BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Semua penelitian ilmiah dimulai dengan perencanaan yang seksama, rinci, dan mengikuti logika yang umum, Tan (dalam Koentjaraningrat, 1977: 24). Pada dasarnya penelitian ilmiah merupakan pengamatan terhadap suatu fakta, atau realitas dan terhadap pemikiran kemungkinannya. Karya sastra adalah hasil dari suatu kreativitas dalam bahasa yang indah berisi tentang sederetan pengalaman batin dan buah imajinasi yang berasal dari penghayatan realitas sosial pengarangnya. Karya sastra juga merupakan bentuk dan hasil dari pekerjaan seni yang objeknya berasal dari manusia dan kehidupannya dengan menggunakan bahasa sebagai media melalui ungkapan batin seseorang menggunakan bahasa itu sendiri dengan cara penggambaran. Sastra yang dijadikan sebagai cermin masyarakat menggambarkan segala kehidupan manusia lewat media ekspresi sastrawan. Sapardi Djoko Damono (1979: 1) mengungkapkan bahwa sastrawan sebagai anggota masyarakat menampilkan kehidupan sekelilingnya serta menciptakan karya sastra untuk dinikmati, dipahami, dan dimanfaatkan oleh masyarakat. Melalui daya pikir, imaji, pengetahuan serta pengalaman yang ada pada diri pengarang, kenyataan-kenyataan kehidupan tersebut diolah menjadi sebuah karya sastra. Novel salah satunya, karena itu novel sering juga disebut sebagai cerita fiksi atau cerita rekaan. Sebagai karya imajiner, fiksi menceritakan berbagai masalah kehidupan manusia dan interaksinya dengan lingkungan dan sesama. Istilah fiksi dalam pengertian ini berarti cerita rekaan (disingkat: cerkan) atau cerita khayalan. Hal itu disebabkan fiksi merupakan karya naratif yang isinya tidak menyaran pada kebenaran sejarah, Abrams (dalam Burhan Nurgiantoro, 1981: 61). Sebagai suatu karya imajiner, fiksi menawarkan berbagai permasalahan manusia dan kemanusiaan, hidup dan kehidupan. Pengarang menghayati berbagai permasalahan
tersebut
dengan
penuh
kesungguhan
yang
kemudian
diungkapkannya kembali melalui sarana fiksi sesuai dengan pandangannya. Oleh 1
2
karena itu, fiksi menurut Altenberd dan Lewis dalam Nurgiantoro (1966: 14), dapat diartikan sebagai prosa naratif yang bersifat imajinatif, namun biasanya masuk akal dan mengandung kebenaran yang mendramatisasikan hubunganhubungan antarmanusia. Pengarang mengemukakan
hal
itu
berdasarkan
pengalaman dan pengamatannya terhadap kehidupan. Namun, hal itu dilakukan secara selektif dan dibentuk sesuai dengan tujuannya yang sekaligus memasukkan unsur hiburan dan penerang terhadap pengalaman kehidupan manusia. Penyeleksian pengalaman kehidupan yang akan diceritakan pengarang tersebut, tentu saja, bersifat subjektif. Pengarang
mengungkapkan
hal
itu
berdasarkan
pengalaman
dan
pengamatannya terhadap kehidupan (Burhan Nurgiantoro, 2000: 3). Karya sastra tidak sekadar lahir dari hasil psoses imajinasi seorang pengarang yang melatarbelakanginya. Kehidupan individu maupun sosial pengarang sangat berpengaruh terhadap karya yang dihasilkannya. Penggambaran atau imajinasi ini dapat merupakan suatu gambaran terhadap kenyataan hidup, wawasan pengarang terhadap kehidupan nyata, dapat pula imajinasi murni pengarang yang tidak terkait dengan kenyataan hidup (rekam), atau dambaan pengarang, dan dapat pula sebagai campuran keduanya. Dapat dikatakan pula bahwa sastra merupakan suatu dokumentasi kehidupan sosial individu atau masyarakat dengan berbagai permasalahan yang menyangkut berbagai aspek seperti sosial, moral, psikologi, dan lain-lain. Hal ini dikarenakan seorang sastrawan sebagai anggota masyarakat yang mengalami suatu peristiwa ataupun menyaksikan peristiwa yang kemudian dituangkan ke dalam bentuk sebuah karya sastra. Hal serupa diungkapkan oleh Sumardjo(1991: 5) bahwa karya sastra adalah sebuah usaha merekam isi jiwa sastrawannya. Untuk merekam karya sastra tersebut harus dapat dikomunikasikan kepada orang lain dan mempunyai bentuk tersendiri yang dapat mempesona pembaca, memberikan rasa puas dan senang kepada pembacanya. Dapat diartikan pula karya sastra merupakan sebuah karya mentah, yang masih harus diolah dengan mengaitkan fenomena lain untuk dapat dikatakan sebagai data jadi.
