BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak adalah aset bangsa dan pembangunan harus dilindungi untuk kepentingan ke depan yang terbaik bagi anak. Anak sebagai generasi penerus, pemegang nasib bangsa harus dipersiapkan untuk kepentingan bangsa ke depan yang terbaik. Merugikan kepentingan anak pada hakikatnya sama dengan merugikan kepentingan bangsa dan negara. Pancasila adalah sumber dasar penegakan hukum pidana di Indonesia. Artinya, penegakan hukum pidana itu harus bersumber dari nilai-nilai filsafat hidup dan filsafah negara. Hal ini ditegaskan oleh Darji Darmodiharjo, bahwa : Kemerdekaan bangsa dan negara Indonesia secara melembaga dan formal (= dengan negara dan Undang-Undang Dasar Negara), bangsa Indonesia meningkatkan kedudukan dan fungsi Pancasila. Artinya dari kedudukannya sebagai filsafat hidup negara; dari kondisi nilai sosial budaya menjadi nilai filosofis-ideologis yang konstitusional (dikukuhkan berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 )1 Filsafat hidup manusia khususnya bangsa Indonesia dalam berhukum harus mendasarkan dan mencerminkan nila-nilai filsafat negara (Pancasila) serta konstitusi negara (Undang-Undang Dasar 1945) Inspirasi pemikiran dasar ini, juga dikuatkan dengan ketentuan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 (Lembaran Negara Tahun 2009 Nomor 157), tentang Kekuasaan Kehakiman yang selengkapnya ditegaskan : Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi terlenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia 1
Darji Darmodiharjo, Pendidikan Pancasila Di Perguruan Tinggi, IKIP Malang 1988, h 12
1
2
Kedudukan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUH Pidana) sebagai Pedoman Induk dalam Penegakan Hukum Pidana di Indonesia masih belum bisa menjamin nilai keadilan substantif, karena Kitab ini dbuat di Negeri Belanda tahun 1881, dan dibutuhkan untuk kepentingan kolonial Belanda. Jika dikaitkan dengan penegakan hukum pidana anak di Indonesia, Kitab ini tidak banyak mengakomudasi kepentingan anak. Yayasan Pemantau Hak Anak (Children’s Human Rights Foundation) mencatat anak-anak yang berkonflik dengan hukum sebagai berikut: Lebih dari 4.000 anak Indonesia diajukan ke pengadilan setiap tahunnya atas kejahatan ringan seperti pencurian. Pada umumnya mereka tidak mendapat dukungan dari pengacara maupun dinas sosial. Maka tidaklah mengejutkan, sembilan dari sepuluh anak ini akhirnya dijebloskan ke penjara atau rumah tahanan.2 Sepanjang tahun 2000, tercatat dalam statistik kriminal kepolisian terdapat lebih dari 11.344 anak yang disangka sebagai pelaku tindak pidana. Pada bulan Januari hingga Mei 2002, ditemukan 4.325 tahanan anak di rumah tahanan dan lembaga pemasyarakatan di seluruh Indonesia. Lebih menyedihkan, sebagian besar (84.2%) anak-anak ini berada di dalam lembaga penahanan dan pemenjaraan untuk orang-orang dewasa dan pemuda. Jumlah anak-anak yang ditahan tersebut, tidak termasuk anak-anak yang ditahan dalam kantor polisi ( Polsek, Polres, Polda dan Mabes). Pada rentang waktu yang sama, yaitu Januari hingga Mei 2002, tercatat 9.465 anak-anak yang berstatus sebagai Anak Didik (Anak Sipil, Anak Negara, dan Anak Pidana) tersebar di seluruh rumah tahanan dan lembaga pemasyarakatan. Sebagian besar, yaitu 53.3%, berada di rumah tahanan dan lembaga pemasyarakatan untuk orang dewasa dan pemuda. Kondisi ini tentu saja sangat memprihatinkan, karena banyak anak-anak yang harus berhadapan dengan proses peradilan. Keberadaan anak-anak dalam tempat penahanan dan pemenjaraan bersama orang-orang yang lebih dewasa, menempatkan anak-anak pada situasi rawan menjadi korban berbagai tindak kekerasan.3 Anak-anak dalam kondisi demikian disebut dengan anak yang berkonflik dengan hukum (children in conflict with law). Anak yang berkonflik dengan hukum dapat didifinisikan anak yang disangka, dituduh atau diakui sebagai telah melanggar undang-undang hukum pidana.4 Kemudian Majelis Umum PBB dalam Standard Minimum Rules for the Administration of Juvenile Justice5 atau yang dikenal dengan Beijing Rules mendefinisikannya sebagai berikut a child or a young person who is alleged to have committed or who has been found to have committed an offence. Dalam
2
Steven Allen, Kata Pengantar, dalam Purnianti, Mamik Sri Supatmi, dan Ni Made Murtini Tinduk, Analisa Situasi Sistem Peradilan Pidana Anak, (Juvenile Justice System) di Indonesia, UNICEF, Indonesia, 2003, hal, 1 3 Tim Analisa Situasi dalam Kata Pengantar, ibid, hal ii-iii 4 Lihat Pasal 40 ayat (1) KHA 5 General Assembly resolution 40/33 of 29 November 1985
3
perspektif Konvensi Hak Anak/KHA (Convention The Rights of The Child/CRC),6 anak yang berkonflik dengan hukum dikatagorikan sebagai anak dalam situasi khusus (children in need of special protection /CNSP)7. UNICEF menyebut anak dalam kelompok ini sebagai ‘children in especially difficult circumstances’ (CEDC) karena kebutuhan-kebutuhannya tidak terpenuhi, rentan mengalami tindak kekerasan, berada di luar lingkungan keluarga (berada di lingkup otoritas Negara)8, membutuhkan proteksi berupa regulasi khusus9, dan membutuhkan perlindungan dan keamanan diri10. Kebutuhan-kebutuhan ini tidak dapat dipenuhi karena anak tersebut tidak mendapatkan perlindungan dan perawatan yang layak dari orang dewasa yang berada di lingkungan tempat di mana anak biasanya menjalani hidup11 Seseorang yang melanggar hukum pidana akan berhadapan dengan negara melalui aparatus penegak hukumnya. Sebagai sebuah instrumen pengawasan sosial, hukum pidana menyandarkan diri pada sanksi karena fungsinya memang mencabut hak orang atas kehidupan, kebebasan, atau hak milik mereka. Invansi terhadap hak dasar ini dibenarkan, demi melestarikan masyarakat dan melindungi hak-hak fundamental dari gangguan orang lain12
Bertalian dengan hak dalam hukum pidana tersebut Nur Rochaeti, mengutip Tim ABH Propinsi Jawa-Tengah, Unicef, 2007, bahwa: Di Indonesia setiap tahunnya lebih dari 5.000 anak dihadapkan di Pengadilan. Sebagian besar perbuatan yang mereka lakukan adalah tergolong ringan, seperti pencurian dalam jumlah yang kecil, namun hampir 90 % anak ini berakhir di penjara atau rumah tahanan13 Faktor internal dan eksternal anak, mobilitas sosial, mobilitas budaya, mobilitas iptek dan faktor kriminogen lain yang menjadi pemicu kenakalan anak,
6
Pemerintah Republik Indonesia telah meratifikasi KHA melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 7 Lihat KHA Pasal 37, 39 dan 40 8 Juth Enew, Difficult Circumstances: Some Reflections on “Street Children” in Africa, Children,Yuth and Environments 13 (1) Spring 2003, p 7-8 9 Myles Ritchie, Children in ‘Especially Difficult Circumstances’: Children living on The Street. Can their Special Needs Be Met Through Special Legal? Consultative Paper Prepared for The South African Law Commission, 1999, p xii 10 Wanjku Kaime, Atterhog, The Social Context of Children in Especially Difficult Circumstances (CEDC), ESCAP HRD Course on Psycholosocial and Medical Service for Sexually Exploited Children and Youth, No Year, p 1, 6.7 11 ibid 12 Haji N.A. Noor Muhammad, Proses Hukum Bagi Orang Didakwa Melakukan Kejahatan, dalam Hak Sipil dan Politik: Esai-Esai Pilihan, Ifdhal Kasim (Editor), Jakarta, Elsam, 2001, hal 180 13 Nur Rohaeti, Partisipasi Masyarakat Dalam Peradilan Restoratif Bagi Pelaku Anak Di Masa Datang, Makalah, 30 Aguatus 2013, hal 2
4
pertimbangan hakim pidana anak yang masih bersifat positivistik, pemikiran hakim yang menganggap bahwa mempertimbangkan hasil litmas dalam putusan pidana anak bukan merupakan suatu kewajiban (Vide Pasal 60 ayat (3) UU SPPA), ajaran hukum murni Hans Kelsen ”Reine Rechtslehre” masih dijadikan causa prima hukum pidana anak oleh aparat penegak hukum pidana anak dalam mencari kebenaran hukum pidana materiil, kebenaran hukum pidana formil masih dianggap sebagai dokumen hukum yang absolut oleh aparat penegak hukum pidana anak, doktrin hukum la bouche de la- loi dan asas ultra petita masih menjadi pertimbangan dasar oleh hakim pidana anak dan institusi atau lembaga peradilan pidana anak berjalan tidak efektif dalam peradilan pidana anak adalah faktor das Sain dalam Disertasi ini. Selanjutnya, kurangnya tindakan preventif dari orang tua, masyarakat dan pemerintah dalam menanggulangi kenakalan anak, minimnya sarana-prasarana (Institusi pembinaan anak nakal, lembaga sosial untuk pembinaan anak nakal), tersedianya tenaga atau aparat penegak hukum pidana anak yang profesional, penjatuhan sanksi pidana yang tegas terhadap aparat penegak hukum pidana anak yang salah dalam menerapkan hukum pidana anak, termasuk terhadap hakim yang mengeluarkan putusan Onslag van Rechtvervolging dalam peradilan pidana anak, tidak melaksanakan peradilan Diversi untuk anak, tidak mempertimbangkan hasil litmas dari Bapas dalam putusan pidana anak, tersedianya ketentuan normatif yang dituangkan dalam undang-undang tentang Pedoman Pertimbangan Hakim Dalam Penjatuhan Sanksi Pidana dan tersedianya sarana-prasarana untuk melaksanakan peradilan pidana anak dengan sistem dua jalur (Double Tracks Criminal Justice System for Juvenile Delinquency) menjadi unsur das Sollen dalam peradilan pidana anak. Oleh karena Undang-Undang RI Nomor 3 Tahun 1997 (LN Tahun 1997 Nomor 3) tentang Pengadilan Anak sebagaimana telah dicabut dengan UndangUndang RI Nomor 11 Tahun 2012 (LN Tahun 2012, Nomor 153) tentang Sistem Peradilan Pidana Anak selanjutnya disingkat UU SPPA, keduanya tidak merumuskan delik materiil secara tegas, cukup beralasan hakim pidana anak
