage an “all-out war” against the MILF. While it is tempting for government to join the chorus in calling for blood, we believe that such a course of action is not appropriate at this point. We are not interested in knee-jerk reactions that will jeopardize our efforts to address the roots of conflict in the region... for all-out war may come from those who do not have a full awareness of all the factors at play… my decisions cannot be borne out of ignorance… It is so easy, out of frustration, to close the door on negotiations at this time. If we go down this path, more innocent civilians will be put in harm’s way… We have to exhaust all possibilities for attaining peace through dialogue… We will not pursue all-out war; we will instead pursue all-out justice. All-out war 5
J. Rawls, A Theory of Justice: Revised Edition, The Belknap Press of Harvard University Press, Massachusetts, 1999, p. 35. 6 G. Furman, „Social Justice Leadership as Praxis: Developing Capacities Through Preparation Programs‟, Educational Administration Quarterly, 48 (2), 2012, p. 193.
5
is indiscriminate and borne out of anger. All-out justice is sober and fair; it is based on the rule of law, and leads to lasting peace.”7 Merujuk definisi yang disampaikan oleh Noynoy, all-out justice adalah kebijakan yang bersungguh-sungguh untuk membangun kejujuran, yang didasarkan kepada prinsip-prinsip hukum, dan menuju kepada perdamaian yang abadi. Dalam artian penyelesaian konflik harus dilandasi oleh kesungguhan nalar, kejujuran dan ketaatan kepada prinsip keadilan. Kebijakan dengan nama pemberian yang mirip juga pernah dilakukan oleh Fidel Ramos yakni all-out peace, dan Joseph Estrada yakni all-out war. Esensi kebijakan all-out justice mencerminkan konsepsi rawlsian justice atau lebih spesifik cultural justice dan associational justice. Cerminan cultural justice dalam kebijakan ini dipahami dengan tiadanya dominasi kultural dan nonrecognition terhadap Bangsamoro. Dalam hal ini Noynoy tidak memihak salah satu pihak, baik pemerintah Filipina maupun Bangsamoro, apalagi dengan tidak mengakui salah satu pihak seperti pada kasus all-out war. Cerminan associational justice terlihat dari kesadaran Noynoy untuk melibatkan masing-masing pihak berkonflik untuk berperan dalam proses bina damai, seperti kasus penyelesaian rido yang juga diijinkan ditangani oleh MILF dan MNLF.
C.3. Constructive-Conflict Resolution Merujuk
studi
yang
dilakukan
oleh
Morton
Deutsch,
konflik
diklasifikasikan ke dalam dua tipe besar; constructive conflict dan destructive conflict. Constructive conflict mengasumsikan bahwa konflik dapat diselesaikan dengan mengubah konstruksi dari konflik itu sendiri. Sedangkan destructive conflict mengasumsikan bahwa konflik sebagai representasi tindakan untuk merusak dan menghancurkan.8 Konflik Bangsamoro pada awalnya sangat berkarakterkan destructive conflict yang terepresentasikan kepentingan dari pihak 7
Government of Republic of the Philippines‟s Official Gazette, President Aquino’s statement on the aftermath of the armed encounter in Basilan, October 24, 2011 (daring), 24 Oktober 2011, , diakses 14 Mei 2015. 8 M. Deutsch, „Constructive-Conflict Resolution: Principles, Training, and Research‟, dalam E. Weiner (ed.), The Handbook of Interethnic Coexistence, Continuum, New York, 1998, p. 209.
