BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Pada tahun 2005 insiden BPH (benigna prostat hipertropi) di Indonesia cukup banyak, sekitar 24-30% dari kasus Urologi yang dirawat di beberapa rumah sakit. Dalam rantang 1994-1997 misalnya, RS Cipto Mangunkusumo menangani kasus 462 kasus, dari kasus di Hasan Sadikin Bandung selama kurun 1976-1985 tercatat menangani 1.185 kasus. Sementara ditahun 1993-2002, tercatat 1.038 kasus di RS Dr.Soetomo Surabaya terdapat 1.948 kasus BPH pada periode 1993-2002 dan Sumber Waras sebanyak 617 pada rentang waktu itu juga (Rochani, 2005). Pembesaran prostat jinak atau disebut juga BPH (benigna prostat hyperplasia) adalah hyperplasia kelenjar periuretral prostat yang akan mendesak jaringan prostat yang asli ke perifer dan menjadi sampai bedah (Akbar, 2008; Olumi, Richie,2004). Proses hiperplasia mulai pada umur 30 tahun, dengan kejadian 8% pada laki-laki 30-40 tahun, 40-50% pada laki-laki berumur 51-60 tahun dan pada umur lebih dari 80 tahun angka kejadian lebih dari 80%. Pada umur 30-40 tahun terjadi hiperplasia mikroskopis, 40-50 tahun hyperplasia makroskopis dan setelah umur 50 tahun hiperplasia sudah menimbulkan gejala klinik (Berry, Collin, 2004; Palinrungi, 2008). Tindakan pembedahan mengatasi
masalah
LUTS
merupakan cara yang
telahgagal
yangpaling dengan
efisien
pengobatan
medikomentosa apalagi tidak semua pasien yang mendapatkanpengobatan medikamentosa
berhasil,
hanya
sekitar
40-70%.
Pengobatan
medikamentosahanya mampu memperbaiki skor gejala sampai 30-45% (Hardjowijoto et al, 2003; Presti, 2004). Di
Indonesia
prostetektomi
terbuka
merupakan
operasi
standartpembesaran prostat jinak yang dilakukan oleh ahli bedah
1
umum.Prostatektomi suprapubik (tansvesical prostatectomy) merupakan adenoma prostat hyperplasi melalui insisi ekstraperitoneal dari dinding buli bagian anterior bawah. Keuntungan dari transvesica prostatektomy adalahseluruh jaringan adenoma dapat diangkat sampai bersih, otot sefingter uretramasih baik,penyembuhan luka primer. Komplikasi yang terjadi adalah perdarahan pasca operasi dan retensi bekuan darah,infeksi saluran kencing,ejakulasi retrogard, impotensi, inkontinensia,striktur uretra (Grace and borley,2006). Setelah dilakukan pembedahan prostatectomy terbuka terdapat komplikasi yang salah satunya adalah perdarahan pasca operasi dan retensi bekuan darah, pasien dianjurkan untuk berbaring dan hanya melakukan aktifitas ringan. Pada saat pasien dianjurkan untuk berbaring dan tidak melakukan aktifitas, maka peredaran darah ke jantung dapat terhambat dan akan mengalami resiko pembengkakan dan bekuan darah yang bisa berbahaya pada tubuhnya. Oleh karena itu pada pasien yang mengalami operasi prostatektomi diberikan latihan kaki yang efektif untuk menurunkan kemungkinan bekuan darah pada kaki dan melancarkan peredaran
darah.
Latihan
kaki
pada
pasien
setelah
operasi
prostatektomidisebut juga dengan leg and foot exercise. Leg and foot exercise adalah menggerakan tumit kaki naik dan turun untuk mempromosikan aliran darah yang baik dan menurunkan kemungkinan pembekuan darah pada pasien setelah post Operasi transvesica prostatectomy(Quinte Health Care, 2003). Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan pada 26 Desember 2013 di RSUD Kebumen dan RS PKU Muhammadiyah Gombong menunjukan bahwa selama bulan Januari sampai bulan Desember tahun 2013 terdapat 141 kasus BPH yang menjalani operasi transvesica prostatectomy. Berdasarkan wawancara dengan perawat dirumah sakit bahwa kejadian perdarahan pasca transvesica prostatectomymasih terjadi, pasien sering mengeluh kateter macet akibat adanya bekuan darah. Peran perawat
dalam
mengatasi
masalah perdarahan
pasca
transvesica
prostatectomy adalah dengan cara mengobservasi perdarahan yang terjadi, mengajarkan pasien pentingnya intake cairan yang meningkat, membatasi aktivitas dan menghindari sembelit, mengajar pasien cara manajemen nyeri dan lanjutkandengan latihan kaki. Berdasarkan uraian diatas maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang ada pengaruh Leg and foot exercise terhadap kejadian peradarahan pada pasien pasca operasi transvesica prostatektomy. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut maka rumusan masalah pada penelitian ini adalah “apakah ada pengaruh leg and foot exercise terhadap kejadian
peradarahan
pada
pasien
pasca
operasi
transvesica