5
diberi kewenangan, kebebasan (kemerdekaan) oleh Undang-Undang untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan (Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Dalam Satu Naskah Pasca Perubahan Keempat Undang-Undang Dasar RI Tahun 1945, tanggal 10 Agustus 2002). Hakim harus dapat menciptakan keadilan substantif dalam proses peradilan pidana anak. Istilah substantif berasal dari kata ‘substantiate (verb) means to give facts to support (a claim, statement, charge etc)’14. Kata ‘substantif (substantive) adalah jenis kata sifat (adjective)’. Jadi keadilan substantif
adalah keadilan yang sebenarnya, keadilan yang
sesuai
sengan realitas yang sebenarnya. Keadilan yang sesuai dengan realitas yang sebenarnya adalah keadilan yang sesuai dengan fakta hukum yang diperoleh dari pertimbangan yuridis, sosiologis dan filosofis. Penegakan hukum pidana harus ditekankan pada kebenaran hukum pidana materiil. Delik materiil dalam hukum pidana anak, belum dirumuskan secara tegas dalam undang-undang. Ruh keadilan substantif sebenarnya berada pada pertimbangan sosiologis. Karena itu, dalam peradilan anak harus dipertimbangkan faktor internal dan eksternal anak, mubilitas sosial, mubilitas budaya, mubilitas iptek, serta faktor kriminogen lainnya. . Apabila keadilan substantif bagi anak belum dirumuskan secara tegas dalam undang-undang, maka hakim berkewenangan memeriksa dan mengadili anak dengan menggunakan kebijakan yudisial yang dibenarkan dalam Konstitusi Negara. Judicial policy hakim adalah kebijakan aplikatif dalam memeriksa, mengadilan, dan menjatuhkan pidana. Judicial policy hakim tidak dapat dilepaskan dari kebijakan legislasi. Kebijakan legislasi merupakan bagian dari kebijakan publik. Pablict
policy adalah prinsip-prinsip umum dalam pemerintahan yang
dibuat untuk memberi petunjuk pada
menejemen urusan publik atau Badan
Kekuasaan Pembuat Undang-Undang (Dewan Perwakilan Rakyat bersama-sama A.S Hornby, The Advanced Learner’s Dictionary of Current English, Oxford University Press, Ninth Imression 1973, p 1006
14
6
Pemerintah/ Presiden) dengan segala tindakannya, misalnya : membentuk dan membuat kesepakatan bersama baik dalam bentuk hukum, undang-undang, peraturan perundangan, maupun peraturan daerah untuk kepentingan umum atau keinginan bersama, untuk kemakmuran dan kesejahteran negara. Berdasarkan prinsip-prinsip di atas, dapat dikatakan kebijakan adalah tindakan pemerintah atau pemegang kewenangan pemerintah untuk melaksanakan fungsi jabatannya dengan tujuan : 1. Menata perilaku kehidupan masyarakat dengan sarana hukum dan perundangundangan yang benar dan adil (fungsi legislasi); 2. Membentuk menejemen pemerintahan yang baik untuk menciptakan pelayanan publik dan kepentingan masyarakat yang akuntabel, mensejahterakan kehidupan masyarakat, bangsa dan negara yang berkeadilan sosial sesuai dengan amanah Undang-Undang Dasar 1945 (fungsi pelayanan) ; 3. Menciptakan kondisi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang kondusif, aman, tertib, damai, sejahtera baik dalam bidang sosial, politik, hukum, maupun budaya (fungsi keamanan) Dasar pemikiran tersebut,
dijelaskan dalam Black’s Law Dictionary,
sebagai berikut: Policy is the general principles by which a government is guided in its management of public affairs or the legislature in its measures. A general term used to describe all contracts of insurance. This term, as applied to a law, ordinance or rule of law, denotes its general purpose or tendency considered as directed to the welfare or prosperity of the state or community15 Kebijakan harus menciptakan keadilan dan demokratisasi berdasarkan nilai-nilai filosofis Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Adil, artinya tidak berat sebelah atau tidak memihak. Adil harus berpihak kepada yang benar serta berpegang
pada konstitusi dan hukum. Meskipun saat ini adalah Era
Henry Camp Bell Black , Black’s Law Dictionary, STP Minn West Publishing Co, Massachusetts, 1999, h 1041 15
7
Pemerintahan Joko Widodo (Jakowi), ketentuan Undang-Undang Dasar Tahun 1945, kebijakan dalam
RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional) Tahun 2004-2009, dan
doktrin hukum para Teorisi masih relevan
untuk dipertimbangkan dalam mencari kebenaran dan keadilan karena ketentuan Undang-Undang Dasar, kebijakan dalam RPJMN tersebut msih berlaku dan berfungsi sebagai landasan konstitusional yang
bersumber dari kebenarann
hukum pidana formil, sedangkan doktrin hukum dari Teorisi adalah kebenaran yang bersumber dari kebenaran hukum pidana materiil. RPJMN Tahun 20042009 mengagendakan perwujudan nilai keadilan dan demokrasi terbagi dalam 5 (lima) sasaran pokok, yaitu : Pertama : meningkatkannya keadilan dan penegakan hukum yang tercermin dari terciptanya
sistem hukum yang adil, konsekuen dan tidak
diskriminatif serta memberikan perlindungan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia…. ; Kedua
: terjaminnya keadilan gender bagi peningkatan peran perempuan dalam berbagai bidang
pembangunan
dengan prioritas yang diberikan
kepada Peningkatan Kualitas Kehidupan dan Peran Perempuan serta Kesejahteraan dan Perlidungan Anak ; Ketiga
: meningkatnya penyelenggaraan otonomi daerah dan kepemerintahan daerah serta terjaminnya
kosistensi seluruh peraturan pusat dan
daerah, dan tidak bertentangan dengan peraturan dan perundangan yang lebih tinggi ; Keempat : meningkatkannya pelayanan berokrasi kepada masyarakat antara lain dengan berkurangnya praktik korupsi di birokrasi, terciptanya sistem pemerintahan dan berokrasi yang bersih, akuntabel, transparan, efisien dan berwibawa…. ;
8
Kelima
: terpeliharanya momentum awal konsolidasi demokrasi dengan terlaksananya
secara
efektif
fungsi
dan
peranan
lembaga
penyelenggaraan negara dan lembaga kemasyarakatan16 Perwujudan nilai keadilan dan demokratisasi tersebut, pada hakikatnya tidak dapat dipisahkan dari bekerjanya sistem hukum yang terdiri dari substansi hukum (legal of substance), struktur hukum (legal structure) dan budaya hukum (legal culture). Hal ini sejalan dengan pendapat Lawrence M Friedman dan Stewart Macaulay, bahwa : Legal culture is first of all a major unknown ; and second , because legal culture is the key to effectiveness to the effectiveness of law . Both points are obvious, Opinion research that touches on law is rare . And legal structure is far more than “ public opinion “ in the crude sense of the polls. For one thing “ the public “ is a myth ; to understand the law, one must carefully define a relevant public; and its identity will differ as issues differ. It is clear, however that the effectiveness of any law, actual or proposed depends on the response of some public that is sought to be moved, or whose interest seem to be at issue. But response by a public is determined by cultural factor. The relevant values and attitudes are not easy to get at17 Berdasarkan uraian tersebut, dapat dipahami : budaya hukum itu sangat luas sehingga sulit untuk dikenali. Budaya hukum itu merupakan kunci pokok dari efektivitasnya hukum. Kedua nilai (budaya dan hukum) ini menjadi jelas, pencarian opini (pendapat publik) yang memberikan istilah yang tepat tentang hukum sesuai dengan makna yang diharapkan, jarang ditemukan. Hal ini disebabkan makna budaya hukum jauh lebih luas daripada makna opini masyarakat yang terkandung di dalamnya. Suatu permasalahan publik adalah mitos (dongeng), karena itu, memahami hukum, seseorang harus berhati-hati dalam memberikan batasan makna dari publik agar menjadi relevan. Identitas publik tertentu akan berbeda dengan permasalahan hukum yang ada. Namun
16
RPJMN ( Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional ) 2004-2009, Peraturan Presiden Republik Indonesia No 7 Tahun 2005, tentang RPJMN 2004 – 2009, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, h 83 17 Lawrence M Friedman and Steward Macauly, Law and the Behavioral Science, The BobbsMerrill Company, Inc, United States of America, 1969, p 1011
9
dapat dimengerti bahwa efektivitas hukum itu menjadi kenyataan atau sesuai dengan hukum yang diharapkan bergantung pada respon (tanggapan) publik yang ada. Berdasarkan makna hukum dan makna budaya tersebut, harus dicari keinginan atau kepentingan masyarakat yang mana yang harus dijadikan hukum. Menyatukan pendapat publik dengan nilai budaya yang ada, merupakan hal yang sagat sulit untuk dilakukan. Berpijak dari uraian tersebut, dapat dikatakan
substansi hukum
bisa
diperoleh dari proses struktural dan budaya hukum. Struktur hukum dan budaya hukum tidak dapat dipisahkan bagaikan satu sisi mata uang yang bekerja saling menentukan dan saling memperkuat adanya substansi hukum. Masyarakat (publik) tidak dapat bekerja tanpa bersumber dari budaya hukum. Budaya hukum tidak dapat diproses tanpa peran dari struktur hukum yang berpranata dari publik. Kebijakan dalam bidang hukum yang diarahkan pada pembenahan sistem hukum dan politik hukum dalam lima tahun mendatang (2004-2009)
