BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Internet merupakan kebutuhan dan bagian dari kehidupan sehari-hari saat ini, baik itu digunakan untuk media komunikasi, mencari berbagai informasi, melakukan bisnis, mencari hiburan dan lain sebagainya. Menurut data yang diperoleh secara real time dari Internet Live Stats (2016) jumlah pengguna internet di Indonesia mencapai lebih dari 48,7 juta pada bulan Maret tahun 2016 dan jumlah ini terus bertambah tiap waktu. Sebuah penelitian yang membandingkan penggunaan internet antara tahun 2003 dan 2009 oleh Wahid, Ramdhani dan Wiradhany (2014) menemukan bahwa rata-rata internet diakses lebih lama dari sebelumnya, lebih mudah dan semakin banyak ragam aktivitas internet. Internet di satu sisi memberikan banyak manfaat dan kemudahan dalam kehidupan sehari-hari, tetapi di sisi lain dapat memunculkan dampak negatif. Salah satu dampak negatif teknologi internet adalah kecanduan internet. Kecanduan internet ditandai dengan pengguna yang mempunyai pola perilaku penggunaan internet yang berlebihan, yakni empat puluh jam hingga delapan puluh jam per minggu dengan sesi yang dapat berlangsung hingga dua puluh jam, kompulsif dan berbeda dengan pengguna normal hingga berdampak pada permasalahan psikologis, sosial, akademik dan lainnya (Young & Abreu, 2011). Kecanduan internet ditemukan berkorelasi dengan berbagai permasalahan psikologis. Çardak (2013) dalam penelitiannya terhadap 479 mahasiswa menemukan mereka yang mempunyai tingkat kecanduan internet yang tinggi lebih mungkin memiliki kesejahteraan psikologi yang rendah. Wang, Jing, Yu, Jie, Jing dan Wenbin (2013) menemukan bahwa pengguna internet yang adiktif berhubungan dengan rendahnya kesejahteraan, harga diri dan kepuasan hidup yang rendah, serta depresi yang cenderung tinggi. Akin (2012) dalam penelitiannya menemukan bahwa kebahagiaan subjektif yang ditandai dengan kesenangan dan kepuasan, secara negatif berhubungan dengan 1
2 kecanduan internet. Kebahagiaan subjektif merupakan sebuah keadaan dari pikiran dan perasaaan yang dikarakteristikkan dengan kesenangan dan kepuasan secara negatif berhubungan dengan kecanduan internet. Dampak negatif kecanduan internet dengan kebahagiaan subjektif tampak sangat wajar, mengingat kebahagiaan subjektif berhubungan dengan kepuasan hubungan, emosi yang positif, persepsi kesejahteraan diri, kepuasan hidup dan self-enhancing bias. Kecanduan internet di lain pihak berkaitan dengan sejumlah variabel maladaptif seperti kecemasan, depresi, neurotisme, kesepian, harga diri dan kepuasan hidup yang rendah serta kesehatan mental yang buruk. Penelitian oleh AydÕna dan SarÕb (2011) menemukan bahwa penggunaan internet yang dependen secara langsung berhubungan dengan kesejahteraan psikologis. Kecanduan internet berkaitan dengan tingkat kesepian yang lebih tinggi, adaptasi dan ketrampilan sosial yang buruk dan mereka yang dengan tingkat kecemasan interaksi sosial yang paling tinggi menghabiskan paling banyak waktu online. Kecanduan Internet dalam banyak penelitian terbukti berkorelasi positif dengan kecemasan. Azher, Khan, Salim, Bilal, Hussain dan Haseeb (2014) melakukan penelitian untuk mengetahui hubungan antara kecanduan internet dan kecemasan pada 300 mahasiswa dari kelas master di universitas Sargodha, dengam menggunakan skala kecanduan internet dan skala kecamasan dari Beck sebagai alat penilaian untuk pengumpulan data. Hasil penelitian menunjukkan terdapat hubungan positif antara kecanduan internet dan kecemasan (γ = 0,308, p< 0,001). Penggunaan internet yang berlebihan membuat siswa kecanduan dan akibatnya menyebabkan kecemasan dan stress di kalangan penggunanya. Semakin tinggi tingkat kecanduan seseorang, maka semakin tinggi pula tingkat orang tersebut tertekan secara psikologis. Akin dan İskender (2011) juga menemukan jika depresi, kecemasan dan stres dapat diprediksi positif oleh kecanduan internet. Orang-orang cemas menggunakan internet untuk mengatasi kecemasan mereka, untuk melarikan diri dari pikiran-pikiran gelisah yang menyebabkan kecemasan dan akhirnya mencoba untuk menggantikan pikiran yang bergolak dengan atraksi dan hiburan yang ada di internet. Secara umum dapat dikatakan bahwa pengguna normal, yaitu orang
