BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH Dalam konteks global, industri pertambangan masih tetap beroperasi dan semakin dibutuhkan kehadirannya hingga saat ini. Keith Slack (2010) peneliti Initiative for Policy Dialogue yang berbasis di Columbia University, Amerika Serikat, dalam esainya yang bertajuk Global Mining Industry, menyimpulkan bahwa industri pertambangan merupakan salah satu industri tertua di dunia yang masih relevan dan menguntungkan hingga saat ini. Sebab, industri pertambangan memiliki karakteristik proses produksi yang khas dibandingkan dengan kegiatan industri produk di sektor lainnya. Bagi negara-negara berkembang, signifikansi ekonomi industri pertambangan ini semakin tidak terbantahkan. Untuk konteks Indonesia, Zulkarnain dan Pudjiastuti (2006: 1) mengatakan bahwa sektor pertambangan telah memberikan kontribusi bagi pembangunan nasional dari berbagai cara, seperti devisa dan sumber pendanaan negara-royalti dan berbagai macam pajak-serta memperluas lapangan kerja dan pembangunan
fisik.
Sumbangan
sektor
pertambangan
umum
terhadap
penerimaaan negara non pajak dari tahun 2000-2002 mengalami peningkatan ratarata sebesar 35.75 %. Peningkatan ini terjadi karena tingginya sumbangan royalti dan kontak karya. Masih dalam laporan yang sama, disebutkan juga bahwa pada tahun 1998 saja sektor pertambangan telah berkontribusi dalam pemasukan ekspor sebesar US$ 10.576, 6 juta atau sekitar 21.4% dari total ekspor nasional dan menyumbangkan Rp 52, 55 triliun untuk Produk Domestik Bruto-PDB. Angka ini meningkat hingga tahun 2002, dimana pemasukan ekspor sebesar mencapai US$ 13.082, 2 juta serta dan menyumbangkan 3.07 % untuk Produk Domestik BrutoPDB. Namun demikian, realitas empiris juga mencatat bahwa selain terjadi peningkatan skala pertumbuhan industri-produksi, distribusi, dan promosi, 1
ternyata berkembang juga aspek-aspek disfungsional -dampak negatif yang tidak diharapkan- yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan di dalam industri pertambangan. Secara umum, terkait aspek disfungsional, terdapat tiga aspek yang selalu menjadi perhatian dalam industri pertambangan yakni lingkungan, ekonomi, dan sosial. Disfungsi lingkungan tampak dalam bentuk pencemaran dan perusakan fungsi lahan. Disfungsi ekonomi terkait dengan ketidakadilan produksi, nilai tambah ekonomi bahkan juga menyangkut pengembangan dan pemanfaatan sumber daya manusia. Untuk disfungsi sosial, isu yang kerap muncul adalah peningkatan pertumbuhan dan perkembangan penggusuran lahan penduduk lokal, peningkatan pertumbuhan jumlah pekerja asing yang melahirkan isu-isu sosial, seperti: tindakan kriminal, prostitusi, serta beragam bentuk kekerasan domestik lainnya. Lebih lanjut, disfungsi kehadiran perusahaan pertambangan multinasional telah membentuk skema pertemuan budaya dan perubahan sosial di lingkungan sekitar usaha pertambangan. Proses pertemuan dua nilai budaya dan perubahan sosial ini-baik yang bersifat alami atau hasil rekayasa sosial melalui kebijakan organisasi perusahaan-kerap menimbulkan ketegangan dan prasangka yang berujung pada lahirnya konflik sosial. Secara umum, konflik sosial tersebut terjadi sebagai akibat: pertama, komunikasi antar dan inter budaya yang tidak terjalin secara efektif dan suportif. Kedua, masyarakat lokal adalah pihak yang paling besar menerima dampak kegiatan penambangan, sedangkan di sisi lain mereka merupakan kelompok yang paling sedikit mendapatkan manfaat dari kegiatan tersebut. Ketiga, keberadaan aktivitas penambangan telah menimbulkan suatu kondisi paradoks. Pada satu sisi kegiatan penambangan mampu mendorong peningkatan perekonomian masyarakat setempat, namun pada saat bersamaan, kegiatan ini juga menciptakan ketergantungan ekonomi masyarakat terhadap perusahaan. Terkait dengan konflik pertambangan, salah satu kasus yang cukup signifikan adalah konflik antara masyarakat lokal Sorowako, Kabupaten Luwu Timur, Provinsi Sulawesi Selatan dengan PT. International Nickel Indonesia Tbk-
