Bab I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang masalah
Gereja Kristen Protestan Indonesia atau yang sering disingkat dengan nama GKPI adalah salah satu dari sekian banyak gereja yang ada di dunia ini. Sebagai bagian dari “ Tubuh Kristus” tentunya gereja selalu dituntut untuk memberikan yang terbaik bagi anggota jemaat, dalam hal ini tanggung jawab dan pelayanan gereja itu sendiri. Suatu hal yang tidak dapat dipungkiri dan wajar apabila GKPI dan gereja-gereja lainnya dalam “kehidupannya” pasti akan mengalami pergumulan-pergumulan ataupun hambatanhambatan apapun itu bentuknya, baik dari dalam maupun dari luar gereja itu sendiri.
Pada dasarnya GKPI mempunyai tugas yang sama dengan gereja-gereja lain, yaitu untuk mengemban dan mewujudkan misi Yesus Kristus didalam pengutusannya. Dalam rangka memenuhi tugas panggilan tersebut, tentunya GKPI akan mengalami benturan-benturan. Salah satu dari benturan-benturan yang dimaksud adalah timbulnya perpecahan dalam tubuh GKPI sendiri, dimana perpecahan itu secara tidak langsung akan menjadi hambatan dalam melaksanakan tugas dan panggilan gereja.
Konflik dalam tubuh GKPI (1996-1999) memang sangat mengejutkan dan menyentuh hati seluruh warga jemaat GKPI pada khususnya dan orang Kristen pada umumnya. Di satu sisi, gereja seharusnya tidak sampai jatuh kepada konflik yang sampai menyebabkan perpecahan, apalagi itu terjadi didalam (intern) gereja itu sendiri. Akan tetapi disisi lain, konflik tersebut mengingatkan dan menyadarkan gereja akan tugas dan panggilannya ditengah-tengah masyarakat yang majemuk. Sehingga dalam hal ini, GKPI secara khusus dan gereja pada umumnya senantiasa berupaya untuk memperbaharui diri agar semakin mampu untuk mengemban misi sebagai gereja yang berjuang didalam dunia untuk mengemban Injil Yesus Kristus, sebagaimana yang telah dirumuskan dalam tata gereja GKPI1.
1
Pasal II tata gereja GKPI terkait dengan pengakuan dan tujuan
1
Gereja adalah Tubuh Kristus yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan, baik itu kesatuan sesama anggota jemaat (1 Korintus 12:12), dan kesatuan jemaat dengan Yesus Kristus (Efesus 1:22 ; Kolose 1:18)2. Karena sebenarnya didalam Kristus telah berakhir atau tidak dijumpai segala perbedaan yang memisahkan dan ikatan yang membelenggu. Sehingga kesatuan gereja sebagai Tubuh Kristus selain mengatasi kepelbagaian, juga merupakan “penampakan” dari tubuh Kristus.
Satu hal yang perlu di garis bawahi adalah bahwa kesatuan dan persekutuan gereja adalah bukan hasil olahan manusia, bukan ciptaan anggota jemaat itu sendiri, bukanlah milik pribadi atau golongan tertentu, bukan milik negara atau penguasa, akan tetapi gereja adalah milik Allah yang memanggil dan mengumpulkan umatNya.
B. Permasalahan
Gereja Kristen Protestan Indonesia (GKPI) berdiri pada tanggal 30 Agustus 1964 di Pematang Siantar, Sumatera Utara3. Dalam struktur organisasi, GKPI dipimpin oleh seorang Bishop sebagai pimpinan tertinggi dan dibantu oleh seorang Sekretaris Jenderal (Sekjen) sebagai wakilnya. Kedua pimpinan itu membawahi kepala-kepala Biro (Biro IIII), Majelis Pusat dan pendeta-pendeta yang berkedudukan di jemaat4. Dalam menjalankan tugasnya, Pimpinan Pusat bertanggung jawab sepenuhnya kepada Majelis Pusat, yang terdiri dari : kalangan pendeta dan warga jemaat biasa. Struktur ini mutlak berlaku dan diperbaharui dalam sinode Am XI 1993 di Medan, Sumatera Utara5.
