BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di era kontemporer, pendekatan yang diambil Jepang dalam melakukan politik luar negeri dengan Myanmar kerap disebut sebagai critical engagement policy. Pendekatan ini merupakan tranformasi dari engagement policy yang telah diberlakukan Jepang dalam hubungannya dengan Myanmar sejak ia memberi dana reparasi pasca Perang Dunia II dan pemberian ODA (Official Development Assistance) tahun 1955 dan 1968 (Kudo, 2007). Engagement policy yang dilakukan oleh Jepang ini mengalami berbagai perubahan seiring terjadinya fluktuasi politik dan ekonomi di Myanmar (Edstorm, 2009). Satu hal yang tidak berubah dari transformasi ini adalah ODA tetap menjadi elemen kunci hubungan kedua negara. Saat engagement policy maupun saat critical engagement policy, Jepang secara konsisten memberikan bantuan ke Myanmar. Perbedaannya terletak pada prakondisi yang harus dilakukan oleh Myanmar dalam periode critical engagement policy. Jepang akan memberikan bantuan dengan kondisi Myanmar mau melakukan reformasi politik dan ekonomi serta menyelesaikan berbagai masalah dalam negerinya. Sementara ketika periode engagement policy, Jepang memberikan ODA ke Myanmar tanpa prakondisi. Pasca berakhirnya Perang Dingin, konsep ODA Jepang secara keseluruhan mendapatkan kritik karena Jepang dinilai hanya menggunakan ODA untuk kepentingan investasi melalui bantuan infrastruktur. Menjawab kritikan ini, pemerintah Jepang mengambil langkah untuk merevisi piagam ODA tahun 2003. Salah satu revisi yang menarik ialah dimasukkannya konsep human security dalam piagam ODA (Er, 2006). Human security juga dimasukkan dalam Medium-Term Policy ODA tahun 2005 sebagai pendekatan efektif untuk pemberian asistensi pembangunan (JICA, 2010) dan masuk sebagai satu dari tiga pilar reformasi JICA (JICA, 2010). Hal ini turut memberi pengaruh pada ODA yang diberikan Jepang ke Myanmar. Konsep human security sendiri menekankan perlindungan terhadap individual (Newman, 2010). Konsep human security mencakup segala hal menyangkut pemberdayaan seorang individu untuk menghadapi berbagai ancaman (threats) di era kontemporer (UNESCO, 2008). Ancaman di bidang ekonomi, pangan, kesehatan, lingkungan, personal and community, serta ancaman secara politis dijawab dengan kombinasi antara HAM, termasuk hak ekonomi, sosial, dan budaya, akses ke pendidikan, fasilitas kesehatan, dan good 16
governance (UNESCO, 2008). Bagi Jepang sendiri, konsep human security berarti keamanan dan keselamatan individu terutama dalam aspek freedom from want. Konsep human security Jepang merupakan turunan dari konsep keamanan komprehensif (sego anzen hosho) (Hynek, Japan's Human Security: A Conceptual and Institutional Analysis, 2008) yang telah muncul pada masa kepemimpinan PM Ohira (1978-1980) untuk menjawab tantangan-tantangan keamanan domestik Jepang. Konsep keamanan komprehensif ini menjadi kembali muncul dalam perdebatan terkait keamanan awal 1990-an dan membuka jalan bagi Jepang untuk memperkenalkan human security. Human security telah digunakan sebagai political leitmotif atau guiding vision oleh pemerintah Jepang dalam membuat berbagai kebijakan luar negeri ke beberapa negara di Asia, Afrika, Amerika Latin, dan Timur Tengah (Atanassova-Cornelis, Defining and Implementing Human Security: The Case of Japan, 2006). Jepang telah mengimplementasikan human security melalui Trust Fund for Human Security dan ODA, serta Commission on Human Security (CHS) (AtanassovaCornelis, Defining and Implementing Human Security: The Case of Japan, 2006). Jepang merupakan