BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kemiskinan, keterbelakangan, tingkat pendidikan yang rendah, kesehatan dan gizi yang buruk, minimnya pembangunan infrastruktur untuk fasilitas umum yang memadai merupakan permasalahan dan isu utama pembangunan yang tak ada habisnya di negara-negara dunia ketiga (berkembang) dan semestinya harus segera diselesaikan. Di Indonesia, berdasarkan data yang dihimpun oleh BPS Pusat, per-maret 2014, Penduduk yang hidup dibawah garis kemiskinan mencapai 28.280.010 atau 11, 25 % dari keseluruhan populasi. Dari jumlah yang fantastis tersebut, sebanyak 17.772.810 jiwa adalah penduduk Indonesia yang tinggal di pedesaan. Dengan jumlah yang tidak sedikit ini, diperlukan pengayaan program-program pemberdayaan untuk mengentaskan mereka dari kemiskinan. Pemerintah telah menggulirkan ragam program untuk mempercepat pengentasan kemiskinan. Meski hal ini belum berjalan optimal dan membuktikan bahwa pemerintah tidak dapat bekerja sendiri. Jika ditelusuri lebih lanjut, hal penting yang tidak boleh dikesampingkan dalam penerapan program-program tersebut, adalah bagaimana cara agar program-program tersebut dapat dilaksanakan secara efektif, menjangkau ke setiap sudut, mencapai hasil lebih cepat namun menyeluruh, dan memiliki dampak positif yang berkelanjutan; bukan hanya mengarah pada pembangunan masyarakat secara fisik semata, tetapi juga mencakup pembangunan mental sebagai manusia seutuhnya, sehingga tercapailah tujuan pembangunan dalam perspektif etik (Melkote & Steeves 2001/2008), yakni: menjadikan masyarakat sejahtera, lahir dan batin. Dalam perspektif komunikasi, munculnya konsep komunikasi pembangunan (Communication for Development/ C4D) yang kemudian
1
berkembang dan memiliki spesifikasi lain, yaitu: komunikasi pemberdayaan (Communication for Empowerment/ C4E), juga disinyalir bertolak dari pemahaman bahwa diantara pondasi keberhasilan agenda pembangunan atau pemberdayaan adalah dikarenakan keberhasilan penerapan komunikasi yang tepat dan partisipasi aktif didalamnya. Maka komunikasi dianggap sebagai elemen penting dalam pembangunan, yang tidak dapat dipisahkan dari agenda pembangunan atau pemberdayaan itu sendiri. Selain program pemberdayaan yang digulirkan oleh pemerintah di setiap negara, keberadaan LSM-LSM (Lembaga Sosial Masyarakat) yang familiar juga disebut NGO (Non- Government Organization) yang bergerak di bidang pemberdayaan masyarakat ikut membantu dalam usaha pembangunan negeri ini, sebagaimana yang terjadi di berbagai belahan dunia di negara-negara berkembang lainnya. Bahkan, aktivis - aktivis sosial yang bergerak secara individu dan independen, tanpa membawa embel-embel lembaga juga bermunculan dari masa ke masa, penuh sukarela membawa misi sosial yang juga bertujuan pemberdayaan masyarakat sebagai sumbangsih bagi pembangunan negerinya dengan ragam landasan motivasi serta profesi masing-masing tanpa adanya latar belakang akademik kesejahteraan sosial sebagaimana pada umumnya para pekerja sosial. Meski tak banyak, tapi berbagai aksi heroik berbasis tokoh peorangan ini juga telah menyumbangkan bantuan yang sangat berarti bagi pembangunan masyarakatnya. Dengan pengalaman mereka secara langsung di masyarakat dan kekhasan ideologi yang mereka anut tentunya menjadikan mereka memiliki pola penerapan komunikasi yang berbeda yang akan menarik untuk diteliti lebih mendalam sebagai tambahan kekayaan intelektual di bidang komunikasi pemberdayaan (C4E) dan dimungkinkan ditemukannya solusi-solusi praktis dalam menangani permasalahan komunikasi khususnya dalam komunikasi pembangunan.
2
Sebut saja, Mahatma Ghandi di India dengan prinsip satya graha (penegakan kebenaran) dan ahimsa (tanpa kekerasan) nya yang mendunia, Ariyaratne dengan gerakan Sarvodaya Shramadana (gerakan kemandirian) di Srilanka, belum lagi Paulo Freire dengan konsep liberasi (teologi pembebasan) berbasis gerakan conscientization (penyadaran) nya di Brazil, dan lain sebagainya. Mereka mampu memulai program-program pemberdayaan masyarakat dari diri mereka sendiri, tentunya dengan penerapan komunikasi yang khas. Lalu bagaimana dengan Indonesia? Indonesia dengan kemajemukan suku, budaya, agama, dan karakteristik penduduknya, dengan posisi sebagai negara berkembang yang populasinya terbesar kelima di dunia mencapai 237.641.326 jiwa menurut sensus penduduk terakhir, tahun 2010 (Data BPS Pusat), tentunya diikuti permasalahan pembangunan yang juga kompleks. Diperlukan sekali adanya terobosan-terobosan baru dan ragam solusi yang praktis dan jitu dalam mengatasi permasalahan tersebut. Penulis melihat, masih jarang pembahasan tentang pemberdayaan masyarakat berbasis tokoh terutama dengan perspektif komunikasi. Dari beberapa contoh gerakan pemberdayaan berbasis tokoh di atas, diasumsikan sangat menarik untuk dipelajari, sehingga dapat membawa kesegaran bagi perspektif komunikasi pembangunan, utamanya komunikasi pemberdayaan. Di Indonesia, keberadaan tokoh-tokoh aktivis individu ini masih dapat dihitung dengan jari. Achmad Nuril Mahyudin, adalah salah satu aktivis sosial Indonesia, yang bergerak secara independen di bidang pemberdayaan masyarakat, berbasis individu. Nuril, demikian dia biasa dipanggil, telah menekuni aktivitas sosial ini selama 25 tahun (1989 – 2014); sebuah kurun waktu yang cukup panjang. Hal yang tidak biasa bahwa sebagian besar dari dana kegiatan sosial adalah dari kantongnya sendiri; 99% dari hasil penjualan lukisan dan tas produksinya dengan brand “reptile®” dan “Amphibi®”, hasil penjualan karya lukisnya, sementara sisanya dari bantuan insidentil perorangan maupun institusi. Diluar masalah pendanaan, dia juga terlibat langsung dalam proses pengerjaan,
3
pembelanjaan, pendokumentasian, pengontrolan dan pengevaluasian program, bersama dengan anggota masyarakat yang dia libatkan untuk dikaderkan. Singkatnya, dapat dikatakan bahwa dia adalah seorang individu yang bersifat institusional; karena dia berperan sebagai lembaga pemrakarsa, penyedia dan penggalang dana, pembimbing program, pelaksana dan komunikator sekaligus. Tentunya penelitian ini, menitikberatkan perannya sebagai aktivis sosial yang juga berkapasitas sebagai komunikator pemberdayaan masyarakat. Jenis aktivitas sosialnyapun sangat variatif, meliputi hampir semua kisikisi utama kebutuhan masyarakat, diantaranya seperti: perawatan kesehatan, pembangunan madrasah, pembelajaran sholat dan pembagian alat sholat, pembagian tas dan alat tulis, pelestarian sepeda onthel, cagar gembala dan sebagainya; meski menetapkan prioritas pada pengadaan sarana air bersih dengan target 1000 sumur dan MCK di pelosok. Ketekunannya di dalam perjuangan sosial telah juga menuai apresiasi melalui peliputan di berbagai media cetak maupun elektronik dan penghargaan nasional, diantaranya yang terakhir adalah sebagai Pahlawan untuk Indonesia 2014 versi MNC TV. Salah satu fakta komunikasi unik yang ditemukan, berdasarkan observasi pra-penelitian di wilayah aktivitas sosialnya, dia memilih untuk menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa komunikasinya dengan masyarakat pelosok Ngawi yang notabene orang Jawa, meskipun dia seorang Jawa yang dapat berbahasa Jawa secara aktif. Meskipun demikian, dia terlihat sangat dekat dengan masyarakat binaannya. 1 Anehnya, dia memilih memfokuskan kegiatan sosialnya di titik – titik pelosok Ngawi, yang bukan wilayahnya sendiri: Lamongan, tempat dia dibesarkan, ataupun Pamulang Tangerang Selatan, tempat dia membuka usaha produksi tasnya, sebagai seorang pengusaha dan galeri lukisnya sebagai seorang seniman.
