BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Indonesia termasuk negara dengan jumlah penduduk terbanyak di dunia. Menurut data Badan Pusat Statistik, penduduk Indonesia saat ini mencapai 237.641.326 jiwa (sumber: sp2010.bps.go.id). Survey Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) tahun 2016 menyatakan bahwa 70 persen penduduk Indonesia berada pada usai produktif (16 hingga 24 tahun). Angka ini tentunya merupakan aset besar bagi kemajuan bangsa Indonesia. Penduduk usia produktif ini menyebar ke berbagai sektor lapangan kerja di Indonesia. Salah satu profesi yang banyak diminati oleh penduduk Indonesia adalah Pegawai Negeri Sipil (PNS). Menurut data Kemen PAN-RB, jumlah pendaftar seleksi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) pada tahun 2014 mencapai 2.603.780 orang (Sumber: bisnis.liputan6.com). Sedangkan menurut data Badan Pusat Statistik, jumlah PNS di Indonesia sampai tahun 2014 adalah 4.455.303 orang (Sumber: bps.go.id). Dewasa ini, pamor PNS memang masih unggul di kalangan masyarakat Indonesia. Kemapanan secara sosial dan jaminan keamanan secara finansial menjadi daya tarik tersendiri untuk menjadi PNS sehingga profesi ini banyak diminati (Suhardiman, 2012). Menurut Undang-Undang No.43 Tahun 1999 tentang Pegawai Negeri, dijelaskan bahwa pegawai negeri adalah setiap warga negara Republik Indonesia yang telah memenuhi syarat yang ditentukan, diangkat oleh pejabat yang berwewenang dan diserahi tugas dalam suatu jabatan negeri, atau diserahi tugas negara lainnya dan digaji berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sedangkan Hardjono (dalam Suhardiman, 2012) menyatakan bahwa PNS merupakan seseorang yang mengabdi untuk negara dengan
menyelenggarakan pelayanan terhadap masyarakat demi tercapainya tujuan negara dan kesejahteraan masyarakat luas. Citra PNS ini nampaknya tidak sejalan dengan fakta di lapangan karena masih banyak PNS yang tidak menjalankan tugas sebagaimana mestinya. Dikutip dari laman harianjogja.com, kinerja PNS di Kabupaten Bantul dinilai tidak optimal karena banyak pegawai yang membolos, terutama di hari yang berdekatan dengan hari libur. Hal ini berakibat pada ketidakmaksimalan pelayanan terhadap masyarakat dikarenakan banyak loket pelayanan administrasi yang tutup. Demikian pula informasi yang diperoleh dari laman jogjatv.tv dimana Walikota Kota Yogyakarta membentuk majelis pengawas kinerja PNS guna menindaklanjuti banyaknya PNS yang mangkir dari tugas dinas harian. Sistem kepegawaian PNS sebenarnya telah diatur secara rinci oleh undang-undang. Akan tetapi masih banyak penyelewengan yang terjadi di lapangan. Oleh karena itu, pemerintah mulai memperketat sistem pengawasan dan sanksi bagi PNS. Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) telah mulai memberlakukan sistem potong gaji sebagai sanksi keterlambatan dan ketidakhadiran PNS di jam kerja (Sumber: jogja.tribunnews.com). Penerapan sistem ini nampaknya mulai membuahkan hasil, menurut data Badan Kepegawaian Daerah (BKD) DIY pada tahun 2014 terdapat 45 PNS yang dikenai sanksi disipliner sedangkan pada tahun 2015 jumlahnya menurun menjadi 18 PNS (Sumber: bkd.jogjaprov.go.id) Secara operasional, PNS memiliki ranah tugas dan wewenang masing-masing sesuai peraturan perundangan. Sebagai abdi negara, PNS mengelola sektor pelayanan publik yang meliputi masalah pendidikan, kesehatan, sosial, keuangan negara, pengelolaan aset sumber daya alam, dan pertahanan. Aset sumber daya alam merupakan salah satu sektor yang sangat sensitif bagi masyarakat. Adapun yang termasuk dalam sektor ini
