1
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah World Health Organization (WHO) (2009) menyatakan bahwa gizi yang cukup dan memadai selama masa pertumbuhan bayi dan masa awal anak-anak dipastikan sangat penting untuk menunjang pertumbuhan, kesehatan dan perkembangan anak-anak sehingga semua potensi yang dimiliki berkembang dengan maksimal. Gizi yang buruk meningkatkan risiko kesakitan dan merupakan penyebab secara langsung atau tidak langsung sepertiga dari 9,5 juta kematian pada balita pada tahun 2006. Gizi yang tidak seimbang juga merupakan penyebab dari kegemukan pada anak-anak yang akan menjadi masalah kesehatan di banyak negara. Kekurangan gizi pada awal pertumbuhan juga berhubungan dengan gangguan jangka panjang dalam pertumbuhan dan kesehatan. Malnutrisi pada 2 tahun pertama kehidupan menyebabkan kekerdilan yang akan menyebabkan pada saat dewasa akan lebih pendek dari tinggi yang seharusnya dapat dijangkau. Terbukti juga bahwa orang dewasa yang mengalami kurang gizi pada masa 2 tahun awal pertumbuhan akan terganggu performance intelektualnya. Kurang gizi juga menyebabkan penurunan kapasitas pekerjaan fisik. Jika seorang perempuan mengalami malnutrisi pada masa anak-anak, maka akan berpengaruh pada kapasitas reproduksinya, seperti bayi yang dilahirkan kemungkinan akan mengalami berat badan lahir rendah dan kemungkinan akan mengalami komplikasi persalinan. Menyusui dini dan menyusui eksklusif sangat dianjurkan sebagai upaya intervensi dalam penurunan kematian neonatus, bayi, anak dan juga sebagai dasar perkembangan dan pertumbuhan anak. Menyusui juga mempercepat penyembuhan ibu setelah melahirkan dan menurunkan insidens diabetes dan kanker (WHO, 2009). Clemens et al. (2009) dalam suatu studi kohort menemukan bahwa angka kejadian diare pada bayi yang disusui lebih awal sebesar 26% lebih rendah daripada bayi yang terlambat diinisiasi menyusu.
2
Berdasarkan hasil suatu intervensi lain diketahui bahwa pencapaian cakupan menyeluruh dari masa menyusui yang optimal akan mencegah 13% kejadian kematian pada balita. Edmond et al. (2007) dalam suatu studi kohort di Ghana menemukan bahwa inisiasi menyusui yang terlambat (setelah 1 hari) berhubungan dengan 2,6 kali lipat peningkatan risiko infeksi penyebab kematian pada neonatus. Berdasarkan paparan di atas, jelas bahwa menyusui sangat bermanfaat bagi kesehatan bayi, terutama mencegah kecacatan dan kematian yang disebabkan karena penyakit infeksi. Namun, efek jangka panjang dari pemberian ASI masih dipertanyakan. Hal ini terjawab dari suatu studi yang dilakukan WHO (2007) dengan metode review sistematis dan meta analisis mengenai efek jangka panjang dari ASI. Hasil studi tersebut secara signifikan membuktikan bahwa menyusui juga menguntungkan dalam jangka panjang. Individu yang pernah mendapat ASI ditemukan memiliki tekanan darah yang lebih rendah dan kadar kolesterol yang lebih rendah serta performance intelektual yang lebih tinggi. Lebih jauh lagi ditemukan bahwa prevalensi kegemukan dan diabetes tipe 2 pada individu yang pernah mendapat ASI lebih rendah dibandingkan dengan yang tidak mendapat ASI. Rekomendasi WHO dan Kementerian Kesehatan mengenai ASI eksklusif telah diimplementasikan dalam bentuk regulasi dan petunjuk teknis terkait dengan pelaksanaan program ASI eksklusif. Hingga saat ini tercatat beberapa peraturan yang terkait dengan