BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Penulisan hukum ini membahas mengenai pelanggaran Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) partai politik sebagai dasar alasan dilaksanakannya Pergantian Antar Waktu (PAW) oleh partai politik bagi anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Fokus kajian penulis adalah pertama, terkait konstruksi hukum hak partai politik untuk melakukan PAW terhadap anggota DPR dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik. Kedua, terkait dengan alasan partai politik untuk melakukan PAW terhadap anggota DPR ditinjau dengan prinsip kedaulatan rakyat dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUDNRI) Tahun 1945. Menurut Jennifer Drage (2000) dalam Journal of the American Society of Legislative Clerks and Secretarie, demokrasi dapat dilihat menjadi dua bentuk yaitu demokrasi langsung dan demokrasi tidak langsung. Hal itulah yang kemudian melatarbelakangi munculnya partai politik sebagai suatu institusi yang diharapkan mampu merepresentasikan suara masyarakat secara keseluruhan dalam suatu lembaga legislatif. Hal ini sejalan dengan sejumlah pemikiran para pakar ilmu politik, sebagai contoh Giovanni Sartori (1968: 471) mengatakan bahwa, citizens in Western democracies are represented through and by parties. Sebuah survey juga pernah dilakukan di 13 negara untuk mengetahui seberapa pentingkah keberadaan partai politik, muncul sebuah analisis bahwa masih ada ¾ responden yang menganggap masih perlunya keberadaan partai politik dalam negara demokrasi (Dalton and Weldon 2005: 933)
1
2
Keberadaan partai politik sangat vital dalam demokrasi modern. Dalam perspektif Michael Johnston, “A democracy needs strong and sustainable political parties with the capacity to represent citizens and provide policy choices that demonstrate their ability to govern for the publicgood” (Michael Johnston, 2005:1). Bahkan sejumlah pakar lebih terbuka dalam menggambarkan sejauh mana pentingnya partai politik bagi demokrasi sebagaimana dikatakan oleh Schattscheider (1942), “Political parties created democracy”. Hal inilah yang kemudian memberikan gambaran sederhana, begitu pentingnya peran partai politik dalam negara demokrasi. Di Indonesia, amandemen UUDNRI Tahun 1945
telah membawa
perubahan besar dalam kehidupan bangsa Indonesia. Salah satu perubahannya ialah perubahan gagasan kedaulatan rakyat dalam UUDNRI Tahun 1945. Majelis Permusyawaratan Rakyat tidak lagi sebagai pemegang mandat tunggal yang
tertinggi
(supremasi
parlemen),
melainkan
kedaulatan
rakyat
dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang Dasar (supremasi konstitusi). Hal tersebut dapat ditunjukkan dengan adanya perubahan pasal 1 ayat (2) UUDNRI Tahun 1945 yang semula berbunyi “Kedaulatan adalah di tangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat.” menjadi “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.” Dengan demikian, mandat rakyat dijalankan oleh cabang-cabang kekuasaan negara berdasarkan Undang-Undang Dasar, termasuk oleh MPR sebagai salah satu lembaga penyelenggara kekuasaan negara (Soewoto Mulyosudarmo, 2004: 4). Akan tetapi hal tersebut terlihat sangat kontradiktif dengan kondisi demokrasi di Indonesia dengan adanya peralihan fungsi partai politik dari alat perjuangan menjadi “mesin” perebutan kursi kekuasaan itu membuat perubahan pada demokrasi internal partai. Partai-partai pendahulu, seperti Partai Majelis Syuro Muslim Indonesia (Masyumi), Partai Nasional Indonesia
3
(PNI), Partai Nahdatul Ulama (NU), dan Partai Komunis Indonesia (PKI) pada mulanya tidak diperuntukkan untuk menciptakan bagi sekelompok figur tertentu, tetapi diperuntukan bagi kader partai dan rakyat Indonesia seutuhnya. Namun fungsi itu berganti menjadi berupaya mengejar kursi lembaga legislatif dan memenangkan jabatan Presiden semata dengan mengedepankan kultus individu tertentu di dalam partai. Akibat beralihnya fungsi itu, partai-partai politik di Tanah Air lebih mengandalkan figur tertentu, orang dekat pada ketua partai, dan pemilik modal besar sebagai pimpinan partai. Partai-partai besar seperti Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) tidak