BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam beberapa tahun terakhir, pertumbuhan perdagangan pada ekonomi global telah meningkat dengan cepat. Jumlah perdagangan internasional pada tahun 1996 diperkirakan sebesar USD 6 trilyun, dan 20 - 25 % darinya merupakan perdagangan jasa. Baik di negara berkembang maupun negara maju, perdagangan internasional berpengaruh pada peningkatan Gross National Product (GDP) dari suatu negara. Dalam hal liberalisasi perdagangan umum, pada era globalisasi, berbagai pembatasan yang bersifat protektif dan diskriminatif terhadap perdagangan jasa, telah tidak boleh diberlakukan lagi. Perdagangan jasa pada era globalisasi ini berlangsung secara bebas. Tiap negara, apabila memiliki kemampuan, dapat saja memperluas kegiatan usaha bidang jasanya ke negara lain. Di Indonesia, sektor kesehatan merupakan salah satu sektor yang mendapatkan imbas dari pemberlakuan liberalisasi perdagangan dan jasa, terutama dalam hal penyediaan tenaga kesehatan yang berkualitas dan memiliki kompetensi. Migrasi (perpindahan) tenaga kesehatan berkualitas dari negara yang kurang berkembang ke negara industri merupakan bagian yang tidak terlepas dari proses globalisasi dan memiliki aspek positif dan negatif. Aspek positifnya adalah bahwa individu yang pindah mendatangkan modal kepada negara asal dalam bentuk remittance. Pada saat yang sama, kekurangannya adalah apabila terjadi ketidakseimbangan kemampuan negara tersebut untuk memenuhi pelayanan yang penting (vital) di negara itu sendiri. Berbagai laporan juga menyatakan bahwa negara berkembang membiayai pendidikan perawat dengan memberikan subsidi yang cukup besar, yang mengakibatkan potensi kehilangan tenaga perawat yang berpindah ke negara kaya, yang berarti mengakibatkan subsidi masyarakat dari negara miskin kepada negara kaya di dunia (Pittman et al. 2007) Meningkatnya kesenjangan akses terhadap layanan kesehatan dapat berakibat dari mobilitas ini. WHO Report tahun 2006 menyoroti kekurangan global dari hampir 4.3 juta tenaga kesehatan dan mengidentifikasi 57 negara. Sebagian besar berada di Afrika dan Asia, menghadapi kekurangan parah tenaga
1
2 kesehatan. Meningkatnya migrasi memperburuk kekurangan ini
(Badan
Pengembangan dan Pemberdayaan SDM Kesehatan 2013) WHO juga menyatakan bahwa kekurangan tenaga kesehatan ini meliputi dokter, bidan, perawat serta tenaga kesehatan pendukung lainnya. Ketersediaan tenaga kesehatan sangat bervariasi, dan dapat dilihat dengan tingkat ratio tenaga kesehatan paling rendah ada di Afrika dan Asia. Perpindahan tenaga kesehatan dari negara berkembang menuju negara maju semakin memperparah kesenjangan ini (Doctor et al. 2007) Jumlah tenaga kesehatan yang bermigrasi telah meningkat secara signifikan dalam dekade terakhir. Pola migrasi juga menjadi semakin komplek dan melibatkan banyak negara. Migrasi di antara negara maju telah dikelola dengan baik dan migrasi di antara negara berkembang meningkat. Tetapi migrasi dari negara berkembang ke negara maju yang mendominasi perhatian dunia. Hal ini karena jumlah tenaga kesehatan yang terlibat, dan karena dampak terhadap sistem kesehatan di negara dari mana mereka telah bermigrasi. Seringkali, kebutuhan pendidikan tenaga kesehatan ini dipergunakan sebagai “tiket” untuk keluar negeri oleh institusi pendidikan negeri. Hal tersebut mendorong menjamurnya akademi-akademi perawat swasta, yang secara kualitas akademik lebih rendah daripada yang dimiliki