1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Kredit macet merupakan masalah yang sangat penting dalam sejarah perbankan Indonesia terutama pada tahun 1999-2004. Banyaknya bank yang dilikuidasi sebagai akibat dari kredit macet merupakan hal yang penting yang tidak bisa diabaikan dalam perkembangan perbankan di tanah air. Pada tahun 2000 jumlah kredit macet yang saat ini ditangani oleh BPPN per Juli 2000 adalah sebesar Rp. 280.928 triliun yang dibuat oleh lebih dari 138.043 debitor. Permasalahan kredit macet tidak pernah tuntas sampai dengan tahun 2007-2008, bahkan hingga kini terutama sejak mencuatnya kasus bank century, masalah kredit macet menjadi aspek yang penting yang harus ditangani. Salah satu upaya yang dilakukan oleh pemerintah untuk menangani masalah kredit macet yaitu lewat prosedur mediasi di luar Pengadilan. Mediasi menjadi penting sejak diberlakukan Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009, dimana dalam pasal 3 ayat (1) telah memberikan peluang alternatif untuk penyelesaian sengketa secara damai di luar pengadilan yang lazim disebut ADR. Peluang penyelesaian sengketa di luar pengadilan ini juga sebelumnya telah diatur dalam Pasal 3 ayat (1) Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970, yang telah dijadikan dasar hukum pembentukan Undangundang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 138, Tambahan Lembaran Negara 3872), yang selanjutnya disebut UU No. 30 Tahun 1999. Hal ini dapat disimak dalam konsiderans dan penjelasan umum UU No. 30 Tahun 1999 tersebut yang menyebutkan, bahwa berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku (maksudnya Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970), penyelesaian sengketa perdata disamping dapat diajukan ke peradilan
2
umum juga terbuka kemungkinan diajukan melalui arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa. Sementara itu berdasarkan Pasal 1 angka 10 UU No. 30 Tahun 1999, menentukan pengertian ADR sebagai berikut : “Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli”. 1 Ditetapkannya Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia (Perma) Nomor 01 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, telah
terjadi
perubahan
fundamental
dalam
praktek
peradilan
di
Indonesia.Pengadilan tidak hanya bertugas dan berwenang memeriksa, mengadili dan menyelesaikan perkara yang diterimanya, tetapi juga berkewajiban
mengupayakan
perdamaian
antara
pihak-pihak
yang
berperkara. Pengadilan yang selama ini berkesan sebagai lembaga penegakan
hukum
dan
keadilan,
tetapi
sekarang
pengadilan
juga
menampakkan diri sebagai lembaga yang mencarikan solusi damai antara pihak-pihak yang bertikai. Persoalan yang menjadi beban pengadilan selama ini, terutama pada tingkat Mahkamah Agung adalah semakin meningkatnya perkara yang masuk. Setiap tahun perkara yang masuk bukannya berkurang, tetapi malah meningkat, sementara hakim yang harus menyelesaikan perkara tersebut daya kerjanya sangat terbatas sehingga perkara yang masuk tidak dapat diselesaikan dengan cepat. Berbagai solusi telah diupayakan untuk mengurangi tunggakan perkara agar semakin banyak perkara yang diputus, tetapi hasilnya tidak memuaskan. Perma Nomor 01 Tahun 2008 ini secara fundamental telah merubah praktek peradilan di Indonesia yang berkenaan dengan perkara-perkara perdata. Mediasi sebagai upaya untuk mendamaikan pihak-pihak yang berperkara bukan hanya penting, tetapi harus dilakukan sebelum perkaranya 1
I Made Sukadana, 2012. Mediasi Peradilan. Jakarta : Prestasi Pustaka Publisher. Hal. 7
3
diperiksa. Kalau selama ini upaya mendamaikan pihak-pihak dilakukan secara formalitas oleh hakim yang memeriksa perkara, tetapi sekarang majelis hakim wajib menundanya untuk memberi kesempatan kepada mediator mendamaikan pihak-pihak yang berperkara. Upaya perdamaian bukan
hanya
formalitas,
tetapi
harus
dilakukan
dengan
sungguh-