lepas dari trah Presiden Sukarno, Partai Demokrat memilih mengedepankan keluarga Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dan Partai Golongan Karya (Golkar) serta Partai Nasional Demokrat (Nasdem) mengutamakan kekuatan modal sebagai pemimpin partai. Akibatnya pemimpin partai menjadi sangat berkuasa dengan segenap monopoli dan akses politik dan ekonomi menjadi semacam “calo politik” (political middlemen) antara kepentingan pihak-pihak tertentu dengan pembuat kebijakan publik (Michael Johnston, 2005: 4). Hal ini yang kemudian dikhawatirkan oleh Jimly Asshiddiqie bahwa partai politik cenderung bersifat oligarkis. Permasalahan lain yang tercipta adalah “mandulnya” kaderisasi partai yang mumpuni karena kader partai lebih banyak dikuasai oleh figur-figur yang memiliki kedekatan emosional dengan pemimpin partai. Kaderisasi tidak dihasilkan dari mekanisme demokrasi dalam tubuh partai. Itu sebabnya, timbul konflik dari partai, bahkan dari partai setua Partai Golkar dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Konflik itu berlanjut dengan terpecah-belahnya elit partai menjadi dua kubu yang menghasilkan dua bentuk kepengurusan. Penyelesaian konflik di tubuh partai tersebut tidak dapat diselesaikan dengan mekanisme demokrasi internal di tubuh partai itu sendiri. Jalur hukum yang ditempuh pada dasarnya
4
menimbulkan kerumitan baru secara politik dan penegakkan hukum. Padahal sebagai pondasi demokrasi, partai politik mestinya dapat menyelesaikan permasalahan internal partai dengan mekanisme demokrasi tersendiri. Dari paparan kondisi empiris partai politik di Indonesia memunculkan banyak dampak yang dalam hal ini memiliki korelasi jika dikaitkan dengan hak recall oleh partai politik sebagaimana diatur dalam Pasal 239 ayat (2) huruf d Undang-Undang Nomor 17 tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau sudah dikenal dengan sebutan Undang-Undang MD3 kemudian diatur dalam Pasal 16 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan atas UndangUndang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik. Pengaturan tersebut sampai saat ini dinilai masih menimbulkan persoalan meskipun pada tahun 2006 pernah dilakukan judicial review terhadap hak recall oleh partai politik kepada Mahkamah Konstitusi, namun Mahkamah Konstitusi menolak seluruh permohonan pemohon berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 008/PUU-IV/2006, artinya Mahkamah Konstitusi memutus recall tidak melanggar konstitusi. Pada tahun 2010 hak recall oleh partai politik kembali diajukan judicial review oleh Lili C. Wahid dalam perkara No. 38/PUUVIII/2010 dan Mahkamah Konstitusi kembali menyatakan menolak seluruh permohonan pemohon. Namun, ada hal yang menarik dalam pertimbangan hukum putusan Nomor 008/PUU-IV/2006 terdapat dissenting opinion. Hakim berpendapat dalam dissenting opinion: Bahwa recall menyebabkan seseorang anggota dewan tidak mendapatkan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum, serta perlakuan yang adil dalam menjalankan tugas konstitusionalnya selaku anggota DPR, sebagaimana dijamin konstitusi berdasarkan Pasal 28D ayat (1) dan (2) UUD 1945. Pasal 12 huruf b UU Parpol, “diberhentikan dari keanggotaan partai politik karena melanggar anggaran dasar dan rumah tangga”, yang dikukuhkan dalam Pasal 85 ayat (1) huruf c UU Susduk, yang
5
menyatakan “anggota berhenti antarwaktu karena diusulkan partai politik yang bersangkutan”, sesungguhnya telah membiarkan hukum yang bersifat privat (privaatrechtelijk) mengesampingkan hukum publik dalam masalah konstitusional hubungan antara wakil rakyat, rakyat pemilih, dan dengan lembaga negara yang memperoleh kewenangannya dari UUD 1945. Meskipun tidaklah menjadi maksud untuk meniadakan peran partai politik dalam hubungannya dengan anggota DPR dalam menjalankan tugas konstitusional baik fungsi legislasi, pengawasan, anggaran dan menyampaikan aspirasi rakyat pemilihnya, akan tetapi dalam menjalankan peran tersebut tidaklah boleh dibiarkan berlangsung tanpa batasan. Batasan yang diindentifikasi dengan menempatkan peran hukum konstitusi sebagai hukum publik yang turut mengaturnya harus membuka kemungkinan seluas-luasnya