2
selanjutnya disebut sebagai PT. INCO. Dalam fenomena tersebut, agenda penelitian yang signifikan disini adalah melakukan kajian strategi komunikasi perusahaan yang dikembangkan untuk melakukan mitigasi konflik antara masyarakat lokal Sorowako, Kabupaten Luwu Timur, Provinsi Sulawesi Selatan dengan PT. INCO. Kajian ini akan mencoba memetakan korelasi antara praktek komunikasi perusahaan dengan variasi sebab, dinamika, dan resolusi konflik. Dari pengamatan dan pengalaman empirik yang ada, konflik masyarakat lokal Sorowako, Kabupaten Luwu Timur, Provinsi Sulawesi Selatan dengan PT. INCO disebabkan oleh faktor yang tidak bersifat unidemensional. Artinya, konflik yang muncul tidak semata-mata bersumber dari dimensi perebutan sumber daya ekonomi -economic resource- yang mereproduksi problem kemiskinan dan ketimpangan yang merata di masyarakat. Lebih dari itu, konflik yang muncul juga bersumber dari dimensi kultural dan politik lokal. Salah satu ekspresi dari dimensi kultural dan politik lokal yang dimaksud adalah proses penyesuaian dan penerimaan dua budaya yang berbeda. Dalam konteks PT. INCO, masalah ini sangat terasa ketika terjadi perubahan struktur kepemilikan dari INCO Ltd, Kanada ke Vale Brazil yang berimplikasi terhadap perubahan dan orientasi nilainilai
budaya
perusahaan,
termasuk
juga
perubahan
orientasi
program
pemberdayaan masyarakat. Implikasi logis dari perubahan nilai budaya perusahaan ini ternyata berhubungan dengan dinamika konflik-fluktuasi, ekskalasi, dan bentuk, intensitas serta aktor, dan lembaga konflik yang terjadi. Berpijak pada realitas tersebut, sebuah kajian tentang praktek komunikasi yang dikembangkan mempunyai signifikansi yang tinggi. Sebab, di tengah konflik yang bersifat multi dimensi, PT. INCO juga mengembangkan sebuah praktek komunikasi untuk mengelola konflik yang menerapkan strategi berbasis pada manajemen pemangku kepentingan.
3
B. RUMUSAN MASALAH Secara umum, penelitian ini akan digunakan untuk menjawab pertanyaan: “Bagaimana praktek komunikasi PT. INCO dalam mengelola konflik pertambangan di Sorowako, Kabupaten Luwu Timur, Provinsi Sulawesi Selatan?” C. TUJUAN PENELITIAN Penelitian ini mempunyai sejumlah tujuan antara lain: pertama, memetakan sumber-sumber konflik pertambangan di Sorowako, Kabupaten Luwu Timur, Provinsi Sulawesi Selatan. Kedua, mengidentifikasi praktek komunikasi yang menerapkan strategi berbasis pada manajemen pemangku kepentingan yang dilakukan oleh PT. INCO dalam mengelola konflik pertambangan di Sorowako, Kabupaten Luwu Timur, Provinsi Sulawesi Selatan. D. MANFAAT PENELITIAN Dalam ranah akademis, penelitian ini mempunyai manfaat akademis dimana hasil penelitian dapat digunakan untuk mengembangkan konsep tentang strategi komunikasi perusahaan yang menghasilkan skema pengelolaan konflik yang bersifat integratif. Model tersebut diharapkan dapat digunakan sebagai rujukan untuk menyelesaikan konflik berdasarkan pengalaman konflik antara masyarakat lokal Sorowako, Kabupaten Luwu Timur, Provinsi Sulawesi Selatan dengan PT INCO. Pada lingkup perusahaan, penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi pelaku industri, khususnya pelaku usaha pertambangan yang kerap berkonflik dengan masyarakat lokal di lingkungan perusahaan itu. Strategi komunikasi perusahaan yang mendorong proses integrasi sosial-kultural dalam situasi konflik dapat digunakan oleh perusahaan tambang sebagai rujukan untuk pengembangan program charity, community development, dan corporate social responsibility. Lebih spesifik lagi, strategi tersebut dapat digunakan oleh manajemen puncak PT INCO yang tengah mengalami situasi konflik vertikal dan horizontal pasca