6
berkonflik untuk mengalahkan dan menghancurkan pihak lain. Hal ini didasarkan pada tipe konflik zero-sum game, instrumentasi isu agama dan etnis, ekspektasi untuk saling mengalahkan, dan rigiditas tinggi karena tidak terbangunnya alternatif yang memuaskan kedua pihak. Deutsch menjelaskan constructive conflict resolution sebagai berikut: “Participants in a conflict need skills and orientations … if they are to develop constructive solutions to their conflicts. They need the skills involved in establishing a cooperative, problem-solving relationship with the other, in developing a creative group process that expands the options available for resolving their conflict, and they need the ability to look at their conflict from an outside perspective so that they do not get ensnared in the many unproductive or destructive traps that abound in conflicts.”9 Constructive conflict resolution, membutuhkan keahlian untuk bersedia bekerjasama, membangun relasi untuk penyelesaian masalah dengan pihak lain, mengembangkan proses kreatif dari kelompok untuk membuat opsi yang riil untuk menyelesaikan konflik, serta kemampuan melihat konflik dari perspektif di luar kelompoknya. Noynoy Aquino, telah mengubah karakter konflik Bangsamoro dari destructive conflict menjadi constructive conflict. Dari berbagai kerjasama dan pencapaian perdamaian yang telah terbangun antara Pemerintah Filipina dan MILF, dapat kita pahami bahwa tipe konflik sudah berubah ke arah positive-sum game; dengan ekspektasi saling kerjasama; dan rigiditas yang lunak dikarenakan alternatif solusi baik secara politik maupun ekonomi melimpah. Relatif minimalnya perseteruan bersenjata antara Angkatan Bersenjata Filipina (AFP) atau Kepolisian Nasional Filipina (PNP) dan Bangsamoro selama Noynoy menjabat, juga keberhasilan penandatanganan CAB 2014 merupakan parameter pencapaian besar. Keberhasilan ini penulis pahami dikarenakan Noynoy mampu menerapkan konsep constructive-conflict resolution ke dalam strategi menangani konflik Bangsamoro secara damai dengan baik. Faktor kunci dalam constructive-conflict resolution yang telah diterapkan oleh Noynoy, pertama adalah penerapan problem-solving yang berbasis bina hubungan, yang dilakukan Noynoy dengan secara aktif merangkul MILF dalam 9
M. Deutsch, p. 209
7
meja perundingan; melakukan pembangunan ekonomi di Morolandia secara konsekuen; tidak memecah belah MILF dan MNLF; dan melakukan pendekatan ke pihak gereja. Kedua, mengoptimalisasi creative group-process yang dilakukan dengan pelibatan International Contact Group (ICG) secara massif, yang melakukan interseksi secara politik; sosial; dan ekonomi demi perdamaian di Morolondia. Ketiga, melihat konflik secara outward-looking yang dipahami dalam ungkapan, konflik bukan hanya masalah kebencian dan dendam, namun pengelolaan Morolandia secara sinergis akan lebih membangun produktivitas.
D. Argumen Utama Argumen yang dibangun dalam skripsi ini adalah ada hubungan yang positif antara karakter pemimpin yang memiliki personalitas transformatif dalam merumuskan dan mengimplementasi kebijakan resolusi konflik yang konstruktif melalui artikulasi prinsip keadilan. Kebijakan-kebijakan pemerintah yang diproduksi Noynoy termasuk all-out justice ini mencerminkan bahwa beliau adalah transformational leader. Pengelolaan konflik dengan membangun saling kesadaran antara AFP atau PNP dan MILF untuk menahan diri dalam berkonflik ditunjukkan dengan tidak terjadinya perang besar-besaran di masa Noynoy ini menunjukkan bahwa baik masyarakat Katolik Filipino dan Bangsamoro memiliki harapan besar bagi masa depan produktif di Morolandia. Padahal hubungan MILF dan Pemerintah Filipina pada awal Noynoy menjabat cukup buruk. All-out justice sebagai kebijakan yang diusung Noynoy dalam resolusi konflik Bangsamoro sendiri mengartikulasi prinsip keadilan seperti cultural justice dan associational justice. Cerminan cultural justice yang dalam kebijakan yang diusung Noynoy adalah dengan meniadakan dominasi kultural dan non-recognition dalam resolusi konflik Bangsamoro. Dengan artian Noynoy tidak memihak salah satu pihak baik pemerintah Filipina maupun Bangsamoro, apalagi dengan tidak mengakui kepentingan salah satu pihak seperti pada kasus all-out war. Cerminan associational justice terlihat dari pelibatan masing-masing pihak berkonflik untuk berkontribusi pada proses bina damai. Pilihan kebijakan all-out justice dengan implementasi
constructive-conflict resolution
yang diusung Noynoy ini
8
menunjukkan bahwa beliau adalah transformational leader. Kualitas personal ini tentunya juga mendukung keberhasilan kebijakan all-out justice yang berpijak pada constructive-conflict resolution.
E. Metodologi Penelitian Metodologi penelitian yang akan penulis gunakan untuk menyusun skripsi ini adalah metode kualitatif-interpretatif. Metodologi ini berbasis pada paradigma post-positivistik. Dalam paradigma ini terdapat pemahaman bahwa setiap fenomena sosial tertentu membutuhkan pisau analisis yang berbeda untuk menghasilkan kebenaran yang unik, sesuai dengan kecenderungan mazhab pemikiran tertentu. Hal ini dikarenakan fenomena sosial berbeda dengan fenomena alam yang secara substansi memiliki hukum yang tunggal dan tidak berubah untuk dibuktikan. Lensa paradigma ini adalah holistik dengan proses induktif. Dalam artian kesimpulan akan diperoleh dari pemahaman keseluruhan hasil penelitian. Sementara materi data untuk penelitian diambil dari rujukan primer dan sekunder. Rujukan primer penulis ambil dari hasil wawancara melalui seorang aktivis ICG dari Muhammadiyah yang terjun langsung di wilayah konflik Mindanao. Sementara rujukan sekunder bersumber pada disertasi, tesis, buku, jurnal, publikasi pemerintah dan lembaga non-pemerintah, berita, serta artikel daring yang mendukung dan berkaitan dengan konflik Bangsamoro dan pemerintahan Noynoy Aquino. Setelah data dikumpulkan, maka kemudian data tersebut diklasifikasi, diverifikasi dan divalidasi untuk membangun argumen guna menjawab pertanyaan riset, sehingga ditemukan jawaban yang pasti tentang relasi kepribadian Noynoy dengan pilihan kebijakan resolusi konflik yang dipilihnya. Kemudian data tersebut ditulis dan diatur mempertimbangkan kaidah penulisan ilmiah, dengan menggunakan citation, referensi, dan catatan kaki.