1
Observasi pra-penelitian di Dusun Kebon Waru Pandean Ngawi, 13 Desember 2013
4
Pada dasarnya, aktivitas Nuril bukan hanya bergerak di pedusunan di Kabupaten Ngawi saja, tetapi juga di berbagai kantong-kantong kemiskinan di beberapa wilayah di pulau Jawa. Namun dia memilih pedusunan pelosok yang terletak di berbagai pedesaan Ngawi selama 10 tahun terakhir, dan khususnya di Desa Pandean, Karang Anyar Ngawi sebagai pilot projectnya, secara intensif selama 8 tahun terakhir, dikarenakan tingginya tingkat kemiskinan dan keterbelakangan di daerah tersebut yang telah menghinggapi penduduk di wilayah tersebut selama puluhan tahun, secara turun temurun, dilengkapi dengan sangat minimnya bantuan dari pemerintah yang sampai kesana. Pedusunan yang berada di Pandean Ngawi, sekitar 35% wilayahnya merupakan hutan, perkebunan, dan persawahan dan terletak berbatasan dengan Jawa Tengah, mesti dicapai dengan melalui jalanan bebatuan nan terjal, ataupun disebrangi dengan sampan, di seberang aliran Sungai Bengawan Solo. Indikasi kemiskinan dan keterbelakangan yang dapat ditengarai dengan jelas adalah aliran listrik yang sangat terbatas, buruknya sarana transportasi berupa jalanan terjal tak beraspal yang bahkan membuat tetangga desa sekitarnyapun enggan untuk datang kesana. Terlebih sarana air bersih yang sangat minim terutama di musim kemarau. Mengambil air bermil-mil jauhnya dari sumber air, ketiadaan kamar mandi yang layak, sehingga mandi di ruang terbuka merupakan hal yang terpaksa dianggap lumrah oleh penduduk setempat. Profesi sebagai petani dengan penghasilan minim dan rendahnya tingkat pendidikan juga merupakan bentuk lain gambaran dari keterbelakangan mereka. Disanalah Nuril memprioritaskan aktivitas pemberdayaan masyarakatnya pada pembangunan sumur dan MCK yang layak untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka berikut ragam aktivitas pemberdayaan lainnya. Atas dasar ini juga, peneliti menjadikan Pandean Ngawi sebagai obyek penelitian ini. Berawal dari satu aktivitas tersebut, Nuril melayani segala macam kebutuhan masyarakat lainnya sebagai individu yang bergerak layaknya sebuah
5
institusi profesional: menginisiasi program, mendanainya sendiri, kemudian mengimplementasikannya langsung bersama masyarakat lapisan bawah. Aktivitas sosialnya tidak hanya beragam jenis programnya, namun juga beragam jangkauannya, meliputi segala lapisan usia. Laki-laki, perempuan, tua, muda, dari anak-anak hingga kakek nenek, berada dalam target pemberdayaannya. Beberapa fakta diatas menunjukkan bahwa Nuril tentunya menggunakan strategi yang variatif dan spesifik dalam berkomunikasi dengan seluruh pihak dalam
aktivitas
sosialnya
tidak
hanya
dalam
penyampaian
pesan
pemberdayaannya; namun juga dalam rangka mencapai tujuan program komunikasi pemberdayaan yang diharapkan, yang tentunya menarik untuk diteliti lebih lanjut sebagai prototype aktivis sosial di Indonesia. Indonesia dengan kekhasan masyarakat, corak budaya yang beragam, falsafah berfikirnya dengan latar religiusitas yang cukup kuat, tentunya tidak serta merta mudah untuk menerapkan dan mengadopsi mentah-mentah model-model komunikasi pemberdayaan yang sudah ada, baik yang bersumber dari penelitian di negara-negara berkembang lainnya ataupun yang berbasis penelitian komunikasi pembangunan berperspektif negara-negara maju yang dilakukan oleh berbagai NGO internasional yang bergerak dibidang komunikasi pembangunan dan pemberdayaan masyarakat. Meskipun demikian, kerangka kerja (framework) yang telah disusun oleh akademisi berdasarkan penelitian dan penerapan praktisi di lapangan yang dibawahi oleh lembaga-lembaga tersebut, tentunya sangat diperlukan sebagai batu pijakan yang kuat dalam menemukan hasil-hasil penelitian yang menarik yang berbasis lokal dan independen. Sebagaimana konsep tentang CNA (Communication Needs analysis), yaitu: analisa kebutuhan-kebutuhan komunikasi secara umum dalam program pembangunan, yang digunakan untuk memahami dan menganalisa isu-isu komunikasi yang terdapat dalam program tersebut yang menjadi pintu masuk dalam pembahasan tentang komunikasi pembangunan secara komprehensif
6
sebelum menuju tahapan berikutnya, seperti pendesainan strategi komunikasi, implementasi program, yang disertai dengan penerapan monitoring dan evaluasi (Monev). Belum lagi praktek pemberdayaan sebagai pendekatan komunikasi pembangunan dengan perspektif yang khas seperti perspektif etik dan perspektif teologi pembebasan yang diajukan oleh dua pakar komunikasi pembangunan negara-negara berkembang, Melkote dan Steeves. Kaitannya dengan hal diatas, pada observasi pra-penelitian, peneliti mensinyalir ada sesuatu yang baru diluar mainstream yang ada tentang penerapan komunikasi yang unik yang dikembangkan oleh Achmad Nuril Mahyudin dalam aktivitasnya memberdayakan masyarakat yang lebih bercorak Indonesia dan dapat menghantarkan pada penerapan komunikasi pemberdayaan berbasis local wisdom (kearifan lokal). Maka, perlu diteliti, bagaimana komunikasi diterapkan dalam pemberdayaan masyarakat berbasis tokoh independen, khususnya sebagai praktisi komunikasi pemberdayaan di lapangan, yang akan dibingkai dengan penerapan CNA, berdasarkan perspektif khas yang dijadikan dasar pijakan tokoh aktivis sosial tersebut. Diharapkan, dari penelitian ini, akan dapat menjadi panduan (guidance) serta inspirasi bagi tokoh-tokoh independen lainnya yang akan ataupun telah menekuni aktivitas sosial dimanapun berada, khususnya di Indonesia. Terutama dalam memahami serta menangani permasalahan-permasalahan komunikasi yang terjadi di lapangan, demi tercapainya tujuan pemberdayaan masyarakat, dan pembangunan negeri ini dikemudian hari, ataupun dalam konteks yang lebih luas di dunia. Intensitas yang tinggi dan jam terbang Nuril yang cukup lama, sekitar 25 tahun dalam aktivitas sosial, menurut penulis, menjadikannya layak dijadikan acuan dalam memahami seluk beluk komunikasi pemberdayaan masyarakat. Meski sepak terjangnya dalam aktivitas sosial sudah beberapa kali diliput, baik oleh media cetak maupun media televisi, namun belum ada yang meneliti dan menyorot secara khusus tentang bagaimana pemberdayaan masyarakat melalui komunikasi pembangunan yang dikembangkan oleh
7
aktivis sosial Indonesia,
Achmad Nuril Mahyudin di desa Pandean, Karang Anyar Ngawi. Maka peneliti melihat pentingnya diteliti tema tersebut. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan, dalam penelitian ini, peneliti hendak menjawab rumusan masalah sebagai berikut: “Bagaimanakah komunikasi pemberdayaan masyarakat diterapkan oleh aktivis sosial Achmad Nuril Mahyudin di Pandean Ngawi?” Dan rumusan masalah tersebut akan dibantu dengan menjawab pertanyaan penelitian sebagai berikut : 1. Bagaimanakah CNA (Communication Needs Assessment) diterapkan dalam komunikasi pemberdayaan masyarakat berbasis tokoh independen? a. Apa saja program pemberdayaan masyarakat yang diinisiasi oleh tokoh aktivis sosial? b. Bagaimanakah pendesainan stategi komunikasi dalam komunikasi pemberdayaan tersebut diaplikasikan? 1) Apa sajakah tujuan pemberdayaannya? 2) Siapa sajakah sasaran pemberdayaannya? 3) Bagaimanakah pendekatan komunikasinya? 4) Apa saja saluran dan atau media komunikasi yang dipilih? 5) Apa saja hambatan komunikasinya? c.