4
perubahan struktur kepemilikan saham yang lebih adaptif, kompatibel, dan sensitif terhadap nilai-nilai budaya yang dianut oleh masyarakat sekitar wilayah operasi tambangnya. Adapun untuk peneliti sendiri, penelitian ini diharapakan dapat mendatangkan manfaat yang berupa pendalaman pemahaman tentang berbagai konsep serta praktek dari strategi komunikasi perusahaan yang dijalankan oleh perusahaan pertambangan dalam mengelola konflik serta membentuk resolusi konflik dengan masyarakat lokal. Pemahaman ini sangat diperlukan untuk mengembangkan kemampuan kognitif, penguasaan konseptual, dan keterampilan teknokratis administratif dalam mengelola sebuah perusahaan pertambangan yang berbasis pada kegiatan industri pengolahan mineral. E. KERANGKA PEMIKIRAN Secara struktural, komunikasi perusahaan merupakan bagian integral dari suatu lembaga atau organisasi. Komunikasi perusahaan merupakan salah satu fungsi manajemen modern yang bersifat melekat pada perusahaan (corporate management fuction). Menurut Van Riel (2011) , “Corporate Communication as an instrument of management by means of which all consciously used forms of internal and external communications are harmonized as effectively and efficiently as possible , with the overall objective of creating favourable basis for relationships with groups upon which the company is dependent”. Dalam kajian ini, komunikasi perusahaan dioperasionalkan dalam bentuk strategi komunikasi perusahaan yang didefinisikan sebagai sebuah metode dan instrumen yang digunakan untuk mewujudkan tujuan perusahaan serta memberikan dampak positif terhadap perusahaan. Secara umum biasanya sebelum strategi komunikasi ditetapakan maka proses perencanaan komunikasi dilakukan terlebih dahulu. Menurut Assifi dan Fremch (1982), perencanaan komunikasi acap kali terkait dengan delapan tahapan implementasi, yaitu :
5
1. Menganalisis Masalah 2. Mengalisis Khalayak 3. Menetapkan Tujuan (Merumuskan Objektif) 4. Memilih Media aatau Saluran Komunikasi 5. Mengembangkan Pesan 6. Memproduksi Media 7. Melaksanakan Program 8. Melakukan Monitoring dan Evaluasi Kajian ini akan melihat praktek komunikasi yang dilakukan oleh perusahaan pertambangan dalam mengelola konflik di wilayah operasional pertambangan. Dalam lingkup konseptual, pertambangan merupakan serangkaian kegiatan yang ditujukan untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi berbagai jenis bahan galian. Pada titik ini, bahan galian yang dimaksud meliputi unsurunsur kimia mineral, bijih-bijih, dan segala macam jenis batuan mulia dan batuan yang bernilai ekonomis. Secara umum, bahan galian diklasifikasikan, sebagai berikut: 1. Bahan galian golongan A. Dalam kategori ini, bahan galian dinilai bersifat strategis, seperti minyak dan gas, batubara, dan timah. 2. Bahan galian golongan B. Bahan galian dalam kategori B dinilai bersifat vital, seperti emas, tembaga, dan intan. 3. Bahan galian C. Untuk kategori ini, bahan galian yang ada dinilai bersifat bukan strategis dan bukan vital, seperti batu, pasir, dan batu granit. Usaha pertambangan merupakan setiap kegiatan dalam rangka pengusahaan produk pertambangan yang meliputi tahapan kegiatan penyelidikan umum,
6