salah satu aktor internasional yang memiliki peran menonjol dalam perkembangan konsep ini. Seperti banyak riset lain yang membahas human security Jepang, pendekatan Jepang berfokus pada agenda pembangunan, kemiskinan, dan kemanusiaan melalui ODA (Atanassova-Cornelis, Defining and Implementing Human Security: The Case of Japan, 2006; Atanassova-Cornelis, Japan and the 'Human Security' Debate: History, Norms and Proactive Foreign Policy, 2005; Edstorm, 2009; Er, 2006; Fukushima, Human Security and Japanese Foreign Policy, 2003; Gilson & Purvis, 2003; Debiel & Werthes, 2006; Hynek, Japan's Human Security: A Conceptual and Institutional Analysis, 2008; Howe & Suyoun, Human Security and Development: Divergent Approaches to Burma/Myanmar, 2013). Namun bagi rakyat Myanmar, human security yang seharusnya dipenuhi oleh negara mereka berlawanan dengan apa yang didefinisikan Jepang sebagai human security. Negara menggunakan alasan keamanan nasional untuk menekan human security. Isu-isu keamanan nasional kerap dijadikan sebagai kabut untuk menutupi opresi yang dilakukan pemerintah. Myanmar memiliki berbagai permasalahan domestik seperti masalah-masalah transisi demokrasi, rekonsiliasi nasional, HAM, dan masalah ekonomi terkait pembangunan dan kemiskinan (Howe & Suyoun, Human Security and Development: Divergent Approaches to Burma/Myanmar, 2013). Di sisi lain, Myanmar merupakan negara yang penting bagi Jepang karena perannya sebagai pasar baru, lokasinya yang strategis, dan atmosfer politiknya yang 17
membaik pasca pemilu 2010. Sebagai negara yang memiliki problem politik di tingkat pemerintah dan akar rumput, pendekatan human security menjadi pendekatan yang tidak mudah untuk diaplikasikan di Myanmar. Ditambah lagi, pemerintah Myanmar merupakan tokoh yang kerap menambah kondisi human insecurity bagi rakyatnya sendiri. Dihadapkan dengan kondisi problema politik dan pemerintah yang kurang mendukung penjaminan human security, menarik untuk melihat bagaimana pendekatan human security digunakan oleh pemerintah Jepang di Myanmar. Meneliti pendekatan human security dalam bantuan ODA Jepang ke Myanmar merupakan topik yang luas. Pada dasarnya, tiap ODA yang dikeluarkan Jepang merupakan bentuk dari pelaksanaan pendekatan human security itu sendiri karena human security telah terikat dalam piagam ODA. Untuk dapat melihat bagaimana human security berfungsi sebagai sarana politik, tulisan ini memilih untuk berkonsentrasi pada bantuan khusus human security Jepang ke Myanmar yakni proyek jangka panjang human security dan GHSP. Dalam tulisan ini, penulis melihat bantuan asing sebagai frame. Penulis berasumsi bahwa Jepang mengambil beberapa aspek realita di Myanmar sebagai permasalahan dan mengemas bantuan asing dengan pendekatan human security melalui proyek-proyek khusus menjadi solusi permasalahan dan sebagai hal yang menguntungkan bagi Myanmar. Penulis berharap skripsi ini dapat menunjukkan bagaimana human security digunakan sebagai cara bagi pemerintah Jepang untuk melihat dan membatasi pandangannya terhadap berbagai permasalahan di Myanmar dan memberikan justifikasi atas kebijakan pemberian bantuannya. Penulis juga sekaligus berharap bahwa pemaparan tren ODA Jepang ke Myanmar di era millennium dengan menyoroti dan memberi interpretasi pada perkembangannya dalam satu dasawarsa (2003-2013) dapat memberikan pemahaman terhadap agenda Jepang secara keseluruhan di negara tersebut.
B. Pertanyaan Penelitian Bagaimana human security digunakan sebagai sarana politik dalam politik luar negeri Jepang di Myanmar sejak tahun 2003?