pemberian ASI eksklusif, seperti Undangundang Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009, Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2012 tentang Pemberian Air Susu Ibu Eksklusif, Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nomor 03 Tahun 2010 tentang Penerapan Sepuluh Langkah Menuju Keberhasilan Menyusui dan berbagai peraturan teknis lainnya yang mengatur pemberian ASI eksklusif. Terdapat pula kelompok non pemerintah pendukung ASI eksklusif seperti Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia (AIMI), Perkumpulan Perinatologi Indonesia (Perinasia), Selasi (Sentra Laktasi Indonesia), dan kelompokkelompok pendukung ASI yang dibentuk di beberapa daerah. Kelompok pendukung ASI eksklusif tersebut bersinergi dengan pemerintah mendukung
3
pelaksanaan ASI eksklusif, seperti melaksanakan penelitian, advokasi, sosialisasi dan pelatihan mengenai ASI eksklusif. Namun, program ASI eksklusif masih belum dapat berjalan optimal seperti yang diharapkan. Data WHO (2009) menyebutkan bahwa pemberian ASI eksklusif secara menyeluruh hanya 34,8%. Adapun menurut data SDKI tahun 2012 pemberian ASI eksklusif di Indonesia cenderung menurun dengan bertambahnya usia bayi seperti dijelaskan pada Gambar 1 : 60 50 40 30 Prosentase ASI eksklusif 20 10 0 0-1
2-3
4-5
6-8
Sumber : SDKI 2012 Gambar 1 . Persentase pemberian ASI berdasarkan kelompok umur dalam bulan menurut SDKI tahun 2012 Lebih memprihatinkan, ditemukan bahwa 13% bayi di bawah 2 bulan telah diberi susu formula dan 1 dari 3 bayi usia 2-3 bulan telah diberi makanan tambahan (Basuki, 2009). Pencapaian cakupan ASI eksklusif terlihat semakin menurun dalam setiap periode pengumpulan data. Dibandingkan dengan data SDKI tahun 2002, terjadi penurunan pemberian ASI eksklusif dari 40% menjadi 32% pada SDKI 2007 dan 27% pada SDKI tahun 2012. Demikian pula halnya dengan kondisi pemberian ASI eksklusif di Kutai Kartanegara. Berdasarkan Profil Kesehatan Kutai Kartanegara, berturut-turut cakupan pemberian ASI eksklusif dari tahun 2008 sebesar 17,87%, 2009 sebesar 10,33% dan 2010 sebesar 5,47% terlihat masih jauh di bawah target sebesar 80%, bahkan cenderung menurun seperti pada Gambar 2 berikut :
4
90,00 80,00 70,00 60,00 50,00 40,00 30,00 20,00 10,00 0,00 tahun 2008
tahun 2009
tahun 2010
Target
Sumber: Profil Kesehatan Kutai Kartanegara tahun 2008, 2009, 2010
Gambar 2. Persentase cakupan ASI eksklusif Kutai Kartanegara tahun 2008, 2009, 2010 Data pada gambar di atas dapat dilihat lebih detail lagi per puskesmas di Kabupaten Kutai Kartanegara pada Tabel 1. Pada tabel
tersebut terlihat
bahwa cakupan ASI eksklusif masih sangat rendah, bahkan di beberapa Puskesmas tidak ada datanya sama sekali. Hal ini menunjukkan bahwa pencapaian ASI eksklusif masih belum dianggap sebagai program prioritas, padahal indikator ASI eksklusif merupakan indikator penting penurunan angka kematian bayi yang merupakan salah satu indikator pencapaian MDG’s tahun 2015. Untuk lebih lengkap lagi dapat dilihat pada Tabel 1 berikut :
5
Tabel 1 Cakupan pemberian ASI eksklusif per Puskesmas Kabupaten Kutai Kartanegara tahun 2008, 2009 dan 2010 No.
Puskesmas
Cakupan ASI Eksklusif 2008 N
2009
2010
%
N
%
N
%
1.
Muara Muntai
172
52.44
169
70.42
-
-
2.
Loa Kulu
102
13.14
64
11.31
83
11.32
3.
Loa Janan
60
18.69
-
-
-
-
4.
Loa Duri
24
22.86
-
-
-
-
5.
Batuah
64
9.48
-
-
-
-
6.