3 yang menggunakan internet moderat memiliki tingkat kecemasan yang lebih rendah dan tidak mengalami efek merusak dari penggunaan internet yang berlebihan (Jalalinejad, Ghasempoor, Ajdari & Sadeghigooghari, 2012). Mami dan Hatam-Zad (2014) meneliti hubungan antara kecanduan internet dengan keterampilan sosial dan prestasi sekolah pada 320 orang siswa SMA. Hasil penelitian mereka menemukan bahwa kecanduan internet berkorelasi negatif dengan keterampilan sosial dan prestasi akademik. Kecanduan internet merupakan prediktor yang baik untuk ketrampilan sosial dan pretasi akademik siswa, atau dengan kata lain keterampilan sosial dapat diprediksi dengan penggunaan internet yang berlebihan. Ketika tingkat kecanduan internet meningkat, tingkat keterampilan sosial berkurang dan siswa menjadi terisolasi. Selain itu hasil penelitian juga menemukan bahwa meningkatnya kecanduan internet berkorelasi dengan prestasi dan kinerja akademik yang rendah, dapat dikatakan hal ini terkait dengan tingkat drop-out sekolah. Penelitian lebih baru yang dilakukan oleh Nugraini (2015) menemukan bahwa terdapat hubungan antara kecanduan internet dan kesejahteraan psikologis yang dimediasi oleh ketrampilan sosial. Kecanduan internet dapat menurunkan kesejahteraan psikologis apabila ketrampilan sosial remaja rendah. Semakin tinggi tingkat kecanduan internet pada remaja maka semakin rendah tingkat kesejahteraan psikologis dan begitu juga sebaliknya semakin rendah kecanduan internet, semakin rendah tingkat kesejahteraan psikologis. Semakin tinggi tingkat kecanduan internet remaja, maka semakin rendah tingkat ketrampilan sosial pada remaja, dan sebaliknya semakin rendah tingkat kecanduan internet, maka semakin tinggi tingkat ketrampilan sosial pada remaja. Penelitian lebih baru lainnya oleh Wanandhi (2016) menemukan bahwa literasi digital dan kontrol diri dapat secara bersamaan atau silmutan memprediksi secara signifikan terhadap kecanduan internet. Literasi digital memprediksi tingginya kecanduan internet, semakin baik literasi digital seseorang semakin tinggi kecenderungannya untuk mengalami kecanduan internet. Kontrol diri juga dapat memprediksi rendahnya kecanduan internet, yang berarti semakin
tinggi
kemampuan
kontrol
diri
seseorang
kecenderungannya untuk mengalami kecanduan internet.
maka
semakin
rendah
4 Melihat banyaknya pengguna internet sekarang maupun proyeksi pada tahuntahun kedepan menjadi penting adanya studi mengenai psikologi internet guna memberikan pemahaman dan informasi mengenai dampak serta hubungan penggunaan internet dan psikologis. Greenfield (1999) melakukan survei kepada 17,251 pengguna internet dan 6% sesuai dengan profil kecanduan internet serta prevalensi lebih tinggi ditemukan pada populasi mahasiswa dari pada populasi umum. Penelitian oleh Kuss dkk. (2013) di Belanda pada 3.105 remaja menunjukkan bahwa 3,7% sampel diklasifikasikan berpotensi mengalami kecanduan internet. Penelitian oleh Wang dkk. (2013) pada 10.988 orang menemukan bahwa 7.5% atau (N=712) merupakan pecandu internet. Kecanduan internet pertama kali diteliti pada tahun 1996 oleh Young. Penelitian ini di dalamnya terdapat ulasan lebih dari 600 kasus pengguna berat internet. Sejak itu penelitian selanjutnya pada dekade terakhir telah meneliti berbagai aspek dari kecanduan internet (Young & Abreu, 2011). Penelitian mengenai kecanduan terdahulu telah menemukan faktor-faktor yang berhubungan dengan kacanduan internet antara lain sifat psikologi, harga diri dan sejumlah gangguan psikiatri (Gackenbach, 2007). Salah satu sifat psikologi yang banyak diteliti adalah terkait dengan gangguan ini adalah sensation seeking. Mei dan Liu (2012) menemukan bahwa sensation seeking berkorelasi signifikan dengan kecanduan internet. Hasil ini juga senada dengan penelitian oleh Mesgarani, Shafiee, Ahmad dan Fahimeh (2013). Sensation seeking adalah sebuah sifat yang didefinisikan oleh kebutuhan untuk sensasi dan pengalaman yang bervariasi, baru, kompleks dan keinginan untuk mengambil resiko fisik dan sosial demi mendapatkan pengalaman itu (Zuckerman, 1978). Tidak semua orang dengan tingkat sensation seeking yang tinggi mencari kesenangan dengan kegiatan ekstrim seperti mendaki gunung, balapan, menyelam dan sejenisnya, sebagian orang dengan tingkat sensation seeking yang tinggi lebih memilih kegiatan yang bervariasi dan tidak selalu berbahaya seperti menghadiri pertemuan kelompok-kelompok, pelatihan meditasi dan pengalaman-pengalaman baru lainnya (Schultz & Schultz, 2013). Sensation seeking yang tinggi memiliki kebutuhan pengalaman dan sensasi baru dan kompleks