adalah sektor perairan dan sektor geospasial (Baskara, 2015). Sektor geospasial ini meliputi pengelolaan aset permukaan dan aset bawah tanah. Di Indonesia, tanah dianggap sebagai objek vital dalam kehidupan sehari-hari. Dalam pengelolaannya, tanah merupakan objek sensitif yang rentan menimbulkan konflik (Purnomo, 2015). Oleh karenanya, guna mengatur pengelolaan, kepemilikan tanah, dan kesejahteraan masyarakat, dibentuklah lembaga pemerintah yakni Badan Pertanahan Nasional (BPN). BPN adalah sebuah lembaga pemerintah non departemen yang berwenang menyelenggarakan pelayanan di bidang pertanahan. Semula, lembaga ini berada dibawah Departemen Dalam Negeri (Depdagri) sebagai Direktorat Jenderal Agraria. Untuk mempermudah penyelenggaraan pelayanan publik di bidang pertanahan, Dirjen Agraria Depdagri kemudian dihapuskan dan dibentuk Badan Pertanahan Nasional yang garis koordinasinya melalui Menteri Negara Agraria pada tahun 1988. Perubahan mendasar dalam tubuh BPN terjadi pada tahun 2002 dimana BPN menjadi lembaga negara yang kedudukannya disejajarkan dengan kementerian dan berubah nama menjadi Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia (BPN RI) (Suryani, 2010). Menurut Perpres No. 63 Tahun 2013, BPN merupakan lembaga pemerintah non kementrian yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden serta dipimpin oleh kepala kantor. BPN mengampu tugas pemerintahan di bidang pertanahan secara nasional, regional, dan sektoral sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (Sumber: bpn.go.id). Secara operasional, pada tiap propinsi BPN memiliki satu Kantor Wilayah (Kanwil) dan beberapa Kantor Pertanahan (Kantah) di tiap Kabupaten/Kota. Tiap kantah secara umum memiliki beberapa seksi dalam mengampu tugasnya. Adapun seksi yang ada dalam kantor BPN adalah Sub bagian Tata Usaha (TU) dibagi tugasnya menjadi dua bagian, yaitu Urusan Perencanaan dan Keuangan; serta Urusan Umum dan Kepegawaian.
BPN memiliki lima seksi untuk menjalankan tugas pelayanan hariannya, yaitu Seksi Tata Usaha (TU); seksi Survey, Pengukuran, dan Pemetaan (SPP); seksi Hak Tanah dan Pendaftaran Tanah (HTPT); seksi Pengaturan dan Penataan Pertanahan (P3); seksi Pengendalian dan Pemberdayaan (P2); dan seksi Sengketa, Konflik, dan Perkara (SKP). Seksi-seksi ini memiliki tugas dan wewenang masing-masing sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Kantah inilah yang melakukan pelayanan terhadap urusan pertanahan secara langsung kepada masyarakat. Oleh karena itu, kantah merupakan ujung tombak pelayanan yang kinerjanya dirasakan langsung oleh masyarakat. Sebagai pengampu sektor krusial dan sensitif, BPN merupakan lembaga yang rawan kritik dan keluhan. Menurut survei yang dilakukan oleh Transparency International Indonesia (TII) pada tahun 2008, BPN berada pada peringkat lima lembaga rawan suap dengan persentase mencapai 32 persen. Sedangkan dalam survei yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada tahun yang sama, BPN berada pada peringkat lima lembaga dengan pelayanan publik terburuk (Purnomo, 2015). Hasil penelitian kualitatif yang dilakukan Suryani (2010) menunjukkan bahwa kinerja aparat pelayanan pada kantor BPN Kota Semarang belum optimal. Hal ini dikarenakan masih adanya diskriminasi pelayanan walaupun tidak secara nyata diakui tapi terjadi di lapangan dan dirasakan oleh masyarakat. Persepsi bekerja aparat yang masih berorientasi pada kompensasi serta responsibilitas dan akuntabilitas yang masih kurang. Hal ini ditunjukkan dengan masih banyaknya keluhan masyarakat dan keterlambatan dalam penerbitan sertifikat dan banyaknya tunggakan permohonan yang tidak dapat terselesaikan sesuai dengan permohonan yang masuk. BPN di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta akhir-akhir ini juga menjadi sorotan publik semenjak munculnya topik “Jogja Darurat Mafia Tanah”. Topik ini ramai dibicarakan seiring dengan adanya rencana pemindahan Bandara Adisutjipto ke Kulon