prostatectomy?” C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan umum Mengetahui pengaruh leg and foot exercise terhadap pencegahan peradarahan pada pasien pasca operasi transvesica prostatectomy. 2. Tujuan Khusus a. Mengetahui kejadian peradarahan pada pasien BPH yang telah menjalani operasi transvesica prostatectomy yang tidak dilakukan leg and foot exercise b. Mengetahui kejadian perdarahan pada pasien BPH yang telah menjalani operasi transvesica prostatectomy setelah tindakan leg and foot exercise c. Mengetahui perbedaan kejadian perdarahanpasien BPH yang telah menjalani operasi transvesica prostatectomy yang diberi leg and foot exercise dan yang tidak di beri leg and foot exercise D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Keilmuan Hasil penelitian ini diharapkan memberikan informasi tentang pengaruh leg and foot exercise terhadap kejadian peradarahan pada pasien pasca operasi transvesica prostatectomy
2. Manfaat penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai data untuk penelitian selanjutnya, memperkaya riset keperawatan di Indonesia, sehingga dapat mengembangkan ilmu keperawatan dengan berbagai inovasi intervensi sesuai kebutuhan pasien.Melalui penelitian ini dapat dijadikan data untuk penelitian selanjutnya untuk mengembangkan intervensi yang tepat dalam
upaya mengurangi
perdarahan pasca
operasi transvesica prostatectomy. E. KEASLIAN PENELITIAN 1. Penelitian dilakukan oleh Arif dengan judul Hubungan perilaku mobilisasi dengan volume perdarahan pada ibu post partum di BPS soniah Desa Rengging kecamatan Pecangaan kabupaten Jepara. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan perilaku mobilisasi dini dengan volume perdarahan pada ibu post partum di BPS Soniah desa Rengging kecamatan Pecangaan kabupaten Jepara. Penelitian ini menggunakan metode diskriptif analitik dengan kolerasi, dengan pengambilan sampel jenuh/total populasi ibu post partum di BPS Soniah desa Rengging kecamatan Pecangaan kabupaten Jepara pada bulan Mei 2010.Variabel yang diteliti adalah perilaku mobilisasi dini sebagai variable bebas sedangkan volume prdarahan pada ibu post partum sebagai variable terikat. Data diamalisis secara univariat dan bivariat yaitu menggunakan uji chi kuadrat. Berdasarkan chi kuadrat menunjukan ada hubungan yang signifikan antara perilaku mobilisasi dini dengan volume perdarahan pada ibu post partum di BPS Soniah desa Rengging Kecamatan Pecangaan Kabupaten Jepara, dengan kolerasi sebesar 28.386 (p=0.000). Perbedaan dari penelitian ini adalah Penelitian yang dilakukan oleh Arif bertujuan untuk mengetahui hubungan perilaku mobilisasi dini dengan volume perdarahan pada ibu post partum di BPS Soniah Desa Rengging Kecamatan Pecangaan kabupaten Jepara.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan teori 1. Penyakit benigna prostat hiperplasia a. Pengertian Benigna prostat hyperplasia (BPH) adalah suatu neoplasma jinak yang mengenai kelenjar prostate yang menyebabkan geangguan fungsi buang air kecil. Proses ini biasanya dimulai pada usia sekitar 35 tahun dan mulai progresif menurut bertambahnya usia pria. Penelitian menunjukan golongan pria yang berumur 6069 tahun, pada 51 diantaranya menderita BPH (Soenarjo, 2005).BPH (benigna prostat hyperplasia) adalah kondisi patologis yang paling umum pada pria lansia dan penyebab kedua yang paling sering untuk intervensi medis pada pria diatas 60 tahun (Brunner& Suddarth, 2002). BPH (benigna prostat hyperplasia) adalah pembesaran progresif pada kelenjar prostat secara umum pria lebih dari 50 tahun yang menyebabkan berbagai derajat obstruksi ureteral dan pembatasan aliran urinarius (Doengoes, 2000). b. Patofisiologi Kelenjar prostat adalah salah satu organ genetalia pria yang terletak di sebelah inferior buli-buli, dan membungkus uretra posterior.Bentuknya sebesar buah kenari dengan berat normal pada orang dewasa ± 20 gram. Kelenjar prostat terbagi dalam beberapa zona, antara lain zona perifer, zona sentral, zona transisional, zona fibromuskuler anterior dan periuretra (Mc Neal, 1976). Pada usia lanjut akan terjadi perubahan keseimbangan testosteron estrogen karena produksi testosteron menurun dan terjadi konversi tertosteron
menjadi
estrogen
5
pada
jaringan
adipose
di
perifer(Sjamsuhidajat, 2005). Pertumbuhan kelenjar prostat sangat tergantung pada hormon tertosteron, yang di dalam sel-sel kelenjar prostat hormon ini akan dirubahmenjadi dehidrotestosteron (DHT) dengan bantuan enzim alfa reduktase. Dehidrotestosteron inilah yang secaralangsung memacu m-RNA di dalam sel-sel kelenjar prostat untuk mensintesis protein sehingga terjadi pertumbuhan kelenjar prostat (Basuki, 2000). Pembesaran prostat terjadi perlahan, maka efek terjadinya perubahan
pada
traktus
urinarius juga
terjadi
perlahan-
