1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Penelitian ini dimulai dari observasi lapangan berupa wawancara dengan Wakasek SMPN 8 Malang (Bapak Darmo, S.Pd) pada tanggal 19 November 2008. Informasi yang diperoleh bahwa SMPN 8 Malang sudah menggunakan kurikulum KTSP pada semua tingkatan kelas. Pembelajaran IPA dilaksanakan dengan model IPA terpadu dalam pengertian IPA diajarkan oleh seorang guru, namun demikian secara isi, fisika, biologi dan kimia masih diajarkan secara sendiri-sendiri. SMPN 8 menggunakan moving class. Wawancara yang kedua dilakukan dengan guru IPA kelas VIII A SMPN 8 Malang (Ibu Riyati, S.Pd) yang dalam penelitian ini berperan sebagai guru mitra. Informasi yang diperoleh bahwa ketika mengajar fisika guru menggunakan langkah-langkah pembelajaran sebagai berikut. Guru menjelaskan materi, siswa mendengarkan; guru mencatat ringkasan materi di papan tulis, siswa mencatat; guru memberi contoh soal hitungan, siswa menyalin; dan guru memberi tugas, siswa mengerjakan LKS. Jika tugas mengerjakan LKS tidak selesai, tugas itu dijadikan PR untuk diperiksa pada pertemuan berikutnya. Metode demonstrasi sesekali dilakukan untuk memperkuat penjelasan materi. Metode eksperimen tidak selalu bisa dilakukan. Alasannya, SMP VIII hanya memiliki satu ruang laboratorium dan kelas VIII A hanya mendapat jatah di laboratorium seminggu 1 kali pertemuan (2 jam pelajaran) diantara 3 kali pertemuan ( 6 jam pelajaran). Guru berpendapat bahwa pelaksanaan metode eksperimen secara terus menerus banyak menemui kendala. Kendala itu adalah terbatasnya penggunaan ruang laboratorium. Kendala lainnya adalah anggapan guru bahwa metode eksperimen menghabiskan waktu sehingga khawatir materi tidak terselesaikan. Tidak selesainya materi dalam satu semester akan berpengaruh pada penumpukan materi di semester berikutnya. Hal ini akan menambah beban belajar siswa. Beban materi yang terlalu berat akan mengganggu kesuksesan siswa dalam menempuh ujian akhir semester untuk penentuan kenaikan kelas. Intinya guru masih dominan menggunakan pendekatan produk 1 daripada pendekatan proses, karena guru menganggap bahwa siswa yang sukses
2
menempuh UNAS adalah sasaran akhir pembelajaran dan sekaligus harapan orangtua murid. Menurut guru mitra, hambatan yang ditemui dalam meningkatkan kualitas pembelajaran IPA adalah terbatasnya buku pegangan siswa, terbatasnya ruang laboratorium dan waktu yang terbuang akibat perpindahan siswa ketika moving class. Hambatan-hambatan itu menyebabkan guru tidak bisa bebas memilih metode pembelajaran yang sesuai dengan materi pelajaran. Obervasi dilanjutkan dengan mengamati langsung pembelajaran yaitu pada hari Kamis, tanggal 24 November 2008 di kelas VIII A. Siswa sedang belajar IPA (fisika) topik usaha dan energi. Guru telah memilih metode pembelajaran yang mengarah pada pemberdayaan siswa. Guru membagi siswa dalam kelompok-kelompok untuk menunjang pembelajaran kooperatif. Guru memilih metode eksperimen dengan panduan LKS. Dalam pelaksanaannya ternyata masih terdapat masalah-masalah yang menghambat tercapainya tujuan pembelajaran. Setelah alat dibagikan, untuk beberapa lama siswa tampak tidak melakukan aktivitas apapun. Siswa kurang mampu memahami petunjuk praktikum yang ada di LKS. Siswa juga kurang terampil dalam merangkai alat dan menggunakan alat ukur. Beberapa kelompok yang mulai bekerja, pekerjaan hanya didominasi oleh satu atau dua orang siswa saja. Sementara itu beberapa siswa yang lain tampak kurang antusias. Sebagian diantara mereka hanya diam dan pasif, bahkan ada beberapa siswa yang memain-mainkan alat praktikum. Akibatnya guru sering memberikan peringatan agar siswa lebih bersemangat dan serius dalam mengerjakan praktikum. Adanya peringatan-peringatan itu menyebabkan suasana belajar siswa cenderung tegang. Guru juga sering memberikan instruksi di tengah-tengah siswa melakukan kegiatan untuk meluruskan langkah-langkah kegiatan praktikum. Pada akhir kegiatan pembelajaran, guru meminta kelompok membacakan jawaban atas pertanyaan yang ada di LKS. Selanjutnya guru menjelaskan teori fisika yang berkaitan dengan usaha dan energi sekaligus menarik kesimpulan. Gambaran suasana belajar di atas menunjukkan bahwa siswa kurang termotivasi dalam belajar. Kemampuan psikomotorik siswa berkenaan dengan pelaksanaan praktikum juga masih perlu ditingkatkan.
