BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Kriminalitas dalam bentuk tindak pelecehan seksual saat ini marak terjadi dalam lingkungan masyarakat. Laporan kasus tindakan pelecehan seksual selalu ada dari tahun ke tahun. Berbagai media masa banyak menayangkan kasus pelecehan seksual yang terjadi di masyarakat. Maraknya kasus pelecehan seksual tersebut kini tidak hanya terjadi pada orang dewasa saja namun juga pada anakanak dan remaja perempuan ataupun laki-laki. Menurut data polres Surakarta yang merupakan hasil laporan dari korban pelecehan seksual. Setidaknya telah terjadi 21 kasus pelecehan seksual berupa pencabulan di Kota Surakarta selama 3 tahun terakhir ini. Pada tahun 2013 terjadi 7 kasus pelecehan seksual yang dialami oleh 7 anak perempuan dengan rentang usia 5 sampai dengan 15 tahun. Tempat kejadian pelecehan seksual pada kasus yang terjadi pada tahun 2013 yaitu tempat tinggal tersangka, sekolah, dan hotel. Pada tahun 2014 terjadi 7 kasus pelecehan seksual dengan 6 korban perempuan berusia antara 6 hingga 10 tahun, sedangkan 1 korban lainnya adalah laki-laki berusia 17 tahun. Tindakan pelecehan seksual tersebut terjadi di sekolah, sekitar rumah tersangka, rumah tersangka, dan tempat ibadah. Tahun 2015 juga tercatat telah terjadi 7 kasus pelecehan seksual. Dalam kasus ini 5 perempuan dengan rentang usia antara 4 hingga 15 tahun menjadi korban dalam tindak pelecehan seksual tersebut. Korban lainnya adalah 2 lakilaki dengan usia 6 tahun dan 15 tahun. Tindakan pelecehan seksual tersebut terjadi 1
2
di rumah tersangka, warnet, rumah korban, hotel, gudang, dan rumah kos tersangka. Data lain yang diperoleh dari Yayasan KAKAK Surakarta, terdapat 70 kasus pelecehan seksual yang terdata sejak tahun 2013 hingga September 2015. Tujuh puluh kasus tersebut terjadi pada anak dengan rentang usia 0 sampai dengan 18 tahun, baik laki-laki ataupun perempuan. Kasus pelecehan seksual yang tercatat terjadi tidak hanya terjadi di Kota Surakarta saja namun juga di daerah sekitar Kota Surakarta. Jenis pelecehan seksual yang tercatat di Yayasan KAKAK sebagian besar berupa pemerkosaan dan sodomi. Data lain yang diperoleh dari pihak Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Kota Surakarta menunjukkan bahwa pada tahun 2014 telah terjadi 27 kasus pelecehan seksual dengan 23 korban perempuan dan 4 korban berjenis kelamin laki-laki. Pada tahun 2015 terdapat laporan 20 kasus pelecehan seksual dan pada triwulan pertama tahun 2016 yaitu bulan Januari hingga Maret telah terjadi pula 4 kasus pelecehan seksual di Kota Surakarta. Pelecehan seksual menurut para ahli adalah kontak atau interaksi yang terjadi antara korban dengan pelaku yang digunakan sebagai stimulus seksual pelaku atau orang lain yang memiliki kekuatan atau kendali terhadap korbannya (Chomaria, 2014). Peristiwa pelecehan seksual tidak hanya selesai begitu saja, namun terdapat efek yang ditimbulkan terutama pada diri korban itu sendiri. Tindakan pelecehan seksual akan menimbulkan pengalaman yang buruk dan trauma pada diri korban. Korban akan memiliki pengalaman traumatis dan perasaan buruk seperti anggapan
3
bahwa diri mereka tidak perawan untuk korban wanita, mencemarkan nama baik keluarga, dan sebagainya (Illenia dan Handadari, 2011). Remaja yang menjadi korban dari tindak pelecehan seksual akan memiliki pengalaman
yang
tidak
menyenangkan.