C. Landasan Konseptual Untuk menganalisis masalah dan menjawab pertanyaan penelitian tentang penggunaan human security sebagai sarana politik dalam politik luar negeri Jepang di Myanmar sejak tahun 2003, penulis akan menggunakan konsep frame. Frame adalah unit konsep dan 18
perspektif teoritis atau konstruksi sosial terkait suatu fenomena. Frame membantu menginterpretasikan, memprioritaskan, dan mengklasifikasikan informasi (Veen, 2011, pp. 12). Fitur kunci dari frame adalah bahwa ia mampu menjelaskan tujuan dari suatu kebijakan sekaligus menjelaskan kebijakan-kebijakan khusus terkait kebijakan tersebut. Frame adalah cara pandang atau cara berpikir umum terhadap kebijakan-kebijakan khusus. Dengan frame kita bisa melihat/menerawang suatu kebijakan luar negeri dapat terkait dengan interest tertentu (Veen, 2011, pp. 5-6). Framing secara esensial melibatkan proses seleksi dan membuat sebuah informasi menjadi lebih nyata dan menarik perhatian, bermakna, serta mengesankan bagi target yang dituju (Entman, 1993). Untuk membingkai sebuah informasi berarti memilih beberapa aspek realita yang dinilai dan dirasa membuat realita tersebut lebih menonjol (Entman, 1993). Frame bukan hanya sebuah sarana instrumental untuk justifikasi pasca sebuah aksi dilakukan namun juga sebuah bagian ex-ante dari proses politik yang menghasilkan keputusan (Kaplan, 2008).
a. Faktor-faktor yang mempengaruhi kemunculan dan dominasi suatu frame Frame merupakan bagain dari paham konstruktivisme. Melalui paham konstruktivisme kita melihat bahwa suatu kebijakan atau fenomena merupakan konstruksi sosial. Terdapat komponen ide, identitas, kepentingan, dan sistem internasional di dalamnya. Pun dengan frame. Frame merupakan ide yang digunakan oleh suatu negara untuk melihat kebijakan bantuannya menjelaskan dan membentuk interest. A. van der Veen menginterpretasikan aspek konstruktivisme ini lebih jauh dalam faktor-faktor umum yang mempengaruhi kemunculan dari frame:
Tradisi nasional dan pengalaman (termasuk sejarah dan identitas suatu negara)
Konteks ekonomi dan politik internasional
Upaya pemerintah sebagai frame enterpreneurs dan pemberi informasi (upaya yang dilakukan pemerintah untuk mempromosikan kebijakan bantuan, meningkatkan kualitas bantuan, dan transparansi kebijakan)
Pengalaman dengan kebijakan-kebijakan bantuan di masa lalu, baik sukses maupun gagal. Human security muncul menjadi frame dari identitas value oriented diplomacy dan
negara model pembangunan ekonomi yang ingin dimunculkan Jepang. Untuk menekankan identitas ini, Jepang mengambil posisi sebagai negara dengan critical 19
engagement policy ke Myanmar, berada di tengah antara kubu sanksi dan kubu kerjasama total sehingga ketika ia memberi bantuan ia tetap mempertimbangkan aspekaspek yang sesuai dengan identitasnya. Posisi pemerintah Jepang ini didokumentasikan dalam berbagai dokumentasi resmi melalui rilis media dan laporan periodik yang tersedia secara bebas di laman online, sehingga sebagai frame enterpreneurs. Pemerintah Jepang cukup terbuka dan masyarakat Jepang maupun internasional dapat melakukan evaluasi terhadap keberhasilan frame ini.
