BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Autis merupakan gangguan perkembangan yang menghambat berbagai aspek dalam kehidupan anak dengan gangguan autis. Anak autis rata-rata mengalami gangguan perkembangan secara psikologis yang berarti gangguan perilaku, gangguan neurologis atau kelainan sistem saraf otak dan gangguan neurobiologis yang berarti gangguan yang berhubungan dengan kinerja sistem saraf, fisiologi dan perilaku manusia. Secara umum anak autis memiliki karakteristik seperti gangguan komunikasi dan bahasa, interaksi sosial yang kurang serta minat dan perilaku yang menyimpang. Tetapi, yang paling menarik untuk ditelaah pada anak autis adalah pada gangguan komunikasi dan bahasa. Karena anak autis mempunyai keterbatasan yang ditunjukkan dengan ketidakmampuan dalam mengungkapkan diri sendiri secara efektif, maka anak merasa tertekan untuk dapat berekspresi. Keterbatasan kemampuan berbahasa dapat menimbulkan emosi bagi anak autis, dikarenakan anak autis tidak dapat menyampaikan keinginan melalui pesan komunikasi. Keterbatasan dalam menangkap pesan yang disampaikan orang lain, dan kesulitan dalam merespon atau menjawab percakapan serta keterbatasan dalam mengungkapkan diri akan keinginan membuat anak autis tertekan. Selain itu, anak autis memiliki masalah komunikasi dengan kemampuan berbahasa verbal yang kurang baik, beberapa diantaranya justru tidak berkemampuan berbahasa atau mempunyai keterbatasan dalam berkomunikasi dengan lawan bicara ataupun berbicara tanpa makna (Bounnice. 2009). Dari masalah komunikasi dan bahasa bisa menjadi suatu hambatan pada diri anak autis untuk bisa mengembangkan aspek lain dalam kehidupan anak autis, seperti mengembangkan interaksi sosial, emosional dan lain-lain. Komunikasi adalah pengiriman pesan atau informasi dari seseorang kepada orang lain dengan tujuan mengungkapkan keinginan, mengekpresikan perasaan dan bertukar informasi. Agar informasi yang disampaikan dapat diterima dan dipahami secara benar oleh seorang yang dituju, pesan yang berupa ide atau 1
2
pemikitan harus diubah terlebih dahulu menjadi lambang–lambang, seperti gerakisyarat, bunyi-bunyian, kata sandi dan yang berhubungan dengan lambanglambang bahasa. Kemampuan dalam berkomunikasi harus diikuti dengan kemampuan berbahasa, karena proses komunikasi anak sangat mempengaruhi bagaimana penerimaan orang lain terhadap diri sendiri melalui bahasa. Jika anak autis dibiarkan tidak banyak berkomunikasi dengan lingkungan sekitar anak, maka anak akan menjadi penyendiri dan tidak memiliki rasa empati pada orang lain. Anak autis mengalami gangguan berbahasa yang terjadi disebabkan anak autis kurang berinteraksi sosial dengan orang lain dan ketidak pamahaman anak autis terhadap stimulus atau rangsangan verbal maupun sensoris yang anak terima dari lingkungan sekitar. Kemampuan berbahasa dibagi menjadi dua, yaitu kemampuan berahasa ekspresif dan kemampuan berbahasa reseptif. Penggunaan bahasa ekspresif dapat berupa suara atau kata-kata dan bahasa reseptif mengunakan berbagai tanda isyarat dan gerak-gerik tubuh. Lambang - lambang tersebut akan diubah menjadi bahasa yang selanjutnya dapat digunakan untuk proses komunikasi. Proses dalam berkomunikasi yang paling efektif, yaitu bentuk bahasa yang diucapkan atau diartikulasikan kemudian menggunakan tanda isyarat untuk menguatkan penggunaan bahasa. Pangestika (2012) dalam penelitian yang telah dilakukan, menemukan bahwa anak autis seringkali berkomunikasi dengan bahasa yang tidak dimengerti oleh orang lain baik vokal (verbal) ataupun isyarat tubuh (non verbal), seperti merespon gestus dan pujian yang diberikan oleh guru serta jarang menggunakan kata-kata dalam menyampaikan keinginan anak atau ketidak sukaan anak lebih banyak menggunakan gerakan-gerakan yang tidak bermakna, dan lain-lain yang berhubungan dengan respon gerak anak. Masalah komunikasi menimbulkan dampak dalam proses berkomunikasi dan kemampuan memahami bahasa yang terbatas dalam kehidupan anak autis. Masalah komunikasi juga berdampak pada penerimaan respon anak autis yang sukar dimengerti oleh lingkungan sekitar, karena anak menggunakan gerak isyarat untuk mengekspresikan ketidaksukaan maupun kesukaan terhadap sesuatu yang
3
