BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Penyakit kardiovaskuler (CVD), penyakit yang menyerang jantung dan sistem pembuluh darah, merupakan penyebab utama kematian di dunia. Diperkirakan 17,5 juta jiwa meninggal karena CVD pada tahun 2012, angka tersebut mewakili 31% dari jumlah kematian di dunia. Dari kematian akibat CVD diperkirakan 7,4 juta diantaranya disebabkan oleh penyakit jantung koroner dan 6,7 juta lainnya oleh stroke (WHO, 2015). Berbagai macam manifestasi CVD yang mengancam kehidupan seperti trombosis
pembuluh
darah
otak,
infark
miokardial,
jantung
koroner,
aterosklerosis, dan metastasis tumor disebabkan oleh gangguan fungsi platelet (Dogne et al., 2002). Platelet adalah sumber alami faktor pertumbuhan, memiliki peran penting pada pembentukan trombosis melalui aktivasi platelet, adhesi, dan agregasi (Shantsila et al., 2009). Platelet berada di sirkulasi peredaran darah pada mamalia dan terlibat dalam hemostasis serta mengawali penggumpalan darah. Apabila jumlah platelet terlalu tinggi, darah akan menggumpal pada pembuluh darah mengakibatkan beberapa peristiwa seperti stroke, infark miokardial, embolisme pulmonari atau bahkan penyumbatan pembuluh darah (Wu et al., 2008). Selain itu kondisi hiperagregasi maupun hiperaktivasi platelet juga menjadi salah satu penyebab CVD (Willoughby et al., 2002).
1
2
Antiplatelet seperti aspirin, ticlopidin, dan prednison sering digunakan untuk mencegahan CVD pada pasien dengan riwayat CVD maupun yang rentan terhadap CVD (Pimentel et al., 2003). Namun, obat antiplatelet yang ada saat ini masih memiliki keterbatasan dalam penggunaan dan efikasinya. Sehingga pencarian dan pengembangan generasi baru antiplatelet menjadi target yang penting dalam menekan insidensi CVD. Pemanfaatan bahan alam sebagai alternatif pengobatan merupakan tren yang cukup populer saat ini dan penggunaannya mulai meningkat. Banyak molekul turunan dari tanaman memiliki efek terapeutik yang menjanjikan (Lokhande et al., 2007). Telah diketahui secara luas bahwa bahan alam terbukti sebagai senyawa penuntun dalam pengembangan kerangka obat baru (Cragg et al., 1997). Indonesia merupakan pusat keanekaragaman hayati dunia dan menduduki urutan terkaya kedua setelah Brazil. Diperkirakan terdapat 30.000 jenis tumbuhan hidup di Indonesia, diketahui sekurang-kurangnya 9.600 jenis tumbuhan berkhasiat sebagai obat dan hanya kurang dari 300 jenis yang telah digunakan sebagai bahan obat tradisional oleh industri obat tradisional (Anonim, 2007). Pencarian generasi baru antiplatelet dari bahan alam yang lebih efektif dan aman daripada aspirin telah banyak dilakukan (Amrani et al., 2009). Skrining antiplatelet pada 261 sampel invertebrata laut Filipina telah dilakukan oleh Pimentel et al (2003). Namun penelitian mengenai skrining aktivitas antiplatelet pada beberapa tanaman tropis Indonesia belum pernah dilakukan. Oleh karena itu, dilakukan penelitian pendahuluan untuk mengeksplorasi kekayaan alam Indonesia dalam rangka mencari agen antiplatelet dari bahan alam dengan efek samping
3
yang lebih kecil sehingga dapat dijadikan pengobatan alternatif dalam pencegahan insidensi CVD. Penelitian pendahuluan terhadap beberapa ekstrak tanaman asal Indonesia (Lampiran 1) dilakukan bersama Arief Eka Wardana, Muhammad Faishal Husni, dan Fatiya Farih Mufinnah dari Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada. Hasilnya menunjukkan bahwa ekstrak etanolik buah Piper cubeba L.f berpotensi sebagai agen antiplatelet. Sehingga, diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui aktivitas antiplatelet ekstrak etanolik buah P. cubeba.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, dapat dirumuskan permasalahan penelitian ini yaitu, apakah ekstrak etanolik buah P. cubeba mampu menghambat agregasi platelet terinduksi trombin?