Progo dan sengketa-sengketa pembangunan hotel dan kawasan perbelanjaan di Yogyakarta (Sumber: jogja.tribunnews.com). Kinerja BPN selaku lembaga yang berwenang dalam hal penerbitan sertifikat tanah, pengelolaan, dan pengukuran tanah kemudian dipertanyakan karena
hasilnya
tidak
akurat
dan
kerap
menimbulkan
sengketa
(Sumber:
jogja.tribunnews.com). Kinerja merupakan manifestasi komitmen organisasi yang dimiliki oleh individu. Menurut Allen dan Meyer (1996), komitmen afektif memiliki hubungan positif dan signifikan terhadap performa kerja.Oleh karena itu, komitmen organisasi ini kemudian menjadi kunci tercapainya kesuksesan organisasi (Robbins & Judge, 2007). Berdasarkan teori-teori tersebut, semakin tinggi komitmen organisasi yang dimiliki oleh anggota, makin baik pula kinerja organisasi. Begitu pula sebaliknya, apabila suatu organisasi memiliki kinerja yang buruk dapat diindikasikan bahwa komitmen organisasi yang dimiliki anggotanya rendah. Komitmen organisasi sendiri didefinisikan sebagai tingkat loyalitas seorang individu terhadap organisasi (Schermerhorn, 2011). Komitmen organisasi memiliki tigakomponen, yakni: a) penerimaan dan keyakinan yang kuat terhadap nilai dan tujuan organisasi, b) kesediaan untuk berusaha secara maksimal demi organisasi, dan c) keinginan untuk mempertahankan keanggotaan dalam organisasi (Mowday, Porter, dan Steers, 1982). Angle dan Perry (1981) kemudian mengembangkan teori tersebut dengan mencetuskan dua aspek komitmen yaitu commitment to value dan commitment to stay. Commitment to value merupakan komitmen anggota organisasi terhadap nilai dan tujuan organisasi. Sedangkan commitment to stay merupakan komitmen untuk mempertahankan keanggotaan di dalam organisasi. Menurut para ahli, ada beberapa hal yang dapat mempengaruhi komitmen organisasi. Colquitt, Lepine, dan Wesson (2011) menyatakan bahwa dimana komitmen dipengaruhi oleh kondisi lingkungan pekerjaan yang menyenangkan, hubungan yang baik
dengan rekan kerja dan atasan, serta tugas-tugas pekerjaan yang bermanfaat. Jex dan Britt (2008) mengemukakan bahwa komitmen organisasi dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti kepuasan kerja, dukungan organisasi, kepemimpinan, budaya, komunikasi, dan keadilan. Greenberg (1987) yang menyatakan bahwa keadilan organisasi memiliki hubungan yang kuat terhadap komitmen organisasi. Teori ini diperkuat dengan hasil penelitian Folger dan Konovsky (1989) menemukan bahwa keadilan organisasi, terutama keadilan prosedural, merupakan prediktor kuat dari komitmen organisasi. Sjahruddin dkk (2013) mengemukakan bahwa keadilan prosedural memiliki korelasi yang signifikan terhadap komitmen organisasi di kalangan Dinas Kesehatan Makassar. Rahayu (2013) juga menemukan bahwa keadilan prosedural dan kepuasan kerja memiliki hubungan positif dengan komitmen organisasi dalam setting perusahaan. Hasil yang serupa juga dikemukakan oleh Azhariman (2014) pada penelitiannya di kalangan BUMN. Keadilan organisasi didefinisikan sebagai persepsi individu terhadap keadilan dalam proses pembuatan keputusan dan distribusi hasil yang telah diterima oleh individu (Greenberg &McCarty, 1990). Keadilan organisasi ini didasari oleh teori pertukaran sosial yang dikemukakan Tyler (1994) dimana anggota organisasi mengharapkan bahwa mereka akan mendapatkan imbalan yang adil dan sesuai dari organisasi. Sedangkan keadilan prosedural lebih menekankan pada keadilan dalam proses pengambilan keputusan (Konovsky, 2000). Berdasarkan uraian teori para ahli di atas, maka dapat diasumsikan bahwa terdapat hubungan antara keadilan prosedural dan komitmen organisasi pada PNS kantor BPN. Guna memperoleh data yang akurat, peneliti melakukan wawancara terhadap tiga pegawai yang berstatus PNS kantor BPN. Berdasarkan hasil wawancara tersebut diperoleh bahwa ketiga PNS merasa senang bekerja di kantor BPN. Akan tetapi alasan kesenangan