lahan.Perubahan patofisiologi yang pembesaran prostat sebenarnya disebabkan oleh kombinasi resistensi uretra daerah prostat, tonus trigonum dan leher vesika dan kekuatankontraksi detrusor.Secara garis besar, detrusor dipersarafi oleh sistem parasimpatis, sedang trigonum,leher vesika dan prostat oleh sistem simpatis. Pada tahap awal setelah terjadinya pembesaran prostat akan terjadiresistesi yang bertambah pada leher vesika dan daerah prostat. Kemudian detrusor akan mencoba mengatasi keadaan ini dengan jalan kontraksi lebih kuat dan detrusor menjadi lebih tebal. Penonjolan serat detrusor kedalam kandung kemih dengan sistoskopi akan terlihat seperti balok yang disebut trahekulasi (buli-buli balok). Mukosa dapat menerobos keluar diantara serat aetrisor.Tonjolan mukosa yang kecil dinamakan sakula sedangkan yang besar disebut divertikel.Fase penebalan detrusor ini disebut fase kompensasi otot dinding kandung kemih.Apabila keadaan berlanjut maka detrusor menjadi lelah dan akhirnya mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk berkontraksi sehingga terjadi retensi urin. Pada hiperplasi prostat digolongkan dua tanda gejala yaitu obstruksi dan iritasi.Gejala obstruksi disebabkan detrusor gagal berkontraksi dengan cukup lama dan kuat sehingga kontraksi terputus-putus (mengganggu permulaan miksi)miksi terputus, menetes pada akhir miksi, pancaran lemah, rasa belum puas setelah
miksi. Gejala iritasi terjadi karena pengosongan yang tidak sempurna atau pembesaran prostat akan merangsang kandung kemih, sehingga sering berkontraksiwalaupun belum penuh atau dikatakan sebagai hipersenitivitas otot detrusor (frekuensi miksi meningkat, nokturia, miksi sulit ditahan/urgency, disuria). Karena produksi urin terus terjadi, maka satu saat vesiko urinaria tidak mampu lagi menampung urin, sehingga tekanan intravesikel lebih tinggi dari tekanan sfingter dan obstruksi sehingga terjadi inkontinensia paradox (overflow incontinence). Retensi kronik menyebabkan refluks vesiko ureter dan dilatasiureter danginjal, maka ginjal akan rusak dan terjadi gagal ginjal. Kerusakan traktus urinarius bagian atas akibat dari obstruksi kronik mengakibatkan penderita harus mengejan pada miksi yang menyebabkan peningkatan tekanan intra abdomen yang akan menimbulkan hernia dan
hemoroid.
Stasis
urin
dalam
vesiko
urinaria
akan
membentuk batu endapan yang menambal. Keluhan iritasi dan hematuria. Selain itu, stasis urin dalam vesika urinaria menjadikan media pertumbuhan mikroorganisme, yang dapat menyebabkan sistitis dan bila terjadi refluks menyebabkan pyelonefritis (Sjamsuhidajat, 2005). c. Etiologi Penyebab hiperplasia prostat belum diketahui dengan pasti, ada beberapa pendapat dan fakta yang menunjukan, ini berasal dan proses yang rumit dari androgen dan estrogen. Dehidrotestosteron yang berasal dan testosteron dengan bantuan enzim 5α-reduktase diperkirakan sebagai mediator utama pertumbuhan prostat.Dalam sitoplasma sel prostat ditemukan reseptor untuk dehidrotestosteron (DHT). Reseptor ini jumlahnya akan meningkat dengan bantuan estrogen. DHT yang dibentuk kemudian akan berikatan dengan reseptor membentuk DHT-Reseptor komplek. Kemudian masuk ke inti
sel
dan
mempengaruhi
RNA
untuk
menyebabkan
sintesis protein sehingga terjadi protiferasi sel. Adanya anggapan bahwa sebagai dasar adanya gangguan keseimbangan hormon androgen dan estrogen, dengan bertambahnya umur diketahui bahwa jumlah androgen berkurang sehingga terjadi peninggian estrogen secara retatif. Diketahui estrogen mempengaruhi prostat bagian dalam (bagian tengah, lobus lateralis dan lobus medius) hingga pada hiperestrinisme, bagian inilah yang mengalami hiperplasia (Hardjowidjoto,2000). Beberapa hipotesis yang diduga sebagai penyebab timbulnya hiperplasi prostat adalah : (Poernomo, 2000) 1. Adanya perubahan keseimbangan antara hormon testosteron dan estrogen pada usia lanjut 2. Peranan dari growth factor (faktor pertumbuhan) sebagai pemicu pertumbuhan stroma kelenjar prostat 3. Meningkatnya lama hidup sel-sel prostat karena berkurangnya sel yang mati 4. Teori sel stem, menerangkan bahwa terjadi proliferasi abnormal sel stem sehingga menyebabkan produksi selstroma dan sel epitel kelenjar prostat menjadi berlebihan Pada umumnya dikemukakan beberapa teori yaitu : (Sjamsuhidayat, 2005) 1. Teori sel stem, sel baru biasanya tumbuh dari sel stem. Oleh karena
suatu
sebab
seperti
faktor
usia,
gangguan
keseimbangan hormon atau faktor pencetus lain. Maka sel stem dapat berproliferasi dengancepat, sehingga terjadi hiperplasi kelenjar periuretral. 2. Teori kedua adalah teori Reawekering menyebutkan bahwa jaringan kembali seperti perkembangan pada masa tingkat embriologi sehingga jaringan periuretral dapat tumbuh lebih cepat dari jaringan sekitarnya.