3
Selanjutnya peneliti menggali data prestasi siswa VIIIA. Data prestasi siswa yang berhasil diperoleh adalah data hasil ulangan umum. Peneliti berkesempatan mengoreksi ulangan umum IPA semester satu tahun pelajaran 2008/2009 . Data selengkapnya yang diperoleh adalah sebagai berikut. Jumlah soal IPA sebanyak 40 item, terdiri atas 20 soal fisika dan 20 soal biologi. Bentuk soal pilihan ganda dengan 4 option. Nilai tertinggi 52,5, nilai terendah 25,0 dan nilai rata-rata 33,25. Ditinjau dari KKM SMP 8 yaitu 75,0 prestasi belajar di atas kurang memuaskan. Prestasi belajar siswa selama proses pembelajaran kurang memuaskan. Hal itu tercermin dari tidak tercapainya tujuan pembelajaran oleh siswa. Berdasarkan hasil tes lisan pada akhir pembelajaran, hanya sebagian kecil siswa yang mengacungkan tangan untuk menjawab pertanyaan. Sebagai pelengkap observasi awal, peneliti membagikan angket dan melakukan wawancara dengan beberapa siswa. Berdasarkan anket diperoleh data bahwa 60,5 % siswa menyenangi pelajaran fisika. Sebanyak 82,3 % siswa menginginkan fisika diajarkan secara eksperimen dan hanya 56,7 % siswa menyukai fisika diajarkan dengan metode ceramah. Berdasar wawancara dengan beberapa siswa diperoleh informasi bahwa sebenarnya siswa menginnginkan suasana belajar fisika yang tidak terlalu tegang. Mereka ingin guru memberikan selingan cerita atau humor. Mereka juga mengungkapkan bahwa selama ini pelajaran fisika lebih sering diajarkan dengan diterangkan kemudian mengisi titiktitik pada LKS, sementara itu praktikum dilakukan dengan frekuensi yang terbatas. Berdasar wawancara ini terungkap pula bahwa siswa rata-rata hanya memiliki satu buku fisika yaitu LKS. Mayoritas siswa tidak memiliki buku paket atau buku referensi lain. Apabila diperlukan buku paket, siswa meminjam diperpustakaan saat pembelajaran berlangsung dan dikembalikan begitu pelajaran selesai. IPA(Fisika) meliputi dua hal yaitu IPA(fisika) sebagai produk dan IPA (Fisika) sebagai proses. Produk IPA(Fisika) terdiri atas fakta, konsep, prinsip, prosedur, teori, hukum dan postulat. Ditinjau dari proses dimaksudkan segala kegiatan yang dilakukan dan sikap yang dimiliki para ilmuwan untuk menghasilkan produk IPA (Wartono, 2002:131). Fakta yang diperoleh dari observasi di SMP 8 kelas VIIIA di atas semakin menguatkan bahwa
4
pembelajaran IPA masih didominasi oleh faham objektivisme. Faham objektivisme menitikberatkan hasil pembelajaran pada penguasaan produk pengetahuan sehingga pembelajaran semata-mata bertujuan siswa mengingat informasi faktual. (Nurhadi, 2003:33). Guru yang baik adalah guru yang bisa memotivasi siswa dalam pembelajarannya. Motivasi belajar yang tinggi berpengaruh pada peningkatan prestasi belajar. Pembelajaran IPA (Fisika) yang baik adalah bila dilakukan sebagaimana IPA itu ditemukan (Depdiknas, 2005:4). Sebagaimana faham konstruktivisme yang menyarankan bahwa strategi memperoleh pengetahuan (proses) lebih diutamakan dibandingkan seberapa banyak siswa memperoleh dan mengingat pengetahuan. (produk). Oleh karena itu tugas guru adalah memfasilitasi proses tersebut dengan cara 1) menjadikan pengetahuan bermakna dan relevan bagi siswa, 2) memberi kesempatan siswa menemukan dan menerapkan idenya sendiri, dan 3) menyadarkan siswa agar menerapkan strategi mereka sendiri dalam belajar (Nurhadi, 2003:33). Kesenjangan antara situasi dan kondisi pembelajaran di SMP 8 dan kondisi ideal pembelajaran IPA menimbulkan beberapa masalah pembelajaran yang harus segera dicai solusinya. Masalah itu yang pertama adalah rendahnya prestasi belajar siswa. Masalah yang kedua adalah rendahnya aktivitas belajar siswa dan masalah yang ketiga adalah rendahnya motivasi belajar siswa. Guru sebenarnya sudah berusaha untuk mengatasi masalah itu. Apa yang telah dilakukan oleh guru dalam pembelajaran yaitu dengan metode eksperimen sebenarnya sudah sesuai dengan keinginan siswa. Namun demikian penggunaan ruang kelas regular untuk kegiatan praktikum dengan jumlah siswa sebanyak 44 anak, membatasi guru dalam melakukan pembimbingan pada tiap-tiap kelompok. Gerak guru terhalang oleh meja dan kursi siswa sehingga guru sulit menjangkau kelompok-kelompok yang ada di belakang. Petunjuk praktikum yang digunakan guru adalah LKS produk MGMP yang diberlakukan di seluruh sekolah di Kota Malang. Penggunaan LKS bersama sedikit menimbulkan masalah. Karakteristik sekolah yang satu dengan sekolah yang lain tentu tidak seratus persen sama. Fasilitas belajar mengajar tentu ada perbedaan. Karakteristik siswanya juga berbeda. Sehingga kalau digunakan LKS yang seragam akan menimbulkan permasalahan di tingkat mikro, yaitu di kelas itu sendiri. Keseragaman LKS
