BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perceraian di Indonesia semakin meningkat di sepanjang tahun. Berdasarkan data dari Badan Peradilan Agama (Badilag) Mahkamah Agung RI tahun 2010, angka perceraian di Indonesia pada tahun 2005-2010 rata-rata satu dari sepuluh pasangan menikah berakhir dengan perceraian. Pada tahun 2010 sebanyak 285.184 pasangan dari dua juta pasangan menikah memilih bercerai (Sihombing, 2014). Tingginya angka perceraian menempatkan Indonesia sebagai negara dengan angka perceraian tertinggi di Asia Pasifik (Nawawi, 2013). Kemudian kasus perceraian pada tahun 2010-2014 meningkat 52 persen, dimana dari sekitar 2 juta pasangan menikah, 15 persen di antaranya bercerai. Pada tahun 2014 angka perceraian yang diputus pengadilan tinggi agama seluruh Indonesia mencapai 382.231, besaran kenaikan sekitar 100.000 kasus dibandingkan dengan pada 2010 (Anna, 2015). Perceraian senantiasa membawa dampak bagi keseluruhan anggota keluarga, ibu, ayah, dan juga anak. Kasus perceraian menimbulkan stres, tekanan, bahkan menimbulkan perubahan fisik dan juga mental (Sulaeman, 1995). Terlebih pada anak, perceraian cenderung menyisakan masalah perasaan yang berat, dimana mampu menempatkan remaja pada konflik. Kebanyakan anak maupun remaja mengalami stress yang cukup besar ketika orang tua bercerai, dan resiko masalah perilaku semakin besar (Santrock, 2003).
1
2
Perceraian orang tua dapat menjadi peristiwa yang penuh dengan stres, bahkan stres hampir selalu menjadi bagian dari sebuah perceraian (Emery, Beam, & Rowen, 2011). Hal ini sejalan dengan Pálmarsdóttir (2015) yang menemukan bahwa perceraian orang tua dan konflik yang ada di keluarga mempengaruhi depresi dan kecemasan pada remaja. Remaja yang orang tuanya bercerai memiliki tingkat depresi dan kecemasan yang lebih tinggi dibandingkan remaja lain. Menurut Fagan & Churchill (2011) dampak perceraian pada anak dan remaja tidak hanya pada tingkat individual saja, namun dampak tersebut muncul dalam berbagai hal. Hal yang pertama berkaitan dengan praktek dalam beragama, perceraian dapat mengurangi frekuensi ibadah dan doa kepada Tuhan. Dampak kedua adalah yang berhubungan dengan pendidikan anak, perceraian dapat mengurangi kapasitas anak dalam belajar dan prestasi anak. Selain itu dengan adanya perceraian, pendapatan untuk keperluan rumah tangga akan berkurang dan sekaligus akan mengurangi kemampuan individu untuk memperoleh penghasilan. Perceraian juga terbukti meningkatkan kejahatan, pelecehan dan pengabaian, penggunaan obat-obatan terlarang, dan biaya yang dikeluarkan untuk kompensasi dalam pelanggaran layanan pemerintah. Dampak lainnya yaitu berkaitan dengan kesehatan dan kebahagiaan anak, perceraian berdampak pada kesehatan anak bahkan usia anak (Fagan & Churcill, 2011). Remaja sedang dalam masa transisi atau masa peralihan dari masa anakanak menuju masa dewasa. Remaja mengalami berbagai perubahan-perubahan, diantaranya perubahan fisik maupun psikis. Remaja ditandai dengan masa yang penuh goncangan karena konflik dan perubahan suasana hati (Santrock, 2003).
