BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Partisipasi Politik dalam Pemilihan Umum (Pemilu) bagi kalangan yang awam politik mungkin hanya dianggap sebagai kegiatan menggunakan hak pilih (seperti mencoblos). Bahkan mungkin pernah kita jumpai bahwa adapula beberapa pihak yang menganggap menggunakan hak pilih dalam Pemilu tidak terlalu penting, sehingga mereka menyia-nyiakannya dengan berbagai macam alasan. Tapi di Pemilu tahun 2014 ini terlihat bahwa euforia para pemilih termasuk pemilih pemula/muda cukup tinggi dibandingkan sebelumnya. Berdasarkan data dari Komisi Pemiihan Umum (KPU), jumlah pemilih pemula/muda mencapai porsi tertinggi dibandingkan pemilu-pemilu sebelumnya, yaitu Pemilu tahun 2004 dan 2009. Berdasarkan catatan KPU, jumlah pemilih pemula pada Pemilu 2014 mencapai 11% dari total 186 juta jiwa pemilih.1 Porsi pemilih pemula yang bisa dibilang tinggi inilah yang menyebabkan suara mereka menjadi signifikan untuk menentukan siapa yang menang di Pemilu ini. Hal ini disebabkan pemilih pemula dikategorikan sebagai swing voters, yaitu kelompok pemilih yang belum pasti menentukan siapa kandidat yang akan mereka vote di Pemilu nantinya karena memiliki kecenderungan berubah atau berpindah pilihan partai atau calon dari satu Pemilu ke Pemilu berikutnya.2 Selain itu euforia/antusiasme para pemilih di Pemilu 2014 terlihat dari persentase golput yang justru menurun di tahun 2014 setelah sebelumnya mengalami tren kenaikan dari Pemilu tahun 1999 hingga 2004. Angka Golput pada Pemilu tahun 1999 sebesar 6,70%, tahun 2004 naik menjadi 15,93%, tahun 2009 juga naik menjadi 29,01%. Sedangkan di tahun 2014 justru mengalami
1
Laksono Hari Wiwoho (ed.). 2014. “Antusiasme Pemilih Muda”. Diakses pada 13 Oktober 2014. Terarsip di: http://nasional.kompas.com/read/2014/04/08/1946582/Antusiasme.Pemilih.Muda 2 “Kecenderungan Swing Voters Menjelang Pemilu 2014”. 2012. Diakses pada 6 Agustus 2015. Terarsip di: http://www.saifulmujani.com/blog/2012/10/14/kecenderungan-swing-votersmenjelang-pemilu-2014#.VcJCYPOqqko
1
penurunan yaitu mencapai 24,89%.3 Di sisi lain, salah satu hasil survei Litbang Kompas juga merangkum antusiasme pemilih pemula. Mayoritas responden (92,8%) yang merupakan pemilih pemula menyatakan ingin memberikan suaranya pada 9 April 2014.4 Dikarenakan euforia serta antusiasme masyarakat Indonesia yang tinggi menjadikan hingar-bingar Pemilu 2014 ini memang berbeda dari Pemilu-pemilu sebelumnya. Selain itu juga dikarenakan sebagian besar kaum muda yang merupakan mayoritas pengguna media sosial, menjadikan euforia dan antusiasme ini terasa dan terlihat juga di dunia maya. Di media sosial, euforia masyarakat di Pemilu 2014 ini khususnya kalangan muda terlihat dengan ramainya mereka untuk saling menunjukkan dengan tegas di mana pilihan mereka berlabuh. Mungkin karena masyarakat dihadapkan dengan hanya dua pilihan kandidat di Pemilu 2014 ini yaitu untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres), sehingga masyarakat seakan seperti “ditantang” untuk menentukan kubu mana yang mereka pilih. Apakah kubu “kiri” atau kubu yang “kanan”. Euforia dan semangat masyarakat untuk saling menunjukkan dengan tegas di mana pilihan mereka berlabuh di Pilpres tahun 2014 ini terlihat dengan munculnya beberapa tren di media sosial. Salah satunya seperti tren memajang angka “2” dan kalimat “I STAND ON THE RIGHT SIDE” di bagian kanan profil picture (avatar) pada twitter atau facebook. Dan tren ini dilakukan bagi mereka yang mendukung/memilih pasangan calon presiden dan wakil presiden nomor urut dua, yaitu Joko Widodo dan Jusuf Kalla. Selain itu jargon “Salam 2 Jari” juga sering disebarluaskan oleh para pendukung pasangan calon ini, termasuk di media sosial. Tidak kalah para pendukung calon presiden dan wakil presiden nomor urut satu, yaitu Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa juga memiliki trademark tersendiri
3
Dhani Irawan. 2014. “Dibanding Tahun 2009, Angka Golput Pemilu 2014 Lebih Rendah”. Diakses pada 30 Oktober 2014. Terarsip di: http://news.detik.com/read/2014/05/10/074125/2578828/1562 4 Laksono Hari Wiwoho (ed.). 2014. “Antusiasme Pemilih Muda”. Diakses pada 13 Oktober 2014. Terarsip di: http://nasional.kompas.com/read/2014/04/08/1946582/Antusiasme.Pemilih.Muda
2
di dunia maya. Orang yang mendukung/memilih calon pasangan ini biasa menaruh logo garuda merah di samping kanan avatar mereka di media sosial. Selain fenomena di atas, fenomena lain yang juga tidak kalah menarik juga terjadi di salah satu media sosial, yaitu Youtube. Sebagai situs media sosial yang berbasis pada video sebagai kontennya, tentu saja menjadikan wujud euforia-nya berbeda. Euforia Pilpres 2014 terlihat dengan munculnya kreasi-kreasi video oleh para pegiat Youtube, atau yang biasa disebut Youtuber. Berbeda dengan orang yang hanya iseng mengunggah (upload) video di channel mereka secara asal-asalan tanpa makna dan konsep yang jelas. Youtuber ini (yang pastinya juga pada umumnya merupakan kalangan muda) merupakan orang yang sengaja mengunggah video di channel mereka dengan konsep tertentu. Selain itu video-video mereka juga biasanya diproduksi dan diedit sedemikian rupa agar hasilnya menarik dan sesuai dengan konsep yang mereka inginkan. Dari beberapa Youtuber di Indonesia yang peneliti temukan, rata-rata memang video-video yang mereka unggah cenderung disajikan dengan ringan, fresh, dan juga menghibur. Akan tetapi tetap ada maksud atau pesan yang ingin disampaikan melalui video tersebut. Salah satu channel youtube yang akan diteliti video-videonya yaitu “CameoProject”. Bergabung di Youtube sejak 12 Agustus 2012. Memiliki 30.126 subscribers. Video-videonya sudah ditonton sebanyak 9.429.087 kali (data statistik didapatkan per 7 Januari 2015). Jika melihat video-video yang diunggahnya terlihat bahwa channel ini intens mengangkat isu-isu keIndonesiaan/nasionalisme termasuk Pemilu 2014. Beberapa videonya juga mengkritik beberapa kebijakan pemerintah. Video-video yang mereka kerjakan pun tidak main-main dengan memperhatikan aspek sinematografis pada umumnya. Selain CameoProject, peneliti juga akan meneliti video-video di channel Youtube bernama “PROJECT SLINGSHOT”. Bergabung di Youtube sejak 24 September 2013. Memiliki 1.219 subscribers. Video-videonya sudah ditonton sebanyak 258.500 kali (data statistik didapatkan per 7 Januari 2015). Meskipun subscribers di channel ini tidak sebanyak di channel “CameoProject”, peneliti
3
memilihnya sebagai objek penelitian karena channel ini juga cukup intens mengunggah video-video bertemakan Pemilu 2014. Seperti halnya channel “CameoProject”, “PROJECT SLINGSHOT” pun mengerjakan video-video yang mereka unggah dengan memperhatikan aspek sinematografis, dimana hal ini menjadikan kedua channel ini menarik untuk diteliti. Mengikuti arus euforia Pemilu 2014 yang ada, para Youtuber ini seakanakan serentak mengunggah video yang bertemakan politik yaitu Pemilu 2014. Seperti dua channel/akun Youtube yang disebutkan diatas, dua akun ini termasuk yang intens mengkampanyekan pentingnya menggunakan hak pilih. Dan fenomena ini dapat diklasifikasikan sebagai bentuk upaya masyarakat secara umum untuk ikut mensosialisasikan pentingnya berpartisipasi dalam Pemilu. Kembali lagi, mengingat pemilih pemula dalam Pemilu 2014 ini cukup tinggi, maka pendidikan politik atau sosialisasi mengenai konsep ideal partisipasi politik warga negara dalam Pemilu menjadi sangat penting bagi pemilih pemula secara khusus dan bagi pemilih lainnya secara umum. Sebagai pemilih pemula, Pemilu 2014 ini merupakan pengalaman pertama mereka dalam berpartisipasi secara politik melalui penggunaan hak pilih mereka dan tentunya informasi dan pemahaman tentang konsep partisipasi politik yang benar/ideal sangat diperlukan. Dan sebenarnya pendidikan politik atau sosialisasi mengenai ini juga seharusnya tidak terbatas pada pemilih pemula saja tetapi juga seluruh masyarakat secara umum. Karena tidak menutup kemungkinan masyarakat yang tidak tergolong sebagai pemilih pemula pun bisa saja belum memahami benar konsep ideal mengenai partisipasi politik seorang warga negara dalam Pemilu. Dalam hal ini, peran media massa pada umumnya (seperti televisi, surat kabar, dan radio) diperlukan untuk menyebarluaskan informasi mengenai pendidikan politik dan sosialisasi tentang Pemilu ini. Alternatif lain yaitu media baru berbasis internet berupa media sosial seperti twitter, facebook, dan juga Youtube penting juga untuk didorong peranannya. Alternatif pendidikan politik dan sosialisasi tentang Pemilu melalui media sosial inilah yang dipraktikkan oleh pemilik akun “CameoProject” dan “PROJECT SLINGSHOT” di Youtube. Mereka menyampaikannya melalui video-
4
video yang mereka unggah di Youtube dengan tema Pemilu 2014. Intinya mereka mengajak masyarakat untuk memahami mengenai konsep berpartisipasi politik oleh warga negara seperti penggunaan hak pilih dalam Pemilu. Seperti kita ketahui penyampaian informasi berupa ide, pendapat, atau gagasan dengan cara mainstream yang sudah sering dilakukan oleh kebanyakan orang seperti berdemo, berorasi, atau kampanye dengan turun ke jalan menimbulkan anggapan bahwa itu satu-satunya jalan. Yang bukan tidak mungkin melalui cara baru dalam penyampaian informasi ini melalui Youtube dapat lebih berdampak kepada audiens, dikarenakan caranya yang lebih ringan, menarik, dan menghibur. Selain itu banyak yang menyebutkan bahwa rakyat Indonesia merupakan masyarakat dengan budaya menonton. Dimana budaya kolektif masyarakat kita masih “kental” dengan budaya menonton, terbukti dengan konsumsi televisi yang masih cukup tinggi (meskipun kualitas tayangan televisi kita dewasa ini juga masih jauh dari kata berkualitas). Maka, dengan pesan yang para Youtuber sampaikan dalam format video menjadikannya sebagai “sarana” menyampaikan pendapat yang potensial. Selain itu, format video mereka yang sifatnya menghibur juga menjadikannya daya tarik tersendiri bagi audiens (pengakses Youtube) walaupun dengan tema politik yang secara umum dianggap sebagai tema yang berat. Dan yang menjadi masalah atau menarik untuk diteliti, penyampaian ide ataupun gagasan mengenai konsep partisipasi politik warga negara dalam Pemilu seperti yang disampaikan oleh “CameoProject” dan “PROJECT SLINGSHOT” melalui Youtube pastinya tidak lepas dari representasi dan proses konstruksi makna di dalamnya. Terjadinya proses representasi dan konstruksi makna inilah yang memungkinkan ide/gagasan mengenai konsep partisipasi politik dalam Pemilu yang disosialisasikan dua akun Youtube ini belum tentu sudah tepat atau seluruhnya tersampaikan jika dibandingkan konsep secara keseluruhan yang benar-benar ideal dari partisipasi politik warga negara dalam Pemilu.