ketiganya berbeda, satu PNS mengatakan bahwa memang sejak kuliah ia ingin bekerja di BPN sedangkan dua orang lainnya merasa senang karena bekerja di BPN merupakan suatu keuntungan dan kewajibannya sebagai PNS. Ketika diberi pertanyaan terkait keterlibatannya dalam organisasi, ketiganya menyatakan bahwa mereka bersedia melakukan tugas atau tanggung jawab mereka dengan baik hingga selesai. Ada hal yang menarik dari hasil wawancara yang dilakukan, ketiganya memberikan pernyataan yang serupa bahwa mereka bersedia bekerja demi organisasi akan tetapi ketiganya merasa tidak perlu bekerja terlalu keras. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan salah satu responden: “... kalo tanggung jawab itu harus, kalo tugas kita hari itu harus selesai ya harus selesai. Tapi kalo saya memang gausah terlalu ngoyo mbak, yang penting kerja beres sesuai target” Berdasarkan informasi tersebut, dapat dilihat bahwa terdapat komponen komitmen yang belum terpenuhi secara optimal, yaitu kesediaan untuk memberikan usaha maksimal demi kepentingan organisasi. Menanggapi hal tersebut, peneliti menanyakan alasan dari jawaban ketiga responden. Jawaban ketiganya merujuk pada satu hal yang sama yaitu adanya ketimpangan antara apa yang dilakukan untuk organisasi dan apa yang organisasi berikan pada pegawai, jika dibandingkan dengan pegawai lainnya. Salah satu responden menceritakan bahwa bisa dikatakan bahwa ia tergolong pegawai yang rajin. Akan tetapi menurutnya, ada kalanya sikapnya ini justru merugikan karena adanya distribusi pekerjaan yang tidak merata. Di awal masa kerjanya di kantor, ia kerap menyelesaikan tugas sebelum tenggat waktu berakhir, akan tetapi akibatnya, ia diminta untuk “membantu” menyelesaikan tugas rekan kerjanya yang belum selesai hingga tenggat waktu berakhir. Selain itu, ia juga kerap diberi tugas tambahan dengan alasan semua pekerjaan akan selesai dengan baik jika ditangannya. Sesuai dengan yang telah dikemukakan sebelumnya bahwa teori keadilan berakar pada teori pertukaran sosial dimana individu akan saling membandingkan dengan individu
lain dan dengan komunitas dimana ia berada. Salah satu responden juga mengungkapkan hal serupa: “... la sekarang gini, kasarannya lo ini, buat apa kita kerja susah-susah wong yang kerjanya biasa aja bisa promosi duluan to. Nah tapi ya namanya pegawai negeri kan sebenernya semua udah diatur pusat ya, ada undang-undangnya termasuk gaji dan sebagainya, tapi ya tetep, namanya oknum tu ada aja” Pernyataan ini diperkuat oleh pernyataan responden lainnya, bahwa di kalangan PNS, fenomena KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) masih kerap terjadi. Faktor kedekatan dan kekerabatan sering kali memberikan pengaruh besar dalam proses managerial di kalangan PNS. Menurut responden ini, ada kalanya kedekatan atau kekerabatan ini lebih kuat pengaruhnya terhadap proses promosi jabatan dari pada penilaian kinerja secara formal. Hal ini tercermin dari kutipan wawancara berikut: “... praktek seperti itu saya rasa tidak hanya di BPN saja, saya rasa ini juga umum di instansi lain terutama instansi pemerintah ya. Biasanya, eh, ya ada kalanya ini, tergantung yang duduk di atas. Kalau yang di atas orang STPN ya biasanya jajarannya, kebanyakan, isinya orang STPN. Kayak sekarang ini, contohnya begitu. Kinerja itu terkadang hanya formalitas, lebih ke ini, kejayaan keturunan lah istilah ininya, tapi oknum saja lah” Adanya proses pengelolaan Sumber Daya Manusia (SDM) yang tidak sesuai prosedur dan dinilai tidak sama penerapannya antara satu individu dengan individu yang lain mengakibatkan munculnya rasa ketidakadilan dalam diri anggota organisasi (Cole, 2008). Ketidakadilan ini kemudian memunculkan reaksi dari individu seperti penurunan motivasi dan performa kerja. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan Howard (1999) bahwa keadilan prosedural memiliki hubungan positif dengan kepuasan, motivasi, komitmen, dan intensi turnover. Penelitian sebelumnya, yang dilakukan oleh Suryani (2010) menghasilkan temuan bahwa kurang optimalnya kinerja pegawai BPN di Kota Semarang disebabkan, salah satunya, karena kurangnya kesadaran untuk mengerahkan usaha maksimal untuk