Sebelum konflik ini terjadi, dalam kehidupan berjemaat di GKPI terdapat suatu istilah ataupun slogan yang berbunyi “Sabas na mar GKPI” artinya “alangkah nyaman/tenang berjemaat di GKPI”. Akan tetapi slogan dan kenyamanan itu terusik ketika pada tahun 1996 timbul awal perpecahan di tubuh GKPI. Konflik berawal pada saat Sinode Am Kerja (SAK) XIII GKPI di Medan, Sumatera Utara.
Sebagian peserta SAK pada saat itu menilai laporan pertanggung jawaban yang disampaikan oleh Bishop sebagai pimpinan pusat tidak mencerminkan keadaan GKPI 2
T.D.Becker, “Pedoman Dogmatik”, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1993, hlm.17 Pasal XII tata gereja GKPI,tentang sejarah berdirinya GKPI 4 Almanak GKPI, Kolportase Pusat GKPI, Pematang Siantar, hlm.323-326. 5 Sda. 3
2
yang sebenarnya. Sebagian besar tugas yang diembankan pada sinode sebelumnya (1993) tidak dilaporkan oleh Bishop. Disamping itu 20 anggota Majelis Pusat membuat pernyataan yang isinya bahwa Majeli Pusat tidak dapat bekerja sama dengan Bishop ; Sekjen mengucapkan pernyataan rela mengembalikan mandat, bila sinode menilai Sekjen tidak melaksanakan tugasnya dengan baik ; sedangkan kepala Biro III membuat pernyataan bahwa laporan Bishop tidak disusun bersama dengan staf Kantor Pusat6 .
Melihat keadaan yang seperti itu, maka para peserta sinode tidak menginginkan permasalahan-permasalahan di GKPI terus berlanjut. Para peserta sinode pada saat itu menginginkan perdamaian terwujud diantara Bishop di satu pihak dan Majelis Pusat, Sekjen, serta Kepala Biro III di pihak lain.
Sehingga rapat kelompok II Bidang Umum dalam rapatnya tanggal 8 Maret 1996 mengusulkan pembentukan Tim Sesepuh untuk mengupayakan perdamaian diantara Bishop dengan 20 anggota Majelis Pusat, Sekjen dan Kepala Biro III. Tim Sesepuh yang diusulkan beranggotakan 4 orang pendiri GKPI yaitu : Pdt. DR. Andar Lumbantobing, Pdt. Prof. DR. Sutan Hutagalung, St. Prof. Apul Panggabean dan St. DJ. P. Nainggolan. Usulan ini diterima oleh sebagian besar peserta sinode dan ditetapkan pada tanggal yang sama, 8 Maret 1996, oleh Pimpinan SAK XIII GKPI7.
Setelah waktu berselang tiga bulan, Tim Sesepuh telah melaksanakan rapat sebanyak tujuh kali. Dan hasil akhir dari pertemuan itu adalah pemberhentian Bishop R.M.G. Marbun S.Th dari jabatannya dengan hak pensiun penuh. Akan tetapi salah satu anggota Tim, yaitu St. DJ.P. Nainggolan tidak setuju pada keputusan pemberhentian Bishop R.M.G. Marbun S.Th8.
Untuk mengisi jabatan pimpinan yang lowong, maka Majelis Pusat dalam rapat tanggal 8 Juni 1996 dengan mengacu kepada PRT GKPI pasal 37 mengangkat dan menetapkan Sekjen M.S.E. Simorangkir S.Th menjadi Bishop dan sesuai dengan PRT GKPI pasal 40
6
Keputusan SAK XIII GKPI, No. 6/SA-XIII GKPI/ tentang : Umum. Bdk. Tanggapan dan Pernyataan Anggota Majelis Pusat GKPI terhadap Laporan Umum dan Keuangan, Kantor Pusat GKPI, P. Siantar, 1996. 7 Sda. 8 Keputusan Rapat Final, No. 7/5/1996/TS, Kantor Pusat GKPI, P. Sianatar, P. Siantar, 1996.
3
mengangkat dan menetapkan Pdt. P. Sipahutar M.Th, (ketua Badan Pekerja Rapat Pendeta, pada saat itu) sebagai Pjs. Sekjen.9.