C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui potensi aktivitas antiplatelet ekstrak etanolik buah P. cubeba pada platelet terinduksi trombin dengan metode agregometri. Data-data ilmiah yang dihasilkan dari penelitian ini menjadi informasi baru dan bisa digunakan sebagai landasan dalam pengembangan obat antiplatelet dari bahan alam.
4
D. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini adalah dapat memberikan informasi mengenai aktivitas antiplatelet ekstrak etanolik buah P. cubeba yang berpotensi sebagai agen antiplatelet.
E. Tinjauan Pustaka
1. Platelet dan Aktivasi Platelet Platelet berasal dari sitoplasma megakariosit dari sumsum tulang belakang. Platelet tidak memiliki DNA tetapi memiliki mRNA dan mesin translasional yang diperlukan untuk sintesis protein. Platelet yang berada dalam sirkulasi darah memiliki bentuk cakram oval dengan diameter 2-4 µm. Bentuk dan ukuran platelet tersebut memungkinkan platelet menjangkau bagian tepi pembuluh, menempatkan mereka pada lokasi optimum untuk meninjau integritas susunan pembuluh darah. Konsentrasi normal platelet dalam sirkulasi adalah 150.000450.000 sel/µl. 70% platelet berada dalam sirkulasi sedangkan 30% sisanya berada di dalam limpa. Platelet bertahan di sirkulasi hanya 10 hari. Setelah itu platelet dihilangkan dari sirkulasi oleh limpa dan liver setelah senescence, namun sejumlah kecil fraksi secara kontinyu dihilangkan melalui pemeliharaan integritas pembuluh (Sharathkumar & Shapiro, 2008). Platelet terlibat dalam berbagai proses yang berbeda seperti memicu inflamasi, melawan infeksi mikroba, promosi metastasis tumor, dan pemisahan pembuluh
5
darah limfa dan embrio, fungsi dasar platelet adalah menghentikan perdarahan dari pembuluh yang terluka (Leslie, 2010). Proses biokimia dan seluler platelet yang bertanggung jawab pada fungsi hemostasis dibagi menjadi empat tahap, yaitu adhesi, aktivasi, sekresi, dan agregasi (Bilous et al., 2014). Adhesi platelet pada kolagen terjadi melalui reseptor spesifik pada permukaan platelet, yang mencakup kompleks glikoprotein GPIa-IIa (α2β1 integrin) dalam sebuah reaksi yang melibatkan faktor von Willebrand. Faktor ini merupakan suatu glikoprotein yang disekresikan oleh sel endotel ke dalam plasma, yang menstabilkan faktor VIII dan terikat pada kolagen serta subendotel. Platelet terikat dengan faktor von Willebrand melalui sebuah kompleks glikoprotein (GPIb-V-IX) pada permukaan platelet, interaksi ini penting dalam proses pelekatan platelet pada subendotelium di bawah kondisi stress robekan yang tinggi pada pembuluh kecil serta arteri yang stenosis (Rand & Murray, 2006). Trombin yang terbentuk dari proses koagulasi, merupakan aktivator platelet yang paling poten dan mengawali aktivasi platelet melalui interaksi dengan reseptornya PAR-1 dan PAR-4 dan GPIb-IX-V pada membran plasma. Dalam keadaan ini, trombin bertindak sebagai pembawa pesan kimiawi eksternal (stimulus atau agonis). Interaksi trombin dengan reseptornya merangsang aktivasi enzim fosfolipase Cβ intrasel. Enzim ini menghidrolisis fosfatidil inositol 4,5bifosfat (PIP2, suatu polifosfoinositida) untuk membentuk dua molekul efektor internal, yaitu 1,2-diasilgliserol dan 1,4,5-inositol trifosfat (Rand & Murray, 2006).