3
Masa remaja awal (11/12 tahun sampai 14 tahun) adalah masa transisi keluar dari masa anak-anak, yaitu tantangan untuk berkembang dalam dimensi fisik, kompetensi kognitif maupun sosial, otonomi, harga diri, dan intimasi, yaitu periode yang amat beresiko, karena sebagian anak muda kesulitan menangani begitu banyak perubahan (Papalia, Olds, & Feldsman, 2008). Menurut Erikson (Santrock, 2003) perkembangan identitas terjadi di masa kelima perkembangan atau sesuai dengan masa remaja. Perkembangan identitas mencakup komitmen terhadap pilihan, pendirian ideologi dan orientasi seksual, dimana remaja dihadapkan pada keputusan-keputusan yang harus di ambil, termasuk keputusan untuk pacaran dengan siapa, menggunakan obat-obatan atau tidak, atau jurusan apa yang dipilih (Santrock, 2003). Remaja muda atau remaja yang menginjak awal sekolah menegah atas cenderung memiliki identitas yang menyebar, yang dimaksud dengan remaja yang belum mengambil pilihan atau membuat komitmen (Marcia, dalam Santrock, 2003). Remaja yang tidak berhasil menjajaki suatu peran dan akan mengalami kebingungan identitas maka dapat berakhir dengan jalur yang negatif dalam kehidupan (Santrock, 2007). Pengalaman ketidakharmonisan keluarga yang terjadi pada anak yang berusia lebih muda (anak-anak sampai remaja awal, kurang dari 16 tahun) memungkinkan bertambahnya hubungan dengan lawan jenis yang intens seperti pacaran, membentuk hubungan bersama seperti suami istri, bahkan melakukan hubungan seksual di usia dini (Emery, Beam, & Rowen, 2011). Perceraian yang terjadi disaat anak berusia remaja lebih cenderung memberikan ingatan mengenai konflik dan ketegangan yang terjadi dalam suasana rumah, dampak yang dialami
4
lebih besar karena pada masa ini anak sudah mampu berpikir lebih kongkrit (Santrock, 2003). Sebuah studi yang dilakukan oleh Needle dan Donherry (Santrock, 2003) menemukan bahwa perceraian orang tua yang terjadi saat anak berusia remaja menunjukkan bahwa remaja lebih cenderung mempunyai masalah obat-obatan dibandingkan dengan remaja yang hidup dalam keluarga yang tidak bercerai atau dengan remaja yang orang tuanya bercerai saat masih berusia anakanak. Hasil wawancara peneliti dengan Y yang orang tuanya bercerai ketika berusia remaja juga mempunyai dampak yang sama, Y terlibat dengan pergaulan yang salah dan terjerumus pada obat-obatan terlarang hingga masuk penjara. Perceraian orang tua menjadi sebuah sumber stres bagi remaja, sehingga mempengaruhi berbagai aspek dalam hidup remaja. Sumber stres tersebut jika tidak diatasi akan mendorong remaja kepada perilaku yang merugikan diri sendiri seperti penyalahgunaan obat-obatan, kegagalan dalam pendidikan sekolah, perilaku seksual yang tidak sehat, dan kekerasan (Mashego & Taruvinga, 2014). Penelitian Dise-Lewis (Fagan & Churchill, 2011) menunjukkan bahwa perceraian orang tua menempati urutan ketiga dalam peristiwa hidup yang penuh dengan stres. Hasil survey awal peneliti dengan A dan B juga menunjukkan hal serupa. A mengungkapkan bahwa sebelum perceraian orang tua terlibat pertengkaran sehingga membuat stres dan A menjadi tidak betah di rumah, bahkan setelah perceraian muncul berbagai permasalahan terutama dalam prestasi akademik yang menunjukkan A tidak naik kelas. B mengungkapkan hal yang sama bahwa sebelum perceraian terjadi pertengkaran orang tua yang membuat stres sehingga B lebih sering mengunjungi rumah keluarga.