3
Pada kenyataannya sebuah karya sastra merupakan cermin sosial yang ada dalam masyarakat tertentu dalam masanya maka perlu dilakukan penelitian sastra. Hal tersebut sejalan dengan pernyataan Ratna (2003: 332) bahwa ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan mengapa sastra memiliki kaitan erat dengan masyarakat sehingga perlu diteliti. Pertama, karya sastra ditulis oleh pengarang, diceritakan oleh tukang cerita, disalin oleh penyalin, sedangkan ketiga subjek tersebut adalah anggota masyarakat. Kedua, karya sastra hidup dalam masyarakat, menyerap aspek-aspek kehidupan yang terjadi dalam masyarakat, yang pada gilirannya juga difungsikan oleh masyarakat. Ketiga, medium karya sastra, baik lisan maupun tulisan, dipinjam melalui kompetensi masyarakat, yang dengan sendirinya telah mengandung masalah-masalah kemasyarakatan. Keempat, berbeda dengan ilmu pengetahuan, agama, adat istiadat, dan tradisi yang lain, dalam karya sastra terkandung estetika, etika, bahkan juga logika. Masyarakat jelas sangat berkepentingan terhadap ketiga aspek tersebut. Kelima, sama dengan masyarakat,
karya
sastra
adalah
hakikat
intersubjektivitas,
masyarakat
menemukan citra dirinya dalam suatu karya. Sebuah karya sastra dapat dikatakan baik, bukan hanya terlihat dari keberhasilan karya tersebut dalam rangkaian kata-kata yang indah, tetapi juga dari segi kemanfaatan karya tersebut dalam memahami pola-pola kehidupan manusia pada umumnya. Hal tersebut terasa nyata dan hidup karena keterjalinan hubungan tokoh, tempat peristiwa-peristiwa yang benar-benar ada atau pernah terjadi di masyarakat pada kurun waktu tertentu. Karya yang lahir karena adanya sesuatu yang menjadikan jiwa seseorang pengarang atau pencipta mempunyai rasa tertentu pada suatu persoalan atau peristiwa di dunia ini, baik yang langsung dialaminya maupun dari kenyataan hidup sehari-hari yang ada di masyarakat. Dalam perkembangannya, media masa untuk media cetak, selalu memuat cerita rekaan seperti novel. Sebagai bahan bacaan novel mampu menghibur pembacanya, maupun menyeret pembaca menyelami suatu kehidupan yang belum atau tidak pernah dialaminya. Di Indonesia novel yang menceritakan kehidupan manusia sangat beraneka ragam watak dan gaya hidupnya. Melalui tema, amanat, tokoh, setting, dan unsur intrinsik lainnya.
4
Novel mampu memberikan suatu ajaran atau nilai didik kepada para pembacanya. Saat ini kita memiliki sastrawan-sastrawan muda berbakat yang terus bermunculan di dunia sastra khususnya novel. Penulis-penulis novel muda berbakat itu terus berlomba menghasilkan karya-karya yang gemilang. Jika dulu kita mengenal Marga T, Pramoedya Ananta Toer, Mira Wijaya, Ahmad Tohari dan masih banyak lagi, kini kita mengenal penulis-penulis muda berbakat seperti Ayu Utami, Djenar Maesa Ayu, Dewi Lestari, Tere Liye dan lainnya. Para penulis muda tersebut memiliki karakter yang berbeda-beda dalam menciptakan sebuah karya sastra. Karya-karya sastrawan baru tersebut lebih mengikuti
zaman
yang
kian
berkembang.
Konflik
yang
ditampilkan
beranekaragam, menyesuaikan konflik yang sedang terjadi di era saat ini. Hal tersebut tentu memiliki nilai tersendiri. Bahwa perkembangan sastra saat ini lebih berwarna dengan adanya karya-karya baru yang makin modern mengikuti zaman yang kian berkembang. Melihat fenomena tersebut, dapat mengingatkan kita pada sosok sastrawan senior bernama Ahmad Tohari. Ahmad Tohari dikenal dengan karya-karya novel yang bersifat humanis. Karya-karya Ahmad Tohari selalu menampilkan imajinasi sebuah pedesaan yang sejuk, indah, beserta kehidupan para penduduk desa yang harmonis. Beberapa orang berpendapat dengan menampilkan tema yang sama pada setiap karyanya merupakan kekurangan bagi Ahmad Tohari. Akan tetapi bagi penulis hal tersebut merupakan kelebihan dan ciri khas yang dimiliki oleh Ahmad Tohari. Terbukti dengan berbagai karya yang diciptakan hingga saat ini selalu diminati oleh para pembaca dan mendapatkan berbagai penghargaan. Ahmad Tohari adalah salah satu penulis fenomenal pada zaman itu. Salah satu karyanya yang gemilang yaitu sebuah novel trilogi Ronggeng Dukuh Paruk yang hingga saat ini terus diingat dan digemari oleh pembaca. Tidak hanya itu, atas prestasi dan apresiasi yang sangat baik dari para pembaca, novel trilogi Ronggeng Dukuh Paruk tersebut telah diterjemahkan dalam berbagai bahasa, antara lain bahasa Banyumasan, bahasa Jepang, dan yang terbaru telah diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda.
5
Berdasarkan fenomena tersebut, tentu karya-karya Ahmad Tohari yang lain menjadi kian dicari oleh para penikmat sastra, salah satunya adalah novel Bekisar Merah. Ahmad Tohari mengatakan bahwa ada beberapa wacana untuk mengangkat kisah novel Bekisar Merah ke dalam sebuah film. Hal ini tentu dilihat dari berbagai penilaian positif dari para penggemar karya Ahmad Tohari. Kebanyakan para penikmat karya-karya Ahmad Tohari adalah masyarakat metropolis. Masyarakat kota yang ingin masuk ke dalam ruang imajinasi menikmati keindahan alam pedesaan yang masih asri, kehidupan yang nyaman jauh dari hiruk pikuk perkotaan, dan nilai-nilai pedesaan yang sangat natural serta apa adanya. Bekisar Merah merupakan salah satu novel yang digemari oleh para pembaca. Hal tersebut tentu dikarenakan isi dan tema yang diceritakan pada novel Bekisar Merah mampu membawa pembaca masuk dalam ruang imajinasi yang digambarkan oleh sang pengarang Ahmad Tohari. Terbukti dengan beberapa kali cetakan novel tersebut selalu habis terjual ditoko buku kota-kota besar. Novel Bekisar Merah dianggap penting untuk diteliti karena fakta-fakta sosial seperti kemiskinan, perjuangan, pengorbanan, kehormatan, kekuasaan dan berbagai nilai pendidikan yang begitu nyata tertuang dalam novel tersebut merupakan cerminan dari kehidupan masyarakat. Dengan mengungkap fakta-fakta sosial tersebut kita dapat mengetahui dan memahami nilai-nilai sosial dan nilai pendidikan apa saja yang terkandung dalam novel Bekisar Merah dan sejauh mana kompetensi nilai tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu novel Bekisar Merah dapat dianalisis berdasarkan pendekatan sosiologi sastra. Melalui pendekatan sosiologi sastra akan mampu mengungkapkan keberadaan manusia dalam menghadapi problematika kehidupan dan memetik nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Permasalahan yang di angkat dalam novel ini merupakan refleksi dari kenyataan yang ada dalam kehidupan sosial ekonomi masyarakat kelas bawah yang hidup di Desa Karangsoga. Hal tersebut sebagian besar melatari isi cerita novel Bekisar Merah. Kehidupan para penyadap nira yang ditindas oleh para kapitalis secara terus-menerus hingga sampai saat ini. Novel Bekisar Merah menceritakan kehidupan seorang perempuan desa yang lugu, apa adanya, yang hidup dalam kemiskinan bernama Lasi. Lasi adalah
6
perempuan Karangsoga keturunan Jepang yang berparas cantik, putih, lugu dan lebih menonjol di antara para perempuan lain di desanya. Ia hidup miskin karena suaminya Darsa adalah seorang penyadap nira yang berpendapatan rendah. Suatu ketika Darsa mengkhianati cintanya, Lasi melarikan diri ke Jakarta. Di sana ia menjadi korban perdagangan wanita. Mulanya Lasi tidak menyadarinya, yang ia pedulikan ialah mampu pergi dari belenggu kehidupan Karangsoga yang dianggap telah menertawakan dirinya. Lambat laun ia menyadari, bahwa apa yang terjadi pada dirinya adalah suatu kekeliruan. Hanya Kanjat anak Pak Tir seorang pengepul gula di Karangsoga yang mampu menolong Lasi keluar dari belenggu lingkaran perdagangan wanita di Jakarta. Berdasarkan uraian di atas, maka akan diteliti lebih lanjut tentang latar belakang sosial budaya pengarang yang melatarbelakangi penulisan novel Bekisar Merah, latar belakang sosial budaya karya sastra novel Bekisar Merah, latar belakang sosial budaya masyarakat pembaca, dan nilai pendidikan dilihat dari sudut pandang sosiologi sastra. Penelitian ini berjudul Kajian Sosiologi Sastra dan Nilai Pendidikan Novel Bekisar Merah karya Ahmad Tohari.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dirumuskan di atas, masalah penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Bagaimana latar belakang sosial budaya pengarang novel Bekisar Merah? 2. Bagaimana latar belakang sosial budaya karya sastra novel Bekisar Merah? 3. Bagaimana latar belakang sosial budaya masyarakat pembaca novel Bekisar Merah? 4. Bagaimana nilai pendidikan pada novel Bekisar Merah?
7
C. Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang telah diuraikan di atas, penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mendeskripsikan latar belakang sosial budaya pengarang novel Bekisar Merah yang digunakan sebagai langkah awal dalam analisis sosiologi sastra. 2. Mendeskripsikan latar belakang sosial budaya karya sastra novel Bekisar Merah. 3. Mendeskripsikan latar belakang sosial budaya masyarakat pembaca novel Bekisar Merah. 4. Mendeskripsikan nilai pendidikan dalam novel Bekisar Merah.
D. Manfaat Penelitian Manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Manfaat Teoretis a. Menambah wawasan tentang pengkajian sosiologi sastra dan nilai pendidikan yang nantinya dapat diterapkan atau mampu dijadikan referensi penelitian lain. b. Hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi perkembangan dan penerapan ranah ilmu sastra serta studi tentang karya sastra. 2. Manfaat Praktis a. Bagi siswa, hasil penelitian ini diharapkan mampu meningkatkan kemampuan dalam pembelajaran apresiasi novel serta dapat dijadikan suri tauladan melalui nilai-nilai yang disampaikan pengarang. b. Bagi mahasiswa agar lebih memahami latar belakang, isi, dan tujuan dari karya sastra serta mengambil nilai positif terhadap karya yang dikaji. c. Bagi guru/dosen Bahasa dan Sastra Indonesia, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan acuan dalam pembelajaran sastra dan dapat dipraktikkan dalam pengajaran sastra mengenai nilai-nilai yang ada dalam karya sastra.
8
d. Mampu menjadi bahan rujukan bagi para peneliti yang berminat menganalisis lebih lanjut karya sastra khususnya melalui pendekatan sosiologi sastra.