5
menyebabkan guru tidak bisa leluasa memilih dan menggunakan metode yang tepat bagi siswa SMP 8, khususnya siswa kelas VIII A. Keterbatasan ruangan dan LKS tersebut menyebabkan kegiatan praktikum tidak bisa berjalan dengan lancar sehingga meskipun metodenya praktikum tetapi hakekatnya pembelajaran berlangsung secara sentralistik. Dominasi pembelajaran masih lebih berat ke guru dari pada ke siswa. Rendahnya motivasi dan prestasi belajar siswa diatasi dengan menawarkan metode belajar berbasis konstruktivistik dengan model belajar Siklus Belajar (Learning Cycle). Salah satu metode pelajaran yang dapat meningkatkan motivasi dan prestasi belajar siswa adalah metode konstruktivistik (Rahmawati, Erly, 2005:57). Siklus belajar sains (Science Learning Cycle) menurut Martin merupakan salah satu metode pembelajaran sains yang konstruktivistik selain scientific eksperimental methods, Suchman’s Inquiry dan Playful Science (Martin, 1977:303). Siklus belajar (learning cycle) mempunyai tahapan sebagai berikut: (1) kegiatan awal (eksplorasi) meliputi penggalian pengetahuan awal dan eksplorasi fenomena, (2) kegiatan inti (ekplanasi) meliputi perumusan masalah, perumusan hipotesis, pengumpulan data, pencatatan data, analisis data, dan penarikan kesimpulan, (3) kegiatan pemantapan (ekspansi) meliputi penerapan konsep dan pemantapan konsep dan (4) evaluasi terhadap konsep-konsep dan penguasaan ketrampilan proses. Pada LC 5 fase, ditambahkan tahap engagement sebelum exploration. Pada model ini, tahap concept introduction dan concept application masingmasing diistilahkan menjadi explaination dan elaboration. Karena itu LC 5 fase sering dijuluki LC 5E (Engagement, Exploration, Explaination, Elaboration, dan Evaluation) (Lorsbach, 2002). Tahap engagement bertujuan mempersiapkan diri pebelajar agar terkondisi dalam menempuh fase berikutnya dengan jalan mengeksplorasi pengetahuan awal dan ide-ide mereka serta untuk mengetahui kemungkinan terjadinya miskonsepsi pada pembelajaran sebelumnya. Dalam fase engagement ini minat dan keingintahuan (curiosity) pebelajar tentang topik yang akan diajarkan berusaha dibangkitkan. Pada fase ini pula pebelajar diajak membuat prediksi-prediksi tentang fenomena yang akan dipelajari dan dibuktikan dalam tahap eksplorasi.
6
Siklus belajar dipilih dalam pembelajaran ini disebabkan siklus belajar ini merupakan model yang paling efektif dalam pembelajaran IPA, mudah untuk dipelajari, konsisten dengan paradigma pembelajaran masa kini, dan menciptakan peluang untuk belajar ilmu pengetahuan (Lorsbach, 2000). Pendapat lain berkaitan dengan siklus belajar adalah dari Lawson (2000) yang menyatakan bahwa siklus belajar bersifat membangun terhadap konsep tersebut dari pengetahuan atas konsep lama menjadi pengetahuan atas konsep yang baru, membangitkan dan menguji gagasan, mengkonstruksi gagasan menjadi lebih mudah. Pandangan ini adalah konsisten dengan Piaget (1964) dalam Lawson (2000) ketika ia mengklaim bahwa pembelajaran yang hanya mengikuti instruksi dari guru maka para siswa akan memiliki kekurangan ketrampilan dan pemahaman konsep dibanding dengan siswa yang terlibat secara aktif sebagaimana dalam siklus belajar.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, masalah dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut. 1. Bagaimanakah penerapan pembelajaran model siklus belajar 5 E di kelas VIII A SMP Negeri 8 Malang? 2. Bagaimanakah peningkatkan motivasi belajar IPA siswa kelas VIII A SMP Negeri 8 Malang dalam pembelajaran model siklus belajar 5 E? 3. Bagaimanakah peningkatkan prestasi belajar IPA siswa kelas VIII A SMP Negeri 8 Malang dalam pembelajaran model siklus belajar 5 E?
C. Tujuan Penelitian D. Hipotesis Tindakan Hipotesis tindakan dalam penelitian ini adalah penerapan model pembelajaran siklus belajar 5 E dapat meningkatkan motivasi dan prestasi belajar IPA siswa kelas VIII A SMP Negeri 8 Malang.