Sungai Mariam
-
-
-
-
-
-
7.
Muara Badak
304
95.30
95
25.27
56
11.20
8.
Badak Baru
118
37.70
51
27.27
70
22.80
9.
Mangkurawang
72
15.29
301
59.1
-
-
10.
Rapak Mahang
120
18.90
-
-
2
0.33
11.
Loa Ipuh
132
22.96
38
10.76
-
-
12.
Sebulu I
58
8.75
-
-
-
-
13.
Sebulu II
-
-
-
-
-
-
14.
Kota Bangun
68
14.62
-
-
99
22.81
15.
Rimba Ayu
8
3.29
-
-
84
36.52
16.
Kahala
-
-
-
-
9
3.47
17.
Kembang Janggut
-
-
-
-
-
-
18.
Muara Kaman
36
3.89
-
-
-
-
19.
Tabang
83
72.17
22
27.85
45
36.29
20.
Ritan
-
-
-
-
-
-
21.
Samboja
155
33.35
155
38.18
43
15.64
22.
Handil Baru
118
42.29
-
-
97
20.55
23.
Sungai Merdeka
-
-
-
-
29
8.63
24.
Muara Jawa
118
21.57
42
8.32
-
-
25.
Sanga sanga
54
24.11
-
-
-
-
26.
Teluk Dalam
-
-
-
-
-
-
27.
Separi III
-
-
-
-
-
-
28.
Marangkayu
60
13.36
-
-
55
16.87
29.
Prangat Baru
-
-
-
-
-
-
30.
Muara Wis
129
77.71
38
18.10
-
-
TOTAL
2,055
17.87
975
10.33
672
5.47
Sumber : Profil kesehatan Kutai Kartanegara tahun 2008, 2009, 2010
Berdasarkan data-data di atas, diketahui bahwa pencapaian ASI eksklusif masih merupakan permasalahan kesehatan yang dihadapi
di Kutai
6
Kartanegara. Dalam merencanakan intervensi program kesehatan dari permasalahan yang ditemukan, ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mengubah perilaku, antara lain melalui pengetahuan, sikap, keterampilan dan praktik dengan target intervensi pada individu, interpersonal, masyarakat, organisasi maupun pemerintah. Setiap tingkatan target intervensi akan menggunakan metode pendekatan yang berbeda, baik berupa pendidikan, pelatihan, konseling, konsultasi, perubahan sosial, perubahan organisasi, maupun gerakan politik. Titik kritis penerapan teori adalah yang efektif berlaku pada tingkat individu. Metode konseling adalah pendekatan yang tepat dipergunakan dalam promosi kesehatan pada tingkat individu. Konseling adalah proses membantu individu untuk mempelajari bagaimana mencapai pertumbuhan individu, meningkatkan hubungan interpersonal, mengatasi masalah, membuat keputusan dan mengubah perilaku (Simon-Morton, et al., 1995). Scott et al. (2006) berpendapat bahwa lamanya menyusui secara positif berhubungan dengan sikap ibu menyusui. Pada ibu melahirkan, sejak masih berada di rumah sakit seharusnya memiliki panduan mengenai cara mencegah dan menangani kesulitan yang dihadapi pada saat menyusui. Faktor-faktor positif yang dapat mempengaruhi lamanya menyusui dikelompokkan dalam beberapa kategori, yaitu faktor sosio demografik, faktor biofisik dan faktor psikososial. Faktor sosio demografik merupakan faktor yang tidak dapat diperbaiki dengan suatu intervensi. Adapun faktor biofisik dan psikososial merupakan faktor yang dapat diperbaiki dengan suatu intervensi, baik dengan pendidikan kesehatan maupun penyuluhan yang dapat dilakukan pada saat hamil ataupun masa menyusui. Faktor sosio demografik ini diteliti oleh Suyanto (2008) yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara karakteristik ibu yang meliputi umur, pendidikan, penghasilan, dan pekerjaan terhadap perilaku pemberian ASI eksklusif. Dari 7 variabel yang diteliti dan dianalisis, hanya 1 variabel yang berkorelasi terhadap pemberian ASI eksklusif yaitu variabel pengetahuan.