6
Diasilgliserol merangsang enzim protein kinase C, yang melakukan fosforilasi protein pleckstrin (47 kDa). Fosforilasi protein ini mengakibatkan agregasi dan pelepasan isi granul simpanan. ADP yang dilepaskan dari granul padat dapat pula mengaktifkan platelet, sehingga mengakibatkan aktivasi platelet tambahan. IP3 menyebabkan pelepasan ion Ca2+ ke dalam sitosol terutama dari sistem tubular padat (atau retikulum endoplasma halus yang tersisa dari megakariosit) yang kemudian berinteraksi dengan kalmodulin serta enzim kinase rantai ringan myosin sehingga terjadi fosforilasi rantai ringan myosin tersebut. Rantai ini kemudian berinteraksi dengan aktin yang menyebabkan perubahan bentuk platelet (Rand & Murray, 2006). Aktivasi fosfolipase A2 platelet yang diinduksi oleh kolagen melalui peningkatan kadar Ca2+ dalam sitosol akan mengakibatkan pembebasan asam arakhidonat dari fosfolipid platelet yang menghasilkan pembentukan tromboksan A2, tromboksan A2 pada gilirannya dapat mengaktifkan lebih lanjut fosfolipase C yang meningkatkan agregasi platelet (Rand & Murray, 2006). Platelet teraktivasi melepaskan beberapa komponen granul yang memodulasi fungsi dari platelet yang saling berinteraksi. Granul pada platelet terdiri atas agonis sekunder seperti ADP dan serotonin. Beberapa preparat yang mencakup epinefrin, serotonin, dan vasopresin, memberikan efek sinergistik dengan sejumlah preparat pengagregasi lainnya (Rand & Murray, 2006).
7
2. Trombin Trombin adalah molekul 36000 dalton yang berasal dari pembelahan zymogen protrombin oleh komplek protombinase yang terbentuk dengan adanya ion kalsium dari fosfolipid platelet, faktor Va, dan faktor Xa. Trombin juga dikenal sebagai faktor IIa dan merupakan suatu serin protease. Trombin termasuk dalam anggota keluarga faktor koagulasi yang tergantung vitamin K. dikarakterisasi dengan domain ujung NH2 dari γ-asam karboksiglutamat (Gla). Trombin terdiri atas dua rantai polipeptida yang dihubungkan secara kovalen oleh ikatan tunggal disulfida. Rantai pendek A tidak memiliki peran yang fungsional, sedangkan rantai panjang B memiliki beberapa tempat pengikatan molekul (Louis & Jan, 2009). Fungsi penting trombin dalam proses koagulasi adalah mengubah fibrinogen menjadi fibrin serta mengubah faktor XIII menjadi faktor XIIIa (Rand & Murray, 2006). Selain itu, penelitian belakangan ini menunjukkan adanya kemungkinan trombin terlibat dalam intervensi farmakologi pada berbagai proses inflamasi, aktivasi sel darah pada pembuluh kapiler dan kemotaksis, aktivitas sel endotel dan otot polos, perkembangan sel dan perbaikan jaringan, mitogenesis, serta neoplasia (Louis & Jan, 2009).
8
Gambar 1. Jalur aktivasi platelet dan target antiplatelet
Trombin juga berperan penting dalam proses aterotrombosis. Trombin mengaktivasi platelet melalui interaksi dengan G-protein coupled receptor (Gambar 1), yaitu PAR-1 dan PAR-4. PAR-1 memiliki afinitas yang tinggi terhadap trombin dan menjadi agen utama dalam pengaliran sinyal yang dipicu oleh interaksi trombin-platelet. PAR-4 memiliki afinitas yang rendah terhadap trombin. PAR-4 bersama GPIbα menyempurnakan fungsi PAR-1 dalam proses aktivasi platelet (Badimon & Vilahur, 2008). Penghambatan aktivasi platelet terinduksi trombin dapat melalui antagonis PAR-1, yaitu menggunakan vorapaxar atau atopaxar (Franchi & Angiolillo, 2014).