Keputusan itu tidak diterima oleh Pdt. R.M.G. Marbun (Bishop yang diberhentikan). Sehingga pada tanggal 11-12 Juli 1996, Pdt. R.M.G Marbun melaksanakan rapat pendeta di GKPI Martoba Pematang Siantar. Rapat itu sendiri hanya dihadiri oleh hampir 50 % dari seluruh pendeta yang ada di GKPI. Rapat itu menghasilkan keputusan yang berisikan: ¾
Menolak keputusan Tim Sesepuh yang memensiunkan Ds.R.M.G. Marbun dari jabatan Bishop, mereka beranggapan bahwa keputusan itu adalah sepihak.
¾
Tidak mengakui rapat Majelis Pusat tanggal 8 Juni 1996 dan semua keputusan yang dihasilkan
¾
Pembebas tugasan M.S.E. Simorangkir, dan P. Sipahutar dari seluruh jabatannya di GKPI
¾
Pengisian kursi 20 anggota Majelis Pusat yang kosong, dan sebagainya10.
Sehingga dengan demikian tidak terelakkan adanya dualisme kepemimpinan didalam tubuh GKPI, dan secara otomatis para pendeta dan warga jemaat yang tergabung dalam wadah GKPI terbagi menjadi dua pihak, yang satu mendukung kepemimpinan Bishop R.M.G. Marbun, sedangkan pihak yang lain mendukung keputusan Tim Sesepuh dengan M.S.E. Simorangkir sebagai Bishop. Konflik inilah yang akan dicoba diangkat oleh penulis dalam skripsi ini. Dan pada pembahasan berikutnya, penulis akan menganalisa dan mencermati usaha-usaha rekonsiliasi yang pernah ditempuh sehingga konflik dapat mereda pada tahun 1999.
Dari pembahasan masalah ini, penulis berharap dapat menyumbangkan pemikiran bagi gereja dan jemaat ditengah-tengah tugas dan pelayanannya sebagai suatu kesatuan tubuh Kristus. Penulis melalui skripsi ini, berharap dapat menyumbangkan pemikiran bagi gereja sehingga gereja dapat semakin diperbaharui. Disamping itu melalui tulisan ini, penulis berharap gereja pada umumnya dan GKPI pada khususnya dapat memperbaharui sistem dan struktur organisasi gereja sehingga sistem dan struktur organisasi yang kurang 9
Suara GKPI, No. 07-08/1996, hlm. 13 (versi M.S.E. Simorangkir) Suara GKPI, No. 7-8 Thn 1996, hlm. 22-32. (versi R.M.G. Marbun).
10
4
baik dan dapat memicu konflik dapat dihindari. Lebih lanjut, penulis berharap GKPI yang mayoritas jemaatnya adalah suku Batak dapat semakin utuh dan bersatu oleh ikatan kekerabatan yang ada dalam masyarakat, sehingga GKPI tidak lagi larut dalam pertikaian-pertikaian yang umumnya hanya mendatangkan kerugian bagi jemaat dan gereja itu sendiri. Di sisi lain melalui tulisan ini, penulis berharap agar setiap konflik yang terjadi dalam tubuh gereja (termasuk GKPI) dapat diselesaikan dengan sebaikbaiknya tanpa meninggalkan benih-benih konflik yang baru, sehingga di masa depan konflik serupa dapat dihindari.
C. Judul
Berdasarkan yang telah diuraikan diatas, maka penulis mengajukan judul skripsi :
Konflik internal di Gereja Kristen Protestan Indonesia (GKPI) serta usaha perdamaian yang pernah ditempuh (1996-1999) (Suatu tinjauan Historis Teologis)
Alasan pemilihan judul : ¾ Karena permasalahan ini sangat menarik untuk dimunculkan kepermukaan, karena tidak tertutup kemungkinan gereja-gereja lain jatuh kepada konflik serupa ¾ Karena permasalahan ini masih baru, dalam arti belum ada yang membahasnya ¾ Penulis ingin menyumbangkan pemikiran teologis terkait dengan pengertian gereja sebagai kesatuan dari tubuh Kristus ¾ Supaya gereja lebih menyadari arti dan tugas panggilannya sebagai tubuh Kristus.