E. Manfaat Hasil Penelitian G. Definisi Operasional
7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Belajar Banyak definisi yang diberikan tentang 'belajar'. Misalnya Gage (1984), mengartikan 'belajar' sebagai suatu proses di mana organisma berubah perilakunya. Cronbach mendefinisikan belajar: "learning is shown by a change in behavior as a result of experience" (belajar ditunjukkan oleh suatu perubahan dalam perilaku individu sebagai hasil pengalamannya). Harold Spears mengatakan bahwa: learning is to observe, to read, to imitate, to try something themselves, to listen, to follow direction" (belajar adalah untuk mengamati, membaca, meniru, mencoba sendiri sesuatu, mendengarkan, mengikuti arahan). Adapun Geoch, menegaskan bahwa: "learning is a change in performance as result of practice." (belajar adalah suatu perubahan di dalam unjuk kerja sebagai hasil praktik). Kemudian, menurut Ratna Willis Dahar (1988: 25-26), "belajar didefinisikan sebagai perubahan perilaku yang diakibatkan oleh pengalaman". Paling sedikit ada lima macam perilaku perubahan pengalaman dan dianggap sebagai faktor-faktor penyebab dasar dalam belajar: (1) pertama, pada tingkat emosional yang paling primitif, terjadi perubahan perilaku diakibatkan dari perpasangan suatu stimulus tak terkondisi dengan suatu stimulus terkondisi. Sebagai suatu fungsi pengalaman, stimulus terkondisi itu pada suatu waktu memeroleh kemampuan untuk mengeluarkan respons terkondisi. Bentuk semacam ini disebut responden, dan menolong kita untuk memahami bagaimana para siswa menyenangi atau tidak menyenangi sekolah atau bidang-bidang studi, (2) kedua, belajar kontiguitas, yaitu bagaimana dua peristiwa dipasangkan satu dengan yang lain pada suatu waktu, dan hal ini banyak kali kita alami. Kita melihat bagaimana asosiasi ini dapat menyebabkan belajar dari 'drill' dan belajar stereotipe-stereotipe, (3) ketiga, kita belajar bahwa konsekuensi-konsekuensi perilaku memengaruhi 12 apakah perilaku itu akan diulangi atau tidak, dan berapa besar pengulangan itu. Belajar semacam ini disebut belajar operant, (4) keempat, pengalaman belajar sebagai hasil observasi manusia dan kejadian-kejadian. Kita belajar dari model-
8
model dan masing-masing kita mungkin menjadi suatu model bagi orang lain dalam belajar observasional, (5) kelima, belajar kognitif terjadi dalam kepala kita, bila kita melihat dan memahami peristiwa-peristiwa di sekitar kita, dan dengan insight, belajar menyelami pengertian. Akhirnya, Depdiknas (2003) mendefinisikan 'belajar' sebagai proses membangun makna/pemahaman terhadap informasi dan/atau pengalaman. Proses membangun makna tersebut dapat dilakukan sendiri oleh siswa atau bersama orang lain. Proses itu disaring dengan persepsi, pikiran (pengetahuan awal), dan perasaan siswa. Belajar bukanlah proses menyerap pengetahuan yang sudah jadi bentukan guru. Hal ini terbukti, yakni hasil ulangan para siswa berbeda-beda padahal mendapat pengajaran yang sama, dari guru yang sama, dan pada saat yang sama. Mengingat belajar adalah kegiatan aktif siswa, yaitu membangun pemahaman, maka partisipasi guru jangan sampai merebut otoritas atau hak siswa dalam membangun gagasannya. Partisipasi guru harus selalu menempatkan pembangunan pemahaman itu adalah tanggung jawab siswa itu sendiri, bukan guru. Bila siswa bertanya tentang sesuatu, maka pertanyaan itu harus selalu dikembalikan dulu kepada siswa itu atau siswa lain, sebelum guru memberikan bantuan untuk menjawabnya. Seorang siswa bertanya, "Pak/Bu, apakah tumbuhan punya perasaan?" Guru yang baik akan mengajukan balik pertanyaan itu kepada siswa lain sampai tidak ada seorang pun siswa dapat menjawabnya. Guru kemudian berkata, "Saya sendiri tidak tahu, tetapi bagaimana jika kita melakukan percobaan?". Jadi, berdasarkan deskripsi di atas, 'belajar' dapat dirumuskan sebagai proses siswa membangun gagasan/pemahaman sendiri untuk berbuat, berpikir, berinteraksi sendiri secara lancar dan termotivasi tanpa hambatan guru; baik melalui pengalaman mental, pengalaman fisik, maupun pengalaman sosial.
B. Hakekat Pembelajaran Pembelajaran merupakan wujud pelaksanaan kurikulum, dengan kata lain pembelajaran adalah kurikulum dalam kenyataan implementasinya. Kegiatan pembelajaran yang dilakukan dimaksudkan agar tercipta kondisi yang memungkinkan terjadinya belajar pada diri siswa. Dalam suatu kegiatan
9
pembelajaran dapat dikatakan terjadi belajar, apabila terjadi proses perubahan perilaku pada diri siswa sebagai hasil dari suatu pengalaman (Dimyati, 1990:124). Dalam halaman yang lain Dimyati (1990:142) menyatakan pembelajaran adalah proses yang diselenggarakan oleh guru untuk membelajarkan siswa dalam belajar bagaimana belajar dan memproses pengetahuan, keterampilan dan sikap. Imron (1996:43) menyatakan pembelajaran adalah suatu kegiatan yang dimaksudkan untuk menciptakan suasana sehingga siswa belajar. Marsiti (2002) mengartikan pembelajaran sebagai suatu cara yang ditempuh guru untuk sampai pada tujuan pembelajaran (siswa belajar). Hasibuan (1986:3) menyatakan bahwa pembelajaran adalah penciptaan sistem lingkungan yang memungkinkan terjadinya proses belajar. Jadi pembelajaran adalah suatu cara yang digunakan oleh guru untuk menyampaikan informasi kepada siswa agar siswa dapat belajar.