5
B. Rumusan Masalah Dari uraian di atas maka dapat diambil fokus permasalahan yang akan diteliti, yaitu mengenai “bagaimanakah representasi partisipasi politik warga negara dalam Pemilu melalui video-video dari akun Youtube “CameoProject” dan “PROJECT SLINGSHOT” dengan tema Pemilu 2014?”
C. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1.
Untuk mengetahui bagaimana video-video dari akun “CameoProject” dan “PROJECT SLINGSHOT” merepresentasikan partisipasi politik warga negara dalam Pemilu.
2.
Untuk mengetahui bagaimana sistem tanda dalam video-video dari akun “CameoProject” dan “PROJECT SLINGSHOT” bekerja dalam merepresentasikan partisipasi politik warga negara dalam Pemilu.
3.
Untuk mengetahui perbandingan representasi yang terjadi diantara video-video dari “CameoProject” dan “PROJECT SLINGSHOT”.
D. Objek Penelitian Objek dalam penelitian ini mencakup beberapa video yang diunggah oleh Youtuber di Indonesia di situs Youtube. Sesuai judul penelitian, peneliti mengambil video-video bertemakan Pemilu 2014 dari dua akun Youtube yaitu “CameoProject” dan “PROJECT SLINGSHOT”. Dua akun Youtube yang diambil tersebut dengan mempertimbangkan intensitas mereka dalam mengunggah video dengan tema Pemilu 2014 serta keseriusan mereka dalam hal konsep dan konten di
video-video
yang
mereka
produksi.
Alasan
lainnya
juga
dengan
mempertimbangkan kepopuleran mereka di Youtube—dengan melihat jumlah subscribers/pelanggan akun mereka, seperti di akun “CameoProject”. Selain itu, hasil analisis antara video-video yang akan diteliti di dua akun ini dapat dijadikan sebagai bahan perbandingan antara satu dengan yang lainnya.
6
Populasi dari penelitian ini sendiri yaitu seluruh video-video dari akun Youtube “CameoProject” dan “PROJECT SLINGSHOT” yang bertemakan Pemilu 2014. Populasi video dari akun “CameoProject” yaitu sebanyak sembilan video, dan dari akun “PROJECT SLINGSHOT” sebanyak dua belas video. Untuk teknik pemilihan sampel sendiri peneliti memilih untuk melakukannya dengan teknik nonprobability sampling. Nonprobability sampling merupakan pemilihan sampel yang dilakukan dengan pertimbangan-pertimbangan peneliti, sehingga dengan teknik ini membuat semua anggota populasi tidak mempunyai kesempatan yang sama untuk dipilih sebagai anggota sampel.5 Lebih spesifik lagi peneliti mengambil teknik purposive sampling (termasuk dalam kelompok adalah teknik nonprobability sampling), yaitu penarikan sampel yang dilakukan berdasarkan karakteristik yang ditetapkan terhadap elemen populasi target yang disesuaikan dengan tujuan atau masalah penelitian.6 Selain itu teknik sampling ini juga memungkinkan peneliti mengambil sampel dengan pertimbangan-pertimbangan tertentu. Dari populasi video yang sudah dijabarkan di atas, dengan teknik purposive
sampling
peneliti
melakukan
pengambilan
sampel
dengan
pertimbangan-pertimbangan sesuai tujuan penelitian ini yaitu mengungkap representasi partisipasi politik warga negara dalam Pemilu. Maka dari itu, sampel yang diambil adalah video-video yang kontennya cukup memiliki muatan spesifik representasi tersebut. Selain itu sampel yang diambil juga mempertimbangkan konten video dengan tema Pemilu 2014 yang sifatnya “netral”, dalam artian konten video tidak “menjurus” pada keberpihakan ke salah satu kandidat dalam Pemilu 2014. Setelah dilakukan penarikan sampel (dengan teknik purposive sampling) dengan pertimbangan-pertimbangan seperti yang sudah dijelaskan di atas, peneliti pada akhirnya mengambil masing-masing dua video dari akun “CameoProject” dan “PROJECT SLINGSHOT” sebagai sampel sekaligus objek yang akan diteliti. 5
Try Wahyu Syaputra. 2013. "Populasi dan Sampel dalam Penelitian Kualitatif". Diakses pada 10 Agustus 2015. Terarsip di: http://palontjongi.blogspot.com/2013/08/populasi-dan-sampel-dalampenelitian.html 6 Ibid
7
Berikut penjabaran objek yang akan diteliti (informasi statistik channel Youtube dan video-videonya di bawah ini didapatkan per 7 Januari 2015): a.
“CameoProject” “CameoProject” bergabung di Youtube sejak 12 Agustus 2012. Mereka memiliki sekitar 33.626 subscribers, dan 52 video telah mereka unggah di Youtube. Video-video yang mereka unggah sudah ditonton sebanyak 9.798.101 kali. “CameoProject” sendiri telah mengunggah sembilan video yang bertemakan Pemilu 2014 (populasi). Setelah dilakukan penarikan sampel, telah terpilih dua video dari akun ini sebagai sampel sekaligus objek penelitian. Video pertama yang dipilih dari akun “CameoProject” yaitu video yang berjudul “Pemilu WTF?!”.7 Video ini diunggah tanggal 2 April 2014 dan berdurasi sekitar 3 menit 53 detik. Video ini sendiri memiliki catatan statistik berupa: 62.792 views; 682 likes; 14 dislikes; 133 comments. Video kedua yang dipilih dari akun ini yaitu video yang berjudul “Pemilu WTF: Selamat Memilih”,8 yang juga merupakan kelanjutan dari video pertama yang dipilih peneliti seperti yang telah dipaparkan sebelumnya. Video ini diunggah tanggal 7 April 2014 dan berdurasi sekitar 2 menit 53 detik. Video ini sendiri memiliki catatan statistik berupa: 39.456 views; 406 likes; 5 dislikes; 52 comments.
b.
“PROJECT SLINGSHOT” “PROJECT SLINGSHOT” bergabung di Youtube sejak 24 September 2013. Mereka memiliki sekitar 1.462 subscribers, dan 28 video telah mereka unggah di Youtube. Video-video yang mereka unggah
sudah
ditonton
sebanyak
301.844
kali.
“PROJECT
SLINGSHOT” sendiri telah mengunggah dua belas video yang bertemakan Pemilu 2014 (populasi). Setelah dilakukan penarikan 7
Video ini dapat ditonton langsung di situs Youtube dengan alamat: https://www.youtube.com/watch?v=RM3g3aT3WRo 8 Video ini dapat ditonton langsung di situs Youtube dengan alamat: https://www.youtube.com/watch?v=Hef-4wFKR-8
8
sampel, telah terpilih dua video dari akun ini sebagai sampel sekaligus objek penelitian. Video
pertama
yang
dipilih
dari
akun
“PROJECT
SLINGSHOT” yaitu video yang berjudul “MANA JARIMU #2 DEMO”.9 Video ini sendiri merupakan salah satu dari ketujuh seri video “MANA JARIMU”, dimana setiap seri videonya mengambil setting tempat yang berbeda-beda. Video “MANA JARIMU #2 DEMO” sendiri mengambil setting tempat di jalanan dimana sedang terjadi demonstrasi. Alasan peneliti hanya mengambil seri versi “DEMO” karena peneliti menganggap video seri ini yang paling menarik dan cocok untuk diteliti secara semiotik dibandingkan videovideo lainnya di seri “MANA JARIMU”. Selain itu, sebenarnya secara garis besar video-video di seri “MANA JARIMU” ini memiliki konsep/maksud yang hampir sama dan seri satu dan yang lainnya ceritanya terpisah atau tidak saling berhubungan/berkelanjutan. Video “MANA JARIMU #2 - DEMO” sendiri diunggah tanggal 13 Juni 2014 dan berdurasi sekitar 1 menit 39 detik. Video ini memiliki catatan statistik berupa: 4.464 views; 21 likes; 2 dislikes; 3 comments. Video kedua yang dipilih dari akun ini yaitu video yang berjudul “PRESIDEN IMPIAN - Saykoji Feat. Umbu Kaborang”.10 Video ini sendiri memiliki konsep berupa video musik. Video ini diunggah tanggal 16 Juni 2014 dan berdurasi sekitar 4 menit 12 detik. Video ini memiliki catatan statistik berupa: 104.616 views; 1.663 likes; 15 dislikes; 177 comments.