Bagaimanakah
monitoring
dan
evaluasi
(Monev)
diselenggarakan dalam komunikasi pemberdayaan tersebut?
8
yang
C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk: 1. Menggambarkan tipologi komunikasi untuk pemberdayaan masyarakat berbasis tokoh independen. 2. Menemukan kekhasan fenomena komunikasi pemberdayaan masyarakat berbasis tokoh beserta dinamika masalah dan solusi komunikasi yang menyertainya. 3. Memahami tahapan-tahapan komunikasi pemberdayaan masyarakat yang diinisiasi oleh aktivis sosial independen. 4. Mengkaji evaluasi kualitatif terhadap kualitas dan keberhasilan komunikasi pemberdayaan masyarakat dalam perspektif dan pandangan stakeholder, terutama respon masyarakat yang diberdayakan. D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi personil maupun institusi khususnya di lembaga penelitian, perguruan tinggi, pustaka keilmuan, lembaga pemerintah maupun lembaga swadaya masyarakat, serta organisasi sosial dan kemasyarakatan formal maupun informal, di tingkat desa hingga tingkat nasional bahkan internasional, baik manfaat secara teoritis, praktis, maupun metodologis. 1. Manfaat Teoritis Penelitian ini dapat dijadikan landasan teoritis dalam mendapatkan pemahaman yang komprehensif dan mendalam tentang kajian komunikasi pemberdayaan masyarakat di Indonesia, khususnya yang berbasis tokoh independen. Sehingga landasan ini dapat menjadi salah satu tolok ukur dalam menentukan kebijakan yang tepat, baik berbentuk undang-undang, kurikulum, visi
9
misi lembaga dan arah komunikasi yang lebih pro pemberdayaan masyarakat di institusi terkait. 2. Manfaat Praktis Ditingkat makro, penelitian ini dapat menjadi alternatif model komunikasi pemberdayaan masyarakat berbasis tokoh independen khas Indonesia yang dapat disandingkan
dengan
model
komunikasi
pemberdayaan
berbasis
tokoh
independen di belahan bumi lainnya. Sehingga dapat menjadi pilihan solusi bagi masalah-masalah pembangunan khususnya pemberdayaan masyarakat di lembaga terkait. Karena keberhasilan komunikasi pemberdayaan masyarakat akan mengarah pada keberhasilan komunikasi pembangunan yang merupakan salah satu agenda sentral negara manapun di dunia. Pada tingkatan mikro, penelitian ini dapat menjadi salah satu panduan (guidance) bagi para pelaku aktivitas sosial lainnya, khususnya kalangan independen yang tentunya merangkap juga sebagai praktisi komunikasi dalam menangani masalah-masalah komunikasi pemberdayaan masyarakat yang sejenis di lapangan terutama dalam penerapan komunikasi pemberdayaan yang tepat berikut dengan tahapan-tahapannya, serta dapat melakukan peningkatanpeningkatan yang signifikan dalam aktivitas sosial yang dilakukannya. Secara mendetail, para aktivis sosial akan dapat memahami pentingnya CNA dan bagaimana
menerapkannya
sebagai
basis
penerapan
proses
program
pemberdayaannya. Para aktivis sosial juga dapat menjadikan devcomm methodological framework contoh nyata tahapan ideal proses pemberdayaan, mulai dari CBA, desain strategi komunikasi, implementasi program, hingga Monev, dan bagaimana menyesuaikannya dengan pelaksanaan program yang digagasnya dengan kekhasannya sendiri dan berdasarkan perspektif nilai yang dimilikinya. Penelitian ini juga berguna bagi spesialis komunikasi (communication specialist) pada umumnya, khususnya para spesialis komunikasi pembangunan
10
(development communication specialists) untuk melakukan tugasnya memahami, mengawal,
dan
mengevaluasi
pelaksanaan
program-program
komunikasi
pembangunan ataupun pemberdayaan. Disamping itu, penelitian ini dapat dimanfaatkan juga oleh lembagalembaga sosial pemerintahan maupun non pemerintahan, sebagai bahan pertimbangan pencanangan program pemberdayaan masyarakat berikut penerapan komunikasi pemberdayaan masyarakat yang sesuai di Indonesia, khususnya pemberdayaan masyarakat di pelosok. Secara khusus, lembaga-lembaga terkait dapat juga menjadikan penelitian ini sebagai contoh evaluasi pembanding kualitatif dalam mengetahui kedalaman kepercayaan, saling pengertian, situasi pemberdayaan dan keikutsertaan/ partisipasi masyarakat. Sebagai tambahan, lembaga-lembaga sosial tersebut, dapat menggunakan penelitian ini sebagai panduan pengevaluasian kerja spesialis komunikasi yang bekerja di lembaga tersebut secara kualitatif. 3. Manfaat Metodologis Secara metodologis, penelitian bergenre kualitatif ini dapat bermanfaat bagi para peneliti ilmu sosial dan komunikasi pembangunan sebagai penyeimbang pandangan dan perspektif komunikasi pembangunan, khususnya komunikasi pemberdayaan yang selama ini didominasi oleh penelitian kuantitatif. Penelitian ini juga dapat dijadikan salah satu batu pijakan, bahan refleksi, maupun tinjauan pustaka bagi para akademisi dan peneliti dalam pengembangan penelitian dalam rangka pengayaan ragam komunikasi pembangunan dan pemberdayaan masyarakat, terlebih yang berbasis tokoh independen, yang masih terbuka luas untuk diteliti lebih mendalam dari segi-segi lainnya.