Pengalaman
remaja
terhadap
lingkungannya juga akan membentuk pola-pola kepribadian (Hurlock, 1980). Untuk mencapai kepribadian yang matang dan sehat menurut Allport (dalam Sobur, 2003) terdapat beberapa ciri-ciri, salah satunya adalah penerimaan diri. Menurut Allport, penerimaan diri sebagai ciri kepribadian yang matang adalah kemampuan untuk mengontrol emosi, menjauhi sikap overact, mempunyai toleransi tinggi terhadap frustrasi, dan mau menerima diri sendiri apa adanya. Penerimaan diri juga diperlukan dalam membangun hubungan dengan lingkungan sekitar (Johnson, 1993). Sikap seseorang yang mampu menerima kelemahan dan kelebihan yang ada pada dirinya menunjukkan penerimaan diri pada diri orang tersebut. Remaja yang menjadi korban pelecehan seksual akan dapat menempatkan diri lebih baik jika dapat menerima dirinya sendiri dengan baik pula. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Pratitis dan Hendriani (2013), proses penerimaan diri dapat membuat korban terbebas dari rasa bersalah, rasa malu dan rendah diri karena keterbatasan diri serta bebas dari kecemasan akan adanya penilaian orang lain terhadap keadaan diri remaja tersebut. Proses penerimaan diri sendiri juga dapat memberikan efek positif kepada remaja korban pelecehan seksual karena dapat memiliki banyak kesempatan untuk beradaptasi dengan lingkungannya. Penerimaan diri dapat dicapai apabila aspek-aspek dalam diri berada pada titik seimbang antara keadaan yang sebenarnya dengan keadaan
4
yang diinginkan. Penerimaan diri korban yang mengalami berbagai dampak negatif akibat pelecehan seksual menurut penelitian dari Pratitis dan Hendriani (2013) dapat dipengaruhi oleh pemahaman terhadap diri sendiri. Pemahaman terhadap diri sendiri tergantung pula dengan konsep diri yang terbentuk pada diri remaja yang mengalami pelecehan seksual. Konsep diri menurut Sobur (2003) adalah semua persepsi individu terhadap aspek diri yang meliputi aspek fisik, aspek sosial dan aspek psikologis yang didasarkan pada pengalaman dan interaksi individu dengan orang lain. Penerimaan diri korban tidak terlepas dari penilaian yang ada mengenai diri mereka sendiri. Penilaian yang muncul terhadap diri sendiri erat hubungannya dengan pembentukan konsep diri dalam diri seseorang. Konsep diri memiliki peranan penting dalam kehidupan yaitu mempengaruhi cara bersikap dan berperilaku seseorang. Remaja yang mengalami pelecehan seksual berisiko memiliki konsep diri yang buruk. Hurlock (1980) menyatakan bahwa ada banyak hal yang menyebabkan perkembangan konsep diri kurang baik, beberapa diantaranya disebabkan oleh alasan pribadi dan alasan lingkungan. Lingkungan yang memberikan pengalaman buruk berupa pelecehan seksual, tidak jarang mengakibatkan remaja memiliki anggapan bahwa diri korban adalah seseorang yang tidak berharga ataupun dengan anggapan negatif lainnya. Anggapan tersebut dapat mengganggu proses adaptasi diri dan adaptasi sosial dari seseorang. Penelitian yang dilakukan oleh Sulistyaningsih dan Faturochman (2002) menyatakan bahwa korban pelecehan seksual mengalami berbagai macam dampak negatif. Pelecehan seksual memberikan pengaruh yang negatif terhadap
5
kondisi fisik dan psikologis pada diri korban. Korban pelecehan seksual akan mengalami dampak fisik seperti kerusakan organ tubuh, kemungkinan terjangkit penyakit menular seksual (PMS), bahkan hingga kehamilan yang tidak diinginkan. Sedangkan dampak psikologis yang dapat dialami oleh korban pelecehan seksual antara lain trauma, murung, menangis, merasa takut, mengucilkan diri dan menyesali diri. Adanya stigma di masyarakat yang menganggap korban pelecehan seksual adalah orang yang hina, sekaligus pemberian label negatif dapat memperburuk keadaan korban pelecehan seksual. Korban pelecehan seksual juga memiliki kemungkinan mengalami stres. Stres yang dapat dialami korban pelecehan seksual dapat berupa stres yang langsung terjadi dan stres jangka panjang. Stres yang langsung terjadi merupakan stres paska kejadian seperti kesakitan secara fisik, rasa bersalah, takut, semas, malu, marah dan ketidakberdayaan. Sedangkan stres jangka panjang dapat berupa gejala psikologis tertentu sebagai suatu bentuk trauma yang menyebabkan korban tidak memiliki rasa percaya diri, reaksi somantik seperti jantung berdebar, menutup diri dari pergaulan dan memiliki konsep diri yang rendah. Meskipun belum banyak penelitian yang membahas mengenai pelatihan konsep diri terhadap penerimaan diri pada remaja korban pelecehan seksual, peran dari pelatihan konsep diri untuk meningkatkan penerimaan diri telah dibuktikan dengan penelitian-penelitian terkait sebelumnya. Heriyadi (2013) melakukan penelitian dengan judul “Meningkatkan Penerimaan Diri (Self Acceptance) Siswa Kelas VIII Melalui Konseling Realita di SMP Negeri 1 Bantarbolang Kabupaten Pemalang Tahun Ajaran 2012/2013”. Penelitian tersebut dilakukan dalam upaya
6