9
Video ini dapat ditonton langsung di situs Youtube dengan alamat: https://www.youtube.com/watch?v=jG09X8fkEeA 10 Video ini dapat ditonton langsung di situs Youtube dengan alamat: https://www.youtube.com/watch?v=s5624FbhHqY
9
E. Kerangka Pemikiran E.1. Representasi, Konstruksi Makna, dan Bahasa Pada perkembangan kajian ilmu komunikasi, komunikasi tidak hanya dipahami sebagai proses penyampaian pesan dari komunikator ke komunikan semata. John Fiske dalam bukunya Introduction to Communication Studies, memberikan beberapa asumsi tentang studi komunikasi, yang menurutnya sudah tidak murni lagi sebagai subjek karena dibelakangnya terdapat berbagai macam studi, termasuk studi kajian kultural (budaya). Menurut Fiske, meluasnya kajian komunikasi ini dalam perkembangannya setidaknya melahirkan dua aliran dalam studi komunikasi, yaitu:11 1.
Pandangan yang melihat komunikasi sebagai proses transmisi pesan, yang oleh Fiske disebut sebagai aliran proses (the process school).
2.
Pandangan bahwa komunikasi sebagai proses produksi pesan dan pertukaran makna, yang oleh Fiske disebut sebagai aliran semiotik (the semiotic school).
Perbedaan pandangan dari dua aliran yang dikemukakan oleh Fiske tersebut lebih lanjut lagi setidaknya dapat digambarkan dalam tabel perbandingan perbedaan pandangan diantara kedua aliran tersebut, yaitu sebagai berikut:
Tabel 1.A Perbedaan Pandangan antara Dua Aliran dalam Studi Komunikasi menurut John Fiske Komunikasi: Transmisi Pesan (The Process School) Konsentrasi pada bagaimana pengirim dan penerima melakukan encoding dan decoding, dan bagaimana transmiter menggunakan channel dan media komunikasi. Menggunakan terminologi efisiensi
Komunikasi: Produksi dan Pertukaran Makna (The Semiotic School) Konsentrasi bagaimana pesan atau teks berinteraksi dengan manusia dengan maksud untuk memproduksi makna, juga berhubungan dengan peranan teks dalam kultur kita. Menggunakan terminologi seperti
11
John Fiske. 1990. Introduction to Communication Studies (Second Edition). London: Routledge. Hal. 2
10
dan akurasi, juga memandang apabila hasil dari komunikasi tidak sesuai yang diharapkan oleh pengirim, maka, perlu mencari dimana letak kegagalan yang terjadi.
signifikasi dan tidak mengakui misunderstanding sebagai sesuatu yang dianggap sebagai kegagalan komunikasi, namun hanya hasil dari perbedaan budaya antara pengirim dan penerima. Melihat komunikasi sebagai proses Studi komunikasi adalah studi dimana seseorang mempengaruhi tentang teks dan kultur. sikap dan state of mind seseorang. Mendefinikasikan interaksi sosial Mendefinisikan interaksi sosial sebagai proses individu satu dan sebagai sesuatu yang memandang yang lainnya satu sama lain saling individu sebagai anggota budaya berhubungan untuk mempengaruhi tertentu dalam masyarakat. sikap, state of mind, atau respon emosional orang lain, dan sebaliknya. Pesan adalah apa yang Pesan adalah sebuah konstruksi ditransmisikan oleh proses tanda yang—melalui interaksi komunikasi. Pesan adalah apa yang dengan penerima—menghasilkan pengirim “letakkan” ke dalamnya makna. Pengirim diartikan sebagai dengan makna apapun juga. transmiter pesan, dan membaca pesan adalah proses penemuan makna yang terjadi ketika pembaca berinteraksi dengan teks. Sumber: John Fiske (1990:2-3)
Terlihat bahwa aliran pertama melihat komunikasi hanya sebatas proses transmisi pesan tanpa memperhatikan aspek-aspek di luarnya. Sedangkan aliran yang kedua memiliki cakupan yang lebih luas. Aliran yang kedua memandang aspek di luar proses komunikasi itu sendiri seperti aspek kultur (budaya). Selain itu aliran kedua juga menyoroti arti penting interaksi, terutama interaksi antara penerima pesan dan pesan itu sendiri. Proses komunikasi dipandang sebagai proses penyampaian pesan yang merupakan konstruksi berupa tanda dan dapat menghasilkan makna sesuai interaksi yang terjadi antara penerima pesan dan pesan itu sendiri. Aspek kultural antara pengirim dan penerima pesan inilah yang menentukan bagaimana suatu pesan dikonstruksikan/direpresentasikan dan dimaknai. Aliran yang kedua inilah (the semiotic school) yang cocok menjadi dasar pemikiran dalam penelitian ini (semiotik), dimana dalam proses komunikasi
11
terdapat aspek-aspek penting seperti tanda, makna, serta representasi/konstruksi makna. Jika studi tentang komunikasi tidak terlepas dari studi budaya (kultur), maka studi mengenai budaya tidak terlepas dari studi mengenai linguistik atau bahasa. Dimana bahasa itu sendiri merupakan elemen penting dari proses komunikasi yang terjadi antarindividu atau antarkelompok. Studi komunikasi salah satunya berusaha mengungkapkan bagaimana bahasa digunakan untuk mengkonstruksikan
atau
merepresentasikan
makna
dalam
suatu
proses
komunikasi dan bagaimana makna itu disebarkan melalui media-media yang ada melalui bahasa itu sendiri. Seorang ilmuwan Ferdinand de Saussure memiliki pandangan lain terhadap studi bahasa. Dimana, pada abad ke-19 dulu studi tentang bahasa hanya berkutat soal sisi historisnya dan perilaku linguistik yang nyata saja. Pada awalnya, studi mengenai bahasa hanya menelurusi seputar perkembangan katakata dan ekspresi sepanjang sejarah, mencari faktor-faktor yang berpengaruh seperti geografi, perpindahan penduduk, dan faktor lain yang mempengaruhi perilaku linguistik manusia. Saussure justru menggunakan pendekatan anti historis dalam studi bahasa. Dia memandang bahasa sebagai sebuah sistem yang utuh dan harmonis secara internal, yang kemudian oleh Saussure dimunculkan teori strukturalisme untuk menggantikan pendekatan historis dari para pendahulunya. Menurutnya bahasa adalah sistem tanda yang mengekspresikan gagasan.12 Bahasa di mata Saussure tak ubahnya sebuah karya musik (simfoni) dan bila kita ingin memahaminya kita harus memperhatikan keutuhan karya musik secara keseluruhan dan bukan kepada permainan individual dari setiap pemain musik. Dari pandangan ini jelaslah bahwa bahasa sebenarnya tidak hanya dipahami sebagai aspek linguistik tetapi juga lebih mendasar lagi sebagai sebuah sistem tanda yang digunakan untuk menyampaikan suatu pesan yang bermuatan makna tertentu. Dalam proses penyampaian pesan melalui bahasa terdapat proses representasi di dalamnya. Representasi merupakan sebuah upaya untuk 12
Ferdinand de Saussure. 1966. Course in General Linguistic. McGraw Hill. Hal. 16
12
menggambarkan atau menceritakan atau menghadirkan kembali ingatan dengan mendeskripsikan, mengimajinasikan konsep dalam benak (mind) tentang sesuatu.13 Inti dari sebuah proses representasi adalah menyampaikan sebuah makna. Hall memiliki tiga pendekatan untuk menjelaskan proses pembentukan suatu makna melalui bahasa. Ketiga pendekatan itu diantaranya:14
Pendekatan reflektif, melihat bahasa sebagai sebuah cermin yang merefleksikan makna yang sebenarnya dari realitas dimana relasi antara tanda dengan apa yang direferensikannya adalah secara langsung dan transparan.
Pendekatan
intensional,
melihat
bahasa
digunakan
untuk
menyampaikan sesuatu sesuai dengan cara pandang subjek terhadap sesuatu itu sehingga makna tergantung pada maksud si penyampai pesan.
Pendekatan konstruksionis, melihat adanya proses konstruksi makna melalui bahasa yang digunakan dimana konstruksi makna melalui fungsi bahasa terikat oleh konteks sosial dan historis dimana ia dipergunakan.
Mengacu pada pendekatan ketiga tentang proses pembentukan makna melalui bahasa oleh Hall, maka suatu proses pembentukan makna atau representasi terdapat pula proses konstruksi makna di dalamnya. Hal tersebut yang menyebabkan representasi berbeda/tidak sama persis dengan refleksi realitas yang ada karena adanya proses konstruksi makna di dalamnya. Bahasa di sini sebagai suatu alat untuk menyampaikan pesan sekaligus makna berperan penting dalam proses konstruksi makna itu sendiri. Ibnu Ahmad menjelaskan bahwa struktur bahasa, mulai dari pemilihan kata hingga penyampaiannya ikut menentukan struktur konstruksi realitas dan makna yang
13
Stuart Hall. 1997. Representation: Cultural Representation and Signifying Practices. London: Sage Publication. Hal. 21 14 Ibid. Hal. 35
13
timbul darinya. Lebih dari itu, bahasa kemudian tidak hanya mampu menjadi representasi realitas, tetapi dapat pula membentuk realitas.15
E.2. Youtube sebagai Media Baru (Media Sosial) Istilah media baru atau bisa disebut new media pada dasarnya lahir seiring dengan masuknya era digital pada teknologi informasi dan komunikasi di akhir abad ke-20.16 Era digital ditandai juga dengan munculnya teknologi internet. Karena media baru muncul setelah era/teknologi digital ditemukan, maka media baru itu sendiri
dapat
dikatakan sebagai
media digital.