5 dimana lingkungan internet memberi peluang dan kesempatan pemenuhan kebutuhan ini. Internet sering digunakan untuk mencari berbagai informasi baru, berkenalan dengan orang asing, mencari berbagai rangsangan dan sensasi memalui bermain peran memalui role playing game dan akses situs porno mengatasi bosan dengan konten didalamnya. Zuckerman(1978) medefinisikan prilaku ini sebagai sensation seeking. Penelitian oleh Bayens, Vandenbosch dan Eggermont (2015) menemukan kepribadian sensation seeking berkorelasi dengan mengakses situs pornografi pada remaja laki-laki. Remaja laki-laki dengan sensation seeking lebih sering mengunakan internet untuk mengakses situs porno. Weisskirch dan Murphy (2004) melakukan penelitian pada mahasiswa menemukan mereka dengan sensation seeking yang tinggi penggunaan internet untuk mengambil informasi terkait seks, mengunduh musik, bermain game, dan chatting/instant messaging. Hal ini menunjukkan bahwa internet dapat memberikan kegiatan sensation seeking yang intens. Sebagian aktivitas berinternet lebih terkait dengan perilaku internet yang adiktif dari pada yang lainnya. Penelitian Kormas dkk. (2011) menunjukkan mereka yang menggunakan internet untuk tujuan hiburan seperti penggunaan internet untuk keperluan mengakses situs porno, bermain game dan sosialisasi termasuk pengunaan chatroom lebih adiktif. Kuss, van Rooij, Shorter dan van de Mheen (2013) dalam penelitiannya menemukan penggunaan game online dan aplikasi sosial (jaringan sosial online dan twitter) meningkatkan resiko untuk kecanduan internet. Çiçekoğlu, Durualp dan Durualp (2014) yang menemukan bahwa mereka yang menggunakan internet untuk hiburan, game dan mengobrol memiliki tingkat kecanduan internet paling tinggi, sedangkan mereka yang menggunakan internet untuk pendidikan, pekerjaan dan memperoleh informasi memiliki tingkat kecanduan internet terendah. Aktivitas online adalah kegiatan atau layanan yang tersedia atau dilakukan dengan menggunakan internet atau jaringan komputer (Oxford University Press, 2016). Jenis aktivitas online dapat berupa membaca berita online, mencari informasi, browsing, blogging, e-shopping, internet banking, ticketing, mengunjungi situs porno, mendownload perangkat lunak atau, game online, menonton video, mengunggah
6 data, chatting, e-mailing, sosial media, diskusi dalam forum dan lain sebagainya (Wahid dkk. 2014). Jenis aktivitas online dipertimbangkan terkait kecanduan internet karena sebagian aktivitas online tertentu lebih terkait dengan kecanduan internet dari pada aktivitas online lainya. Perubahan internet yang dinamis dan munculnya aktivitas-aktivitas baru di internet yang tidak dikenal sebelumnya perlu adanya penelitian kembali mengenai aktivitas apa saja yang terkait dengan kecanduan internet saat ini. Penelitian ini akan fokus pada kepribadian sensation seeking dan jenis aktivitas online yang dihubungkan dengan kecanduan internet. Alasan dipilihnya variabel kepribadian yang dalam hal ini sensation seeking, karena internet di dalamnya terdiri dari berbagai macam kegiatan seperti chatting, sosial media, game, browsing, akses situs porno dan lain-lain, konsumsi internet cenderung sangat bervariasi dan hal ini kemungkinan merupakan fungsi dari kepribadian (Orchard & Fullwood, 2009). Widyanto dan Griffiths (2006) mengatakan orang tidak adiksi pada media internet tapi pada apa yang mereka terlibat didalamnya, oleh sebab itu penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran jenis aktivitas online sebagai mediator hubungan antara sensation seeking dengan kecanduan internet. Mengetahui tentang kepribadian dari mereka yang menyukai kegiatan spesifik online yang mana, dapat memberikan wawasan yang lebih baik faktor motivasi di balik penggunaan internet (Orchard & Fullwood, 2009).
B. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui peran jenis aktivitas online sebagai mediator hubungan antara sensation seeking dengan kecanduan internet.
C. Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini secara teoritis diharapkan dapat memperkaya penelitianpenelitian di bidang psikologi internet, serta memberikan informasi lebih banyak mengenai hubungan sensation seeking dengan kecanduan internet dan aktivitas berinternet pada mahasiswa. Hasil penelitian ini kemudian dapat menjadi bahan referensi maupun stimulus untuk penelitian psikologi internet selanjutnya.
7 Manfaat praktis dari penelitian ini adalah untuk memberikan informasi tambahan kepada terapis yang menangani masalah klien dengan kecanduan internet sebagai dasar informasi penanganan masalah kecanduan internet.