oleh akademi negeri. (Pittman et al. 2007) UNDP menyoroti efek positif dari perpindahan tenaga kesehatan "perpindahan manusia” dapat secara efektif meningkatkan pendapatan seseorang, termasuk kesehatan dan pendidikan. Akan tetapi, yang lebih berharga adalah bahwa kemampuan untuk memutuskan dimana akan tinggal merupakan elemen dari kebebasan manusia. (Doctor et al. 2007) International migration menjadi fitur penting dalam era pasar tenaga kerja global dalam pelayanan kesehatan. Dampak dari perpindahan (migrasi) international dirasakan sangat kompleks; baik bagi tenaga kerja itu sendiri maupun bagi negara-negara yang terlibat Ada kekhawatiran mengenai international
migration
untuk pelayanan kesehatan,
terutama
mengenai
kekurangan tenaga dan kekurangan keahlian bagi tenaga kesehatan dalam sistem kesehatan banyak negera. Perpindahan tenaga kesehatan yang berkualitas ke
3 sejumlah negara donor dapat mengakibatkan kurang berfungsinya sistem kesehatan mereka. (Bach 2003) Pengiriman tenaga kesehatan ke luar negeri di Indonesia, sudah ada sejak tahun 2006, yang ditandai dengan adanya KIPPI (Kursus Intensif Persiapan Perawat Indonesia) yang diselenggarakan oleh Pusat Profesi dan Tenaga Kesehatan Luar Negeri (Puspronakes LN), yang merupakan unit dari Badan PPSDM Kesehatan. Akan tetapi, pengiriman perawat ke luar negeri ini baru diselenggarakan dengan mekanisme G to P (Government to Private) mau pun P to P (private to private, Depkes hanya memfasilitasi penyiapan kemampuan teknis dan monitoringnya). Sejak ditandatanganinya IJEPA (Indonesia-Japan Economic Partnership Agreement) pada tahun 2007, proses pengiriman tenaga kesehatan, terutama perawat mulai diselenggarakan dengan menggunakan mekanisme G to G. (Shun 2012) Semakin banyaknya tenaga perawat yang diberangkatkan ke luar negeri mendorong
perlunya
dibuat
peraturan
yang
mengatur
mekanisme
pendayagunaannya. Menteri Kesehatan melalui Permenkes No. 47/2012 telah mengatur pendayagunaan perawat ke luar negeri, termasuk hak dan kewajiban yang harus dipenuhi dalam rangka pengiriman dan pendayagunaan perawat di luar negeri. Antara tahun 2008 dan 2013, lebih dari 800 orang perawat Indonesia dan Filipina yang masuk ke Jepang, sebagai calon registered nurse (kangoshi) dan calon certified care worker, dalam skema kerjasama IJEPA (Indonesia-Japan Economic Partnership Agreement). Masalah serius yang mereka hadapi adalah penguasaan bahasa Jepang, yang sangat mempengaruhi tingkat kelulusan ujian nasional untuk registered nurse karena ujian tersebut diselenggarakan dalam Bahasa Jepang (Nihongo) (Setyowati et al. 2012) Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) semenjak awal sudah menyatakan nilai positif dari employment perawat Indonesia di Jepang karena setiap perawat memiliki hak untuk bekerja di mana pun di dunia ini, sesuai dengan kebijakan International Concil of Nurses dan juga PPNI. Akan tetapi PPNI menentang pengiriman perawat sebagai care givers ke Jepang karena adanya kekhawatiran terhadap risiko "merendahkan kemampuan professional" para perawat tersebut (Shun 2012)