7
Menurut Meedya, et al. (2010), faktor niat untuk menyusui, kepercayaan diri ibu dan dukungan sosial merupakan hal penting agar ASI eksklusif dapat berlangsung dan ketiga hal tersebut harus dilakukan secara bersama-sama untuk mendapatkan hasil yang lebih baik. Cara yang paling baik untuk dilakukan adalah dengan melakukan pendidikan kesehatan pada saat pemeriksaan kehamilan dan dilanjutkan selama 6 bulan setelah melahirkan dan masa penyapihan. Untuk mendukung kesuksesan menyusui sejak bayi dilahirkan dan mengatasi kesulitan yang muncul pada saat menyusui maka ibu memerlukan bantuan yang sesuai, baik mengenai keterampilan maupun manajemen menyusui. Dukungan dan konseling harus dilakukan secara rutin selama masa kehamilan untuk mempersiapkan ibu pada saat melahirkan dan insiasi dini menyusui serta periode setelah melahirkan untuk memastikan bahwa menyusui terlaksana dengan baik. Ibu dan pengasuh bayi yang tidak mengetahui mengenai menyusui memerlukan konseling dan dukungan sebagai alternatif dalam usaha menyusui bayi (WHO, 2009). Studi yang dilakukan oleh Dhandapany, et al. (2008) menemukan bahwa kelompok yang mendapatkan konseling memiliki kesadaran yang lebih baik mengenai menyusui dibandingkan dengan kelompok yang tidak mendapatkan konseling. Media cetak dan audiovisual ternyata tidak cukup untuk membuat perilaku untuk menyusui eksklusif lebih baik. Petugas kesehatan harus berusaha dan melakukan tatap muka secara langsung untuk memberikan informasi yang akurat dan menjelaskan konsep yang salah mengenai ASI eksklusif yang terjadi di antara ibu-ibu hamil. Untuk menjadikan program konseling tersebut lebih baik, tenaga kesehatan juga memerlukan pendidikan dan pelatihan untuk mendukung secara teknis dan manajemen program ASI eksklusif. Sejalan dengan penelitian yang dilakukan Yoesvita (2008), Soelistyowati (2006), dan Sriprahastuti (2008) mengenai penggunaan metode konseling. Semua penelitian tersebut menunjukkan bahwa metode konseling efektif untuk mengubah pengetahuan dan sikap. Hal ini sejalan pula dengan program Kementerian Kesehatan, yaitu untuk mencapai pemanfaatan pemberian ASI eksklusif secara optimal, tenaga kesehatan dan penyelenggara
8
fasilitas pelayanan kesehatan wajib memberikan informasi dan edukasi mengenai ASI eksklusif kepada ibu dan/atau anggota keluarga dari bayi yang bersangkutan sejak pemeriksaan kehamilan sampai dengan periode pemberian ASI eksklusif selesai. Pemberian informasi dan edukasi ASI eksklusif dapat dilakukan melalui penyuluhan, konseling dan pendampingan oleh tenaga yang terlatih. Dengan demikian, hal yang menjadi pertimbangan dalam pemilihan permasalahan adalah karena program ASI eksklusif memang masih jauh di bawah target pencapaian yang seharusnya, bahkan cenderung mengalami penurunan dari setiap periode pengumpulan data. Padahal, seperti telah diketahui bahwa pemberian ASI eksklusif sangat bermanfaat baik bagi bayi maupun ibu. Untuk itu, diperlukan penguatan-penguatan dalam pelaksanaan program ASI eksklusif dan berdasarkan teori serta penelitian yang ada, maka metode konseling yang merupakan intervensi pada tingkat individu. terbukti secara bermakna dapat meningkatkan kesadaran untuk menyusui eksklusif (Dhandapany, et al., 2008), serta menyusui secara eksklusif pada periode neonatal (Bhutta & Labbock, 2011). Menurut Simon-Morton, et al. (1995) pengetahuan,
persepsi,
sikap,
nilai,
kepercayaan,
keterampilan
dan
