BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Masalah
Terdapat 5 alasan pentingnya obat dalam suatu sistem pelayanan kesehatan, yaitu obat merupakan komponen kesehatan yang dapat menyelamatkan nyawa dan meningkatkan derajat kesehatan, adanya obat meningkatkan partisipasi dan kepercayaan terhadap sistem pelayanan kesehatan, obat merupakan komoditas yang mahal dalam sistem pelayanan kesehatan, obat merupakan komoditas yang berbeda dengan produk-produk konsumerisme lain, dan terakhir peningkatan kinerja yang rasional terhadap penyediaan dan penggunaan obat dimungkinkan dalam suatu sistem pelayanan kesehatan (Management Sciences for Health, 2012). Dengan 5 alasan tersebut, pengelolaan obat yang baik tentunya harus dijalankan oleh para pengelola obat. Salah satu dampak negatif dari kurang baiknya pengelolaan obat adalah tingginya tingkat pemusnahan obat karena adanya obat rusak atau kadaluarsa. Berdasarkan Laporan Pemusnahan Obat Rusak dan Kadaluarsa Tahun 2013, Dinas Kesehatan DIY melakukan pemusnahan terhadap 6.341 kg obat rusak dengan biaya pemusnahan sebesar Rp 64.995.250,00. Obat yang dimusnahkan tersebut berasal dari Instalasi-instalasi Farmasi yang ada di DIY, yaitu Kabupaten Bantul (396,86 kg), Kota Yogyakarta (800 kg), Kabupaten Sleman (800 kg), Kabupaten Kulon Progo (755 kg) dan dari Instalasi Farmasi Provinsi sebesar 3.488, 84 kg. Untuk Kabupaten Gunung Kidul sendiri melakukan pemusnahan obat sebanyak 6.702,05 kg dengan biaya pemusnahan sebesar Rp 68.696.012,00 (Dinkes Kab. Gunung Kidul, 2013). Obat kadaluarsa/rusak di DIY ini kebanyakan merupakan obat-obat bantuan pada saat bencana, obat program pusat dan beberapa merupakan obat PKD (Pelayanan Kesehatan Dasar). Walaupun adanya obat rusak/kadaluarsa tidak dapat dihindari
1
2
dengan banyaknya obat yang tidak memenuhi syarat yang berasal dari bantuan bencana, namun tentunya pengelolaan obat yang lebih baik akan ikut menurunkan banyaknya obat yang kadaluarsa atau rusak dan pada akhirnya menurunkan biaya pemusnahan obat. Pengelolaan obat yang baik akan memungkinkan untuk melakukan pengecekan terhadap obat yang akan segera kadaluarsa dan selanjutnya memungkinkan untuk melakukan tindaklanjut dalam rangka mengurangi obat rusak/kadaluarsa. Perbaikan pengelolaan obat ini salah satunya dapat dilakukan melalui penggunaan Sistem Informasi Manajemen Logistik yang handal. Sistem Informasi Manajemen Logistik (SIML) atau Logistics Management Information Systems (LMIS) merupakan sistem pencatatan dan pelaporan baik berbasis kertas maupun elektronik yang digunakan untuk mengumpulkan, menganalisis, memvalidasi dan menampilkan data yang kemudian dapat digunakan untuk pengambilan keputusan dan manajemen siklus persediaan. Logistics Management Information Systems (LMIS) yang terotomatisasi disebut dengan computerized Logistics Management Information Systems atau Sistem Informasi Manajemen Logistik terkomputerisasi (USAID Deliver Project, 2012). Kementerian Kesehatan, dalam hal ini diwakili oleh Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alkes telah mengembangkan suatu Sistem Informasi Manajemen Logistik terkomputerisasi yang diberi nama Sistem e-Logistics. Sistem e-Logistics merupakan sistem pengelolaan obat yang menjalankan fungsi pencatatan dan pelaporan dari kegiatan rutin yang dilakukan oleh Instalasi Farmasi (Kemenkes RI, 2014b). Pencatatan dilakukan untuk tiap transaksi, baik transaksi masuk maupun transaksi keluar, yang nantinya akan menghasilkan data stok obat. Data stok obat inilah yang nantinya akan dilaporkan sebagai cara untuk mengukur pencapaian Indikator Ketersediaan Obat dan Vaksin. Pelaporan dilakukan secara berjenjang, dari bawah ke atas, yaitu dari Kabupaten/Kota ke Provinsi lalu ke Kementerian Kesehatan.