4 Dengan disepakatinya IJEPA (Indonesia Japan Economic Partnership Agreement), sejak tahun 2008 Indonesia telah mengirimkan 5 angkatan perawat yang bekerja sebagai calon kangoshi di Jepang, dengan total peserta sebanyak 392 orang. Untuk angkatan keenam sudah direkrut sebanyak 48 orang peserta, yang akan segera diberangkatkan setelah menjalani kursus Bahasa Jepang yang dilakukan di Indonesia. Dalam perjalanan pelaksanaan kemitraan tersebut selama hampir 5 tahun, banyak hambatan yang ditemui, antara lain adalah kurangnya penguasaan bahasa asing peserta; belum terpenuhinya kualitas tenaga perawat karena banyaknya institusi pendidikan perawat yang belum berakreditasi dengan baik; banyaknya peserta yang belum memenuhi persyaratan administrasi; peserta belum memiliki ketrampilan/keahlian khusus yang dipersyaratkan oleh negara penerima serta profesionalisme dari perawat yang dikirim Dalam melaksanakan tugasnya sebagai calon kangoshi di Jepang, seorang perawat Indonesia harus menjalani uji kompetensi kangoshi, sehingga mereka berhak untuk mendapatkan license (izin) bekerja sebagai perawat di Jepang, dengan mendapatkan gaji dan tunjangan yang sesuai dan setara dengan perawat yang ada di Jepang. Hingga saat ini, dari 392 orang perawat yang sudah diberangkatkan ke Jepang, baru 71 orang perawat (18%) saja yang berhasil lulus pada uji kompetensi kangoshi tersebut. Sementara itu, apabila tenaga perawat Indonesia belum lulus uji kompetensi, mereka hanya akan memperoleh gaji dan tunjangan yang setara dengan lulusan SMP di Jepang. Padahal, ketika proses rekruitmen di Indonesia mereka sudah berhasil menyisihkan banyak pesaing lainnya. Hal ini berarti bahwa tenaga perawat yang dikirimkan ke Jepang merupakan tenaga yang terpilih dan berkualitas, akan tetapi di Jepang mereka hanya disetarakan dengan lulusan SMP. Hal ini tentu bertentangan dengan WHO International Code of Practice yang menyatakan bahwa “Tenaga kesehatan migran seharusnya direkrut, dipromosikan dan digaji berdasarkan kriteria obyektif, seperti tingkat kualifikasi, pengalaman kerja dan tingkat tanggung jawab profesional atas dasar persamaan perlakuan dengan tenaga kesehatan terlatih dalam negeri”
5 B. Perumusan masalah Berdasarkan latar belakang di atas maka permasalahan peneliti adalah faktor-faktor apa saja yang berhubungan dengan retensi tenaga perawat indonesia di Jepang serta keberlangsungan karir mereka, baik yang berhasil lulus ujian nasional perawat kangoshi, dengan adanya perbedaan perlakuan antar perawat yang calon kangoshi asli Jepang dengan perawat Indonesia. C. Tujuan Penelitian Penelitian ini dilaksanakan untuk menggambarkan faktor-faktor yang berhubungan dengan retensi tenaga perawat Indonesia yang bekerja di Jepang dalam kerangka IJEPA, serta keberlangsungan karir mereka, baik yang berhasil lulus maupun yang tidak berhasil lulus ujian nasional kangoshi
D. Manfaat Penelitian 1. Bagi Badan PPSDM Kesehatan: a.
Bagi Pusren-gun SDM Kesehatan:
Dengan adanya hasil penelitian ini diharapkan Pusrengun SDM Kesehatan dapat melakukan proses dan mekanisme pengiriman tenaga perawat ke Jepang yang lebih baik dalam rangka Indonesia-Japan Economic Partnership (IJEPA), dan penerapannya ditinjau dari the International Code of Practice of WHO, serta dapat membuat kebijakan terkait upaya-upaya pencegahan terhadap kekhawatiran akan terjadinya external brain drain perawat di Indonesia, serta pengaruhnya pada ketersediaan dan pemenuhan kebutuhan tenaga perawat di dalam negeri dalam sistem kesehatan nasional (SKN) di Indonesia. b.
Bagi Pusdiklat Nakes
Dengan adanya hasil dari penelitian ini, diharapkan Pusdiklat Nakes dapat melakukan mix & match kompetensi dan keahlian yang akan diajarkan dalam kurikulum keperawatan di Poltekkes Kemenkes seluruh Indonesia, maupun oleh institusi pendidikan tenaga kesehatan lainnya c.