untuk
memperbaiki substansi hukum, struktur hukum dan budaya hukum dengan upaya sebagai berikut : 1. Menata kembali substansi hukum melalui peninjauan dan penataan kembali peraturan perundang-undangan untuk mewujudkan tertib perundangundangan dengan meperhatikan asas umum dan hirarki perundang-undangan (das Sollen, cetak miring dari penulis) ; dan menghormati serta memperkuat kearifan lokal dan hukum adat (das Sein ) untuk memperkaya sistem hukum dan peraturan melalui pemberdayaan yurisprudensi sebagai bagian dari upaya pembaruan materi hukum nasional ; 2. Melakukan pembenahan struktur hukum melalui penguatan kelembagaan dengan meningkatkan profesionalisme hakim dan staf peradilan serta kualitas sistem peradilan yang terbuka dan transparan ; menyederhanakan sistem peradilan, meningkatkan transparansi agar peradilan dapat diakses oleh masyarakat dan memastikan bahwa hukum diterapkan dengan adil dan memihak pada kebenaran ; memperkuat kearifan lokal dan hukum adat untuk memperkaya sistem hukum dan peraturan melalui pemberdayaan yurisprudensi sebagai bagian dari upaya pembaruan materi hukum nasional;
10
3. Meningkatkan budaya hukum antara lain : melalui pendidikan dan sosiologi, berbagai peraturan perundang-undangan serta perilaku keteladanan dari kepala negara dan jajarannya dalam mematuhi dan mentaati hukum serta penegakan supremasi hukum18 Presiden Joko Widodo (Presiden Jakowi) meletakkan kebijakan dalam bidang hukum itu dalam Program Nawa Cita yang diuraikan seperti di bawah ini: 1. Melindungi segenap bangsa dan memberikan rasa aman kepada seluruh warga negara 2. Tata kelola pemerintahan yang bersih, efektif, demokratis dan terpercaya (Bebas KKN) 3. Memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan. 4. Reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas dari korupsi, bermartabat dan terpercaya. 5. Meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia. 6. Meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di Pasar Internasional 7. Mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi domistik. 8.Revolusi karekter bangsa melalui kebijakan penataan kembali kurikulum pendidikan nasional. 9. Perteguh kebenikaan dan perkuat restorasi sosial. 19 Mewujudkan Indonesia Yang Demokratis Berlandaskan Hukum, yang pada intinya dapat ditegaskan, bahwa : 1. Pembangunan hukum nasional yang menyangkut materi hukum (legal substances), struktur hukum (legal structure) dan budaya hukum (legal culture) harus tetap memperhatikan kemajemukan tatanan hukum yang berlaku dan pengaruh globalisasi; 2. Pembaruan produk hukum sebagai pengganti peraturan perundang-undangan warisan kolonial, harus mencerminkan nilai-nilai sosial dan kepentingan masyarakat Indonesia dan masyarakat Internasional; 18 19
RPJMN, Op Cit, h 89 Jawa Pos, 14 Maret 2015, hal 3, kol 3
11
3.
Pembangunan struktur hukum diarahkan untuk memantapkan dan mengefektifkan berbagai organisasi dan lembaga hukum, profesionalitas yang difasilitasi sarana dan prasarana yang memadai;
4. Penegakan hukum dan hak asasi manusia (HAM) dilaksanakan secara tegas, lugas, profesional, dan tidak diskriminatif. Peningkatan kualitas dan profesionalisme hakim di semua lingkungan peradilan harus dilaksanakan; 5. Memiliki kesadaran hukum masyarakat yang tinggi. Pemberian akses informasi kepada masyarakat harus ditingkatkan; 6. Penanggulangan penyalagunaan kewenangan aparatur negara dicapai dengan penerapan prinsip-prinsip tata pemerintahan yang baik pada semua tingkat, harus tetap ditingkatkan20 Berdasarkan ketentuan Pasal 5 Undang-Undang N0 : 10 Tahun 2004, tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, ditegaskan : Pembentukan peraturan perundangan harus didasarkan pada asas : “tujuan, kelembagaan, kesesuaian antara jenis dan materi perundangan, dapat dilaksanakan, kedayagunaan dan kehasilgunaan, kejelasan rumusan dan keterbukaan” Materi muatan peraturan perundangan harus didasarkan pada asas : pengayoman, kemanusiaan, kebangsaan, kekeluargaan, kenusantaraan, Bhinika Tunggal Ika, keadilan, kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, ketertiban dan kepastian hukum, dan keselarasan (Pasal 6 UU N0 10 Tahun 2004) Wajah pembangunan hukum nasional diharapkan dapat memiliki nilai dan prinsip-prinsip sebagai berikut : 1. Pembangunan hukum harus bersumber pada nilai-nilai Pancasila dan Undang Dasar Tahun 1945 ; memiliki struktur dan aparat penegak hukum yang baik ; tersedianya sarana dan prasarana yang memadai ; dapat mengangkat dan menumbuhkan rasa kesadaran yang tinggi di hati masyarakat ; dapat
20
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional ( RPJPN ) Tahun 2005-2025, Sinar Grafika, Jakarta, 2007, h 99
12
menciptakan keadilan yang substantif dan demokratisasi yang sehat ; memperhatikan sifat kemajemukan dan tatanan hukum yang berlaku ; mengarah pada kepentingan globalisasi ; berupaya memperoleh kepastian hukum dan perlindungan hak asasi manusia (HAM) ; menjamin pelayanan hukum yang berpihak pada keadilan, kebenaran dan ketertiban ; dapat menciptakan kehidupan bangsa yang sejahtera, aman dan tertib ; 2. Pembaruan hukum harus mampu menggantikan perundang-undangan warisan kolonial. Oleh karena itu, materi hukum harus mencerminkan nilai-nilai sosial dan kepentingan masyarakat Indonesia. Meskipun undang-undang itu tidak identik dengan hukum, materi undang-undang tidak boleh bertentangan dengan nilai hukum yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Bertalian dengan pembaruan hukum tersebut, Nyoman Serikat Putra Jaya, menulis bahwa : Pembaruan hukum dapat didasarkan alasan-alasan, baik politik, sosiologis maupun praktis. Alasan politik dilandasi oleh pemikiran bahwa suatu negara merdeka harus mempunyai hukum sendiri yang bersifat nasional demi kebanggaan nasional. Alasan sosiologis menghendaki adanya hukum yang mencerminkan nilai-nilai kebudayaan dari suatu bangsa. Sedang alasan praktis, antara lain bersumber pada kenyataan21 Keterikatan antara hukum dan undang-undang tersebut, dapat didasarkan pada pendapat dan pernyataan di bawah ini : a. Pendapat A. Hamid S Attamini, bahwa : di Indonesia tidak terdapat sistem presidensial yang murni karena konsekwensi ajaran trias politika ….di Indonesia, pembagian kekuasaan itu ada, meski tidak mengikuti trias politika22
21
Nyoman Serikat Putra Jaya, Relevansi Hukum Pidana Adat dalam Pembaharuan Hukum Pidana Nasional, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005, h 2 22 A.Hamid S Attamini, Peranan Putusan Presiden Republik Indonesia Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara, Disertasi, Fakultas Pascasarjana, Universitas Indonesia, Jakarta, 1990, 142143
13
b. Asas Checks and Balances, Pasca amandemen Undang-Undang Dasar 1945, ditegaskan : Pasal 1 ayat (2) Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar ; Pasal 3 ayat (1) Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) , berwenang mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar ; Pasal 5 ayat (1) Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat ; Pasal
5
ayat
(2) Presiden menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya ;
Pasal 20 ayat (1) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memegang kekuasaan membentuk undang-undang ; Pasal 20 ayat (4) Presiden mengesahkan undang-undang yang telah disetujuhi bersama untuk menjadi undang-undang ; Pasal 21
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat berhak mengajukan usul rancangan undang-undang ;
Pasal 22 ayat (1) Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang (Perpu) ; Pasal 22 A
Ketentuan lebih lanjut tentang tata cara pembentukan undang-undang diatur dengan undang-undang ;
Pasal 37 ayat (1)
Usul perubahan pasal-pasal Undang-Undang Dasar dapat diagendakan dalam sidang MPR, apabila diajukan oleh sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota MPR ;
Pasal 37 ayat (3)
Untuk mengubah pasal-pasal Undang-Undang Dasar, sidang MPR dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah MPR ;
Pasal 37 ayat (4)
Putusan untuk mengubah pasal-pasal Undang-Undang Dasar, dilakukan dengan persetujuhan sekurangkurangnya 50 persen ditambah satu anggota dari seluruh anggota MPR.
c. Pendapat Sudarto, bahwa : Hukum berisi nilai-nilai dan azas-azas yang berkedudukan relatif otonomi, fungsi pengendalian masyarakat, menyelenggarakan ketertiban dan penanggulangan
14
kejahatan harus berorientasi kepada azas-azas tersebut. Azas-azas ini bukannya bersifat transendental, atau melampaui alam kenyataan yang dapat disaksikan oleh pancaindra. Artikulasi dan pembabaran dari azas-azas ini, tergantung dari kondisi sosial. Ini berarti bahwa azas-azas ini open-ended, multi interpretabel dan Gezellchaaffsgebunden, dan bukannya bersifat absolut seperti pandangan juridis yang tradisional23 Berdasarkan pendapat Sudarto tersebut, materi hukum harus dapat mencerminkan nilai-nilai sosial dan kepentingan masyarakat
Indonesia.