3
Sistem e-Logistics yang berjalan dengan baik tentu akan sangat membantu proses pengelolaan obat baik di tingkat Kabupaten/Kota, Provinsi maupun Kementerian Kesehatan. Namun dari tahun ke tahun, walaupun dengan banyaknya perbaikan
dan
pengembangan,
sistem
ini
belum
pernah
berhasil
dalam
pengimplementasiannya (Kemenkes RI, 2014a). Berdasarkan penelitian pendahuluan yang dilakukan peneliti, dari lima kabupaten/kota yang ada di DIY, hanya Kabupaten Gunung Kidul yang telah memulai mengimplementasikan sistem ini dan akan meimplementasikan secara penuh di tahun 2015. Untuk Kabupaten Sleman, dikarenakan sudah memiliki sistem terkomputerisasi sendiri maka berkeberatan untuk menerapkan Sistem e-Logistics. Untuk Kabupaten Bantul saat ini sedang dalam proses implementasi sistem baru yang diadakan sendiri di tahun 2014. Hanya Kabupaten Kulon Progo dan Kota Yogyakarta yang membuka peluang terhadap implementasi Sistem e-Logistics namun masih terkendala oleh sumber daya manusia untuk memulai perubahan dari sistem lama ke sistem baru. Salah satu tantangan dari implementasi sistem baru adalah resistensi dari para pengguna karena setiap cara baru untuk melakukan sesuatu akan menciptakan suatu resistensi dari orang-orang terkena dampaknya (O’Brien & Marakas, 2011). Tugas utama dalam perubahan dari Sistem Informasi Manajemen Logistik lama menuju Sistem Informasi Manajemen Logistik baru adalah untuk memindahkan data yang ada di sistem lama ke sistem baru. Migrasi data dari sistem lama baik paper based maupun elektronik ke sistem baru merupakan bagian penting dalam proses inisiasi sistem baru (USAID Deliver Project, 2012). Sistem e-Logistics merupakan sistem yang
memerlukan
effort
besar
dalam
rangka
mengawali
penggunaannya.
Implementasi Sistem e-Logistics perlu diawali dengan melakukan entry data master obat yang ada di masing-masing instalasi farmasi. Banyaknya obat baik dalam jenis maupun jumlah, membuat proses awal ini memakan waktu yang cukup panjang dan effort yang besar karena diperlukan ketelitian dan fokus yang tinggi.
4
Effort yang tinggi tentulah tidak menjadi masalah apabila diimbangi dengan tingginya komitmen dan tersedianya waktu maupun sumber daya manusia yang cukup untuk melakukan alih teknologi dari sistem manual ke sistem terkomputerisasi. Apabila komitmen kurang kuat, perlulah kiranya suatu inisiatif yang dapat meningkatkan komitmen misalnya dengan pemberian intensif atau reward bagi pengelola obat. Sedangkan waktu dan sumber daya manusia yang tidak cukup dapat diatasi dengan melakukan perekrutan tenaga kerja baru. Orang-orang maupun proses-proses dalam suatu organisasi harus mengalami perubahan signifikan dalam belajar, beradaptasi dan bertumbuh untuk menghadapi pengenalan teknologi informasi. Perubahan ini terkadang drastis dan menyebabkan ketidaknyamanan dalam organisasi, dan dibutuhkan suatu solusi yang paling mudah dan paling tidak menyakitkan untuk memfasilitasi perubahan ini. Dan karenanya dibutuhkan suatu strategi dalam melaksanakan perubahan tersebut (Kuruppuarachchi & Smith, 2002). Kabupaten Gunung Kidul sendiri telah melakukan suatu strategi dalam membantu proses implementasi, yaitu dengan mempekerjakan tenaga lepas yang bertugas membantu proses alih teknologi. Tenaga lepas tersebut bertugas membantu melakukan pendataan logistik di Instalasi Farmasi Gunung Kidul maupun pemasukan data ke dalam Sistem e-Logistics (Hariyanto & Kurniawan, 2014). Dengan adanya bantuan dari tenaga lepas tersebut, Kabupaten Gunung Kidul kemudian memiliki database obat awal yang diperlukan untuk memulai implementasi Sistem e-Logistics. Berdasarkan pengalaman tersebut, peneliti ingin mengetahui apakah adanya tenaga lepas tersebut akan mempengaruhi implementasi Sistem e-Logistics di Instalasi Farmasi yang lain. Karenanya, peneliti bermaksud melakukan penelitian mengenai pengaruh intervensi Fasilitator Implementasi terhadap kesuksesan penggunaan Sistem e-Logistics. Fasilitator Implementasi yang dimaksud disini adalah tenaga luar yang tidak terikat dengan kegiatan rutin Instalasi Farmasi dan yang memiliki latar belakang kefarmasian dengan tugas pokok membantu proses alih teknologi dari sistem manual ke sistem komputerisasi.