Bagi Sekretariat Badan PPSDM Kesehatan:
Dengan adanya hasil dari penelitian ini, diharapkan Sekretariat Badan PPSDM Kesehatan
dapat
melakukan
penyesuaian
dalam
kaitannya
dengan
6 pengganggaran proses belajar mengajar (PBM) yang ada di jurusan keperawatan Poltekkes Kemenkes seluruh Indonesia; mendapatkan gambaran mengenai pelaksanaan proses dan mekanisme pengiriman tenaga perawat ke luar negeri sehingga dapat menjadikannya sebagai “lessons learned” untuk dipergunakan dalam penyusunan kesepakatan (MoU) maupun kebijakan teknis lainnya sejenis, untuk tenaga kesehatan lainnya selain perawat 2. Bagi Institusi Lain a. Bagi BNP2TKI: Mendapatkan gambaran mengenai pelaksanaan proses dan mekanisme pengiriman tenaga perawat ke luar negeri sehingga dapat menjadikannya sebagai “lessons learned” untuk dipergunakan dalam penyusunan kesepakatan (MoU) maupun kebijakan teknis lainnya sejenis, untuk tenaga kesehatan lainnya selain perawat. b.
Bagi Organisasi Profesi Perawat (PPNI)
Mendapatkan hasil analisis terhadap kesesuaian antara kesesuaian proses dan mekanisme pengiriman tenaga perawat ke Jepang, dan kaitannya dengan mix & match kompetensi dan keahlian, yang dihubungkan dengan kode etik dan standar kompetensi perawat. c.
Bagi Institusi Pendidikan Perawat
Mendapatkan hasil analisis terhadap kesesuaian antara kesesuaian proses dan mekanisme pengiriman tenaga perawat ke Jepang, dan kaitannya dengan mix & match kompetensi dan keahlian yang akan diajarkan dalam kurikulum keperawatan. d. Bagi para peserta maupun para calon peserta pengiriman tenag perawat ke Jepang dalam rangka IJEPA Memberikan gambaran terkait pelaksanaan kemitraan dan diharapkan dapat mengambil lessons learned dari peserta yang telah atau pun sedang bekerja di Jepang. E. Keaslian Penelitian Penelitian mengenai pengiriman tenaga perawat dalam rangka IJEPA ini sudah pernah dilakukan oleh Universitas Unair, bekerja sama dengan Pusren-gun SDM Kesehatan, dengan judul “Parameter Perawat Bekerja di Jepang
7 Berdasarkan Analisis Pengalaman Kerja” dalam rangka menilai faktor-faktor yang mempengaruhi mengekspolarasi parameter perawat Indonesia bekerja di Jepang berdasarkan analisis pengalaman kerja. Penelitian ini dilakukan pada tahun 2012. (Effendi et al. 2012) Selain itu, para peneliti di Universitas Kyoto Jepang sudah dilakukan empat (4) judul penelitian terkait perawat Indonesia yang bekerja dalam rangka IJEPA ini. Penelitian pertama berjudul “A Comparative Study of Filipino and Indonesian Candidates for Registered Nurse and Certified Care Worker Coming to Japan under Economic Partnership Agreements: An Analysis of the Results of Questionnaire Surveys on the Socioeconomic Attribution of the Respondents and Their Motivation to Work in Japan”. Penelitian ini mengamati karakteristik dan motivasi sosial ekonomi para perawat dan care worker yang memasuki Jepang melalui IJEPA dan juga JPEPA (Japan-Philippines Economic Partnership Agreement), yang dilakukan melalui analisis cross sectional. Dari penelitian ini diperoleh hasil bahwa terdapat perbedaan karakteristik antara perawat Indonesia dan Filipina. Alasan ekonomi lebih menjadi alasan dari banyak perawat Filipina dibandingkan dengan perawat Indonesia. Selain itu, perawat Filipina hampir sebagian besar perempuan, sementara banyak terdapat perawat laki-laki di antara perawat Indonesia yang dikirim ke Jepang.