pengalaman adalah faktor-faktor yang secara sebab akibat berhubungan dengan perubahan perilaku atau disebut sebagai mediator. Mediator sangat penting karena dapat mengubah perilaku secara baik dan benar. Oleh karena itu, variabel yang diteliti berhubungan dengan mediator-mediator tersebut yaitu pengetahuan, sikap, persepsi, niat dan perilaku yang merupakan variabel yang dapat diintervensi. Dalam penelitian ini, dasar paradigma yang dipergunakan adalah ilmu perilaku dan promosi kesehatan. Lokasi penelitian pada puskesmas yang memiliki cakupan ASI eksklusif yang cenderung menurun dari tahun 2008 hingga tahun 2010 dan memiliki cakupan terendah pada tahun 2010. Sesuai dengan tujuan penelitian yaitu untuk melihat sebab akibat dari intervensi berupa konseling menyusui terhadap perubahan pengetahuan, sikap, persepsi kontrol perilaku, niat dan perilaku, disain penelitian yang paling kuat adalah dengan eksperimental, sehingga untuk
9
penelitian ini dilakukan dengan metode quasi experimental karena responden tidak dipilih secara acak namun dipilih dengan metode purposive sampling.
B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas rumusan permasalahan yang diteliti adalah:
“Apakah konseling menyusui secara efektif dapat
meningkatkan pengetahuan, sikap, persepsi kontrol perilaku, niat dan perilaku ibu untuk memberikan ASI eksklusif?” C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan umum Untuk
menguji
efektivitas
konseling
menyusui
terhadap
peningkatan pengetahuan, sikap, persepsi kontrol perilaku, niat dan perilaku ibu untuk memberikan ASI eksklusif 2. Tujuan khusus a. Menguji peningkatan pengetahuan ibu hamil tentang ASI eksklusif melalui konseling menyusui. b. Menguji peningkatan sikap ibu hamil tentang ASI eksklusif melalui konseling menyusui c. Menguji peningkatan persepsi kontrol perilaku terhadap ASI eksklusif melalui konseling menyusui. d. Menguji peningkatan niat ibu hamil untuk memberikan ASI eksklusif melalui konseling menyusui e. Menguji perilaku ibu pada saat seminggu setelah melahirkan untuk memberikan ASI eksklusif melalui konseling menyusui. D. Manfaat Penelitian 1. Sebagai upaya pengembangan ilmu pengetahuan terutama ilmu perilaku dan promosi kesehatan. 2. Sebagai bahan kajian dalam penelitian mengenai pemberian ASI eksklusif. 3. Sebagai bahan evaluasi dalam program pemberian ASI eksklusif.
10
4. Sebagai bahan dalam perencanaan program promosi kesehatan yang terkait dengan ASI eksklusif. E. Keaslian Penelitian Penelitian sebelumnya yang berkaitan dengan penelitian yang dilakukan ini antara lain adalah: 1. Yoesvita, 2008 meneliti promosi kesehatan dengan konseling dan penyuluhan ASI eksklusif pada ibu menyusui di Kecamatan Darul Imarah Kabupaten Aceh Besar. Persamaan dengan penelitian yang dilakukan adalah mengenai ASI eksklusif dan rancangan penelitian dengan kuasi eksperimen. Perbedaan penelitian adalah penelitian tersebut tidak menggunakan kelompok kontrol, sedangkan penelitian yang dilakukan ini dengan menggunakan kelompok kontrol. Perbedaan lain pada populasi, yaitu penelitian tersebut populasinya adalah ibu menyusui, sedangkan penelitian yang ini populasinya adalah ibu hamil. Tenaga yang melakukan konseling adalah tenaga yang tidak dilatih khusus sedangkan penelitian ini menggunakan tenaga konselor yang telah dilatih sesuai dengan standar WHO. Hasil penelitian tersebut menunjukkan ada perbedaan pengetahuan mengenai pemberian ASI eksklusif antara sebelum dan sesudah dilakukan promosi kesehatan. Ada perbedaan sikap pemberian ASI eksklusif sebelum dan sesudah konseling, tetapi tidak ada perbedaan sebelum dan sesudah penyuluhan. Tidak ada perbedaan antara pemberian promosi kesehatan mengenai ASI eksklusif dengan metode konseling maupun penyuluhan. 