5
Saat ini Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan salah satu daerah yang dipilih sebagai pilot project Implementasi Sistem e-Logistics oleh Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alkes. Oleh karenanya pada penelitian ini, peneliti memilih dua Instalasi Farmasi di Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai lokasi penelitian, yaitu Instalasi Farmasi Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan Instalasi Farmasi Kota Yogyakarta. Instalasi Farmasi Provinsi DIY dipilih untuk mewakili Instalasi Farmasi Level Provinsi dengan karakteristik low transaction dan memiliki sistem lama yang berupa excel. Sedang Instalasi Farmasi Kota Yogyakarta dipilih untuk mewakili Level Kabupaten/Kota dengan karakteristik high transaction dan memiliki sistem lama yang berupa excel baik di Instalasi Farmasinya sendiri maupun di tingkat puskesmas yang diampu. Keberhasilan implementasi di dua Instalasi Farmasi ini diharapkan dapat menjadi bahan pembelajaran untuk menyukseskan implementasi Sistem e-Logistics di daerah-daerah lain di Indonesia. B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan maka dapat dirumuskan permasalahan pada penelitian ini yaitu sebagai berikut; “Apakah adanya Intervensi Fasilitator Implementasi akan mempengaruhi kesuksesan penggunaan Sistem e-Logistics di Instalasi Farmasi Provinsi DIY dan Instalasi Farmasi Kota Yogyakarta?” C. Tujuan Penelitian a.
Tujuan Umum Mengetahui pengaruh adanya Fasilitator Implementasi terhadap penggunaan Sistem e-Logistics.
b.
Tujuan Khusus Mengetahui pengaruh Fasilitator Implementasi terhadap penggunaan Sistem eLogistics pada Instalasi Farmasi dengan level bisnis yang berbeda, yaitu
6
Instalasi
Farmasi
tingkat
Provinsi
dan
Instalasi
Farmasi
tingkat
Kabupaten/Kota.
D. Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah : 1.
Meningkatkan efisiensi dan efektivitas pengelolaan obat di Instalasi Farmasi Provinsi DIY dan Instalasi Farmasi Kota Yogyakarta.
2.
Langkah awal menuju suksesnya implementasi Sistem e-Logistics di seluruh Indonesia
3.
Mendukung tercapainya salah satu Indikator Utama Kementerian Kesehatan, Ketersediaan Obat dan Vaksin. E. Keaslian Penelitian Beberapa penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti lain dan ada kemiripan
dengan penelitian ini antara lain : 1.
Maria Irwani (2010), meneliti tentang “Evaluasi Penggunaan Sistem Informasi Manajemen Obat pada Instalasi Farmasi Kabupaten/Kota Se-Provinsi DIY”. Penelitian Saudari Maria ini bertujuan untuk mengevaluasi penggunaan SIMO dalam pengelolaan obat publik pada IFK se-Provinsi DIY. Persamaan dengan penelitian ini adalah materi yang diteliti yaitu Sistem Informasi mengenai pengelolaan obat. Perbedaannya terletak pada pendekatan penelitian yang dilakukan, saudari Maria melakukan evaluasi sistem informasi sedang pada penelitian ini dilakukan intervensi pada implementasi sistem informasi.
2.
Rendita Dwibarto (2013) meneliti tentang “Evaluasi Sistem Informasi Manajemen Obat pada Instalasi Farmasi Rumah Sakit Ghrasia Yogyakarta”. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi penggunaan SIMO
dalam
pengelolaan obat di Instalasi Rumah Sakit Ghrasia Yogyakarta. Persamaan
7
dengan penelitian ini adalah materi yang diteliti yaitu Sistem Informasi mengenai pengelolaan obat.
Perbedaannya terletak pada pendekatan penelitian yang
dilakukan, saudara Rendita melakukan evaluasi sistem informasi sedang pada penelitian ini dilakukan intervensi pada implementasi sistem informasi. 3.
Ghassami dan Ghandehary (2014) meneliti tentang “An Investigation on The Effect of Electronic Management Information System on Inventory Control of Hospital
Pharmaceutical”. Penelitian ini bertujuan untuk menginvestigasi
bagaimana efek dari Sistem Informasi Manajemen Elektronik pada Sistem Pengelolaan Obat di rumah sakit. Persamaan dengan penelitian ini adalah materi penelitian yang berupa sistem informasi manajemen obat. Perbedaannya terletak pada pendekatan penelitian yang dilakukan, Ghassami dan Ghandehary melakukan investigasi pada implementasi sedang pada penelitian ini dilakukan intervensi
pada
implementasi
sistem
informasi
manajemen
obat.
8