BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah. Bumi, air dan ruang angkasa serta kekayan alam yang terkandung didalamnya merupakan suatu karunia dari Tuhan Yang Maha Esa kepada seluruh rakyat Indonesia dan oleh karena itu sudah semestinya pemanfaatan fungsi bumi, air ruang angkasa beserta apa yang terkandung di dalamnya adalah ditujukan untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran seluruh rakyat Indonesia. Bumi yang dimaksud adalah tanah yang ada di seluruh wilayah Republik Indonesia yang merupakan kekayaan alam sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa digunakan untuk kesejahteraan rakyat. Pengertian tanah dalam konsep agraria adalah permukaan bumi yang dalam penggunaannya meliputi sebagian tubuh bumi yang ada dibawahnya dan sebagian ruang yang ada di atasnya. Tanah bagi masyarakat mempunyai peranan yang sangat penting di dalam kehidupan manusia. Setiap orang tentu memerlukan tanah, baik untuk keperluan rumah tinggal, lahan mencari nafkah maupun untuk keperluan lainnya. Perkembangan jumlah manusia yang sangat pesat sedangkan jumlah tanah yang tetap atau bahkan berkurang membuat harga tanah melambung tinggi
yang kadang tak terjangkau oleh masyarakat. Hal ini membuat
pemerintah harus mengadakan adanya suatu pengaturan yang jelas atau kepastian hukum atas tanah tersebut melalui kebijaksanaannya. Kontek kepastian hukum hak milik atas tanah menunjukan bahwa produk hukum berupa sertipikat tanah yang memenuhi aturan hukum normative belum menjamin diperolehnyya kepastian hukum dari sudut pandang sosilogis hukum. Kepastian Hukum meliputi unsur kepastian hak, kepastian subyek dan kepastian obyek. Lahirnya kepastian terhadap unsur-unsur tersebut berkaitan erat dengan efektifitas pelaksanaan sistem hukum pertanahan dalam masyarakat.
Di Afrika disebutkan oleh Catherine Boone bahwa “Across much of Africa, discussions and debates about land law reform are taking place in public areas that have been opened up by multi-partyisme, electoral competition, and the invigoration of civil society. This means that in many places, outcomes, of struggles over the meaning and allocation of property rights will be shaped in part by who manages to win political power at the national level.1 Hal tersebut di atas dapat diartikan bahwa Reformasi hukum pertanahan terbentuk sebagian oleh mereka yang berhasil memenangkan kekuasaan politik yang artinya seseorang dapat memiliki hak atas tanah dikarenakan adanya pengaruh faktor politik yang terjadi di Negara tersebut. Pasal 19 Undang Undang nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Pokok Agraria menjelaskan bahwa untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah. Tujuan pendaftaran tanah ialah dalam rangka menjamin kepastian hukum di bidang pertanahan (rechtkadaster atau legal cadaster). Kepemilikan sertipikat merupakan kepastian hukum berkenaan dengan jenis hak atas tanah, subyek hak, dan obyek haknya.2 Pasal 1 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan pendaftaran tanah adalah: “Pendaftaran tanah merupakan rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur yang meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan, penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis dalam bentuk peta dan daftar mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak tertentu yang membebaninya ” Pelaksanaan pendaftaran tanah melibatkan berbagai instansi yang terkait antara lain Kelurahan, Kecamatan, Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota dan juga Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) apabila terjadi peralihan hak atas 1 2
Catherine Boone, E The Author, African Affair, Journalersity Press, 106, 2007 pg : 559 http://pendaftaran-tanah.blogspot.com/2008/08/tujuan-pendaftaran-tanah.html
tanah yang dilakukan oleh anggota masyarakat. Fungsi PPAT dalam rangkaian pelaksanaan pendaftaran tanah, yaitu membantu Kepala Kantor Pertanahan sebagai pelaksana pendaftaran tanah, dengan menyediakan data (alat bukti) yang akan dijadikan dasar bagi pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah tertentu. Ketepatan kepastian dan kebenaran informasi yang tertuang dalam akta yang dibuat oleh PPAT sangat menentukan bagi proses pendaftaran untuk mendapatkan perlindungan hak atas tanah bagi warga masyarakat, sehingga PPAT disamping harus bertanggung jawab terhadap kepastian dan kebenaran isi akta, juga wajib menyampaikan akta yang ditandatanganinya beserta warkah-warkah lain kepada Kantor Pertanahan dalam jangka waktu tujuh hari kerja sejak ditandatanganinya akta. Lingkup kewenangan “pejabat” mencakup setiap perjanjian yang bermaksud memindahkan hak atas tanah, memberikan suatu hak baru atas tanah, menggadaikan tanah atau meminjam uang sebagai hak atas tanah sebagai tanggungan, harus dibuktikan dengan suatu akta yang dibuat oleh dan dihadapan pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Agraria. Peraturan Menteri Agraria nomor
11/1961 tentang pejabat yang dimaksud dalam pasal 19
Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961, diangkat antara lain notaris selaku “pejabat”. Pada setiap pembuatan akta dihadapan “pejabat” (Pejabat Pembuat Akta Tanah), wajib menggunakan formulir-formulir yang tercetak atau diketik dengan mempergunakan kertas HVS 70/80 gram dengan ukuran A3 dengan persetujuan Kepala Jawatan Pendaftaran Tanah dan formulir-formulir yang tercetak hanya dapat dibeli di kantor-kantor pos. Pengaturan penggunaan formulir-formulir akta (blangko akta) ini dilatar belakangi karena pada waktu itu sebagian besar Pejabat Pembuat Akta Tanah dijabat oleh Camat yang karena jabatannya menjalankan sementara Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, yang sebagian besar tidak bergelar Sarjana Hukum sehingga untuk memudahkan pelaksanaan jabatannya itu dibuatlah formulir-formulir akta dan buku petunjuk pengisian formulir (blangko akta) itu. Perkembangan
selanjutnya
dengan
Peraturan
Menteri
Negara
Agraria/Kepala BPN Nomor 3 tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan
Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah telah mengatur bahwa akta-akta Pejabat Pembuat Akta Tanah harus dibuat dengan menggunakan blangko akta Pejabat Pembuat Akta Tanah yang disediakan (dicetak) oleh Badan Pertanahan Nasional atau instansi lain yang ditunjuk. Hal tersebut artinya tanpa blangko akta Pejabat Pembuat Akta Tanah yang dicetak, Pejabat Pembuat Akta Tanah tidak boleh menjalankan jabatannya dalam membuat akta-akta Pejabat Pembuat Akta Tanah. Aturan ini menimbulkan ketergantungan pelaksanaan tugas jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah sebagai pejabat umum dengan keberadaan blangko akta Pejabat Pembuat Akta Tanah. Masalah yang sering dihadapi oleh PPAT yaitu adanya kelangkaan atau kekosongan blangko akta PPAT di setiap kantor Pos. Kebijaksanaan pemerintah dalam mengatasi hal ini yaitu dengan memberikan kepada Kepala Kantor Wilayah BPN Propinsi untuk menyediakan foto copy blangko Akta PPAT dengan syarat pada halaman pertama setiap foto copy akta sebelah kiri atas ditulis “disahkan penggunaannya” dan ditandatangani oleh Kepala kantor Wilayah BPN Propinsi atau pejabat yang ditunjuk serta dibubuhi paraf dan cap dinas pada setiap halaman. Berdasarkan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah pasal 96 ayat (2) harus menggunakan Blangko akta yang tersedia atau telah dicetak oleh BPN atau instansi lain yang ditunjuk. Akta-akta PPAT yang dijadikan dasar perubahan data pendaftaran tanah secara limitatif telah ditetapkan yaitu Akta Jual Beli, akta Tukar menukar, Akta Hibah, Akta Pemasukan Dalam Perusahaan, Akta Pembagian hak Bersama, Akta pemberian hak tanggungan, Akta Pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas Tanah Hak Milik serta Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan. Fungsi blangko akta Pejabat Pembuat Akta Tanah adalah sebagai syarat untuk dapat digunakan sebagai dasar pendaftaran perubahan data pendaftaran
tanah, hal ini dimuat dalam Pasal 96 ayat (1-3) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Pembatasan kewenangan PPAT untuk membuat akta pertanahan dalam bentuk bebas diluar dari bentuk blanko akta yang telah ditentukan oleh Kepala BPN. Keterikatan PPAT untuk membuat akta pertanahan dengan cara mengisi blangko akta yang disediakan BPN dianggap mengurangi hakikat dari kedudukan PPAT sebagai pejabat umum. Kedudukan PPAT sebagai pejabat umum dalam sejumlah peraturan perundang-undangan seharusnya PPAT diberikan kewenangan yang sama dengan Notaris untuk membuat aktanya sendiri, bukan sebaliknya mengisi blangko akta. Kebijaksanaan Pemerintah selanjutnya memberikan kesempatan kepada PPAT untuk menyiapkan akta sendiri dengan dikeluarkannya Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia nomor 8 tahun 2012 tentang Perubahan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Berdasarkan Perkaban nomor
8
tahun 2012 tersebut guna meningkatkan pelayanan
pertanahan mulai tahun 2013 penyiapan dan pembuatan akta PPAT dilakukan oleh PPAT, PPAT Pengganti, PPAT Sementara, tidak lagi menggunakan blangko akta Pejabat Pembuat Akta Tanah yang disediakan (dicetak) oleh Badan Pertanahan Nasional atau instansi lain yang ditunjuk. Berdasarkan uraian dari latar belakang, maka penulis tertarik melakukan penelitian yang berjudul “Implementasi Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 8 Tahun 2012 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah yang berlaku di Kabupaten Sukoharjo”.
B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, maka penulis merumuskan beberapa pemasahan yang relevan dengan judul tesis, yaitu sebagai berikut : 1. Bagaimanakah pelaksanaan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 8 tahun 2012 tentang Perubahan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah yang berlaku di Kabupaten Sukoharjo? 2. Apa saja hambatan-hambatan dalam pelaksanaan Peraturan Kepala Badan Pertanaan Nasional Nomor 8 tahun 2012 tentang Perubahan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor
3
tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah yang berlaku di Kabupaten Sukoharjo dan bagaimana solusinya?
C. Tujuan Penelitian Suatu penelitian ilmiah harus mempunyai tujuan yang jelas dan merupakan pedoman dalam mengadakan penelitian, dan juga menunjukkan kualitas dari penelitian tersebut. Berdasarkan permasalahan yang telah dirumuskan di atas, maka tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah : 1. Mengetahui dan menganalisis pelaksanaan
Peraturan Kepala Badan
Pertanaan Nasional Nomor 8 tahun 2012 tentang Perubahan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah yang berlaku di Kabupaten Sukoharjo.
2. Mengetahui dan menganalisis hambatan-hambatan dalam pelaksanaan Peraturan Kepala Badan Pertanaan Nasional Nomor 8 tahun 2012 tentang Perubahan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah yang berlaku di Kabupaten Sukoharjo dan mendapatkan solusinya.
D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis. a. Sebagai bahan informasi yang berguna bagi masyarakat mengenai blangko akta tanah dalam pendaftaran tanah; b. Sebagai bahan untuk menambah khasanah keilmuan bagi para akademisi dan dunia pendidikan pada umumnya, bagi pengembangan ilmu hukum. 2. Manfaat Praktis a. Menyumbangkan kemampuan penulis dalam meningkatkan ilmu hukum; b. Sebagai bahan masukan kepada praktisi yang terlibat langsung dalam pembuatan akta PPAT, baik notaris/PPAT maupun Badan Pertanahan Nasional.