Keseimbangan kepentingan (antara individu, masyarakat dan negara),
harus
bersumber pada nilai-nilai dasar Pancasila dan Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Pencerminan hukum yang demikian, dapat didasarkan pada suatu kredo, bahwa : alam termasuk manusia selalu berubah dan dinamis, sedangkan hukum dibuat atau ditemukan untuk kepentingan manusia. Dua unsur ini yang mendasari bahwa hukum itu bersifat dinamis, berkembang seirama dengan perkembangan zaman dan masyarakat. Oleh karena itu, hukum dan struktur sosial masyarakat tidak dapat dipisahkan. Berkaitan dengan pernyataan Sudarto dan kredo hukum tersebut, Yusriadi mensitasi pendapat Talcott Parson dalam bukunya ‘ The Social System ‘, mengatakan bahwa : Masyarakat tak ubahnya seperti tubuh manusia yang memiliki berbagai bagian yang saling berhubungangan satu sama lain. Demikian juga masyarakat itu mempunyai berbagai kelembagaan yang saling terkait dan bergantung satu sama lain, sehingga perubahan yang terjadi pada satu lembaga akan berakibat pada perubahan di lembaga lain24 Berdasarkan uraian the social system tersebut, dapat dipahami bahwa dalam pembangunan hukum nasional perlu memahami konsep hukum sebagai kontrol sosial (Social control), dan fungsi hukum sebagai sarana perubahan (Social engineering)
23
Sudarto, Hukum Dan Hukum Pidana, PT Alumni, Bandung, 2007, h 10 Yusriadi, Perubahan Konsep Fungsi Sosial Hak Milik Atas Tanah Di Kalangan Warga Masyarakat Sekitar Daerah Industri, Disertasi, Universitas Diponegoro, Semarang, 2003, h 18 24
15
Menurut Yusriadi : fungsi hukum sebagai social control adalah suatu proses untuk mempengaruhi anggota-anggota masyarakat agar bertingkahlaku atau bersikap tindak sesuai dengan harapan masyarakat….., sedangkan fungsi hukum sebagai social engineering merupakan sarana menggerakkan perubahan sosial. Hukum kongkretnya perundang-undangan, merupakan pijakan negara untuk mewujudkan kebijakannya 25 Yusriadi juga mensitasi pendapat Seidman, bahwa : hukum sebagai sarana untuk menyalurkan kebijakan pemerintah sehingga tindakannya dapat dilaksanakan26 Namun secara sosiologis, patut dimengerti bahwa pembangunan hukum nasional, mendasarkan kredo : hukum itu, rules and logic yang tidak membutuhkan konteks yang lain, seperti yang berkembang pada abad ke sembilan belas. Pembangunan hukum harus memperhatikan pada kepentingan dan nurani keadilan yang hidup dalam masyarakat. Yusriadi mengkaitkan fungsi hukum tersebut dalam Seminar Hukum Nasional ke –IV dengan rincian sebagai berikut : 1. pengatur, penertib dan pengaman kehidupan masyarakat ; 2. penegak keadilan dan pengayom masyarakat terutama yang mempunyai kedudukan sosial ekonomi lemah ; 3. penggerak dan pendorong pembangunan dan perubahan menuju masyarakat yang dicita-citakan ; 4. pengarah masyarakat pada nilai-nilai yang mendukung usaha pembangunan ; 5. faktor penjamin keseimbangan dan keserasian yang dinamis dalam masyarakat yang mengalami perubahan cepat ; 6. faktor integrasi antara berbagai subsistem budaya bangsa 27
25
Yusriadi, Ibid, h 153-155 Yusriadi, Loc Cit 27 . Yusriadi, Ibid , h 159 26
16
Selanjutnya, Yusriadi mensitasi pendapat Sunaryati Hartono, bahwa fungsi hukum dalam pembangunan mempunyai 4 fungsi, yaitu : 1. Hukum sebagai pemelihara ketertiban dan keamanan ; 2. Hukum sebagai sarana pembangunan ; 3. Hukum sebagai sarana penegak keadilan ; 4. Hukum sebagai sarana pendidikan masyarakat28 Jika nilai, jiwa, dan asas kebijakan nasional tersebut, dikaitkan dengan implementasi Undang-Undang RI N0 3 tahun 1997 (LN tahun 1997 Nomor 3), tentang Pengadilan Anak, yang selanjutnya disebut Undang-Undang Pengadilan Anak yang kemudian dicabut dengan Undang-Undang RI Nomor 11 tahun 2012 (LN tahun 2012 Nomor 153) tentang Sistem Peradilan Pidana Anak nampak belum terlihat adanya nilai keadilan substantif bagi anak baik sebagai pelaku tindak pidana maupun sebagai korban tindak pidana. Meskipun Pasal 45, Pasal 46 dan Pasal 47 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUH Pidana) sudah dicabut melalui Pasal 67 Undang-Undang
Pengadilan Anak, realitasnya pasal ini pernah digunakan sebagai pedoman umum penegakan hukum pidana anak di Indonesia. Secara historis, KUH Pidana itu semula disebut Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie melalui Titah Raja (Koninklijk Besluit yang disingkat KB), diundangkan pada tanggal 15 Oktober 1915 Nomor 33 yang diberlakukan sejak tanggal 1 Januari 1918, sebagai Wetboek van Straftrecht voor Nederlandsch Indie (W v S N.I) yang kemudian melalui Pasal VI ayat (1) Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun 1946, namanya diubah menjadi Wetboek van Straftrecht. Selanjutnya di dalam Pasal VI ayat (2) Undang-Undang 1946, N0 1, disebut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUH Pidana) W v S N.I (KUH Pidana) ini, sebenarnya merupakan copy (turunan) dari Wetboek van Straftrecht Negeri Belanda yang disingkat W v S. Bld, yang selesai dibuat dan dirumuskan menurut kepentingan Negeri Belanda pada tahun 1881, diberlakukan pada Tahun 1886 , 28
. Yusriadi, Loc Cit
17
jelas sudah tidak lagi mencerminkan nilai keadilan substantif bagi pelaku tindak pidana anak karena tidak sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan zaman yang melaju begitu cepat di Era Milinium ini. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 tahun 1981 ( LN Tahun 1981 Nomor 76), tentang Hukum Acara Pidana yang selanjutnya disingkat KUHAP yang pernah dianggap sebagai karya agung bangsa Indoneia sendiri , juga masih belum mampu menjaga keseimbangan hak antara kepentingan individu, masyarakat dan negara khususnya yang terlibat dalam perkara pidana. KUHAP hanya lebih banyak beroientasi pada kepentingan pelaku tindak pidana, tetapi terhadap kepentingan korban dan tanggungjawab hukum aparat penegak hukum yang keliru dalam menangani perkara pidana atau terbukti bersalah dalam menjatuhkan putusan pidana, mereka (para penegak hukum) itu, hampir tidak pernah tersentuh dengan proses peradilan pidana secara proporsional. Pernyataan ini sejalan dengan pendapat Abdulloh, bahwa : Berdasarkan realitas peraturan perundang-undangan, berusaha untuk memperoleh keadilan, tetapi juga secara tidak langsung berpotensi menciptakan ketidakadilan. Khususnya di Indonesia, peraturan perundang-undangan belum mengakomodir nasib, perlindungan serta rehabilitasi korban kejahatan. Seolah-olah korban harus dipaksa menerima segala keadaan yang menimpa dirinya. Terdakwa memperoleh hak-hak yang tidak pernah dirasakan oleh korban…. . Apabila teori utility dikaitkan dengan putusan pengadilan, menjadi tidak relevan. Putusan pengadilan tidak dapat memberikan kesenangan atau kebahagiaan pada semua pihak. Putusan pengadilan dalam perkara pidana akan menjatuhkan hukuman atau sanksi hukum kepada terdakwa atau membebaskannya dan tidak memuaskan semua orang. Apapun putusan pengadilan terhadap terdakwa, tetap tidak berpengaruh pada nasib korban. Dalam hal hakim menyatakan terdakwa terbukti bersalah secara sah dan meyakinkan, hakim menjatuhkan pidana yang setimpal dengan perbuatannya, sudah dapat dipastikan korban tetap menderita. Terdakwa harus menerima kenyataan untuk menerima sanksi hukum melalui putusan pengadilan, yaitu : masuk lembaga permasyarakatan juga denda. Pihak korban tetap menderita
18
selamanya sebab apa yang telah menimpa dirinya, tidak dapat kembali seperti sedia kala29 Meskipun Undang-Undang Pengadilan Anak dan Undang-Undang Sistem Peradilan Peradilan Pidana Anak dinyatakan sebagai Lex Specialis derogate Lex Generalis dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana di Indonesia, kehadirannya sebagai pedoman umum penegakan hukum pidana anak di Indonesia, masih belum dapat mencerminkan nilai keadilan substantif bagi pelaku tindak pidana anak, karena Undang-Undang Pengadilan Anak dan Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak tidak merumuskan delik materiel dengan tegas. Alasan lain yang mendasari penulis adalah takaran berpikir hakim di Indonesia, yang masih menganggap bahwa fungsi hakim dalam proses peradilan adalah corong atau mulut undang-undang ( la –bouche- de –la –loi ), memaknai hukum sama dengan undang-undang. Hakim lebih menitikberatkan kepastian hukum daripada nilai keadilan substantif.