bagi wakil rakyat tersebut memenuhi sumpah jabatannya untuk menjalankan kewajibannya seadil-adilnya, dengan memegang teguh Pancasila dan UUD 1945 dan peraturan perundangundangan yang berlaku, untuk menegakkan demokrasi demi tujuan nasional dan kepentingan bangsa serta NKRI. Peran partai politik sebagai peserta pemilu anggota DPR dan anggota DPRD sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 22E ayat (3) UUD 1945, memang membenarkan dan sah secara konstitusional jika seorang anggota partai politik tertentu yang menjadi anggota DPR menyatakan mengundurkan diri dari keanggotaan partai politik tertentu yang mengusungnya, untuk juga diusulkan pemberhentiannya dari DPR. Akan tetapi jika alasan yang diajukan partai politik untuk mengusulkan penarikan anggotanya dari DPR berupa pelanggaran AD/ART Partai Politik, tidak dapat dibenarkan serta merta tanpa melalui satu due process of law dalam mekanisme hukumyang dapat memeriksa kelayakan alasan tersebut (M. Hadi Subhan, 2006: 38-39). Polemik yang terjadi berkaitan dengan berlakunya hak recall oleh partai politik disebabkan karena saat ini anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang duduk sebagai anggota parlemen karena legitimasi dari suara rakyat dalam artian dipilih secara langsung oleh rakyat, dan bukan dari suara Partai Politik. Sehingga legitimasi parpol dalam hal me-recall anggotanya yang telah duduk di kursi DPR patut dipertanyakan. Apalagi beberapa kali kasus recall oleh partai politik terhadap anggota DPR terjadi semata-mata karena alasan politis partai. Terlebih lagi dalam ketentuan Pasal 5 ayat (1) UndangUndang Nomor 2 tahun 2011 tentang Partai Politik menegaskan bahwa, “AD/ART dapat diubah sesuai dengan dinamika dan kebutuhan Partai
6
Politik” yang berarti tidak memenuhi asas kepastian hukum dan menambah ketidakjelasan pengaturan recall oleh partai politik. Beberapa kasus mengenai hak recall partai politik pernah beberapa kali terjadi di Indonesia antara lain: (1) Azzidin dari Partai Demokrat dengan alasan terlibat kasus katering haji, (2) Marissa Haque dari Partai PDIP dengan alasaan maju sebagai calon Wakil Gubernur dalam Pilkada Propinsi Banten, (3) Djoko Edhi Sutjipto Abdurrahman dari Partai Amanat Nasional (PAN) karena ikut studi banding RUU Perjudian ke Mesir, (4) Zaenal Ma’arif dari PBR karena poligami. Kasus recall kembali terjadi kepada anggota DPR yaitu: Lily Chadidjah Wahid dari Partai Kebangkitan Bangsa yang direcall karena sikapnya yang memilih berbeda dengan kebijakan fraksinya (PKB) yang mendukung pemerintah, yakni menerima hasil kerja Pansus terakit kasus Bank Century untuk diteruskan kepada lembaga penegak hukum. Lily merupakan satu-satunya anggota DPR fraksi PKB yang pada saat itu memiliki opsi C yang menyatakan ada permasalahan hukum dalam bail out Century. Effendi Choirie dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang direcall karena terkait dengan sikapnya yang mendukung hak angket mafia pajak, padahal fraksi PKB saat itu justru menolak usul hak angket tersebut. Terakhir dalam perkembangan hak recall, kembali terjadi dengan recalling yang dilakukan oleh Partai Demokrat terhadap anggotanya yaitu I Gede Pasek Suardika. Berdasarkan pada uraian yang telah diulas maka penulis kemudian tertarik untuk meneliti lebih dalam melalui penulisan hukum dengan judul “Analisis dan Evaluasi Hukum terhadap Pelanggaran Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) Partai Politik sebagai dilaksanakannya Pemberhentian/Pergantian
Antar
Waktu
bagi
Anggota
Dewan
Perwakilan Rakyat Berdasarkan Prinsip Kedaulatan Rakyat”. B. Rumusan Masalah Untuk mempermudah pemahaman terhadap permasalahan yang ada serta mempermudah pembahasan agar lebih terarah dan mendalam sesuai dengan sasaran, maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut:
7
1. Bagaimana konstruksi hukum hak pemberhentian antar waktu oleh partai politik terhadap anggota parlemen dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik? 2. Mengapa pemberhentian antar waktu oleh partai politik dengan alasan pelanggaran AD/ART Partai Politik tidak sejalan dengan prinsip kedaulatan rakyat dalam UUDNRI Tahun 1945?