Terry Flew
mengklasifikasikan media digital sebagai media yang kontennya berbentuk gabungan data, teks, suara, dan berbagai jenis gambar yang disimpan dalam format digital dan disebarluakan melalui jaringan berbaris kabel optik broadband, satelit, dan sistem transmisi gelombang mikro.17 Lievrouw dan Livingstone memberikan pemaparan bahwa sebuah media dapat disebut sebagai media baru, maka media tersebut harus memiliki karakteristik sebagai berikut:18
Computing and Information Technology Sebuah media baru harus memiliki unsur information, communication, dan technology di dalamnya, tidak bisa hanya salah satunya saja.
Communication Network Media baru harus memiliki kemampuan untuk membentuk sebuah jaringan komunikasi antar penggunanya.
Digitalized Media and Content Untuk disebut sebagai media baru, maka sebuah media harus mampu menyajikan sebuah medium dan konten yang sifatnya digital.
15
Ibnu Hamad. 2004. Konstruksi Realitas Politik dalam Media Massa. Jakarta: Granit. Hal. 13 Januar Rizki. 2012. “Definisi dan Contoh New Media”. Diakses pada 13 Oktober 2014. Terarsip di: http://januar2527.blogspot.com/2012/10/definisi-dan-contoh-new-media.html 17 Terry Flew. 2008. New Media: An Introduction (3rd Edition). South Melbourne: Oxford University Press. Hal. 2-3 18 A. Leah Lievrouw & Sonia Livingstone. 2006. Handbook of new Media: Updated Student Edition. London: Sage Publication 16
14
Convergence Media baru harus mampu berintegrasi dengan media-media lain (baik tradisional maupun modern), karena inti dari konvergensi adalah integrasi antara media yang satu dengan media yang lain.
Terminologi media baru (new media) jika dikaitkan dengan media lama (old media) tentunya memiliki perbedaan-perbedaan. Denis McQuail memberikan ciri-ciri utama media baru yang membedakannya dengan media lama. Ciri-ciri tersebut adalah:19 a.
Desentralisasi Pengadaan dan pemilihan konten suatu media baru tidak lagi sepenuhnya berada di tangan pemasok komunikasi.
b.
Kemampuan Tinggi Pengantaran (transmisi) melalui kabel dan satelit mengatasi hambatan komunikasi yang disebabkan oleh pemancar siaran lainnya.
c.
Komunikasi Timbal-balik (Interactivity) Penerima (komunikan) dapat memilih, menjawab kembali, menukar informasi dan dihubungkan dengan penerima lainnya secara langsung.
d.
Kelenturan (Fleksibilitas) Kelenturan atau fleksibilitas yang dimaksud menyangkut karakteristik bentuk, isi, dan penggunaan suatu media baru.
Media baru yang berbasis internet juga melahirkan terminologi media baru sebagai media sosial (Facebook, Twitter, dan juga Youtube). Seperti yang telah dijelaskan diatas mengenai karakteristik dan ciri media baru, terdapat beberapa karakteristik maupun ciri dari media baru yang menjadikannya terklasifikasi ke dalam terminologi media sosial, seperti karakteristik media baru berupa communication network. Karakteristik tersebut menjadikan media baru dapat menjadi sarana sebagai media sosial karena media baru harus memiliki kemampuan untuk membentuk sebuah jaringan komunikasi antar penggunanya, jaringan komunikasi disini mendukung adanya interaksi sosial antara pengguna 19
Denis McQuail. 1996. Teori Komunikasi Massa: Suatu Pengantar (Terjemahan Agus Dharma & Aminudin Ram). Jakarta: Erlangga. Hal. 17-18
15
internet/media baru. Selain itu—seperti yang telah dijabarkan di atas—media baru juga memiliki ciri berupa komunikasi timbal-balik (interactivity). Penerima (komunikan) dapat memilih, menjawab kembali, menukar informasi dan dihubungkan dengan penerima lainnya secara langsung. Komunikasi timbal-balik ini dapat semakin memperluas dan meningkatkan kualitas serta kuantitas komunikasi itu sendiri. Hubungan timbal-balik menjadikan komunikasi tidak hanya cenderung satu arah—seperti di media massa konvensional, tetapi dapat dua arah dan dinamis dalam sebuah jaringan komunikasi. Ciri media baru ini tentunya juga semakin mendukung interaksi sosial diantara penggunanya. Hal ini sekali lagi yang mendukung media baru cocok dengan terminologi media sosial. Dengan adanya internet sebagai teknologi penyokong media baru/media sosial menjadikan publik bisa lebih aktif dan leluasa dalam berkomunikasi atau bertukar pesan serta lebih mudah mengakses informasi antara satu dan yang lainnya. Seperti halnya Youtube, partisipasi publik semakin terbuka untuk berkomunikasi secara aktif, menyampaikan opini/gagasan ke khalayak ramai. Lebih lagi fitur Youtube yang merupakan media sosial dengan konsep berbagi video (Broadcast Yourself), menjadikannya sarana yang dinamis untuk menyampaikan pesan/informasi. Maka Youtube sebagai media sosial menjadikan penggunanya memiliki otoritas untuk menentukan konten, tren, dan lain sebagainya. Jean Burgess dan Joshua Green dalam bukunya “Youtube: Digital Media and Society Series” mendefinisikan Youtube sebagai site of participatory culture. Lebih lanjut lagi mereka memaparkan definisi participatory culture menurut Henry Jenkins, yaitu:20 “Participatory culture is one in which fans and other consumers are invited to actively participate in the creation and circulation of new content.”
20
Henry Jenkins dalam Jean Burgess & Joshua Green. 2009. Youtube: Digital Media and Society Series. Cambridge: Polity Press. Hal. 10
16
Participatory culture di sini menjelaskan karakteristik Youtube sebagai media baru mendorong secara aktif partisipasi penggunanya sendiri di dalamnya untuk menentukan konten dan sirkulasinya. Jika kita melihat media konvensional seperti televisi, radio, maupun surat kabar, partisipasi publik bisa dibilang masih mendapatkan porsi yang sedikit. Informasi/konten
yang
dipublikasikannya
masih
bergantung
kuat
oleh
kepentingan internal media itu. Kepentingan yang dimaksud dapat berupa kepentingan ekonomi, politik, dan lain sebagainya. Partisipasi langsung publik masih terbatas pada rubrik media yang menyediakan konten untuk opini publik. Ini pun masih bisa dipolitisasi oleh media dengan cara seleksi. Mereka dapat menentukan opini publik mana yang akan dipublikasikan tergantung kebijakan maupun agenda redaksional dan kepentingan lain yang mempengaruhi media tersebut. Maka dari itu otoritas publik—dalam hal ini pengguna/pengakses situs Youtube—menjadikan media Youtube memiliki karakteristik unik dibandingkan media konvensional lainnya (televisi, radio, surat kabar, dan lain sebagainya). Individu-individu
pengguna
Youtube
memiliki
kesempatan
secara
aktif
berpartisipasi sekaligus memiliki otoritas di dalamnya untuk menentukan konten dan sirkulasinya.
E.3. Representasi Pesan dalam Media Sosial (Youtube) Sebagian
besar
literatur
maupun
penelitian
memang
sering
membahas/meneliti representasi pesan (kajian semiotik misalnya) dalam proses komunikasi di media massa kovensional seperti surat kabar, televisi, hingga film. Mungkin masih sedikit penelitian/literatur yang membahas/meneliti perihal representasi pesan (dalam cakupan kajian semiotik) melalui media sosial seperti Youtube. Tidak seperti media massa konvensional pada umumnya dimana seperti kegiatan transmisi pesan dan kebijakan penentuan konten umumnya menjadi otoritas dari beberapa kelompok (redaksional) dari suatu media massa. Maka, berbeda dengan di media sosial seperti Youtube, transmisi pesan dan penentuan konten tergantung dari keinginan masing-masing kelompok bahkan individuindividu yang memiliki akses ke media sosial (akses internet). Dalam Youtube
17
misalnya, setiap pemiliki akun di situs Youtube memiliki kesempatan yang sama untuk posting atau mengunggah video dengan konten/pesan sesuai keinginan mereka. Jika representasi dimaknai sebagai proses penyampaian kembali gambaran atau konsep mengenai sesuatu untuk menghasilkan makna tertentu dalam sebuah proses komunikasi, maka, representasi dalam media sosial seperti Youtube pun bisa saja terjadi. Makna yang ingin disampaikan dalam representasi pesan dalam media baru sesuai dengan latar belakang kultur, ideologi, serta tujuan dari individu-indivdu maupun kelompok-kelompok yang mengakses media sosial dan mentransmisikan
pesan
kepada
orang
lain/khalayak
ramai
(pengguna
internet/media sosial). Pada dasarnya sama saja seperti di media sosial (Youtube) reperesentasi pesan (sekaligus konstruksi makna) yang terjadi di media massa (surat kabar, televisi) otoritasnya juga terletak pada individu di dalamnya seperti pemilik modal maupun kepala redaksi, selain itu juga pada kesepakatan komunal (redaksional) yang pada dasarnya juga terdiri dari pemikiran-pemikiran tiap-tiap individu di dalam suatu institusi media massa. Reperesentasi pesan melalui media pada umumnya pada dasarnya menimbulkan suatu makna tertentu yang memiliki peluang untuk berbeda atau tidak sama persis dengan realitas yang ada. Hal itu bisa dikarenakan karena sebenarnya segala realitas yang ada di dunia ini sungguh luas, sedangkan penyampaian pesan terbatas dalam penyampaiannya melalui bahasa (yang merupakan sistem tanda untuk menyampaikan pesan sekaligus makna seperti yang telah disinggung sebelumnya) adalah terbatas dan tidak bisa merepresentasikan keseluruhan realitas yang ada di dunia ini secara sama persis. Dalam hal ini melalui representasi, pesan dan makna dapat tereduksi dari realitasnya. Selain karena keterbatasan sistem bahasa dalam merepresentasikan pesan dan makna, media pada umumnya juga kadang memiliki maksud dan tujuan tertentu untuk melakukan representasi (bisa karena motif ekonomi, politik, ideologi, dan lain sebagainya). Croteau dan Hoynes menjelaskan bahwa representasi melalui media merupakan hasil seleksi dari realitas dimana beberapa
18
realitas diangkat dan dibesar-besarkan sedang beberapa yang lain tertutupi bahkan dihilangkan.21 Sebagaimana film, video-video di Youtube pun memiliki elemen-elemen dalam kontennya—berupa audio visual—yang merupakan aspek penting sebagai sistem proses representasi sekaligus konstruksi makna. Aspek audio maupun visual dalam video Youtube merupakan sistem bahasa tersendiri yang menentukan makna apa yang sebenarnya direpresentasikan sekaligus dikonstruksikan melaluinya. Aspek audio yang dimaksud seperti dialog, gaya bicara tokoh/sosok yang ada di dalam video, jingle/musik pengiring, dan lain sebagainya. Sedangkan aspek visual seperti pencahayaan, teknik pengambilan gambar/pengaturan kamera, dan lain sebagainya.
F. Kerangka Konsep F.1. Konsep Partisipasi Politik Partisipasi sendiri secara harafiah dapat dimaknai sebagai keikutsertaan.22 Dalam konteks politik, maka partisipasi politik dapat berarti kekutsertaan warga dalam berbagai proses politik. Sastroatmodjo sendiri mengartikan partisipasi politik sebagai kegiatan yang dilakukan warga negara untuk terlibat dalam proses pengambilan keputusan dengan tujuan untuk mempengaruhi pengambilan keputusan yang dilakukan pemerintah.23 Sastroatmodjo mengklasifikasikan partisipasi politik masih dalam ranah yang sempit, yaitu kegiatan warga negara dalam mempengaruhi kebijakan (policy) pemerintah, dalam hal ini lebih spesifik yaitu pengambilan keputusan. Pawito dalam bukunya juga menjelaskan penjabaran lain dari konsep partisipasi politik, yaitu partisipasi politik secara singkat biasanya dipahami sebagai keikutsertaan warga negara dalam proses-proses politik secara sukarela.24 Kata warga negara di sini merujuk pada individu atau mungkin kelompok21
David Croteau & William Hoynes. 1997. Media/Society: Industries, Images, and Audiences. California: Pine Forge Press. Hal. 134 22 Yandianto. 2001. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Bandung: Penerbit M2S. Hal. 412 23 Sudijono Sastroatmodjo. 1995. Perilaku Politik. Semarang: IKIP Semarang Press. Hal. 67 24 Pawito. 2009. Komunikasi Politik: Media Massa dan Kampanye Pemilihan. Yogyakarta: Jalasutra Hal. 222
19
kelompok dalam masyarakat yang bukan orang-orang yang duduk dalam lembaga-lembaga resmi seperti parlemen, jaksa, atau hakim. Dalam konsep ini penekanan terdapat pada aspek “sukarela”, artinya konsep ini mengklasifikasikan kegiatan partisipasi politik sebagai kegatan yang sifatnya sukarela oleh individuindividu/kelompok-kelompok warga negara/masyarakat. Konsep kesukarelaan dalam partisipasi politik di atas juga sama halnya dengan yang dikemukakan oleh Herbert McClosky. Herbert menjelaskan konsep partisipasi politik sebagai berikut:25 “The term political participation will refer to those voluntary activities by which members of society share in the selection of rulers and, directly or indirectly, in the formation of public policy.” (Partisipasi politik adalah kegiatan-kegiatan sukarela dari warga masyarakat melalui mana mereka mengambil bagian dalam proses pemilihan penguasa, dan secara langsung atau tidak langsung, dalam proses pembentukan kebijakan umum). Di negara-negara demokrasi umumnya dianggap bahwa lebih banyak partisipasi masyarakat dalam politik maka akan lebih baik kualitas demokrasi (proses politik) di negara tersebut. Sebaliknya, tingkat partisipasi yang rendah umumnya dianggap kurang baik, karena dapat ditafsirkan bahwa banyak warga tidak menaruh perhatian pada masalah kenegaraan. Selain itu juga dikhawatirkan juga kualitas proses politik/penyelenggaraan negara akan rendah karena kurangnya aspirasi masyarakat yang diterima pemerintah akibat dari kurangnya partisipasi politik dari warga negaranya. Negara demokrasi juga umumnya menganggap partisipasi politik yang sifatnya sukarela/tanpa paksaan sangatlah penting bagi kemajuan demokrasi. Dikarenakan partisipasi politik yang sukarela/tanpa paksaan merupakan cerminan sikap/aspirasi murni dari warga negaranya. Hal ini tentunya sejalan dengan konsep demokrasi. Seperti kita ketahui bersama, aspirasi, ide, gagasan, maupun partisipasi yang nyata dan benar-benar datang dari keinginan diri setiap individu
25
Herbert McClosky dalam Miriam Budiardjo. 2008. Dasar-dasar Ilmu Politik (Edisi Revisi). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Hal. 367
20
warga negara yang dilakukan tanpa paksaan atau tekanan dari siapapun adalah hal yang penting dalam suatu negara demokrasi. Selain itu demokrasi juga menjamin hak-hak setiap warganya untuk menyampaikan ide, gagasan, partisipasi mereka secara pribadi dalam proses penyelenggaraan negara (proses politik) tanpa dipengaruhi/diintervensi oleh pihak lain. Walaupun demikian, dalam negara demokrasi, aktifitas partisipasi politik secara tidak sukarela/dengan paksaan tetap mungkin saja terjadi tetapi mungkin secara terselubung/tersembunyi. Di negaranegara dengan sistem non-demokrasi seperti komunis ataupun sistem kenegaraan yang sifatnya tradisional (kerajaan/monarki), praktik partisipasi politik secara tidak sukarela/dengan paksaan memiliki peluang yang lebih besar untuk terjadi dibandingkan di negara dengan sistem demokrasi. Partisipasi politik secara tidak sukarela/dengan paksaan bisa saja terjadi karena dipaksakan oleh suatu kelompok atau bahkan oleh penguasa/pemimpinnya sendiri di suatu negara. Maka dari itu, Huntington dan Nelson memiliki konsep tersendiri untuk mengklasifikasikan jenis partisipasi politik. Mereka berpendapat bahwa partisipasi politik seseorang/kelompok ada yang sifatnya otonom (autonomous participation) dan partisipasi yang dimobilisasi atau dikerahkan oleh pihak lain (mobilized participation).26 Sedangkan menurut Norman H. Nie dan Sidney Verba:27 “By political participation we refer to those legal activities by private citizens which are more or less directly aimed at influencing the selection of governmental personnel and/or the actions they take.” (Partisipasi politik adalah kegiatan pribadi warga negara yang legal yang sedikit banyak langsung bertujuan untuk mempengaruhi seleksi pejabatpejabat negara dan/atau tindakan-tindakan yang diambil oleh mereka). Berbeda lagi dengan konsep-konsep sebelumnya, Konsep menurut Norman dan Sidney di atas memasukkan aspek khusus. Menurut mereka, partisipasi politik dipersempit ke dalam kegiatan-kegiatan yang sifatnya legal.
26
Huntington & Nelson dalam Miriam Budiarjo. 1982. Partisipasi dan Partai Politik. Jakarta: PT. Gramedia. Hal. 370 27 Norman H. Nie & Sidney Verba dalam Ibid. Hal. 2
21
Lain lagi dengan Samuel P. Huntington dan Joan M. Nelson, mereka memberikan penafsiran yang lebih luas dengan memasukkan secara eksplisit tindakan ilegal dan kekerasan, sebagai berikut:28 “By political participation we mean activity by private citizens designed to influence government decision making. Participation may be individual or collective, organized or spontaneous, sustained or sporadic, peaceful or violent, legal or illegal, effective or ineffective.” (Partisipasi politik adalah kegiatan warga yang bertindak sebagai pribadipribadi, yang dimaksud untuk mempengaruhi pembuatan keputusan oleh pemerintah. Partisipasi bisa bersifat individual atau kolektif, terorganisir atau spontan, mantap atau sporadik, secara damai atau dengan kekerasan, legal atau ilegal, efektif atau tidak efektif). Lebih lanjut, Samuel P. Huntington dan Joan M. Nelson mencoba merangkum dan mengklasifikasikan jenis-jenis perilaku partisipasi politik dari kebanyakan riset yang sudah ada. Klasifikasi yang mereka kemukakan mencakup tindakan yang sifatnya legal maupun ilegal. Mereka mengklasifikasikannya ke dalam beberapa jenis, yaitu berupa:29 a.
Kegiatan Pemilihan Hal ini mencakup kegiatan-kegiatan dalam pemilihan umum, seperti menggunakan hak pilih, bekerja (berpartisipasi aktif) dalam proses pemilihan umum, hingga berkontribusi dalam kampanye dan mencari dukungan bagi seorang calon/kandidat dalam Pemilu, serta setiap tindakan yang bertujuan mempengaruhi hasil proses pemilihan. Sebagai contoh bentuk tindakan yang ilegal seperti money politic, intimidasi, pemalsuan hasil-hasil pemilihan umum, dan lain sebagainya.
b.
Lobbying Mencakup
upaya-upaya
perorangan
atau
kelompok
untuk
menghubungi pejabat-pejabat pemerintah dan pemimpin-pemimpin politik dengan maksud mempengaruhi keputusan-keputusan mereka 28
Samuel P. Huntington & Joan M. Nelson dalam Miriam Budiarjo. Op.Cit. Hal. 368 Samuel P. Huntington & Joan M. Nelson. 1994. Partisipasi Politik di Negara Berkembang. Jakarta: PT Rineka Cipta. Hal. 16 29
22
mengenai persoalan-persoalan yang menyangkut sejumlah besar orang. Yang termasuk dalam kegiatan lobbying salah satunya seperti kegiatan demonstrasi. c.
Kegiatan Organisasi Hal ini menyangkut partisipasi sebagai anggota atau pejabat dalam suatu organisasi yang tujuannya yang utama dan eksplisit adalah mempengaruhi pengambilan keputusan pemerintah.
d.