Meskipun hakim melihat keadilan
substantif dalam proses persidangan, tetapi norma hukum tersebut belum diatur dalam kitab undang-undang,
hakim lebih memilih tidak mempertimbangkan
sebagai fakta hukum dan harus dikesampingkan (tidak dapat dipakai sebagai dasar pertimbangan hukum) dalam memutus perkara pidana. Hakim tidak boleh membuat atau menciptakan hukum (judge makes law) sebagaimana yang lazim dilakukan dalam proses peradilan yang menganut Common Law System, seperti : di Inggris dan Englo Amerika. Akibat pertimbangan hakim yang bersifat positivistic, tidak banyak mempertimbangkan
faktor
sosiologis sebagaimana yang dijelaskan dalam
laporan penelitian masyarakat (litmas), adalah sangat merugikan kepentingan, masa depan dan kejiwaan anak. Pernyataan ini dikuatkan dengan hasil penelitian penulis tahun 1996, tentang perkara pidana anak yang diancam (dikenai) Pasal 351 ayat (3), 290 Sub 1 e, 170 ayat (1) dan Pasal 359 KUH Pidana di Pengadilan Negeri Jawa Timur, yaitu : Pengadilan Negeri Sidoarjo, Surabaya, Malang, 29
Abdulloh, Esensi Pertimbangan Hukum Putusan Pengadilan Dalam Mewujudkan Keadilan, Disertasi, Program Studi Doktor Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya, 2006, h 147
19
Gresik, Bojonegoro dan Lumajang pada tahun 1996, seperti yang dijelaskan di bawah ini : a. Perkara pidana anak yang tidak dimintakan litmas ke Bispa (Bapas) berjumlah 15 kasus atau 65, 21 % dari 23 perkara; b. Hakim pidana anak yang tidak mempertimbangkan hasil laporan litmas Bispa (Bapas) berjumlah 22 kasus atau 95, 65 % dari 23 perkara; c. Pengadilan negeri yang meminta laporan litmas ke Bispa (Bapas) berjumlah 8 kasus tetapi hakim pidana yang mempertimbangkan hasil litmas tersebut hanya 1 (satu) kasus atau 4, 54 % dari 23 perkara. Mencermati dari hasil penelitian tersebut terlihat jelas bahwa penerapan hukum pidana anak pada saat itu, belum tertangani dengan baik, hakim dalam memutus perkara anak kurang serius, belum ada persamaan persepsi yang jelas di antara hakim pidana anak dalam memeriksa dan mengadili perkara anak Pemerintah belum memiliki peraturan yang jelas tentang Pertimbangan Hakim dalam penjatuhan pidana anak. Hal ini dapat beragam di kalangan
menimbulkan intepretasi yang
Penegak hukum Pidana Anak khususnya hakim yang
menangani perkara pidana anak. Malpraktik dalam penegakan hukum pidana anak, akan merugikan masa depan anak dan negara. Penegakan hukum pidana yang hanya mendasarkan pada ketentuan KUH Pidana Belanda, undang-undang di luar KUH Pidana dan perangkat peraturan perundang-undangan yang ada, terlihat mengalami kesulitan tanpa ditopang dengan pertimbangan-pertimbangan yang bersifat sosiologis Sejalan dengan penegakan hukum pidana ini, Paulus Hadisuprapto mengatakan bahwa : dalam strategi pencegahan kejahatan ada tuntutan yang berupa upaya pengurangan dan pengeliminasian kondisi yang dapat menjadi sebab-sebab terjadinya kejahatan . Langkah-langkah kebijakan melalui sarana penal, rasanya tidak akan mampu menjangkau tuntutan strategi pencegahan kejahatan yang demikian itu. Oleh
20
karenanya, dan sesuai pula dengan skema Hoefnagels, khususnya yang berupa “prevention without punishment”, langkah-langkah pendekatan dan penanggulangan kejahatan dengan sarana penal harus ditunjang oleh langkahlangkah penanggulangan melalui sarana non penal 30 Perumusan kebijakan non-penal sangat diperlukan dalam pembaruan hukum pidana karena sekarang,
perumusan tindak pidana dalam KUH Pidana yang berlaku
terlihat belum mampu menjamin
keseimbangan kepentingan dan
perlindungan hukum dalam sistem peradilan pidana anak di Indonesia. Upaya penegakan hukum pidana anak perlu dirumuskan kebijakan aplikasi dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Berkaitan dengan perumusan kebijakan ini, Barda Nawawi Arief, mengatakan : Materi Konsep KUHP (sistem hukum pidana materiil dan asas-asas), ingin disusun /diformulasikan dengan berorientasi pada berbagai pokok pemikiran dan ide dasar yang antara lain mencakup : - Keseimbangan monodualistik antara kepentingan umum / masyarakat dan kepentingan individu / perorangan; - Keseimbangan antara perlindungan / kepentingan pelaku tindak pidana (ide individualisasi pidana) dan korban tindak pidana ; - Keseimbangan antara unsur (fakta obyektif (perbuatan /lahiriyah) dan subyektif / orang / batiniah (sikap batin) : ide- daad –dader strafrecht; - Keseimbangan antara kreteria formil dan materiel ; - Keseimbangan antara kepastian hukum, kelenturan/ elastisitas / fleksibilitas dan keadilan; - Keseimbangan nilai-nilai nasional dan nilai-nilai global / internasional / uinversal31 Bertolak dari keseimbangan kepentingan dan perlindungan hukum tersebut, Pemerintah berkewajiban mengeluarkan kebijakan implementasi dalam bidang
30
Paulus Hadisuprapto, Pemberian Malu Reintegratif Sebagai Sarana Non-penal Penanggulangan Perilaku Delinkuensi Anak Studi Kasus di Semarang dan Surakarta, Disertasi, Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro, Semarang 2003, h 102 31 Barda Nawawi Arief, Pembaharuan Hukum Pidana dalam Perspektif Kajian Perbandingan, PT Adetya Bakti, Cet 1, Bandung, 2005, h 12
21
hukum pidana
(penal policy).
KUH Pidana sebagai induk dan pedoman
penegakan hukum pidana materiil dan KUHAP sebagai induk dan pedoman penegakan hukum pidana formil merupakan permasalahan sentaral yang harus dicermati secara holistik baik dari visi perumusan deliknya maupun dari sistem penegakan hukumnya. Pembaharuan kedua kitab induk undang-undang tersebut, haruslah dibuat secara harmonis dan sinergi sesuai dengan nilai keadilan substantif berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Pasal 1 ayat (3) Bab I, Amandemen Ketiga Undang-Undang Dasar 1945, menegaskan kembali, bahwa Negara Indonesia adalah Negara Hukum. Artinya, bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum
(rechtsstaat) , tidak berdasar atas kekuasaan (machstaat), dan
pemerintahan berdasarkan sistem konstitusi (hukum dasar), bukan absolutisme (kekuasaan yang terbatas). Dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN 2004-2009), ditegaskan : Sebagai konsekuensi dari Pasal 1 ayat (3) Amandemen ketiga Undang-Undang Dasar 1945, terdapat 3 (tiga) prinsip dasar yang wajib dijunjung tinggi oleh setiap warga negara , yaitu : supremasi hukum; kesetaraan di hadapan hukum ; dan penegakan hukum dengan cara –cara yang tidak bertentangan dengan hukum32 Bertalian dengan sifat negara hukum ini, Jimly Asshiddigie, mengatakan : Semua masalah diselesaikan dengan hukum sebagai pedoman tertinggi. Dalam perspektif supremasi hukum (supremacy of law), pada hakikatnya pimpinan tertinggi negara yang sesungguhnya bukanlah manusia; tetapi konstitusi yang mencerminkan hukum yang tertinggi. Pengakuan normatif mengenai supremasi hukum adalah pengakuan yang tercermin dalam perumusan hukum dan/atau konstitusi, sedangkan pengakuan emperik adalah pengakuan yang tercermin dalam perilaku sebagian terbesar masyarakatnya, bahwa hukum itu memang supreme. Bahkan, dalam republik yang menganut sistem presidensiil yang bersifat
32
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional ( RPJMN 2004-2009 ) Sinar Grafindo, Jakarta, 2005, h 85
22
murni, konstitusi itulah yang sebenarnya lebih tepat untuk disebut sebagai kepala negara33 Selanjutnya dalam Equality before the law, Jimly Asshiddiqei, menjelaskan : Adanya persamaan kedudukan setiap orang dalam hukum dan pemerintahan yang diakui secara normatif dan dilaksanakan secara emperik. Dalam rangka prinsip persamaan ini, segala sikap dan tindakan diskriminatif dalam segala bentuk dan manifestasinya diakui sebagai sikap dan tindakan yang terlarang , kecuali tindakan-tindakan yang bersifat khusus dan sementara… kelompok warga masyarakat tertentu yang dapat diberi perlakuan khusus yang bukan bersifat diskriminatif, misalnya adalah kaum wanita ataupun anak-anak terlantar34 Sedangkan untuk asas legalitas (Due Process of law), Jimly Asshiddiqie, menambahkan : Dalam setiap negara hukum, dipersyaratkan berlakunya asas legalitas dalam segala bentuknya (due process of law), yaitu : bahwa segala tindakan pemerintahan harus didasarkan atas peraturan perundang-undangan yang sah dan tertulis. Peraturan perundang-undangan tertulis tersebut harus ada dan berlaku lebih dulu atau mendahului tindakan atau perbuatan administrasi yang dilakukan 35
Pemerintah
(presiden)
bersama-sama
Dewan
Perwakilan
Rakyat,
berkewajiban merumuskan kebijakan formulasi hukum pidana yang efektif untuk menanggulangi kejahatan dan pelanggaran yang terjadi di Indonesia sesuai dengan ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 21 UU Dasar 1945 (presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Demikian
juga anggota DPR berhak mengajukan usul rancangan undang-
undang). Upaya pencegahan dan penanggulangan kejahatan dan pelanggaran dalam hukum pidana, perlu diadakan pendekatan yang seimbang baik yang mengarah pada kebijakan penal maupun yang bersifat tidakan (treatment) . Perpaduan kedua kebijakan ini, patut dilakukan terutama yang menyangkut 33
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia, Sekretaris Jendral dan Kepanitetraan Mahkamah Konstitusi RI , Jakarta, 2006, h 154 34 Jimly Asshiddiqie, Ibid, h 155 35 Jimly Asshiddiqie, Loc Cit h 155
23
perkara pidana anak. Secara sosiologis, kebijakan yang bersifat tindakan merupakan kebijakan yang sangat tepat dan cermat untuk menyelesaikan kasus pidana anak karena kebijakan ini mempunyai cakupan makna yang luas, tidak saja beraspek
yuridis normatif, sosiologis dan filosofis, tetapi juga beraspek