kepentingan organisasi. Usaha yang diberikan oleh pegawai masih berorientasi pada kompensasi. Dengan kata lain, dapat disimpulkan bahwa komitmen yang dimiliki pegawai masih rendah sehingga mempengaruhi kinerjanya. Uraian hasil wawancara dan temuan dari penelitian terdahulu mengindikasikan bahwa terdapat hubungan yang positif antara keadilan prosedural dengan komitmen organisasi. Semakin tinggi tingkat keadilan prosedural yang dirasakan individu, akan diiringi dengan peningkatan komitmen organisasi yang dimiliki individu, demikian pula sebaliknya. Akan tetapi, jika ditelaah lebih lanjut, sebagian besar penelitian tersebut dilakukan pada organisasi profit atau perusahaan milik swasta. Belum banyak penelitian yang menggunakan subjek PNS di Indonesia. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara keadilan prosedural dan komitmen organisasi di kalangan PNS, khususnya PNS di kantor BPN. Penelitian komitmen di kalangan PNS menarik untuk diteliti karena konteks bekerja sebagai PNS tidaklah seperti pada karyawan swasta. Pada instansi swasta, apabila muncul rasa ketidakadilan dan ketidaknyamanan dalam organisasi, karyawan bisa dengan mudah mengajukan permohonan pengunduran diri. Akan tetapi lain halnya dengan PNS, PNS memiliki kontrak kerja yang lebih mengikat yang telah diatur oleh undang-undang dan karakteristik PNS berbeda dengan karyawan swasta. Seseorang yang mendaftarkan diri sebagai PNS biasanya memang mengharapkan pekerjaan yang menetap dan rutin. Keterikatan kontrak kerja yang bisa dikatakan hampir seumur hidup ini justru menjadi keuntungan bagi kemapanan secara sosial maupun finansial (Suhardiman, 2012). Selain itu, apabila PNS merasa tidak nyaman dengan lingkungan kerja atau hal lain yang memunculkan intensi untuk mengundurkan diri, tampaknya ada beberapa hal yang akan menjadi pertimbangan. Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1979 PNS bisa mengundurkan diri dengan hormat dengan alasan sakit/ketidakcakapan, usia yang sudah
mencapai 55 tahun, atau masa kerja yang sudah melebihi 10 tahun (Sumber: bkd.jogjaprov.go.id). Apabila di luar kondisi tersebut, PNS akan kehilangan haknya seperti tunjangan hari tua. Perbedaan karakteristik tersebut menjadikan topik komitmen di kalangan PNS menarik untuk diteliti. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka dapat ditarik bahwa permasalahan dalam penelitian ini adalah: “Apakah terdapat hubungan antara keadilan prosedural dan komitmen organisasi pada PNS di Kantor BPN?”
B. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk menguji secara empirik apakah terdapat hubungan antara keadilan prosedural dan komitmen organisasi pada PNS BPN.
C. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan mampu memperkaya penelitian psikologi, khususnya dalam bidang Psikologi Industri dan Organisasi yang berkaitan dengan keadilan prosedural dan komitmen organisasi. Selain itu, penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pengembangan ilmu psikologi di masa mendatang. 2. Manfaat Praktis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan dan informasi bagi pihak kantor BPN mengenai keterkaitan antara keadilan prosedural dan komitmen organisasi PNS. Informasi ini dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam penerapan kebijakan di kantor BPN. Selain itu, penelitian ini diharapkan bisa menjadi salah satu alternatif evaluasi yang mendukung perbaikan penerapan sistem pengelolaan Sumber Daya Manusia di kantor BPN.