9
3. Aspirin Sintesis aspirin di akhir abad ke-19 menandai perkembangan penggunaan analgesik secara luas di abad ke-20. Akan tetapi, dengan meningkatnya pengetahuan mengenai peran utama platelet pada penyumbatan pembuluh darah sepuluh tahun terakhir, pentingnya aspirin sebagai obat antiplatelet dan penggunaannya dalam mengurangi resiko trombosis pembuluh darah telah menjadi perhatian utama (McKee et al., 2002). Aspirin merupakan nama generik dari asam asetilsalisilat. Aspirin digunakan secara oral untuk mengurasi rasa sakit, pencegahan sekunder CVD, dan berbagai tujuan lain. Dalam British National Formulary, aspirin diklasifikasikan sebagai obat antiinflamasi non steroid, obat antiplatelet, dan analgesik non opioid. Waktu paruh aspirin dalam darah adalah sekitar 20 menit. Aksi utama aspirin sebagai antiplatelet adalah menghambat irreversible siklooksigenase 1 (COX-1). Penghambatan ini terjadi melalui asetilasi selektif dari gugus hidroksil serin pada residu serin 530 di sisi aktif enzim (Roth & Majerus, 1975). Mekanisme ini secara efektif memblok akses asam arakhidonat pada sisi aktif enzim mengakibatkan penghambatan irreversible COX-1 (DeWitt et al., 1990). Hal ini penting untuk sel tanpa inti, seperti platelet, karena mereka tidak dapat mengganti protein yang terinhibisi dengan enzim fungsional yang baru. Penghambatan tersebut bertahan lama untuk platelet, sekitar 8 hari (Schachter, 2005). Berdasarkan penelitian yang ada, dilaporkan beberapa dokumentasi mengenai peningkatan resiko pendarahan mayor dan minor serta gangguan gastrik yang berkaitan dengan penggunaan aspirin. COX-1 memproduksi prostaglandin yang
10
terlibat dalam fungsi fisiologis proteksi mukosa gastrik (Vane & Botting, 2003). Penghambatan COX-1 oleh aspirin memberikan mekanisme efek samping yang tidak diinginkan. Usaha untuk menghindari permasalahan gastrik termasuk pengembangan aspirin tablet salut, buffered tablets aspirin, dan nitric oxide aspirin, tidak memberikan pengaruh pada insidensi pendarahan gastrointestinal karena mengonsumsi aspirin dosis rendah jangka panjang (Hirata et al., 2011).
4. Light Transmission Aggregometry Light transmission aggregometry (LTA) atau juga dikenal sebagai agregometeri turbidimetri dikembangkan secara terpisah pada tahun 1962 oleh Born (Born, 1962) dan O`Brien (O`Brien, 1961) dianggap sebagai salah satu metode terbaik untuk menguji fungsi platelet, karena LTA menyediakan informasi penting mengenai diagnosa pasien dengan kelainan fungsi platelet. Prinsip dasar dari teknik ini sederhana. Cahaya melewati suspensi platelet yang keruh, keberadaan platelet pada suspensi tersebut menyebabkan cahaya dihamburkan sehingga mengurangi proporsi cahaya yang diteruskan secara langsung melewati suspensi platelet. Dengan adanya penambahan agonis pengagregasi, platelet membentuk gumpalan sehingga mengurangi kekeruhan suspensi akibatnya jumlah cahaya yang dihamburkan berkurang sampai hampir semua cahaya dapat melalui suspensi platelet tanpa halangan. Jumlah cahaya yang diteruskan direkam dan memberikan pengukuran kerapatan optik dari suspensi platelet. Kompleksitas respon platelet dengan turbiditi (kekeruhan) sangat jelas berhubungan dengan peningkatan maupun penurunan kecil dari kerapatan optik.
11
Perubahan kecil dapat dihasilkan akibat dari perubahan bentuk platelet, pelepasan isi granul platelet, dan agregasi platelet (Kitek & Breddin, 1980). Walaupun demikian, pengurangan nyata pada kerapatan optik (dari 0% ke 100%) yang diukur oleh agregometer sebagian besar jelas berhubungan dengan pembentukan agregat platelet yang besar dan padat (Born & Hume, 1967).