b. Bagaimana suatu isu dapat disebut sebagai frame Suatu frame yang efektif haruslah bisa melakukan fungsi-fungsi tertentu khususnya terkait sebab dan akibat dari peristiwa-peristiwa terkait frame tersebut agar bisa lebih mudah dimengerti. David Snow dan Robert Benford menyatakan bahwa sebuah frame harus menjalankan fungsinya untuk menjelaskan sebuah isu, mengelaborasikan isu tersebut, dan menjadi motivasi aksi yang harus diambil dalam menghadapi isu itu (Snow & Benford, Ideology, Frame Resonance, and Participant Mobilization, 1988; Snow & Benford, Mater Frames and Cycles of Protest, 1992). Sementara itu Robert Entman menyatakan bahwa secara khusus frames berfungsi untuk mendefinisikan sebuah permasalahan,
menginterpretasi
sumber-sumber
dan
alasan-alasan
munculnya
permasalahan tersebut, membuat penilaian moral, dan menyarankan solusi untuk menyelesaikan permasalahan tersebut (Entman, 1993). Hal ini turut pula dielaborasikan oleh Gamson dalam bukunya yang berjudul “Talking Politics” bahwa frame berfungsi untuk mendiagnosa, mengevaluasi, dan menentukan langkah selanjutnya yang harus diambil (Gamson, 1992). Dalam konteks fungsi frame, bantuan dengan pendekatan human security dapat disebut menjadi sebuah frame karena ia bisa menjalankan fungsi-fungsinya sebagai frame. Human security bisa digunakan untuk menjelaskan permasalahan-permasalahan human insecurity di Myanmar seperti demokratisasi, pembangunan, pengungsi internal, perang sipil, dan bencana alam. Human security juga bisa mendiagnosa sumber-sumber permasalahan ini yang dikarenakan kelalaian dan pembiaran yang dilakukan oleh pemerintah Myanmar terhadap rakyatnya. Dan human security bisa menjadi solusi melalui bantuan lewat badan-badan PBB yang dilaksanakan oleh NGO dan kedutaan besar Jepang di Myanmar dalam bentuk ODA khusus human security dan programprogram GHSP yang diinisiasi oleh Jepang di Myanmar. Meski begitu, frame ini 20
memiliki keterbatasan terutama mengingat jumlahnya yang kecil jika dibandingkan dengan total keseluruhan bantuan asing Jepang ke Myanmar.
D. Argumen Utama Skripsi ini memiliki argumen bahwa human security menjadi sarana politik dalam kebijakan luar negeri Jepang dengan perannya sebagai bagian dari frame bantuan asing Jepang di Myanmar. Hal ini berarti bantuan asing dengan pendekatan human security diharapkan mampu menjadi sarana yang menjustifikasi kebijakan bantuan asing Jepang di Myanmar sebagai hal yang menguntungkan dan bukan hal yang merugikan terutama untuk menjawab permasalahan-permasalahan sosial dan politik terkait human security.. Caranya adalah dengan mengemasnya menjadi suatu hal yang mampu menjawab permasalahan-permasalahan masyarakat Myanmar. Hal yang penting disini frame bantuan asing dengan pendekatan human security dilihat dari domain formasi dan aplikasi: bagaimana human security bisa muncul dan berkembang sebagai frame yang menjadi bagian dari identitas yang ingin dimunculkan Jepang dan apakah ia dapat menjalankan fungsinya sebagai frame yang mampu memformulasikan dan menjelaskan permasalahan human insecurities di Myanmar, dan menjadi solusi untuk permasalahan tersebut. Penulis berargumen bahwa frame bantuan asing dengan pendekatan human security Jepang mampu menjelaskan dan mengelaborasikan permasalahan human insecurity di Myanmar namun memiliki keterbatasan terutama mengingat budaya politik di Asia Tenggara, limitasi konsep human security Jepang, hubungan keamanan bilateral Jepang dan AS, konsepsi keamanan Myanmar, serta pragmatisme bantuan asing Jepang di Myanmar secara keseluruhan.
E. Sistematika Penulisan Skripsi ini akan terdiri dari empat bab. Bab pertama yang berisi pendahuluan (Latar Belakang Masalah, Rumusan Pertanyaan Penelitian, Landasan Konseptual, Argumen Utama, dan Sistematika Penulisan). Pembahasan dalam skripsi ini akan dibagi dalam dua bab. Bab kedua menganalisis secara khusus bagaimana human security dapat muncul sebagai suatu frame melalui penilaian terhadap faktor-faktor yang mempengaruhinya. Sedangkan bab ketiga menganalisis pendekatan human security menjadi sarana dalam kebijakan ODA khusus human security Jepang di Myanmar dengan indikator fungsi frame yang dijalankan oleh pendekatan tersebut serta keterbatasan frame bantuan human security ini. Skripsi ini akan ditutup dengan bab keempat yang berisi kesimpulan yang diperoleh dari hasil penelitian. 21