C. Model Siklus Belajar 5E (The 5E Learning Cycle Model) Siklus Belajar (Learning Cycle) atau dalam penulisan ini disingkat LC adalah suatu model pembelajaran yang berpusat pada pebelajar (student centered). LC merupakan rangkaian tahap-tahap kegiatan (fase) yang diorganisasi sedemikian rupa sehingga pebelajar dapat menguasai kompetensi-kompetensi yang harus dicapai dalam pembelajaran dengan jalan berperanan aktif. LC pada mulanya terdiri dari fase-fase eksplorasi (exploration), pengenalan konsep (concept introduction), dan aplikasi konsep (concept application) (Karplus dan Their dalam Renner et al, 1988). Pada tahap eksplorasi, pebelajar diberi kesempatan untuk memanfaatkan panca inderanya semaksimal mungkin dalam berinteraksi dengan lingkungan melalui kegiatan-kegiatan seperti praktikum, menganalisis artikel, mendiskusikan fenomena alam, mengamati fenomena alam atau perilaku sosial, dan lain-lain. Dari kegiatan ini diharapkan timbul ketidakseimbangan dalam struktur mentalnya (cognitive disequilibrium) yang ditandai dengan munculnya pertanyaanpertanyaan yang mengarah pada berkembangnya daya nalar tingkat tinggi (high level reasoning) yang diawali dengan kata-kata seperti mengapa dan bagaimana (Dasna, 2005, Rahayu, 2005). Munculnya pertanyaan-pertanyaan tersebut sekaligus merupakan indikator kesiapan siswa untuk menempuh fase berikutnya,
10
fase pengenalan konsep. Pada fase ini diharapkan terjadi proses menuju kesetimbangan antara konsep-konsep yang telah dimiliki pebelajar dengan konsep-konsep yang baru dipelajari melalui kegiatan-kegiatan yang membutuhkan daya nalar seperti menelaah sumber pustaka dan berdiskusi. Pada tahap ini pebelajar mengenal istilah-istilah yang berkaitan dengan konsep-konsep baru yang sedang dipelajari. Pada fase terakhir, yakni aplikasi konsep, pebelajar diajak menerapkan pemahaman konsepnya melalui kegiatan-kegiatan seperti problem solving (menyelesaikan problem-problem nyata yang berkaitan) atau melakukan percobaan lebih lanjut.. Penerapan konsep dapat meningkatkan pemahaman konsep dan motivasi belajar, karena pebelajar mengetahui penerapan nyata dari konsep yang mereka pelajari. Implementasi LC dalam pembelajaran menempatkan guru sebagai fasilitator yang mengelola berlangsungnya fase-fase tersebut mulai dari perencanaan (terutama pengembangan perangkat pembelajaran), pelaksanaan (terutama pemberian pertanyaan-pertanyaan arahan dan proses pembimbingan) sampai evaluasi. Efektifitas implementasi LC biasanya diukur melalui observasi proses dan pemberian tes. Jika ternyata hasil dan kualitas pembelajaran tersebut ternyata belum memuaskan, maka dapat dilakukan siklus berikutnya yang pelaksanaannya harus lebih baik dibanding siklus sebelumnya dengan cara mengantisipasi kelemahan-kelemahan siklus sebelumnya, sampai hasilnya memuaskan. LC tiga fase saat ini telah dikembangkan dan disempurnakan menjadi 5 dan 6 fase. Pada LC 5 fase, ditambahkan tahap engagement sebelum exploration dan ditambahkan pula tahap evaluation pada bagian akhir siklus. Pada model ini, tahap concept introduction dan concept application masing-masing diistilahkan menjadi explaination dan elaboration. Karena itu LC 5 fase sering dijuluki LC 5E (Engagement, Exploration, Explaination, Elaboration, dan Evaluation) (Lorsbach, 2002). Model pembelajaran ini bisa membantu cara berpikir siswa dan membuat fisika menjadi salah satu pelajaran yang menyenangkan. Tahapan ini harus dilakukan semuanya dengan urutan di atas.
Untuk lebih jelasnya dapat diperhatikan pada Gambar 2.1 di bawah ini.
11
Gambar 2.1 the 5 E Learning Cycle Model ( Sumber: www.coe.ilstu.edu) Berdasarkan tahapan-tahapan dalam metode pembelajaran bersiklus seperti dipaparkan di atas, diharapkan siswa tidak hanya mendengar keterangan guru tetapi dapat berperan aktif untuk menggali dan memperkaya pemahaman mereka terhadap konsep-konsep yang dipelajari. Berdasarkan uraian di atas, LC dapat dimplementasikan dalam pembelajaran bidang-bidang sain maupun sosial. LC patut dikedepankan, karena sesuai dengan teori belajar Piaget (Renner et al, 1988), teori belajar yang berbasis konstruktivisme. Piaget menyatakan bahwa belajar merupakan pengembangan aspek kognitif yang meliputi: struktur, isi, dan fungsi. Struktur intelektual adalah organisasi-organisasi mental tingkat tinggi yang dimiliki individu untuk memecahkan masalah-masalah. Isi adalah perilaku khas individu dalam merespon masalah yang dihadapi. Sedangkan fungsi merupakan proses perkembangan intelektual yang mencakup adaptasi dan organisasi (Arifin, 1995). Adaptasi terdiri atas asimilasi dan akomodasi. Pada proses asimilasi individu menggunakan struktur kognitif yang sudah ada untuk memberikan respon terhadap rangsangan yang diterimanya. Dalam asimilasi individu berinteraksi dengan data yang ada di lingkungan untuk diproses dalam struktur mentalnya. Dalam proses ini struktur mental individu dapat berubah, sehingga terjadi akomodasi. Pada kondisi ini individu melakukan modifikasi dari struktur yang ada, sehingga terjadi pengembangan struktur mental. Pemerolehan konsep baru akan berdampak pada konsep yang telah dimiliki individu. Individu harus dapat menghubungkan konsep yang baru dipelajari dengan konsep-konsep lain dalam suatu hubungan antar konsep. Konsep yang baru harus diorganisasikan