Mencari Koneksi (Contacting) Merupakan
tindakan
yang
ditujukan
kepada
pejabat-pejabat
pemerintah untuk mencari koneksi dengannya dengan maksud untuk menyampaikan tujuan tertentu serta untuk mempengaruhi suatu kebijakan pemerintah. Klasifikasi ini dapat berwujud legal maupun ilegal. Secara ilegal seperti praktik penyuapan terhadap pejabat negara. e.
Tindak Kekerasan (Violence) Tindak kekerasan juga dapat diklasifikasikan ke dalam jenis perilaku partisipasi politik—yang secara umum merupakan tindakan ilegal. Tindakan ini pada umumnya tetap bertujuan untuk mempengaruhi pengambilan keputusan pemerintah dengan jalan menimbulkan kerugian fisik terhadap orang-orang atau harta benda untuk menekan pihak pemerintah. Oleh karena itu, penggunaan kekerasan biasanya mencerminkan motivasi-motivasi yang cukup kuat seperti untuk mengubah pimpinan politik (kudeta), mempengaruhi kebijakan pemerintah (pemberontakan), hingga untuk mengubah sistem politik yang ada (revolusi).
Sedangkan berdasarkan bentuknya, Abramson dan Hardwick membagi partisipasi politik menjadi dua jenis, yaitu:30 1.
Partisipasi Politik Konvensional Bentuk partisipasi politik konvensional dapat berupa menggunakan hak suara dalam pemilihan umum, ikut ambil bagian dalam kegiatan-
30
Abramson & Hardwick dalam Pawito. Op.Cit. Hal.223
23
kegiatan
kampanye,
bergabung
dalam
kelompok
kepentingan
tertentu/organisasi, melakukan lobi-lobi politik untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu, serta menjadi kandidat politik. 2.
Partisipasi Politik Non-konvensional Partisipasi politik non-konvensional mencakup berbagai kegiatan yang cenderung melibatkan banyak orang dalam suatu bentuk kelompok massa (seperti demonstrasi) dan kadang disertai dengan pelanggaran tertib hukum dan kekerasan. Partisipasi politik non-konvensional dapat diterima secara luas apabila tidak disertai aksi perusakan atau kekerasan, seperti misalnya aksi demonstrasi dengan cara berpawai sambil membawa spanduk dan poster yang berisi tentang berbagai tuntutan, mengkoordinasikan aksi pemogokan di kalangan buruh atau menuntut kenaikan upah, perbaikan kondisi kerja, dan peningkatan jamisan sosial, serta lain sebagainya.
Sedangkan berdasarkan sifatnya, Sastroatmodjo membagi partisipasi politik menjadi dua jenis, yaitu:31 1.
Partisipasi Aktif Partisipasi aktif dapat berupa warga negara mengajukan usul kebijakan, mengajukan alternatif kebijakan, mengajukan saran dan kritik untuk mengoreksi kebijakan pemerintah, mengajukan tuntutan.
2.
Partisipasi Pasif Partisipasi pasif berupa kegiatan mentaati peraturan pemerintah serta menerima dan melaksanakan setiap keputusan pemerintah yang sudah ada dan ditentukan.
Dengan demikian, partisipasi aktif merupakan kegiatan warga negara yang lebih bersifat aktif dan inovatif untuk mencapai sebuah perubahan atau terwujudnya hal baru dalam hal kebijakan pemerintah maupun dalam hal prosesnya. Sedangkan partisipasi pasif lebih menekankan pada kegiatan yang
31
Sastroatmodjo dalam Heni Ainul Faridah. 2013. “Makalah Partisipasi Politik”. Diakses pada 3 November 2014. Terarsip di: http://henisuperwoman.blogspot.com/2013/06/normal-0-false-falsefalse-in-x-none-x_11.html
24
sifatnya
mempertahankan
stabilitas
jalannya
kebijakan
pemerintah
(peraturan/perundangan negara) yang sudah ada. Melihat banyaknya versi-versi konsep partisipasi politik seperti yang telah dijabarkan sebelumnya, maka secara umum partisipasi politik dapat dipahami secara luas. Partisipasi politik dapat dimaknai secara luas sebagai kegiatan individu/kelompok warga negara/masyarakat baik secara sukarela (autonomous participation) atau tidak (mobilized participation), legal atau ilegal dalam prosesproses politik di suatu negara. Proses-proses politik yang dimaksud dapat berupa partisipasi dalam proses seleksi pejabat/pemimpin negara ataupun kegiatan lainnya seperti kegiatan mempengaruhi kebijakan pemerintah, atau kegiatan mempengaruhi pemerintah dalam mengambil kebijakan dan lain sebagainya baik secara sukarela/tidak maupun legal/ilegal. Pandangan
lainnya
datang
dari
Rush
dan
Althoff.
Mereka
mengidentifikasikan bentuk-bentuk partisipasi politik ke dalam suatu hirarki. Hirarki tertinggi dari bentuk partisipasi politik menurut Rush dan Althoff adalah menduduki jabatan politik atau administratif. Sedangkan bentuk partisipasi politik yang menempati posisi terendah dalam hirarki tersebut adalah apati secara total, yaitu orang yang tidak melakukan aktivitas politik apapun secara total. Konsep hirarki partisipasi politik oleh Rush dan Althoff dapat digambarkan ke dalam gambar sebagai berikut:32
32
Michael Rush & Philip Althoff dalam Damsar. 2010. Pengantar Sosiologi Politik. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Hal. 185
25
Gambar 1.A Hirarki Partisipasi Politik
Menduduki jabatan politik atau administratif Mencari jabatan politik atau administratif Menjadi anggota aktif dalam suatu organisasi politik Menjadi anggota pasif dalam suatu organisasi politik Menjadi anggota aktif dalam suatu organisasi semi politik Menjadi anggota pasif dalam suatu organisasi semi politik Partisipasi dalam rapat umum, demonstrasi dan sebagainya Partisipasi dalam diskusi politik informal Partisipasi dalam pemungutan suara (voting), seperti dalam Pemilu Apati total
Sumber: Michael Rush dan Philip Althoff dalam Damsar (2010:185)
Dari gambar tersebut dapat dijelaskan bahwa garis vertikal dari segitiga di atas menunjukkan tingkatan kedudukan (level) partisipasi politik. Sehingga semakin tinggi kedudukan suatu bentuk partisipasi politik dalam gambar tersebut, maka semakin tinggi pula kedudukan partisipasi tersebut dalam hirarki yang ada. Sedangkan garis horisontal dari segitiga di atas menunjukkan tingkatan kuantitas (jumlah) individu-individu dalam bentuk tertentu dari suatu partisipasi politik. Semakin panjang garis horisontal, maka semakin tinggi kuantitas individuindividu dalam suatu partisipasi politik. Dengan kata lain, jika merujuk pada gambar di atas, maka, menurut Rush dan Althoff semakin tinggi tingkat
26
kedudukan suatu bentuk partisipasi politik dalam hirarki tersebut, maka, semakin sedikit tingkatan kuantitas individu-individu yang ada di dalamnya (pelakunya). Pandangan mereka ini setidaknya sesuai dengan realitas yang ada. Dimana bentuk-bentuk partisipasi politik yang cenderung menduduki peringkat bawah dalam hirarki tersebut kenyataannya memang merupakan bentuk partisipasi politik yang cenderung dapat dilaksanakan oleh banyak orang atau masyarakat pada umumnya. Dalam hirarki di atas contohnya seperti bentuk partisipasi politik berupa partisipasi dalam pemungutan suara (voting), seperti dalam Pemilu. Sebaliknya, bentuk-bentuk partisipasi politik yang cenderung menduduki peringkat atas dalam hirarki tersebut kenyataannya memang merupakan bentuk partisipasi politik yang cenderung hanya individu-individu tertentu yang dapat melaksanakannya. Dengan kata lain hanya memberikan peluang yang sedikit bagi jumlah masyarakat yang dapat ikut berpartisipasi dalam bentuk partisipasi yang cenderung menduduki peringkat atas. Dalam hirarki di atas contohnya seperti bentuk partisipasi politik berupa menduduki jabatan politik atau administratif. Seperti kita ketahui bahwa jabatan politik atau administratif kuantitasnya terbatas, sehingga tidak semua masyarakat dapat mendudukinya dan ikut berpartisipasi di dalamnya.
F.2. Partisipasi Politik Warga Negara dalam Pemilihan Umum Jika berbicara mengenai apa saja bentuk partisipasi politik yang dapat dilakukan warga negara dalam Pemilihan Umum (Pemilu), maka mungkin kebanyakan orang akan memberikan jawaban yaitu kegiatan untuk menggunakan hak pilih. Hak memilih warga negara Indonesia sebagai salah satu bentuk partisipasi politik dalam Pemilu tercantum dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, pasal 27, ayat (1). Bunyi yang sama juga terdapat dalam Undangundang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Legislatif, pasal 19 ayat (1). Ayat tersebut berbunyi:
27
“Warga Negara Indonesia yang pada hari pemungutan suara telah genap berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih atau sudah/pernah kawin mempunyai hak memilih.” Pemilu merupakan sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat dimana rakyat dapat memilih pemimpin politik secara langsung.33 Pada dasarnya pelaksanaan Pemilu merupakan perwujudan prinsip bahwa kedaulatan negara berada di tangan rakyat. Artinya setiap warga negara memiliki kedaulatan (wewenang) untuk menentukan siapa yang akan menduduki jabatan tertentu (seperti eksekutif dan legislatif) dan akan memimpin/mewakili aspirasi serta kepentingan mereka sebagai warga negara. Mengingat proses Pemilu ini merupakan perwujudan kedaulatan setiap warga negara, maka partisipasi aktif warga negara diperlukan di dalamnya untuk suksesnya Pemilu. Sebenarnya partisipasi politik warga negara dalam Pemilu tidak hanya sekadar menggunakan hak pilih saja. Ada hal lain yang dapat dilakukan oleh warga negara sebagai perwujudan partisipasi politik dalam Pemilu. Peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Nomor 23 Tahun 2013 tentang Partisipasi Masyarakat dalam Penyelenggaraan Pemilihan Umum menjabarkan Partisipasi Masyarakat dalam Pemilu melalui konsep Hak dan Kewajiban Masyarakat. Dalam Peraturan KPU tersebut, pasal 6 mengatur hak-hak masyarakat dalam penyelenggaraan partisipasi mereka dalam Pemilu. Hak-hak itu meliputi: a.
memperoleh informasi publik terkait dengan Pemilu sesuai peraturan perundang-undangan;
b.
menyampaikan dan menyebarluaskan informasi publik terkait dengan Pemilu;
c.
berpendapat, menyampaikan pikiran baik lisan maupun tulisan;
d.
ikut serta dalam proses penyusunan kebijakan atau peraturan Pemilu;
e.
ikut serta dalam setiap tahapan Pemilu;
f.
ikut serta dalam evaluasi dan pengawasan penyelenggaraan Pemilu;
33
Abdul Hafiz Anshari. 2010. Modul I: Pemilu untuk Pemula. Diakses pada 9 November 2014. Terarsip di: http://kpu.go.id/dmdocuments/modul_1b.pdf. Hal. 1
28
g.
melakukan konfirmasi berdasarkan hasil pengawasan atau pemantauan penyelenggaraan Pemilu; dan
h.
memberi usulan tindak lanjut atas hasil pengawasan atau pemantauan penyelenggaraan Pemilu.