D. Metode Penulisan
Dalam membahas dan menguraikan masalah itu, penulis akan berusaha untuk melakukan pendekatan deskriptis analitis. Deskriptif artinya, bagaimana memaparkan data sejarah secara tertulis dan konkret, serta merupakan langkah awal yang harus dilakukan sebelum masuk dalam analisis. Oleh sebab itu penulis akan memaparkan situasi sejarah yang hendak dipahami dengan pendekatan-pendekatan seperti : pendekatan impresionistis, dengan mengumpulkann berbagai fakta akan situasi sejarah pada saat itu. Terkait dengan 5
pencarian fakta pada situasi masa itu, penulis mengajukan dua sumber, yaitu : sumber tertulis (literer) dan sumber tidak tertulis (wawancara).
Langkah-langkah yang telah disebutkan diatas
akan ditempuh guna memeperoleh
gambaran situasi yang sedang terjadi pada masa itu. Dengan mulai menunjukkan unsurunsur yang penting untuk memperjelas apa yang menjadi pokok persoalan yang akan di analisa.
E. Tujuan penulisan
Adapun tujuan dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut : ¾
Melalui tulisan ini, penulis ingin memberikan sumbangan data dan analisis sejarah kepada GKPI dan warga jemaatnya tentang peristiwa yang pernah dialami oleh GKPI dan memaparkan usaha rekonsiliasi yang pernah ditempuh dalam kurun waktu tahun 1996-1999.
¾
Melalui tulisan ini, penulis ingin memberikan suatu sumbangan pemikiran bagi gereja dan warga jemaatnya supaya memahami dan menyadari tugas dan panggilan gereja yang sebenarnya, yaitu : suatu kesatuan yang berdiri dan didasari oleh kehendak Kristus, dan supaya gereja dan warga jemaatnya juga menyadari bahwa gereja itu bukanlah “buatan” dan “milik” manusia tetapi adalah milik dan kepunyaan Allah.
¾
Sehingga dengan sumbangan pemikiran itu, diharapkan konflik-konflik serupa dapat di minimalisir bahkan kalau boleh tidak sampai terjadi lagi.
F. Sistematika penulisan
Bab I : Pendahuluan
Pada bagian pendahuluan ini, penulis akan menguraikan dan menjelaskan apa saja yang menjadi latar belakang masalah, permasalahan, judul yang diajukan, metode penulisan, tujuan penulisan, sistematika penulisan skripsi, dan hal-hal lain yang tekait dalam penulisan skripsi ini.
6
Bab II : Gambaran Umum tentang GKPI dan konflik yang terjadi tahun 1996-1999
Pada bagian ini, penulis akan berusaha menjelaskan secara terperinci tentang gambaran umum dari GKPI, hal ini terkait dengan sejarah berdirinya, struktur organisasi yang ada., mekanisme pelayanan dan hal-hal lain yang terkait dengan GKPI itu sendiri.
Bab III : Analisa terhadap konflik internal tahun 1996-1999
Dalam membahas bab ini, penulis akan menguraikan dan menjelaskan latar belakang terjadinya konflik, dampak yang ditimbulkan dan menganalisa usaha-usaha seputar rekonsiliasi yang terjadi dalam tubuh GKPI yang berlangsung pada tahun 1996-1999.
Bab IV : Tinjauan teologis
Pada bagian ini, penulis akan mencoba untuk meninjau konflik tersebut dalam perspektif teologis, terkait dengan gereja sebagai kesatuan tubuh Kristus. Untuk menjelaskan hal ini, penulis akan berusaha untuk membandingkannya dengan menafsirkan nats yang terdapat dalam Perjanjian Baru dan juga beberapa pemikiran tentang pola kepemimpinan gerejawi.
Bab V : Kesimpulan dan saran
Pada bagian ini, penulis akan berusaha untuk menyimpulkan dan mencoba untuk memberikan saran-saran yang terkait dengan konflik tersebut, sehingga sumbangan pemikiran ini dapat dijadika acuan oleh setiap gereja dalam kerangka berpikir untuk mewujudkan tugas panggilan gereja yang murni dan bertanggung jawab. Dan menyadari bahwa gereja merupakan kesatuan dari tubuh Kristus yang tidak dapat dipisahkan oleh hal apapun itu.
7