11
E. Kerangka Pemikiran Penelitian ini dibangun dari kerangka pemikiran dan teoritis tentang komunikasi pemberdayaan masyarakat sebagai berikut: E.1. Teori-teori Komunikasi Pemberdayaan Masyarakat Penelitian ini akan didekati dengan 4 macam teori, sebagai berikut: E.1.1. Komunikasi Pembangunan Komunikasi Pembangunan hadir sebagai sebuah studi komprehensif yang secara konseptual bersumber dari teori komunikasi dan teori pembangunan yang saling menopang dalam rangka mempercepat dan menuntaskan permasalahan pembangunan. Studi komunikasi pembangunan menjadi kajian populer di negara dunia ketiga dimana studi ini dalam bingkai teoritis dikembangkan melalui kajian dan analisis mendalam yang diarahkan pada upaya pencarian konsep atau model pembangunan yang relevan dengan kebutuhan masyarakat, yang akan menuntun jalan bagi munculnya kesadaran baru dengan konsep-konsep yang bersifat korektif. Dalam memahami konsep komunikasi pembangunan tidak dapat dilepaskan dari teori dan paradigma yang mengiringi perkembangan kajian ini. Paradigma modernisasi yang mengedepankan pertumbuhan ekonomi dalam pembangunan dengan pendekatan komunikasi yang top-down dan satu arah (oneway communication), mendewakan kemampuan komunikasi masa dengan teori difusi inovasinya; terbukti telah gagal dalam mencapai tujuan pembangunan. Dan disinyalir menjadikan keadaan semakin memburuk dengan dinikmatinya hasil pembangunan oleh segelintir kelompok elit saja. Kegagalan modernisasi yang baru saja disebut merupakan bagian dari apa yang dikemukakan oleh teori dependensi, sebagai kritik kelemahan teori modernisasi yang merupakan wajah dari paradigma dominan pembangunan. Hadir sebagai paradigma kritis, teori dependensi menjelaskan bahwa pembangunan dengan paradigma modernisasi
12
menjadikan negara-negara berkembang (dunia ketiga) memiliki ketergantungan yang kuat terhadap negara-negara maju, sehingga menjadi tidak berdaya dan semakin terbelakang. Namun sayangnya, teori ini tidak mampu memberikan solusi untuk mengatasi keadaan yang ada. Paradigma partisipatoris muncul kemudian, sebagai paradigma alternatif bagi komunikasi pembangunan. Dengan mengusung pentingnya partisipasi masyarakat dalam program pembangunan dan penerapan komunikasi dua arah yang tepat guna, dan penetapan tujuan pembangunan yang komprehensif yang mengarah pada pemberdayaan masyarakat yang menyeluruh, paradigma ini dianggap lebih mampu dan adil dalam mengatasi permasalahan pembangunan dibandingkan dua paradigma yang hadir sebelumnya dan mulai diterapkan secara meluas sembari dikembangkan strategi dan tekhnik praktis yang menyertainya. Keluar dari perdebatan paradigma tersebut, dalam tataran praktis, studi komunikasi pembangunan difokuskan untuk mencari strategi, tekhnik dan metode yang tepat dimana komunikasi ditempatkan sebagai entitas penting bagi proses pembangunan sebagai bentuk pendekatan antar disiplin untuk menjawab tantangan dan tuntutan sekaligus memberikan pengaruh yang signifikan pada pencapaian tujuan pembangunan. Hal ini dapat dimengerti jika dilihat dari kompleksitas permasalahan pembangunan seperti: sosial, ekonomi, politik, dan budaya yang menjadikan pembangunan menjadi sebuah fenomena sosial. Oleh karenanya, studi komunikasi pembangunan dianggap mampu untuk mengarahkan perubahan dan pembangunan masyarakat, bangsa, dan negara. Dengan demikian, konsep komunikasi pembangunan merupakan usaha pemilihan strategi dan model komunikasi yang bertujuan untuk menyampaikan, mengkaji, dan menjelaskan tentang suatu isu, ide, atau gagasan ideal yang berkaitan dengan perubahan menuju pembangunan masyarakat yang akan memberikan inspirasi segar dalam penggalian kreativitas, kepentingan, aspirasi, dan kebutuhan individu, kelompok, dan masyarakat dan diharapkan akan bermunculan ide, gagasan dan inovasi dari kalangan akar rumput (grassroots) (Dilla, 2007: 2-4) 13
E.1.2. Komunikasi Pemberdayaan Masyarakat Komunikasi pemberdayaan masyarakat (KPM) merupakan entitas yang tidak dapat terlepas dari komunikasi pembangunan (KP). KPM merupakan salah satu strategi pembangunan yang mengedepankan pembangunan yang terpusat pada manusianya (people-centered), pengoptimalan partisipasi masyarakat, dan komunikasi dialogis yang berlangsung dua arah. Kemunculan paradigma partisipatoris, memunculkan varian komunikasi pembangunan yang beragam. Seperti berkembangnya konsep komunikasi penunjang pembangunan (Development Support Communication/ DSC) yang lahir dari semangat pemberdayaan. Dalam pandangan peneliti sendiri, sebagaimana yang dikemukakan secara implisit oleh Melkote (Melkote & Steeves, 2008: 348352), dilihat dari diferensiasi DSC dan karakteristiknya, mempunyai konsep yang sama dengan komunikasi pemberdayaan masyarakat, sehingga dapat disebut sebagai istilah atau nama lain dari komunikasi pemberdayaan itu sendiri. Melkote mengetengahkan
perbedaan
yang
jelas
antara
keduanya.
Komunikasi
pembangunan dipotret dalam paradigma modernisasinya memiliki struktur komunikasi
yang
top-down,
memiliki
kecenderungan
otoriter
dengan
hubungannya yang bernuansa subjek-objek. Sementara komunikasi penunjang pembangunan/ komunikasi pemberdayaan sendiri mengedepankan komunikasi yang horizontal antar masing-masing individu atau kelompok dalam masyarakat dengan hubungan yang bernuansa subjek-subjek. Dilihat dari level peranannya, komunikasi pembangunan berada pada level internasional dan nasional, KPM sendiri pada level lokal dan akar rumput (grassroots). Komunikasi pembangunan berfokus pada penggunaan media-media besar seperti TV, radio, surat kabar, dsb sementara KPM cenderung menggunakan media-media kecil atau menengah, seperti: video, strip film, media tradisional, komunikasi interpersonal dan kelompok. Pembangunan regional dan nasional, peningkatan masyarakat, perubahan sosial terutama di bidang ekonomi merupakan tujuan utama dari komunikasi
pembangunan.
Sementara
14
KPM
menjadikan
pemberdayaan
masyarakat, keadilan sosial, pembangunan kapasitas dan kesetaraan sebagai prioritas dalam tujuannya. Maka, komunikasi pemberdayaan masyarakat dapat diartikan sebagai upaya pembebasan dan pencerahan untuk meningkatkan harkat, martabat, serta menanamkan
jiwa
kemandirian
masyarakat
sehingga
seluruh
aktivitas
pembangunan diarahkan pada pemberdayaan masyarakat secara menyeluruh. E.1.3. Kampanye Sosial Kampanye menurut Roger dan Storey (1987) adalah serangkaian kegiatan komunikasi terencana dan berkesinambungan yang bertujuan mencapai hasil atau efek tertentu pada sejumlah besar khalayak pada periode waktu tertentu. “A communication campaign (a) intends to achieve specific effects, (b) in a relatively large number of individuals, (c) within a specified period of time, and (d) through an organized set of communication activities” (Rogers & Storey, 1987). Adapun jenis kampanye dibagi menjadi tiga kategori (Charles U. Larson, 1992), yaitu: 1.
Kampanye produk (Product oriented campaigns)
2.
Kampanye pencalonan kandidat (Candidate Oriented Campaigns)
3.
Kampanye ideologi atau misi sosial (Ideological or Cause Oriented Campaigns). Jenis kampanye yang ketiga inilah yang digunakan dalam pemberdayaan
masyarakat, karena kampanye ini bersifat khusus ideologis, berdimensi sosial dan mengarah pada perubahan sosial, sehingga disebut juga sebagai kampanye sosial atau kampanye perubahan sosial.