eksplorasi, pengolahan, dan pemurnian, sampai dengan proses pengangkutan dan penjualan. Catatan teoritis yang ada memberikan realitas tekstual bahwa terdapat beragam sumber konflik sosial di kawasan pertambangan. Studi Javier Arellano Yanguas (2008) tentang konflik sosial di kawasan pertambangan di Peru melaporkan adanya berbagai tipologi konflik sosial yang mungkin terjadi antara komunitas dengan perusahaan tambang. Tipe pertama adalah konflik antara komunitas dengan perusahaan tambang. Tipe ini terdiri dari sub tipe: (1) berusaha untuk menghentikan operasi tambang atau ekspansi tambang, (2) sebagai salah satu strategi komunal dalam proses negosiasi dengan perusahaan tambang. Tipe kedua adalah pengendalian pendapatan perusahaan tambang, meliputi (1) konflik di berbagai level pemerintah, (2) pengendalian kawasan (teritorial) serta (3) konflik kekaryawanan (tenaga kerja). Sementara pemetaan konflik sosial antara masyarakat lokal dan pertambangan berdasarkan hasil studi empirik Zulkarnain, et al (2003) di daerah operasi PT. Antam di Pongkor dan Cikotok di Jawa Barat serta kawasan pertambangan timah Bangka Belitung, memperlihatkan ada dua bagian kelompok masyarakat lokal yang berperan dalam konflik dengan perusahaan tambang. Kelompok pertama, konflik antara perusahaan versus masyarakat. Ada lima faktor sebagai sumber konflik yang terjadi dalam tipe ini : (a) komunikasi yang mandeg antara perusahaan dan masyarakat, (b) berkurangnya lahan garapan masyarakat akibat berpindahnya kepemilikan, (c) sistem penerimaan kerja yang nepotisme, (d) program pemberdayaan masyarakat, (e) adanya kesenjangan antara aparat pemerintah dengan perusahaan. Kelompok kedua adalah konflik antara perusahaan versus PETI (penggali tanpa izin). Terdapat empat sumber konflik dalam kelompok ini, seperti (a) permainan wewenang aparat keamanan, (b) PETI lokal merasa berhak untuk ikut mengeksploitasi, (c) PETI pendatang merasa berani untuk melakukan eksploitasi serta (d) perbedaan persepsi antara perusahaan dan aparat pemerintahan.
7
Penjelasan tentang anatomi dan implikasi konflik korporasi-komunitas lokal datang dari Doddy Prayogo dalam bukunya Socially Responsible Corporation (Prayogo, 2011: 33-35). Merujuk hasil penelitian lapangan yang dilakukan oleh penulis buku ini pada beberapa perusahaan, seperti Unocal, BP (British Petroleum), BHP (Broken Proprietary Hill, sekarang disebut BHP Billiton saja), Arutmin, Newmont Sumbawa, Banpu, KPC (Kaltim Prima Coal), dan Berau Coal, disimpulkan bahwa terdapat pola yang relatif terstruktur dan berulang dalam konflik antara masyarakat lokal dan industri pertambangan. Konflik sosial di daerah pertambangan, menurut peneliti ini dipetakan dalam tiga dimensi: (1) dimensi sebab konflik, (2) dinamika konflik serta (3) resolusi konflik. Dimensi sebab konflik meliputi perubahan politik, ketimpangan, eksploitasi, dominasi, dan pemberdayaan. Dimensi dinamika konflik meliputi fluktuasi, ekskalasi, bentuk, intensitas, aktor dan lembaga. Ketimpangan ekonomi, eksploitasi, dominasi disebut sebagai faktor struktural (sebab tidak langsung). Sementara perubahan politik dan pemberdayaan masyarakat disebut sebagai faktor non struktural (sebab langsung). Dinamika konflik menguraikan tentang kualitas konflik itu sendiri, seperti fluktuasi, intensitas, ekskalasi serta peran lembaga (aktor). Resolusi konflik meliputi kontrak sosial lama dan kontrak sosial baru. Baik dimensi sebab, dinamika, dan resolusi konflik dengan pola peran negara (baik pemerintah pusat dan daerah). Prayogo et al (35-60) memetakan anatomi konflik masyarakat lokalkorporasi tambang sebagai dialog antara state-corporate-society. Negara, menurut Prayogo tetap penting dan merupakan institusi sentral, baik sebagai regulator maupun eksekutor. Bagi Prayogo, konflik harus berisi dimensi rasional. Konflik antara komunitas lokal dengan korporasi tambang harus dibedakan dengan konflik antar etnik, agama atau konflik antara negara dan masyarakat. Konflik antara komunitas lokal dengan korporasi tambang bukan untuk saling menghancurkan, menjatuhkan melainkan memenangkan. Komunitas bertindak sebagai pihak yang ofensif, sementara korporasi dianggap sebagai pihak yang mendatangkan sebab konflik.