C. Tujuan Penelitian Dalam setiap penelitian yang hendak dilakukan harus memiliki tujuan yang ingin dicapai dan jelas. Oleh karena itu penulis mempunyai tujuan dalam penulisan hukum ini baik berupa tujuan secara objektif maupun secara subjektif. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Tujuan Objektif a. Memberikan
analisis
pemberhentian
antar
mengenai waktu
konstruksi
oleh
partai
hukum
politik
hak
terhadap
keanggotaan DPR dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) dan UndangUndang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik (UU Parpol). b. Menganalisis
dan
memberhentikan
mengevaluasi
antar
waktu
hak
partai
anggotanya
politik
yang
untuk
melanggar
AD/ART berdasarkan prinsip kedaulatan rakyat dalam UUDNRI Tahun 1945. 2. Tujuan subjektif a. Untuk menambah wawasan pengetahuan, serta pemahaman penulis terhadap penerapan teori-teori yang telah penulis terima selama menempuh pendidikan dalam mengatasi masalah hukum yang terjadi. b. Untuk memperdalam dan menambah pemahaman penulis dalam bidang ilmu hukum khususnya hukum tata negara menyangkut partai politik.
8
c. Untuk memenuhi persyaratan yang diwajibkan bagi setiap mahasiswa S1 dalam meraih gelar Sarjana Hukum di fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
D. Manfaat Penelitian Penulis berharap agar kegiatan penelitian dalam penulisan hukum ini akan memberikan manfaat dan kegunaan bagi penulis dan semua pihak. Adapun manfaat dan kegunaan yang dapat diperoleh dari penulisan hukum ini adalah sebagai berikut: 1. Manfaat Teoritis a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi tambahan bagi anggota b. Hasil penulisan ini diharapkan dapat memberikan gambaran yang jelas mengenai sesuai atau tidaknya AD/ART
partai
politik
dijadikan
pelanggaran terhadap sebagai
dasar
alasan
dilaksanakannya pemberhentian/pergantian antar waktu bagi anggota DPR. 2. Manfaat Praktis a. Menambah pengetahuan bagi penulis. b. Menjadi media bagi penulis untuk mengembangkan penalaran, membentuk pola pikir ilmiah sekaligus untuk mengetahui kemampuan penulis dalam menerapkan ilmu yang telah diperoleh. c. Hasil penelitian ini diharapkan menjadi bahan masukan bagi DPR sebagai badan legislatif di Indonesia dalam rangka menindaklanjuti keberadaan hak pemberhentian/pergantian antar waktu (recall) terhadap anggota DPR oleh partai politik.
E. Metode Penelitian Penelitian merupakan suatu sarana pokok dalam pengembangan ilmu pengetahuan maupun teknologi. Dikarenakan penelitian bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metodologis dan
9
konsisten. Melalui proses penelitian tersebut diadakan analisa dan konstruksi terhadap data yang telah dikumpulkan dan diolah. Maka metodologi yang diterapkan harus senantiasa disesuaikan dengan ilmu pengetahuan yang menjadi induknya. Penelitian hukum senantiasa harus diserasikan dengan disiplin hukum yang merupakan suatu sistem ajaran tentang hukum sebagai norma dan kenyataan (Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2011: 1-2). Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan menganalisanya, serta dilakukan pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta hukum tersebut untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahan yang timbul di dalam gejala yang bersangkutan (Soerjono Soekanto, 2008: 6). Suatu penelitian harus menggunakan suatu metode yang tepat dengan tujuan yang hendak dicapai sebelumny untuk memperoleh kebenaran yang dapat dipercaya keabsahannya. Metodologi pada dasarnya memberikan
pedoman
tentang
cara-cara
seorang
mempelajari,
menganalisa lingkungan-lingkungan yang dihadapi (Soerjono Soekanto, 2008: 6). Adapun metode penelitian yang digunakan dalam penulisan hukum ini dijelaskan sebagai berikut: 1. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang penulis gunakan adalah penelitian hukum normatif yang mana penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer,
bahan
hukum
sekunder,
dan
bahan
hukum
tersier.