15
Dengan
demikian,
kampanye
sosial
dapat
didefinisikan
sebagai
serangkaian kegiatan komunikasi yang terencana, berkesinambungan, dan periodik yang bertujuan membawa masyarakat kepada suatu perubahan sosial. Kampanye sosial akan menjadi efektif ketika pesan yang disampaikan memiliki fungsi dapat mengubah pola pikir masyarakat dan menggugah kesadaran masyarakat pada suatu isu tertentu. Jenis pendekatan ini disebut oleh Kotler dan Roberto (1989) sebagai salah satu solusi potensial dalam mengatasi masalahmasalah sosial dengan mengubah sikap dan perilaku masyarakat (Kotler & Roberto, 1989). Kaitannya dengan pemberdayaan masyarakat, masalah yang dihadapi oleh masyarakat akar rumput adalah kesadaran mereka terhadap kondisi ketidakberdayaan mereka dan bagaimana keluar dari situasi tersebut sehingga menjadi lebih mandiri dan berdaya merupakan masalah yang cukup pelik, dan kampanye sosial diperkirakan dapat membantu mengatasi permasalahan tersebut dengan menggugah kesadaran masyarakat melalui pesan-pesan yang disampaikan dalam kampanye tersebut oleh agen perubahan, dalam hal ini tokoh aktivis sosial yang ada di wilayahnya. E.1.4. CNA (Communication Needs Assessment) CNA istilah yang sering digunakan untuk penilaian tentang kebutuhan komunikasi, secara khusus ditujukan untuk menginvestigasi, memahami, dan menentukan isu-isu yang berkaitan dengan komunikasi. Konsep ini biasanya digunakan untuk meneliti lingkungan media, infrastruktur dan kebijakan komunikasi, kapasitas komunikasi institusional, hambatan informasi, aliran informasi formal maupun informal, serta jaringan. Secara singkat, CNA digunakan untuk membahas isu-isu komunikasi seperti media, pesan, system informasi, kapasitas komunikasi dan segala hal yang berkaitan langsung dengan komunikasi. (Mefalopulos, 2008: 15, 149)
16
Sebagaimana
dicontohkan
oleh
Cabanero-Verzosa
(2005)
(dalam
Mefalopulos 2008: 15), tentang penggunaan CNA dalam Program Pembangunan Anak Usia Dini dan Nutrisi Uganda, disebutkan bahwa CNA digunakan untuk menginvestigasi isu-isu komunikasi dan memahami perilaku dan praktik masyarakat yang terkait dengan pola nutrisi yang sesuai dengan tujuan program. Dimana tujuannya adalah untuk mengidentifikasi pesan-pesan komunikasi dan saluran-saluran komunikasi apa sajakah yang dapat diaplikasikan secara efektif yang mengarah pada perubahan yang diharapkan. E.2. Konsep-konsep pemberdayaan Istilah pemberdayaan tidak dapat dilepaskan dari istilah pembangunan. Demi memahami istilah ini, diperlukan pemahaman yang mendalam tentang konsep-konsep yang berkenaan dengan pemberdayaan. E.2.1. Pemberdayaan dan Pembangunan Untuk memahami konsep pemberdayaan secara utuh, perlu memahami konsep
pembangunan
terlebih
dahulu.
Pembangunan
adalah
proses
berkesinambungan dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat luas. Pada awal-awal kemunculannya, konsep ini dipengaruhi dengan teori modernisasi yang mengacu
pada
teori
pertumbuhan
ekonomi
Adam
Smith,
sehingga
menitikberatkan kesejahteraan kepada peningkatan pendapatan masyarakat dan pembangunan infrastruktur. Dengan hadirnya paradigma partisipatoris yang membawahi teori teologi pembebasan, pembangunan tidak lagi hanya dipahami sebagai peningkatan ekonomi sebagai tolok ukur keberhasilannya. Untuk mencapai tujuan pembangunan, peningkatan sumberdaya manusia haruslah lebih dahulu diutamakan, yang tidak lain melalui upaya-upaya pemberdayaan. Istilah pemberdayaan (empowerment) berasal dari kata daya (power). Yang lebih mengacu pada makna mengontrol daya (power over = controlling power). Berdasarkan pemahaman ini, pemberdayaan adalah pembangunan dan pelatihan kekuatan sebagai proses dimana individu atau masyarakat meraih 17
kontrol dan penguasaan penuh atas kondisi sosial ekonominya (Rappaport 1981 dalam Melkote & Steeves, 2001/2008) dan atas partisipasi demokratik di komunitasnya (Zimmerman & Rappaport, 1988; dalam Melkote & Steeves, 2001/2008: 36) dan atas kehidupannya sendiri. Payne (1997) menitikberatkan pemberdayaan pada kemampuan dalam pengambilan keputusan dengan mengurangi hambatan-hambatan personal dan meningkatkan kapasitas dan kepercayaan diri untuk menggunakan daya tersebut untuk kemudian diteruskan kepada orang lain. Dari beragam konsep pemberdayaan masyarakat yang telah dijelaskan diatas, dapat dinilai bahwa konsep ini membangun paradigma baru dalam pembangunan, dan semuanya mengarah pada empat sifat sebagaimana yang diajukan oleh Robert Chambers, yakni konsep yang bersifat “people-centered, participatory, empowering, and sustainable” (terpusat pada aktor, partisipatif, memberdayakan, berkesinambungan) (Chambers, 1995). Berdasarkan kerangka metodologi 4 fase bentukan divisi khusus Development Communication (DevComm) di organisasi World Bank, akan dibahas tahapan-tahapan pemberdayaan. Berbeda dengan divisi-divisi serupa di lembaga-lembaga internasional sejenis, divisi DevComm ini difungsikan lebih optimal untuk meningkatkan hasil program pembangunan yang dicanangkan oleh World Bank. DevComm tidak hanya berfungsi untuk mendesain strategi komunikasi yang efektif saja, namun juga dalam menginisiasi fase atau tahapan dalam program pembangunan, dimana komunikasi juga digunakan sebagai alat penelitian dan analisis dalam program-program tersebut. Kerangka 4 fase sebagaimana
yang diterapkan oleh DevComm
(Communication-Based
Assessment/
penilaian
ini
meliputi: 1)
berbasis
CBA
komunikasi);
2)
Pendesainan strategi komunikasi; 3) Implementasi program; 4) Monitoring dan Evaluasi (Monev).
18
Pada tahapan pertama, CBA dilaksanakan untuk mengeksplorasi situasi dan persepsi yang melingkupi setiap stakeholder atau pihak-pihak yang berkaitan dengan program pembangunan termasuk program pemberdayaan yang akan ditargetkan pada suatu wilayah. Dalam tahapan CBA ini, Spesialis Komunikasi mempelajari kultur budaya, konteks sosial dan politik, untuk mengidentifikasi pemuka-pemuka masyarakat (opinion leaders) dan para stakeholders; dalam rangka menilai resiko-resiko yang dimungkinkan muncul, seperti penolakan maupun konflik potensial dari masyarakat, termasuk juga mencari solusi-solusi dan menentukan tujuan-tujuan yang dapat mendukung perubahan yang diinginkan. Pendesainan strategi adalah tahapan yang mesti dilakukan selanjutnya. Tahapan ini diharapkan dapat mendefinisikan rancangan strategi dan pelaksanaan program yang meliputi waktu dan biaya yang dibutuhkan, pendekatan komunikasi yang dibutuhkan, termasuk pemilihan media dan pesan yang sesuai untuk masingmasing sasaran berdasarkan analisis data yang terhimpun dari pelaksanaan tahapan sebelumnya, CBA. Implementasi program barulah dilaksanakan setelah strategi komunikasi telah terdesain dengan baik. Dalam fase implementasi ini, program yang telah dicanangkan dilaksanakan tahap demi tahap sesuai dengan media dan pendekatan yang telah ditentukan dalam rancangan strategi. Pada tahap akhir, monitoring dan evaluasi (Monev) dilaksanakan. Monev meliputi pengawasan dan evaluasi terhadap jalannya proses selama program berlangsung, yang biasa disebut evaluasi formatif atau monitoring; serta pengukuran terhadap hasil akhir, yang disebut juga sebagai evaluasi sumatif. Dalam penelitian ini, sebagaimana desain penelitiannya, dilakukan secara kualitatif, dan yang dilihat adalah hal-hal yang tidak mudah untuk diukur secara empiris, seperti kedalaman pemberdayaan dan partisipasi oleh masyarakat yang dikenai program. Sehingga yang dijadikan tolok ukur adalah bukan sekedar berapa jumlah program yang sudah tercapai tetapi bagaimana umpan balik dan
19
respon dari masyarakat atau para stakeholder yang berkaitan langsung maupun tidak langsung dengan program pemberdayaan tersebut. E.2.2. Partisipasi Masyarakat Sebagaimana yang ditulis oleh Anyaegbunam et al (2004) (dalam Mefalopulos, 2008: 10-11). Menurutnya, ada 4 tipologi partisipasi dalam konteks pembangunan, dimulai dengan level yang terendah hingga level yang tertinggi, yaitu: 1.
Partisipasi Pasif
2.
Partisipasi Konsultatif
3.
Partisipasi Fungsional
4.
Partisipasi terberdayakan
Komponen masyarakat berpartisipasi dengan diinformasikan tentang apa yang akan atau telah terjadi. Umpan balik masyarakat sangatlah minim atau nyaris tidak ada. Partisipasi dinilai hanya dari tingkat kehadiran dalam program maupun dalam diskusi. Komponen masyarakat berpartisipasi dengan memberikan umpan balik akan pertanyaan dari peneliti luar, komunikator ataupun tokoh pemberdaya. Meski demikian, keputusan final berada di tangan tokoh di luar masyarakat. Komponen masyarakat mengambil bagian dalam diskusi dan analisis akan tujuan sementara yang telah ditentukan oleh program. Dalam partisipasi tipe ini, meski jarang sekali berujung pada perubahan tujuan, namun bernilai dalam memberikan masukan bagaimana mencapai tujuan tersebut. Pada tipe ini, komunikasi horizontal sudah dilakukan Komponen masyarakat mau dan mampu untuk menjadi bagian dari proses dan analisis, sehingga mengarah pada pengambilan keputusan bersama tentang apa yang harus dicapai (tujuan) dan bagaimana. Maka masyarakat disini memiliki posisi yang sama dalam pengambilan keputusan yang terkait dengan hidup mereka. Tabel 1.1. Tingkatan Partisipasi
Sumber: Paulo Mefalopulos dalam Development Communication Sourcebook. Broadening the Boundaries of Communication. Washington DC. : World Bank. 2008: 11
20
Empat tingkatan partisipasi, sebagaimana yang disebutkan diatas, serupa dengan level-level partisipasi yang diajukan oleh World Bank meski dalam istilah yang sedikit berbeda, yitu: 1) Pembagian informasi (information sharing); 2) konsultasi (consultation); 3) kolaborasi (collaboration); 4) pemberdayaan (empowerment). Pembagian informasi dan konsultasi berada dalam dua level terbawah, sementara kolaborasi dan pemberdayaan merupakan dua level partisipasi tertinggi. (Mefalopulos, 2008: 52) E.2.3. Teologi Pembebasan (Liberation Theology) Teologi pembebasan dengan paradigma partisipatorisnya dikemukakan oleh Paulo Freire (1970) yang memiliki fokus terhadap keterbelakangan dan bagaimana mengatasinya. Pembangunan menurut Freire, tidak hanya terfokus pada pencapaian ekonomi atau harta kekayaan semata tetapi lebih mengedepankan pada pembangunan manusia seutuhnya. Perspektif ini menegaskan bahwa hal pertama dalam pembangunan yang perlu diperhatikan adalah pemberdayaan masyarakat. Makna dari pemberdayaan adalah pembebasan masyarakat dari keadaan tertindas, termarjinalkan, tidak berdaya dalam struktur sosial yang melingkupi mereka (sosio-ekonomi, politik dan budaya). Konsep utama dalam teori ini adalah “Conscientization” (penyadaran), yaitu bagaimana menyadarkan masyarakat dengan kondisi terbelakang mereka dan bagaimana terbebas dari kondisi tersebut. Ketika kesadaran itu tumbuh, maka masyarakat tersebut dapat berfikir dan berusaha bagaimana terhindar dari penyebab keadaan mereka dengan menemukan upaya bagaimana mengatasi keadaan mereka. Perspektif ini lebih menekankan pada pendekatan humanistik dari pada pendekatan struktural, dengan pendekatan bottom-up dan komunikasi dua arah (two-way communication) dan berlandaskan nilai-nilai spiritual agama yang menjadi landasan bagi penerapan pemberdayaan dengan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam setiap kegiatan pembangunan sehingga mereka menjadi masyarakat yang mandiri dan berdaya. Dalam perspektif ini, ajaran agama tidak menjadi penghambat program pemberdayaan, justru menjadi kekuatan dan faktor
21
penting dalam
usaha
pembebasan dan
pemberdayaan masyarakat
dari
ketertindasan dan keterbelakangan. Baik yang berupa nilai-nilai ajaran dan implementasinya maupun ritual-ritual keagamaan itu sendiri, dianggap sebagai bagian tak terpisahkan dari usaha pemberdayaan itu sendiri untuk mencapai tujuan pembebasan dan pemberdayaan manusia yang sejati dan seutuhnya. (Melkote & Steeves, 2001: 273-276). Dalam penelitian ini, perspektif teologi pembebasan diasumsikan sebagai jawaban teoritis bagi pertanyaan penelitian dalam mengungkap perspektif komunikasi pemberdayaan masyarakat berbasis tokoh independen yang dilihat dari nilai-nilai komunikasi yang diungkapkan. E.3. Dinamika Pemberdayaan Masyarakat Desa Desa sebagai wilayah yang berada dalam lingkup terbatas, merupakan satuan pemerintahan terkecil dalam suatu Negara, dengan penduduk yang umumnya bermata-pencaharian yang berkaitan langsung dengan iklim seperti pertanian dan perikanan (Kartodikusumo 1965, Ogburn & Nimkoff, Landis) seringkali diidentikkan dengan kesan terbelakang, tertinggal, miskin, kumuh, dan tidak berpendidikan. Hal tersebut berangkat dari kenyataan bahwa pembangunan wilayah dan masyarakat belum merata, sebagian besar terpusat pada perkotaan dan pinggiran kota. Sementara sebagian besar wilayah di pedesaan belum mendapatkan sentuhan pembangunan yang maksimal terutama yang berada di daerah pelosok. E.3.1. Permasalahan Masyarakat Desa Pada dasarnya akar permasalahan dari ketidak berdayaan masyarakat, terutama yang berada di pedesaan, adalah disebabkan oleh kemiskinan. Poerwadarminta (1976) mengartikan kemiskinan secara harfiah dengan “tidak berharta-benda” yang berasal dari kata dasar miskin. Secara epistemologi kemiskinan adalah kondisi ketidakmampuan suatu individu maupun kelompok dalam memenuhi kebutuhan dasar mereka.
22
Kartasasmita (1997: 234) berpendapat bahwa kemiskinan adalah masalah krusial dalam upaya pembangunan yang berbentuk ketimpangan, diawali dengan merebaknya pengangguran dan keterbelakangan. Secara singkat Kuncoro (1997: 102-103) mendefinisikan kemiskinan sebagai suatu kondisi ketidakmampuan dalam memenuhi standar hidup minimum. Adapun Friedmann (1992: 123) memaknai kemiskinan sebagai dampak dari ketidakmerataan kesempatan dalam pengaksesan kekuatan sosial. Secara garis besar dapat ditarik kesimpulan bahwa kemiskinan adalah kondisi ketidakmampuan dalam memenuhi kebutuhan dasar individu ataupun kelompok baik secara materi maupun lingkup sosial. Dilihat dari faktor penyebab kemiskinan, terdapat 3 bentuk kemiskinan, yaitu: kemiskinan natural, kemiskinan kultural, dan kemiskinan struktural (Kartasasmita, 1997: 235 dan Baswir, 1997: 23). Kemiskinan natural adalah keadaan miskin dikarenakan sedari awalnya dalam kondisi miskin. Masyarakat tersebut menjadi miskin karena ketiadaan sumber daya yang memadai baik sumber daya alam maupun sumber daya manusia. Baswir (1997 : 21) menambahkan bahwa kemiskinan jenis ini utamanya akibat dari beberapa faktor alamiah seperti cacat, sakit, usia lanjut atau karena bencana alam. Kartasasmita (1997: 235) menyebutnya sebagai “Persistent Poverty” atau kemiskinan kronis yang telah terjadi secara turun temurun, yang biasanya berada di daerah yang terisolir. Adapun kemiskinan kultural mengacu pada sikap hidup, gaya hidup, budaya yang enggan berusaha untuk memperbaiki dan merubah tingkat kehidupannya. Faktor budaya seperti malas, tidak disiplin, boros, tidak memiliki keterampilan kerja menjadikan tingkat pendapatan mereka rendah dibandingkan standar pendapatan pada umumnya di wilayahnya. (Baswir, 1997: 21). Sementara kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang disebabkan oleh system dan struktur sosial yang timpang yang ditengarai dengan adanya kebijakan 23
yang berat sebelah, distribusi yang tidak merata, serta merebaknya korupsi dan kolusi serta tatanan yang cenderung menguntungkan kelompok masyarakat tertentu. Menurut Baswir, hal ini bisa juga disebabkan karena adanya upaya menanggulangi kemiskinan natural, dimana pencanangan program dan kebijakan yang tidak merata menimbulkan struktur masyarakat yang timpang sehingga menimbulkan kelompok masyarakat miskin baru. Bentuk kemiskinan yang disebut oleh Kartasasmita (1997: 236) sebagai “accidental poverty” ini merupakan dampak akan adanya
suatu kebijaksanaan tertentu yang menyebabkan
menurunnya tingkat kesejahteraan masyarakat. E.3.2. Program Pemberdayaan Masyarakat Desa Pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM) merupakan bentuk pembangunan lain yang tidak kalah penting dibandingkan pembangunan infrastruktur di pedesaan. Maka perlu ditingkatkan pendidikan dan pelatihan, formal maupun informal di pedesaan sehingga terbentuk pola pikirnya, memiliki keterampilan dan keahlian yang memadai sehingga akhirnya dapat berfikir mandiri dan maju demi kemajuan pedesaan.Dengan jumlah desa sebanyak 79.702 (data BPS Pusat 2012) dan jumlah penduduknya yang mencapai 119.321.070 jiwa atau sama dengan 50,21 % (sensus penduduk 2010, BPS Pusat) dari keseluruhan penduduk Indonesia, seharusnya pembangunan di pedesaan mendapat perhatian yang khusus dan dukungan yang penuh dari pemerintah, karena desa merupakan ujung tombak pemerintahan, garda terdepan dari pembangunan. Meski masih jauh dari harapan, dan masih banyak desa-desa terutama yang terletak di pelosok hampir tidak tersentuh oleh bantuan pemerintah, kita tidak menutup mata bahwa pemerintah juga telah berupaya dalam mengatasi permasalahan di pedesaan, yaitu dengan program-program pemberdayaan masyarakat desa. Beberapa upaya pemerintah untuk membangun desa yaitu program IDT (Inpres Desa Tertinggal), dirjen PMD (Pemberdayaan Masyarakat Desa) di bawah kementerian Pembangunan dan IDT yang memfokuskan kepada desa. Belum lagi keberadaan lembaga-lembaga pemberdayaan seperti LPMD
24
(Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Desa) dulu bernama LKMD (Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa) dengan beragam program dan bantuannya untuk pemberdayaan masyarakat di pedesaan.Yang beberapa tahun terakhir ini mulai digulirkan adalah PNPM (Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat) melalui program bantuan permodalan bagi individu di pedesaan, yang mulai dirasakan manfaatnya oleh masyarakat desa, meski belum menjangkau daerah-daerah pedesaan di titik jauh, yang benar-benar membutuhkan. E.4. Aktivis Sosial sebagai Tokoh Pemberdayaan Masyarakat Desa Aktivis sosial yang sering juga disebut relawan sosial (volunteer) adalah orang yang berbuat untuk menolong dan memberdayakan masyarakat berdasarkan keterpanggilan jiwa dan atas dasar rasa welas asih (philantrophy) dan dorongan amal (charity) yang didorong oleh intuisi dan pengalaman hidup, sehingga disebut juga dengan penolong alamiah (natural helper). Ada yang berbuat melalui Orsos dan ada pula yang bergerak secara individu. Hal yang paling membedakan dengan pekerja sosial adalah, aktivis sosial tidak memiliki dasar keilmuan khusus di bidang kesejahteraan sosial, mereka memiliki latar belakang keilmuan yang beragam atau bahkan latar kehidupan yang berbeda. Tentunya motivasi berbuatnya juga berbeda, jika pekerja sosial berlandaskan pengembangan kompetensi, maka aktivis sosial berlandaskan pada keterpanggilan jiwa. Tidak ada standar-standar dan batasan yang jelas untuk aktivis sosial seperti pada pekerja sosial. Namun, menurut hemat penulis, minimal aktivis sosial haruslah memiliki pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki oleh pekerja sosial, sebagai yang disebutkan diatas, meskipun tidak mesti dengan menempuh pendidikan kesejahteraan sosial. Sebagaimana pekerja sosial, karena bidangnya adalah kemanusiaan dan kesejahteraan sosial, akan lebih baiknya jika memiliki motivasi keterpanggilan juga sebagaimana pada aktivis sosial. Berdasarkan kerangka pemikiran diatas, maka penelitian ini dapat dilihat secara komprehensif pada model penelitian sebagai berikut:
25
Pemetaan CNA (Communication Need Assessment) Pada Komunikasi Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Tokoh
Program- program Pemberdayaan Masyarakat: Ragam Program
Pemberdayaan
Desain Strategi Komunikasi: 1. 2. 3. 4. 5.
Tujuan Sasaran Pendekatan Saluran & Media Hambatan
Monev: 1. Monitoring 2. Evaluasi a. Pencapaian b. Feedback Masyarakat
Gambar 1.1. Model Penelitian Sumber: Peneliti F. KERANGKA KONSEP 1.
Komunikasi
Komunikasi dalam penelitian ini dimaknai sebagai pertukaran makna (shared meaning) dimana komunikasi bukanlah sebagai proses linier dan statis namun sirkular dan dinamis.
2.