3. Teori lain adalah teori keseimbangan hormonal yang menyebutkan umur menyebabkan
bahwa
dengan
terjadinya
produksi
bertambahnya testoteron
dan
terjadinya konversi testoteron menjadi estrogen. d. Manifestasi Klinik Gambaran klinis pada hiperplasi prostat digolongkan dua tanda gejala yaitu obstruksi dan iritasi. Gejala obstruksi disebabkan detrusor gagalberkontraksi dengan cukup lama kuat sehingga mengakibatkan : pancaran miksi melamah, rasa tidak puas sehabis miksi, saat akan miksi harus menunggu lama (hesitancy), harus mengejan (straining), kencing terputus-putus (intermittency), dan waktu miksi memanjang yang akhirnya menjadi retensio urin dan inkontinen karena overflow. Gejala iritasi, terjadi karena pengosongan yang tidak sempurna atau pembesaran prostat akan merangsang kandung kemih, sehingga sering berkontraksi walaupun belum penuh atau dikatakan sebagai hipersenitivitasotot detrusor dengan tanda dan gejala antara lain: sering miksi (frekwensi), terbangun untuk miksi pada malam hari (nokturia), perasaan ingin miksi yang mendesak (urgensi), dan nyeri pada saat miksi atau disuria (Mansjoer,2000) e. Penatalaksanaan Medis Penatalaksanaan pasien dengan BPH tergantung pada stadium-stadium dari gambaran klinisa:(Sjamsuhidjat,2005) 1. Stadium I Pada stadium ini biasanya belum memerlukan tindakan bedah,
diberikan
pengobatan
konservatif,
misalnya
menghambat adrenoresptor alfa, seperti alfazosin dan terazosin. Keuntungan obat ini adalah efek positif segera terhadap
keluhan,
tetapi
tidak
mempengaruhi
proses
hiperplasi prostat. Sedikitpun kekurangannya adalah obat ini tidak dianjurkan untuk pemakaian lama.
2. Stadium II Pada stadium II merupakan indikasi untuk melakukan pembedahan biasanya dianjurkan reseksiendoskopi melalui uretra (trans uretra). 3. Stadium III Pada stadium II reseksi endoskopi dapat dikerjakan dan apabila diperkirakan prostat sudah cukup besar, sehinga reseksi tidak akan selesai dalam 1 jam. Sebaiknya dilakukan pembedahan terbuka. Pembedahan terbuka dapat dilakukan melalui transvesika, retropubik dan perineal. 4. Stadium IV Pada stadium IV yang harus dilakukan adalah membebaskan penderita dari retensi urin total dengan memasang kateter atau sistotomi. Setelah itu, dilakukan pemeriksaan lebih lanjut amok melengkapi diagnosis, kemudian terapi definitive dengan TUR atau pembedahan terbuka. Pada penderita yang keadaan
umumnya
tidak
memungkinkan
dilakukan
pembedahan dapat dilakukan pengobatan konservatif dengan memberikan
obat
penghambat
adrenoreseptor
alfa.
Pengobatan konservatif adalah dengan memberikan obat anti androgen yang menekan produksi LH. Menurut penatalaksanaan pada BPH dapat dilakukan dengan: (Mansjoer,2000; Purnomo, 2000) 1. Observasi Kurangi minum setelah makan malam, hindari obat dekongestan, kurangi kopi, hindari alkohol, tiap 3 bulan kontrol keluhan, sisa kencing dan colok dubur.
2. Medikamentosa 1). Menghambat adrenoreseptor α Reseptor-reseptor yang banyak ditemukan pada otot polos, leher vesika dan prostate sehingga terjadi relaksasi di daerah prostate. 2). Penghambat enzim α -2 reduktase Yaitu menghambat pembentukan Dehidrotestosteron (DHT) sehingga prostat yang membesar akan mengecil. 3). Fisioterapi Pemberian fisioterapi diharapkan dapat mengecilkan prostate. Efek yang diharapkan terjadi setelah pemberian selama 1-2 bulan. 3. Terapi Bedah Penatalaksanaan
bedah
pada
pasien
BPH
adalah
prostatektomi. Prostatektomi adalah pengangkatan kelenjar prostat
sebagian
atau
seluruhnya.
Ada
empat
carapembedahan prostatektomi, masing-masing dengan hasil yang berbeda: (Engram;Barbara, 1999). 1) TURP (Trans Uretral Resection Prostatectomy) Yaitu pengangkatan sebagian atau keseluruhan kelenjar prostat
melalui
sitoskopi
atau
resektoskop
yang
dimasukkan malalui uretra, tidak dibutuhkan balutan setelah operasi, dibutuhkan kateter foley setelah operasi. 2) Prostatektomi Suprapubis (TVP) Yaitu pengangkatan kelenjar prostat melalui insisi yang dibuat pada kandung kemih. Penyayatan perut bagian bawah dibuat melalui leher kandung kemih, diperlukan perban
luka,drainase,
kateter
Foley,
dan
kateter
suprapubis setelah operasi. Komplikasi yang terjadi adalah perdarahan pasca operasi dan retensi bekuan darah, infeksi saluran kencing, ejakulasi retrogard,
impotensi,
inkontinensia, striktur uretra (Grace and
borley,2006). 3) Prostatektomi retropubis Yaitu pengangkatan kelenjar prostat melalui insisi pada abdomen bagian bawah melalui fosa prostat anterior tanpa memasuki kandung kemih, diperlukan perban luka, kateter foley dan drainase. 4) Prostatektomi Perineal Yaitu pengangkatan kelenjar prostat radikal melalui sebuah insisi diantara skrotum dan rektum, digunakan jika
diperlukan
prostatektomi
radikal,
vasektomi
biasanya dilakukan sebagai pencegah epididimistis, setelah operasi balutan perineal dan pengeringan luka (drainase)
diletakan
pada
tempatnya
kemudian
dibutuhkan rendam duduk. 4. Terapi Invasif Minimal 1) Trans Uretral Mikrowave Thermotherapy (TUMT) Yaitu pemasangan prostat dengan gelombang mikro yang disalurkan ke kelenjar prostat melalui antena yang dipasang melalui/pada ujung kateter. 2) Trans Uretral Ultrasound Guided Laser Induced Prostatectomy (TULIP) 3) Trans Uretral Ballon Dilatation (TUBD) f. Komplikasi penanganan penatalaksanaan Benigna prostat hiperplasia (BPH) Gejala-gejala benigna prostat hiperplasia pada awalnya disebabkan
oleh
masalah
aliran
keluar,
kemudian
ketidakseimbangan kandung kemih, kemudian gagal kanding kemih.