8
Berkaitan dengan praktek komunikasi situasi konflik pertambangan, penelitian ini akan mendasarkan pada teori komunikasi perusahaan. Aktivitas komunikasi perusahaan adalah menyelenggarakan komunikasi timbal balik (two way communication) antara perusahaan (organisasi) atau suatu lembaga dan pesan, pesan dan pihak publik (stakeholder/pemangku kepentingan/konstituen), publik dan respon publik, respon publik dan perusahaan serta antara pilihan saluran komunikasi yang digunakan terdapat hubungan timbal balik dengan perusahaan, pesan, publik, dan respon (Management Communication Association, 2002). Itu berarti bagaimana komunikasi perusahaan dapat berperan dalam melakukan komunikasi timbal balik (two way communication) dengan tujuan menciptakan saling pengertian (mutual understanding), saling menghargai (mutual appreciation), saling mempercayai (mutual confidence), menciptakan good will, memperoleh dukungan publik (public support), dan sebagainya demi terciptanya citra positif bagi suatu lembaga atau perusahaan (corporate image). Semua ini bertujuan untuk menciptakan saling pengertian dan dukungan bagi tercapainya suatu tujuan tertentu, kebijakan, kegiatan produksi barang atau pelayanan jasa, dan sebagainya, demi kemajuan perusahaan atau citra positif bagi lembaga bersangkutan (Ruslan, 2007:1). Pada intinya aktivitas komunikasi perusahaan meliputi kegiatan mulai dari pembenahan organisasi itu sendiri hingga kegiatan yang bersifat membangun, memelihara, dan melindungi/menjaga reputasi atau citra perusahaan yang positif di mata stakeholder (Joep Cornelissen, 2011:3). Stakeholder (Pemangku Kepentingan) bisa dikategorikan menjadi stakeholder internal perusahaan dan stakeholder
eksternal
perusahaan.
Lebih
lanjut,
penelitian
ini
akan
mengoperasionalkan segenap konsep yang terkait dengan konflik sosial dan komunikasi perusahaan dalam industri pertambangan.
9
PT. INCO Values of Capabilities KONFLIK
Strategi Komunikasi
Masyarakat Values of Expectation
Bagan 1.1 Alur Pikir Penelitian Sumber: Peneliti
F. KERANGKA KONSEP Values of Capability adalah nilai kapasitas yang dimiliki oleh PT. INCO untuk mengelola kegiatan pertambangan di Sorowako. Values of Expectation adalah nilai harapan yang dimiliki oleh masyarakat terhadap pengelolaan kegiatan pertambangan yang dilakukan oleh PT. INCO di Sorowako. Konflik adalah ketidaksepakatan yang muncul antara PT. INCO dengan masyarakat di Sorowako sebagai akibat perbenturan antara values of capability dan values of expectation. Praktek Komunikasi adalah implementasi kombinasi yang terbaik dari semua elemen komunikasi mulai dari komunikator, pesan, saluran (media), penerima sampai pada pengaruh (efek) yang dirancang untuk mencapai tujuan komunikasi yang optimal. Strategi Komunikasi adalah kombinasi yang terbaik dari semua elemen komunikasi mulai dari komunikator, pesan, saluran (media), penerima sampai pada pengaruh (efek) yang dirancang untuk mencapai tujuan komunikasi yang optimal. Strategi komunikasi juga merupakan sebuah metode dan instrumen yang
10
digunakan untuk mewujudkan tujuan perusahaan serta memberikan dampak positif terhadap perusahaan.
G. METODE PENELITIAN G.1. Jenis Penelitian dan Metode Pengumpulan Data Kajian ini dikategorikan sebagai kajian kualitatif yang bertujuan memperoleh makna dan gambaran realitas yang kompleks, dan menemukan paradigma baru berdasarkan realitas sosial di lapangan (Agiati, 2008: 77). Dengan demikian, hasil kajian bersifat temuan terhadap dinamika dan perkembangan karakteristik kelompok dalam struktur sistem dan interaksi sosial masyarakat. Sumber data yang diperlukan dalam penelitian ini dibagi menjadi data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dengan instrumen wawancara mendalam dan Focus Group Discussion (FGD). Data sekunder didapat dari berbagai arsip, dokumen, literatur, tulisan di media massa dan internet yang menunjukan adanya informasi yang sama atau berbeda. Terkait dengan pengumpulan data, teknik pengumpulan data yang dipilih itu diuraikan secara ringkas di bawah ini, sebagai berikut: Pertama, teknik observasi partisipatif. Teknik ini digunakan mengacu pada riset yang berciri periode interaksi sosial yang intensif. Peneliti ikut berperan pada kegiatan atau proses yang sedang diteliti, ikut empati, dan peneliti pun masuk ke dalam objek yang diteliti serta membiarkan seting alamiah itu terjadi. Dengan begitu, keunikan dalam subjek kajian dapat dikuak oleh peneliti secara mendalam (Basrowi dan Suwandi, 2008: 10/106). Kedua,
wawancara
mendalam.
Teknik
kajian
ini
mengandalkan
kemampuan investigatif sebagaimana dilakukan oleh para wartawan liputan khusus. Lincoln dan Cuba (1985) menjelaskan bahwa teknik wawancara dalam kajian ini berguna untuk mengkonstruksi perihal orang, kejadian, kegiatan, organisasi, perasaan, motivasi, tuntutan, dan kepedulian (Basrowi dan Suwandi, 2008: 127). Termasuk dalam hal ini untuk merekonstruksi kebulatan-kebulatan 11
harapan pada masa yang akan datang, memverifikasi, mengubah, dan memperluas informasi dari orang lain, serta memverifikasi, mengubah, dan memperluas konstruksi yang dikembangkan oleh peneliti sebagai pengecekan data. Melalui wawancara mendalam ini data dikonfrontasi antara satu dengan yang lain dalam rangka memperoleh akurasi atau kebenaran. Dengan teknik wawancara mendalam ini informasi tentang pokok persoalan yang diteliti dapat diperoleh sebanyak-banyaknya dan dilakukan berulang-ulang serta pembicaraan dapat melebar jauh dari tema yang dibahas. Namun, kekayaan informasi yang diperoleh dari wawancara mendalam tersebut memerlukan klasifikasi dan penyaringan ulang mengingat lenturnya atau abstraknya keterangan lisan serta kemungkinan bahasa atau istilah yang digunakan bersifat multimakna. Ketiga, diskusi kelompok terarah focused group discussion (FGD). Walaupun teknik focused group discussion ini sebenarnya masih masuk kategori wawancara terstruktur, tetapi sifatnya tidak personal karena dilakukan dalam kelompok atau grup dan sifatnya berdiskusi secara terbuka dengan isu tertentu. FGD ini bertujuan mengungkap persepsi kelompok mengenai suatu gejala budaya dalam masyarakat. Keempat, interpretasi teks dokumen, literatur, tulisan di media massa, dan internet. Teknik ini dilakukan dengan cara mencermati, memahami, dan memaknai berbagai teks dokumen atau berita yang terkait dengan pokok masalah yang dibahas
sekaligus
juga
sebagai
upaya
melakukan
validasi
data
(mengkonfirmasi data). Pada bagian inilah prinsip interpretasi dilakukan dengan berpijak pada kesinambungan antarteks dokumen yang sama sehingga masingmasing teks dokumen saling mereferensi. Dalam penafsiran teks ini, instrumeninstrumen data yang lain, seperti hasil wawancara, FGD, atau catatan observasi partisipatif menjadi rujukan yang sangat penting. Dengan demikian, seluruh data saling melengkapi sekaligus bisa saling mengkonfrontasi sehingga penafsiran pun dapat dilakukan melalui kesimpulan
12
yang logis dan rasional. Meskipun interpretasi teks dokumen atau berita ini terkait dengan data-data sekunder, tetapi sifatnya vital karena dokumen atau berita itu bisa lebih alamiah dan orisinil dibanding data lisan. Untuk memperoleh gambaran yang lebih jelas, tabel di bawah ini akan memberikan paparan tentang jenis data dan metode pengumpulan data yang digunakan. NO
1.
JENIS DATA
Data primer tentang strategi komunikasi PT. INCO dalam pengelolaan konflik lokal.
METODE PENGUMPULAN DATA
SUMBER DATA
-
Wawancara mendalam
- Direktur external relation PT. INCO
-
FGD
-
Observasi
- Staf government relation PT. INCO - Staf legal affair PT. INCO - Staf community development PT. INCO
2.