Pemberdayaan
Istilah ini dimaksudkan usaha pembebasan kondisi masyarakat yang tidak berdaya menjadi berdaya atau mandiri, bukan hanya secara materil namun juga secara mental. Pemberdayaan dalam penelitian ini berakar dari konsep pembangunan dengan perspektif etik (Ethical perspective), yaitu: pembangunan yang titik ukuran keberhasilannya meliputi dua aspek penting yaitu: peningkatan pendapatan perkapita dan pertumbuhan mental
spiritual.
26
Dalam
penelitian
ini
istilah
pemberdayaan, pembangunan, aktivitas sosial, program kemanusiaan, perjuangan sosial digunakan secara bergantian dan mewakili makna dari pemberdayaan. 3.
Masyarakat
Dalam penelitian ini istilah masyarakat khususnya ditujukan pada sekelompok orang yang mendiami suatu wilayah dan berada dalam kondisi ketidakberdayaan baik secara ekonomi maupun secara mental.
4.
Komunikasi
Suatu usaha pemberdayaan masyarakat yang dilakukan
Pemberdayaan
melalui pendekatan komunikasi, metode dan media
Masyarakat
yang dianggap tepat dan mengedepankan bentuk
(KPM)
komunikasi dialogis atau dua arah; merupakan bagian dari
bidang
komunikasi
pembangunan
dengan
paradigma partisipasi. 5.
Berbasis Tokoh
Usaha KPM yang dilakukan oleh seorang tokoh, individu yang berperan sebagai aktivis sosial secara independen dan tidak berasal dari institusi kelembagaan tertentu.
6
CNA
Diartikan sebagai penilaian kebutuhan komunikasi
(Communication
Metode investigasi untuk menilai situasi yang berkaitan
Needs
dengan isu-isu komunikasi, yang mana pada penelitian
Assessment)
ini dipusatkan pada pembahasan tentang programprogram pemberdayaan, desain strategi komunikasinya dan aplikasi Monev dalam program pemberdayaan
7.
Program
Program-progam pemberdayaan yang diinisiasi oleh
Pemberdayaan
tokoh
pemberdayaan
komunikasi
masyarakat,
maupun
baik
non-komunikasi,
program yang
mengandung pesan-pesan pemberdayaan 8.
Ragam Program
Bentuk-bentuk
program
pemberdayaan
menurut
bidangnya masing-masing 9.
Tahapan-tahapan
Proses dan urutan implementasi program pemberdayaan
27
dari A-Z yang diterapkan oleh tokoh yang diteliti 10.. Desain
strategi Perencanaan dan manajemen untuk pencapaian tujuan
komunikasi
pemberdayaan yang menjadi panduan bagaimana mengimplementasikan program. Desain strategi ini mencakup
penetapan
tujuan,
pengenalan
sasaran
pemberdayaan, penentuan pendekatan komunikasi, pemilihan saluran & media yang tepat, disertai penganalisaan hambatan. 11.
Tujuan
Dampak positif yang diharapkan dari masyarakat setelah menerima pesan-pesan pemberdayaan dari aktivis sosial.
12.
Sasaran
Digunakan bergantian dengan istilah audiens, stake holder, masyarakat, ataupun komunitas. Dimaknai sebagai
individu
masyarakat
perorangan
ataupun
kelompok
dikenai/
merasakan
program
yang
pemberdayaan secara khusus. 13.
Pendekatan
Bagaimana
aktivis
sosial
memilih
pendekatan
komunikasi pesan-pesan pemberdayaan agar tujuan komunikasi dapat sampai dengan efektif terhadap masyarakat yang diberdayakan. 14.
Saluran Media
atau Meliputi segala macam bentuk saluran komunikasi, tradisional
maupun
menghantarkan
pesan
elektronik pemberdayaan
yang yang
dapat ingin
disampaikan. Seperti: video, radio, internet, teater, musik, dongeng, kentongan, majalah, suratkabar, brosur, dsb. 15.
Hambatan
Konflik, ketidak-lancaran komunikasi yang terjadi dalam proses pemberdayaan yang mengacu pada tidak tercapainya
tujuan
masyarakat.
28
komunikasi
pemberdayaan
16.
Monev
Monitoring dan evaluasi. Monitoring maksudnya proses pengawasan pelaksanaan program komunikasi atau yang disebut juga dengan evaluasi formatif, yang dilakukan oleh agen atau tokoh pemberdaya. Sementara evaluasi dimaksudkan sebagai penilaian atau hasil akhir program komunikasi pemberdayaan yang diukur secara kualitatif melalui respon dan umpan balik masyarakat terhadap program komunikasi pemberdayaan yang dialaminya.
17.
Monitoring
Bentuk evaluasi formatif yang berlangsung selama program pemberdayaan berjalan
18.
Evaluasi
Bentuk evaluasi sumatif yang dilakukan pasca program pemberdayaan dimana penilaian tertuju pada kesesuaian pencapaian program dengan tujuan yang dicanangkan dan feedback dari masyarakat atas pendekatan KPM yang mereka terima
19.
Pencapaian
Hasil
akhir
atau
bentuk
puncak
dari
program
pemberdayaan yang dilaksanakan berdasarkan tujuan pemberdayaan 20.
Feedback
Respon,
refleksi,
umpan
balik,
atau
tanggapan
masyarakat yang meliputi 3 aspek, yaitu aspek kognitif (kesadaran/
pengetahuan),
aspek
afektif
(sikap,
perasaan/ emosi) dan aspek konatif (perilaku/ tindakan) berupa verbal maupun non-verbal terhadap model komunikasi tokoh aktivis sosial di wilayahnya G. METODE PENELITIAN 1. Metodologi Desain penelitian ini menggunakan metode kualitatif yang bersifat eksploratif dengan pendekatan studi kasus. Data yang diharapkan adalah 29
eksplorasi penerapan komunikasi prototype Aktivis sosial Achmad Nuril Mahyudin dalam pemberdayaan masyarakatnya berdasarkan CNA (Communiction Needs Assessment) yang meliputi ragam dan tahapan program pemberdayaannya, strategi komunikasi dan pelaksanaan Monev. Dalam hal strategi komunikasi, data yang diharapkan adalah berupa tujuan, sasaran, pendekatan, saluran dan hambatan komunikasi. Sementara dalam pelaksanaan Monev, data yang diharapkan adalah bentuk monitoring yang diterapkan dan feedback masyarakat terhadap penerapan komunikasi pemberdayaan masyarakat tokoh yang diteliti. 2. Metode Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan melalui observasi, wawancara, dan dokumentasi tokoh aktivis sosial berupa foto dan video rekaman. Observasi lapangan mengarah pada bentuk-bentuk komunikasi dan pesan-pesan yang disampaikan oleh aktivis sosial terhadap komunitasnya. Adapun wawancara dilakukan dengan tokoh aktivis sosial, rekan aktivis sosial, tokoh masyarakat, dan anggota masyarakat. Sasaran Pokok dari objek Penelitian ini, adalah: Pertama, Penerapan Komunikasi Pemberdayaan Masyarakat berbasis tokoh pada aktivis sosial independen, yaitu, Achmad Nuril Mahyudin, sebagai prototype tokoh aktivis sosial di Indonesia, untuk diteliti penerapan komunikasi pemberdayaannya, berdasarkan CNA (Communication Needs Assessment). Kedua, kelompok masyarakat Pandean Ngawi yang menjadi sasaran umum program komunikasi pemberdayaan oleh aktivis sosial, terutama untuk diteliti bagaimana feedback masyarakat tersebut berikut kedalaman partisipasi mereka terhadap program yang dirasakan oleh mereka secara langsung, sebagai bagian dari proses evaluasi pada tahapan Monev.
30