psikologis dan mempertimbangkan kepentingan masa depan anak dan negara. Kebijakan yang bersifat tindakan merupakan kebijakan yang sangat luas karena dapat mencakup berbagai disiplin ilmu hukum, seperti : sosiologi, psikologi, antropologi, kriminologi, viktimologi, politik, ekonomi, pendidikan , budaya dan sebagainya. Bertalian dengan kebijakan tersebut, Barda Nawawi Arief, mengatakan : Usaha – usaha non-penal dapat meliputi bidang yang sangat luas sekali di seluruh sektor kebijakan sosial atau pembangunan nasional. Tujuan utama dari usahausaha non-penal ini adalah memperbaiki kondisi-kondisi sosial tertentu yang secara tidak langsung mempunyai pengaruh preventif terhadap kejahatan. Dengan demikian dilihat dari sudut politik kriminal, keseluruhan kegiatan preventif yang non-penal itu, sebenarnya mempunyai kedudukan yang sangat strategis. Ia memegang posisi kunci yang harus diintensifkan dan diefektifkan36 Kebijakan non-penal ini, mempunyai posisi yang sangat strategis untuk melindungi hak-hak anak dari kerusakan fungsi sosial dan pranata hukum di Indonesia. Penegakan hukum pidana anak harus dilakukan, karena anak adalah harapan masa depan bangsa dan negara. Perlindungan hak-hak anak ini, sejalan dengan ketentuan Pasal 2 Convention on The Rights of The Child yang disetujui Majelis Umum PBB pada tanggal 20 Nopember 1989 (Adopted by General Assembly of the United Nations on 20 th November 1989) yang selengkapnya ditegaskan: States Parties shall take all appropriate measures to ensure that the child is protected against all forms of discrimination or punishment on the basis of the status, activities, expressed opinions, or belief of the child’s parents, legal guardians, or family members 36
Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulngan Kejahatan dengan Pedana Penjara, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 1994 h 33
24
Berdasarkan ketentuan pasal ini, terlihat jelas bahwa negara-negara anggota harus mengambil semua langkah-langkah yang layak untuk menjamin bahwa anak harus dilindungi dari segala bentuk diskriminasi, atau pemidanaan yang didasarkan atas status anak sebagai makhluk sosial, bentuk perbuatan, pendapat atau pemikirannya yang masih bergantung pada orang tuanya , wali anak yang sah, hubungan keluarga atau kerabatnya yang sah. Kebijakan implementasi dan kebijakan aplikatif, merupakan kebijakan yudisial hakim dalam pemidanaan anak. Kebijakan ini (kebijakan yudisial hakim), tidak dapat dilepaskan dari kebijakan legislatif karena kebijakan legislatif adalah akar dari kebijakan implementasi hakim. Ketentuan ini juga ditegaskan dalam article 4 The Convention on The Right of The Child, United Nations 1989, that: States Parties shall undertake all appropriate legislative , administrative, and other measures for the implementation of the rights recognized in the present convention with regard to economic, social and cultural rights, States Parties shall undertake such measures to the maximum extent of their available resources and, where needed, within the framework of international cooperation. Article ini menegaskan bahwa negara-negara anggota harus mengambil segala langkah-langkah legislasi, tindakan
pemerintahan (administratif) dan
tindakan lain untuk pelaksanaan, perwujudan atau pengimplementasian hak-hak yang diakui dalam Konvensi ini, menghargai hak ekonomi, sosial dan budaya. Negara anggota harus mengambil langkah-langkah tersebut, secara optimal dan menyeluruh dari unsur-unsur yang tersedia dan diperlukan dalam kerjasama internasional. Langkah legislatif ini , sangat penting untuk menentukan langkah atau kebijakan sistem peradilan pidana di Indonesia. Kebijakan legislatif dalam Sistem Pengadilan Pidana Anak (SPPA) yang dituangkan dalam Undang-Undang RI Nomor 11 Tahun 2012 (LN tahun 2012 Nomor 153), tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, harus disempurnakan karena belum mencerminkan nilai keadilan substantif bagi pelaku tindak pidana anak. Karena itu, penulis tidak sependapat dengan tulisan Arif Gosita yang menyatakan bahwa di Indonesia masih belum
25
ada peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pemberian sanksi alternatif wajib belajar dan bekerja di luar Lembaga Permasyarakatan Anak. Penjatuhan sanksi alternatif tersebut telah diatur dalam Pasal 32
37
Jo Pasal 34
ayat (2) Undang-Undang Pengadilan Anak38 sebelum dicabut dan dinyatakan tidak berlaku tanggal 30 Juli tahun 2014. Selanjutnya sanksi alternatif wajib belajar dan bekerja di luar Pemasyarakatan Anak tersebut telah diatur di dalam Pasal 84 ayat (3) Jo Pasal 85 ayat (2 dan 3) Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak. Tulisan Arif Gosita tersebut selengkapnya ditegaskan : Berdasarkan pengamatan penulis, sejak zaman Pemerintahan Hindia Belanda hingga saat ini, di Indonesia masih belum ada peraturan perundang-undangan (selanjutnya disingkat PPU ) yang mengatur tentang pemberian sanksi alternatif wajib belajar dan berkarya di luar lembaga permasyarakatan anak. (selanjutnya disingkat SA) untuk pidana. Akibatnya, berdasarkan putusan pengadilan anak pidana Indonesia selalu dipidana masuk lembaga permasyarakatan (selanjutnya disingkat LAPAS) Anak atau dewasa39 Bertalian dengan sistem peradilan anak tersebut, Barda Nawawi Arief, mengatakan: Pada hakikatnya sistem peradilan pidana identik dengan penegakan hukum. Sistem penegakan hukum pada dasarnya merupakan sistem kekuasaan / kewenangan hukum yang juga diidentikkan dengan kekuasaan kehakiman 40 Selanjutnya , Barda Nawawi Arief, menambahkan : Sistem peradilan pidana yang pada hakikatnya merupakan sistem kekuasaan menegakkan hukum pidana atau sistem kekuasaan kehakiman di bidang Pasal 32 UU Pengadilan Anak, menegaskan: “Apabila Hakim memutuskan bahwa Anak Nakal wajib mengikuti pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) huruf c, Hakim dalam keputusannya sekaligus menentukan lembaga tempat pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja tersebut dilaksanakan”. 38 Pasal 34 ayat (2) UU Pengadilan Anak, menegaskan: “Pekerja Sosial sebagaimana dimaksud Pasal 33 huruf b, bertugas membimbing, membantu, dan mengawasi Anak Nakal yang berdasarkan putusan pengadilan diserahkan kepada Departemen Sosial untuk mengikuti pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja”. 39 Arif Gosita, Sanksi Alternatif Sebagai Fokus Pembinaan Anak Pidana Saran Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, Disertasi, Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2003, h 2-3 40 Barda Nawawi Arief , Beberapa Aspek Kebijakan, Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005, h 39 37
26
hukum pidana diwujudkan/diimplementasikan dalam 4 (empat) subsistem, yaitu : a. Kekuasaan “penyidikan “ (oleh badan / lembaga penyidik); b. Kekuasaan “penuntutan” (oleh badan / lembaga penuntut umum) ; c. Kekuasaan “ mengadili dan menjatuhkan putusan/pidana “ (oleh badan pengadilan) ; dan d. Kekusaan “ pelaksanaan putusan /pidana “ (oleh badan aparat pelaksana /eksekusi). Keempat tahap/ subsistem itu, merupakan satu kesatuan sistem penegakan hukum pidana yang integral atau sering dikenal dengan istilah “ Sistem Peradilan Pidana (SPP) Terpadu (“ Integrated Criminal Justice System “)41 Bertalian
dengan keempat subsistem peradilan pidana tersebut, penulis
dalam penelitian ini ingin menitikberatkan pada pembuatan kebijakan yudisial yang dipakai hakim (kekuasaan yang ketiga, yaitu: kekuasaan mengadili dan menjatuhkan putusan pidana anak) dalam penegakan hukum pidana anak, terutama yang menyangkut pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana penjara terhadap anak di bawah umur. Selama ini belum ada sanksi hukum yang tegas terhadap hakim yang jelas-jelas keliru, bersalah
dalam memberi
pertimbangan hukum pidana atau telah melakukan malpraktik dalam penerapan hukum pidana. Sebagai contoh, hakim yang memberikan putusan onstlag van rechtvervolging pada kasus Sengkon dan Karta Bekasi, kasus pembunuhan oleh Rian di Jombang Jawa-Timur, hakim yang tidak mempertimbangkan hasil litmas yang dibuat oleh Bapas dalam putusan pidana anak. Pada contoh yang terakhir telah ditegaskan dalam Undang-Undang Pengadilan Anak dan Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak bahwa hakim berkewajiban mempertimbangkan hasil litmas yang dibuat oleh Bapas dalam putusan pidana anak (Vide Pasal 59
41
Barda Nawawi Arief, Ibid, h40
27
ayat (2) Undang-Undang Pengadilan Anak42 Jo Pasal 60 ayat (3) Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak43). Bertolak dari pemberian sanksi hukum terhadap hakim yang melakukan kesalahan
dalam penerapan hukum dan hakim yang tidak melaksanakan
ketentuan undang-undang yang diamanahkan kepadanya, Pemerintah telah melakukan law breaking dan rules making melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 (LN Tahun 2012 Nomor: 153) tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang di dalam Pasal 96 ditegaskan: “Penyidik, Penuntut Umum dan Hakim yang dengan sengaja tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) yang isinya: Penyidik, Penuntut Umum dan Hakim wajib mengupayakan Diversi dalam perkara pidana anak, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah)”. Namun sungguh ironis, rules making ini tidak direspon dengan baik oleh Hakim yang merasa hak-haknya dirugikan. Pada tanggal 24 Oktober 2012, ketentuan Pasal 96, Pasal 100 dan Pasal 101 Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak
itu, malah digugat atau diajukan gugatan uji
materiel (judicial review) oleh 9 (sembilan) orang Hakim, yaitu: 5 (lima) orang dari Hakim Agung, 2 (dua) orang Hakim Tinggi, 1 (satu) orang Hakim Agama, dan 1 (satu) orang Hakim Pengadilan Negeri ke Mahkamah Konstitusi. Anehnya gugatan para Pemohon itu dikabulkan untuk seluruhnya oleh Mahkamaah Konsttitussi. Amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 110/PUU-X/2012, tanggal 28 Maret 2013, memutuskan: Pasal 96, Pasal 100 dan Pasal 101 UndangUndang Sistem Peradilaan Pidana Anak dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Penjelasan dan komentar penulis selengkapnya diuraikan di Bab V.