Data primer tentang konflik antara PT. INCO dan masyarakat lokal
-
Wawancara mendalam
- Direktur external relation PT. INCO
-
FGD
-
Observasi
- Staf government relation PT.INCO - Staf legal affair PT. INCO - Staf community development PT. INCO - Tokoh masyarakat di Sorowako. - Tokoh pimpinan gerakan perlawanan terhadap PT. INCOdi Soro-wako - Anggota DPRD Kabupaten Luwu Timur - Representasi Pemerintah Kabupaten Luwu Timur
13
3.
4.
Data sekunder terkait dengan dokumen strategi dan SOP komunikasi perusahaan dalam mengelola konflik lokal
-
Data sekunder terkait dengan konflik antara PT. INCO dan masyarakat lokal
-
Interpretasi teks dan literatur
- Dokumen - Kliping media - Literatur
Interpretasi teks dan literatur
- Dokumen - Kliping media - Literatur
Tabel 1.1 Jenis Data dan Metode Pengumpulan Data Sumber: Penulis G.2. Analisis Data Proses analisis data dimulai dari telaah jenis data yang terkumpul, baik data primer maupun sekunder. Dari aneka ragam data yang didapat dilakukan pembacaan secara kritis dan direduksi dengan membuat rangkuman abstrak atau abstraksi inti. Setelah proses abstraksi dilakukan, lalu data disusun sesuai tematema yang diinginkan. Setelah itu, data mulai ditafsir sebagai hasil temuan sementara dalam pengertian bahwa validitas data ini masih perlu diragukan lagi atau dikritisi (Bryman, 2004: 399-414; Neuman, 2000: 426-434). Hasil pengkritisan atas data sementara inilah yang menjadi data yang substansial secara teoritik. Menurut Bogdan dan Biklen (1992), berdasarkan cara kerja analisis data di atas, maka dapat disimpulkan bahwa analisis data kualitatif merupakan upaya yang dilakukan dengan cara bekerja bersama data, mengorganisasikan data, memilah-milah menjadi satuan untuk dikelola, melakukan sintesis atas data, 14
mencari dan menemukan pola atas data, menemukan hal-hal yang penting dan yang patut dipelajari, dan membuat keputusan hingga dapat dikonsumsi orang lain (Basrowi dan Suwandi, 2008: 127). Secara ringkas, proses atau tahapan analisis data kualitatif dapat dilakukan sebagai berikut: 1. Mengumpulkan, memilah-milah, mengklasifikasi, menyintesiskan, membuat ikhtisar, dan memberi indeks pada data. Di tataran implementasi, proses ini dilakukan dengan sejumlah langkah, antara lain: a. Memilah data primer dari idepth interview serta membuat ikhtisar sesuai dengan kerangka penelitian. b. Memilah data sekunder serta membuat ikhtisar sesuai dengan kerangka penelitian. c. Memberikan indeks tema ataupun isu yang terkait dari setiap data primer dan data sekunder untuk membangun argumen peneltian. 2. Mengidentifikasi, melihat pola, dan menginterpretasi data. Proses ini dilakukan dengan mengidentifikasi pola tema ataupun isu yang telah terindeks untuk mengintrepertasikan data secara kualitatif dalam membuat argumen penelitian. 3. Membaca, membuat kategori, dan menandai kata-kata kunci serta gagasan yang terkandung dalam data. Terkait dengan proses yang ketiga, langkah yang dilakukan adalah merumuskan kata kunci dari setiap data primer dan sekunder untuk memudahkan penulisan laporan penelitian. 4. Mempelajari ulang kata-kata kunci untuk menentukan tema-tema yang berasal dari data. Proses keempat dilakukan dengan menyisir ulang daftar kata kunci untuk memastikan tidak ada data yang tercecer. 5. Mempelajari kategori data dan menemukan maknanya dan lalu mencari pola dan hubungannya dengan tema yang sudah ditentukan. Di tataran 15
praksis, proses kelima dilakukan dengan cara mencari hubungan setiap tema atau isu yang telah terkategori dalam daftar kata kunci, sehingga terbangun argumentasi secara kualitatif. 6. Mencari atau merumuskan temuan-temuan umum serta menuliskan model. Proses ini merupakan langkah terakhir dengan menarik kesimpulan umum dari setiap argumen yang terbangun dalam penelitian kualitatif.
16