2. Soelistyowati, 2006 meneliti pengaruh konseling individu terhadap tingkat kecemasan pasien prabedah di RSU Dr. Soetomo Surabaya. Persamaan dengan penelitian ini dilakukan adalah menggunakan metode intervensi berupa konseling dengan rancangan kuasi eksperimen dengan pre- post test dengan kelompok kontrol. Perbedaannya adalah pada fokus penelitian, yaitu tingkat kecemasan pada pasien prabedah, sedangkan penelitian ini berfokus pada ibu hamil yang akan memberikan ASI eksklusif. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa pasien yang mendapat konseling
11
individu memiliki tingkat kecemasan yang lebih rendah daripada pasien yang tidak mendapat konseling individu. 3. Suyanto, 2008 meneliti faktor yang mempengaruhi perilaku ibu dalam memberikan ASI eksklusif di Kota Tanjung Pinang. Persamaan dengan penelitian ini adalah mengenai ASI eksklusif. Perbedaan dengan penelitian pada penggunaan rancangan penelitian, yaitu menggunakan cross sectional, sedangkan penelitian ini dilakukan menggunakan rancangan kuasi eksperimen. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara karakteristik ibu (umur, pendidikan, penghasilan dan pekerjaan) dengan perilaku pemberian ASI eksklusif. Demikian pula dengan dukungan keluarga dan pekerja kesehatan tidak mempunyai korelasi dengan pemberian ASI eksklusif. Dari 7 variabel yang dianalisis, hanya 1 variabel yang berkorelasi dengan pemberian ASI eksklusif, yaitu variabel pengetahuan. 4. Sriprahastuti, 2008 meneliti efektivitas konseling dan pendidik sebaya untuk meningkatkan pengetahuan, sikap dan perilaku dalam pencegahan anemia di Kabupaten Subang. Persamaan dengan penelitian ini adalah pada metode penelitian, yaitu menggunakan kuasi ekperimen dengan rancangan pre-post test dengan menggunakan kelompok kontrol. Perbedaan dengan penelitian ini yaitu pada metode. Penelitian tersebut menggunakan intervensi dengan konseling dan pendidik sebaya, sedangkan pada penelitian ini menggunakan metode intervensi hanya berupa konseling yang dilakukan oleh konselor yang telah dilatih sesuai dengan standar WHO. Perbedaan lain adalah penggunaan teori, yaitu berdasarkan teori PRECEDE-PROCEDE (Green, et al., 1980), sedangkan pada penelitian ini menggunakan kombinasi teori Cognitive Consistency Theory dan Theory of Planned Behavior. Selain itu, penelitian tersebut untuk melihat peningkatan pengetahuan, sikap dan perilaku dari intervensi yang dilakukan, sedangkan penelitian ini untuk melihat peningkatan pengetahuan, sikap, niat dan perilaku. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa konseling dan pendidik sebaya secara efektif terbukti
12
dapat meningkatkan pengetahuan dan sikap, tetapi tidak terbukti dapat meningkatkan perilaku pada pencegahan anemia. 5. Dhandapany, et al. 2008 meneliti konseling menyusui pada saat pemeriksaan kehamilan di Pondicherry, India. Persamaan dengan penelitian ini adalah pemberian konseling pada saat kunjungan kehamilan. Penelitian tersebut menggunakan metode deskriptif sedangkan penelitian ini dengan kuasi eksperimen. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa kesadaran yang berhubungan dengan menyusui lebih baik pada kelompok yang mendapat konseling dibandingkan dengan kelompok yang tidak mendapat konseling. Namun, hal tersebut tidak signifikan dalam hal kemampuan melakukan teknik menyusi yang benar dan konsep untuk terus menyusui bayinya meskipun dalam keadaan sakit antara kelompok yang mendapat konseling dan kelompok yang tidak mendapat konseling.