12
dengan konsep-konsep lain yang telah dimiliki. Organisasi yang baik dari intelektual seseorang akan tercermin dari respon yang diberikan dalam menghadapi masalah. Karplus dan Their (dalam Renner et al, 1988) mengembangkan strategi pembelajaran yang sesuai dengan ide Piaget di atas. Dalam hal ini pebelajar diberi kesempatan untuk mengasimilasi informasi dengan cara mengeksplorasi lingkungan, mengakomodasi informasi dengan cara mengembangkan konsep, mengorganisasikan informasi dan menghubungkan konsep-konsep baru dengan menggunakan atau memperluas konsep yang dimiliki untuk menjelaskan suatu fenomena yang berbeda. Implementasi teori Piaget oleh Karplus dikembangkan menjadi fase eksplorasi, pengenalan konsep, dan aplikasi konsep . Unsur-unsur teori belajar Piaget (asimilasi, akomodasi, dan organisasi) mempunyai korespondensi dengan fase-fase dalam LC (Abraham et al, 1986). Pengembangan fase-fase LC dari 3 fase menjadi 5 atau 6 fase pun masih tetap berkorespondensi dengan mental functioning dari Piaget. Fase engagement dalam LC 5E termasuk dalam proses asimilasi, sedangkan fase evaluation masih merupakan proses organisasi. Walaupun fase-fase LC dapat dijelaskan dengan teori Piaget, LC juga pada dasarnya lahir dari paradigma konstruktivisme belajar yang lain termasuk teori konstruktivisme sosial Vygotsky dan teori belajar bermakna Ausubel (Dasna, 2005). LC melalui kegiatan dalam tiap fase mewadahi pebelajar untuk secara aktif membangun konsep-konsepnya sendiri dengan cara berinteraksi dengan lingkungan fisik maupun sosial. Implementasi LC dalam pembelajaran sesuai dengan pandangan kontruktivis yaitu: 1. Siswa belajar secara aktif. Siswa mempelajari materi secara bermakna dengan bekerja dan berpikir. Pengetahuan dikonstruksi dari pengalaman siswa. 2. Informasi baru dikaitkan dengan skema yang telah dimiliki siswa. Informasi baru yang dimiliki siswa berasal dari interpretasi individu 3. Orientasi pembelajaran adalah investigasi dan penemuan yang merupakan pemecahan masalah. (Hudojo, 2001) Dengan demikian proses pembelajaran bukan lagi sekedar transfer pengetahuan dari guru ke siswa, seperti dalam falsafah behaviorisme, tetapi merupakan proses pemerolehan konsep yang berorientasi pada keterlibatan siswa secara aktif dan langsung. Proses pembelajaran demikian akan lebih bermakna
13
dan menjadikan skema dalam diri pebelajar menjadi pengetahuan fungsional yang setiap saat dapat diorganisasi oleh pebelajar untuk menyelesaikan masalahmasalah yang dihadapi. Hasil-hasil penelitian di perguruan tinggi dan sekolah menengah tentang implementasi LC dalam pembelajaran sain menunjukkan keberhasilan model ini dalam meningkatkan kualitas proses dan hasil belajar siswa (Budiasih dan Widarti, 2004; Fajaroh dan Dasna, 2004). Marek dan Methven (dalam Iskandar, 2005) menyatakan bahwa siswa yang gurunya mengimplementasikan LC mempunyai ketrampilan menjelaskan yang lebih baik dari pada siswa yang gurunya menerapkan metode ekspositori. Cohen dan Clough (dalam Soebagio, 2000) menyatakan bahwa LC merupakan strategi jitu bagi pembelajaran sain di sekolah menengah karena dapat dilakukan secara luwes dan memenuhi kebutuhan nyata guru dan siswa. Dilihat dari dimensi guru penerapan strategi ini memperluas wawasan dan meningkatkan kreatifitas guru dalam merancang kegiatan pembelajaran. Sedangkan ditinjau dari dimensi pebelajar, penerapan strategi ini memberi keuntungan sebagai berikut: 1) meningkatkan motivasi belajar karena pebelajar dilibatkan secara aktif dalam proses pembelajaran, 2) membantu mengembangkan sikap ilmiah pebelajar, 3) pembelajaran menjadi lebih bermakna. Kekurangan penerapan model pembelajaran ini yang harus selalu diantisipasi diperkirakan sebagai berikut (Soebagio, 2000): 1) efektifitas pembelajaran rendah jika guru kurang menguasai materi dan langkah-langkah pembelajaran, 2) menuntut kesungguhan dan kreativitas guru dalam merancang dan melaksanakan proses pembelajaran, 3) memerlukan pengelolaan kelas yang lebih terencana dan terorganisasi, 4) memerlukan waktu dan tenaga yang lebih banyak dalam menyusun rencana dan melaksanakan pembelajaran. Dalam membuat rencana pembelajaran berbasis LC, kegiatan-kegiatan yang dipilih dalam tiap fase harus ditelaah melalui pertanyaan: 1) konsep apa yang akan diberikan ? atau kompetensi apakah yang harus dikuasai siswa ?, 2) aktivitas-aktivitas yang bagaimanakah yang harus dikelola dalam tiap fase agar tercapai pemahaman konsep atau terkuasainya kompetensi tersebut ? , Kegiatan-kegiatan dalam tiap fase harus dirangkai sedemikian rupa sehingga tujuan pembelajaran tercapai. Kompetensi yang bersifat psikomotorik
14
dan afektif misalnya akan lebih efektif bila dikuasai siswa melalui kegiatan semacam praktikum. Lingkungan belajar yang perlu diupayakan agar LC berlangsung konstruktivistik adalah : 1) tersedianya pengalaman belajar yang berkaitan dengan pengetahuan yang telah dimiliki siswa, 2) tersedianya berbagai alternatif pengalaman belajar jika memungkinkan, 3) terjadinya transmisi sosial, yakni interaksi dan kerja sama individu dengan lingkungannya, 4) tersedianya media pembelajaran, 5) kaitkan konsep yang dipelajari dengan fenomena sedemikian rupa sehingga siswa terlibat secara emosional dan sosial yang menjadikan pembelajaran berlangsung menarik dan menyenangkan. (Hudojo, 2001)
D. Motivasi 1. Pengertian Motivasi Banyak pakar yang merumuskan definisi 'motivasi' sesuai dengan kajian yang diperdalamnya. Rumusannya beraneka ragam, sesuai dengan sudut pandang dan kajian perspektif bidang telaahnya. Namun demikian, ragam definisi tersebut memiliki ciri dan kesamaan. Di bawah ini dideskripsikan beberapa kutipan pengertian 'motivasi'. Michel J. Jucius (Onong Uchjana Effendy, 1993: 69-70) menyebutkan 'motivasi' sebagai "kegiatan memberikan dorongan kepada seseorang atau diri sendiri untuk mengambil suatu tindakan yang dikehendaki". Menurut Dadi Permadi (2000: 72) 'motivasi' adalah "dorongan dari dalam untuk berbuat sesuatu, baik yang positif maupun yang negatif". Sedangkan menurut Ngalim Purwanto (2004: 64-65), apa saja yang diperbuat manusia, yang penting maupun kurang penting, yang berbahaya maupun yang tidak mengandung resiko, selalu ada motivasinya. Ini berarti, apa pun tindakan yang dilakukan seseorang selalu ada motif tertentu sebagai dorongan ia melakukan tindakannya itu. Jadi, setiap kegiatan yang dilakukan individu selalu ada motivasinya.
Lantas, Nasution
(2002: 58), membedakan antara 'motif' dan 'motivasi'. Motif adalah segala daya yang mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu, sedangkan motivasi adalah usaha-usaha untuk menyediakan kondisi-kondisi, sehingga orang itu mau atau ingin melakukannya.
15
2. Motivasi Belajar Dalam kegiatan pembelajaran, 'perhatian' berperan amat penting sebagai langkah awal yang akan memacu aktivitas-aktivitas berikutnya. Dengan 'perhatian', seseorang berupaya memusatkan pikiran, perasaan emosional atau segi fisik dan unsur psikisnya kepada sesuatu yang menjadi tumpuan perhatiannya. Gage dan Berliner (1984) mengungkapkan, tanpa adanya perhatian tidak mungkin terjadi belajar. Jadi, seseorang siswa yang menaruh minat terhadap materi pelajaran, biasanya perhatiannya akan lebih intensif dan kemudian timbul motivasi dalam dirinya untuk mempelajari materi pelajaran tersebut. Di sini, motivasi belajar dapat didefinisikan sebagai usaha-usaha seseorang (siswa) untuk menyediakan segala daya (kondisi-kondisi) untuk belajar sehingga ia mau atau ingin melakukan proses pembelajaran. Dengan demikian, motivasi belajar dapat berasal dari diri pribadi siswa itu sendiri (motivasi intrinsik/motivasi internal) dan/atau berasal dari luar diri pribadi siswa (motivasi ekstrinsik/motivasi eksternal). Kedua jenis motivasi ini jalin-menjalin atau kait mengait menjadi satu membentuk satu sistem motivasi yang menggerakkan siswa untuk belajar.
3. Peningkatan Motivasi Belajar Motivasi belajar dikatakan meningkat bila indikator motivasi belajar meningkat. Indikator motivasi belajar itu meliputi minat, perhatian, konsentrasi dan ketekunan. Motivasi belajar siswa di kelas, pada saat proses belajar mengajar dapat diamati dari aspek minat, perhatian keseriusan dan ketekunan. Peningkatan minat diamati dari bagaimana peningkatan aktivitas siswa dalam ketepatan waktu menyelesaikan tugas, peningkatan semangat, peningkatan rasa ingin tahu dan peningkatan frekuensi bertanya. Peningkatan motivasi belajar aspek perhatian dapat diamati dari peningkatan aktivitas siswa dalam mengikuti setiap instruksi guru, melaksanaan praktikum dan berpendapat. Peningkatan motivasi siswa aspek konsentrasi dapat diamati dari peningkatan aktivitas siswa dalam memusatkan perhatian ketika guru memberi penjelasan, bimbingan, melakukan demonstrasi dan arahan sebelum praktikum. Peningkatan motivasi siswa aspek ketekunan dapat diamati dari peningkatan aktivitas siswa dalam usahanya menyelesaikan
16
masalah, menyelesaikan tugas secepatnya, diskusi dalam kelompok, melakukan praktikum dan mengerjakan evaluasi.