Selanjutanya bahan hukum tersebut disusun secara sistematis dan dikaji. Barulah dapat diambil suatu kesimpulan dalam hubungannya dengan masalah yang diteliti ( Soerjono Soekanto, 2008: 52). Adapun cakupan dari penelitian hukum normatif atau kepustakaan yaitu: a. Penelitian terhadap asas-asas hukum;
10
b. Penelitian terhadap sistematika hukum; c. Penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertikal dan horizontal; d. Perbandingan hukum; e. Sejarah Hukum (Soerjono Soekanto, 2008: 10). Ditinjau dari cakupan penelitian hukum normatif diatas, maka dalam penelitian hukum ini penulis lebih menitikberatkan pada penelitian terhadap asas-asas hukum. 2. Sifat Penelitian Sifat penelitian yang digunakan dalam penulisan hukum ini adalah penelitian deskriptif, yang artinya penelitian yang mempunyai maksud memberikan data yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaan, gejala-gejala lainnya. Maksud utamanya adalah untuk mempertegas hipotesaq-hipotesa agar dapat membantu memperkuat teori teori lama atau di dalam penyusunan teori baru (Soerjono Soekanto, 2008: 10). 3. Pendekatan Penelitian Di dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan. Dengan menggunakan pendekatan tersebut, peneliti akan mendapatkan informasi dari berbagai aspek mengenai isu yang coba dicari jawabannya. Pendekatan-pendekatan yang digunakan di dalam penelitian hukum diantaranya: pendekatan undang-undang (statue approach), pendekatan kasus (case approach), pendekatan historis (historical
approach),
pendekatan
komparatif
(comparative
approach), dan pendekatan konseptual (conceptual approach) (Peter Mahmud Marzuki, 2014: 133). Adapun dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan yang yang relevan dengan permasalahan yang dihadapi, yakni pendekatan undang-undang (statue approach) yang dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani (Peter Mahmud Marzuki, 2014: 133). Dalam hal ini peneliti menelaah Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2
11
Tahun 2008 tentang Partai Politik dan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD dan regulasi lain yang berkaitan dengan isu hukum. Hal ini dimaksud untuk membuka kesempatan bagi penulis untuk mempelajari adakah konsistensi dan kesesuaian antara undang-undang tersebut dengan Undang-Undang Dasar atau regulasi dan undang-undang terkait. Hasil dari telaah tersebut merupakan suatu argumen untuk memecahkan isu yang dihadapi yaitu terkait dengan isu Pelanggaran AD/ART Partai Politik sebagai dasar dilaksanakannya Recall. Penulisan hukum ini juga menggunakan pendekatan kasus (case approach) yang dilakukan dengan cara melakukan telaah terhadap kasus-kasus yang berkaitan dengan isu yang dihadapi. Selain itu, penulisan hukum ini juga menggunakan pendekatan konseptual (conceptual approach), pendekatan ini merujuk kepada prinsip-prinsip hukum yang dapat ditemukan di dalam pandangan sarana ataupun doktrin-doktrin hukum. Meskipun tidak secara eksplisit, konsep hukum juga dapat ditemukan di dalam undang-undang. 4. Jenis dan Sumber Hukum Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder (secondary data) artinya data tidak diperoleh secara langsung dari masyarakat melainkan diperoleh dari studi kepustakaan yang mencakup berbagai buku, dokumen resmi, peraturan perundangundangan, hasil penelitian ilmiah yang berupa laporan serta bahanbahan kepustakaan yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti (Soerjono Soekanto, 2008: 12). Adapun sumber hukum yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Bahan Hukum Primer Bahan hukum primer terdiri dan peraturan perundangundangan. catatan-catatan resmi atau risalah-nsalah dalam pembuatan peraturan perundang-undangan. dan putusan-
12
putusan hakim. Bahan hukum primer dalam hal ini antara lain sebagai berikut: 1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2) Undang-Undang Nomor 10 tahun 1966 tentang Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong Menjelang Pemilihan Umum; 3) Undang-Undang Nomor 16 tahun 1969 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah; 4) Undang-Undang Nomor 2 tahun 1985 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1969 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah; 5) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1999 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD; 6) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD; 7) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD; 8) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD; 9) Undang-Undang Nomor 2 tahun 2008 tentang Partai Politik; 10) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 tahun 2008 tentang Partai Politik; 11) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 008/PUU-IV/2006; 12) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 38/PUU-VIII/2010;