sungguh.Untuk mengerti secara komprehensif mengenai mediasi, perlu dipahami tentang tiga aspek dari mediasi. Urgensi dan motivasi dari mediasi adalah agar pihak-pihak yang berperkara menjadi damai dan tidak melanjutkan perkaranya dalam proses pengadilan. Apabila ada hal-hal yang mengganjal yang selama ini menjadi masalah, maka harus diselesaikan secara kekeluargaan dengan musyawarah mufakat. Tujuan utama mediasi adalah untuk mencapai perdamaian antara pihak-pihak yang bertikai. Pihak-pihak yang bertikai atau berperkara biasanya sangat sulit untuk mencapai kata sepakat apabila bertemu dengan sendirinya.Titik temu yang selama ini beku mengenai hal-hal yang dipertikaikan
itu
biasanya
bisa
menjadi
cair
apabila
ada
yang
mempertemukan. Maka mediasi merupakan sarana untuk mempertemukan pihak-pihak yang berperkara dengan difasilitasi oleh seorang atau lebih mediator untuk menfilter persoalan-persoalan agar menjadi jernih dan pihakpihak yang bertikai mendapatkan kesadaran akan pentingnya perdamaian antara mereka. Secara hukum mediasi tercantum dalam Pasal 2 ayat (2) Perma Nomor 01 Tahun 2008 yang mewajibkan setiap hakim, mediator dan para pihak untuk mengikuti prosedur penyelesaian perkara melalui mediasi. Apabila tidak menempuh prosedur mediasi menurut Perma ini merupakan pelanggaran terhadap Pasal 130 HIR dan atau Pasal 154 Rbg. yang mengakibatkan putusan batal demi hukum. Artinya, semua perkara yang masuk ke pengadilan tingkat pertama tidak mungkin melewatkan acara mediasi,karena apabila hal ini terjadi resikonya akan fatal.
4
Substansi mediasi adalah proses yang harus dijalani secara sungguhsungguh untuk mencapai perdamaian,karena itu diberikan waktu tersendiri untuk melaksanakan mediasi sebelum perkaranya diperiksa. Mediasi bukan hanya sekadar untuk memenuhi syarat legalitas formal, tetapi merupakan upaya yang sungguh-sungguh yang harus dilakukan oleh pihak-pihak terkait untuk mencapai perdamaian. Mediasi adalah merupakan upaya pihak-pihak yang berperkara untuk berdamai demi kepentingan pihak-pihak itu sendiri. Bukan kepentingan Pengadilan atau hakim, juga bukan kepentingan mediator. Sehingga dengan demikian segala biaya yang timbul karena proses mediasi ini ditanggung oleh pihak-pihak yang berperkara. Di masa depan, pengadilan diharapkan bisa menjadi filter dari persoalan-persoalan dan pertikaian yang terjadi di dalam masyarakat sehingga masyarakat menjadi tenteram dan damai, bukan malah memunculkan masalah-masalah baru yang pada gilirannya akan mengganggu proses pembangunan pada umumnya. Apabila masyarakat selalu berada di dalam kondisi konflik, maka secara psikologis kehidupan berbangsa akan menjadi terganggu yang pada gilirannya
akan
memacetkan
rencana
pemberdayaan
perekonomian
masyarakat. Perma Nomor 01 Tahun 2008 merupakan langkah genius dalam praktek peradilan di Indonesia guna meningkatkan kualitas penegakan hukum, namun masih ada beberapa persoalan yang butuh jawaban yang berkenaan dengan praktek pelaksanaan mediasi itu sendiri, minimal sebagai bahan renungan apabila suatu saat nanti ada revisi kembali terhadap Perma ini. Salah satu yang menjadi pertanyaan adalah berhubungan dengan asas peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan. Banyak pertanyaan dari rekan-rekan praktisi hukum, apakah pelaksanaan mediasi nantinya dalam setiap perkara perdata yang masuk ke pengadilan tidak akan mengganggu asas peradilan dilaksanakan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan. Memang untuk pelaksanaan mediasi butuh waktu, butuh biaya
5
yang akhirnya menjadi tidak sederhana apabila diperhatikan secara sepintas, mungkin jawabannya pasti ya. Artinya proses mediasi akan mengganggu proses peradilan yang harus dilakukan secara sederhana, cepat dan biaya ringan. Tetapi apabila dikaji secara mendalam, maka akan ditemukan suatu pencerahan yang luar biasa dari praktek mediasi ini. Barangkali untuk langkah ke depan ada beberapa hal masukan dari penulis untuk menjadikan mediasi sebagai sarana upaya perdamaian yang lebih
berdaya-guna
dan
berhasil-guna.