diberikan oleh guru dengan gerakan yang orang lain tidak dapat memahami, bahkan anak autis bisa acuh terhadap apa yang dilihat. Penelitian yang dilakukan oleh Dionne & Martini (2011) menunjukan minat yang tidak sesuai dan anak akan melempar mainan-mainan dan lebih fokus pada beberapa bagian mainan yang kecil. Anak sering mencari gerakan yang berjalan dan berputar, seperti mengganggu, mudah teralihkan dilingkungan yang kaya akan stimulus sensoris, menujukan respon variable tertentu jika disentuh. Dicontohkan dalam sebuah kasus, guru menjanjikan suatu benda yang anak inginkan untuk melakukan tujuan pembelajaran. Stimulus yang ditunjukan oleh guru bisa di lihat dari gerakan isyarat anak mulai dari anak yang tersenyum atau langsung meraih benda, tetapi ketika guru menahan anak untuk melakukan suatu kegiatan pembelajaran terlebih dahulu dengan menyuruh untuk meminta dengan bahasa lisan, mungkin anak langsung menunjukan respon isyarat yang kurang suka atau melakukan gerakan untuk berusaha memaksa mengambil tanpa mereka berkomunikasi melalui lisan. Dari keadaan yang terjadi, guru mungkin kesulitan untuk menstimulus siswa untuk melakukan kegiatan yang berhubungan dengan penyampaian keinginan atau gagasan yang ingin siswa katakan. Masalah-masalah yang berhubungan dengan komunikasi dan bahasa yang terjadi pada anak autis mempengaruhi juga pada keadaan emosional yang bisa mengakibatkan anak autis depresi. Selain itu, masalah komunikasi dan bahasa bisa disebabkan oleh tertekan dari lingkungan yang disebabkan dari suatu ketidak tertarikan anak pada stimulus yang diberikan oleh lingkungan. Dengan kemampuan berbahasa yang sangat terbatas, anak autis hanya menggunakan bahasa isyarat tubuh yang tidak dimengerti oleh lingkungan sekitar berakibat pada perkembangan komunikasi anak autis tidak berkembang, bahkan tidak bisa berkomunikasi sama sekali. Agar perkembangan anak autis bisa kembali seperti anak normal atau setidaknya dapat berkomunikasi dan menjalin hubungan dengan orang-orang serta lingkungan sekitar, maka anak autis perlu
mendapatkan
pendidikan, pengasuhan dan penanganan secara khusus sejak dini. Masalah - masalah yang dihadapi anak autis dalam hal komunikasi dan bahasa perlu ada metode dan pendekatan yang menekankan pada kemampuan berbahasa untuk berkomunikasi dengan lingkungan sekitar, yaitu salah satunya
4
adalah metode dan pendekatan floor time. Metode floor time adalah metode yang menggunakan pendekatan yang hangat dan akrab sehingga cocok untuk membangun hubungan anak sebagai individu melalui bahasa tubuh, instruksi serta media bermain. Metode floor time bertujuan untuk meningkatkan perkembangan berbahasa anak autis melalui pendekatan personal dengan metode interaksi komunikasi yang dilakukan oleh orang terdekat anak, seperti keluarga atau guru. Metode floor time dikembangkan oleh Greenspan (1998) dengan 6 tonggak atau tahapan perkembangan emosional dan interaksi sosial. Melalui 6 tahapan perkembangan, keterampilan emosional, sosial, kognitif bertumbuh, dan kesadaran terhadap dirinya berkembang lebih kompeleks (Greenspan, Wieder, Simon. 2006). Anak diharapkan mencapai tahap perkembangan kemampuan komunikasi, berpikir dan membentuk konsep diri dengan baik. Tetapi, metode yang dikembangkan oleh Greenspan ini tidak dapat dijalankan tanpa campur tangan dari orang tua sebagai salah satu komponen. Anak-anak yang diasuh dalam kehangatan dan tidak mengalami masalah berkembangan, seringkali sudah menguasai tahapan-tahapan penting secara otomatis pada usia dibawah lima tahun. Tetapi anak-anak
yang memiliki
hambatan, termasuk anak autis membutuhkan batuan dari orang tua, terapis atau guru serta memerlukan waktu yang lebih panjang untuk menguasai tahapan perkembangan keterampilan emosional, sosial, kognitif bertumbuh, dan kesadaran terhadap diri sendiri. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Pajareja dan Nopmaneejumruslers (2012), menunjukan banyak orang tua sekarang yang tidak tahu cara bermain dengan anak-anak mereka yang autis, mereka menghabiskan sebagian besar untuk mengendalikan dan mengajarkan anak-anak autis mereka. Padahal Floor time diciptakan sebagai kesempatan bagi orang tua atau guru untuk anak autis bisa berkomunikasi dalam pola metode emosional yang dibentuk oleh orang tua atau guru. Metode floor time menciptakan berbagai pengalaman berinteraksi dengan anak menggunakan suatu cara yang bisa meningkatkan perkembangannya melalui latihan minat anak dengan menghubungkan emosi dengan perilakunya dan akhirnya dengan kata-kata anak. Maka, perlu adanya suatu penelitian lanjutan
5
untuk mengembangkan metode floor time melalui penelitian yang akan di lakukan.