meningkatkan penerimaan diri pada remaja yang masih duduk di kelas VIII SMP. Pada penelitian tersebut proses peningkatan penerimaan diri dilakukan dengan metode konseling realita. Setelah dilakukan konseling realita, yaitu dengan membantu merencanakan apa yang harus dilakukan sesuai dengan tanggung jawab subjek terdapat peningkatan yang signifikan antara hasil pre-test dan posttest terkait tingkat penerimaan diri subjek. Peningkatan penerimaan diri subjek pada penelitian ini ditunjukkan dengan sikap subjek yang mampu merubah anggapan buruk tentang dirinya sendiri seperti perasaan tidak berguna, selain itu subjek bersikap lebih optimis dalam menatap masa depan. Handayani dkk (1998) melakukan penelitian pelatihan konsep diri dengan judul “Efektivitas Pelatihan Pengenalan Diri terhadap Peningkatan Penerimaan Diri dan Harga Diri”. Penelitian ini berupa pelatihan pengenalan diri kepada 34 mahasiswa yang terbagi menjadi kelompok kontrol dan kelompok perlakuan. Hasil dari pelatihan tersebut adalah terjadi peningkatan yang signifikan pada kelompok perlakuan dibandingkan dengan kelompok kontrol. Penelitian lain mengenai konsep diri juga dilakukan oleh Gumulya dan Widiatuti (2013) dengan judul “Pengaruh Konsep Diri terhadap Perilaku Konsumtif Mahasiswa Universitas Unggul”. Subjek dalam penelitian ini adalah mahasiswa dengan rentang usia 18 hingga 21 tahun berjumlah 164 orang. Penelitian ini dilakukan dengan instrumen kuesioner, hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa konsep diri akan mempengaruhi seseorang dalam pengambilan keputusan dan berperilaku. Hasil penelitian tersebut menjelaskan bahwa konsep diri akan mempengaruhi subjek
7
untuk berperilaku konsumtif terhadap barang-barang tertentu dengan anggapan dapat meningkatkan citra diri dari subjek. Konsep diri positif yang terbentuk dalam diri subjek akan membantu mengarahkan subjek untuk dapat menerima kelemahan dan mengoptimalkan kelebihan yang ada pada dirinya. Pembentukan konsep diri positif pada aspek kognitif ini bertujuan untuk mengganti keyakinan-keyakinan negatif pada diri subjek dan menggantikannya dengan keyakinan yang positif atau bersifat rasional. Individu yang mengetahui kelebihan dan kekuranganya dengan sikap positif dapat mengidentifikasi potensi yang dimiliki dan dapat digunakan untuk meningkatkan kehidupannya menjadi lebih baik. Konsep diri yang positif dapat meningkatkan sikap penerimaan diri seseorang untuk beradaptasi dengan lingkungannya agar tercapai kehidupan yang lebih baik. Sikap menerima diri sendiri juga termasuk dalam ciri kepribadian yang sehat. Seseorang dapat mengaktualisasi diri menuju kehidupan yang lebih baik karena konsep diri positif dan tingkat penerimaan diri yang tinggi. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk mengetahui adanya pengaruh pelatihan konsep diri terhadap peningkatan penerimaan diri pada remaja yang menjadi korban dari tindak pelecehan seksual. Pada penelitian ini peneliti menyusun suatu bentuk pelatihan konsep diri dan proses pembentukan ulang konsep diri pada aspek kognitif subjek. B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian di atas, maka masalah penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut: Apakah ada pengaruh pelatihan konsep diri terhadap tingkat penerimaan diri pada remaja korban pelecehan seksual?
8
C. Tujuan Penelitian Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh pelatihan konsep diri terhadap tingkat penerimaan diri pada remaja korban pelecehan seksual. D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dari segi teoritis maupun praktis yang dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan informasi bagi dunia akademis, khususnya di bidang Psikologi klinis dan bentuk pelatihan yang berfokus pada tema peningkatan penerimaan diri korban pelecehan seksual melalui pelatihan konsep diri. 2. Manfaat Praktis a. Bagi remaja korban pelecehan seksual Penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan penerimaan diri korban melalui pembentukan konsep diri yang lebih baik, guna mendorong korban yang mengalami pelecehan seksual agar terus dapat berjuang meraih citacita atau hidup yang lebih baik. b. Bagi cargiver korban pelecehan seksual Penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi bagi para care giver yaitu pihak keluarga mengenai penerimaan diri pada korban terkait dengan konsep diri yang terbentuk pada diri korban. Hal ini akan memudahkan care giver dalam mengambil langkah pendampingan selanjutnya dan
9
meningkatkan penerimaan diri pada korban sebagai bentuk kepribadian yang sehat. c. Bagi pihak yayasan Penelitian ini diharapkan dapat membantu yayasan dalam menyusun program pendampingan untuk korban pelecehan seksual sehingga tercipta suatu inovasi program dalam rangka meningkatkan penerimaan diri korban melalui penanaman konsep diri yang positif. d. Bagi pemerintah Penelitian
ini
diharapkan
mampu
memberikan
referensi
atau
pertimbangan untuk pemerinah dalam mengambil keputusan atau kebijakan dalam rengka pencegah dan menangani kasus pelecehan seksual yang terjadi. e. Bagi peneliti lain Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan penelitian atau referensi bagi peneliti lain yang akan melakukan penelitian selanjutnya yang
berkaitan
dengan
konsep
diri
dan
penerimaan
diri.
10