Pasal 59 ayat (2) UU Pengadilan Anak, menegaskan:” Putusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib mempertimbangkan laporan penelitian kemasyarakatan dari Pembimbing Kemasyarakatan” 43 Pasal 60 ayat (3) UU Sistem Peradilan Pidana Anak, menegaskan: “Hakim wajib mempertimbangkan laporan penelitian kemasyarakatan dari Pembimbing Kemasyarakatan sebelum menjatuhkan putusan perkara” 42
28
Secara legal praxis, hakim pidana anak dalam menjatuhkan pidana penjara terhadap anak di bawah umur, masih lebih menekankan pada pertimbangan yuridis normatif daripada pertimbangan sosiologis dan filosofis. Akibatnya ide keseimbangan (double track system) antara pemidanaan (punishment) dan tindakan (treatment / measures) juga kurang
dipertimbangkan secara
proporsional. Ide penjatuhan sanksi pidana dengan dua jalur itu belum berjalan secara efektif dalam sistem peradilan di Indonesia. Hal ini terlihat dalam Pasal 10 KUHP yang menyebutkan, bahwa : a. pidana pokok : 1. pidana mati , 2. pidana penjara , 3. kurungan , 4. denda ; b. pidana tambahan : 1. pencabutan hak-hak tertentu , 2. perampasan barang-barang tertentu , 3. pengumuman putusan hakim.44 tidak berpola double track system karena ketentuan pasal ini sudah bersifat pemidanaan. Pemberian sanksi dalam hukum pidana haruslah mengacu pada asas keseimbangan , yaitu : keseimbangan antara sanksi pidana (punishment) dan sanksi tindakan (treatment) Bertalian dengan keseimbangan sanksi ini, M. Sholehuddin, mengatakan : Sistem sanksi dalam hukum pidana di Indonesia menganut double track system, maka ide dasar kesetaraan dari sistem dua jalur tersebut harus menjadi landasan pokok dalam suatu pola pemidanaan. Artinya, tidak ada lagi pemikiran yang 44
Moeljatno, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP ), PT Bina Aksara, Jakarta, h 6
29
menganggap bahwa jenis sanksi pidana, lebih penting daripada jenis sanksi tindakan atau sebaliknya45 Eksistensi Undang-Undang Pengadilan Anak dan Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak tersebut masih bersifat interdependensi, artinya ketika Undang-Undang Pengadilan Anak itu masih diberlakukan, implementasi Pengadilan Anak masih mengkaitkan instrumen hukum yang lain di luar UndangUndang Pengadilan Anak, seperti : KUHAP (Pasal 153 ayat (3), jo Pasal 284 ayat (2); SEMA Nomor 06 tahun 1987, tentang Tata Tertib Sidang Anak; Undang Undang Nomor 48 Tahun 2009; Secara formil, proses peradilan anak nakal diatur sebagai berikut : 1. Peradilan Anak berada di lingkungan Peradilan Umum ; 2. Hakim, Penuntut Umum, Penyidik dan Penasehat Hukum, serta petugas lainya, dalam Sidang Anak , tidak memakai toga atau pakaian dinas ; 3. Anak yang melakukan tindak pidana, bersama-sama dengan orang dewasa dan militer, diajukan ke Sidang yang berbeda; 4. Persidangan anak dilakukan secara tertutup dan pembacaan putusan dilaksanakan secara terbuka untuk umum, dan -Sidang anak dapat dihadiri oleh anak yang bersangkutan, orang tua, wali atau orang tua asuh, penasehat hukum dan pembimbing kemasyarakatan; 5. Hakim anak ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Mahkamah Agung atas usul Ketua Pengadilan Negeri melalui Ketua Pengadilan Tinggi; 6. Syarat menjadi hakim anak, telah berpengalaman sebagai hakim di Pengadilan Umum, mempunyai minat, perhatian, dedikasi dan memahami masalah anak; 7. Persidangan anak dilakukan oleh hakim tunggal;
45
M. Sholehuddin, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana ( Ide Dasar Double Track System & Implementasinya, PT Grafindo Persada, Jakarta, 2004, h 6
30
8. Hakim banding ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Mahkamah Agung atas usul Ketua Pengadilan Tinggi yang bersangkutan; 9. Hakim banding memeriksa dan memutus anak dalam tingkat banding sebagai hakim tunggal; 10. Hakim kasasi ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung ; 11. Hakim kasasi memeriksa dan memutus perkara anak dalam tingkat kasasi sebagai hakim tunggal; 12. Pengawasan tertinggi atas Sidang Anak dilakukan oleh Mahkamah Agung; 13. Putusan pengadilan mengenai perkara Anak Nakal yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (inkraach), dapat dimohonkan Peninjauan Kembali (PK) oleh anak yang bersangkutan, orang tua, wali, orang tua asuh atau penasehat hukum kepada Mahkamah Agung; 14. Sidang Anak berwenang untuk memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara pidana dalam hal perkara anak nakal (Pasal 21) ; 15. Sebelum membacakan putusan, hakim dapat memberikan kesempatan kepada orang tua, wali, orang tua asuh untuk mengemukakan segala hal ikhwal yang bermanfaat bagi anak. - Putusan pidana anak wajib mempertimbangkan laporan penelitian kemasyarakatan (litmas) dari Pembimbing Kemasyarakatan (Bapas) Putusan Pengadilan Anak, wajib diucapkan dalam Sidang Terbuka untuk umum. Secara materiil, Undang-Undang Pengadilan Anak dan Undang Sistem Peradilan Pidana Anak, tidak merumuskan delik materiil secara tegas yaitu perumusan delik yang menekankan pada akibat hukum yang dilanggar sebagaimana yang ditegaskan dalam Pasal 338 KUH Pidana``. Undang-Undang
31
Sistem Peradilan Pidana Anak hanya memberikan petunjuk penjatuhan pidana (bukan perumusan delik materiil) bagi pelaku tindak pidana anak, misalnya : 1. Anak dapat dijatuhi pidana (punishment, corporal) atau tindakan (treatment) berdasarkan ketentuan Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana (Pasal 69 ayat (1dan 2) UU Sistem Peradilan Pidana Anak) 2. Anak yang berusia di bawah 14 (empat belas) tahun hanya dapat dijatuhi (Pasal 69 ayat (2) UU Sistem Peradilan Pidana Anak); 4. - Penjatuhan pidana untuk anak nakal paling lama 1/2 dari maksimal ancaman pidana penjara orang dewasa; - Anak yang diancam pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, maka pidana penjara yang dapat dijatuhkan paling lama 10 tahun; - Anak yang belum berumur 12 tahun, diancam pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, maka dapat dijatuhkan tindakan (treatment), yaitu : dikembalikan kepada orang tuanya, menyerahkan kepada seseorang, perawatan di rumah sakit jiwa, kewajiban mengikuti Lembaga Sosial, Organesasi Sosial untuk mengikuti pendidikan, pembinaan dan latihan kerja (Pasal 82) ; 5.
Pidana kurungan bagi anak dapat dijatuhkan 1/2 dari maksimal ancaman pidana kurungan orang dewasa ;
6. Pidana denda bagi anak nakal dapat dijatuhkan 1/2 dari pidana denda orang dewasa; B. Fokus Studi dan Permasalahan Berdasarkan uraian di atas, kebijakan hukum dapat disoroti dari 3 (tiga) aspek, yaitu :
32
(1). Aspek formulasi atau aspek regulasi yang menjelaskan bagaimana hukum itu secara in abstracto diformulasikan dalam kitab undang-undang atau norma hukum yang hidup dalam masyarakat (fungsi legislatif); (2). Aspek aplikasi menjelaskan bagaimana hukum itu ditegakkan (fungsi yudikatif) ; dan (3). Aspek eksekusi, yaitu bagaimana hukum itu dilakukan dalam bentuk putusan secara inconcrito (fungsi administratif) Fokus penelitian ini diarahkan pada kebijakan yudisial hakim pidana anak dalam mengimplementasikan
Undang-Undang
RI Nomor 11 Tahun 2012
terhadap anak nakal yang belum mencerminkan nilai keadilan substantif. 0leh karena itu, sasaran penelitian ini diarahkan untuk mengetahui : a. Apakah Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak sudah mengatur kebijakan hakim terhadap anak yang melakukan tindak pidana ? (Ius Constitutum) b. Apakah Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak sudah mengatur kebijakan hakim dalam mempertimbangan sanksi pidana terhadap anak nakal yang melakukan tindak pidana ? (Ius Operatum); c. Bagaimana model kebijakan hakim yang dilakukan dalam mengadili anak nakal yang telah melakukan tindak pidana
untuk masa yang akan datang
?(Ius Constituendum). C. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang tersebut,
perumusan masalah dalam
penelitian ini disusun sebagai berikut : 1. Bagaimana kausalitas kenakalan anak yang harus berhadapan dengan hukum pidana?
