BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Penyelenggaraan
pemerintahan
yang
baik
menjadi
isu
yang
mengemuka dalam pengelolaan administrasi publik. Hal ini terjadi karena polapola lama penyelenggaraan pemerintahan dianggap tidak sesuai lagi dengan tatanan masyarakat yang telah berubah dan menjadikan masyarakat sebagai pihak yang terabaikan dalam proses pembangunan. Tuntutan kuat masyarakat terhadap perbaikan penyelenggaraan pelayanan merupakan hal yang wajar dan harus direspon cepat oleh pemerintah dengan melakukan perubahan-perubahan yang terarah untuk terwujudnya penyelenggaraan pelayanan publik yang baik sesuai harapan masyarakat. Dengan berlakunya otonomi daerah, pemerintah daerah diberi kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai peraturan yang berlaku (Undang-Undang No.22/ 1999). Sejak itu desentralisasi penyelenggaraan pemerintahan daerah mengacu pada pelaksanaan good governance berorientasi pada kepentingan publik sebagai upaya meningkatkan taraf kesejahteraan masyarakat daerah bersangkutan. Oleh sebab itu optimalisasi pelayanan publik yang efisien dan efektif harus menjadi perhatian pemerintah daerah agar terwujud pelayanan publik yang prima bagi masyarakat termasuk didalamnya pelayanan kesehatan. Seperti kita ketahui, pelayanan kesehatan merupakan salah satu hak dasar bagi masyarakat yang penyediaannya wajib diselenggarakan oleh pemerintah, hal ini sebagaimana telah diamanatkan dalam UUD 1945 pasal 28 H ayat (1) “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan” dan Pasal 34 ayat (3) “Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak”. 1
2
Dalam Undang-Undang No.25/ 2009 disebutkan, pelayanan kesehatan merupakan bagian dari ruang lingkup pelayanan publik sebagai upaya pemenuhan kebutuhan publik. Oleh karena itu pemerintah bertanggung jawab merencanakan, mengatur, menyelenggarakan, membina, dan mengawasi penyelenggaraan upaya kesehatan yang merata dan terjangkau oleh masyarakat. Selain itu pemerintah juga harus bertanggung jawab atas ketersediaan sumber daya di bidang kesehatan yang adil dan merata bagi seluruh masyarakat untuk memperoleh derajat kesehatan yang setinggi-tingginya (Undang-Undang No.36/ 2009). Di Kabupaten Pemalang, arah kebijakan daerah tentang kesehatan tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) tahun 2011-2016, dimana muatan visinya ingin menjadikan “Kabupaten Pemalang yang Sehat, Cerdas, Berdaya Saing dan Berakhlak Mulia”. Dari visi tersebut tercermin Pemerintah Kabupaten Pemalang ingin menempatkan kesehatan sebagai prioritas pertama dalam pembangunan daerah sebagai upaya meningkatkan derajat kesehatan masyarakat (Peraturan Daerah Kab. Pemalang No.5/ 2011). Namun berdasarkan data profil kesehatan, keberhasilan pembangunan kesehatan belum menunjukkan hasil yang signifikan, hal ini terlihat dari indikator status kesehatan seperti usia harapan hidup, angka kematian ibu maternal, angka kematian bayi dan persentase balita gizi buruk mendapat pelayanan, yang angka capaiannya masih dibawah target MDGs dan SPM Kabupaten Pemalang. Tabel 1. Indikator Status Kesehatan Kabupaten Pemalang Tahun 2012 Indikator
2012
Target
Usia Harapan Hidup (tahun)
68,12
70
Angka Kematian Ibu Maternal (per 100.000 KH) Angka Kematian Bayi (per 1.000KH) Balita Gizi Buruk mendapat Perawatan (%)
135 10,2 41,7
108 8,5 100
Sumber : Dinkes Pemalang (2012) Dari sisi pembiayaan, anggaran kesehatan di Kabupaten Pemalang masih jauh dari yang diamanatkan undang-undang kesehatan sebesar 10% dari APBD diluar gaji pegawai. Hal ini menunjukkan komitmen pemerintah daerah
3
terhadap pembangunan kesehatan belum dilaksanakan dengan baik. Pada Tabel 2 terlihat, jumlah anggaran kesehatan bersumber dari APBD Kabupaten Pemalang tahun 2013 meningkat dibandingkan tahun 2012 namun bila dilihat dari besaran persentase maka anggaran kesehatan tahun 2013 mengalami sedikit penurunan 0,03% dibandingkan tahun 2012. Untuk diketahui bahwa persentase anggaran kesehatan tersebut sudah termasuk gaji pegawai (belanja tidak langsung) namun bila dihitung diluar gaji pegawai maka persentase anggaran kesehatan Kabupaten Pemalang tahun 2013 hanya sebesar 5,75% dari APBD. Tabel 2. Anggaran Kesehatan Kabupaten Pemalang Tahun 2012 dan Tahun 2013 2012 2013 Uraian Jumlah % Jumlah APBD
1.371.541.928.000
Anggaran Kesehatan - Belanja tidak langsung - Belanja langsung
%
1.476.289.683.000
139.127.429.000 58.890.341.000
10,14 4,29
149.217.890.000 64.308.509.000
10,11 4,36
80.237.088.000
5,85
84.909.381.000
5,75
Sumber : DPPKAD Pemalang (2012 dan 2013) Untuk mewujudkan derajat kesehatan yang setinggi-tingginya, diselenggarakan upaya kesehatan yang terpadu dan menyeluruh dalam bentuk upaya kesehatan perseorangan dan upaya kesehatan masyarakat. Oleh karena itu pemerintah pusat dan pemerintah daerah bertanggung jawab meningkatkan dan mengembangkan upaya kesehatan sekurang-kurangnya memenuhi kebutuhan kesehatan dasar masyarakat (Undang-Undang No.36/ 2009). Puskesmas
merupakan
bagian
dari
fasilitas
kesehatan
yang
menyelenggarakan upaya kesehatan terpadu dan menyeluruh. Berdasarkan Kepmenkes No.128/Menkes/SK/II/2004, disebutkan puskesmas merupakan unit pelaksana teknis daerah dibawah dinas kesehatan kabupaten/ kota yang berperan menyelenggarakan sebagian tugas teknis operasional sebagai unit pelayanan kesehatan tingkat pertama dan menjadi ujung tombak pembangunan kesehatan di wilayah kerjanya. Dalam menjalankan perannya, puskesmas berfungsi sebagai (1) pusat penggerak pembangunan berwawasan kesehatan, (2) pusat pemberdayaan
4
masyarakat dan (3) pusat pelayanan strata pertama meliputi pelayanan kesehatan perorangan dan pelayanan kesehatan masyarakat. Jumlah puskesmas di Kabupaten Pemalang tercatat sebanyak 22 puskesmas. Keberadaan puskesmas-puskesmas tersebut untuk melayani kesehatan penduduk Kabupaten Pemalang yang pada tahun 2012 berjumlah 1.271.157 jiwa. Bila mengacu pada konsep wilayah kerja puskesmas, dimana sasaran penduduk yang dilayani oleh satu puskesmas sekitar 30.000 penduduk, maka rata-rata penduduk yang dilayani puskesmas di Kabupaten Pemalang berkisar 57.780 penduduk. Hal ini menunjukkan jumlah puskesmas di Kabupaten Pemalang sangat masih kurang dan belum ideal (Dinkes Pemalang, 2012 dan BPS Pemalang, 2013). Dilihat dari ketenagaan, jumlah tenaga kesehatan puskesmas di Kabupaten Pemalang tahun 2012 tercatat sebanyak 703 orang, dengan rata-rata jumlah tenaga kesehatan setiap puskesmas 31,95 tenaga. Dengan menggunakan salah satu metode perencanaan kebutuhan SDM kesehatan, yaitu metode daftar Tabel 3. Jenis, Jumlah dan Rasio Tenaga Kesehatan per Puskesmas Kabupaten Pemalang Tahun 2012 Jumlah
Rasio per Puskesmas
Dokter Umum
57
2,59
Dokter Gigi
17
0,77
Perawat Umum
169
7,68
Perawat Gigi
12
0,55
Bidan Puskesmas
133
6,05
Bidan di Desa
226
10,27
Apoteker
6
0,27
Asisten Apoteker
9
0,41
Tenaga Kesmas
13
0,59
Sanitarian
21
0,95
Tenaga Gizi
27
1,23
Analis Laboratorium
13
0,59
703
31,95
Jenis Tenaga
Jumlah
Sumber : Dinkes Pemalang (2012)
5
susunan pegawai (DSP)
untuk model puskesmas pedesaan
seperti yang
tercantum dalam Kepmenkes No.81/Menkes/SK/I/2004, maka setiap puskesmas disarankan setidaknya terdapat 2 dokter umum, 1 dokter gigi, 6 perawat, 3 bidan di puskesmas dan 1 tenaga untuk masing-masing jenis tenaga kesehatan lainnya. Tabel 3 menunjukkan rasio tenaga kesehatan per puskesmas berdasarkan jenis ketenagaan di Kabupaten Pemalang tahun 2012 belum seluruhnya memadai. Selain tenaga dokter umum, perawat umum, bidan puskesmas dan tenaga gizi, masih terdapat beberapa jenis tenaga kesehatan yang angka rasio tenaga kesehatan per puskesmas < 1. Hal ini menunjukkan ketersediaan tenaga kesehatan di puskesmas belum sepenuhnya terpenuhi sehingga mempengaruhi kinerja pelayanan puskesmas. Untuk memenuhi kekurangan-kekurangan tersebut, Dinas Kesehatan Kabupaten Pemalang telah merencanakan penambahan jumlah puskesmas dan jumlah tenaga kesehatan. Untuk penambahan puskesmas dilakukan secara bertahap di mulai tahun 2013 dengan membangun 2 puskesmas baru. Namun untuk penambahan tenaga kesehatan masih terkendala beberapa hal, salah satunya adalah masih diberlakukannya perpanjangan moratorium penundaan sementara penerimaan CPNS. Kondisi ini menjadikan rekuitmen tenaga kesehatan di daerah melalui jalur pengadaan reguler selama tiga tahun terakhir tidak dapat dipenuhi. Kebijakan moratorium ini dilakukan pemerintah pusat untuk mengoptimalkan kinerja sumber daya manusia dan efisiensi anggaran belanja pegawai. Walaupun dalam moratorium tersebut tenaga kesehatan tidak termasuk dalam pengecualian tetapi hal itu tidak berlaku bagi daerah yang perimbangan anggaran belanja pegawainya belum mencapai kurang dari 50% dari total APBD (Peraturan Bersama No.02/SPM/M.PAN-BR/8/2011). Untuk diketahui bahwa secara makro neraca APBD Kabupaten Pemalang tahun 2013 hampir 64,54% masih digunakan untuk belanja tidak langsung (gaji pegawai), hal ini menjadikan Kabupaten Pemalang termasuk daerah yang harus mematuhi peraturan moratorium tersebut. Tantangan besar yang harus dihadapi puskesmas sekarang ini adalah menjadi fasilitas pelayanan kesehatan terdepan dalam pelaksanaan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Program ini menuntut puskesmas untuk
6
memberikan pelayanan kesehatan yang berkualitas, berkesinambungan, adil dan merata, di tengah kondisi puskesmas yang saat ini masih berkutat dengan masalah ketersediaan sumber daya kesehatan yang terbatas. Mengingat pelayanan kesehatan dasar merupakan urusan wajib yang menjadi prioritas penyelenggaraan pembangunan daerah maka Dinas Kesehatan Kabupaten Pemalang beserta jajaran puskesmas dituntut mampu menyelenggarakan pelayanan kesehatan dasar secara optimal sesuai harapan masyarakat dengan mengedepankan efisiensi dalam setiap operasional pelayanan puskesmas. B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka rumusan masalah penelitian ini adalah : 1. Bagaimanakah
tingkat
efisiensi
pelayanan
kesehatan
dasar
yang
diselenggarakan puskesmas di Kabupaten Pemalang tahun 2013? 2. Bagaimana cara meningkatkan efisiensi pada puskesmas inefisien dalam menyelenggarakan pelayanan kesehatan dasar di Kabupaten Pemalang? 3. Adakah faktor-faktor lingkungan/ kontekstual yang mempengaruhi efisiensi puskesmas dalam menyelenggarakan pelayanan kesehatan dasar di Kabupaten Pemalang? C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum : Secara umum tujuan penelitian ini untuk menganalisis tingkat efisiensi pelayanan kesehatan dasar puskesmas di Kabupaten Pemalang menggunakan metode Data Envelopment Analysis. 2. Tujuan Khusus : a. Mengetahui unit-unit puskesmas yang efisien dan inefisien dalam menyelenggarakan pelayanan kesehatan dasar. b. Mengetahui upaya peningkatan efisiensi pada unit-unit puskesmas yang inefisien dalam menyelenggarakan pelayanan kesehatan dasar. c. Mengetahui faktor-faktor lingkungan/ kontekstual yang mempengaruhi efisiensi puskesmas dalam menyelenggarakan pelayanan kesehatan dasar.
7
D. Manfaat Penelitian 1. Bagi Pemerintah Daerah Hasil penelitian ini dapat menjadi bahan pertimbangan pengambilan kebijakan pembangunan kesehatan khususnya penyelenggaraan pelayanan kesehatan dasar di Kabupaten Pemalang. 2. Bagi Dinas Kesehatan dan Puskesmas Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan evaluasi peningkatan kinerja pelayanan kesehatan dasar di Kabupaten Pemalang. 3. Bagi Peneliti Menambah pengetahuan untuk lebih memahami penggunaan metode DEA sebagai metode pengukuran efisiensi pada unit pelayanan kesehatan.
E. Keaslian Penelitian Terdapat
banyak
penelitian
tentang
pengukuran
efisiensi
menggunakan metode DEA, namun hanya beberapa penelitian yang mengkaji pengukuran efisiensi pada unit-unit puskesmas menggunakan metode DEA. Berikut ini beberapa penelitian terdahulu yang serupa dengan tema penelitian ini, antara lain : 1. Joses Kirigia et al Penelitian Kirigia et al. (2004) tentang “Using Data Envelopment Analysis to Measure the Technical Efficiency of Public Health Centers in Kenya” bertujuan untuk mengetahui tingkat efisiensi teknis puskesmas di Kenya sehingga dapat merekomendasikan target kinerja puskesmas yang tidak efisien, memperkirakan kelebihan input dan apa yang harus dilakukan jika input berlebihan. Jumlah sampel penelitian sebanyak 32 puskesmas atau 9,1% puskesmas yang ada. Variabel input penelitian meliputi jumlah petugas klinis dan perawat, jumlah fisioterapis, terapis okupasi, petugas kesehatan masyarakat, jumlah teknisi laboratorium, ahli laboratorium, jumlah staf administrasi, jumlah pengeluaran rutin dan jumlah tempat tidur. Sedangkan variabel output meliputi jumlah kunjungan diare, malaria, infeksi menular seksual (IMS), infeksi
8
saluran kemih, cacing usus dan penyakit saluran pernafasan, jumlah kunjungan antenatal dan keluarga berencana, jumlah kunjungan imunisasi dan jumlah kunjungan rawat jalan umum lainnya. Hasil penelitian menunjukkan 44% sampel puskesmas di Kenya tidak efisien secara teknis dan menyatakan DEA sebagai alat penting untuk mengidentifikasi efisien puskesmas dan penentu arah strategi penghematan sumber daya/ input dan atau upaya peningkatan output. Adapun perbedaan penelitian ini terdapat pada lokasi, waktu penelitian, batasan lingkup sampel yang dipilih dan jenis pelayanan yang diteliti, yaitu fokus pada pelayanan kesehatan dasar. Selain itu peneliti akan melakukan analisis tahap dua untuk mengetahui pengaruh faktor-faktor lingkungan/ kontekstual terhadap efisiensi pelayanan kesehatan dasar puskesmas. 2. Rouselle F. Lavado Penelitian Lavado (2006) yang berjudul “Evaluating The Performance of Public Health Units Using DEA” dilakukan untuk meneliti kegunaan DEA dalam menentukan efisiensi unit-unit kesehatan masyarakat (puskesmas) di Filipina. Data penelitian diambil dari hasil survei studi dasar penilaian kinerja puskesmas yang dilakukan oleh departemen kesehatan pada tahun 1999. Jumlah sampel penelitian sebanyak 30 unit puskesmas diperoleh dari metode cluster sampling stratified dua tahap. Evaluasi kinerja puskesmas didasarkan pada program kesehatan ibu dan anak. Program tersebut dibagi menjadi 7 sub program (sebagai variabel output), yaitu pelayanan prenatal, persalinan, pelayanan postnatal, pemberian ASI ekslusif, keluarga berencana (KB), imunisasi, dan perbaikan gizi. Dalam penelitian ini, asumsi efisiensi yang digunakan adalah variable returns to scale (VRS) untuk menghitung 2 nilai efisiensi yaitu, efisiensi pengeluaran dan efisiensi teknis. Hasil penelitian menemukan ada unit puskesmas yang tidak menggunakan anggaran secara efisien, dengan nilai efisiensi pengeluaran untuk setiap sub program berkisar antara 31% - 51%. Hal ini menunjukkan masih banyak ruang untuk meningkatkan hasil program dari anggaran yang tersedia.
9
Sedangkan nilai efisiensi teknis dengan orientasi output hasilnya berkisar antara 76%-91%. Hal ini juga menunjukkan bahwa dengan jumlah tenaga medis pada tingkatan tertentu, unit-unit kesehatan dapat meningkatkan pencapaian hasil program 9%-24%. Perbedaan penelitian dengan yang peneliti lakukan adalah lokasi, waktu penelitian, batasan lingkup sampel yang dipilih dan jenis pelayanan yang diteliti, yaitu fokus pada pelayanan kesehatan dasar. Selanjutnya peneliti akan melakukan analisis tahap dua untuk uji pengaruh faktor-faktor lingkungan/ kontekstual terhadap efisiensi pelayanan kesehatan dasar puskesmas. 3. James Akazili, et al Akazili et al. (2008) melakukan penelitian yang berjudul “Using data envelopment analysis to measure the extent of technical efficiency of public health centres in Ghana”. Tujuan penelitian ini adalah untuk menentukan tingkat efisiensi puskesmas dan merekomendasikan target kinerja bagi puskesmas yang tidak efisien. Data penelitian diambil berdasarkan data akhir tahun 2004. Dari hasil penghitungan dan pemilihan sampel diperoleh 89 sampel puskesmas yang diperoleh secara acak. Variabel Input penelitian meliputi jumlah tenaga non medis, jumlah tenaga medis, jumlah tempat tidur, biaya obat dan perlengkapan medis. Sedangkan variabel output penelitian meliputi kunjungan pasien umum, jumlah kunjungan ibu hamil, jumlah persalinan, jumlah anak yang diimunisasi, dan jumlah kunjungan Keluarga Berencana (KB). Model asumsi yang digunakan dalam penelitian ini adalah variable returns to scale (VRS). Hasil penelitan menunjukkan bahwa dari 89 puskesmas yang diteliti, sebanyak 31 puskesmas (35%) efisien dan 58 puskesmas (65%) tidak efisien secara teknis. Adapun perbedaan penelitian ini terdapat pada lokasi, waktu penelitian, metode pengambilan sampel dan jenis pelayanan yang diteliti, yaitu pelayanan kesehatan dasar. Selain itu peneliti akan melakukan analisis tahap dua untuk uji pengaruh faktor-faktor lingkungan/ kontekstual terhadap efisiensi pelayanan kesehatan dasar puskesmas.
10
4. RR. Retno Wulansari Wulansari (2010) melakukan penelitian yang berjudul “Efisiensi Relatif Operasional Puskesmas-Puskesmas di Kota Semarang Tahun 2009”. Tujuan dari penelitian adalah untuk mengukur efisiensi operasional unit-unit puskesmas di Kota Semarang menggunakan metode DEA. Variabel Input yang dipergunakan dalam penelitian adalah pasokan obat, staf medis dokter, staf medis perawat dan bidan, staf medis lain-lain dan staf pendukung. Sedangkan variabel output penelitian adalah peserta KB baru, pasien TB yang tertangani, rata-rata bayi dan balita yang mendapat suplemen Vitamin A sebanyak 2 kali, rata-rata bayi dengan imunisasi lengkap, ibu nifas yang mendapat suplemen Vitamin A, dan pasien gigi baru. Pengolahan data DEA menggunakan asumsi VRS (Model BCC) orientasi input. Hasil penelitian menunjukkan dari 37 puskesmas di Kota Semarang, didapatkan 30 puskesmas (81.08%) yang kinerjanya efisien dan 7 puskesmas (18,92%) tidak efisien. Perbedaan penelitian ini terdapat pada lokasi, waktu penelitian, model orientasi, variabel output penelitian dan jenis pelayanan yang diteliti yaitu fokus pada pelayanan kesehatan dasar. Selanjutnya peneliti akan melakukan analisis tahap dua untuk mengetahui pengaruh faktor-faktor lingkungan/ kontekstual terhadap efisiensi pelayanan kesehatan dasar puskesmas. 5. Daniel S. Budi Penelitian yang dilakukan Budi (2010) tentang “Efisiensi Relatif Puskesmas-Puskesmas di Kabupaten Pati Tahun 2009”. Tujuan dari penelitian adalah untuk memetakan puskesmas-puskesmas di Kabupaten Pati dengan cara mengukur nilai efisiensi relatifnya menggunakan DEA. Variabel input terdiri dari 5 variabel, yaitu: jumlah tenaga medis, jumlah asisten medis, dan jumlah tenaga kesehatan lainnya, biaya obat dan alat kesehatan habis pakai, biaya operasional dan pemeliharaan puskesmas. Variabel output terdiri dari 3 variabel, yaitu: jumlah imunisasi bayi HB0, jumlah balita ditimbang, dan jumlah kunjungan pasien rawat jalan. Model DEA yang digunakan adalah model VRS orientasi output. Hasil perhitungan DEA
11
menunjukkan 17 puskesmas (58,63%) efisien secara teknis dan 12 puskesmas (41,37%) tidak efisien secara teknis. Adapun perbedaan penelitian ini adalah lokasi, waktu penelitian, variabel output penelitian dan jenis pelayanan yang diteliti, yaitu pelayanan kesehatan dasar. Selain itu peneliti akan melakukan analisis tahap dua untuk mengetahui faktor-faktor lingkungan/ kontekstual yang diduga berpengaruh terhadap efisiensi pelayanan kesehatan dasar puskesmas. 6. Roni Razali Razali (2012) melakukan penelitian mengenai “Analisis Efisiensi Puskesmas di Kabupaten Bogor Provinsi Jawa Barat Tahun 2011”. Tujuan penelitian untuk menganalisis tingkat efisiensi relatif puskesmas di Kabupaten Bogor menggunakan pendekatan nonparametrik DEA. Metode DEA dipilih karena kelebihannya dalam mengolah lebih dari satu input dan output. Variabel Input penelitian terdiri dari 5 variabel, yaitu jumlah tenaga medis, jumlah tenaga keseharan lainnya, jumlah pembiayaan bersumber APBD, jumlah pembiayaan kesehatan bersumber APBN (BOK) dan belanja obat dan alat kesehatan habis pakai. Output terdiri dari 8 variabel, yaitu jumlah kunjungan, CDR TB Paru, cakupan ibu bersalin oleh tenaga kesehatan, cakupan imunisasi dasar, persentase balita ditimbang, jumlah penyuluhan, persentase balita gizi baik dan cakupan pelayanan peserta KB aktif. Metode DEA menggunakan model VRS dengan pendekatan output. Hasil perhitungan DEA menunjukkan 31 puskesmas (77,5%) efisiensi secara teknis dan 9 puskesmas (22,5%) inefisien secara teknis. Perbedaan penelitian ini terdapat pada lokasi, waktu penelitian, variabel output penelitian dan jenis pelayanan yang diteliti, yaitu fokus pada pelayanan kesehatan dasar . Selain itu peneliti akan melakukan analisis tahap dua untuk uji pengaruh faktor-faktor lingkungan/kontekstual terhadap efisiensi pelayanan kesehatan dasar puskesmas.