BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam pengelolaan obat publik dan perbekalan kesehatan, obat rusak dan kadaluwarsa menjadi salah satu masalah tersendiri. Terjadinya obat rusak dan kadaluwarsa mencerminkan ketidaktepatan dan kurang baiknya pengelolaan obat (Depkes, 2006a). Kejadian obat rusak dan kadaluwarsa di tingkat pengelola obat Kabupaten/Kota ditargetkan idealnya nol persen menurut indikator Pengelolaan Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan Departemen Kesehatan. Kejadian obat rusak dan kadaluwarsa selalu ada di setiap mekanisme pengelolaan obat di daerah di Indonesia. Berdasarkan observasi awal, di UPT Farmakes sebagai unit pelaksana teknis Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta di bidang pengelolaan obat terdapat stok obat rusak dan kadaluwarsa. Stok obat rusak dan kadaluwarsa tersebut diperhitungkan nilainya. Stok obat rusak dan kadaluwarsa ini belum termasuk stok obat rusak dan kadaluwarsa di tingkat UPT Puskemas. Nilai obat rusak dan kadaluwarsa diperkirakan bertambah besar ketika dilakukan perhitungan obat rusak dan kadaluwarsa di seluruh UPT Puskesmas se Kota Yogyakarta. Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 54 Tahun 2011 tentang Pedoman Pengelolaan Barang Persediaan di lingkungan Pemerintah Kota Yogyakarta menyebutkan bahwa semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban APBD atau perolehannya termasuk barang milik daerah, dimana obat termasuk di dalamnya. Sebagai barang milik daerah, obat dimasukkan dalam kategori persediaan atau aset lancar/bergerak. Persediaan obat dan nilainya dilaporkan sebagai bahan penyusunan neraca SKPD. Pelaporan sisa dan nilai persediaan obat meliputi stok obat rusak dan obat kadaluwarsa yang ada di dalam persediaan. Nilai obat rusak dan kadaluwarsa yang ada di Unit Pengelola Obat Publik baik di Kabupaten maupun Puskesmas dicantumkan dalam Laporan Persediaan Barang sebagai bahan penyusunan Laporan Keuangan Daerah. Nilai persediaan obat rusak dan kadaluwarsa di dalam pelaporan menggunakan nilai perolehan
1
2
terakhir sehingga dengan harga obat yang terus naik setiap tahunnya nilai obat rusak dan kadaluwarsa menjadi lebih tinggi dari nilai perolehannya. Hal ini menimbulkan permasalahan tersendiri bagi pengelola obat yang secara teknis belum memahami kebijakan keuangan negara/daerah. Pelaporan persediaan obat rusak dan kadaluwarsa di dalam Laporan Persediaan Barang Milik Daerah masih simpang siur dan menjadi perbedaan tersendiri antara daerah satu dengan daerah lainnya, antara dinas satu dengan dinas lainnya, antara pemeriksa satu dengan pemeriksa lainnya. Penghapusan obat rusak dan kadaluwarsa juga menjadi masalah tersendiri bagi Pemerintah Daerah. Sebagai barang milik daerah, obat rusak dan kadaluwarsa yang ada dimasukkan dalam persediaan, penghapusan barang dapat dilakukan untuk obat rusak dan kadaluwarsa. Prosedur penghapusan obat dan perbekalan secara tersendiri sampai saat ini belum dikeluarkan secara resmi oleh Kementerian Kesehatan sebagai penyusun norma, standar, pedoman dan kebijakan di bidang kesehatan, dimana obat termasuk didalamnya. Pedoman yang ada mengenai penghapusan masih menjadi satu dengan pedoman kebijakan obat yang ada secara umum. Sebagai barang persediaan milik daerah belum ada dasar prosedur administrasi penghapusan khusus untuk obat. Penghapusan obat rusak dan kadaluwarsa yang ada masih mengacu pada penghapusan barang milik daerah secara umum. Adanya peraturan-peraturan tentang penanganan barang milik negara/daerah yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 17 Tahun 2007, Perda Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 15 Tahun 2011 ternyata belum dapat menyelesaikan permasalahan penghapusan obat rusak dan obat kadaluwarsa. Pada saat penghapusan obat kadaluwarsa dan rusak dilakukan, nilai persediaan obat rusak dan kadaluwarsa dinilai berdasarkan harga perolehan terakhir. Hal ini menyebabkan nilai obat rusak dan kadaluwarsa menjadi semakin besar karena harga obat perolehan obat semakin tinggi, padahal manfaat dari obat tersebut semakin berkurang dan akhirnya menjadi tidak bermanfaat/tidak dapat digunakan lagi. Padahal sebagai barang habis pakai, obat rusak dan kadaluwarsa
3
tidak dapat memberikan manfaat lagi sehingga obat rusak dan kadaluwarsa sudah tidak ada nilainya atau bernilai nol rupiah. Nilai penghapusan obat rusak dan kadaluwarsa yang besar sering menimbulkan berbagai pertanyaan di berbagai kalangan seperti legislatif, keuangan, pemeriksa. Pertanyaan tersebut menjadi tanggung jawab sepenuhnya Pengelola Obat di daerah baik di tingkat Kabupaten maupun UPT Puskesmas dan menimbulkan anggapan ketidakpiawaian Pengelola Obat dalam menjalankan tugasnya sehingga menimbulkan kerugian keuangan negara/daerah. Bahkan ketika misalkan kejadian obat rusak dan kadaluwarsa tersebut disebabkan oleh force majour, tetap menimbulkan kesan merugikan keuangan karena ada nilainya. Dari mekanisme yang sudah ada, ketika nilai penghapusan obat rusak dan kadaluwarsa dinihilkan atau dikeluarkan dari laporan keuangan, seolah-olah menyebabkan kerugian pada keuangan daerah/negara. Peraturan Pemerintah RI No. 71 tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan, PSAP Nomor 5
tentang Persediaan menyebutkan bahwa
Persediaan diakui pada saat potensi manfaat ekonomi masa depan diperoleh pemerintah dan mempunyai nilai atau biaya yang dapat dikur dengan andal, pada saat diterima atau hak kepemilikannya dan/ atau kepenguasaannya berpindah. Persediaan barang rusak atau usang tidak perlu dilaporkan di neraca tetapi cukup dilaporkan dalam Catatan Atas Laporan Keuangan. PSAP Nomor 7 tentang Aset Tetap juga menyebutkan bahwa untuk aset tetap dapat dilakukan penyusutan, dimana nilai penyusutan untuk masing-masing periode diakui sebagai pengurang nilai tercatat aset tetap dalam neraca dan beban penyusutan dalam laporan operasional. Obat rusak dan kadaluwarsa sebagai persediaan/aset lancar, pada saat dihapuskan mesti dicantumkan nilainya padahal sudah tidak ada manfaat ekonominya sedangkan pada aset tetap dimungkinkan penyusutan sehingga nilainya menjadi berkurang sampai nol rupiah. Dibutuhkan dasar hukum, kebijakan dan peraturan dalam penghapusan obat rusak dan kadaluwarsa sebagai pedoman bagi pengelola obat untuk melaksanakan penghapusan obat rusak dan kadaluwarsa.
4
Dari hal-hal tersebut diatas maka dapat diketahui bahwa kejadian obat rusak dan kadaluwarsa menjadi beban permasalahan secara teknis dan administrasi dalam hal pengelolaan obat publik dan perbekalan kesehatan dan pengelolaan barang milik daerah. Beban permasalahan ini juga menjadi beban permasalahan bagi seluruh pemerintah daerah sebagai pengelola dan pengguna obat sebagai barang milik daerah. Belum adanya petunjuk teknis penghapusan obat rusak dan kadaluwarsa sebagai dasar prosedur administrasi menyebabkan penanganan penghapusan obat kadaluwarsa dan rusak berbeda antara satu daerah dengan daerah lainnya. Besarnya nilai obat rusak dan kadaluwarsa dan beban pengelolaannya secara teknis, proses penghapusan ditinjau dari aspek administrasi sebagai persediaan, belum adanya dasar hukum, kebijakan dan peraturan khusus penilaian dan penghapusannya secara khusus menjadi permasalahan tersendiri bagi Pemerintah Daerah baik Pemerintah Provinsi maupun Kabupaten/Kota sehingga perlu dilakukan penelitian mengenai hal tersebut diatas. Ketersediaan data nilai persediaan obat rusak dan kadaluwarsa, aspek administrasi penghapusannya serta penerapan dasar hukum, kebijakan dan peraturan
penghapusan obat rusak dan kadaluwarsa diharapkan dapat
memberikan gambaran penyelesaian permasalahan obat rusak dan kadaluwarsa sebagai barang milik daerah di Pemerintah Kota Yogyakarta. Selanjutnya penelitian ini dapat menjadi masukan bagi Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta sebagai dasar dalam menyelesaikan permasalahan obat rusak dan kadaluwarsa terkait sebagai barang milik daerah. B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian di atas, dapat dirumuskan permasalahan penelitian yaitu jumlah dan nilai obat rusak dan kadaluwarsa di Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta, prosedur administrasi penghapusan obat rusak dan kadaluwarsa sebagai barang milik daerah, serta dasar hukum, kebijakan dan peraturan penghapusan obat rusak dan kadaluwarsa sebagai barang milik daerah.
5
C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Memberikan dasar administrasi dan legal untuk prosedur penghapusan obat rusak dan kadaluwarsa sebagai Barang Milik Daerah di Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta. 2. Tujuan Khusus a. Mengetahui besarnya jumlah dan nilai obat rusak dan kadaluwarsa di UPT Farmakes
Kota Yogyakarta dan seluruh UPT Puskesmas di kota
Yogyakarta. b. Mengidentifikasi upaya dasar administrasi penghapusan obat rusak dan kadaluwarsa dan peluang untuk mengatasi hambatan penghapusan obat rusak dan kadaluwarsa di Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta. c. Mengidentifikasi
upaya
dasar
hukum,
kebijakan
dan
peraturan
penghapusan obat rusak dan kadaluwarsa sebagai barang milik daerah dan peluang untuk mengatasi hambatan pelaksanaan kebijakan tersebut di Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta. D. Manfaat Penelitian 1. Teoritis Penelitian
ini
diharapkan
dapat
memberikan
masukan/kontribusi
pengetahuan mengenai proses penghapusan barang milik daerah dalam pengelolaan barang milik daerah kepada Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta. 2. Praktis a. Bagi Dinas Kesehatan Provinsi dan Kota Yogyakarta, dapat menjadi sebuah dasar dalam melakukan penghapusan obat rusak dan obat kadaluwarsa sebagai barang milik daerah. b. Bagi Pemerintah Provinsi dan Kota Yogyakarta, dapat menjadi masukan/pertimbangan dalam rangka pelaksanaan penghapusan obat rusak dan obat kadaluwarsa sebagai barang milik daerah.
6
c. Bagi peneliti, mendapat pengalaman dan pengetahuan serta dapat menerapkan ilmu, mengenai analisis aspek administrasi dan aspek legal dari penghapusan obat rusak dan kadaluwarsa dalam rangka pengelolaan barang milik daerah. E. Keaslian Penelitian Penelitian mengenai Analisis Dasar Hukum, Kebijakan dan Peraturan Obat Rusak dan Kadaluwarsa Sebagai Barang Milik Daerah di Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta belum pernah dilakukan. Penelitian yang berhubungan dengan penerapan kebijakan publik terhadap aspek
pengelolaan obat telah dilakukan oleh Purwaningsih (2002) tentang
Evaluasi Penerapan Peraturan Daerah Kabupaten Gunungkidul Nomor 14 Tahun 2000 Terhadap Ketersediaan Obat di Puskesmas, peneliti ini mengevaluasi penerapan kebijakan terhadap ketersediaan obat. Diperoleh hasil bahwa pengadaan obat retribusi di Puskesmas menyebabkan ketersediaan obat di gudang farmasi kebupaten over stok sebesar 2,4% dan menurunkan penyerapan obat dari kabupaten sebesar 36,73%. Penelitian lain dilakukan oleh Saleh (2001) tentang Evaluasi Pengaruh Pelaksanaan JPS-BK Terhadap Ketersediaan Obat di Puskesmas yang memperoleh hasil bahwa pengadaan obat JPS-BK tidak diperlukan, karena pengaruhnya sangat kecil dalam mengatasi kekosongan obat di Puskesmas. Penelitian tentang prosedur penghapusan barang milik daerah telah dilakukan oleh Al Hasni (2012) mengenai Evaluasi Sistem dan Prosedur Penghapusan Barang Milik Daerah (Studi Kasus Pada Bagian Aset Setda Kabupaten Lombok Tengah), hasil penelitian menyatakan bahwa pelaksanaan sistem dan prosedur penghapusan barang milik daerah Kabupaten Lombok Tengah telah sesuai dengan PP No. 6 Tahun 2006 dan Permendagri No. 17 Tahun 2007. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian terdahulu adalah jika penelitian terdahulu mengevaluasi kebijakan, pada penelitian ini menganalisis prosedur secara administrasi dan dasar hukum, kebijakan dan peraturan penghapusan
7
penghapusan obat rusak dan obat kadaluwarsa kaitannya dengan penghapusan obat rusak dan obat kadaluwarsa sebagai barang milik daerah. Hasil penelitian ini menyatakan bahwa dasar hukum, kebijakan dan peraturan penghapusan obat rusak dan kadaluwarsa di Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta mengacu kepada Permendagri RI No. 17 Tahun 2007 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Barang Milik Daerah dan Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 54 Tahun 2011 tentang Pedoman Pengelolaan Barang Persediaan di Lingkungan Pemerintah Kota Yogyakarta.