Juga
untuk
meningkatkan
profesionalisme mediator sebagai komponen penting dalam mediasi. Pertama, menurut Pasal 7 ayat (1) Perma Nomor 01 Tahun 2008, pada hari sidang yang telah ditentukan yang dihadiri kedua belah pihak, hakim mewajibkan para pihak untuk menempuh mediasi. Dari ketentuan ini bahwa proses mediasi merupakan kewajiban pihak-pihak yang berperkara yang mana kalau tahapan mediasi ini tidak dilalui oleh pihak-pihak, maka majelis hakim juga wajib untuk menolak/tidak menerima gugatannya. Apabila majelis hakim terus memproses perkara tersebut maka putusannya batal demi hukum. Dalam Pasal 10 ayat (1) Perma Nomor 01 Tahun 2008 disebutkan bahwa penggunaan jasa mediator hakim tidak dipungut biaya. Dalam ayat (2) nya disebutkan bahwa uang jasa mediator bukan hakim ditanggung bersama oleh para pihak atau berdasarkan kesepakatan para pihak.Ketentuan ini kurang adil, menurut penulis semestinya semua mediator mendapatkan uang jasa.Kalau non hakim uang jasanya dari pihak-pihak, maka kalau dari unsur hakim uang jasanya ditanggung oleh Negara. Pasal 25 ayat (1) Perma Nomor 01 Tahun 2008 yang mana M.A. menyediakan insentif bagi hakim yang berhasil menjalankan fungsi mediator, tetapi ketentuan ini tidak bergigi karena Perma sebagaimana yang dimaksudkan oleh ayat (2) nya sampai sekarang belum ada. Menurut penulis semestinya semua hakim yang menjalankan
fungsi
mediator
mendapatkan
uang
jasa
dari
Negara
6
berdasarkan Perma yang sudah ada, bukan Perma yang masih menunggu keluarnya entah sampai kapan. Dengan ketentuan yang ada sekarang, maka bisa jadi hakim yang menjadi mediator akan bekerja secara asal-asalan atau hanya sekedar untuk memenuhi standar legalitas formal kalau cara kerja seperti ini terus berlanjut.
B. Perumusan Masalah 1. Bagaimana model penyelesaian sengketa kredit macet dalam pengaturan Hukum Perbankan? 2. Bagaimana kepastian hukum dari mediasi sebagai upaya penyelesaian kredit bermasalah? 3. Bagaimana
kendala-kendala
penerapan
mediasi
sebagai
upaya
penyelesaian kredit bermasalah?
C. Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui model penyelesaian sengketa kredit macet dalam pengaturan Hukum Perbankan. 2. Untuk menganalisis kepastian hukum dari mediasi sebagai upaya penyelesaian kredit macet. 3. Untuk mengetahui kendala-kendala penerapan mediasi sebagai upaya penyelesaian kredit macet.
D. Manfaat Penelitian 1. Secara teoritis penelitian ini bermanfaat untuk pengembangan hukum perbankan khususnya terkait dengan teori-teori dan konsep-konsep penanggulangan kredit macet. 2. Secara praktis dengan dilakukan penelitian bisa menjadi pedoman bagi pihak bank dan pihak yang terkait dalam menggunakan model mediasi untuk percepatan penyelesaian kredit macet.
7
E. Keaslian Penelitian Sepanjang
sepengetahuan
kepustakaan
yang
dilakukan,
berhubungan
dengan
kredit
penulis, terdapat macet
berdasarkan beberapa
dan
penelusuran
penelitian
penyelesaiannya
yang seperti
“Penyelesaian Kredit Bermasalah Melalui Jalur Non Litigasi Pada PT Bank Lippo Tbk Cabang Kudus” dan “Pelaksanaan Penyelesaian Kredit Macet (Studi Pada Bank Syariah Kantor Cabang Pembantu Graha Helveti Medan” ,namun belum pernah ada satupun penelitian yang dilakukan untuk mengkaji “Mediasi Sebagai Penyelesaian Sengketa Kredit Macet Dalam Rangka Upaya Penegakan Hukum Perbankan”. Oleh karena itu penelitian dengan tema dan materi ini merupakan sesuatu yang baru dan asli.