33
2. Mengapa kebijakan yudisial hakim dalam memutus perkara kenakalan anak belum mencerminkan keadilan substantif? 3. Bagaimana
model kebijakan Yudisial hakim pidana anak yang dapat
mencerminkan keadilan substantif? D. Orisinalitas Penelitian Berdasarkan penelusuran kepustakaan, internet dan sumber informasi lain, penelitian yang memiliki fokus studi yang menyoroti tentang kebijakan yudisial hakim peradilan anak dalam menanggulangan kenakalan yang dilakukan anak sampai saat ini belum pernah dijumpai, namun demikian terdapat beberapa penelitian atau hasil studi (kajian) yang memiliki relevansi dengan penelitian ini. Kajian penelitian yang dilakukan oleh peneliti terdahulu (previous researchers) dimaksudkan untuk memberikan perbandingan atau gambaran kepada pembaca penelitian ini bahwa terdapat perbedaan temuan dan analisis tentang penjatuhan pidana terhadap anak di bawah umur sebagaimana yang terlihat dalam matriks 1 di bawah ini: Matriks I Karya Ilmiah Pembanding Yang Memiliki Relevansi Dengan Penelitian Disertasi N
Penelitian Sebelumnya
Penelitian
0
1
Sekarang Peneliti/
Judul
Bobot
Hasil Penelitian
Unsur
Penulis
Penelitian
Penelitian
Made
Pemidanaan
Disertasi
a. Penentuan batas
-Penentuan batas
Sadhi
Terhadap
Program
usia anak yang
usia minimum
Astuti
Anak Di
Pascasarjana
dapat dimintai
bagi anak yang
Bawah Umur
Universitas
pertanggungjawa
dapat dijatuhi
16 Tahun
Airlangga
ban pidana
pidana menurut
Sebagai
Surabaya
mempunyai arti
Made Sadhi
Pembaharuan
34
Pelaku Tindak
sangat penting
Astuti belum
dalam Kitab
diatur dalam
Undang-Undang
Peraturan-
Pengadilan
Hukum Pidana
Perundang-
Negeri Jawa-
(KUH Pidana)
undangan.
Pidana Oleh Hakim
Tahun 1997
Timur
Penentuan batas usia minimum bagi anak yang dapat dijatuhi pidana dalam penelitian ini sudah diatur dalam Pasal 1 ayat (3) UU Sistem Peradilan Pidana Anak -Menurut Made Sadhi Astuti b. Batas usia minimum anak yang dapat dipertanggungja wabkan dalam hukum pidana berusia 12 tahun
alasan batas usia minimum 12 tahun bagi anak yang dijatuhi pidana dianggap sudah bisa menyesuaikan diri, mampu bekerja sama dan dapat membedakan mana yang baik
35
dan mana yang buruk, dalam penelitian ini alasan yang disampaikan Made Sadhi Astuti tersebut belum menjadi dasar kebijakan yudisial hakim dalam pemidanaan anak 2 Paulus
Pemberian
Disertasi
a. Sarana penal
-Menurut Paulus
Hadi
Malu
Program
cenderung
stigmatis itu
Suprapto
Reintegratif
Pascasarjana
memberikan
terjadi karena
Sebagai
Universitas
pelabelan yang
terdapat cacat
Sarana Non-
Diponegoro
stigmatis
yuridis, tidak
Penal Perilaku Semarang
ada pedoman
Delinkuensi
pemidanaan,
Tahun 2003
Anak (Suatu
batas usia
Studi Kasus
minimum terlalu
Di Semarang
rendah, tidak
dan
ada diskresi,
Surakarta)
diversi dan sanksi alternatif yang dilakukan hakim. Dalam penelitian ini hakim dapat
36
menggunakan kebijakan yudisial yang merdeka untuk melakukan diversi, diskresi dan sanksi alternatif dalam penyelesaian pidana anak nakal -Model peradilan tersebut oleh Paulus Hadi Suprapto dapat memberikan b. Pemberian rasa
nilai
malu dengan
keseimbangan
model peradilan
terhadap
anak restoratif
kepentingan
mengandung
pelaku, korban
nilai filsafat
masyarakat dan
terhadap
mencegah
kepentingan
pelabelan yang
anak, korban dan
stigmatis dalam
masyarakat
penyelesaian konflik anak nakal. Dalam penelitian ini kebijakan
37
yudisial hakim dalam proses peradilan anak nakal dapat memberikan nilai keseimbangan, keserasian dalam equality before the law dan fair trial. 3 Arif Gosita
Sanksi
Disertasi
a. Tidak ada
-Ketentuan
Alternatif
Program
ketentuan
peraturan
Sebagai
Pascasarjana
peraturan
perundang-
Fokus
Universitas
perundang-
undangan
Pembinaan
Indonesia
undangan yang
tentang sanksi
Anak Pidana
Tahun 2003
tegas yang
wajib belajar di
Sarana
mengatur sanksi
luar LP Anak
Pembaharuan
alternatif wajib
menurut Arif
Hukum
belajar bagi anak
Gosita tidak
Pidana
di luar Lembaga
pernah diatur
Nasional
Pemasyarakatan
sejak
Anak atau orang
Pemerintahan
dewasa
Kolonial Belanda. Dalam penelitian ini sanksi wajib di luar LP Anak sudah menjadi kewenangan dan
38
kebijakan yudisial hakim dalam menjatuhkan pidana. b. Tidak adanya ketentuan normatif tentang sanksi wajib belajar di luar LP Anak, telah menjadikan anak sebagai korban dari kerusakan struktural yang merugikan kesejahteraan anak
-Pengaturan sanksi wajib belajar di luar LP Anak oleh Arif Gosita perlu dilakukan sebagai langkah kongkrit dalam pembaharuan hukum pidana nasional. Dalam penelitian ini pembaharuan hukum pidana nasional harus dimulai dari pembangunan kualitas hakim yang profesional yang mengabdi pada keadilan substantif yang dituangkan melalui kebijakan
39
yudisial yang dibuat oleh hakim 4 Supriyanta Membangun
Disertasi
a.Prinsip Due
Menurut
Model
Program
Process of Law
Supriyanta,
Penanganan
Doktor Ilmu
Untuk Anak,
undang-undang
Tindak Pidana Hukum
tidak hanya
sistem peradilan
Anak Melalui
Pascasarjana
melibatkan
pidana anak ke
Sistem
Fakultas
korban dan
depan harus
Peradilan
Hukum
pelaku tindak
memiliki tujuan
Pidana Yang
Universitas
pidana, tetapi
pemidanaan
Sesuai
Sebelas
juga melibatkan
yang jelas,
Dengan
Maret
keluarga pelaku,
pengambilan
Prinsip Due
Surakarta
warga
putusan masih
Process Of
2012
masyarakat,
dikuasai oleh
pejabat tertentu
ego sentris
dan para
kelembagaan,
pendukung
dalam penelitian
korban.
ini, sudah
Lawe
b.Dalam proses peradilan tersebut perlu melibatkan ahli psikologi untuk meningkatkan kualitas pengambilan putusan pidana anak
diberlakukan UU N0 11 Tahun 2012, tentang Sistem Peradilan Pidana Anak tetapi juga belum mengatur tujuan pemidanaan yang jelas, pengambilan
40
putusan masih bersifat ego sentris kelembagaan 5 Marlina
Peradilan
Buku
Menyoroti
Pengembangan
Pidana Anak
Penerbit PT
Pengembangan
konsep diversi
di Indonesia
Refika
Konsep Diversi
dan restorative
Aditama
dan Restorative
justice belum
Bandung
Justice untuk
berjalan efektif,
2012
Anak Indonesia
kemampuan mediator belum memadai dan fungsi pengawasan pelaksanaan diversi dan restorative justice juga belum berjalan efektif, dalam penelitian ini lebih difokuskan pada restorative putusan hakim melalui kebijakan yudisial dan diskresi hakim yang profesional
41
6 Nur Rochaeti
Partisipasi
Makalah
Penyelesaian
Partisipasi
Masyarakat
tanggal 30
perkara pidana
masyarakat
Dalam
Aguswtus
anak di Desa
diperlukan
Peradilan
2013
Pakraman Bali
dalam
Restoratif
Semarang
dan Kelurahan
restorative
Bagi Pelaku
Sangkrah
justice system
Anak Di Masa
Surakarta
untuk
Datang
diselesaikan
melindungi dan
secara adat tanpa
mengayomi hak-
melibatkan
hak dan
lembaga
kepentingan
Pemerintah
anak secara
dengan
berimbang
mendasarkan
terhadap para
pada awig-awig
pihak yang
dan peraturan
bersengketa,
adat desa
dalam penelitian
tersebut
ini restorative justice yang gagal dapat dilanjutkan ke peradilan diversi. Putusan peradilan diversi ditekankan pada pertimbangan hakim pidana anak
7 Setya Wahyudi
Peluang
Makalah Call Penegakan hukum
Aplikasi
Paper
peradilan pidana
Penegakan hukum pidana anak
42
Pendekatan
disampaikan
anak di
masih
Progresif
dalam
Indonesia
menitikberatkan
Terhadap
Munasena
umumnya masih
pada perbuatan
Perkara Anak
Mahupiki
jauh dari
jahat yang
Dalam
tanggal 9
kehendak
dilakukan anak,
Pembaruan
September
penegakan
dalam penelitian
Sistem
2013 di
hukum dengan
ini pendekatan
Peradilan
Fakultas
pendekatan
hukum progresif
Pidana Anak
Hukum UNS
hukum progresif
difokuskan pada
Surakarta
dan masih
pertimbangan
mengalami
hakim dalam
kendala
memutus peradilan diversi
E. Tujuan Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan tujuan sebagai berikut : a. Untuk mencari data,
pejelasan dan kausalitas mengapa
anak berpotensi
melakukan kenakalan yang berhadapan dengan hukum pidana. b. Untuk melihat secara langsung mengapa
kebijakan yudisial hakim dalam
proses pemidanaan anak nakal belum mencerminkan keadilan substantif; c. Untuk meneliti model kebijakan yudisial hakim
dalam penegakan hukum
pidana anak yang dapat mencerminkan keadilan substantif . F.Kegunaan Penelitian Penelitian ini secara teoritis diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran
tentang ide kebijakan
yudisial hakim dalam memberikan
pertimbangan yuridis, sosiologis dan filosofis terhadap anak nakal yang telah melakukan tindak pidana di Indonesia. Secara praktis, kebijakan yudisial hakim
43
tersebut diharapkan dapat dijadikan
pedoman atau dasar berpijak oleh para
penegak hukum pidana anak, utamanya hakim pidana anak dalam memberikan pertimbangan yuridis, sosiologis dan filosofis terhadap anak nakal yang telah melakukan tindak pidana di Indonesia.