5. Piper cubeba L.f a. Klasifikasi Divisi
: Spermatophyta
Subdivisi
: Angiospermae
Kelas
: Dicotyledonae
Bangsa
: Piperales
Suku
: Piperacea
Marga
: Piper
Jenis
: Piper cubeba L.f (Tjitrosoepomo, 1994)
b. Morfologi P. cubeba merupakan herba tahunan yang tumbuh membelit dan memanjat. Batangnya tidak berkayu, lunak, beruas, cabang-cabang dengan permukaan licin dan simpodiil, dengan diameter batang 5-15 mm dan panjang 515 meter, mempunyai akar pelekat dan berwarna hijau. Daunnya merupakan daun tunggal, bulat telur dengan pangkal berbentuk jantung dan ujung meruncing, tepi rata, berseling atau tersebar. Bekas dudukan daun Nampak jelas. Panjang daun
12
8,5-15,5 cm, lebar 3-9,5 cm dan berwarna hijau. Bunga kemukus merupakan bunga majemuk, berbentuk bulir, panjang 3-10 cm, tangkai 6-20 mm, berwarna hijau. Daun pelindung memanjang sampai berbentuk elips, melekat pada tangkai bulir, benang sari berjumlah 3, berwarna putih, sedangkan putik berjumlah 3-5 dengan warna kuning kehijauan. Biji kecil dan berbentuk bola, berwarna putih kecoklatan. Akarnya serabut dan berwarna kuning kecoklatan (Syamsuhidayat & Hutapea, 1991). Buah P. cubeba berbentuk hampir bulat, umumnya bergaris tengah lebih kurang 5-10 mm, tebal kurang dari 1 mm, kadang-kadang bagian pangkal di daerah benjolan agak cekung, permukaan luar umumnya berkerut keras serupa anyaman jala, rata berwarna coklat tua kelabu sampai hitam dan permukaan dalam licin berwarna coklat muda (Anonim, 1977). c. Nama lain Di Indonesia tanaman ini memiliki nama umum kemukus, dan nama daerah kemekuh (Simalur), kemukus (Melayu), rinu (Sunda), kemukus (Jawa Tengah), kemokos (Madura), Pamukusu (Makasar) (Syamsuhidayat & Hutapea, 1991). P. cubeba sebagian besar tumbuh di Pulau Jawa dan Sumatra, oleh karena itu sering pula disebut merica jawa (Nahak & Sahu, 2011). d. Kandungan Buah P. cubeba mengandung senyawa lignan terdiri dari cubebin, hinokinin, clusin, dihydrocubebin, dihydroclusin, cubebinin, yatein, cubbinulide (cordigerine), dihydroyatein, isoyatein, cubebinone (Badheka et al., 1987), butyrolactane (Sudarsono et al., 1996).
13
e. Kegunaan dan khasiat Buah P. cubeba telah banyak digunakan sebagai campuran obat tradisional yang dimaksudkan untuk melancarkan air seni, mengobati penyakit kembung, dan sering digunakan untuk mengobati infeksi pada saluran kencing (Sudarsono et al., 1996). Selain sebagai obat tradisional, P. cubeba juga digunakan sebagai bumbu yang memberikan rasa khas pada masakan di Asia selatan dan Asia tenggara serta di Afrika barat (Lim, 2012). P. cubeba telah teruji memiliki efek antiinflamasi dan antiasma (Wahyono, 2005).
6. Ekstraksi Ekstraksi adalah proses penarikan zat pokok yang diinginkan dari bahan mentah obat dengan menggunakan pelarut yang dipilih di mana zat yang diinginkan larut (Ansel, 2005). Sistem pelarut yang digunakan dalam ekstraksi harus dipilih berdasarkan kemampuannya dalam melarutkan jumlah yang maksimum dari zat aktif dan seminimum mungkin bagi unsur yang tidak diinginkan. Metode ekstraksi dengan menggunakan pelarut dapat dibedakan menjadi cara dingin dan cara panas (Anonim, 2000). a. Cara dingin 1) Maserasi Maserasi adalah proses pengekstrakan simplisia menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur ruangan. Maserasi merupakan teknik ekstraksi untuk senyawa yang tidak tahan panas. Secara sederhana, maserasi sering disebut metode perendaman karena
14
prosesnya dilakukan dengan merendam sampel dalam pelarut tanpa mengalami proses lain kecuali penggojogan atau pengadukan (Syamsuni, 2006). Penggojogan secara berkala dilakukan untuk mempercepat proses ekstraksi. Maserasi biasanya diikuti dengan remaserasi, yaitu pengulangan penambahan pelarut setelah dilakukan penyaringan maserat (Anonim, 2000). Kelebihan maserasi yaitu dapat digunakan untuk jenis senyawa termostabil maupun termolabil. Selain itu, tidak diperlukan alat yang spesifik, dapat digunakan apa saja untuk proses perendaman dan prosedurnya sederhana (Agoes, 2007). Kekurangan maserasi adalah membutuhkan waktu yang lama, biasanya paling cepat 3x24 jam, dan membutuhkan pelarut dalam jumlah yang banyak. 2) Perkolasi Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai sempurna (exhaustive extraction) yang umumnya dilakukan pada temperatur ruangan. Proses terdiri dari tahapan pengembangan bahan, tahap maserasi antara, tahap perkolasi sebenarnya (penetesan/penampungan ekstrak), terus menerus sampai diperoleh ekstrak (perkolat) yang jumlahnya 1-5 kali bahan. b. Cara panas 1) Refluks Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan dengan adanya pendingin balik. Umumnya dilakukan pengulangan proses pada residu pertama sampai 3-5 kali sehingga dapat termasuk proses ekstraksi sempurna.
15
2) Soxhlet Soxhlet adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru yang umumnya dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi kontinyu dengan jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin balik. 3) Digesti Digesti adalah maserasi kinetik (dengan pengadukan kontinyu) pada temperatur yang lebih tinggi dari temperatur ruangan, yaitu secara umum dilakukan pada temperature 40°-50ºC. 4) Infus Infus adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur penangas air (bejana infus tercelup dalam penangas air mendidih, temperatur terukur 96º98ºC selama waktu tertentu (15-20 menit). 5) Dekokta Dekokta adalah infus pada waktu yang lebih lama (≥30 menit) dan temperatur sampai titik didih air.
7. Kromatografi Lapis Tipis Kromatografi lapis tipis (KLT) ialah metode pemisahan fisikokimia. Lapisan yang memisahkan terdiri atas bahan berbutir-butir (fase diam), ditempatkan pada penyangga berupa pelat gelas, logam, atau lapisan yang cocok. Campuran yang akan dipisah berupa larutan, ditotolkan berupa bercak atau pita. Setelah pelat atau lapisan diletakkan dalam bejana tertutup rapat yang berisi larutan pengembangan yang cocok (fase gerak), pemisahan terjadi selama perambatan kapiler
16
(pengembangan). Selanjutnya senyawa yang tidak berwarna harus dideteksi (Stahl, 1985). KLT dalam pelaksanaannya lebih mudah dan murah dibandingkan dengan kromatografi lain, termasuk dari segi peralatan juga dinilai sederhana dan dibutuhkan waktu yang relatif cepat dalam pengerjaannya (Rohman, 2009). Keuntungan dalam penggunaan KLT adalah dapat memilih fase gerak dengan lebih fleksibel, proses kromatografi dapat dilakukan dengan mudah dan dapat diberhentikan kapan saja, semua komponen dalam sampel dapat teramati dan berbagai teknik optimasi dapat dilakukan dengan KLT seperti pengembangan bertingkat, pengembangan dua dimensi, dan pembaceman penjerap (Rohman, 2009). Fase diam atau penjerap yang berupa lapisan tipis dapat dibuat dari silika yang telah dimodifikasi, resin penukar ion, gel eksklusi, dan sikoldekstrin yang digunakan untuk pemisahan kiral. Penjerap perlu dikontrol masalah keajegan ukuran partikel dan luas permukaannya. Syarat dari kandungan air dalam silika yang ideal yakni 11-12% b/b (Rohman, 2009). Fase gerak ialah medium angkut dan terdiri atas satu atau beberapa pelarut. Fase gerak pada KLT dapat dipilih dari pustaka, namun juga bisa dengan cara coba-coba. Salah satu cara mengoptimalisasi fase gerak adalah dengan menggunakan fase gerak yang mempunyai kemurnian tinggi karena KLT merupakan teknik yang sensitif (Gandjar & Rohman, 2007). Pemisahan pada KLT akan optimal apabila penotolan sampel dilakukan dengan hasil bercak sesempit dan sekecil mungkin. Untuk mendapatkan hasil
17
yang reprodusibel, volume sampel yang ditotolkan paling sedikit adalah 0,5 µl dan jika sampel yang ditotolkan 2-10 µl maka penotolan harus dilakukan secara bertahap dan dilakukan pengeringan antar totolan (Gandjar & Rohman, 2007). Setelah sampel ditotolkan maka selanjutnya adalah pengembangan sampel dalam bejana kromatografi yang telah dijenuhi oleh fase gerak. Tepi bawah lempeng yang telah ditotoli sampel dicelupkan ke dalam fase gerak lebih kurang 0,5-1 cm tinggi fase gerak dalam bejana harus berada di bawah lempeng yang tertotol sampel. Selanjutnya bejana ditutup serapat mungkin mungkin dan fase gerak harus mampu mengelusi lempeng sampai ketinggian lempeng yang ditentukan (Gandjar & Rohman, 2007). Pemisahan KLT pada umumnya dihentikan sebelum semua fase gerak melewati seluruh permukaan fase diam. Faktor retardasi atau jarak migrasi solut terhadap jarak ujung fase geraknya diperoleh dari :