Terapi
dini
dari
gejala
dapat
mencegah
atau
memperbaiki kerusakan kandung kemih dan komplikasinya.
Reseksi bedah cukup aman namun berhubungan dengan beberapa komplikasi yang penting (Grace and borley, 2006). Pada sebagian besar pasien dilakukan pembedahan. Pengangkatan bagian adenomatosa prostat dengan pembedahan. Komplikasi pembedahan yang muncul adalah perdarahan pasca operasi dan retensi bekuan darah, ISK, Ejakulasi ratrogard, impotensi, inkontinensia, striktur uretra (Grace and borley, 2006). Penatalaksaan pasien benigna prostat hiperplasia (BPH) yang sering dilakukan adalah Pembedahan Prostatectomi terbuka karena merupakan operasi standar pembesaran prostat yang dilakukan oleh ahli bedah. Prostatectomy Suprapubis (TVP:
Transvesica
Prostatectomi)
merupakan
enukleasi
adenoma prostat hiperplasia melalui insisi ekstraperitoneal dari dinding buli bagian anterior bawah. Salah satu komplikasinya adalah perdarahan hebat yang berasal dari arteria prostatika ,disamping dari fossa prostatika (Agus, 2003). 2. Perdarahan a. Pengetian Sistem peredaran darah yang terdiri dari 3 komponen utamayaitu jantung, pembuluh darah dan darah. Dalam tubuh manusia darah relatif selalu berada dalam pembuluh darah kecuali pada saat masuk dalam jaringan untuk melakukan pertukaran bahan makanan dan oksigen dengan sisa pembakaran tubuh dan karbondioksida (Tim Pusbankes 118,2013). b. Klasifikasi Berdasarkan berat ringanya keadaan klinis (nadi, tekanan nadi, tekanan darah, respirasi, produksi urin, dan kesadaran) syok dapat dibagi menjadi 4 kelas. Dengan melihat kumpulan gejala klinis ini penderita maka dapat diperkirakan banyaknya darah yang hilang (Tim Pusbankes 118,2013)
Tabel 2.1 Derajat Syok
Grade I
Grade II
Grade III
Grade IV
Darah
<750
750-1500
1500-2000
>2000
<15
15-30
30-40
<40
>120
>140
Dibawah
Dibawah
normal
normal
Hilang/cc Darah Hilang/% Nadi
<100
Tekanan Darah
N
Tekanan Nadi
>100 N
Diatas
Dibawah
Dibawah
Dibawah
Normal
Normal
normal
normal
Respirasi
14-20
20-30
30-40
>35
Produksi
>30
20-30
5-15
Tak ada
Urin/cc
Tabel 2.2 Klasifikasi tekanan darah menurut WHO Klasifikasi
Sistolik
Diastolik
TD optimal
<120
<80
TD Normal
120-129
80-84
TD Normal tinggi
130-139
85-89
HT ringan
140-159
90-99
HT sedang
160-179
100-109
HT berat
>180
>110
Erik(2004) dalam Fauzi 2008 c. Pembekuan darah Proses pembekuan darah atau penggumpalan darah adalah proses yang kompleks untuk mencegah tubuh kehilangan banyak darah karensa terjadi luka. Proses tersebut mengikuti pengetatan pada dinding pembuluh darah yang terluka, pelepasan zat untuk menarik
keping-keping darah ke daerah luka, dan pembentukan benangbenang fibrin. Komponen darah yang terlibat dalam proses penggumpalan darah adalah keping-keping darah (trombosit) dengan bantuan ion kalsium (Sokoloff, 2003). 3. Leg and foot exercise a. Pengertian Leg and foot exercise yaitu menggerakan tumit kaki naik dan turun yang dilakukan 10 kali perjam untuk mempromosikan aliran darah yang baik dan menurunkan kemungkinan pembekuan darah. Latihan ini juga dapat membantu memulihkan pasien setelah operasi untuk membantu mempertahankan sirkulasi darah yang baik di kaki, mempertahankan kekuatan otot, dan mencegah kekakuan sendiini dilakukan dalam posisi berbaring di tempat tidur (Quinte Health Care, 2003). Latihan leg and foot exercise dilakukan satuhari setelah operasi prostatectomy. Pasien diajarkan melakukan leg and foot exercise 10kali per jam (Quinte Health Care, 2003). b. Latihan Kaki dengan Ankle pump Latihan ini membantu untuk mengedarkan darah kembali ke jantung untuk mengurangi pembengkakan dan mengurangi risiko mengembangkan DVT deep vein thrombosis - bekuan darah yang bisa berbahaya (Quinte Health Care, 2003). 1. Dengan kaki lurus titik jari kaki pertama , kemudian membawa jari-jari kaki ke arah kepala. Lakukan latihan ini 10 kali setiap jam dengan satu kaki dan kemudian yang lain . 2. Gambar 2.1
B. Kerangka Teori Berdasarkan teori di gambarkan kerangka teori sebagai berikut : Gambar 2.2
Observasi
Medikamentosa Leg and foot exercise BPH (Benigna Prostat Hyperplasia)
Terapi Bedah : LUTS -
TURP TVP Prostatektom i retropubis Prostatektom i Peritoneal
Komplikasi TVP -
-
Terapi Invasif Minimal
Teori menurut :(Mansjoer,2000; Purnomo, 2000)
Perdarahan pasca operasi dan retensi bekuan darah, Infeksi saluran kencing Ejakulasi retrogard,
C. Kerangka Konsep Gambar 2.3
Variabel Independen
Pasien BPH dilakukan Transvesica Prostatectomy
Variabel Dependen
Komplikasi TVP: Leg and Foot Exercise