E. Prestasi Belajar 1. Pengertian Prestasi Belajar Belajar dapat membawa suatu perubahan pada individu yang belajar. Perubahan ini merupakan pengalaman tingkah laku dari yang kurang baik menjadi lebih baik. Pengalaman dalam belajar merupakan pengalaman yang dituju pada hasil yang akan dicapai siswa dalam proses belajar di sekolah. Menurut Poerwodarminto (1991: 768), prestasi belajar adalah hasil yang dicapai (dilakukan, dekerjakan), dalam hal ini prestasi belajar merupakan hasil pekerjaan, hasil penciptaan oleh seseorang yang diperoleh dengan ketelitian kerja serta perjuangan yang membutuhkan pikiran. Berdasarkan uraian diatas dapat dikatakan bahwa prestasi belajar yang dicapai oleh siswa dengan melibatkan seluruh potensi yang dimilikinya setelah siswa itu melakukan kegiatan belajar. Pencapaian hasil belajar tersebut dapat diketahui dengan mengadakan penilaian tes hasil belajar. Penilaian diadakan untuk mengetahui sejauh mana siswa telah berhasil mengikuti pelajaran yang diberikan oleh guru. Di samping itu guru dapat mengetahui sejauh mana keberhasilan guru dalam proses belajar mengajar di sekolah. 2. Peningkatan Prestasi Belajar. Prestasi belajar dikatakan meningkat bila indikator prestasi belajar meningkat. Indikator Prestasi belajar itu meliputi aspek koqnitif, psikomotorik dan afektif. Peningkatan prestasi belajar aspek Koqnitif dilihat dari perkembangan hasil evaluasi tiap-tiap akhir pembelajaran dan perkembangan hasil tes akhir siklus PTK. Peningkatan prestasi belajar aspek psikomotorik dilihat dari peningkatan aktivitas siswa dalam menyiapkan alat praktikum, merangkai alat, melakukan pengamatan, menggunakan alat ukur, membaca alat ukur dan menjaga keberfungsian alat-alat praktikum.
Peningkatan prestasi belajar aspek afektif
dapat diamati dari peningkatan kehadiran siswa, kemampuan siswa dalam mengajukan pertanyaan, kemampuan mengajukan gagasan dan aktivitas belajar.
17
BAB III METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian B. Kehadiran Peneliti C. Lokasi, Waktu dan Subjek Penelitian
D. Rancangan Penelitian E. Instrumen Penelitian F. Data dan Teknik Pengambilan Data G. Teknik Analisis Data BAB IV PAPARAN DATA A. Hasil observasi awal B. Pemberian Tindakan Kelas
BAB V PEMBAHASAN A. Pelaksanaan Pembelajaran Model Siklus Belajar 5E (Learning Cycle)
18
BAB VI PENUTUP
B. Kesimpulan Berdasarkan analisis data dan pembahasan dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut. 1. Keterlaksanaan penerapan pembelajaran Model Siklus Belajar 5E (The 5E Learning Cycle Model) pada mata pelajaran fisika pokok bahasan bunyi dan cahaya di kelas VIII A SMP Negeri 8 Malang telah mencapai 86 % di siklus I, 93 % di siklus II dan 100% di siklus III. Hal ini berarti pada akhir siklus penelitian, tahapan pembelajaran Model Siklus Belajar 5E telah dapat dilaksanakan oleh peneliti dalam proses pembelajaran. 2. Motivasi belajar siswa aspek minat, perhatian, keseriusan dan ketekunan mengalami peningkatan selama penerapan pembelajaran Model Siklus Belajar 5E (The 5E Learning Cycle Model) yaitu, pada siklus I (60,7 %), siklus II (68,5 %) dan siklus III ( 77,6 %). 3. Prestasi belajar siswa ranah Koqnitif, afektif dan psikomotorik mengalami peningkatan selama penerapan pembelajaran Model Siklus Belajar 5E (The 5E Learning Cycle Model) pada siklus I , siklus II maupun siklus III. Peningkatan prestasi belajar ranah koqnitif siklus I,II dan III sebesar 77,8 % ; 78,6 % dan 80,2 %. Peningkatan prestasi belajar ranah afektif siklus I,II dan III sebesar 73,6 % , 77,8 %; dan 79,3 % . Peningkatan prestasi belajar ranah psikomtor siklus I,II dan III sebesar 76,2 % ; 79,4 % dan 85,5 %. Prestasi 133
19
belajar secara akumulatif meningkat dari siklus I (75,9 %), ke siklus II (78,6 %) dan ke siklus III (81,7 %). C. Saran Berdasarkan kesimpulan di atas dikemukakan beberapa saran kepada beberapa pihak sebagai berikut: 1. bagi guru mata pelajaran fisika kelas VIII A SMP Negeri 8 Malang perlu menggunakan model Siklus Belajar 5E (The 5E learning Cycle Model) untuk meningkatkan motivasi belajar dan prestasi belajar siswa pada pokok bahasan selain bunyi dan cahaya, 2. bagi peneliti lain perlu menggunakan model Siklus Belajar 5E (The 5E learning Cycle Model) untuk meningkatkan aspek lain dari proses pembelajaran, misalnya aktivitas belajar siswa, ketrampilan proses sains, atau kinerja ilmiah pada pokok bahasan sejenis maupun lainnya. 3. penerapan model Siklus Belajar 5E (The 5E learning Cycle Model) memerlukan waktu yang lebih lama dibandingkan penerapan metode pembelajaran tradisional, sehingga peneliti/guru harus mempersiapkan diri lebih baik.