Sementara itu di pasal 7 menjelaskan mengenai kewajiban masyarakat dalam penyelenggaraan partisipasi masyarakat dalam Pemilu. Kewajiban yang dimaksud berupa: a.
menghormati hak orang lain;
b.
bertanggung
jawab
atas
pendapat
dan
tindakannya
dalam
berpartisipasi; c.
menjaga prinsip-prinsip dalam partisipasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2;34 dan
d.
menjaga etika dan sopan santun berdasarkan budaya masyarakat.
Selain itu, dalam Peraturan KPU tersebut juga dijelaskan mengenai bentuk partisipasi masyarakat dalam Pemilu. Hal itu dijelaskan dalam pasal 8 ayat (1) yang berbunyi: “Partisipasi masyarakat pada Pemilu dapat dilakukan dalam bentuk: a) keterlibatan masyarakat dalam penyelenggaraan Pemilu; b) sosialisasi Pemilu; c) pendidikan politik bagi Pemilih; d) survei atau jajak pendapat; e) penghitungan cepat hasil Pemilu; dan f) pemantauan Pemilu.” Sedangkan pada ayat (2) sendiri menyebutkan bahwa Partisipasi Masyarakat dalam Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan oleh perseorangan maupun organisasi/kelompok masyarakat pada setiap tahapan Pemilu sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
34
Prinsip-prinsip dalam partisipasi di pasal 2 berupa: a) kesukarelaan; b) transparan; c) akuntabel; d) kredibel; e) kepastian hukum; f) kepentingan umum; g) proporsionalitas; h) profesionalitas; i) anti kekerasan; j) efisien; k) tidak memihak; l) efektif.
29
F.3. Pentingnya Partisipasi Politik demi Terciptanya Pemilu yang Berkualitas Wujud-wujud partisipasi politik masyarakat dalam Pemilu juga dijabarkan secara lebih rinci dalam buku berjudul Seri Pendidikan Politik: Menjadi Pemilih yang Baik dalam Pemilu 2004.35 Di dalam buku tersebut dijelaskan apa yang seharusnya dilakukan (wujud partisipasi politik) oleh masyarakat secara umum atau warga negara demi terciptanya Pemilu yang berkualitas dan berjalan dengan kompetisi yang adil. Wujud partisipasi politik masyarakat/warga negara dalam Pemilu yang dimaksud dalam buku tersebut dapat dijabarkan kurang lebih sebagai berikut: a.
Warga negara perlu memahami dan memperjuangkan bahwa hak pilih merupakan hak setiap warga negara yang telah memenuhi persyaratan yang ada tanpa tekanan dan paksaan dari pihak manapun. Agar terjamin hak pilihnya, warga negara perlu untuk memastikan bahwa namanya telah terdaftar sebagai pemilih sebelum hari pelaksanaan Pemilu tiba. Jika memang belum, maka, warga negara tersebut perlu melaporkannya ke petugas pendaftaran pemilih Pemilu untuk segera ditindaklanjuti dan namanya dapat terdaftar sebagai pemilih dalam Pemilu. Selain itu setiap warga negara juga perlu mewaspadai jika ada kejanggalan atau kecurangan dalam proses pendaftaran pemilih maupun dalam daftar pemilih yang sudah ada. Selain dalam proses pendaftaran ini, setiap warga negara juga perlu mengerti dan memahami tata cara penggunaan hak pilih di hari pelaksanaan Pemilu, supaya hak pilihnya tidak terbuang sia-sia karena dianggap tidak sah. Penggunaan hak pilih untuk memilih partai/kandidat dalam Pemilu ini juga perlu diperjuangkan oleh setiap warga negara agar
35
Buku Seri Pendidikan Politik: Menjadi Pemilih yang Baik dalam Pemilu 2004 diprakarsai oleh Program S2 Politik Lokal dan Otonomi Daerah Program Studi Ilmu Politik, PPs UGM bekerjasama dengan Departemen Dalam Negeri Republik Indonesia tahun 2003. Disusun oleh Riswandha Imawan, dkk.
30
benar-benar sesuai hati nurani/kepentingan setiap individu warga negara. Maka dari itu setiap warga negara perlu menghindari/menolak pemaksaan penggunaan hak pilih pada salah satu partai/kandidat tertentu oleh pihak lain. Praktik-praktik kecurangan mengenai hal ini yang perlu diwaspadai dalam Pemilu berupa praktik money politic, ancaman/intimidasi, hingga kecurangan dalam proses pemungutan dan perhitungan suara. b.
Warga negara perlu memahami bahwa pembentukan partai politik atau masuk dalam partai politik tertentu merupakan hak setiap warga negara. Tanpa partai politik sebagai peserta pemilu, maka tidak mungkin Pemilu dapat dilaksanakan. Mungkin hak yang satu ini sering tidak disadari oleh masyarakat luas bahwa setiap warga negara—dengan persyaratan yang ada—memilikinya. Hak untuk membentuk atau masuk ke partai politik tertentu juga sesuai dengan konsep dalam Undang-undang Dasar (UUD) yang menjamin kemerdekaan untuk berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pikiran—yang juga merupakan hak azasi manusia. Maka dari itu, setiap warga negara yang ingin bergabung ke dalam
suatu
partai
misalnya,
maka
sebelumnya
ia
wajib
memperhatikan latar belakang, ideologi, track record ataupun program kerjanya. Apakah partai politik tersebut berkualitas atau tidak dan apakah sesuai dengan kriteria individu yang akan bergabung ke dalamnya atau tidak. Selain itu perlu diwaspadai pula praktik oligarkhi maupun elitisme dalam sistem kerja partai karena tidak sesuai dengan prinsip demokrasi yang dianut negara kita. c.
Warga negara perlu memperjuangkan kebebasan informasi mengenai partai/kandidat yang berkompetisi dalam Pemilu. Kebebasan informasi yang dimaksud adalah adanya publikasi yang mendalam dan mudah terakses oleh masyarakat secara luas terhadap informasi mengenai partai/kandidat yang berkompetisi dalam
31
Pemilu. Informasi yang dimaksud berupa track record, latar belakang, visi-misi, hingga transparansi pendanaan (seperti dana untuk kampanye) partai/kandidat peserta Pemilu. Dalam hal ini selain peran media massa secara umum, warga negara secara umum juga dapat ikut berpartisipasi dalam kegiatan publikasi. Warga negara/masyarakat dapat ikut berpartisipasi melalui kampanye langsung dengan turun ke jalan atau melalui media sosial. Kebebasan informasi ini penting agar setiap warga negara dapat benar-benar dapat mempertimbangkan kandidat mana yang akan mereka pilih dalam Pemilu. Selain itu mereka juga dapat lebih objektif dalam memilih. d.
Warga negara perlu melakukan pengawasan terhadap proses Pemilu Warga negara perlu berpartisipasi dalam pengawasan proses Pemilu baik dari tingkat daerah hingga nasional. Pengawasan perlu dilakukan mulai dari kinerja badan-badan penyelenggara pemilu seperti Komisi Penyelenggara Pemilu (KPU) maupun Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) baik di tingkat bawah hingga pusat. Warga negara perlu memastikan setiap lembaga negara tersebut melaksanakan tugasnya dengan baik sehingga tercipta Pemilu yang berkualitas. Selain itu perlu dilakukan pengawasan-pengawasan terhadap pihak-pihak lain yang berpotensi melakukan kecurangan seperti partai/kandidat peserta Pemilu, pejabat publik, dan lain sebagainya.
G. Metodologi Penelitian G.1. Jenis Penelitian Penelitian
ini
merupakan
penelitian
kualitatif
deskriptif
dengan
menggunakan metode semiotik. Semiotik secara sederhana dapat dipahami sebagai studi tentang tanda. Tanda yang dipelajari dalam semiotik merupakan kesatuan dari sistem tanda baik berupa bahasa verbal berupa kata, gambar/visual, bahasa tubuh, bunyi/suara, serta objek lainnya yang dapat diklasifikasikan sebagai tanda. 32
Di dalam studi semiotik tanda merupakan konteks penting yang harus dipahami. Setidaknya tanda dibagi menjadi dua bagian, yaitu:
Penanda (Signifier) Penanda (Signifier) merupakan aspek material yang bisa dirasakan oleh panca indera dari sebuah simbol/tanda.
Petanda (Signified) Sedangkan petanda (signified) merupakan gambaran mental, pikiran, atau konsep dari sebuah simbol/tanda.
Kedua unsur di atas tidak dapat dipisahkan untuk dapat memperoleh makna yang diinginkan. Sedangkan hubungan di antara keduanya disebut sebagai signifikasi (signification). Unsur teks atau verbal yang diteliti dalam penelitian ini tidak hanya sebagai bahasa atau aspek linguistik, namun dapat dipahami lebih luas sebagai aspek yang terkodifikasi dalam sebuah sistem. Jadi, aspek teks/verbal dalam penelitian ini juga merupakan aspek yang diteliti dengan memperhatikan unsur/atau sistem yang mengikatnya, dalam hal ini berupa unsur visualisasi (konsep film/sinematografi) dan juga sound. Roland Barthes memiliki konsep dalam menganalisis makna dari tandatanda. Dia memiliki konsep signifikasi dua tahap (two order of signification).36 Lewat konsep ini, Barthes menjelaskan bahwa signifikasi terdiri dari dua tahap. Tahap pertama merupakan hubungan antara penanda dan petanda di dalam sebuah tanda terhadap realitas eksternal. Tahap inilah yang disebut Barthes sebagai denotasi, yaitu makna yang paling nyata dari tanda. Lalu pada tahap kedua tanda yang dihasilkan dari tahap pertama tadi bertemu dengan perasaan atau emosi dari seseorang serta nilai-nilai dari kebudayannya yang pada akhirnya membentuk tanda/pemaknaan baru yang disebut dengan konotasi (tahapan kedua).
36
Indiwan Seto Wahyu Wibowo. 2011. SEMIOTIKA KOMUNIKASI: Aplikasi Praktis bagi Penelitian dan Skripsi Komunikasi. Jakarta: Mitra Wacana Media. Hal. 16
33
Gambar 1.B Sistem Semiotik Dua Tahap menurut Roland Barthes
Denotasi
1. Penanda 2. Petanda (Signifier) (Signified) 3. Tanda (Sign) I. PENANDA (SIGNIFIER)
II. PETANDA (SIGNIFIED)
Konotasi III. TANDA (SIGN) Sumber: Roland Barthes dalam Indiwan Seto Wahyu Wibowo (2011:17)
Konotasi memiliki makna yang subjektif atau bisa juga intersubjektif. Dengan kata lain denotasi (tahap pertama) adalah apa yang digambarkan tanda terhadap sebuah objek, sedangkan makna konotasi adalah bagaimana cara menggambarkannya.
G.2. Metode Pengumpulan Data Dalam penelitian ini, pengumpulan data akan bersumber dari dua jenis sumber data, yaitu sumber data primer dan sumber data sekunder. a.
Sumber Data Primer Sumber data primer dalam penelitian ini adalah materi video-video berupa data digital dari akun Youtube “CameoProject” dan “PROJECT SLINGSHOT” yang sudah dilakukan penarikan sampel. Penjelasan mengenai teknik sampling yang digunakan serta sampel yang diambil sebagai objek penelitian dapat dilihat pada bab I (sub bab “Objek Penelitian”).
b.
Sumber Data Sekunder Sumber data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini diambil dari buku/pustaka, artikel/referensi dari internet, dan sumber data lainnya yang memungkinkan dijadikan data untuk mendukung penelitian ini. 34
G.3. Metode Analisis Data Analisis data dalam penelitian ini yang berkaitan dengan isi pesan dalam video tentunya berkaitan dengan apa dan bagaimana konsep partisipasi politik warga negara dalam Pemilu yang coba disampaikan maupun direpresentasikan melalui video tersebut. Maka dari itu peneliti mencoba untuk merangkum konsep/bentuk-bentuk partisipasi politik yang dapat dilakukan oleh warga negara secara umum dalam Pemilu sesuai dengan apa yang sudah dijabarkan sebelumnya di kerangka konsep. Dari penjabaran di bagian kerangka konsep, dapat dirumuskan secara garis besar bahwa partisipasi politik yang dapat dilakukan warga negara secara umum dalam Pemilu dapat berupa: a.
Menggunakan hak pilih itu sendiri yang merupakan esensi dasar dari partisipasi politik dalam Pemilu.
b.
Sosialisasi kepada masyarakat mengenai hal yang sifatnya teknis mengenai Pemilu. Seperti cara mencoblos, informasi hari pemungutan suara, atau seperti cara untuk mencoblos di tempat lain, dan lain sebagainya.
c.
Mengkampanyekan atau memberikan pendidikan politik kepada masyarakat mengenai konsep partisipasi politik dalam Pemilu seperti pentingnya menggunakan hak pilih.
d.
Melakukan pengawasan terhadap keseluruhan proses Pemilu.
e.
Masuk ke dalam partai politik atau membentuk partai politik sebagai perwujudan dari kemerdekaan untuk berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pikiran. Dengan kata lain mencalonkan diri sebagai kandidat (seperti calon presiden/wakil presiden dan calon anggota legislatif) yang berkompetisi dalam Pemilu pun merupakan hak setiap warga negara jika memenuhi persyaratan yang ditentukan, dan merupakan bentuk partisipasi politik dalam Pemilu.
f.
Ikut mendukung kebebasan informasi mengenai partai/kandidat yang berkompetisi dalam Pemilu. Ini penting agar masyarakat benar-benar objektif dalam menentukan pilihannya.
35
g.
Ikut serta dalam kampanye politik partai/kandidat yang berkompetisi dalam Pemilu.
Agar tidak menyulitkan penelitian, diperlukan instrumen penelitian sebagai berikut:
Tabel 1.B Instrumen Penelitian Unit Terteliti
Unsur a. Teks/announcement b. Dialog antar tokoh
1. Naskah
a. b. c. d. e. f. g.
2. Visualisasi
a. Lirik lagu b. Jenis musik
3. Musik/jingle
Setiap
instrumen
Warna Objek Komposisi objek Gerak objek Ekspresi objek Setting (tempat,waktu, dan situasi) Teknik pengambilan gambar dan editing
penelitian
berperan
penting
dalam
membantu
menganalisis representasi makna dalam materi video yang diteliti. Selain itu, salah satu unsur dalam instrumen penelitian di atas yaitu teknik pengambilan gambar sendiri memiliki penjabaran lebih terperinci untuk mengetahui makna dibaliknya. Berger memiliki konsep untuk mengetahui arti/makna dibalik teknik pengambilan gambar (kamera). Konsep tersebut dijabarkan seperti di bawah ini:
Tabel 1.C Camera Shot, Definisi, dan Maknanya menurut Berger Camera Shot (Penanda)
Definisi
Extreme Close Up (ECU)
Sedekat mungkin dengan objek (misalnya hanya mengambil bagian dari
Makna (Petanda) Kedekatan hubungan dengan cerita dan atau pesan.
36
Close Up (CU)
wajah) Wajah keseluruhan sebagai objek
Medium Shot (MS)
Setengah badan
Long Shot ( LS)
Setting dan karakter
Full Shot (FS) Low Angle (LA)
Seluruh badan objek Posisi kamera lebih rendah dari objek
High Angle (HA)
Posisi kamera lebih tinggi dari objek
Keintiman, tetapi tidak sangat dekat. Bisa juga menandakan bahwa objek sebagai inti cerita. Hubungan personal antar tokoh dan menggambarkan kompromi yang baik. Konteks, skop, dan jarak publik. Hubungan sosial. Menunjukkan kekuasaan atau kekuatan dari objek. Menunjukkan kelemahan atau ketidakberdayaan dari objek.
Sumber: Arthur Asa Berger (1983)
Selain itu Berger juga memiliki konsep untuk mengetahui arti/makna dibalik teknik editing dan gerakan kamera. Konsep tersebut dijabarkan seperti di bawah ini:
Tabel 1.D Teknik Editing/Gerakan Kamera, Definisi, dan Maknanya menurut Berger Teknik Editing/gerakan Kamera (Penanda) Pan down Pan up
Zoom in/out
Fade in/out Cut
Definisi
Makna (Petanda)
Kamera bergerak dari bawah ke atas Kamera bergerak dari atas ke bawah Kamera bergerak ke dalam/ke luar, mendekati/menjauhi objek Image muncul dari gelap ke terang dan sebaliknya Perpindahan dari gambar
Menunjukkan kekuasan dan otoritas. Kekerdilan, kelemahan objek. Menunjukkan kedalaman pengamatan terhadap objek. Permulaan dan akhr cerita. Simultan, kegairahan.
37
satu ke gambar lain Seluruh bingkai gambar Flipframe seakan-akan terbalik dan muncul adegan baru Perpaduan bertahap dari akhir sebuah shot ke Dissolve dalam awal shot berikutnya dengan mendempetkan adegan Gambar “terhapus” dari Wipe layar Sumber: Arthur Asa Berger (1983)
Pembaharuan, perubahan.
Pemunculan image baru. Kesimpulan akhir dari seluruh adegan.
Makna yang ditimbulkan dari aspek teknis sinematografis menurut Berger di atas tidak semuanya dapat diaplikasikan ke dalam setiap shot atau scene dalam konten video. Hal ini tergantung kebutuhan naratif, kontekstual cerita, maupun estetis dalam suatu konten video. Dengan demikian peneliti akan mengaplikasikan unit analisis berupa teknik sinematografi ini sesuai dengan yang ada di dalam konten video yang diteliti. Agar mempermudah dalam menganalisis, peneliti akan mengurai videovideo yang menjadi objek dalam penelitian ini ke dalam unsur yang terkecil dari sebuah materi audio visual—secara sinematografis—yaitu berupa shot per shot beserta unsur lain yang menyertainya (bisa dilihat di bagian lampiran). Unsur lain itu berupa visual (bisa berupa teks), teknik pengambilan gambar/editing, dan juga audio (naskah, dialog, atau musik). Peneliti menyadari bahwa tidak semua shot-shot atau unsur-unsur dalam video-video yang diteliti memiliki signifikasi berupa makna representasi sesuai dengan topik penelitian ini. Maka dari itu, setelah setiap shot dan unsur yang menyertainya dijabarkan dalam lampiran, maka akan dipilih manakah shot-shot atau unsur-unsur dalam video yang memiliki signifikasi berupa makna representasi sesuai dengan topik penelitian ini. Shot-shot atau unsur-unsur dalam video yang terpilih akan dibahas dan dianalisis dengan metode analisis semiotik.
38