Nilai maksimum Rf adalah 1 yang artinya solut bermigrasi dengan kecepatan yang sama dengan kecepatan fase gerak. Dan nilai minimum adalah 0 apabila solut tertahan pada posisi awal di permukaan fase diam (tidak bergerak sama sekali dari titik penotolan) (Rohman, 2009). Bercak KLT umumnya tidak berwarna. Untuk analisis bercak digunakan berbagai cara yakni secara kimia, fisika, dan biologi. Cara kimia yakni dengan mereaksikan bercak dengan suatu pereaksi melalui penyemprotan sehingga bercak menjadi jelas. Secara fisika yaitu dengan pencacahan radioaktif dan flouresensi
18
sinar ultraviolet. Flouresensi utamanya untuk senyawa yang dapat berflouresensi membuat bercak terlihat jelas. Jika senyawa yang diperiksa tidak dapat berflouresensi
maka
bahan
penyerapannya
akan
diberi
indikator
yang
berflouresensi, sehingga bercak akan kelihatan hitam sedang latar belakangnya akan kelihatan berflouresensi (Gandjar & Rohman, 2007).
F. Landasan Teori Platelet dalam keadaan abnormal atau adanya gangguan pada fungsi platelet mengakibatkan terjadinya agregasi yang dapat menyumbat peredaran darah merupakan salah satu penyebab berbagai manifestasi CVD. Penggunaan terapi yang ada sekarang masih memiliki keterbatasan dalam hal efek samping yang ditimbulkan sehingga pencegahan berbagai manifestasi CVD bisa juga dilakukan dengan mengeksplorasi obat-obatan dari bahan alam. Penelitian berbagai bahan alam telah dilakukan, sebagaimana yang dilaporkan oleh Pimentel et al (2003), telah diisolasi dua senyawa dari invertebrata laut Filipina yang memiliki aktivitas antiplatelet yaitu xestospongin dari Xestospongia sp. dan 5,6-dibromotryptamine dari Aplysina sp. Penelitian terdahulu juga telah meneliti berbagai senyawa aktif dalam tumbuhan yang memiliki aktivitas antiplatelet. Sebagaimana Koshy et al (2001) melaporkan bahwa ekstrak Garcinia cambogia mengandung senyawa yang menghambat adhesi dan agregasi platelet. Selain itu, hasil penelitian yang dilakukan oleh O`Kennedy et al (2006), menunjukkan bahwa subfraksi dari ekstrak buah tomat mampu menghambat agregasi platelet yang diinduksi oleh asam arakhidonat. Penelitian yang dilakukan oleh Wahyono (2005) menunjukkan
19
bahwa ekstrak P. cubeba memiliki aktivitas antiasma dan antiinflamasi, dimana platelet memiliki peran penting dalam proses inflamasi. Berdasarkan berbagai hasil penelitian mengenai metabolit sekunder yang memiliki aktivitas antiplatelet serta peran ekstrak P. cubeba dalam menghambat inflamasi, dapat dijadikan dasar untuk mengetahui aktivitas ekstrak etanolik buah P. cubeba pada platelet terinduksi trombin. Oleh karena itu penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh ekstrak etanolik buah P. cubeba terhadap agregasi platelet oleh trombin.
G. Hipotesis Ekstrak etanolik buah P. cubeba mampu menghambat agregasi platelet terinduksi trombin.