5
Berdasarkan wawancara awal menunjukkan bahwa sebelum perceraian pertengkaran orang tua adalah peristiwa yang penuh dengan stres sehingga tinggal di rumah adalah hal yang tidak memberikan kenyamanan. Setelah perceraian pun memberikan pengaruh terhadap keadaan remaja, yaitu prestasi akademik yang menurun drastis bahkan harus tinggal kelas. Akan ada masa transisi yaitu masa untuk beradaptasi dengan keadaan baru setelah terjadinya perceraian orang tua. Pada masa transisi ini berbagai masalah mulai muncul sehingga berdampak pada prestasi akademik. Fakta menunjukkan bahwa 25% anak-anak yang berasal dari keluarga bercerai mempunyai masalah emosi yang serius dibandingkan dengan 10% remaja yang berasal dari orang tua utuh, sedangkan 75% remaja yang orang tuanya bercerai tidak terdapat masalah emosi (Hetherington, dalam Karina, 2014). Hal ini menunjukkan bahwa dampak perceraian tidak selalu negatif, bahkan mayoritas remaja mampu mengatasi dampak perceraian tersebut. Emery, Beam, & Rowen (2011) memaparkan bahwa perceraian dapat membawa dampak pada remaja, yaitu stres, perilaku beresiko, dan resiliensi. Sebagian besar anak-anak maupun remaja justru menjadi individu yang resilien meskipun dalam keadaan orang tua yang bercerai (Emery, Beam, & Rowen, 2011). Hal ini didasarkan pada fakta bahwa hasil dari sebagian besar pengukuran psikologis menujukkan tidak ada beda antara anak dari keluarga bercerai atau bukan. Meskipun perceraian dapat menjadi sumber stres, namun anak-anak tersebut tidak mengalami permasalahan psikologis. Ini mengindikasikan anak-anak tersebut mampu bangkit dari stres setelah perceraian.
6
Resiliensi sangat penting ketika individu memiliki permasalahan yang sangat berat dan mengguncang, termasuk persoalan dengan perceraian orang tua, resiliensi dapat menjadi solusi untuk menghadapi stres yang ketika mengalami masalah ketidakharmonisan keluarga. Resiliensi merupakan kemampuan untuk menghadapi
pernasalahan-permasalahan.
Individu
yang
resilien
mampu
melakukan hal yang sama seperti individu lain yang tidak menghadapi keterpurukan (Hill dkk., 2007). Anak-anak dan remaja yang resilien mampu mengelola berbagai cara agar dapat memenuhi tugas perkembangan meskipun telah menghadapi banyak kendala untuk mencapai kesuksesan dalam hidup. Individu yang resilien mampu melakukan berbagai tugas dengan baik, bahkan dapat lebih baik dari yang lain (Masten & Reed, 2002). Individu yang resilien ditunjukkan dengan perilaku yang positif seperti kehadiran dalam kemasyarakatan dan keberhasilan akademik, perilaku yang sesuai dengan norma dan nilai masyarakat, kebahagiaan, dan ketiadaan dari perilaku yang menyimpang (Masten & Reed, 2002). Besar kecil ukuran kemampuan resiliensi individu tergantung dari individu itu sendiri. Kemampuan individu untuk bertahan ini dipengaruhi oleh beberapa macam faktor, faktor internal maupun eksternal, yang berasal dari dalam diri maupun dari dalam diri (Grotberg, 1999). Banne (2014) menuturkan bahwa proses resiliensi remaja yang orang tuanya bercerai dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu faktor individual, faktor keluarga, serta faktor eksternal atau komunitas. Sumber resiliensi para remaja terdiri dari perasaan positif, kemampuan yang dimiliki, serta dukungan dari keluarga dan teman.
7
Komitmen utnuk perkembangan tujuan, berusaha mencapai tujuan, memaknai hidup yang sedang ataupun telah dijalani, dan menunjukkan hubungan produktif dengan beberapa aspek dari dunia luar di luar diri sendiri merupakan karakteristik dari sense of purpose (Damon, Menon & Bronk 2003). Purpose in life mampu mendorong individu untuk mengatasi kesulitan hidup (Frankl dalam Bronk dkk., 2009). Jika seseorang peduli dengan tujuan hidup mereka dan hidup secara konsisten dengan tujuan tersebut, mereka cenderung mempersepsi hidup mereka berarti (Damon, Menon & Bronk, 2003). Purpose in life adalah salah satu predictor dari well being, yaitu mendukung individu untuk berfungsi secara positif (Keyes & Lopez, 2002). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Kang & Kim (2011) menunjukkan bahwa purpose in life mempengaruhi tingkat resiliensi pada individu, dengan kata lain purpose in life dapat mempengaruhi kemampuan individu untuk menemukan perspektif baru mengenai kehidupan dan mampu membuang pemikiran negatif yang lekat dengan korban pemukulan yang tinggal di tempat penampungan. Alimi (2005) juga menemukan bahwa remaja yang berada di pemukiman beresiko mempunyai sense of purpose dan sense of purpose berpengaruh pada resiliensi remaja, dimana tujuan yang dimiliki sangat kuat namun terhalang dengan keadaan pun dapat tetap dapat resilien dengan mereduksi cita-cita, tapi tetap memiliki sasaran hidup yang jelas. Hal ini menunjukkan bahwa tujuan yang jelas sangat membantu individu untuk dapat meraih kemampuan resiliensi.
8
Dukungan sosial menjadi salah satu faktor protektif dalam mencapai resiliensi. Banne (2014) menyebutkan bahwa salah satu sumber resiliensi adalah dukungan keluarga serta teman, atau dapat disebut dengan dukungan sosial. Selanjutnya dukungan sosial juga berpengaruh terhadap individu yang diperkuat dari hasil penelitian Hammack dkk. (Zimmerman & Brenner, 2010) menemukan bahwa dukungan sosial, kedekatan dari ibu, dan waktu yang berkualitas untuk keluarga adalah sumber faktor protektif yang mampu melindungi individu dari keterpurukan. Penelitian Dubow dkk. (Zimmerman & Brenner, 2010) juga menemukan bahwa dukungan sosial dari rekan menolong individu untuk bertahan hidup dari masalah. Remaja yang memiliki dukungan sosial yang tinggi dari rekan hampir tidak ada kecenderungan untuk memakai obat-obatan terlarang dibandingkan remaja yang memiliki dukungan sosial yang rendah dari rekan. Helgeson & Lopez (2010) menyarankan perkembangan individu sebaiknya hidup dalam lingkungan sosial yang akan mendukung perkembangan. Hidup dalam lingkungan sosial akan mendukung individu dalam proses kognitif individu, dimana lingkungan sosial memberikan fasilitas yang cukup lengkap untuk refleksi dan merenung. Refleksi dan perenungan memberikan waktu kepada individu untuk tumbuh dan merencanakan perubahan hidup. Tedeschi dan Calhoun (Helgeson & Lopez, 2010) mendukung pernyataan sebelumnya, yaitu dukungan orang lain mampu memfasilitasi pertumbuhan dan perkembangan dengan memberikan cara baru untuk membuat konsep baru mengenai trauma.
9
Berdasarkan permasalahan yang telah disebutkan, maka peneliti ingin melihat apakah terdapat hubungan antara sense of purpose dan dukungan sosial dengan resiliensi pada remaja yang memiliki orang tua bercerai?
B. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk meneliti adanya hubungan antara sense of purpose dan dukungan sosial dengan resiliensi remaja orang tuanya bercerai.
C. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Penulis berharap hasil penelitian ini akan memberikan informasi baru dan memperkaya khazanah di bidang ilmu psikologi. Manfaat selanjutnya adalah sebagai referensi untuk penelitian selanjutnya dengan topik yang serupa agar dapat meneliti lebih luas mengenai hubungan sense of purpose dan dukungan sosial dengan resiliensi. 2. Manfaat Praktis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara langsung bagi siapa saja, terutama kepada remaja yang orang tuanya bercerai, bahwa resiliensi merupakan hal penting untuk dimiliki. Kemampuan resiliensi dengan penggunaan sense of purpose dan dukungan sosial membuat seseorang mampu menyesuaikan diri secara positif sehingga mampu mengubah permasalahan menjadi sebuah kesempatan untuk mengembangkan diri, agar dapat menjadi seseorang yang lebih baik.
10
D. Keaslian Penelitian Penelitian mengenai resiliensi telah banyak dilakukan pada beberapa tahun terakhir. Penelitian oleh Marhamah (2014) menguji adanya hubungan religiusitas dengan resiliensi, serta melihat perbedaan religiusitas dan resiliensi remaja dari SMA berbasis Islam dan SMA Umum. Hasil yang didapatkan dari penelitian ini adalah adanya hubungan positif religiusitas dan resiliensi, serta tingkat religiusitas siswa di SMA berbasis Islam lebih tinggi daripada siswa SMA umum. Penelitian oleh Karina (2014) untuk mengetahui tingkat resiliensi remaja yang memiliki orang tua bercerai. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara umum remaja yang memiliki orang tua bercerai mempunyai kemampuan resiliensi rata-rata bawah (30%). Penelitian lain dilakukan oleh Kang & Kim (2011) menguji pengaruh purpose in life (meaning, value) terhadap resiliensi (efikasi diri, efisiensi berkomunikasi, optimis). Subjek dari penelitian ini adalah perempuan yang mengalami pemukulan dan tinggal di tempat perlindungan yang berjumlah 110 subjek. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa aspek meaning dan value mempengaruhi aspek efikasi diri dan efisiensi berkomunikasi. Sedangkan aspek meaning tidak mempengaruhi optimis, dan aspek value terbukti mempengaruhi optimis. Berdasarkan beberapa penelitian di atas, dapat dijabarkan beberapa hal perbandingan sebagai berikut :
11
1. Keaslian Topik Penelitian Karina (2014) mengangkat topik resiliensi remaja yang memiliki orang tua bercerai, sedangkan peneliti menggunakan variabel sense of purpose dan dukungan sosial sebagai korelasi dengan variabel resiliensi. Penelitian Marhamah (2014) memiliki topik yang berbeda dengan topik yang diangkat oleh peneliti, yaitu topik dengan variabel religiusitas dengan resiliensi. Kang dan Kim (2011) mengangkat topik yang hampir sama dengan peneliti, yaitu sense of purpose dan resiliensi. Peneliti menggunakan topik tentang hubungan sense of purpose dan dukungan sosial dengan resiliensi pada remaja dari orang tua bercerai. Topik peneliti mempunyai keaslian topik karena memiliki topik yang berbeda dari penelitian sebelumnya. 2. Keaslian Teori Teori resiliensi yang menjadi acuan peneliti adalah teori dari Yu dan Zhang (2007). Sedangkan teori dukungan sosial yang menjadi acuan dalam penelitian ini adalah teori dari Sarafino (2012). Adapun teori sense of purpose yang menjadi acuan dari peneliti adalah teori dari Garcia-Aladente dkk.(2016). Pada penelitian Marhamah (2014) teori acuan resiliensi berdasarkan teori Reivich dan Shatte (2002), sedangkan penelitian Karina (2014) menggunakan teori resiliensi Connor dan Davidson (2003). Pada penelitian Kang dan Kim (2012) menggunakan teori sense of purpose dari Kim dkk. (2003). dan teori resiliensi yang mengacu dari Yang dan Yoo (2003).
12
3. Keaslian Alat Ukur Alat ukur resiliensi yang digunakan peneliti adalah Connor-Davidson Resilience Scale (CD-RISC) yang dikembangkan oleh Yu dan Zhang (2007), alat ukur sense of purpose menggunakan PIL-10 yang dikembangkan oleh Garcia-Aladente dkk. (2016), adapun pengukuran persepsi dukungan sosial menggunakan Multidimensional Scale of Perceived Social Support (MSPSS) yang dikembangkan oleh Zimet dkk. (1988). Penelitian Karina (2014) menggunakan alat ukur The 14-Item Resilience Scale (RS-14) yang disusun oleh
Wagnild
&Young
(2009).
Pada
penelitian
Marhamah
(2014)
menggunakan alat ukur resiliensi berdasarkan teori Reivich dan Shatte (2002). Pada penellitian Kang dan Kim (2011) pengukuran sense of purpose menggunakan Purpose in Life (PLI) versi Korea yang dikembangkan oleh Namkung (1980), sedangkan pengukuran resiliensi menggunakan California Personality Inventory (CPI) yang dikembangkan oleh Klohnen (1986). 4. Keaslian Subjek Penelitian Subjek penelitian Karina (2014) adalah remaja dari orang tua bercerai yang berusia 14-22 tahun. Subjek penelitian Marhamah (2014) adalah remaja yang memiliki orang tua bercerai dari siswa SMA berbasis Islam serta siswa SMA umum. Subjek penelitian Kang dan Kim (2011) adalah perempuan yang tinggal di tempat perlindungan, yaitu perempuan yang melarikan diri dari kekerasan suami. Subjek penelitian ini memiliki keaslian, karena subjek penelitian ini adalah remaja yang orang tua bercerai yang berusia 12-18 tahun.