(Yuko et al. 2012); Penelitian selanjutnya berjudul “Nurses from Abroad and the Formation of a Dual Labor Market in Japan”. Penelitian ini menyatakan bahwa konflik antara bekerja dan belajar, yang menjadi sumber friksi antara institusi dan para perawat tersebut, adalah bahwa institusi tempat para perawat tersebut bekerja menolak waktu belajar mempersiapkan ujian nasional Kangoshi pada saat bekerja. Peningkatan jumlah institusi yang memberikan lebih banyak waktu belajar dalam menghadapi ujian ini sangat mempengaruhi hasil dari ujian nasional tersebut. Walaupun institusi tempat para perawat itu bekerja menyadari pentingnya memberikan waktu yang cukup dalam persiapan ujian, faktanya mereka meyatakan bahwa para perawat tersebut lebih baik bekerja daripada belajar untuk mempersiapkan ujian nasional, yang mengakibatkan bipolarisasi. Bipolarisasi ini merupakan pilihan rasional dari institusi tempat para perawat itu bekerja untuk menghemat pengeluaran tambahan, yang tidak secara langsung berkontribusi
8 terhadap training dan berinvestasi dalam hal biaya untuk meningkatkan produktivitas, sehingga para perawat dapat berkinerja dengan baik setelah memperoleh lisensi (Wako 2012) Penelitian lainnya berjudul “Southeast Asian Nurses and Caregiving Workers Transcending the National Boundaries: An Overview of Indonesian and Filipino Workers in Japan and Abroad” Penelitian ini menyoroti implementasi dari adanya movement of natural persons dan reaksi yang ada di antara organisasi perawat di Jepang, Filipina dan Indonesia. Penelitian ini juga menggali situasi terkini dari para perawat dan care worker Indonesia dan Filipina, setelah mereka kembali ke negara mereka. Penelitian ini juga melihat kemungkinan dan keterbatasan pelayanan kesehatan yang border-crossing, yang dikelola oleh pemerintah, pada negara-negara yang memiliki kemiripan bahasa (linguistic homogeneity). (Shun 2012) Penelitian selanjutnya adalah “Indonesian Nurses’ Challenges for Passing the National Board Examination for Registered Nurse in Japanese: Suggestions for Solutions”. Penelitian ini menggali pengalaman belajar terkait dengan persiapan untuk menghadapi Ujian Nasional Perawat di Jepang. Hasil yang diperoleh adalah ada 3 hal yang mempengaruhi kelulusan, yaitu permasalahan penguasaan Bahasa Jepang, perbedaan waktu yang tersedia untuk belajar dan adanya perbedaan antara pendidikan dan praktik keperawatan di Jepang dan di Indonesia. (Setyowati et al. 2012) Penelitian lainnya adalah “Managing Health Worker Migration: A Qualitative Study of The Philippine Response to Nurse Brain Drain”. Penelitian ini melakukan melakukan review terhadap kebijakan yang ada terkait dengan pengiriman perawat Filipina ke luar negeri dan pengaruhnya pada pelayanan kesehatan dalam sistem kesehatan di Filipina. (Dimaya et al. 2012). Selain itu, juga ada penelitian dari Kanchanachitra, Churnrurtai, et al, 2011 yang berjudul “Health in Southeast Asia 5 Human Resources For Health In Southeast Asia: Shortages, Distributional Challenges, and International Trade In”. Penelitian ini menyatakan bahwa Indonesia telah mengekspor banyak perawat. Negara-negara muslim seperti Saudi Arabia, Emierat Arab, Malaysia dan Singapore merupakan negara tujuan utama. Dengan tingkat kapasitas produksi tenaga kesehatan per populasi di Indonesia yang lebih rendah dibandingkan
9 dengan Filipina, diyakini bahwa outmigration dari tenaga perawat dan kebidanan sangat terlatih akan menjadi tantangan bagi sistem kesehatan di Indonesia dan memperparah masalah kekurangan serta kualitas pelayanan kesehatan dalam Sistem Kesehatan di Indonesia.