-
Perdarahan operasi
pasca
= Diteliti
D. Hipotesa Penelitian Ha : Ada perbedaan kejadian perdarahan pada pasien pasca operasi Transvesica Prostatectomy yang di beri leg and foot exercise dan yang tidak di beri leg and foot excercise
BAB III METODE PENELITIAN
A. Desain Penelitian Penelitian ini merupakan jenis penelitian kuantitatif dengan desain penelitian yaitu quasi experimental. Kelompok subyek yang diobservasi setelah dilaksanakan intervensi (Arikunto, 2006). Di dalam penelitian ini peneliti menggunakan quasi eksperimen dengan menggunakan rancangan post test with control group. Suatu rancangan penelitian melakukan perlakuan pada 2 kelompok kemudian diobservasi sesudah diberikan implementasi (Polit & Beck, 2006). Pengukuran pada penelitian ini dilakukan setelah kelompok intervensi diberikan perlakuanleg and footexercise, sedangkan pada kelompok control tidak diberikan perlakuan leg and foot exercise. Rancangan diatas dapat dilihat pada bagan sebagai berikut : Skema 3. Rancangan penelitian
X1
O1
X2
O2
Keterangan : O1
: Pasien pasca operasi transvesica prostatectomy
O2
: Pasien pasca operasi transvesica prostatectomy
X1
: Perlakuan standar menggunakan irigasi
X2
: Perlakuan standar irigasi dan leg and foot exercise
18
B. Populasi dan Sampel 1. Populasi Populasi adalah keseluruhan subyek penelitian atau objek yang diteliti (Notoatmodjo,2012). Populasi dalam penelitian ini yaitu pasien yang mengalami atau terdiagnosa BPH yang telah menjalani operasi Transvesica Prostatectomy pada bulan Januari sampai Desember 2013 di RS PKU Muhammadiyah Gombong dan RSUD Kabupaten Kebumen sebanyak 141 pasien. 2. Sampel Sampel adalah objek yang diteliti dan mewakili seluruh populasi (Notoatmodjo, 2012). Besar sampel dalam penelitian ini ditentukan berdasarkan estimasi (perkiraan) untuk menguji hipotesis beda rata-rata 2 kelompok tidak berpasangan dengan rumus sebagai berikut (Sastroasmoro & ismael, 2010):
Keterangan : N1 = N2
:Besar sampel
Zα
:Kesalahan Tipe I = 5%, hipotesis dua arah, Zα = 1,96
Zβ
:Kesalahan Tipe II = 10%, maka Zβ = 1,28
S
:Simpang baku gabungan
X1-X2
:Selisih
rerata
minimal
bermaknaoleh peneliti
yang
dianggap
Parameter yang berasal dari kepustakaan adalah S (simpang baku gabungan), sedangkan yang ditetapkan peneliti adalah Zα, Zβ dan X1-X2. Dalam penelitian analitik, yang dimaksud dengan simpang baku adalah simpang baku dari kelompok yang dibandingkan, atau yang diperoleh dari penelitian sebelumnya (Dahlan, 2005). Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Haryati (2000), didapatkan simpangan baku pada kelompok intervensi adalah 6,47 dengan jumlah 8 responden, sedangkan simpangan baku pada kelompok kontrol adalah 15,1 dengan jumlah 10 responden dengan nilai rerata yang dianggap bermakna oleh peneliti sama dengan penelitian sebelumnya yaitu 2,3. Sedangkan simpang baku gabungan ini diperoleh dengan rumus berikut
S=
Keterangan : S
= Simpangan baku gabungan
s1
= Simpangan baku kelompok 1 pada penelitian sebelumnya
n1
= Besar sampel kelompok 1 pada penelitian sebelumnya
s2
= Simpang baku kelompok 2 pada penelitian sebelumnya
n2
= Besar sampel kelompok 2 pada penlitian sebelumnya
Berdasarkan rumus diatas maka besar sampel dalam penelitian ini adalah :
S=
, ,
= √3,93 = 1,98
N1=N2=2 (1,96+1,28 x 1,98
2,3 N1=N2=2 (3,24 x 1,98
2,3 N1=N2=2 (2,79
N1=N2=2 x 7,77 N1=N2=15,4= 15
Dengan demikian, besar sampel minimal untuk masing-masing kelompok intervensi adalah 15 orang dan kelompok control 15 orang, sehingga total seluruh sampel adalah sejumlah 30 orang. a. Kriteria inklusi Karakteristik umum subjek penelitian dari suatu populasi target yang terjangkau dan akan di teliti (Nursalam, 2008). Inklusi: 1) Pasien telah menjalani operasi trans vesica prostatectomy 2) Pasien dapat berkomunikasi dengan baik b. Kriteria eksklusi Menghilangkan atau mengeluarkan subjek yang memenuhi criteria inklusi dari studi karena berbagai sebab (Nursalam, 2008). 1) Pasien tidak sadar 2) Klien tidak bersedia/tidak dapat berpartisipasi dalam penelitian c. Tempat dan Waktu Penelitian 1) Lokasi penelitian Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Gombong dan RSUD Kebumen 2) Waktu penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan April 2014
d. Variabel Penelitian Variabel merupakan gejala yang menjadi fokus peneliti untuk diamati sebagai atribut dari sekelompok orang/objek yang mempunyai variasi antara satu dengan yang lainya dalam kelompok itu (Sugiyono, 2006). a.
Variabel bebas (independent variable) adalah variabel yang menjadi sebab timbulnya/ berubahnya variabel terikat (dependent variable) dengan kata lain variabel yang mempengaruhi (Sugiyono, 2006). Pada penelitian ini variabel bebasnya adalah Leg and foot exercise.
b. Variabel terikat (dependent variable) adalah variabel yang dipengaruhi atau menjadi akibat karena adanya veriabel bebas (Sugiyono, 2006). Pada penelitian ini veriabel terikat adalah kejadian perdarahan pada pasien pasca operasi prostatectomy. e. Definisi Operasional Definisi operasional adalah mendefinisikan variable secara operasional
berdasarkan
karakteristik
yang
diamati,
sehingga
memungkinkan peneliti untuk melakukan observasi atau pengukuran secara cermat terhadap suatu objek atau fenomena. Definisi operasional ditentukan berdasarkan parameter yang dijadikan ukuran dalam penelitian. Sedangkan cara pengukuran merupakan cara di mana variabel dapat diukur dan ditentukan karakteristiknya (Hidayat, 2007).
Tabel 3.1 Definisi Operasional Variabel
Definisi
Cara Ukur
Alat ukur
Hasil ukur
Skala data
-
menggerakan Responden
Dengan perlakuan
Variabel
Latihan
bebas
tumit kaki naik dan turun diberikan
1.Diberikan
Leg and foot yang dilakukan 10 kali intervensi
Intervensi
Exercise
Leg and
untuk leg and
perjam
Foot
mempromosikanalirandar foot ahyang
exercise
baikdanmenurunkankem
Standar
ungkinanpembekuan
operasional
2.Tidak Diberikan Leg and
per jam, pagi dan sore, Leg and
foot
pada hari ke 1 sampai foot
exercise
exercise
komplikasi Observasi
Variabel
Salah
terikat
yang
Kejadian
transvesica
:
Perdarahan
prostatectomy
urin,
satu
terjadi
pada pasien perdarahan
pasca Perdarahan
ini
dari
operasi
disamping
fossa
transvesica
prostatika.
Perdarahan
prostatecto
dinilai pada hari ke 4
arteria
Lembar
Kelancaran Irigasi: Nominal
Observas
0= Kuning jernih,
warna i
berasal kelancaran
pasca
my
Exercise
darah, dilakukan 10 kali prosedur
hari ke 3 setelah operasi
Nominal
prostatika irigasi
irigasi lancar tidak ada bekuan 1= Kuning jernih, irigasi tidak lancar ada bekuan 2= Merah, irigasi lancar tidak ada bekuan 3= Merah, irigasi tidak lancar ada bekuan
f. Instrumen Penelitian Instrumen Penelitian adalah alat atau fasilitas yang digunakan oleh peneliti dalam mengumpulkan data agar pekerjaanya lebih mudah dan hasilnya lebih baik (cermat lengkap dan sistematis) sehingga lebih mudah diolah (Saryono,2009). Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini berupa lembar identitas pasien yang memuat data identitas pasien berupa nama, umur,jenis kelamin serta SOP leg and foot exercise. g. Teknik Pengumpulan Data a. Data Primer Data primer adalah data yang langsung diambil dari responden dengan menggunakan lembar observasi yang telah dirancang berdasarkan kebutuhan peneliti. b. Data Sekunder Data Sekunder adalah data yang didapatkan tidak langsung dari objek penelitian, peneliti mendapatkan data yang sudah jadi yang dikumpulkan oleh pihak lain misalnya dokumen-dokumen suatu instansi (Rikiwikdo, 2007). Data yang digunakan adalah rekam medik pasien yang menjalani transvesica prostatectomy di RSUD Kabupaten Kebumen.
Pengambilan data dilaksanakan pada bulan Maret 2014. Dalam hal inipeneliti akan melaksanakan hal-hal dibawah ini dalam proses pengumpulan data: 1. Peneliti telah mendapatkan ijin penelitian baik dari tempat penelitian RSUD Kabupaten Kebumen, PKU Muhammadiyah Gombong, Kepala Kesbangpolinmas Kabupaten Kebumen dan kepala Bappeda Kabupaten Kebumen. 2. Peneliti mendapatkan persetujuan dari responden tentang kesediaan untuk menjadi responden dan memberitahukan
bahwa penelitian ini tidak memberikan dampak buruk bagi responden. 3. Leg and foot exercise dilakukan oleh peneliti pada hari pertama setelah post operasi sampai pada hari ke 3 post operasi, latihan ini dilakukan 10 kali perjam pada pagi dan sore hari. 4. Pasien berbaring dilakukan leg and foot exercise yaitu Ankle pump dengan cara kaki lurus titikjari kaki pertama , kemudian membawa jari-jari kaki ke arah kepala dan perlahan-lahan kembali ke posisi awal. Lakukan latihan ini 10 kali setiap jam pagi dan sore dengan satu kaki dan kemudian kaki yang lainnya. 5. Observasi dilakukan setelah irigasi pasien dilepas 6. Hasil dari observasi dari perlakuan leg and foot exercise akan di
data
untuk
selanjutnya
dilakukan
pengolah
data
menjelaskan
atau
menggunakan SPSS. h. Teknik Analisa Data 1. Cara Analisis Data Analisis data dilakukan dalam 2 tahap yaitu: a) Analisis Univariat Analisis
univariat
mendeskripsikan
bertujuan
untuk
karakteristik
setiap
variabel
penelitian
(Notoatmodjo, 2010). Analisis univariat dalam penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh leg and foot exercise terhadap kejadian perdarahan pasca transvesica prostatectomi pada pasien BPH pada control group dan intervension group. Pada analisis univariat, data yang diperoleh dari hasil pengumpulan dapat disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi, ukuran tendensi sentral atau grafik. Tabel distribusi frekuensi digunakan untuk menyajikan data yang bersifat nominal dan nominal yaitu leg and foot exercise dan kejadian perdarahan.
b) Analisis Bivariat Untuk mengidentifikasi homogenitas variabel independen dan variabel dependen maka dilakukan uji kai kuadrat untuk menguji perbedaan proporsi/presentase antara
kelompok
intervensi dan kelompok kontrol. Proses pengujian kai kuadrat adalah dengan membandingkan frekuensi yang terjadi dengan frekuensi harapan. Bila nilai frekuensi observasi dengan nilai frekuensi harapan sama, maka dikatakan tidak ada perbedaan yang bermakna (signifikan). Sebaliknya, bila frekuensi observasi dan nilai frekuensi harapan berbeda, maka dikatakan ada perbedaan yang bermakna (signifikan), pembuktian dengan uji kai kuadrat menggunakan formula:
Keterangan: O
= Frekuensi hasil observasi
E
= Frekuensi yang diharapkan.
Nilai E = (Jumlah sebaris x Jumlah Sekolom) / Jumlah datadf = (b-1) (k-1) 2. Pengolahan Data Analisis data dilakukan untuk memberikan kemudahan dalam menginterpretasikan hasil penelitian.Untuk itu data diolah terlebih dahulu dengan tujuan mengubah data menjadi informasi. Data yang diperoleh diolah dengan komputer menggunakan program SPSS. Hidayat (2009) menyatakan bahwa proses pengolahan data tersebut melalui langkah-langkah berikut: a) Editing Editingadalah upaya untuk memeriksa kembali kebenaran data yang diperoleh atau dikumpulkan.Dalam penelitian ini dilakukan kegiatan pengecekan kembali data dokumentasi pada lembar observasi mengenai hasil pemeriksaan.
b) Coding Coding merupakan kegiatan pemberian kode setiap data yang diperoleh, kemudian memberikan skor(scoring) dengan tujuan untuk mempermudah analisis data, baik untuk analisis deskriptif maupun analisis inferensialnya. c) Entry Data Entry Data adalah kegiatan memasukkan data yang telah dikumpulkan ke dalam master tabel atau database computer. Entry
Data
dalam
penelitian
ini
dilakukan
dengan
menggunakan program SPSS. d) Tabulating Tabulating adalah membuat distribusi frekuensi sederhana atau tabel kontingensi yang telah diberi skor dan dimasukkan ke dalam table. i. Personal Yang Melakukan Personal yang melakukan penelitian adalah Pebria Kaharani A11000590 Mahasiswa Semester VIII Program Studi SI Keperawatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Muhammadiyah Gombong, Kabupaten Kebumen. j. Etika Penelitian Penelitian akan dilakukan setelah mendapat rekomendasi dari institusi pendidikan kemudian mengajukan permohonan izin tempat penelitian dan setelah mendapat persetujuan kemudian melaksanakan penelitian dengan menekankan masalah prinsip dan etika (Nursalam, 2003) meliputi : 1. Prinsip Manfaat a) Bebas dari penderita artinya dalam penelitian ini tidak menggunakan tindakan yang dapat mengikuti atau membuat responden menderita. b) Bebas dari bereksploitasi artinya dari data yang diperoleh tidak digunakan untuk hal-hal yang dapat merugikan responden.
2. Prinsip Menghargai Hak a)
Informed Consent Sebelum dilakukan pengambilan data penelitian, calon responden diberi penjelasan tentang tujuan dan manfaat penelitian yang dilakukan. Apabila calon responden bersedia untuk diteliti maka calon responden harus menandatangani lembar persetujuan tersebut dan jika calon responden menolak untuk diteliti maka peneliti tidak boleh memaksa dan tetap menghormatinya.
b) Anonymity Untuk
menjaga
kerahasiaan
responden,
peneliti
tidak
mencantumkan nama responden dalam pengolahan data penelitian.
Penelitian
menggunakan
nomor
atau
kode
responden. c) Confidentiality Informasi yang diberikan oleh responden serta semua data yang terkumpul di jamin kerahasiaannya oleh peneliti.