B. Identifikasi Masalah Latar
belakang
masalah
yang
telah
diuraikan,
maka
peneliti
mengidentifikasi masalah untuk menyimpulkan masalah-masalah telah diuraikan. Adapun masalah - masalah yang telah diidentifikasi dari latar belakang yang telah diuraikan, sebagai berikut : 1. Anak autis mengalami hambatan dalam kemampuan berbahasa eskpresif dan reseptif dalam mengungkapkan keinginan melalui lisan, maupun tulisan dan hanya melakukan gerakan isyarat yang kadang tidak berarti. selain itu, juga anak autis memiliki pembendaharaan kata yang terbatas dan jika anak autis bisa berbicara, dimungkinkan artikulasi bicara anak autis tidak jelas. 2. Kemampuan berbahasa juga mempengaruhi sikap emosional yang tidak terlepaskan dari kemampuan dalam mengekspresikan kemampuan berbahasa, dikarenakan anak autis tidak dapat mengekpresikan keinginan secara baik, sehingga lingkungan sekitar juga tidak dapat merespon dengan baik. 3. Menurut penelitian, orang tua sekarang yang tidak tahu cara bermain dengan anak-anak mereka yang autis, mereka menghabiskan sebagian besar untuk mengendalikan dan mengajarkan anak-anak autis mereka.
C. Pembatasan Masalah Berdasarkan identifikasi masalah yang telah dikemukakan, penelitian ini harus difokuskan pada variabel yang mendukung. Batasan masalah memberikan ruang lingkup lebih terbatas pada subjek penelitian, materi penelitian dan pendekatan yang digunakan. Adapun pembatasan masalah, sebagai berikut : 1. Subjek penelitian adalah anak Autis, kelas IV SD. 2. Metode menggunakan floor time 3. Kemampuan berbahasa yang diukur pada bahasa ekspresif dan bahasa reseptif 4. Intervensi dilakukan oleh guru dan terbatas pada Rancangan Program Pembelajaran Individu Guru Pembimbing Khusus.
6
D. Rumusan Masalah Latar belakang masalah yang telah diuraikan, maka harus mengarahkan suatu penelitian perlu ada acuan dalam menelaah objek yang diteliti untuk ditemukan jawaban dari penelitian yang dilakukan. Untuk memperjelas agar permasalahan terarah dan sesuai dengan sasaran yang diharapkan, maka dirumuskan masalalah penelitian, yaitu “Apakah metode floor time berpengaruh untuk meningkatkan kemampuan berbahasa ekspresif dan reseptif anak autis kelas IV SD Alfirdaus Surakarta tahun pelajaran 2015/2016 ?”.
E. Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah yang telah dinyatakan pada rumusan masalah, maka untuk mengarahkan suatu penelitian diperlukan tujuan dari suatu penelitian. Sesuai dengan rumusan masalah, maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh metode floor time dalam meningkatkan kemampuan berbahasa anak autis kelas IV SD Alfirdaus Surakarta tahun pelajaran 2015/2016.
F. Manfaat Penelitian 1. Manfaat teoritis Secara teoritis penelitian ini memberikan informasi mengenai metode floor time terhadap peningkatan kemampuan berbahasa ekspresif dan reseptif anak autis kelas IV SD. 2. Manfaat praktis a. Bagi guru Menambah wawasan dan pengalaman guru dalam mengajar anak autis kelas IV SD menggunakan metode floor time dalam meningkatkan kemampuan berbahasa ekspresif dan reseptif. b. Bagi siswa Memberikan pengalaman bagi anak autis kelas IV SD dalam meningkatkan
kemampuan
menggunakan metode floor time.
berbahasa
ekspresif
dan
reseptif