9
F. Sistematika Penulisan Penulisan sktipsi ini terdiri dari empat bab. Bab I sebagai pengantar, Bab II sebagai paparan data untuk mendukung analisis, Bab III sebagai analisis, dan Bab IV sebagai kesimpulan keseluruhan skripsi. Adapun sistematika penulisan skripsi ini diuraikan sebagai berikut:
Bab I: Pendahuluan Bab ini menguraikan latar belakang, rumusan masalah, kerangka konseptual, argumen utama, metodologi penelitian, dan sistematika penulisan. Dalam bab ini akan disajikan pengantar umum mengenai konflik Bangsamoro dan kebijakan resolusi konflik Noynoy Aquino terkait masalah ini. Selanjutnya rumusan masalah berisi pertanyaan fundamental tentang penelitian. Kemudian akan disajikan kerangka konsep sekaligus pisau analisis untuk membahas kebijakan all-out justice, argumen terkait rumusan masalah, metode penelitian kualitatif-interpretatif dan sistematika penulisan.
Bab II: Kegagalan Kebijakan Penyelesaian Konflik Bangsamoro sebelum Masa Noynoy Bab ini berisikan tentang penjelasan kegagalan kebijakan penyelesaian konflik Bangsamoro per masa presiden Filipina sebelum Noynoy Aquino menjabat. Bingkai penjelasan dalam bab ini adalah kebijakan pemerintah Filipina yang tidak atau tidak berhasil menggunakan cara pandang konstruktivisme untuk melakukan
resolusi
konflik
terhadap
Bangsamoro,
sementara
Noynoy
menggunakan cara pandang tersebut dan berhasil.
Bab III: Presiden Benigno Aquino III sebagai Transformational Leader Dalam bab ini akan dibahas figur transformational leader sebagai kualitas Noynoy dalam kepemimpinannya ketika menghadapi tantangan resolusi konflik Bangsamoro. Hal ini akan dijelaskan dengan deskripsi latar pembentukan kepribadian transformatif Noynoy, dan pembedahan karakter kepemimpinan beliau sebagai transformational leader bertipe turunan crusader-evangelistic.
10
Bab IV: Implementasi Rawlsian Justice dan Constructive-Conflict Resolution dalam Kebijakan All-out Justice oleh Benigno Aquino III Dalam bab ini akan dijelaskan bahwa Noynoy mampu mentransformasi konflik Bangsamoro ke arah perdamaian dengan menggunakan prinsip rawlsian justice dan constructive-conflict resolution yang terpadu dalam kebijakan all-out justice. Dalam bab ini akan disajikan poin-poin penting dalam CAB 2014 dan kebijakan-kebijakan Noynoy yang berperan dalam mewujudkan keberhasilan penandatanganan CAB 2014 tersebut. Kebijakan-kebijakan tersebut antara lain membangun creative-group process melalui ICG, tidak memecah belah MILF dan MNLF, tidak secara reaktif merespon 3 bentrokan besar yang terjadi antara AFP atau PNP dengan Bangsamoro, melakukan pembangunan ekonomi di Morolandia, merangkul gereja dalam proses perdamaian. Kemudian juga akan sedikit dibahas prediksi masa depan Morolandia.
Bab V: Kesimpulan Merupakan kesimpulan dari keseluruhan narasi, deskripsi, dan argumen dari seluruh bab di atas. Lebih lanjut merupakan sejumlah pembelajaran yang dapat diambil dari pilihan kebijakan constructive-conflict resolution terutama yang terkombinasi dengan kepemimpinan transformasional dan artikulasi prinsip keadilan. Dalam artian sudut pandang konstruktivisme dapat menjadi cara pandang yang produktif dalam resolusi konflik. Keberhasilan Noynoy dapat menjadi contoh yang berharga pada studi Hubungan Internasional terutama dalam bidang resolusi konflik. Di bab ini juga sekaligus akan sedikit dijelaskan bahwa adagium studi resolusi konflik antara teori dan praktek yang selama ini dianggap saling tak berkesesuaian dapat terjembatani. Penelitian ini juga diharapkan memberi kemanfaatan bagi studi sosial dan politik Asia Tenggara.
11