13
13) Peraturan Perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan fokus permasalahan dalam penelitian ini. b. Bahan Hukum Sekunder Bahan hukum sekunder terdiri dari semua publikasi tentang hukum seperti buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jumaljumal hukum. dan komentar-komentar atas putusan pengadilan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer. Bahan-bahan hukum sekunder meliputi: 1) Hasil penelitian yang berkaitan dengan pemberhentian antar waktu; 2) Buku-buku tentang demokrasi; 3) Buku-buku tentang partai politik. c. Bahan Hukum Tersier Bahan hukum tersier atau bahan hukum penunjang yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer maupun sekunder, misalnya biografi hukum,
ensiklopedia,
kamus
hukum,
dan
sebaagainya
(Soerjono Soekanto, 2008: 13). 5. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Penulisan hukum ini melakukan penelurusan untuk mencari bahanbahan hukum yang relevan terhadap isu yang dihadapi dengan teknik studi kepustakaan (library research) atau studi dokumen yaitu suatu alat pengumpulan data yang dilakukan melalui data tertulis dengan menggunakan content analysis (Soerjono Soekanto, 2008: 21). Teknik pengumpulan bahan hukum ini dengan cara membaca, mengkaji. dan memberi catatan dari buku. peraturan perundang-undangan, tulisan. dan publikasi ilmiah yang berkaitan dengan pelanggaran AD/ART partai politik dan recall oleh partai politik. 6. Teknik Analisis Bahan Hukum Analisa data merupakan tahap yang sangat penting dan menetukan dalam setiap penelitian. Dalam tahap ini penulis harus melakukan
14
penilaian data-data yang diperoleh. Penganalisisan data pada hakekatnya merupakan kegiatan untuk mengadakan sistematisasi bahan-bahan hukum tertulis untuk memudahkan pekerjaan analisis dan konstruksi. Dalam penelitian hukum ini menggunakan teknik analisis bahan hukum dengan metode silogisme melalui pola berpikir deduktif. Dalam pola berpikir deduktif ini tcrdapat 2 (dua) premis untuk membangun analisis terhadap isu hukum yaitu premis mayor yang mcrupakan aturan hukum yang berlaku dan premis minor yang merupakan fakta hukum atau kondisi empiris dalam pelaksanaan suatu aturan hukum. Kemudian, dari kedua premis tersebut ditarik kesimpulan atau conclusio.
F. Sistematika Penulisan Hukum Untuk memberikan gambaran secara menyeluruh mengenai sistematikan penulisan hukum serta untuk mempermudah pemahaman berkaitan seluruh isi penulisan hukum ini, maka penulis menyajikan sistematika penulisan hukum ini terdiri dari empat bab. Adapun sistematika penulisan hukum ini adalah sebagai berikut: BAB I
: PENDAHULUAN Pada bab ini terdiri dari subbab-subbab yaitu latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan hukum. Bab pertama ini merupakan awal yang menjadi dasar, bahan pertimbangan, serta patokan dari karya ini.
BAB II
: TINJAUAN PUSTAKA Bab II ini mengenai tinjauan pustaka berisi subbab Kerangka Teori dan subbab Kerangka Pemikiran. Pada Kerangka Teori memuat berbagai pengertian yang
mendukung
judul
yang
ada
hingga
15
memudahkan para pembacanya. Dimulai dari tinjauan mengenai Partai Politik, Hak Recall, dan Dewan Perwakilan rakyat yang nantinya menjadi muara dalam penulisan hukum ini. Pada subbab Kerangka Pemikiran dibuat sebuah bagan untuk menyederhanakan pola pikir serta alur arah dari tulisan ini. BAB III
: HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Bab ini merupakan bab inti dan paling penting. Memaparkan dan menjabarkan hasil penelitian yang kemudian
dengan
analisis
mengghasilkan
pembahasan atas pokok permasalahan yang dituju, yaitu mengenai pengaturan hak pemberhentian antar waktu oleh partai politik dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011, serta kesesuaian pelanggaran AD/ART Partai Politik yang dijadikan dasar alasan Pemberhentian
Antar
Waktu
dengan
prinsip
kedaulatan rakyat dalam UUDNRI Tahun 1945. BAB IV
: PENUTUP Bab ini berisi tentang simpulan dan saran.
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN