BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Salah satu tujuan bangsa Indonesia adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia, sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UndangUndang Dasar Republik Indonesia 1945. Demi mewujudkan tujuan tersebut, salah satu hal utama yang perlu diperhatikan adalah pembangunan di berbagai bidang, termasuk di bidang perekonomian dan keuangan. Untuk mencapai kesejahteraan masyarakat, pembangunan di bidang perekonomian dan keuangan sangatlah penting, sebab perekonomian yang kuat dan stabil merupakan tolok ukur keberhasilan pembangunan suatu negara.Semakin berkembangnya
pembangunan
maka
akan
semakin
meningkat
pula
kesejahteraan masyarakatnya. Pembangunan dan pertumbuhan ekonomi dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain: sumber daya manusia, sumber daya alam, faktor ilmu pengetahuan dan teknologi, faktor budaya, serta sumber daya modal. Artinya, untuk menggerakkan roda perekonomian faktor-faktor tersebut harus diberdayakan semaksimal mungkin dalam kegiatan-kegiatan perekonomian. Untuk mendukung kegiatan-kegiatan perekonomian diperlukan dana atau pembiayaan yang akan melibatkan pemerintah dan badan-badan keuangan termasuk perbankan.Pembiayaan ini bertujuan untuk menyalurkan dana kepada masyarakat untuk dialokasikan pada kegiatan pembiayaan perekonomian. Pasal 33 ayat (4)
Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa
“Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi, dan berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional”.Untuk melaksanakan amanat yang termuat dalam pasal tersebut, maka salah satu cara yang ditempuh oleh pemerintah Indonesia adalah dengan membentuk lembaga-lembaga keuangan
1
2
termasuk perbankan. Lembaga perbankan yang dibentuk dengan tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia ini memiliki kekhasan tersendiri yang banyak dipengaruhi oleh ideologi Pancasila. Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan menjelaskan bahwa posisi perbankan sangat strategis, selain sebagai penunjang sistem perbankan (agen pembangunan) juga sebagai lembaga intermediasi, yakni sebagai lembaga yang melakukan kegiatan penghimpunan dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit atau pembiayaan. Dalam operasional usahanya bank harus senantiasa melaksanakan prinsip-prinsip operasional bank, yakni prinsip kepercayaan (fiduciary principle), prinsip kehati-hatian (prudential principle), prinsip kerahasiaan (confidential principle), dan prinsip mengenal nasabah (know your costumer principle). Berkaitan dengan kegiatan pembiayaan, lembaga pembiayaan lebih menekankan pada fungsi pembiayaan, sedangkan lembaga keuangan lebih menekankan pada fungsi keuangan, yang meliputi jasa keuangan pembiayaan dan jasa keuangan bukan pembiayaan. Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa lembaga pembiayaan juga merupakan bagian dari lembaga keuangan 1 , sehingga secara garis besar lembaga keuangan dapat dibedakan menjadi tiga yaitu lembaga keuangan bank, lembaga keuangan bukan bank dan lembaga pembiayaan. Lembaga keuangan bukan bank adalah badan usaha yang melakukan kegiatan di bidang keuangan yang secara langsung atau tidak langsung menghimpun dana dan menyalurkannya kepada masyarakat. Salah satu usaha yang dilakukan oleh lembaga-lembaga tersebut adalah penyaluran dana (sebagai kreditur) kepada masyarakat pelaku usaha (sebagai debitur) yang dilakukan dengan bentuk perjanjian kredit yang dibuat dan kemudian ditandatangani oleh kedua belah pihak dalam bentuk akta kredit. Untuk menjamin amannya distribusi modal, supaya perbankan maupun 1
Abdulkadir Muhammad dan Rilda Murniati, Hukum Perdata Indonesia. Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2000, hlm. 8
3
koperasi dapat berkesinambungan menjadi sumber pembiayaan yang riil, maka diperlukan sistem perkreditan yang kokoh dan dapat melindungi kepentingan semua pihak yang terkait didalamnya, serta memberikan jaminan kepastian hukum bagi masyarakat sebagai pelaku usaha. Perlindungan dan jaminan kepastian hukum diberikan oleh pemerintah dalam bentuk kebijakan dalam dunia perbankan, antara lain dengan ditetapkannya Undang-Undang di bidang perbankan. Undang-undang ini dapat berjalan dengan baik apabila didukung oleh masyarakat maupun dunia perbankan, karena pada dasarnya kebijakan pemerintah dan Undang-undang dikeluarkan dengan tujuan untuk melayani kepentingan masyarakat, sehingga pemerintah tidak mungkin mengeluarkan kebijakan yang tidak sesuai harapan. Oleh karena itu, kebijakan pemerintah juga akan berkembang dari waktu ke waktu dan mengalami perbaikan, seperti yang disampaikan oleh Owen Hughes dalam Pan S. Kim.2 “Summarized for this group: “The administrative paradigma in is terminal stages and unlikely to be revbuved...(It is being replaced by) a new paradigm of public management which push forward a different relationship between government, the public service aand the public”. (Paradigma administrasi berada pada tahap akhir dan tidak mungkin dibangkitkan kembali... (hal ini digantikan oleh) sebuah paradigma baru tentang manajemen pemerintah yang mengusulkan suatu hubungan yang berbeda antara pemerintah, pelayanan masyarakat dan masyarakat). Salah satu bentuk pelayanan dari pemerintah kepada masyarakat melalui perbankan yaitu penyaluran kredit dari bank selaku kreditur kepada masyarakat sebagai nasabah/ debitur, yang diatur dalam Pasal 8 Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan yang menyatakan bahwa: ”Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, bank umum wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atas itikad dan kemampuan serta kesanggupan nasabah
2
Pan S. Kim, Civil Service reform in Japan and Korea toward Competitiveness and competency, International Rteview of Administrative Science. Vo. 68
4
debitur untuk melunasi hutangnya atau pengembalikan, pembiayaan dimaksud sesuai yang diperjanjikan.” Pasal di atas menyatakan bahwa pemberian kredit atau pembiayaan harus melalui proses dan analisa yang pada akhirnya sampai pada kesimpulan bahwa kreditur yakin ada kemauan dan kemampuan dari debitur untuk melunasi hutangnya. Untuk itulah, kreditur dan debitur harus diikat dalam suatu perjanjian hutang piutang. Perjanjian hutang piutang atau perjanjian kredit biasanya diawali dengan pengajuan proposal oleh calon debitur, dan proses negosiasi. Selanjutnya, pihak kreditur melakukan analisis atas kelayakan usaha yang dijalankan oleh calon debitur sesuai yang tertera dalam proposal calon debitur, sehingga diperoleh kesimpulan tentang kelayakan atau ketidaklayakan calon debitur untuk memperoleh bantuan modal berupa kredit. Apabila kreditur telah yakin akan kelayakan usaha yang disampaikan oleh debitur, maka proses dilanjutkan dengan penandatanganan perjanjian hutang piutang antara kreditur dan debitur. Setelah
penandatangan
perjanjian
hutang
piutang
terjadi,maka
pemberian kredit harus dilaksanakan sesuai dengan perjanjian hutang piutang yang telah disepakati. Hal ini berarti hak dan kewajiban masing-masing pihak, baik kreditur maupun debitur sudah diatur di dalamnya. Pada prakteknya, debitur harus memanfaatkan dana yang diberikan oleh kreditur sekaligus melaksanakan kewajibannya untuk mengembalikan dana tersebut sebagai hutangnya kepada kreditur.Hal ini merupakan sisi aktif dan sisi pasif yang ditimbulkan oleh adanya perikatan yang bersifat timbal balik. Sisi aktif menimbulkan hak bagi kreditur untuk menuntut pemenuhan prestasi, sedangkan sisi pasif menimbulkan beban kewajiban bagi debitur untuk melaksanakan prestasinya 3. Permasalahan yang seringkali terjadi dalam perjanjian hutang piutang adalah terjadinya wanprestasi (cidera janji), yaitu apabila pertukaran antara prestasi dan kontra prestasi tidak berjalan sebagaimana mestinya. Pada
3
Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Kormersial Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2010, hlm.261
5
umumnya, wanprestasi terjadi apabila ada pernyataan lalai dari pihak kreditur kepada debitur, yaitu apabila debitur tidak memenuhi prestasinya, terlambat berprestasi, atau berprestasi tetapi tidak sebagaimana mestinya. Di dunia perbankan, wanprestasi inilah yang akan menimbulkan permasalahan kredit macet. Kredit macet yang ada di Indonesia, dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan. Pada tahun 2011 kredit macet di Indonesia mencapai angka Rp. 37, 932 Trilyun 4 . Hingga Agustus 2011, total kredit yang dikucurkan perbankan Indonesia mencapai Rp 2.031,61 triliun. Kredit ini naik dibandingkan periode yang sama pada tahun 2010 yang nilainya Rp 1.640,43 triliun. Adapun dari total kredit itu, sebanyak Rp 1.879,723 triliun masuk kategori lancar, Rp 10,236 triliun masuk kategori kurang lancar, Rp 8,092 triliun masuk kategori diragukan, dan Rp 37,932 triliun masuk kategori macet5. Dari tahun ke tahun kredit macet terus mengalami peningkatan, dalam kurun waktu tiga hingga empat tahun terakhir, Bank Indonesia memperkirakan kredit macet akan meningkat pada akhir tahun 2014 menjadi 2,4 persen dari sisa pinjaman yang ada, atau naik dari 1,8 persen pada akhir tahun 2013, dan pada tahun 2015 mencapai 2,3 persen - 3,2 persen. Permasalahan
kredit
yang
ditimbulkan
dari
ketidakpastian
pengembalian pinjaman merupakan tugas dan tanggung jawab dari pengelola kredit atau satuan kerja perkreditan bank untuk menanganinya. Pemberian kredit harus dilakukan pengelola kredit dengan menggunakan prinsip kehatihatian dan monitoring secara ketat tanpa mengabaikan target
pemberian
kredit yang harus dicapai sesuai dengan kebijakan yang telah ditetapkan bank. Sikap hati-hati merupakan prinsip yang harus selalu diterapkan dalam setiap
4
http://www.topsaham.com/new1/index.php?option=com_content&view=article&id=5332:databani-indonesia-total-kredit-macet-rp-37932-triliun&catid=39:makro, Data Bank Indonesia, diakses, 17 Juni 2014 5 Joko Rizkie Widokarti, Masalah Krtedit Macet, Jakarta, Universitas Terbuka, 2012, hlm. 3
6
pemberian kredit, hal tersebut dilakukan agar bank dapat terhindar atau menekan sekecil mungkin terjadinya risiko kredit bermasalah6 Permasalahan kredit macet bisa disebabkan oleh berbagai macam hal, baik akibat debitur yang tidak bertanggung jawab, maupun kondisi sosial ekonomi yang mempengaruhinya. Untuk mengetahui penyebabnya perlu dilakukan pendekatan term of reference sehingga bisa diketahui dengan jelas pihak mana yang harus bertanggung jawab, bukan pihak mana yang harus dipersalahkan. Hal ini menjadi penting karena kasus kredit macet tentu akan mengakibatkan munculnya permasalahan lain yang berupa tindakan-tindakan lanjutan sebagai dampaknya, baik yang dilakukan oleh pihak bank sebagai kreditur, maupun pihak nasabah debitur. Contoh perkara untuk kasus kredit macet adalah perkara antara PT. Bank Pundi Indonesia Tbk, Cabang Surakarta sebagai tergugat I dan Menteri Keuangan Negara Republik Indonesia Cq. Direktorat Jenderal Kekayaan Negara Cq. Kantor Wilayah IX DJKN Cq. Kepala Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang Surakarta sebagai tergugat II melawan NHW (suami)
dan
HP
(istri)
sebagai
penggugat.
Perkara
bemula
dari
ditandatanganinya perjanjian hutang piutang/ kredit pada tanggal 5 Agustus 2011 antara tergugat I dengan para penggugat sebagai nasabah/debitur PT. Bank Pundi Indonesia Tbk, Cabang Surakarta yang menyalurkan kredit sebagai hutang pokok, dan akan dikembalikan dalam waktu yang telah ditentukan sesuai tertera dalam perjanjian hutang piutang dengan jaminan sebidang tanah. Dalam pelaksanaannya, debitur melakukan wanprestasi sehingga dianggap merugikan pihak PT. Bank Pundi Indonesia Tbk, Cabang Surakarta sebagai akibatnya, pihak bank memutuskan untuk melelang benda yang dijadikan jaminan hutang yaitu sebidang tanah. Pelelangan obyek jaminan ini menyebabkan para penggugat sebagai debitur merasa dirugikan sehingga kasus ini pun diajukan ke meja hijau.
6
Oktafian Angra Dewi, dkk, Analisis Manajeman Kredit Guna Meminimalisir Kredit Bermasalah, Jurnal Administrasi Bisnis (JAB), Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya, Vol. 9 No. 2, April 2014, hlm. 2
7
Pada prosesnya, sebelum perkara masuk ke pengadilan, hakim yang memeriksa telah terlebih dahulu melakukan upaya mediasi/ perdamaian. Akan tetapi upaya perdamaian antar kedua belah pihak tersebut mengalami kegagalan, sehingga kasus ini terus bergulir ke Pengadilan Negeri Surakarta untuk diperiksa dan diputus oleh hakim. Hasil putusan hakim menyatakan bahwa tindakan pelelangan obyek jaminan oleh pihak bank dibenarkan secara hukum. Dalam hal ini, pihak debitur merasa dirugikan karena adanya pelelangan obyek jaminan. Oleh sebab itu debitur mengajukan gugatan ke pengadilan sebagai tindakan hukum. Dengan mengajukan gugatannya, pihak debitur tentu berharap akan memperoleh keadilan, karena pengadilan adalah suatu badan atau lembaga pengadilan yang diharapkan mampu memberikan jalan atau solusi yang terbaik menyelesaian suatu perkara. Ada beberapa penelitian yang relevan dengan penelitian ini, diantaranya penelitian tesis Nor Amaliah Ranie yang berjudul Perlindungan Hukum Terhadap Kreditur dalam Perjanjian Kredit dengan Jaminan Hak Tanggungan. Penelitian ini berfokus pada perlindungan hukum terhadap kreditur dalam penyelesaian permasalahan kredit atas debitur yang menjadikan tanah dan bangunannya sebagai jaminan kredit dan telah diikat dengan hak tanggungan, akan tetapi kemudian terkena bencana lumpur lapindo. Penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui kendala kendala yang dihadapi kreditur dalam penyelesaian kredit terhadap hutang debitur yang obyek jaminannya musnah tersebut. Penelitian tesis lainnya dilakukan oleh Irnawati dengan judul Pentingnya Perlindungan Hukum bagi Bank dalam Penyelesaian Kredit macet. Penelitian ini berfokus pada pemberian perlindungan hukum bagi bank dalam hal penyelesaian permasalahan kredit macet. Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Septina Martha Ayuningtyas dengan judul Perlindungan Hukum terhadap Penerima Fidusia atas Penyelesaian Kredit Macet pada PT. Central Santosa Finance di Kabupaten Kudus. Penelitian ini berfokus pada penyelesaian kredit macet yang berkeadilan serta perlindungan hukum bagi
8
pemberi dan penerima Fidusia PT. Central Sentosa Finance dalam penyelesaian kredit macet. Perbedaan antara penelitian-penelitian tersebut di atas dengan penelitian tesis ini terletak pada fokus penelitian, yaitu tentang perlindungan hukum bagi nasabah debitur. Dalam penelitian ini, permasalahan yang dibahas adalah tentang bagaimana perlindungan hukum bagi nasabah debitur dalam perjanjian kredit dan apabila terjadi kredit macet, dengan contoh kasus kredit macet yang berakibat pada pelelangan obyek jaminan di Bank Pundi Indonesia Tbk. Cabang Surakarta. Penelitian ini terkait dengan hasil putusan majelis hakim yang menolak gugatan debitur yang merasa dirugikan karena adanya pelelangan obyek jaminan yang dilakukan oleh pihak bank. Dalam kasus ini, hakim memegang peranan penting karena hakim bertindak sebagai penentu dalam memutuskan suatu perkara yang diajukan ke pengadilan. Salah satu asas hukum acara perdata adalah nemo yudex sine actore. Asas ini menyatakan bahwa ada atau tidak adanya gugatan bergantung kepada para pihak yang berkepentingan yang merasa dan dirasa bahwa haknya telah dilanggar orang lain, jika gugatan tersebut tidak diajukan para pihak, tidak akan ada hakim yang mengadili perkara yang bersangkutan7. Banyaknya kasus atau perkara yang diajukan ke pengadilan sehubungan dengan kredit macet, baik yang diajukan oleh pihak kreditur maupun debitur, menunjukkan bahwa ada beberapa hal yang belum jelas atau tidak dijelaskan secara rinci dalam perjanjian kredit. Hal-hal yang belum jelas tersebut juga menunjukkan belum pastinya perlindungan hukum bagi pihakpihak yang berkepentingan, dalam hal ini kreditur dan debitur. Pada prakteknya, sebagian besar sengketa terkait kredit macet yang sampai ke pengadilan akan memenangkan pihak bank sebagai kreditur karena semua tindakan yang dilakukan pihak bank selalu berpedoman pada perjanjian kredit, yang menurut Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata: “Semua 7
Lilik Mulyadi, Putusan Hakim Dalam Hukum Acara Perdata Indonesia Teori, Praktik, Teknik Membuat dan Permasalahannya. Bandung : PT.Citra Aditya Bakti, 2009, hlm. 14
9
perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Sebaliknya, kenyataan menunjukkan bahwa pihak nasabah debitur merupakan pihak yang lemah dan dalam posisi yang kalah apabila kasus kredit macet (karena wanprestasi debitur) sampai ke pengadilan. Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan tersebut, penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai bagaimana perlindungan hukum bagi nasabah debitur dalam sebuah perjanjian kredit dan apabila terjadi permasalahan kredit macet. B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut : 1. Bagaimana perlindungan hukum bagi nasabah debitur dalam sebuah perjanjian kredit? 2. Bagaimanakah perlindungan hukum bagi nasabah debitur apabila terjadi kredit macet? C. Tujuan Penelitian Dalam suatu kegiatan penelitian pasti terdapat suatu tujuan yang jelas. Tujuan penelitian ini adalah untuk memberi arah dalam melangkah sesuai dengan maksud penelitian. Adapun tujuan yang ingin dicapai oleh penulis dalam penelitian ini adalah : 1. Tujuan Obyektif Tujuan obyektif dari penelitian ini adalah : a. Mengupas dan membahas tentang perlindungan hukum bagi nasabah debitur dalam sebuah perjanjian kredit. b. Mengupas dan membahas tentang perlindungan hukum bagi nasabah debitur apabila terjadi kredit macet. 2. Tujuan Subyektif Tujuan subyektif dari penelitian ini adalah: a. Untuk menambah dan memperluas pengetahuan penulis dalam penelitian hukum pada khususnya di bidang Hukum Perdata.
10
b. Melatih kemampuan penulis dalam menerapkan teori ilmu hukum, mengembangkan,
dan
memperluas
wacana
pemikiran
serta
pengetahuan yang didapat selama perkuliahan guna menganalisis permasalahan-permasalahan yang muncul dalam hal penyelesaian kredit macet yang disalurkan oleh perbankan. c. Memperoleh bahan dan informasi secara lebih jelas dan lengkap sebagai bahan untuk menyusun tesis, guna memenuhi
persyaratan
akademis dalam mencapai Magister Kenotariatan di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
D. Manfaat Penelitian Dalam penelitian sangat diharapkan adanya manfaat dan kegunaan yang dapat diambil. Adapun manfaat yang didapat dari penelitian ini adalah: 1. Manfaat Teoritis Manfaat teoritis dari penelitian ini adalah : a. Menambah pengetahuan mengenai ilmu hukum Perbankan terutama mengenai
masalah perlindungan hukum
bagi
nasabah dalam
penyelesaian kredit macet. b. Memberikan
sumbangan
pemikiran
bagi
pengembangan
ilmu
pengetahuan hukum pada umumnya dan hukum acara perdata pada khususnya. c. Dapat digunakan sebagai referensi di bidang karya ilmiah serta bahan masukan bagi penelitian sejenis di masa yang akan datang. 2. Manfaat Praktis Manfaat praktis dari penelitian ini adalah : a. Untuk memberikan jawaban atas permasalahan yang diteliti. b. Menjadi wahana bagi penulis untuk mengembangkan penalaran dan pola pikir ilmiah, serta untuk mengetahui kemampuan penulis dalam menerapkan ilmu yang diperoleh; dan
11
c. Meningkatkan penalaran, membentuk pola pikir dinamis dan mengaplikasikan ilmu yang diperoleh penulis selama studi di Program Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret.