Bab I Pendahuluan A. Latar Belakang Masalah Sistem pensiun PNS yang dilaksanakan saat ini belum mampu memberikan jaminan ketenangan bagi PNS setelah masuk masa pensiun. Hal ini terpotret dari setiap PNS yang memasuki batas usia pensiun (56 tahun) maka yang tergambar adalah kesedihan, kegelisahan dan kesulitan dalam menghadapi masa depan hidupnya. Hal ini disebabkan karena nominal nilai manfaat pensiun yang diterima setiap bulan dirasakan sangat jauh dari memadai. Nilai manfaat ini tidak mampu memberikan jaminan kesejahteraan setelah purna tugas. Hal ini terjadi karena nilai nominal manfaat pensiun yang diterima hanya sebesar ± 75% dari gaji pokok terakhir. Padahal pada saat aktif PNS tidak hanya menerima gaji pokok saja. Take home pay PNS pada saat masih aktif terdiri dari gaji pokok dan berbagai jenis tunjangan, misalnya tunjangan jabatan, tunjangan istri/suami, tunjangan anak dan sebagainya. Saat ini jumlah nominal tunjangan yang diterima jumlahnya jauh lebih besar daripada gaji pokok. Pada saat masuk usia pensiun tunjangan-tunjangan tersebut tidak diberikan lagi karena dasar perhitungan pemberian manfaat pensiun adalah pada gaji pokok. Kondisi inilah yang membuat PNS menjadi tidak nyaman pada saat masuk usia pensiun karena take home pay-nya menjadi jauh berkurang. Permasalahan lain yang muncul dalam pengelolaan pensiun adalah adanya prediksi terjadinya ledakan jumlah peserta pensiun pada tahun 2015. Harian Media Indonesia edisi 11 Pebruari 2011 menyebutkan bahwa perkiraan jumlah peserta pensiun PNS pada tahun 2015 akan menembus angka 4,7 juta hingga 4,9 juta. Bahkan pada tahun 2025 diprediksikan jumlah PNS aktif akan sama dengan jumlah peserta pensiun PNS. Konsekuensi dari bertambahnya jumlah peserta pensiun PNS ini 1
dikhawatirkan akan membebani anggaran negara karena pemerintah harus menyiapkan anggaran sebesar Rp 54 Triliun untuk membayar pensiun para peserta ini. Sedikit berbeda dengan data yang dirilis oleh Media Indonesia tersebut adalah data dari PT Taspen. Prediksi yang dihitung oleh PT Taspen pada tahun 2015 ada sekitar 2.764.809 orang peserta pensiun dan kebutuhan anggaran untuk membayar pensiun diprediksi sebesar Rp 69,5 T. Jauh lebih besar dari perkiraan awal. Kondisi ini disebabkan meskipun peserta pensiunnya berkurang tetapi penerima manfaat pensiun sambungannya tetap bertambah, yaitu janda/duda dan anak. Pembiayaan pensiun sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian di Pasal 32 dilakukan melalui sharing payment, yaitu dari iuran PNS (sebagai pekerja) dan iuran pemerintah (sebagai pemberi kerja). Akan tetapi pemerintah saat ini belum memenuhi kewajiban iurannya. Baru iuran dari PNS yang langsung dipotong sebesar 4,75% dari gajinya dan dimasukkan dalam dana pensiun. Belum mengiurnya pemerintah berdampak tidak terbentuknya dana pensiun yang diharapkan bisa sebagai dana untuk melakukan pembiayaan dengan sistem fully funded. PT Taspen sebagai lembaga pengelola dana pensiun PNS menjadi kesulitan dalam mengembangkan dana pensiun ini. PT Taspen menghitung kewajiban pemerintah yang perlu dibayarkan untuk dana pensiun kurang lebih sebesar Rp 8,3 Triliun. Karena dana pensiun belum terbentuk, maka pemerintah membayar langsung manfaat pensiun PNS (dengan sistem pay us you go) dengan menggunakan dana APBN. Disamping gambaran diatas tersebut, ada kebijakankebijakan populis pemerintah yang justeru semakin memberatkan pengelolaan pensiun PNS. Sebagai contoh kebijakan pengangkatan pegawai honorer daerah menjadi PNS pada tahun 2004 yang menambah jumlah PNS di Indonesia dan menambah jumlah peserta pensiun. 2
Kondisi inilah yang menyebabkan pada tahun 2015 diprediksikan terjadi ledakan jumlah pensiun, yaitu sebelas tahun setelah pengangkatan pegawai honorer. Hal ini terjadi karena mayoritas pegawai honorer yang diangkat adalah pegawai yang sudah senior (berusia lanjut) sehingga masa kerjanya kurang lebih hanya 10 tahun sudah masuk usia pensiun. Padahal masa mengiur selama masa kerja mereka belum memenuhi syarat untuk bisa memperoleh manfaat pensiun. Kondisi ini terjadi kebijakan pemerintah menerapkan defined benefit (manfaat pasti) dalam program pensiun PNS. Sehingga semua pegawai menerima manfaat pensiun yang sama, yang sudah ditetapkan, hanya dibedakan oleh masa kerja mereka. Kebijakan populis lainnya adalah kebijakan kenaikan gaji yang sama bagi PNS aktif maupun peserta pensiun PNS. Pemberian kenaikan gaji memang menyenangkan bagi semua pihak tetapi bagi pengelola pensiun ini tentu menjadi beban tersendiri. Menurut perhitungan PT Taspen, kenaikan manfaat pensiun bagi peserta pensiun yang sesuai dan wajar adalah sebesar ± 2,5% saja (best practise). Sementara kebijakan pemerintah menaikkan manfaat pensiun dengan nilai yang sama dengan gaji PNS aktif akan memperbesar beban anggaran mereka. Menurut PT Taspen, apabila PNS aktif gajinya dinaikkan 10% maka pensiun PNS tidak perlu naik sebesar itu, cukup 2,5% saja. Hal ini bukan karena tidak menghargai jasa para peserta pensiun tetapi memang dari perhitungan cadangan keuangan yang ada. Apalagi para peserta pensiun pada kenyataannya sudah tidak aktif bekerja lagi, artinya sudah tidak aktif mengiur lagi. Bahkan secara perhitungan anggaran seharusnya pengelolaan gaji PNS dan manfaat pensiun dipisahkan. Gaji dikelola dalam APBN sementara manfaat pensiun dikelola dalam dana pensiun. Selain itu tidak ada hubungan keterkaitan diantara gaji dan manfaat pensiun. Dengan kata lain apabila gaji PNS aktif dinaikkan, tidak secara otomatis manfaat pensiun ikut dinaikkan. Akan tetapi praktik di 3
Indonesia hal ini menjadi kebiasaan, setiap ada kenaikan gaji PNS aktif maka diikuti dengan kenaikan manfaat pensiun yang pada kenyataannya memberatkan anggaran negara. Selain itu jumlah nominal manfaat pensiun yang kecil juga disebabkan karena premi atau iuran yang dibayar oleh PNS juga kecil. Sehingga apabila mengharapkan nominal manfaat pensiun besar maka preminya pun harus besar. Apakah PNS mau membayar premi yang besar dengan memotong gaji mereka? Dalam hal ini diperlukan perubahan sistem pensiun PNS yang komprehensif, baik dari aspek kelembagaan pengelola pensiun, peran masing-masing pihak yang terkait, sistem pensiunnya dan lain sebagainya. Dari pemetaan masalah sebagaimana digambarkan didepan terlihat bahwa permasalahan sistem pensiun sangatlah kompleks. Untuk itulah dalam kajian reformasi sistem pensiun PNS ini perlu dilakukan benchmark dengan melakukan studi visit ke Malaysia atas dasar kesamaan penggunaan sistem pensiun. Dengan kegiatan ini diharapkan akan diperoleh gambaran baru tentang sistem pensiun yang dilakukan di negara lain. Negara yang dituju tentunya yang mempunyai karakteristik kepegawaian yang sama dengan Indonesia. Selain itu juga dengan melibatkan instansi-instansi yang secara langsung terlibat dalam penyelenggaraan sistem pensiun PNS baik sebagai pengambil kebijakan maupun pelaksana kebijakan pensiun serta pemerintah daerah sebagai penerima manfaat langsung dari program pensiun. B. Perumusan Masalah Permasalahan dalam kajian ini dirumuskan sebagai berikut : bagaimana rumusan sistem pensiun PNS yang mampu memberikan manfaat maksimal dan mampu meningkatkan kesejahteraan PNS di masa pensiun?
4
C. Tujuan dan Sasaran Kajian Tujuan dari kegiatan kajian ini adalah untuk menyusun disain sistem pensiun PNS yang tepat dari aspek anggaran negara, kesejahteraan PNS dan kelembagaan pengelola dana pensiun. Sementara sasaran dari kegiatan kajian ini adalah tersusunnya disain sistem pensiun PNS yang tepat dari aspek anggaran negara, kesejahteraan PNS dan kelembagaan pengelola dana pensiun. D. Hasil yang Diharapkan Hasil yang diharapkan dari kegiatan kajian ini adalah tersusunnya grand design reformasi sistem pensiun PNS. E. Metode Penelitian Kajian Reformasi Sistem Pensiun PNS ini adalah kajian deskriptif analitis dengan pendekatan kualitatif. Kegiatan ini merupakan kelanjutan dari kajian sebelumnya yang berfokus pada kajian kebijakan. Dengan pendekatan ini diharapkan berbagai data dan informasi yang diperoleh di lapangan dapat dijelaskan dan diuraikan secara lengkap untuk memperoleh gambaran yang jelas mengenai pengelolaan sistem pensiun PNS di Indonesia. Pemilihan lokasi kajian didasarkan pada beberapa pertimbangan tertentu. Benchmark ke Malaysia dipilih karena negara tersebut menerapkan sistem dan kebijakan yang relatif sama akan tetapi memberikan dampak yang berbeda dengan yang terjadi di Indonesia saat ini. Lembaga yang dikunjungi adalah lembaga yang terkait dengan penyelenggaraan sistem pensiun PNS di Malaysia, yaitu : Kumpulan Wang Persaraan (KWAP), Lembaga Tabung Angkatan Tentara (LTAT), Kumpulan Wang Simpanan Pekerja (KSWP), Pertubuhan Keselamatan Sosial (Perkeso) dan Jabatan Perkhidmatan Awam (JPA). Sedangkan pemilihan lokasi-lokasi yang ada di dalam negeri dengan mempertimbangkan keterwakilan secara geografis dan adanya kantor perwakilan PT Taspen 5
sebagai satu-satunya lembaga yang diberi kewenangan mengelola pensiun PNS di Indonesia. Lokasi yang dipilih adalah sebagai berikut : Provinsi Bangka Belitung, Provinsi Jawa Barat, Provinsi Kepulauan Riau, Provinsi Daerah Istimewa Jogjakarta, Provinsi Jawa Tengah, Provinsi Nusa Tenggara Barat, Provinsi Kalimantan Selatan, Provinsi Jawa Timur dan Provinsi Riau. Metode yang digunakan dalam pengumpulan data dalam kajian ini meliputi : 1. Focus Group Discussion (FGD) : dilakukan untuk memperoleh kesepakatan bersama diantara narasumber yang diundang terkait substansi kajian. Narasumber/peserta yang dipilih untuk kegiatan FGD adalah para pejabat dan pegawai yang memahami mengenai pengelolaan sistem pensiun PNS. 2. Wawancara mendalam (in-dept interview), dilakukan untuk menggali data secara mendalam dengan narasumber (key informant) terpilih. Narasumber yang dipilih adalah para pejabat yang memahami mengenai penyelenggaraan sistem pensiun PNS, baik sebagai pengambil kebijakan maupun pelaksana kebijakan. Pada prinsipnya wawancara ini dilakukan untuk memperdalam substansi kajian dari sudut pandang nara sumber. 3. Kajian Pustaka, kegiatan ini dimaksudkan untuk memperoleh data pendukung kajian melalui telaahan buku, literatur, dokumen, peraturan perundangundangan serta sumber-sumber lain yang relevan dengan kajian. Key informant dan nara sumber yang dipilih untuk memperdalam pemahaman substansi kajian ini adalah para pejabat di instansi yang terlibat secara langsung dalam penyelenggaraan sistem pensiun PNS di Indonesia, yaitu dari Ditjen. Anggaran Kementerian Keuangan RI, Bappepam LK, PT. Taspen, Kementerian PAN dan RB serta BKN.
6
Data dan informasi yang diperoleh tersebut selanjutnya dianalisis dengan pendekatan deskriptif analitis, yaitu dengan memberikan makna secara analitis dengan mengkaji data dan informasi hasil dari FGD maupun wawancara mendalam dan teori yang dikembangkan dalam penelitian. Sedangkan data-data sekunder yang diperoleh dianalisis dan digunakan sebagai data pendukung. Dalam melakukan analisis ini diperlukan kepekaan peneliti dalam menganalisis suatu data atau informasi baik yang diperoleh dari key informant dan nara sumber maupun hasil pengamatan serta dari sumber-sumber lain.
7
8
Bab II Tinjauan Kebijakan, Teoritis dan Studi Empiris Sistem Pensiun PNS A. Sistem Pensiun PNS dalam Kebijakan Reformasi Birokrasi Reformasi sistem pensiun PNS tidak lepas dari pelaksanaan program nasional reformasi birokrasi. Reformasi sistem pensiun PNS merupakan bagian penting dalam upaya reformasi birokrasi. Reformasi birokrasi tanpa melakukan reformasi sistem pensiun PNS tidak akan maksimal. Karena sistem pensiun PNS merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam manajemen atau pengelolaan pegawai (PNS). Artinya reformasi birokrasi atau reformasi pengelolaan pegawai bukan hanya pada saat PNS aktif tetapi juga pada saat PNS tidak aktif atau masuk masa pensiun. Reformasi sistem pensiun PNS ini pada prinsipnya adalah untuk memperbaiki tingkat kesejahteraan PNS setelah masuk usia pensiun. Perbaikan kesejahteraan PNS setelah pensiun ini akan memberikan ketenangan bagi yang bersangkutan. Sebagaimana diketahui program nasional reformasi birokrasi dimulai sejak tahun 2010 dengan dikeluarkannya Peraturan Presiden Nomor 81 Tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi Tahun 2010-2025. Tujuan grand design ini adalah memberikan arah kebijakan pelaksanaan reformasi birokrasi nasional selama kurun waktu 2010-2025 agar reformasi birokrasi di kementerian/lembaga dan pemerintah daerah dapat berjalan secara efektif, efisien, terukur, konsisten, terintegrasi, melembaga dan berkelanjutan. Dijelaskan juga bahwa arah kebijakan reformasi birokrasi mencakup dua hal, yaitu : 1. Pembangunan aparatur negara dilakukan melalui reformasi birokrasi untuk meningkatkan profesionalisme aparatur negara dan untuk mewujudkan tata pemerintahan yang baik, di pusat maupun di daerah, 9
agar mampu mendukung keberhasilan pembangunan di bidang-bidang lainnya. 2. Kebijakan pembangunan di bidang hukum dan aparatur diarahkan pada perbaikan tata kelola pemerintahan yang baik, melalui pemantapan pelaksanaan reformasi birokrasi. Visi reformasi birokrasi adalah menjadi pemerintahan kelas dunia, yaitu dengan mewujudkan birokrasi pemerintahan yang profesional dan berintegritas tinggi yang mampu menyelenggarakan pelayanan prima kepada masyarakat dan manajemen pemerintahan yang demokratis dalam rangka menjawab tuntutan masyarakat, menghadapi kompleksitas permasalahan di abad 21 melalui tata kelola pemerintahan yang baik pada tahun 2025. Sementara misi reformasi birokrasi ada tiga, yaitu : 1. Membentuk/menyempurnakan peraturan perundangundangan dalam rangka mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik; 2. Melakukan penataan dan penguatan organisasi, tata laksana, manajemen sumber daya manusia aparatur, pengawasan dan akuntabilitas, kualitas pelayanan publik, mind set dan culture set; 3. Mengembangkan mekanisme kontrol yang efektif. Tujuan dilakukannya reformasi birokrasi adalah terwujudnya birokrasi pemerintah yang profesional dengan karakteristik adaptif, berintegritas, berkinerja tinggi, bebas dan bersih KKN, mampu melayani publik, netral, sejahtera, berdedikasi, memegang teguh nilai-nilai dasar dan kode etik aparatur negara. Sedangkan sasaran yang hendak dicapai dengan reformasi birokrasi adalah birokrasi pemerintah yang berorientasi pada hasil melalui perubahan secara terencana, bertahap, berkelanjutan dan terintegrasi dari berbagai aspek strategis birokrasi. Area perubahan yang menjadi target reformasi birokrasi meliputi seluruh aspek manajemen pemerintahan yang mencakup delapan area perubahan, yaitu : 10
a. Organisasi, hasil yang diharapkan adalah organisasi yang tepat fungsi dan tepat ukuran (right sizing), b. Tatalaksana, hasil yang diharapkan adalah sistem, proses dan prosedur kerja yang jelas, efektif, efisien, terukur dan sesuai dengan prinsip-prinsip good governance, c. Peraturan perundang-undangan, hasil yang diharapkan adalah regulasi yang lebih tertib, tidak tumpang tindih dan kondusif, d. Sumber daya aparatur, hasil yang diharapkan adalah SDM aparatur yang berintegritas, netral, kompeten, capable, profesional, berkinerja tinggi dan sejahtera, e. Pengawasan, hasil yang diharapkan adalah meningkatnya penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan bebas KKN, f. Akuntabilitas, hasil yang diharapkan adalah meningkatnya kapasitas dan akuntabilitas kinerja birokrasi, g. Pelayanan publik, hasil yang diharapkan adalah pelayanan prima sesuai kebutuhan dan harapan masyarakat, h. Budaya kerja aparatur, hasil yang diharapkan adalah birokrasi dengan integritas dan kinerja yang tinggi. Dari delapan area perubahan tersebut, reformasi sistem pensiun PNS merupakan bagian dari area sumber daya aparatur, khususnya untuk meningkatkan kesejahteraan PNS. Dalam perkembangannya, pemerintah saat ini sedang membahas tentang perubahan Undang-Undang Nomor 43 tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian yang merupakan salah satu konsideran kebijakan dalam sistem pensiun PNS. Maka sangat penting untuk melihat dan menganalisis bagaimana arah perubahan kebijakan tersebut, khususnya yang terkait dengan kebijakan pensiun PNS. Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 dalam perubahannya diganti menjadi RUU Aparatur Sipil Negara (RUU ASN). 11
Dalam RUU ASN dijelaskan bahwa pensiun PNS dan pensiun janda/duda PNS diberikan sebagai jaminan hari tua dan sebagai penghargaan atas pengabdian PNS. Sehingga PNS yang masuk usia pensiun terjamin masa tuanya (masa setelah pensiun) dan mereka dihargai atas pengabdiannya selama bekerja. Jaminan pensiun dan jaminan hari tua PNS diberikan sebagai perlindungan kesinambungan penghasilan hari tua, dan sebagai penghargaan atas pengabdian PNS. Dalam RUU ASN dijelaskan bahwa tidak semua PNS bisa atau berhak atas pensiun. Dalam RUU ASN juga dijelaskan bahwa batas usia pensiun (BUP) untuk masingmasing PNS berbeda-beda tergantung jabatannya. Berikut ini adalah syarat atau hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pemberian pensiun : - PNS yang berhenti dengan hormat berhak menerima pensiun apabila telah mencapai batas usia pensiun. - PNS yang telah mencapai batas usia pensiun, diberhentikan dengan hormat sebagai PNS. - Usia pensiun bagi Jabatan Administrasi adalah 58 (lima puluh delapan) tahun. - Usia pensiun bagi Jabatan Fungsional sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. - Usia pensiun bagi Jabatan Eksekutif Senior adalah 60 (enam puluh) tahun. Terkait dengan sistem pembiayaannya, dijelaskan bahwa pekerja/pegawai wajib membayar iuran dan pemerintah sebagai pemberi kerja juga wajib membayar iuran. Dengan demikian kedua pihak mempunyai kewajiban yang sama untuk memberikan iuran, hanya perbandingannya saja yang belum ditetapkan. Selanjutnya dijelaskan pula bahwa pengelolaan dana pensiun harus dilakukan oleh pihak ketiga. Sehingga dana yang terkumpul dari iuran pekerja maupun pemberi kerja sebagian dapat dikembangkan untuk peningkatan nominal. Dana iuran pensiun diharapkan bisa semakin
12
berkembang dan mampu memberikan manfaat yang maksimal bagi para peserta pensiun. B. Kebijakan Sistem Pensiun PNS Kebijakan pensiun PNS merupakan salah satu wujud dari penerjemahan amanat UUD 1945. Hal ini tersurat dalam konsideran undang-undang yang mengaturnya, yaitu Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1961 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kepegawaian (Pasal 19) yang kemudian ditindaklanjuti dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1969 tentang Pensiun Pegawai dan Pensiun Janda/Duda Pegawai - yang merupakan lex specialis dalam pengaturan mengenai pensiun - dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun. Perumusan suatu kebijakan bertujuan untuk mengantisipasi dan/atau menyelesaikan suatu permasalahan. Terkait dengan itu, kebijakan pensiun (Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1969 dan UndangUndang Nomor 11 Tahun 1992) bertujuan mengantisipasi dan/atau menyelesaikan permasalahan pensiun. Namun dalam implementasinya, kebijakan-kebijakan tersebut menghadapi berbagai permasalahan. Permasalahan yang dihadapi antara lain karena terjadinya perubahanperubahan lingkungan kebijakan. Perubahan kebijakan Pokok Kepegawaian dari Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1961 yang telah diganti dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 dan dirubah (juncto) dengan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999. Disamping itu, krisis global yang menyebabkan perubahan sistem penyelenggaraan pemerintahan dan perikehidupan bermasyarakat juga memberikan pengaruh yang signifikan.
13
1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1969 tentang Pensiun Pegawai Pada esensinya, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1969 berisi dan mengatur hal-hal yang mendasar mengenai pensiun. Kebijakan yang terdiri dari 35 Pasal dan telah diimplementasikan selama 4 dekade (diundangkan pada 8 Agustus 1969) belum pernah dilakukan penyesuaian/perubahan, walaupun kebijakan pokok mengenai kepegawaian telah mengalami perubahan secara massif. Patut diperhatikan secara cermat disini, bahwa perubahan atau penyesuaian substansi yang berkaitan dengan pensiun tidak dilakukan pada Undang-Undangnya, tetapi pada peraturan pelaksanaan (Peraturan Pemerintah) atau penjelasan pelaksanaan yang bersifat messo (Riant Nugroho, 2009). Hal demikianlah yang memicu munculnya berbagai persoalan dalam implementasi kebijakan tersebut. Sebagaimana disebutkan dalam UndangUndang Nomor 11 Tahun 1969, pensiun diberikan sebagai jaminan hari tua dan sebagai penghargaan atas jasa-jasa pegawai negeri selama bertahun-tahun bekerja dalam dinas pemerintah (Pasal 2). Disebutkan bahwa, menjamin hari tua adalah kewajiban setiap orang sehingga pemerintah mewajibkan setiap Pegawai Negeri menjadi peserta dari sesuatu badan asuransi sosial yang dibentuk oleh pemerintah. Disamping itu, pemerintah juga memberikan sumbangannya kepada Pegawai Negeri karena pensiun bukan saja sebagai jaminan hari tua, tetapi juga sebagai balas jasa pemerintah kepada Pegawai Negeri. Iuran pensiun Pegawai Negeri dan sumbangan pemerintah tersebut dipupuk dan dikelola oleh badan asuransi sosial. Selama belum terbentuk lembaga yang berfungsi menyelenggarakan Dana Pensiun, kewajiban tersebut ditangani langsung oleh pemerintah (Pasal 3). 14
Apabila ditinjau dari maksud ditetapkannya kebijakan, khususnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1969 telah memiliki aspek kejelasan tujuan. Namun demikian, sebagai kebijakan yang bersifat makro (Riant Nugroho, 2009), dan berupa aturan, maka bentuk kebijakan ini harus selalu disesuaikan dengan perubahan yang terjadi di masyarakat (Tjokroamidjojo, 2000). Oleh karena itu, idealnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1969 perlu dilakukan penyesuaian/ diubah (addendum) agar selaras dengan perkembangan kondisi kekinian. Selain itu, perubahan atau penyesuaian dilakukan supaya implementasi kebijakan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1969 dapat terlaksana secara efektif. Sejumlah pasal krusial yang perlu dicermati karena berpotensi menimbulkan permasalahan baru adalah : Tabel 2.1 Pasal-Pasal Krusial yang Perlu Dicermati No 1.
Muatan Isi PASAL 2: Pembiayaan Pensiun Apakah Pemerintah sudah membentuk lembaga yang berwenang/memiliki fungsi sebagai Penyelenggara Dana Pensiun? Apakah Pemerintah telah memberikan kewenangan dan sumber daya lainnya yang dibutuhkan agar Lembaga tersebut dapat menjalankan kewenangannya secara memadai?
2.
PASAL 3: Istilah Kejelasan batasan pegawai negeri (atau apapun sebutannya jika pengaturan/UU Pokok Kepegawaian mengalami perubahan) sebagai penerima hak atas pensiun. Sebagai contoh, Pegawai Negeri yang dimaksud dalam UU No. 11/1969 masih merujuk pada UU No. 18/1961, sedangkan pengaturan UU Pokok Kepegawaian tersebut telah diganti dengan UU No. 8/1974 dan ditambahkan (juncto) UU No. 43/99. Di dalam UU No. 18/1961, Pasal 3 poin a. anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) tidak termasuk kategori Pegawai Negeri, sedangkan dalam
15
UU No. 8/1974 juncto UU No. 43/99, (1) memasukkan kategori sebagai Pegawai Negeri. Walaupun dengan perubahan nomenklatur yang berbeda, sebelumnya anggota ABRI berubah menjadi anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI). Perubahan lainnya, adalah pemisahan antara anggota TNI dengan anggota Kepolisian Republik Indonesia. 3.
PASAL 5: Dasar Pensiun Apakah gaji pokok yang ditetapkan sebagai dasar Pensiun dapat sebagai jaminan hari tua? Apakah gaji pokok yang dijadikan dasar pensiun dapat memenuhi standar kelayakan kebutuhan hidup minimum?
4.
PASAL 6: Masa Kerja Mengakui masa kerja bawaan sebagai masa kerja untuk pensiun tanpa harus membayar iuran.
5.
PASAL 9: Hak Atas Pensiun Pegawai. Merujuk pada syarat hak atas pensiun Pasal 9 (1), apakah PNS yang masa kerjanya kurang dari 10 tahun tetapi telah memenuhi BUP dan diberhentikan dengan hormat berhak atas pensiun? Hal ini berkaitan dengan kebijakan pemerintah yang menerima tenaga honorer dengan usia yang jika dibandingkan dengan BUP memiliki masa kerja untuk pensiun kurang dari 10 tahun? Apakah masa kerja selama mengabdi sebagai tenaga honorer dihitung agar memenuhi syarat untuk menerima hak pensiun? Apakah Pegawai Negeri dapat menerima manfaat pensiun jika Pegawai Negeri yang mengajukan pengunduran diri pada saat usianya belum mencapai 50 tahun namun telah memiliki masa kerja 10? Sebagaimana disebutkan pada pasal 9 (4) Pegawai Negeri yang bersangkutan harus menunggu manfaat pensiun setelah memasuki usia 50 tahun.
2. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun Kebijakan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1992 berkaitan dan merupakan tindak lanjut dari kebijakan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1969. Sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1969, Pasal 2 dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 juncto Undang-Undang Nomor 43 16
Tahun 1999 Pasal 10 dan penjelasannya, pensiun diberikan sebagai jaminan hari tua dan sebagai penghargaan atas jasa-jasa Pegawai Negeri. Amanat dari klausul inilah yang mendasari ditetapkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1992. Pada pokoknya, kebijakan ini mengatur tentang organisasi dan pengorganisasian lembaga penyelenggara Dana Pensiun, sehingga kebijakan ini menjadi pedoman bagi setiap organisasi, baik milik pemerintah maupun swasta. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1992, bentuk penyelenggaraan Dana Pensiun terdiri dari Dana Pensiun Pemberi Kerja (DPPK) dan Dana Pensiun Lembaga Keuangan (DPLK). Bentuk penyelenggaraan Dana Pensiun bagi Pegawai Negeri termasuk dalam jenis DPPK yang diselenggarakan oleh PT. Taspen dan PT. ASABRI. Dana pensiun yang dihimpun dari organisasi penyelenggara berasal dari iuran peserta yang terdiri dari iuran pemberi kerja dan peserta; atau iuran pemberi kerja (pasal 15 ayat (1)). Komponen tersebut menjadi bagian dari kekayaan Dana Pensiun dan menjadi sumber bagi penyelenggaraan program dan pemberian manfaat pensiun. Adapun hak atas manfaat pensiun diatur dalam Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23, Pasal 24, Pasal 25, Pasal 26, dan Pasal 27 yang selanjutnya diatur tersendiri dengan Peraturan Pemerintah (Pasal 28). Hal lainnya yang menjadi poin krusial dalam penyelenggaraan program dan manfaat pensiun adalah tidak berlakunya sanksi bagi penyelenggara Dana Pensiun bagi Pegawai Negeri (Pasal 56 (2)).
17
Tabel 2.2 Hubungan antara UU No. 11 Tahun 1969 dan UU No. 11 Tahun 1992 Topik
UU No. 11/1969
UU No. 11/1992
Pembiayaan Pensiun
Pasal 2
Pasal 15, 16, 17, 18 : Iuran Dana Pensiun
Istilah
Pasal 3
Pasal : 19 Hak Peserta
Masa Kerja
Pasal 6
Pasal 15 dan Pasal 24
Hak Atas Pensiun Pegawai.
Pasal 9
Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23, Pasal 24, Pasal 25, Pasal 26 dan Pasal 27
3. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) Kebijakan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1969 dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1992 belum dapat dikatakan mencapai kinerja yang diinginkan. Pengukuran capaian kinerja kebijakan dapat dilakukan dengan menggunakan 6 (enam) kriteria yang dikemukakan oleh Dunn (1981), yaitu efektivitas, efisiensi, kecukupan, perataan, responsivitas dan ketepatan.
18
Tabel 2.3 Kriteria Evaluasi Kebijakan No
Tipe Kriteria
Pertanyaan
UU No. 11/1969
1.
Efektivitas
Apakah hasil yg diinginkan sdh tercapai?
2.
Efisiensi
Seberapa banyak usaha diperlukan utk mencapai hasil yg diinginkan?
3.
Kecukupan
Seberapa jauh pencapaian hasil yg diinginkan dlm memecahkan masalah?
Belum optimal, masih ada masalah, baik Peserta maupun kemampuan pembiayaan Pem sbg Pemberi Kerja.
Tidak optimal, Pem tidak memenuhi kewajiban iuran dana pemberi kerja.
4.
Perataan
Apakah biaya dan manfaat didistribusikan dg merata kpd kelompok yg berbeda?
Optimal, karena disesuaikan dg hak peserta berdasarkan gaji pokok.
Optimal berdasarkan ketentuan yg berlaku.
5.
Responsivitas
Apakah hasil kebijakan memuaskan kebutuhan kelompok tertentu?
Tidak optimal karena cost of living lebih besar drpd manfaat pensiun.
Tidak optimal, cost of living lebih besar drpd manfaat pensiun.
6.
Ketepatan
Apakah hasil yang diinginkan benar berguna atau bernilai?
Belum optimal, pensiun belum menjadi jaminan hari tua.
UU No. 11/1992 Optimal sbg pedoman penyeleng Dana Pensiun. Membutuhkan komitmen Pem untuk memenuhi kewajiban iuran dana pemberi kerja.
Belum optimal, cost of living lebih besar drpd uang pensiun.
19
Apabila merujuk pada kriteria evaluasi kebijakan diatas maka kedua kebijakan tersebut masih menimbulkan permasalahan baru. Permasalahan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1969, misalnya Pasal 9 ayat (1) berkaitan dengan Hak Atas Pensiun yang pernah diajukan tuntutan (judicial review) atas kebijakan tersebut. Klausul lainnya berkenaan dengan Pasal 5 yang mengatur tentang Dasar Pensiun. Gaji pokok yang ditetapkan sebagai dasar pensiun tidak sebanding dengan beban hidup yang harus dihadapi oleh para pensiunan. Hal tersebut dapat dikatakan, bahwa Pensiun belum menjadi jaminan hari tua/THT (bagi PNS). Begitupun halnya dengan capaian kinerja kebijakan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1992. Fungsi yang diselenggarakan oleh penyelenggara Dana Pensiun bagi PNS (dalam hal ini adalah PT. Taspen) belum sepenuhnya menjalankan prinsip-prinsip sebagai perusahaan persero. Hal ini berkaitan dengan kewenangan yang diberikan Pemerintah sebagai owner. Kebijakan-kebijakan pemerintah yang terkadang lebih mengutamakan atau mempertimbangkan aspek politis daripada kesehatan anggaran/pembiayaan perusahaan, sehingga memberatkan operasional perusahaan. C. Kajian Telaahan Kebijakan Sistem Pensiun PNS (Kajian LAN Tahun 2011) Kajian yang dilakukan oleh Pusat Kajian Kinerja Sumber Daya Aparatur, Lembaga Administrasi Negara pada tahun 2011 dengan judul Kajian Telaahan Kebijakan Sistem Pensiun PNS berhasil mengidentifikasi temuan dalam beberapa aspek, antara lain : 1. Aspek Kebijakan Dalam aspek kebijakan Tim menemukan bahwa kebijakan terkait sistem pensiun PNS saat ini belum 20
maksimal mengatur implementasi sistem pensiun. Sehingga dalam implementasinya terjadi masalah. Sebagaimana dijelaskan didepan bahwa ada dua sistem yang dianut dalam pembiayaan pensiun PNS di Indonesia, yaitu pay as you go dan fully funded. Akan tetapi dalam praktiknya kedua sistem ini tidak jelas pelaksanaannya. Prasyarat untuk bisa melaksanakan salah satu atau kedua sistem tersebut belum bisa dipenuhi. Apabila menggunakan sistem pembiayaan pay as you go, kekuatan anggaran negara tidak mampu. Demikian juga apabila menggunakan sistem fully funded, anggaran yang diperlukan tidak/belum tersedia. Kondisi ini terjadi karena sharing cost antara PNS dan pemerintah tidak dilakukan. Selama ini yang memberikan iuran hanya PNS sementara pemerintah sebagai pemberi kerja belum melaksanakan kewajibannya untuk mengiur. Selain itu, Tim juga menemukan bahwa konsideran kebijakan kepegawaian yang dipakai sudah tidak relevan lagi. Undang-Undang kepegawaian yang dijadikan konsideran sudah mengalami beberapa kali perubahan, yaitu sejak Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 sebagaimana sudah diubah dengan UndangUndang Nomor 43 Tahun 1999 dan saat ini sedang dalam proses perubahan menjadi Undang-Undang Aparatur Sipil Negara (UU ASN). Perubahan kebijakan kepegawaian ini tentu saja ikut berpengaruh pada kebijakan sistem pensiun PNS. 2. Aspek Anggaran Sementara itu, dalam aspek anggaran Tim menemukan fakta bahwa beban anggaran negara untuk membiayai pensiun PNS semakin lama semakin besar. Data yang dilansir oleh Dirjen Anggaran Kementerian Keuangan sebagaimana dikutip oleh LAN (2011) menunjukkan bahwa pada tahun 2007, alokasi anggaran untuk pembiayaan pensiun PNS adalah 21
sebesar Rp 23.239,8 (milyar rupiah), dan pada tahun 2011, jumlah tersebut meningkat hampir mencapai tiga kali lipatnya, yaitu sebesar Rp 51.167,0 (milyar rupiah). Hal ini terjadi karena semakin banyaknya pensiunan PNS yang semakin meningkat masa hidupnya sehingga masa pembayaran manfaat pensiunannya semakin panjang. Besarnya alokasi anggaran untuk pembayaran pensiun ini juga disebabkan oleh kebijakan pemerintah yang menaikkan gaji pensiunan setiap kali ada kenaikan gaji PNS. Pada tahun 2000, gaji PNS terendah adalah Rp 135.000,-. Gus Dur pada tahun 2001 menaikkan gaji PNS menjadi Rp 500.000,- atau sebesar 270%. Kondisi ini berdampak signifikan pada kekuatan anggaran nasional karena pemerintah tidak hanya membayar gaji PNS aktif, tetapi juga pensiunan. Para pensiunan yang masa mengiurnya sudah habis, menerima manfaat yang lebih panjang dan besar. Selain kebijakan tersebut diatas, kebijakan pemerintah untuk memberikan gaji ke-13 baik kepada PNS aktif maupun pensiunan juga membebani anggaran nasional (LAN, 2011). Demikian juga dengan kebijakan pengangkatan tenaga honorer menjadi PNS juga berdampak pada peningkatan anggaran pensiun. Hal ini disebabkan karena mayoritas tenaga honorer yang diangkat sudah berusia lanjut sehingga masa kerjanya singkat. 3. Aspek Kelembagaan Dalam aspek kelembagaan Tim menemukan fakta bahwa PT Taspen sebagai lembaga pengelola pensiun PNS belum mempunyai kewenangan yang maksimal. PT Taspen selama ini dianggap sebagai penyedia atau sponsor program pensiun dan tunjangan hari tua (THT) bagi PNS. Padahal kedudukan PT Taspen hanya sebagai juru bayar program pensiun dan THT PNS. PT Taspen hanya sebagai lembaga yang 22
mengadministrasikan uang pensiun dan THT PNS. Karena PT Taspen tidak diberi kewenangan dalam mengontrol dana tersebut. Kondisi ini berdampak pada tidak maksimalnya pengelolaan dana yang dikumpulkan. PT Taspen tidak mempunyai kewenangan untuk melakukan investasi terhadap dana yang dikumpulkan. Dana tersebut diendapkan saja karena kekuatiran terjadi kerugian investasi. Memang dalam melakukan investasi khususnya untuk dana pensiun harus dilakukan dalam investasi dengan resiko minimal dan dengan prinsip kehati-hatian yang tinggi karena menyangkut kelangsungan pembayaran dimasa depan. D. Metode Pembiayaan Pensiun Dalam menyelenggarakan program pensiun ada beberapa metode pembiayaan yang bisa digunakan. Diantaranya dijelaskan berikut ini. 1. Fully Funded (pembiayaan sendiri) Pembiayaan pensiun dengan sistem fully funded adalah jika pembayaran pensiun telah mencapai pembiayaan penuh, meskipun pada saat itu tidak semua kewajiban pembiayaan dapat dilunasi. Dalam metode ini, terjadi pemisahan kekayaan antara pemberi kerja dan pekerja sebagai pemegang polis dan lembaga pengelola pembiayaan pensiun. Praktik di beberapa negara, sponsor pembiayaan pensiun (pemberi kerja dan penerima kerja) pegawai di sektor publik dapat membeli asuransi investasi untuk melindungi nilai obligasinya. Program pensiun yang dapat dikelola dalam metode ini bisa manfaat pasti (defined benefit) maupun kontribusi pasti (defined contribution).
23
Gambar 2.1 Metode Pembiayaan Fully Funded
Sumber : PT Taspen, 2012
Besarnya dana yang dibutuhkan untuk pembayaran pensiun dimasa yang akan datang dipenuhi dengan cara diangsur selama pegawai masih aktif bekerja yang ditampung dalam suatu tempat (dana pensiun), kemudian dikelola dan dikembangkan. Keuntungan sistem fully funded ini adalah pemberi kerja tidak dibebani biaya untuk pensiunan, karena biaya pensiun telah dipenuhi pada saat pegawai masih aktif. Sementara kelemahannya adalah pada saat pembentukan Dana Pensiun harus ada dana awal dan jika pemberi kerja menaikkan gaji pokok harus menyediakan dana lebih untuk membayar PSL. 2. Unfunded atau pay-as-you-go Pembiayaan pensiun dibebankan langsung dalam anggaran negara (APBN), meskipun di dalam APBN itu terdapat kekayaan pemberi kerja (pemerintah) yang merupakan hak milik yang sah dari pemberi kerja. Keuntungan yang diperoleh dari sistem ini adalah tidak dibutuhkan dana awal yang harus ada pada saat dimulainya suatu dana pensiun dan jika terjadi kenaikan 24
gaji pegawai tidak ada past service liability (PSL). Meskipun demikian sistem pay as you go tidak umum digunakan dalam sistem pembiayaan dana pensiun. sementara kelemahannya adalah pembayaran pensiun akan meningkat setiap tahun, sehingga anggaran untuk membayar pensiun akan semakin besar, bahkan pada saatnya dapat melebihi anggaran untuk membayar gaji pegawai. Dalam sistem pay as you go ini hanya ada satu sumber dana dan langsung digunakan untuk membayar manfaat sehingga tidak ada kesempatan untuk melakukan investasi. Metode pay as you go dapat digambarkan sebagai berikut: Gambar 2.2 Metode Pembiayaan Pay As You Go
Sumber : PT Taspen, 2012
3. Book reserved atau notional assets Dalam metode ini, pengelola pembiayaan pensiun mengakui adanya kewajiban dalam neraca keuangan mereka yang menggambarkan perkembangan investasi dari premi anggota pensiun (penerima kerja), tetapi tidak terdapat pemisahan kekayaan secara sah antara pemberi kerja dengan lembaga pengelola pembiayaan pensiun. 25
4. Partially funded Dalam metode ini, pemberi kerja mentargetkan tingkat pembiayaan tertentu biasanya kurang dari 100%. Target dapat berasal dari persentase biaya (cost) atau biaya pembiayaan pensiun (liability) ataupun juga dari tingkat persentase likuiditas program sampai dengan target pada suatu tahun kalender. E. Program Pensiun Terkait dengan manfaat yang akan diterima dalam penyelenggaraan program pensiun ada beberapa model. Diantaranya dijelaskan berikut ini. 1. Final salary (defined benefit) Program ini disebut juga sebagai program gaji akhir atau manfaat pasti, dimana seorang pensiunan akan mendapatkan manfaat pensiun yang dihitung berdasarkan masa kerja dan gaji terakhir sebelum pensiun. Sekali dibayarkan, maka jumlah manfaat pensiun akan tetap dijamin pembayarannya sampai dengan waktu yang telah ditentukan dalam kontrak asuransinya. 2. Indexed career average (ICA) Dalam program rata-rata indeks karir ini, seorang pensiunan akan menerima manfaat pensiun yang dihitung berdasarkan masa kerja dan rata-rata penghasilan total pensiunan selama bekerja. Sekali dibayarkan, maka pembayarannya akan terus dijamin sesuai dengan kontrak asuransinya. Di beberapa negara lain, program ini juga disebut sebagai CARE atau Career Average Revalued Earnings (rata-rata penghasilan yang diterima selama berkarir).
26
3. Notional defined contribution (NDC) Manfaat pensiun yang didapat dalam program ini tergantung dari besaran kontribusi yang dibayarkan dan pengembaliannya didasarkan pada the notional assets (perkiraan pengembangan aset), yang sebenarnya tidak benar-benar diinvestasikan dan perkembangan notional portfolio bisa ditelusuri. Perhitungan investasi premi pensiun didasarkan pada faktor anuitas yang menyesuaikan dengan tingkat anuitas pasar. Sekali dibayarkan, maka jumlah manfaat pensiun dijamin sesuai dengan kontrak asuransinya. 4. Collective defined contribution (CDC) Manfaat pensiun yang didapatkan dalam program ini tergantung pada jumlah kontribusi yang dibayarkan dan pengembalian investasi yang dihasilkan. Aset tidak dialokasikan kepada rekening individual. Pengembalian investasi tergolong kecil, karena resiko dibagi diantara semua peserta dalam suatu skema. Pembagian resiko terus berlanjut hingga setelah pensiun, dengan syarat bahwa indeks pembayaran pensiun tergantung pada kesehatan keuangan lembaga pengelola pembiayaan pensiun. Pembayaran pensiun dengan demikian bisa meningkat atau menurun. 5. Individual defined contribution (IDC) Manfaat pensiun yang diterima dalam program ini tergantung kepada kontribusi yang dibayarkan dan pengembalian investasi asset. Dalam program ini, perhitungan pemberian manfaat didasarkan pada tingkat anuitas pasar yang terbuka. Sekali dibayarkan, maka jumlah manfaat pensiun yang diterima dan perubahannya didasarkan pada tipe anuitas yang dikenakan. Dengan demikian, konvesional DC dapat dikategorikan sebagai funded dan juga collective defined contribution (CDC) juga bisa dikategorikan
27
sebagai funded, tetapi tidak dengan NDC yang masuk dalam kategori notional assets. Melihat pada berbagai metode pembiayaan dan program pensiun diatas, di Indonesia metode pembiayaan pensiun PNS yang digunakan saat ini adalah sistem sharing contribution, yaitu sistem pembayaran pensiun dengan sumber dana dibiayai secara berbagi (sharing) antara pemerintah (APBN) dengan PT. TASPEN (Persero) yang dananya bersumber dari iuran PNS dan hasil pengembangannya (Setiawati, Budhi, Wakiran, Hadiyati dan Herman, 2006). Sedangkan terkait program pensiun di Indonesia, manfaat program pensiun terbagi dua, yaitu program pensiun manfaat pasti (PPMP) dan program pensiun iuran pasti (PPIP). PPMP adalah program pensiun yang besaran manfaatnya sudah dapat ditentukan sebelum karyawan tersebut berhenti bekerja, sedang iuran yang berasal dari pemberi kerja dan peserta belum dapat dipastikan terlebih dahulu sehingga diperlukan bantuan aktuaris untuk menghitung besarnya iuran yang dibutuhkan guna membayar manfaat pensiun. PPIP yang merupakan kebalikan dari PPMP merupakan program pensiun yang iurannya ditetapkan terlebih dahulu, sedangkan besaran manfaat pensiun yang menjadi hak peserta tidak dapat ditentukan di muka. Besarnya manfaat pensiun dihitung dengan cara akumulasi iuran selama menjadi peserta ditambah dengan hasil pengembangannya, sehingga besar-kecilnya manfaat pensiun tergantung dari baik buruknya sistem pengelolaan dana dalam mencapai hasil investasi. Dalam Tabel berikut dijelaskan perbedaan antara PPMP dan PPIP.
28
Tabel 2.4 Perbedaan Program Pensiun Manfaat Pasti (PPMP) dan Program Pensiun Iuran Pasti (PPIP) No
Aspek
1
Manfaat Pensiun
2
Iuran
3
Masa kerja lalu
4
Resiko investasi Pembayaran manfaat pensiun
5
PPMP
PPIP
Besarnya berdasarkan rumus yang ditetapkan dalam peraturan dana pensiun. Tergantung kecukupan dana berdasarkan perhitungan aktuaria. Pada umumnya diakui dan perndanaannya sepenuhnya tanggung jawab pemberi kerja. Pada pemberi kerja.
Tergantung akumulasi iuran dan hasil pengembangan.
Dibayar oleh dana pensiun atau dibelikan reanuitas.
Dialihkan ke perush asuransi jiwa untuk dibelikan anuitas.
Ditetapkan peraturan pensiun. Tidak diakui.
dalam dana
Pada peserta.
Sumber: Setiawati, Budhi, Wakiran, Hadiyati & Herman, 2006
29
30
Bab III Hasil Studi Banding di Malaysia A. Pendahuluan Studi banding atau study visit di Malaysia dilakukan Tim Peneliti pada tanggal 22 - 27 April 2012. Pemilihan negara Malaysia sebagai tujuan studi banding didasarkan pada adanya persamaan sistem kepegawaian dan sistem pensiun yang diterapkan. Instansi yang dikunjungi ada enam (6) instansi, yaitu Kedutaan Besar RI di Kuala Lumpur dan lima (5) instansi yang terkait dalam pengelolaan dana pensiun di Malaysia. Kelima instansi tersebut adalah : 1. Public Service Department of Malaysia (PSD) atau Jabatan Perkhidmatan Awam (JPA), 2. Armed Forces Fund Board (AFFB) atau Lembaga Tabung Angkatan Tentara (LTAT), 3. Employees Provident Fund (EPF) atau Kumpulan Wang Simpanan Pekerja (KWSP), 4. Social Security Organisation (SOCSO) atau Pertubuhan Keselamatan Sosial (Perkeso), dan 5. Retirement Fund Incorporated (RFI) atau Kumpulan Wang Persaraan (KWAP). Di lima instansi tersebut Tim Peneliti diterima oleh para pejabat yang menangani langsung pengelolaan pensiun pegawai di Malaysia. Berikut disampaikan berbagai data dan informasi yang diperoleh Tim dalam study visit tersebut. Dari data dan informasi yang diperoleh Tim pada saat melakukan study visit ditemukan bahwa kelima instansi tersebut mempunyai tugas dan fungsi yang jelas dalam pengelolaan pensiun atau jaminan sosial di Malaysia. Tugas dan fungsi tersebut tidak saling overlapping tetapi justeru saling terkait satu dengan yang lain. Selain itu masing-masing instansi juga diberi kewenangan yang jelas dalam melakukan pengelolaan dana pensiun sehingga bisa mensejahterakan anggotanya. 31
Sebagaimana dijelaskan didepan ada lima instansi yang mengelola pensiun pegawai di Malaysia. Berikut disajikan kelima instansi tersebut dan rincian tugas dan fungsi utamanya. Tabel 3.1 Instansi Pengelola Dana Pensiun Pegawai di Malaysia Peserta Pegawai Negeri
Instansi Pengelola Jabatan Perkhidmatan Awam (JPA) Kumpulan Wang Persaraan (KWAP)
Manfaat pasti (defined benefit), pegawai tidak mengiur, iuran oleh oleh negara
Lembaga Tabung Angkatan Tentara (LTAT)
- Iuran wajib tanpa pensiun - Iuran wajib dengan pensiun - Iuran sukarela
-
Tentara
Kumpulan Wang Simpanan Pekerja (KWSP) Pertubuhan Keselamatan Sosial (Perkeso)
-
Pegawai swasta Pegawai negeri yg tdk mempunyai pensiun
-
-
Pegawai swasta individu Pegawai tanpa penghasilan tetap
Kumpulan Wang Simpanan Pekerja (KWSP)
-
Jenis Skema Pensiun
-
Iuran wajib
Iuran sukarela
Sumber : LTAT, 2012
Pengelolaan jaminan sosial di Malaysia terdiri dari beberapa badan dibawah koordinasi beberapa kementerian. Sifat koordinasinya saling melengkapi dan tergantung pada kelompok sasaran pada masing-masing layanan jaminan sosial. Lembaga pengelola sistem pensiun di Malaysia dibagi menjadi dua (2), yaitu lembaga pengelola investasi iuran pensiun (KWAP, LTAT, KWSP dan Perkeso) dan lembaga regulasi sistem pensiun (JPA, Ministry of Finance untuk urusan pensiun tentara dan veteran, dan KWSP (EPF) untuk pekerja di sektor swasta). Secara lebih lengkap dapat digambarkan berikut ini : 32
Tabel 3.2 Jenis-jenis Layanan Jaminan Sosial di Malaysia No 1
2
Ruang Lingkup Jaminan Kematian
Cacat tetap (invalidity)
Regulator
Skema
Jabatan Pengkhidmatan Awam (JPA)
Skema Pensiun PNS
Kementerian Keuangan
KWSP penarikan manfaat dan akibat kematian
Kementerian Tenaga Kerja
Organisasi Jaminan Sosial (Perkeso)
Kementerian Keuangan
KWSP pengambilan manfaat cacat tetap
Kementerian Tenaga Kerja
Organisasi Jaminan Sosial (Perkeso)
3
Kecelakaan Kerja
Kementerian Tenaga Kerja
Organisasi Jaminan Sosial (Perkeso)
4
Pengangguran atau korban PHK
Program ad hoc
Skema asuransi bagi pengangguran tidak tersedia
5
Melahirkan
Kementerian Kesehatan
Biaya pengobatan minimal pada RSU dikenakan tarif: RM 10 untuk kelas 3, RM 150 untuk kelas 2 dan RM 300 untuk kelas 1. Namun sebagian pekerja juga dilindungi oleh asuransi yang diberikan oleh pemberi kerjanya.
6
Fasilitas pemeliharaan kesehatan
Kementerian Kesehatan
RM 80, RM 30, untuk kelas 1, kelas 2 dan kelas 3 biaya harian berbeda. Sebagian pegawai dilindungi secara penuh ataupun sebagian oleh pemberi kerjanya.
33
7
Sakit
Kementerian Kesehatan
RM 1 untuk berobat jalan di RSU (dokter umum), RM 5 untuk berobat di RSU (dokter spesialis)
8
Subsidi untuk anak dan keluarga
Kementerian Pendidikan
Kementerian Perempuan, Keluarga dan Pengembangan Komunitas
Program untuk membantu keluarga miskin dan berpenghasilan rendah, membantu biaya pendidikan dasar dan menengah Dana perwalian muird kurang mampu Program makanan tambahan bagi anak sekolah Program susu 1 Malaysia Bantuan seragam sekolah Beasiswa Pemerintah Federal bagi mahasiswa kurang mampu Sekolah berasrama bagi siswa berprestasi yang berasal dari keluarga tidak mampu Buku ajar gratis bagi murid sekolah dasar dan menengah Beasiswa persiapan masuk universitas
Program bantuan sosial di bawah departemen kesejahteraan sosial: Untuk anak Untuk pensun dini Untuk anak dg perawatan khusus Untuk orang cacat yang bekerja
34
9
Usia tua
Jabatan Pengkhidmatan Awam (JPA)
Bantuan keuangan umum Hibah Tunjangan magang Bantuan bagi korban bencana alam Tunjangan bagi asisten orang cacat Bantuan bagi orang cacat yang tidak bisa bekerja Bantuan alat-alat kesehatan bagi orang cacat
Sistem Pensiun PNS
Kementerian Keuangan
Sistem pensiun bagi pegawai swasta (Skema KWSP) Skema tabungan sukarela bagi pekerja sektor informal
Kementerian Pertahanan
Skema pensiun untuk angkatan bersenjata (LTAT)
Sumber : KWSP (EPF), 2012
35
Pembagian kewenangan dan pembagian pekerjaan antara instansi yang terlibat dalam jaminan sosial di Malaysia bukan saja dilihat dari aspek layanan jaminan sosial yang diberikan tetapi juga spesifikasi kewenangannya, yaitu sebagai administrator, regulator dan badan manajemen investasi. Pada Tabel berikut ini dijelaskan pembagian tugas, kewenangan, dan sasaran masing-masing lembaga yang terlibat dalam pengelolaan sistem pensiun di Malaysia. Khusus mengenai pensiun PNS, dalam rantai nilai sistem pensiun di Malaysia, JPA memegang peranan yang strategis, sedangkan KWAP lebih berfungsi sebagai lembaga simpanan bagi dana pensiun PNS dan juga sebagai lembaga investasi dana pensiun PNS.
36
Tabel 3.3 Rantai Nilai dalam Sistem Pensiun di Malaysia
Program Pensiun PNS
Perumusan Kebij
Pengumpul iuran pensiun
Pengawasan & Kebij Invest
Manaj investasi
Merumuskan kebij pensiun dan sistem pensiun
Mengelola kumpulan kontribusi peg
Menetapkan kebij invest & pengawasan kinerja
Pelaks manaj invest
JPA:
KWAP mengelola kontribusi iuran hanya dari pemberi kerja
KWAP
Mengumpulkan kontribusi iuran dari pem & angg angkatan
LTAT
Mengemb & mereviu kebij
Program Pensiun Angkatan Tentara
MINDEF:
Sektor Swasta dan selain PNS
KWSP (EPF):
Mengemb & mereviu kebij
Menghit kalkusi pendanaan awal LTAT kpd KWAP
Adm peserta program pensiun
Pembayaran Manfaat Pensiun
Mengelola akun peserta
Mengelola adm keuangan & pembayaran
JPA (Kantor Perdana Menteri): menghit manfaat pensiun, gratuitas (lump sum), penghargaan dlm bentuk cash dan manfaat lainnya
JPA pembayaran manfaat
Urusan Veteran (MINDEF):
Pembayaran manfaat pensiun
Berkomunikasi dg peserta Perhit manfaat Berkomunikasi dg angg tentara aktif Adm neraca akun angg
Transfer pendanaan awal kpd KWAP
EPF (KWSP)
Memberikan masukan kebij
Sumber : KWAP, 2012
37
Selain pembagian kewenangan dan peran yang jelas bagi setiap lembaga pengelola dan regulator pensiun, sistem pensiun di Malaysia terdiri dari empat pilar, artinya setiap pilar memiliki cakupan dan kelompok sasaran yang berbeda yaitu : Tabel 3.4 Sistem Pensiun di Malaysia Pilar 0
Pilar 1
Sasaran
Pemberatasan Kemiskinan
Pendapatan pokok
Pengganti penghasilan
Pendapatan tambahan
Tunjangan informal
Sifat Kepesertaan
Diluar kelompok sasaran JPA, LTAT, SOCSO, EPF
Wajib
Wajib
Sukarela
Sukarela
Kontribusi iuran
Tidak
Ya
Ya
Ya
Tidak
Pembiayaan
Pajak
Partially funded
Funded
Aset Keuangan
Aset Keuangan
Skema
- Bantuan Sosial - Zakat
-
- Public Service Pension - EPF (KWSP) - LTAT - SOCSO
Sistem pensiun swasta
- Transfer antar generasi - Akses kpd pemelihar aan kesehatan - Perum
-
JPA, EPF (KWSP), LTAT, SOCSO
Komisi sekuritas
Administrator
- Depart Kesejah Sosial - Badan Zakat Negara
Pilar 2
Pilar 3
Pilar 4
Sumber: EPF (KWSP), 2012
JPA, KWSP, LTAT dan PERKESO merupakan administrator sistem pensiun pilar kedua yang peranannya sebagai pengganti penghasilan pada saat pensiun. Secara lebih jelasnya, berikut dijelaskan profil, kewenangan dan tugas dari masing-masing lembaga pengelola pensiun di Malaysia. 38
B. Lembaga Pengelola Pensiun di Malaysia 1. Jabatan Pengkhidmatan Awam (Public Department of Malaysia)
Service
Jabatan Pengkhidmatan Awam atau JPA merupakan instansi pemerintah federal (pusat) yang berada di bawah lembaga eksekutif. JPA bertanggungjawab terhadap manajemen sumber daya manusia sektor publik. Struktur organisasi JPA berada di bawah Kantor Perdana Menteri. JPA tidak mempunyai kantor cabang maupun kantor wilayah pada tingkat negara bagian, kecuali untuk bagian pensiun (post service division branch) yang memiliki kantor perwakilan di Sabah dan Sarawak. Post Service Division dalam JPA merupakan bagian yang bertanggung jawab dalam membuat persetujuan dan pembayaran manfaat pensiun kepada pensiunan PNS dan hal-hal yang terkait dengan pengurusan administrasi pensiunan. Kategori pensiunan dan penerima manfaat pensiun yang dijamin oleh skema pensiun yang diberikan oleh JPA adalah : pegawai negeri sipil pada lingkup pemerintahan federal; pegawai negeri sipil pada lingkup negara bagian; pegawai yang bekerja pada lembaga pemerintahan yang disebutkan dalam undang-undang (statutory authority employees); anggota angkatan bersenjata; anggota parlemen dan anggota administrasi federal; sekretaris politik, dan para hakim. JPA terdiri atas tiga program utama dan sepuluh departemen. Tiga program terdiri atas program perencanaan sumber daya manusia, program pengembangan manusia sumber daya manusia dan program operasi sumber daya manusia. Sepuluh divisi terdiri dari : (1) Divisi Perencanaan, Penelitian dan Korporat, (2) Divisi Pengembangan Organisasi, (3) Divisi Pelayanan, (4) Divisi Remunerasi, (5) Divisi Pengembangan Kapital Manusia, (6) NIPA (National 39
Institute of Public Administration), (7) Divisi Pensiun, (8) Divisi Manajemen Pelayanan, (9) Divisi Manajemen Psikologi, dan (10) Divisi Manajemen Informasi dan Teknologi. 2. LTAT (Lembaga Tabung Angkatan Tentera) LTAT dibentuk pada bulan Agustus 1972 berdasarkan Akta Nomor 101 Akta Tabung Angkatan Tentera 1973. Berdasarkan akta tersebut, LTAT mempunyai dua tujuan utama, yaitu: 1. Mengadakan manfaat pensiun dan manfaatmanfaat lainnya untuk anggota Angkatan Tentera Malaysia (ATM) dalam semua tingkatan jabatan dalam satu skema simpanan untuk pegawai angkatan tentera dan Anggota Kerahan Angkatan Sukarela. 2. Melaksanakan program-program latihan peralihan bagi anggota tentara yang akan atau telah pensiun. Visi LTAT adalah menjadi sebuah organisasi yang berwibawa dan dicontoh oleh badan-badan Kerajaan dan korporat. Dalam kegiatannya LTAT memiliki 3 (tiga) misi utama yaitu : a. Mengadakan manfaat pensiun dan sosial ekonomi yang bermutu tinggi untuk anggota Angkatan Tentara Malaysia; b. Komitmen untuk membantu pembangunan negara melalui investasi yang menguntungkan; dan c. Menerapkan nilai kualitas dan budaya kerja cemerlang di kalangan pekerja dan bekerjasama dengan penuh dedikasi, bertanggung jawab, disiplin, amanah, proaktif dan inovatif kearah pencapaian yang cemerlang dan berkelanjutan. Sebagai suatu lembaga yang dijalankan layaknya organisasi bisnis, maka struktur organisasi LTAT terbagi menjadi dewan direksi, dewan komisaris dan panel manajemen investasi. Selain dewan komisaris dan dewan direksi, Panel Investasi merupakan alat 40
kelengkapan organisasi LTAT yang penting, yang bertugas dan bertanggung jawab hal yang berkaitan dengan bidang investasi LTAT. Skema pensiun di LTAT dibagi dalam skema iuran yang berbeda antara perwira dan anggota, yaitu : pengiur wajib (terdiri dari anggota tentara dari lain-lain pangkat (LLP) atau iuran wajib hanya bagi para perwira) dan pengiur suka rela (terdiri dari pegawai tetap ATM dan Anggota Kerahan Angkatan Sukarela (AKAS) atau iuran sukarela hanya bagi para anggota non perwira). Selain jenis iuran diatas, juga terdapat iuran wajib pensiun, iuran wajib tidak pensiun dan iuran sukarela. Semua itu adalah pola kontribusi iuran pensiun bagi anggota tentara di Malaysia yang dikelola oleh LTAT. Di Malaysia yang dikenakan wajib mengiur hanya perwira sedangkan anggota mendapat subsidi silang dari iuran perwira ditambah kontribusi iuran dari pihak kerajaan. Skema iuran wajib dapat diklaim manfaat pensiunnya saat sebulan setelah purna tugas (terhitung masa pensiun), meninggal dunia, dan telah mencapai usia 50 tahun. Sedangkan skema simpanan sukarela dapat diklaim kapan saja sesuai kebutuhan anggota. Manfaat yang didapat dari skema pensiun di LTAT terdiri dari : 1. Berhenti tanpa mendapatkan hak pensiun, manfaat yang diterima adalah : akumulasi iuran pokok + dividen dan bonus ditambah dengan akumulasi iuran pokok dari kerajaan dan dividen dan bonus dari sisi iuran kerajaan. 2. Berhenti dengan pensiun, manfaat yang diterima adalah : bagian individu yang terdiri dari akumulasi iuran pokok + dividen dan bonus yang terkumpul. Sedangkan iuran yang terkumpul semasa waktu percobaan calon tentara diambil oleh pihak kerajaan.
41
Sumber keuangan LTAT dalam pembiayaan pensiun berasal dari : 1. Iuran yang dipotong dari 10% dari gaji pokok anggota per bulan, 2. Sumbangan kerajaan sebesar 15% dari gaji pokok bulanan anggota tentara per bulan, 3. Iuran sukarela dari anggota tentara yang besarnya antara RM 25 sampai dengan RM 750, 4. Pendapatan lain hasil pengembangan investasi. Total iuran pensiun wajib untuk para perwira adalah sebesar 10% dari anggota + 15% dari sumbangan kerajaan = 25% dari gaji pokok adalah iuran tentara bagi program pensiun mereka. Selain mengelola iuran pensiun, LTAT juga berperan sebagai lembaga simpanan dan pengelola investasi bagi tentara aktif baik anggota maupun perwira. Sebagai pengiur aktif, seorang peserta di LTAT mendapatkan fasilitas manfaat seperti : pengeluaran sebagian iuran untuk membeli rumah, manfaat kematian dan cacat, dan pemberian bonus dalam bentuk unit saham. Selain itu, peserta juga bisa menikmati fasilitas yang berasal dari diversifikasi investasi yang dikelola oleh anak perusahaan dibawah LTAT seperti : 1. Perbadanan Perwira Niaga Malaysia atau PERNAMA, yang menyediakan barang kebutuhan pokok seperti : beras, tepung, susu, kecap, mi instan, minyak masak, minuman dalam botol dengan harga subsidi. 2. Perbadanan Perwira Harta Malaysia atau PPHM, yang bertugas untuk menjalankan kegiatan pembangunan rumah, pengurusan proyek, pengedaran bahan-bahan bangunan dan bisnis asuransi. 3. Latihan kursus peralihan bagi anggota yang akan atau telah pensiun. LTAT menawarkan berbagai program latihan kursus pelatihan bagi anggota yang akan atau telah pensiun untuk persiapan mereka 42
bekerja kembali melalui Perbadanan Hal Ehwal Bekas Angkatan Tentera (PERHEBAT). Selain, manfaat-manfaat di atas, untuk anggota aktif ada manfaat tambahan lainnya, yaitu : 1. LTAT membangun dan menyediakan rumah-rumah murah dan sederhana untuk ditawarkan kepada anggota Angkatan Tentera Malaysia yang layak. 2. Beasiswa ke jenjang pendidikan tinggi. 3. Bantuan keuangan kepada para tentara dalam bentuk : bantuan tunai, sumbangan tabungan yang diberikan pada hari pahlawan, beasiswa bagi anakanak untuk bersekolah. 3. KWSP (Kumpulan Wang Simpanan Pekerja) Kumpulan Wang Simpanan Pekerja atau Employee Provident Fund (EPF) didirikan pada 1 Oktober 1951 berdasarkan Akta 452 dan Akta 1991. KWSP merupakan skema simpanan wajib nasional. Keikutsertaan dalam skema KWSP ada dua yaitu pertama yang bersifat wajib dan yang kedua bersifat sukarela. Skema wajib dikenakan para pekerja sektor swasta dan pekerja swasta tanpa hak pensiun. Bersifat sukarela dikenakan pada pekerja wirausaha, pembantu rumah tangga dan pensiunan PNS dengan hak pensiun serta para pekerja asing yang tergolong ekspatriat. Secara kelembagaan KWSP berada dibawah Kementerian Keuangan, dengan struktur organisasi yang terdiri atas EPF Board, EPF Investment Panel dan EPF Management. Tugas dari EPF Board adalah membuat kebijakan dan panduan pelaksanaan kebijakan. Dewan atau board terdiri dari Kepala, Deputi Kepala, lima (5) perwakilan dari pemerintahan termasuk kepala), lima (5) perwakilan pegawai, lima (5) perwakilan pemberi kerja, tiga (3) profesional dan Chief Executive Office (ex-officio). Anggota dewan dipilih oleh Menteri Keuangan. Dewan mempunyai sejumlah
43
komite yang bertugas dengan kerangka acuan yang jelas dan tegas, yaitu : 1. Board of Audit Committee (Komite Dewan Audit), 2. Finance and Development Committee (Komite Keuangan dan Pengembangan), 3. Board Establishment, appoitnment & Services Committee, 4. Board Dicipline Committee (Komite Dewan Disiplin), 5. Board Risk Management Committee (Komite Dewan Manajemen Resiko), 6. Performance Management Committee (Komite Manajemen Kinerja), 7. EPF Enhancement Committee. Selain dewan dan komite, struktur yang paling penting dalam EPF adalah EPF Investment Panel yang bertanggunjawab dalam investasi dana yang terdapat dalam EPF. Anggota Panel Investasi ini ditunjuk oleh Menteri Keuangan. Berikut ini disajikan tabel terkait ratarata kontribusi peserta di KWSP menurut umur dan tingkat pendapatannya. Tabel 3.5 Rata-rata Kontribusi (sejak Januari 2012)
Umur < 55 tahun Pendapatan < RM 5.000 Umur < 55 tahun Pendapatan < RM 5.000 Umur < 55 tahun Pendapatan < RM 5.000 Pekerja Asing Sukarela Sumber : KWSP, 2012
Pemberi Kerja (%)
Pekerja (%)
Total (%)
13
11
24
12
11
23
6,5
5,5
12
RM 5
11
-
4. Perkeso (SOCSO) Perkeso didirikan pada tanggal 1 Januari 1971 sebagai lembaga pemerintah yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas sosial ekonomi dari masyarakat 44
Malaysia. Pembentukan Perkeso merupakan amanat dari the Employee’s Social Security Act 1969 dan General Regulations 1971, sebagai arah bagi dasar jaminan sosial dan memperluas manfaat perlindungan sosial bagi para tenaga kerja. Tujuan diimplementasikannya jaminan sosial di Malaysia adalah untuk memberikan perlindungan jaminan sosial kepada para pekerja dalam menanggulangi resiko dari kecelakaan di tempat kerja, terganggunya kesehatan selama bekerja dan cacat yang diakibatkan oleh pekerjaan yang dilakukannya. Fungsi dari perlindungan jaminan sosial oleh Perkeso adalah untuk memberikan: perawatan kesehatan, kompensasi pendapatan, rehabilitasi dan mempekerjakan kembali, pencegahan terhadap kecelakaan atau jaminan kesehatan dan keamanan pekerja. Sistem triparti ketenagakerjaan di Malaysia terdiri dari tiga pihak, yaitu : (1) Pemerintah (Kementerian Tenaga Kerja (sebagai pelaku utama) dan Kementerian Perdagangan, Pendidikan, Kesehatan dan lain-lain); (2) Pemberi Kerja, dan (3) Pekerja. Tipe-tipe kelompok sasaran perlindungan jaminan sosial dari Perkeso : 1. Pemberi kerja (majikan) Majikan tunggal, kemitraan, perusahaan swasta, asosiasi/lembaga, perwakilan perusahaan dari luar negeri 2. Industri (Kecil, menengah dan besar) Industri pabrikasi, jasa, perumahan, transportasi, pertambangan, perikanan dan pendidikan. 3. Pemberi kerja Pemberi kerja utama yang bertanggungjawab langsung kepada para pekerjanya (misalnya penggajian dan sebagainya). Pemberi kerja perantara yang bekerja pada pemberi kerja utama
45
atau mengambil alih sebagian pekerjaan dari pemberi kerja utama atau sub kontrak. Ketentuan mengenai pekerja yang menjadi tanggungan dalam skema Perkeso adalah : warga negara Malaysia atau yang memiliki status sebagai penduduk tetap, pekerja yang memikili kontrak kerja atau kontrak magang, memiliki penghasilan RM 3000 atau kurang per bulan dengan ketentuan keanggotaan sekali untuk selama atau pilihan, pekerja yang sebelumnya tidak terdaftar atau belum berkontribusi dalam iuran diberikan opsi untuk dilindungi oleh majikan dan pekerja harus setuju untuk dilindungi oleh skema ini. Pengecualian diberikan kepada para pekerja dalam kategori : pegawai negeri, wiraswasta, pekerja asing, pembantu rumah tangga, dan pekerja sektor informal. Kontribusi pendanaan asuransi sosial meliputi iuran pekerja maupun iuran pemberi kerja. Kontribusi ini terdiri dari dua (2) kategori, yaitu : 1. Kategori pertama, usia dibawah 55 tahun (kombinasi dari kedua skema), dibayarkan oleh kedua belah pihak, 2. Kategori kedua, usia diatas 55 tahun dibayarkan hanya oleh pemberi kerja. Kontribusi terhadap skema asuransi kecelakaan kerja dibayarkan oleh pemberi kerja. Pembagian porsi iuran antara pekerja dan pemberi kerja adalah Pemberi kerja : 1.25% + 0.50%, Pekerja : 0.50%. Skema asuransi yang diberikan oleh Perkeso terdiri dari dua (2), yaitu : skema asuransi kecelakaan kerja, dan skema pensiun karena cacat pada saat bekerja (perlindungan 24 jam). Sedangkan manfaat skema asuransi kecelakaan yang diberikan Perkeso terdiri dari : perawatan kesehatan, kompensasi pendapatan sementara ketika mengalami cacat kerja, cacat tetap (keseluruhan atau sebagian), tunjangan kehadiran tetap, perlindungan terhadap anak, biaya pemakaman, rehabilitasi : 46
pemberian alat penunjang ortopedik dan prostetik, dan program kembali bekerja. Sementara manfaat skema asuransi karena cacat saat bekerja yang diberikan Perkeso terdiri dari : perlindungan 24 jam, cacat tetap diartikan sebagai kondisi yang tidak akan pulih kembali secara normal, perlindungan terhadap sakit yang mengakibatkan penyakit kronik, cacat dan kematian, tidak memiliki kemampuan fisik atau lemah, tidak mampu menghidupi dirinya sendiri, perlindungan 24 jam atas penyakit jantung, kanker stadium 3, gagal ginjal, tidak mencakup perawatan kesehatan, kecuali cuci darah.
47
48
Bab IV Reformasi Sistem Pensiun PNS A. Gambaran Awal Desain Reformasi Sistem Pensiun PNS Dari kajian yang dilakukan oleh Tim Peneliti dapat disimpulkan bahwa ada lima permasalahan mendasar dalam sistem pensiun PNS di Indonesia. Kelima masalah tersebut terkait dengan pembiayaan pensiun, pengelolaan dana pensiun, lembaga pengelola pensiun, peserta pensiun dan manfaat pensiun. Kelima masalah ini melingkupi pengelolaan pensiun PNS secara “sistematis” sehingga berdampak pada kecilnya manfaat yang diterima peserta. Manfaat yang diterima tidak memberikan makna dan tidak mampu meningkatkan kesejahteraan PNS setelah purna tugas. Maka tidak salah pendapat yang dikemukakan diawal kajian ini : banyak PNS yang stres begitu masuk usia pensiun. Berikut dijelaskan masing-masing permasalahan tersebut. a. Pembiayaan Pensiun Selama ini manfaat yang diterima PNS selama bertugas ada dua macam, yaitu asuransi kesehatan (Askes) dan tabungan perumahan (Taperum) sementara setelah bertugas (purna tugas) juga ada dua macam, yaitu pensiun dan tabungan hari tua (THT). Pembiayaan manfaat ini sebagaimana amanat Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang PokokPokok Kepegawaian (Pasal 32) seharusnya ditanggung oleh dua pihak, yaitu pekerja dan pemberi kerja. Pekerja disini adalah PNS dan pemberi kerja adalah Pemerintah. Saat ini, pegawai memberikan iurannya untuk pembiayaan pensiun sebesar 4,75%, THT sebesar 3,25%, Askes sebesar 2% dan Taperum sebesar 1%. Sementara itu Pemerintah sebagai pemberi kerja baru memberikan iurannya untuk pembiayaan Askes sebesar 2%. Sementara untuk pembiayaan lainnya Pemerintah 49
belum melaksanakan kewajibannya. Kondisi ini membuat dana purna tugas tidak berkembang dengan baik karena belum adanya iuran Pemerintah. Karena pembiayaan pensiun baru dilakukan oleh satu pihak (pekerja) maka dana yang terkumpul belum atau tidak mencukupi untuk membayar pensiun peserta. Iuran yang dikumpulkan dari peserta dikumpulkan dalam rekening pemerintah yang rencananya akan dijadikan sebagai dana pensiun. Dana ini belum dimanfaatkan untuk membayar pensiun. Pembayaran pensiun dilakukan dengan menggunakan anggaran negara (pay us you go). Pada periode 1994-2008 pembayaran pensiun dilakukan secara cost sharing antara dana pensiun dan APBN. Dalam Tabel berikut dijelaskan perkembangan pembiayaan pensiun. Tabel 4.1 Perkembangan Pembiayaan Pensiun Periode
Sumber Pembiayaan (%) APBN
Dana Pensiun
100
0
0
100
77,5
22,5
Januari 1997 - Desember 1998
77
23
Januari 1999 - Desember 2002
75
25
Januari 2003 - Desember 2005
79
21
Januari 2006 - Desember 2006
82,5
17,5
Januari 2007 - Desember 2007
85,5
14,5
Januari 2008 - Desember 2008
91
9
Januari 2009 - sekarang
100
0
s/d Desember 1993 Januari 1994 - Maret 1994 April 1994 - Desember 1996
Sumber : PT Taspen, 2012
50
Dari Tabel tersebut terlihat bahwa Pemerintah pernah menggunakan dana pensiun untuk membayar pensiun peserta. Bahkan pada Januari - Maret 1994 dana pensiun yang digunakan sebesar 100% dari dana pensiun. Kemudian pada tahun-tahun berikutnya semakin menurun prosentase sharing-nya dan pada Januari 2007 sampai sekarang pembayaran pensiun kembali dilakukan dengan sistem pay us you go (100% dari APBN). Kondisi ini berdampak pada berkurangnya dana pensiun sehingga kecukupan yang diharapkan menjadi semakin sulit diwujudkan. Menurut data yang diberikan oleh PT Taspen saat ini dana pensiun yang dikelola ada sebesar Rp 56,11 Triliun sementara kebutuhan untuk bisa fully funded dibutuhkan anggaran sebesar Rp 300 Triliun. Sehingga masih ada kekurangan dana sebesar Rp 243,89 Triliun. Kekurangan ini tidak akan bisa dipenuhi hanya dengan iuran peserta, maka Pemerintah harus memenuhi kewajibannya membayar iurannya. Dilain sisi apabila sistem pay us you go ini dilanjutkan maka beban anggaran negara akan semakin meningkat seiring berjalannya waktu. Dari data yang disampaikan oleh PT Taspen diketahui bahwa semakin lama, jumlah peserta pensiun semakin bertambah. Sehingga kebutuhan anggaran untuk membayar pensiun juga semakin meningkat. Berikut disajikan proyeksi perkembangan jumlah peserta dan pembayarannya proyeksi untuk tahun 2012 sampai tahun 2015.
51
Tabel 4.2 Proyeksi Perkembangan Jumlah Peserta Pensiun dan Pembayaran Pensiun PNS Tahun
Proyeksi Jumlah Peserta
Pembayaran (Rp)
2012
2.421.375
60.602.332.112.457
2013
2.525.261
62.787.229.114.211
2014
2.639.359
65.980.475.947.721
2015
2.764.809
69.499.123.923.173
Sumber : PT Taspen, 2012
Hasil perhitungan aktuaris independen di PT Taspen menegaskan bahwa apabila tidak ada perubahan sistem pembiayaan pensiun maka beban anggaran akan semakin meningkat sebagaimana digambarkan berikut. Gambar 4.1 Proyeksi Pembayaran Pensiun PNS (Beban APBN) Sistem Pay as You Go
8.000 7.000
Trillions
6.000 5.000 4.000 3.000 2.000 1.000 0
Sumber : PT Taspen, 2012
52
Asumsi yang diperhitungkan oleh aktuaris PT Taspen dalam perhitungan diatas adalah bahwa Pemerintah memberikan kenaikan gaji pokok PNS sebesar 7,5% per tahun, kenaikan pensiun pokok sebesar 5% per tahun dan pertumbuhan pegawai zero growth. Dari gambar tersebut terlihat bahwa kebutuhan anggaran untuk pembiayaan pensiun semakin lama semakin meningkat tajam. Bahkan pada tahun 2055 kebutuhan anggaran untuk membayar pensiun mencapai Rp 1.000 Triliun sangat jauh dari kebutuhan yang diproyeksi hanya sebesar Rp 300 Triliun. Kondisi tersebut dengan asumsi bahwa kenaikan gaji pokok hanya 7,5% per tahun dan kenaikan pensiun pokok sebesar Rp 5% per tahun. Padahal dalam kenyataannya, Pemerintah selalu menaikkan gaji pokok sebesar 10% yang diikuti dengan kenaikan pensiun pokok dengan besaran yang sama. Sehingga perhitungan tersebut bisa menjadi lebih besar. Inilah yang apabila tidak segera dilakukan reformasi dalam sistem pembiayaan pensiun maka negara akan mengalami kebangkrutan karena anggaran negara tersedot untuk membiayai pensiun. Beban anggaran yang berat juga diperkuat dengan perbandingan antara besar iuran peserta dan besar manfaat yang diterima peserta. Dari gambar tersebut terlihat bahwa gap antara besar iuran dan besar manfaat dari tahun ke tahun semakin besar. Bisa dikatakan besar iuran tidak mampu menutup kebutuhan pembiayaan pensiun. Hal ini karena yang memberikan iuran baru satu pihak (pekerja) saja sementara pemerintah (pemberi kerja) belum memberikan iuran. Gap itulah yang ditutup dengan menggunakan anggaran negara (pay as you go).
53
Gambar 4.2 Perbandingan Nilai Iuran dan Manfaat Pensiun 60,0 52,4 50,0
44,5 40,4
40,0 Rp triliun
33,4 30,0
26,7
20,0
10,0 3,4
5,8
5,2
4,3
6,6
2007
2008
Iuran Peserta
2009
2010
2011
Manfaat
Sumber : PT Taspen, 2012
b. Pengelolaan Dana Pensiun Masalah berikutnya adalah terkait dengan pengelolaan dana pensiun. Sebagaimana dijelaskan didepan bahwa pembiayaan pensiun baru satu pihak yang melakukan iuran, yaitu pekerja/PNS sementara pihak lainnya (pemerintah) belum melakukan iuran. Kondisi ini lebih diperparah karena pengelolaan dana pensiun (bentuk investasi) sangat terbatas. Pengelolaan dana pensiun atau investasi yang dilakukan dibatasi oleh peraturan. Investasi yang dilakukan adalah yang resikonya kecil (low risk) sehingga tingkat pengembaliannya (return of investment) juga kecil. Selain itu dalam pengelolaan dana pensiun ini diperlukan adanya jaminan dari Pemerintah apabila terjadi kerugian investasi sehingga pembayaran pensiun peserta tidak terganggu. Dari data yang diberikan oleh PT Taspen diketahui bahwa investasi dana pensiun saat ini sangat terbatas. 54
Yaitu pada investasi dalam bentuk deposito, obligasi, investasi langsung serta investasi lain-lain. Bentuk investasi ini mempunyai nilai return of investment yang kecil karena resikonya juga kecil. Dalam Tabel berikut ini disajikan data porto folio berbagai jenis investasi dana pensiun yang dilakukan oleh PT Taspen. Tabel 4.3 Porto Polio Investasi Dana Pensiun dalam Prosentase (%) Tahun
Deposito
Obligasi
2007
33,67
2008
Investasi
Jumlah
Langsung
Lainnya
65,38
0,81
0,14
100
45,35
53,90
0,65
0,09
100
2009
42,78
55,82
028
1,12
100
2010
43,17
55,94
0,12
0,76
100
2011
35,24
64,64
0,10
0,02
100
Sumber : PT Taspen, 2012
Dari investasi tersebut, hasil yang diperoleh ternyata tidak signifikan, dalam arti sangat kecil. Karena menurut penjelasan nara sumber dari PT Taspen semakin maju atau semakin meningkat perekonomian suatu negara maka tingkat bunga deposito dan obligasi semakin turun. Dengan demikian return of investment dari kedua jenis investasi ini juga semakin kecil. Sehingga secara nominal dana pensiun juga tidak berkembang secara signifikan. Dalam Gambar berikut disajikan data hasil investasi dari dana pensiun. Dari lima jenis investasi yang dilakukan oleh PT Taspen terlihat bahwa hasil investasinya secara akumulasi cenderung semakin menurun dalam periode tahun 2007-2011. Kondisi ini tentu saja sangat memprihatinkan karena dana pensiun yang menjadi harapan akan semakin sulit diwujudkan. 55
Gambar 4.3 Hasil Investasi Dana Pensiun dalam Prosentase (%) 12,000%
10,000%
8,000%
6,000%
4,000%
2,000%
0,000% 2007
2008
2009
2010
2011
prosenatse
Sumber : PT Taspen, 2012
c. Lembaga Pengelola Pensiun Penyelenggaraan dan pengelolaan dana pensiun pada awalnya dilakukan oleh Kementerian Keuangan, yaitu Direktorat Jenderal Anggaran. Pada tahun 1986 diserahkan secara bertahap per wilayah kepada PT Taspen. Dasar kebijakannya adalah surat Menteri Keuangan Nomor S-244/MK.011/1985 dan surat Direktur Jenderal Moneter Dalam Negeri, Departemen Keuangan Nomor S-199/MK.11/1985. PT Taspen diserahi kewenangan untuk mengumpulkan dana iuran peserta pensiun dan mengelola dananya. Akan tetapi dalam kebijakan tersebut, PT Taspen tidak diberi kewenangan untuk menggunakan atau memanfaatkan dana tersebut. Kewenangan pemanfaatan dana pensiun masih dipegang oleh Kementerian Keuangan. Sehingga dalam masalah kelembagaan pengelola pensiun ini ada dua lembaga 56
yang diserahi tugas mengelola. Kondisi ini berdampak tidak maksimalnya pengelolaan dana pensiun. d. Peserta Pensiun Perbaikan tingkat kesehatan masyarakat berdampak pada semakin meningkatnya angka harapan hidup penduduk Indonesia. Kondisi ini berdampak pada semakin panjangnya usia peserta pensiun. Semakin panjangnya usia peserta pensiun berarti semakin panjangnya masa menerima manfaat pensiun. Panjangnya masa menerima manfaat juga berdampak pada penerima manfaat sambungan, yaitu manfaat untuk pensiun janda/duda dan anakanak yang menjadi tanggungannya. Masalah lain terkait peserta adalah kebijakan pemerintah mengangkat tenaga honorer dan sekretaris desa menjadi PNS. Para tenaga honorer dan sekretaris desa mayoritas usianya sudah tua sehingga masa mengiur mereka pendek sementara mereka nanti akan menerima manfaat pensiun termasuk untuk pensiun janda/duda dan anaknya. Demikian juga terjadinya pensiun ganda, satu orang pegawai bisa menerima dua atau tiga bahkan lebih manfat pensiun. Hal ini terjadi karena manfaat pensiun tidak hanya diberikan kepada PNS semata tetapi juga kepada pejabat negara. Sehingga seorang pensiunan PNS yang kemudian berkarier sebagai pejabat negara dimungkinkan menerima dua manfaat pensiun. e. Manfaat Pensiun Masalah terakhir yang melingkupi pengelolaan pensiun PNS adalah manfaat pensiun yang tidak mampu meningkatkan kesejahteraan PNS setelah purna tugas. Saat ini manfaat pensiun yang diterima peserta adalah maksimal 75% dari gaji pokok. Nominal ini dirasakan sangat kecil sekali. Karena pada saat masih bertugas seorang PNS tidak hanya menerima gaji 57
pokok semata tetapi juga menerima berbagai macam tunjangan. Tunjangan-tunjangan ini jumlahnya jauh lebih besar dari gaji pokoknya. Pada masa purna tugas tunjangan-tunjangan ini tidak akan diterima lagi, yang diterima hanya 75% dari gaji pokok. Sehingga bisa dikatakan penghasilan setelah pensiun sangat sedikit sekali dibandingkan pada saat masih aktif. Berikut ini adalah manfaat yang diterima pada saat seorang pegawai pensiun. Apabila pensiun normal (BUP, 56 tahun) maka rumusnya adalah = (2,5% x masa kerja x gaji pokok) + tunjangan. Apabila cacat yang disebabkan karena kecelakaan kerja rumusnya adalah = (75% x gaji pokok) + tunjangan. Apabila cacat bukan karena kecelakaan kerja rumusnya sama dengan pensiun normal. Sementara pensiun janda/duda/yatim piatu berbeda dengan pensium peserta. Rumusnya apabila peserta pensiun normal adalah sebagai berikut = (2,5% x masa kerja x gaji pokok) x 36% + tunjangan. Apabila pensiun sisebabkan pesertanya tewas rumusnya adalah = (72% x gaji pokok) + tunjangan. Dan apabila pensiun orang tua, rumusnya adalah = (20% x 72% x gaji pokok) + tunjangan. Selain itu apabila peserta meninggal maka ahli waris menerima uang duka yang besarannya adalah 3 x uang pensiun terakhir. Besaran tunjangan yang diterima adalah tunjangan suami/istri = 10% x gaji pokok, tunjangan anak = 2% x gaji pokok dan tunjangan beras sebesar Rp 58.050/orang. Secara akumulatif besaran pensiun yang diterima seorang peserta kurang lebih adalah minimal 40%, maksimal 75% dari penghasilan dasar pensiun. B. Pandangan Daerah tentang Penyelenggaraan Program Pensiun PNS 1. Bangka Belitung Data dan informasi yang diperoleh Tim Peneliti di Provinsi Bangka Belitung menyebutkan bahwa manfaat 58
yang diterima oleh peserta tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup mereka. Hal ini terlihat dari banyaknya pensiunan yang keluar dari Provinsi Bangka Belitung dengan alasan biaya hidup yang tinggi. Pada saat masih bertugas, mereka tidak mengalami kesulitan dengan biaya hidup yang tinggi tersebut karena penghasilan yang mereka peroleh masih mampu mencukupi kebutuhan hidup. Karena penghasilan PNS tidak hanya sekedar gaji tetapi ditambah dengan berbagai macam tunjangan. Akan tetapi setelah masuk pensiun maka penghasilan yang diterima hanya 75% dari gaji pokok. Kondisi ini lebih terasa bagi pegawai yang menduduki jabatan struktural. sebagaimana kita ketahui saat ini tunjangan jabatan struktural sangat besar, lebih besar daripada gaji pokok PNS. Begitu masuk usia pensiun, tunjangan struktural tidak diterima lagi. Sehingga kondisi ini sangat memberatkan peserta. Kondisi ini juga terjadi bagi pensiunan janda/duda. Dalam administrasi pengelolaan pensiun, PT Taspen cabang Bangka Belitung sudah menjalin kerjasama dengan beberapa instansi untuk mendukung pelayanannya. Untuk proses pelayanan pembayaran uang pensiun, PT Taspen menjalin kerjasama dengan PT Pos dan Giro yang mampu menjangkau pelosok desa. Dengan demikian tidak ada keterlambatan dalam pembayaran manfaat pensiun kepada peserta meskipun mereka berada di pelosok. Sedangkan untuk update data pegawai, PT Taspen menjalin kerjasama dengan BKD. Bahkan kerjasama dengan BKD ini memungkinkan update data dilakukan secara online sehingga mengurangi terjadinya kesalahan data pegawai. Beberapa masukan yang diterima Tim Peneliti dari Provinsi Bangka Belitung terkait perlunya mengubah dasar perhitungan pensiun. Diharapkan tidak pada gaji pokok yang kecil tetapi pada penghasilan (gaji pokok + 59
tunjangan) sehingga manfaat yang diterima menjadi lebih besar. Demikian pula terkait dengan sistem pembayaran pensiun, kalau dimungkinkan manfaat diberikan sekaligus (lumpsum) seperti THT sehingga lebih berasa dan bermakna. Selain itu peserta, menjelang masuk BUP perlu dibekali dengan keterampilan wirausaha sebagai bekal nanti setelah purna tugas. Sehingga begitu masuk BUP, peserta sudah dibekali keterampilan wirausaha dan mendapat modal untuk memulai usaha. 2. Jawa Barat Menurut Sekretaris BKD Provinsi Jawa Barat, saat ini Provinsi Jawa Barat sedang mengembangkan program pensiun 2 Milyar bagi pegawainya. Hal ini dilakukan karena memandang saat ini manfaat pensiun yang diterima peserta tidak memadai untuk membiayai hidup setelah pensiun. Saat ini sudah ada perusahaan asuransi swasta yang mau mengelola sistem pensiun dengan memberikan manfaat 2 Milyar untuk masa mengiur selama 30-35 tahun dengan premi sebesar kurang lebih Rp 500.000,-. Akan tetapi pihak Provinsi Jawa Barat belum melaksanakan karena belum ada persamaan pandangan terkait jaminan terhadap investasinya dan pemanfaatannya. Karena dikelola oleh swasta maka ada kekhawatiran dananya diinvestasikan ke bentuk yang high risk dan pemanfaatannya bukan untuk peserta (PNS) tetapi lebih fokus ke luar negeri (sektor swasta). Ide pensiun 2 Milyar ini muncul karena uang tali asih yang selama ini diberikan oleh Provinsi Jawa Barat kepada para pensiunan dilarang. Padahal uang tali asih ini sebenarnya salah satu cara untuk menambah manfaat yang diterima oleh peserta. Beberapa masukan yang diberikan kepada Tim Peneliti antara lain terkait dengan investasi yang dilakukan terhadap dana pensiun. Diharapkan investasi 60
yang dilakukan tidak tradisional tetapi lebih berkembang. Misalnya dengan merambah berbagai sektor seperti properti/perumahan yang dijual untuk peserta, toko retail untuk peserta dan lain sebagainya. Selain itu manfaat yang diberikan bukan hanya berupa nominal uang tetapi bisa berupa discount untuk pelayanan pemerintah. Misalnya dalam transportasi, kesehatan, makanan atau hiburan. Khusus untuk peserta pensiun diberikan harga khusus, sehingga meskipun pendapatannya berkurang dari aspek pengeluran juga bisa dikurangi (dengan adanya discount). Masukan lain terkait dengan pembiayan pensiun, yaitu perlunya pemerintah melakukan iuran. Ide cut off dalam pembiayaan pensiun sebagaimana dijelaskan PT Taspen harus dilaksanakan untuk menyelamatkan pegawai saat ini yang kemungkinan tidak bisa dibayar pensiunnya di masa depan. Ada ide untuk melakukan sharing contribution antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam pembiayaan pensiun. Hal ini didasari selama ini ada Pemerintah Daerah yang memberikan tunjangan tambahan penghasilan yang bisa dialihkan untuk membayar premi pensiun. Selanjutnya perlu adanya perubahan dasar perhitungan pensiun, bukan pada gaji pokok tetapi pada penghasilan (gaji pokok + tunjangan). 3. Kepulauan Riau Masukan yang diberikan oleh Provinsi Kepulauan Riau dalam pengelolaan sistem pensiun PNS terkait dengan investasi yang dilakukan. Hal didasari oleh manfaat yang diterima oleh peserta yang sangat kecil. Diharapkan investasi bisa lebih beragam dan kalau perlu tidak hanya yang low risk tetapi high risk juga tidak apa asalkan dilakukan dengan prinsip kehati-hatian. Karena kalau investasinya low risk maka hasilnya akan rendah, tapi kalau high risk tentu hasilnya akan lebih 61
baik. Untuk menjaga apabila ada resiko maka perlu ada jaminan dari Pemerintah. Dalam hal ini memang perlu penegasan lembaga mana yang harus mengelola dana pensiun. PT Taspen atau Kementerian Keuangan atau BUMN lainnya tidak masalah asalkan bisa meningkatkan nilai manfaat yang diterima peserta. Ada ide untuk melibatkan pihak swasta dalam pengelolaan dana pensiun PNS sehingga terjadi kompetisi tetapi mungkin resikonya akan sangat tinggi. Selama ini peserta hanya tahu mengenai kecilnya manfaat tetapi tidak menyadari permasalahan yang ada dalam sistem pensiun PNS. Terkait hal ini, perlu dikembangkan koordinasi dari instansi-instansi yang terkait dengan sistem pensiun. Misalnya pemerintah dalam melakukan rekrutmen seharusnya tidak hanya berkoordinasi dengan Kementerian Keuangan terkait masalah pembayaran gajinya tetapi juga dengan Kementerian BUMN dalam hal ini PT Taspen untuk menghitung kemampuan APBN membayar pensiunnya nanti. Demikian juga Kementerian PAN dan RB terkait kebijakan pengangkatan tenaga honorer daerah dan sekretaris desa menjadi PNS yang ternyata membebani APBN dalam pembayaran pensiunnya. Rekrutmen PNS yang sudah tua (masa mengiurnya pendek) akan membebani APBN. Muncul pertanyaan : apakah koordinasi ini tidak dilakukan? Masalah kepesertaan mendapat sorotan karena ternyata dampaknya sangat besar kepada kemampuan APBN dalam membayar pensiun peserta. PT Taspen perlu selalu melakukan up date terkait data peserta, baik peserta sendiri maupun peserta janda/duda. Karena seringkali terjadi peserta sudah meninggal masih dibayar pensiunnya, atau peserta janda/duda sudah menikah kembali tetap dibayar pensiunnya. Akan tetapi muncul satu permasalahan terkait pernikahan siri karena tidak diakui negara maka pernikahan siri tidak masuk kriteria untuk penghentian 62
pembayaran pensiun. Jadi meskipun ada fakta bahwa peserta janda/duda sudah menikah lagi dengan orang lain yang seharusnya tidak berhak mendapat pensiun tetapi karena tidak mempunyai surat bukti pernikahan resmi dari negara, maka PT Taspen tidak bisa menghentikan pembayaran pensiunnya. Kondisi inilah yang mendorong dilakukan on spot visit oleh PT Taspen untuk peserta-peserta yang “dicurigai”. 4. Daerah Istimewa Yogyakarta Di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) saat ini sudah mulai dilakukan pembekalan untuk persiapan pensiun. Saat ini ada pembekalan untuk menghitung nilai manfaat yang akan diterima pada saat pensiun. Harapannya supaya peserta tidak kaget pada saat menerima pensiun dan THT. Kedepan akan dikembangkan untuk memberikan pembekalan terkait keterampilan wirausaha setelah pensiun. Sehingga setelah pensiun pegawai tetap bisa berkarya, mempunyai keterampilan dan modal usaha. Beberapa masukan yang diberikan oleh Provinsi DIY antara lain terkait dengan double pensiun. Mengapa kondisi ini bisa terjadi, padahal peserta hanya mengiur untuk satu pribadi, tidak ada iuran double tetapi mengapa manfaat pensiunnya bisa double? Ada usulan untuk peserta yang seperti ini seharusnya ada peraturan yang mewajibkan mereka untuk memilih pensiun mana yang menguntungkan bagi mereka. Sehingga mereka tetap menerima satu jenis pensiun, apakah sebagai PNS ataukah sebagai pejabat negara. Terkait dengan dasar penghitungan pensiun disarankan untuk menggunakan penghasilan bukan gaji pokok. Sebab hal ini untuk mengakomodasi beban tanggung jawab yang berbeda terkait jabatan yang diemban pada saat masih aktif. Misalnya pensiunan seorang pejabat eselon I seharusnya berbeda dengan seorang pejabat eselon II meskipun 63
mereka berada di pangkat, golongan dan masa kerja yang sama. Karena beban tanggung jawab pada saat masih aktif tentu lebih berat pejabat eselon I daripada eselon II, maka mereka diberikan tunjangan jabatan yang berbeda pula. Atau apabila memang masih didasarkan pada gaji pokok maka perlu ada kenaikan gaji pokok dan perlu dilakukan perubahan struktur gaji dan tunjangan jabatan. Terkait manfaat yang diterima yang memang kecil disarankan untuk melibatkan BUMN/BUMD dalam melakukan investasi. Dengan melibatkan BUMN/BUMD diharapkan dana pensiun bisa berkembang lebih baik. Selain itu BUMN/BUMD masih berada dibawah pengawasan Pemerintah sehingga lebih aman. Akan tetapi dalam hal terjadi kerugian, Pemerintah tetap wajib memberikan jaminannya supaya pembayaran pensiun tidak turun nominalnya atau terhenti pembayarannya. Justeru apabila BUMN/BUMD mendapat keuntungan maka peserta pensiun bisa memperoleh tambahan bonus. Muncul juga wacana untuk pensiun dini di Provinsi DIY yang ditolak oleh Pemerintah Pusat. Mengapa pensiun dini tidak atau belum bisa diakomodasi? Dalam hal ini disarankan untuk menegaskan adanya masa minimal pensiun dini, sampai berapa tahun pegawai bisa mengajukan pensiun dini dan berapa manfaat yang bisa diperoleh. Hal ini penting supaya pegawai masih bisa melanjutkan kariernya meskipun sudah pensiun karena umurnya masih muda, masih kuat dan masih mempunyai semangat tinggi. Terkait dengan peserta, PT Taspen perlu menegaskan bahwa tidak semua PNS bisa menerima hak pensiun. Harus ada pembatasan yang ditegaskan dalam peraturan, misalnya terkait masa minimal mengiur, batasan bagi peserta yang menerima double pensiun, perlunya up date data bagi peserta yang sudah tua dan janda/duda yang masih muda dan lain 64
sebagainya. Untuk update data peserta ini perlu dilakukan on spot visit untuk menghindari adanya kebocoran pembayaran pensiun. 5. Jawa Tengah Provinsi Jawa Tengah sebagaimana provinsi lainnya dalam mengatasi kecilnya manfaat pensiun yang diterima oleh peserta maka memberikan tali asih. Tali asih ini diberikan berupa sejumlah uang yang diberikan pada saat pegawai menerima pensiun pertama dan uang THT. Selain itu juga sudah mulai diberikan pembekalan kepada para calon peserta pensiun. Terkait dengan masalah yang meliputi pengelolaan pensiun PNS, peserta di Jawa Tengah menyatakan bahwa kebanyakan PNS kalau masuk masa pensiun selalu galau. Hal ini tidak lepas dari berkurangnya penghasilan yang diterima setelah pensiun. Sehingga hal pertama yang harus dibenahi adalah manfaat pensiun. Untuk bisa meningkatkan manfat pensiun memang harus menambah iuran serta memaksimalkan pengelolaan dana pensiun. Pemerintah sesuai amanat UU harus mengiur untuk menambah dana pensiun. Investasi harus dilakukan secara profesional, oleh lembaga yang independen dan profesional di bidang perasuransian. Investasi bisa dilakukan diluar, tidak konvensional. Akan tetapi pengelolaannya tetap dibawah pengawasan pemerintah dan ada jaminan pemerintah. Pengelolaannya pun harus transparan, baik biaya operasional maupun perolehannya atau pemilikan aset-asetnya. Sharing antara pemerintah pusat dan daerah mungkin bisa dilakukan akan tetapi harus dikaji kembali. Karena karakteristik daerah di Indonesia berbeda-beda, ada daerah yang kaya akan tetapi ada juga daerah yang kurang. Khususnya daerah-daerah pemekaran 65
yang APBD-nya habis untuk belanja pegawai. Dasar perhitungan pensiun sebaiknya bukan pada gaji pokok tetapi pada penghasilan terakhir sehingga tidak terlalu jauh berbeda selisihnya. Untuk kesediaan anggaran nampaknya perlu dihitung secara lebih cermat. Karena saat ini banyak kebocoran terkait double pensiun, apabila hal ini bisa diminimalisir ada kemungkinan anggaran yang dibutuhkan bisa lebih maksimal. Selain itu ada usulan untuk bisa memberikan pembekalan bagi calon pensiun jauh-jauh hari sebelum pensiun. Misalnya 3 tahun sebelum pensiun, peserta sudah diberi bekal berupa pengetahuan maupun keterampilan untuk persiapan pensiun. 6. Nusa Tenggaran Barat Masukan yang diberikan oleh peserta FGD di Nusa Tenggara Barat terkait dengan berbagai hambatan dan kendala terkait reformasi sistem pensiun PNS. Pada prinsipnya usulan melakukan reformasi sistem pensiun PNS sangat bagus, karena memang kondisi yang disampaikan adalah benar. Masalah-masalah yang disampaikan oleh Tim menunjukkan perlunya segera dilakukan reformasi sistem pensiun PNS. Akan tetapi ada kekhawatiran bahwa reformasi sistem pensiun yang diusulkan ini akan menemui banyak hambatan dan resistensi dari beberapa kalangan. Misalnya dari peserta yang menerima pensiun ganda, peserta yang mengiur sebentar tetapi menerima manfaat maksimal, mampukah anggaran negara mendukung rencana reformasi sistem pensiun, siapa yang pantas mengelola dana pensiun yang begitu besar, mampukah negara menjamin resiko investasinya. Pengalihan sistem pembiayaan pensiun dari pay us you go menjadi fully funded dikhawatirkan akan menambah beban anggaran negara. Investasi dana pensiun harus dikelola dengan prinsip kehati-hatian yang tinggi, dan ada jaminan terhadap resiko apabila 66
terjadi kerugian. Karena pembayaran uang pensiun kepada peserta tidak boleh berhenti atau dikurangi. Untuk mengatasi kekhawatiran tersebut perlu dilakukan perubahan peraturan atau landasan hukum yang mengatur tentang sistem pensiun PNS. Selama tidak ada perubahan kebijakan maka niscaya terjadi perubahan yang signifikan. Peserta juga menyarankan bahwa pemberian manfaat pensiun bisa tidak berupa nominal uang. Tetapi dengan memberikan perbaikan berbagai fasilitas pelayanan masyarakat. Misalnya pelayanan kesehatan yang diperbaiki dan khusus untuk peserta pensiun memperoleh prioritas/keringanan. Dengan demikian beban untuk pemberian manfaat pensiun akan menyebar ke berbagai instansi (pelayanan masyarakat) sehingga tidak terlalu memberatkan. Hal ini sudah terlihat dalam pelayanan PT ASKES, akan tetapi dalam pelayanannya dirasakan masih berbelit-belit. Misalnya untuk memperoleh layanan ASKES harus membawa surat pengantar yang merepotkan peserta. 7. Kalimantan Selatan Masukan yang diberikan oleh peserta FGD di Banjarmasin, Kalimantan Selatan hampir sama dengan provinsi lainnya. Berikut disampaikan masukan-masukan oleh peserta FGD di Banjarmasin. Sesuai amanat UU Nomor 11 Tahun 1969 bahwa pensiun diberikan sebagai jaminan hari tua dan sebagai penghargaan atas jasajasa pegawai negeri selama bertahun-tahun bekerja dalam dinas Pemerintah. Karena alasannya adalah untuk memberikan penghargaan maka sebaiknya prosedur pengurusannya tidak berbelit-belit. Saat ini dirasakan bahwa pengurusan pensiun pegawai masih berbelit, khususnya untuk PNS golongan IV/c keatas. Peserta FGD di Banjarmasin mengharapkan supaya ada delegasi kewenangan dari pusat ke daerah (Kantor Regional BKN) untuk pengurusan pensiun PNS golongan 67
ini. Penandatanganan tidak perlu dilakukan oleh Presiden karena membutuhkan waktu lama, cukup Kepala Kantor Regional BKN. Karena kecilnya nominal manfaat yang diterima peserta pada saat pensiun, diharapkan ada kontribusi dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam pembiayaan program pensiun. Diharapkan dengan besarnya iuran maka bisa meningkatkan nilai manfaat pensiun. Apabila selama ini baru peserta saja yang mengiur, maka harus ditegaskan bahwa pemerintah (baik pusat maupun daerah) diwajibkan mengiur, dalam suatu kebijakan atau peraturan. Sehingga tidak ada alasan untuk mengelak dari kewajiban. Selama ini banyak pemerintah daerah yang memberikan tunjangan tambahan penghasian kepada pegawainya. Pemerintah bisa mengalokasikan sebagian dana ini untuk membayar premi asuransi pensiun. Akan tetapi karena belum semua pemerintah daerah melakukan dan yang sudah melakukan pun besarannya juga bermacam-macam, maka perlu pengaturan yang jelas oleh pemerintah pusat. Di Banjarmasin sendiri ada tunjangan daerah yang kurang lebih besarnya Rp 8 juta untuk eselon II dan pegawai paling rendah kurang lebih Rp 200.000,-. Dana ini bisa dimanfaatkan secara maksimal untuk membantu pegawai pada saat masuk usia pensiun. Pensiun terusan sebaiknya tidak diberikan bagi PNS yang menikah lagi setelah masa pensiun. Sehingga janda/duda yang menikah kembali setelah pensiun tidak berhak mendapat pensiun terusan bagi janda/dudanya. Tetapi pensiun terusan untuk anak hasil pernikahan awal tetap diberikan. Selain itu, diharapkan juga adanya pelatihan keterampilan menjelang pensiun. Adanya pelatihan ini akan memberi bekal bagi para pensiunan untuk memulai usaha baru setelah pensiun.
68
Terkait dengan usulan reformasi sistem pensiun, nampaknya ada peluang terjadinya resistensi dari anggota dewan. Karena mereka akan kehilangan haknya untuk memperoleh pensiun karena masa mengiurnya pendek. Sehingga perlu ada upaya tertentu untuk mengakomodasi kepentingan politis. Selain itu konsekuensi anggaran juga perlu diperhatikan karena membutuhkan dana besar. Kebijakan kepegawaian juga harus sesuai dengan arah reformasi sistem pensiun. Misalnya terkait pengangkatan tenaga honorer daerah yang sebenarnya masih dibutuhkan oleh daerah. Pertimbangannya bukan sekedar kemampuan membayar gajinya tetapi juga kemampuan untuk membayar pensiunnya di masa depan. 8. Jawa Timur Diskusi yang dilaksanakan di BKD Provinsi Jawa Timur memberikan beberapa masukan yang terkait upaya reformasi sistem pensiun PNS. Pertama perlu dilakukan perubahan kebijakan atau peraturan tentang pensiun PNS. Karena peraturan yang ada saat ini, baik Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1969 tentang Pensiun Pegawai dan Pensiun Janda/Duda Pegawai, UndangUndang Nomor 11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun maupun peraturan dibawahnya seperti Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 1981 tentang Asuransi Sosial PNS dirasa sudah tidak sesuai dengan perkembangan yang ada saat ini. Kebijakan ini perlu direvisi dan disesuaikan dengan kebutuhan saat ini. Khususnya dengan tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan para peserta. Beberapa masukan perubahan kebijakan yang perlu diperhatikan adalah terkait dengan penetapan besaran iuran pekerja dan pemberi kerja, serta besaran manfaat baik untuk peserta maupun janda/dudanya. Selain itu perlu mengakomodasi bagi PNS yang 69
diberhentikan dengan tidak hormat untuk tetap mendapat hak pensiunnya. Perlu diakomodasi juga masalah pengelolaan dana pensiun dan transparansi dalam pengelolaannya. Masukan lainnya terkait dengan sistem pembiayaan pensiun. Diharapkan perlu ketegasan pemerintah untuk menetapkan sistem pembiayaan pensiun, apakah mau fully funded dengan membentuk dana pensiun atau pay as you go. Dengan kondisi saat ini nampaknya pembiayaan fully funded lebih tepat karena apabila menggunakan pay as you go kondisi anggaran tidak memungkinkan. Selain itu peserta FGD juga menyarankan perlunya transparansi dalam pengelolaan dana pensiun. Instansi atau lembaga pengelola dana pensiun harus menerapkan prinsip good corporate governance (GCG). Misalnya dengan memberikan laporan neraca keuangan setiap tahun, dan peserta dapat melihat perolehan dana pensiunnya masing-masing. Selanjutnya terkait dengan kepesertaan perlu adanya penegasan khususnya bagi pegawai yang menerima hak pensiun lebih dari satu, juga bagi pejabat negara yang masa kerjanya sebentar. Perlu ada pengaturan yang jelas, siapakah yang berhak atas dana pensiun. Untuk peserta yang menerima hak pensiun lebih dari satu sebaiknya memilih mana yang paling besar atau menguntungkan bagi peserta, sementara bagi pejabat negara sebaiknya tidak menerima pensiun tetapi diberikan pesangon yang besarnya sesuai akumulasi iurannya. Sementara itu terkait kelembagaan, peserta FGD di Surabaya mengharapkan adanya merger atau penggabungan lembaga-lembaga pengelola dana pensiun. PT Taspen, Jamsostek, ASABRI, dan lembaga pengelola pensiun di BUMN/BUMD bisa digabung supaya dana yang dikelola besar. Dengan besarnya dana yang dikelola diharapkan manfaat bisa 70
meningkat. Meskipun juga ada resiko yang harus dihadapi terkait adanya perbedaan karakteristik peserta dari masing-masing lembaga pengelola dana pensiun tersebut. 9. Provinsi Riau Peserta FGD di Pekanbaru, Provinsi Riau menegaskan perlunya mengaitkan kegiatan reformasi sistem pensiun PNS ini dengan RUU Aparatur Sipil Negara (RUU ASN) dan RUU Sistem Pensiun Aparatur Negara (RUU SPAN) yang sedang dibahas di tingkat pusat. Sehingga masukan yang diberikan bisa mewarnai kedua RUU tersebut. Jangan sampai justeru tidak “nyambung”. Sebagaimana peserta FGD dari provinsi lain, di Pekanbaru juga menyoroti kecilnya nilai manfaat yang diterima pegawai pada saat pensiun. Apalagi bagi PNS di Provinsi Riau yang banyak menerima tunjangan daerah. Sehingga banyak dari pegawai yang setelah masuk usia pensiun menjadi menderita 3 S, sakit-stresstroke. Karena timpangnya pendapatan yang diterima pada saat aktif dengan pendapatan pada saat pensiun. Kondisi ini tentunya harus dihindari, dalam arti jangan sampai perbedaannya besar. Untuk itu perlu ada perubahan dalam pengelolaan dana pensiun. Iuran yang diberikan PNS sebesar 4,75% tersebut apakah sepadan dengan manfaat yang diterima pada saat pensiun. Apalagi kalau pemerintah yang belum mengiur ikut mengiur tentunya dana yangterkumpul semakin besar. Untuk itu perlu adanya transparansi dalam pengelolaan dana pensiun. Dalam pembiayaan pensiun diusulkan adanya peluang untuk memberikan premi tambahan bagi PNS yang mampu. Sehingga manfaat pensiun yang diterima bisa lebih tinggi. Sementara bagi peserta yang tidak mau atau tidak mampu memberi tambahan premi maka akan menerima manfaat yang standar. 71
Peserta juga menyatakan perlunya KORPRI dilibatkan dalam pembahasan reformasi sistem pensiun. Karena KORPRI adalah organisasi yang menaungi seluruh PNS di Indonesia. Sehingga mempunyai kekuatan yang besar untuk mendorong perubahan. Demikian juga dengan PWRI (Persatuan Wredatama Republik Indonesia) yang merupakan perkumpulan para pensiunan PNS. Dengan dilibatkannya organisasiorganisasi ini diharapkan saran atau rekomendasi yang dihasilkan bisa benar-benar bermanfaat bagi peserta. Terkait dengan pelayanan yng diberikan oleh PT Taspen, nampaknya perlu lebih ditingkatkan. Saat ini PT Taspen mengembangkan SIMGAJI (sistem informasi manajemen untuk penggajian PNS) yang berbasis data base. Sistem dikembangkan oleh PT Taspen dan diberikan secara gratis kepada unit-unit pengelola keuangan dan kepegawaian di isntansi pemerintah pusat dan pemerintah daerah (provinsi/kabupaten/ kota) seluruh Indonesia. Selain itu server juga ditempatkan di BKN. Tujuannya adalah untuk mensinkronkan database kepegawaian dengan database penggajian yang terkait dengan pembayaran premi pensiun secara nasional. Dengan adanya SIMGAJI ini diharapkan tidak ada lagi keterlambatan pengurusan pensiun karena database kepegawaian sudah terhubung secara on-line dengan server PT Taspen. Akan tetapi pada kenyataannya belum semua instansi pemerintah pusat dan daerah memasang SIMGAJI ini karena berbagai kendala. Untuk mengatasinya perlu didukung dengan komitmen pimpinan masing-masing instansi dan adanya peraturan yang memayunginya. C. Reformasi Sistem Pensiun PNS Dari berbagai data dan informasi yang sudah diperoleh Tim dan selanjutnya dianalisis dengan memperhatikan berbagai aspek berikut ini disajikan 72
perspektif reformasi sistem pensiun PNS di Indonesia. Reformasi difokuskan pada lima permasalahan mendasar yang berhasil diidentifikasi, yaitu terkait dengan sistem pembiayaan pensiun, pengelolaan dana pensiun, lembaga pengelola dana pensiun, peserta pensiun dan manfaat pensiun. Secara sederhana penyelenggaraan program pensiun PNS dan permasalahan yang diidentifikasi dapat diilustrasikan dalam gambar berikut ini. Gambar 4.4 Ilustrasi Penyelenggaraan Program Pensiun PNS Dana cadangan Manfaat Pemerintah
PNS
Peserta
Iuran
Investasi Dana Pensiun
Dalam pengelolaan dana pensiun ada dua pihak yang terlibat, yaitu Pemerintah sebagai pemberi kerja dan PNS sebagai pekerja. Kedua pihak harus memenuhi kewajibannya dengan memberikan iurannya. Nominal atau besar iurannya ditetapkan sesuai dengan perhitungan yang tepat, dalam arti tidak memberatkan pegawai maupun anggaran negara. Iuran kedua belah pihak ini mengisi bejana dana pensiun (bejana pertama). Karena iurannya kecil maka ada kemungkinan jumlahnya tidak akan besar maka dana ini perlu dikelola/ 73
diinvestasikan. Kegiatan pengelolaan dana pensiun ini harus ditangani oleh lembaga yang kredibel dan berpengalaman. Oleh lembaga pengelola pensiun, dana pensiun diinvestasikan sehingga jumlahnya bisa meningkat (dalam bejana kedua). Untuk menjaga keamanan investasi dana pensiun ini Pemerintah wajib memberikan jaminan berupa dana cadangan. Dana cadangan dimanfaatkan apabila terjadi kerugian dalam investasi dana pensiun. Akan tetapi kemungkinan kerugian diharapkan tidak ada atau kecil makanya dalam pengelolaan dana pensiun diperlukan sikap kehati-hatian dan bentuk investasi yang tepat. Apabila bejana kedua ini jumlahnya besar maka diharapkan manfaat yang bisa diberikan kepada peserta pensiun juga besar. Dalam ilustrasi tersebut terdapat beberapa titik krusial dalam penyelenggaraan program pensiun PNS. Yaitu terkait dengan iuran pemberi kerja dan pekerja, pengelolaan atau investasi dana, adanya dana cadangan serta besaran manfaat yang diterima peserta pensiun PNS. Titik-titik inilah yang harus direformasi, dicarikan solusi, dicarikan bentuk yang tepat sehingga sasaran akhir, yaitu peserta pensiun yang sejahtera dapat diwujudkan. Dalam pembahasan berikut ini disajikan penjelasan terkait masing-masing permasalahan yang berhasil diidentifikasi oleh Tim. 1. Sistem Pembiayaan Sistem pembiayaan merupakan masalah yang paling mendasar dalam penyelenggaraan sistem pensiun PNS. Karena ketidaktegasan dalam penetapan sistem pembiayaan pensiun PNS berdampak pada semakin beratnya beban anggaran negara dalam membiayai pensiun PNS. Sesuai amanat UndangUndang Nomor 11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun, pembiayaan pensiun PNS dilakukan melalui iuran 74
peserta (PNS) dan iuran pemberi kerja (pemerintah). Iuran ini dimaksudkan untuk membentuk dana pensiun sehingga pembiayaan pensiun bisa dilakukan secara fully funded. Akan tetapi karena sampai saat ini dana pensiun belum terbentuk maka pemerintah menanggung pembayaran pensiun PNS dengan menggunakan anggaran negara (pay as you go). Dan disisi lain pemerintah tidak memberikan iurannya untuk membentuk dana pensiun karena sudah melakukan pembayaran pensiun peserta secara langsung. Pada kenyataannya sistem ini semakin lama semakin membebani anggaran negara karena jumlah peserta pensiun yang semakin banyak dan masa menerima manfaat yang semakin panjang sehingga beban anggaran negara semakin besar. Melihat kondisi ini, Tim menyarankan perlu adanya ketegasan pemerintah dalam menetapkan sistem pembiayaan pembiayaan. Apabila yang dipilih adalah fully funded maka harus ada sharing contibution antara pekerja dan pemberi kerja untuk membentuk dana pensiun. Dalam hal dana pensiun belum mencukupi untuk melakukan pembayaran pensiun peserta maka perlu dilakukan cut off. Cut off dilakukan untuk menegaskan peserta mana yang menggunakan sistem fully funded dan peserta mana yang masih menggunakan pay as you go. Dalam kebijakan ini, pemerintah menanggung dua pengeluaran, yaitu pengeluaran untuk membayar iuran dalam rangka membentuk dana pensiun (fully funded) untuk pembayaran peserta pensiun baru dan pengeluaran untuk membayar peserta pensiun lama (pay as you go). Dengan kebijakan ini memang akan terasa berat diawal karena pemerintah menanggung dua beban pembayaran. Akan tetapi dimasa depan beban ini akan semakin berkurang karena jumlah peserta lama semakin berkurang dan dana pensiun 75
sudah terbentuk. Sehingga dalam perhitungan jangka panjang lebih menguntungkan. Aktuaris PT Taspen mencoba menghitung kebutuhan anggaran negara untuk mengakomodasi kebijakan cut off dengan asumsi dilakukan pada tahun 2013. Hasil perhitungan disajikan dalam Gambar dibawah ini. Gambar 4.5 Ilustrasi Beban APBN dalam Kebijakan Cut Off Dana APBN 8.000 7.000
PAY AS YOU GO
Trillions
6.000 5.000 4.000 3.000 2.000
CUT OFF FULLY
1.000 0
Sumber : PT Taspen, 2012
Dalam Gambar tersebut terlihat bahwa pada awalnya beban pemerintah memang tetap besar dan cenderung naik secara signifikan. Akan tetapi pada garis merah (pay as you go) terlihat bahwa kenaikannya sangat tinggi. Sementara pada garis kuning (fully funded) terlihat lebih landai. Gambar tersebut menegaskan bahwa apabila sistem pembiayaan pensiun tetap menggunakan sistem pay as you go sebagaimana yang dilakukan saat ini maka beban anggaran negara akan semakin tinggi. Sementara apabila menggunakan sistem fully funded, 76
dengan membentuk dana pensiun maka beban anggaran negara tidak akan besar karena beban pembayaran pensiun dibebankan pada dana pensiun. Dalam implementasinya, kebijakan ini perlu didukung dengan pengelolaan dana pensiun dengan bentuk investasi yang aman, low risk dan dikelola oleh lembaga yang profesional dan akuntabel. Terkait dengan upaya pembentukan dana pensiun, ada saran dari daerah yang menyatakan siap untuk berkontribusi. Saat ini pemerintah daerah mempunyai anggaran yang diberikan kepada pegawainya berupa tunjangan tambahan penghasilan. Tunjangan ini diberikan berdasarkan pangkat/golongan/jabatan pegawai yang fungsinya untuk menambah penghasilan pegawai. Pemerintah daerah menyatakan siap apabila ada payung kebijakan yang bisa mengatur bahwa sebagian tunjangan tersebut dibayarkan untuk iuran pensiun pegawai. Sehingga selain pembayaran iuran dasar ada iuran tambahan yang besarannya disesuaikan kemampuan masing-masing pemerintah daerah. Dengan demikian maka dana pensiun akan segera terbentuk dan manfaat yang diterima pegawai yang melakukan iuran tambahan akan lebih besar. 2. Pengelolaan Dana Prinsip dasar dalam pengelolaan dana pensiun PNS adalah : a. Aman, memperhitungkan tingkat resiko yang minimal (low risk investment); b. Hasil, mampu memberikan hasil (return of investment) yang optimal; c. Likuid, kemudahan dalam pencairan nilai maupun hasil investasi; d. Fleksibilitas, pengalokasian aset-aset investasi dengan memperhitungkan kondisi pasar.
77
Apabila dicermati dari prinsip dasar tersebut memang agak sulit diterapkan karena sangat jarang ada bentuk investasi yang mempunyai resiko investasi kecil (low risk investment) tetapi mempunyai nilai hasil (return of investment) yang besar. Dari data yang diberikan oleh PT Taspen diketahui bahwa investasi dana pensiun saat ini sangat terbatas. Yaitu pada investasi dalam bentuk deposito, obligasi, investasi langsung serta investasi lain-lain sebagaimana dijelaskan didepan. Bentuk investasi ini mempunyai nilai return of investment yang kecil karena resikonya juga kecil. Masalah lain adalah terkait masih minimnya dana pensiun karena pemerintah belum memberikan iurannya. Sehingga dengan jumlah yang terbatas, bentuk investasinya pun menjadi sangat terbatas. Bentuk yang dipilih adalah dalam bentuk deposito, obligasi, investasi langsung serta investasi lain-lain. Dalam upaya meningkatkan jumlah dana pensiun, selain harus menegaskan adanya iuran dari pemerintah juga terkait penentuan bentuk investasi yang tepat. Setelah dana yang terkumpul mencukupi maka bisa dipilih bentuk yang lebih menguntungkan. Apalagi di dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 199/PMK.010/2008 diberikan bentuk-bentuk investasi yang cukup beragam. Dalam pengelolaan dana pensiun ada saran untuk melibatkan BUMN/BUMD. Sehingga disatu sisi BUMN/BUMD mendapat tambahan dana untuk kegiatan bisnis mereka dan disisi yang lain apabila BUMN/BUMD tersebut mendapat keuntungan, maka peserta mendapat bagian keuntungan. Akan tetapi pemilihan BUMN/BUMD juga harus selektif, artinya yang dipilih adalah BUMN/BUMD yang sehat, profesional dan akuntabel. Karena dimanapun investasi dilakukan juga mempunyai resiko rugi, maka pemerintah sebagai
78
otoritas tertinggi tetap harus menanggung apabila ada resiko kerugian. Selain itu apabila dana yang terkumpul dalam dana pensiun sudah cukup besar maka bentuk-bentuk investasi bisa lebih beragam. Sehingga apabila dana pensiun sudah besar prinsip low risk bisa ditinggalkan untuk meraih return of investment yang lebih tinggi. Tetapi prinsip kehati-hatian dan profesionalisme harus tetap dijaga dalam pengelolaan dana ini supaya dana amanah peserta tetap dapat dijaga. Dalam pengelolaan dana pensiun perlu didukung dengan transparansi pengelolaan dana. Transparansi ini sangat penting sebagai bentuk pertanggung-jawaban lembaga pengelola dana pensiun kepada peserta. Diharapkan peserta bisa mengetahui berapa besaran dana pensiun masing-masing dalam satu kurun waktu. Dan secara umum pencapaian investasi dalam pengelolaan dana pensiun diumumkan secara berkala di media. 3. Lembaga Pengelola Permasalahan dalam penyelenggaraan sistem pensiun PNS berikutnya adalah menyangkut lembaga pengelola dana pensiun. Saat ini lembaga yang diserahi tanggungjawab pengelolaan dana pensiun adalah PT Taspen. Akan tetapi PT Taspen hanya bertindak sebagai administrator saja, sementara kewenangan sebagai regulator dipegang oleh Kementerian Keuangan. Pada awalnya penyelenggaraan pensiun PNS dilakukan oleh Direktorat Jenderal Anggaran, Departemen Keuangan. Sejak tahun 1986, penyelenggaraan pensiun PNS secara bertahap dialihkan kepada PT Taspen. Pengalihan ini termasuk dalam pengelolaan dana pensiun yang berasal dari iuran peserta yang pada awalnya berjumlah Rp 594,080 Milyar dan saat ini meningkat menjadi sebesar Rp 56,11 79
Triliun. Dasar pengalihan ini adalah surat Menteri Keuangan Nomor : S-244/MK.011/1985 dan surat Direktur Jenderal Moneter Dalam Negeri, Departemen Keuangan Nomor : S-199/MK.11/1985, yaitu terkait pengalihan administratif atas dana hasil akumulasi iuran peserta pensiun kepada PT Taspen. PT Taspen sendiri dibentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 1981 tentang Asuransi Sosial PNS dan Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 1981 tentang Pengalihan Bentuk Perusahaan Umum Dana Tabungan dan Asuransi PNS menjadi Perusahaan Perseroan (Persero). Sebagaimana dijelaskan didepan bahwa PT Taspen tidak diberi kewenangan dalam menentukan bentuk-bentuk investasi dana pensiun karena hanya sebagai administrator dana pensiun. Kewenangan terkait kebijakan pengelolaan dana pensiun masih dipegang oleh Kementerian Keuangan sebagai regulatornya. Kondisi ini berdampak pada tidak maksimalnya pengelolaan atau investasi dana pensiun yang dilakukan oleh PT Taspen. Melihat kondisi ini dari berbagai diskusi yang diselenggarakan muncul suatu usulan untuk menetapkan satu lembaga independen yang diserahi kewenangan penuh dalam pengelolaan dana pensiun PNS. Lembaga ini bertanggung-jawab dalam penyelenggaraan program pensiun PNS sejak pengumpulan iuran peserta, pengelolaan atau investasi dananya, serta pembayaran manfaatnya. Dalam hal ini termasuk didalamnya adalah pengelolaan database pesertanya. Meskipun independen, lembaga pengelola ini tetap berada dibawah koordinasi pemerintah dan bertanggung jawab kepada pemerintah. Dalam diskusi juga berkembang terkait kebijakan pemerintah untuk membentuk Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Sesuai amanat Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, khususnya di Pasal 5 ayat (2) disebutkan 80
bahwa ada dua jenis BPJS, yaitu BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. BPJS Ketenagakerjaan sebagaimana amanat Pasal 6 ayat (2) disebutkan menyelenggarakan program : jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun dan jaminan kematian. Mencermati bunyi pasal tersebut nampaknya pemerintah bermaksud menggabungkan semua penyelenggaraan program pensiun yang ada saat ini dalam satu lembaga penyelenggara, yaitu BPJS. Dalam diskusi muncul kekhawatiran bahwa ini tidak akan berjalan efektif karena adanya perbedaan karakteristik peserta di masing-masing lembaga penyelenggara. Misalnya PT Taspen menyelenggarakan program pensiun untuk PNS, PT ASABRI untuk anggota ABRI, PT Jamsostek untuk pegawa swasta. Masing-masing peserta mempunyai skema yang berbeda sehingga apabila disatukan maka akan menemui kendala tersendiri. Menyikapi kondisi ini, muncul usulan untuk tetap menyerahkan operator penyelenggaraan program pensiun kepada masing-masing lembaga yang sudah ada yang dalam pelaksanaannya dikoordinasi oleh BPJS Ketenagakerjaan. Sehingga tidak ada perubahan yang besar dalam skema yang sudah berjalan dan amanat Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial tetap bisa dilaksanakan. 4. Peserta Permasalahan berikutnya adalah terkait dengan kepesertaan. Sebagaimana sudah diulas didepan bahwa perkembangan peserta pensiun dari tahun tahun semakin meningkat jumlahnya. Apabila tidak dikendalikan maka akan semakin besar dan rasionya bisa sama antara peserta pensiun dengan PNS aktif. Apabila didukung dengan sistem pembiayaan dan pengelolaan dana yang sudah baik tentu kepesertaan 81
ini tidak akan menjadi masalah. Akan tetapi tetap akan menjadi lebih baik apabila peserta pensiun dikaji kembali. Peserta pensiun menjadi masalah karena jumlahnya yang semakin besar akan tetapi tidak dibarengi dengan masa mengiur dan masa menerima manfaat yang signifikan. Banyak kebijakan pemerintah yang berdampak menambah jumlah peserta pada level masa mengiur yang pendek sementara masa menerima manfaatnya jauh lebih panjang. Misalnya kebijakan pengangkatan pegawai honorer daerah dan sekretaris desa yang tingkat usianya sudah mendekati masa pensiun. Kebijakan ini akan menjadi beban karena dana pensiun yang diiur oleh peserta belum menemui titik pengembalian modal (break event point/BEP) dalam investasinya. Sehingga peserta dengan masa mengiur yang pendek ini akan menjadi beban peserta lainnya. Terkait dengan masalah ini muncul usulan untuk membatasi dengan tegas minimal masa mengiur bagi peserta. Bagi peserta yang tidak memenuhi masa minimal mengiur maka tidak berhak menerima manfaat pensiun, mereka hanya menerima akumulasi jumlah iurannya plus bunga investasinya. Masalah lainnya dalam kepesertaan adalah terkait dengan up date data peserta, khususnya di daerah terpencil, janda/duda, dan anak dalam tanggungan). Up date data ini menjadi sangat penting terutama untuk mengurangi resiko kebocoran. Hal ini didasari kondisi di lapangan yang menunjukkan fakta bahwa para peserta pensiun mempunyai mobilitas yang tinggi akan tetapi tidak didukung dengan up date data dan informasi yang valid. Kondisi geografis wilayah Indonesia yang beragam dan belum didukung dengan perangkat sistem komunikasi yang canggih menjadi kendala tersendiri dalam up date data ini. Selain itu lemahnya kebijakan yang ada juga berpengaruh dalam proses up date data peserta. 82
Misalnya bagi peserta (janda/duda) yang sudah menikah seharusnya tidak berhak menerima manfaat. Akan tetapi apabila pernikahan dilakukan tanpa surat resmi (nikah siri) maka data tidak bisa di-up date. Demikian juga untuk anak yang menjadi tanggungan seringkali karena tidak ada up date data menyebabkan kebocoran anggaran. Dengan melihat kondisi tersebut muncul usulan untuk menegaskan kepesertaan terutama untuk peserta sambungan (janda/duda dan anak dalam tanggungan). Perlu ada kebijakan baru untuk peserta (janda/duda) yang menikah kembali meskipun de facto tidak ada surat resmi tetapi apabila secara de jure telah menikah maka hak menerima manfaat pensiun bisa dicabut. 5. Manfaat Manfaat adalah permasalahan yang paling banyak banyak mendapat sorotan dalam proses kajian ini. Manfaat yang diterima peserta selama ini dirasakan masih sangat jauh dari harapan. Sehingga setelah pensiun banyak peserta yang merasa kesulitan dalam melanjutkan kehidupannya. Meskipun secara perhitungan, sebagaimana disajikan didepan bahwa manfaat yang diterima oleh peserta jauh lebih besar dari jumlah iurannya. Manfaat pensiun dirasakan kecil karena dasar perhitungannya yang didasarkan pada gaji pokok PNS. Sementara saat ini take home pay yang diterima PNS bukan hanya sekedar gaji pokok tetapi juga menerima berbagai tunjangan. Dan saat pensiun, PNS hanya menerima pensiun, sementara tunjangan dihentikan. Kondisi inilah yang menyebabkan banyak PNS yang “stres” setelah pensiun karena take home pay-nya berkurang banyak. Hanya menerima 80% dari gaji pokok dan tunjangan tidak diterima lagi. Kondisi semakin terasa bagi PNS yang menduduki jabatan
83
tertentu (jabatan struktural maupun fungsional) karena jumlah tunjangannya lumayan besar. Melihat kondisi ini ada usulan untuk mengubah dasar perhitungan pensiun, bukan pada gaji pokok tetapi pada take home pay-nya. Akan tetapi usulan ini perlu diikuti dengan perbaikan sistem penggajian dan sistem tunjangan. Karena saat ini perbedaan antara gaji dan tunjangan (baik struktural maupun fungsional) sangat besar. Demikian pula antar jabatan fungsional juga ada perbedaan yang signifikan, dengan kata lain ada jabatan fungsional yang diberikan tunjangan besar akan tetapi ada juga jabatan fungsional yang diberikan tunjangan kecil. Ini tentu saja memerlukan kajian tersendiri yang lebih mendalam. Manfaat pensiun juga menimbulkan masalah karena ada peserta yang menerima lebih dari satu manfaat pensiun. Hal ini terjadi karena seorang PNS bisa beralih jabatan (sebagai PNS, pejabat negara) yang keduanya bisa menerima manfaat pensiun. Bahkan bisa saja seorang PNS menerima lebih dari dua manfaat pensiun, contohnya seorang PNS menerima manfaat sebagai peserta, kemudian menerima manfaat sebagai janda/duda, kemudian menerima manfaat sebagai pejabat negara. Terkait dengan kondisi ini, ada usulan untuk menerapkan sistem on-off. Pada saat seorang pensiun sebagai PNS maka yang diterima adalah manfaat pensiun PNS. Apabila suami/istrinya meninggal maka akan menerima manfaat sebagai janda/duda. Apabila pada saat pensiun, aktif sebagai pejabat negara maka pensiun PNS dihentikan (off) karena yang bersangkutan aktif kembali (on) menerima gaji sebagai pejabat negara dan mengiur sebagai pejabat negara. Sementara pensiun janda/dudanya tetap aktif karena merupakan manfaat sambungan. Apabila nanti pensiun sebagai pejabat negara maka akan menerima manfaat pensiun pejabat negara. Dengan sistem on-off ini maka maksimal manfaat yang diterima oleh seorang 84
peserta adalah dua jenis manfaat pensiun, yaitu manfaat pensiun sebagai peserta dan manfaat pensiun sambungan. Dalam penerimaan manfaat pensiun program yang diterapkan pemerintah adalah defined benefit, yaitu manfaat sudah ditetapkan diawal. Program ini akan membebani pengelola dana pensiun (dalam hal ini adalah pemerintah) karena beban atau resiko pencapaian manfaat ditanggung oleh pemerintah. resiko terkait pengelolaan atau investasi dana pensiun harus ditanggung oleh pemerintah dengan memperbesar iurannya kedalam dana pensiun. Hal ini tentu saja semakin memberatkan anggaran negara. Kedepan diusulkan untuk menerapkan defined contribution (iuran pasti) dalam program pensiun sehingga masing-masing pegawai mempunyai akun pribadi (individual account). Sehingga manfaat masingmasing akan berbeda-beda tergantung pada jumlah iuran yang sudah dibayarkan dan kinerja investasinya. Sistem ini dari aspek anggaran juga akan lebih menguntungkan karena pemerintah tidak akan dibebani biaya besar. Untuk meningkatkan manfaat pensiun yang diterima oleh peserta ada usulan yang menyebutkan bahwa manfaat pensiun tidak harus diberikan dalam bentuk nominal uang. Manfaat pensiun bisa diberikan berupa pemberian discount untuk berbagai fasilitas pelayanan pemerintah bagi peserta pensiun. Misalnya dalam layanan jasa transportasi, jasa kesehatan, jasa rekreasi dan sebagainya. Pemberiannya berupa pemberian discount khusus bagi masyarakat yang bisa menunjukkan kartu peserta pensiun. Sehingga secara tidak langsung pemberian discount ini akan mengurangi pengeluaran para peserta pensiun yang penghasilannya juga berkurang karena sudah pensiun.
85
6. Lain-lain Untuk bisa melaksanakan berbagai solusi yang ditawarkan tersebut diperlukan adanya dukungan kebijakan yang jelas. Perlu ada perubahan terkait dasar hukum penyelenggaraan pensiun PNS. Bukan sekedar Undang-Undang tetapi juga mencakup peraturan pelaksanaannya (Peraturan Pemerintah maupun Keputusan Menteri terkait). Dengan adanya kebijakan yang jelas maka implementasi dari berbagai solusi yang ditawarkan akan bisa maksimal. Selain adanya kebijakan yang jelas, juga diperlukan adanya dukungan politik dari stake holders terkait. Dalam hal ini lembaga-lembaga yang terkait dalam penyelenggaraan sistem pensiun PNS harus mempunyai persepsi yang sama tentang penyelenggaraan sistem pensiun PNS. Karena berbagai tawaran solusi yang diberikan mengandung konsekuensi, baik terkait dengan kelembagaan dan kewenangannya serta anggaran. Apabila konsekuensi ini tidak dipahami dengan baik oleh semua stake holders maka solusi yang ditawarkan tidak bisa dilaksanakan dengan baik. 7. Kesimpulan analisis Dari pembahasan permasalahan dalam penyelenggaraan pensiun diatas berikut disimpulkan ringkasannya. Tabel 4.4 Perbandingan Sistem Lama dan Sistem Baru dalam Reformasi Sistem Pensiun PNS No.
Area Reformasi
Sistem Lama
Sistem Baru
1.
Sistem pembiayaan
Pay as you go
- Fully funded, - Sharing contribution, - Cut off.
2.
Pengelolaan dana pensiun
Terbatas
- Diversifikasi, - Pelibatan
86
BUMN/BUMD, - Transparansi. 3.
Lembaga pengelola
PT Taspen, Kemen Keu
- Lemb independen, - BPJS sbg koord, PT Taspen sbg operator.
4.
Kepesertaan
Tidak diatur secara tegas
- Kriteria masa min mengiur, - Up date peserta, - Pembatasan penerima manfaat pensiun sambungan.
5.
Manfaat pensiun
75% dari gaji pokok
- Dasar penghitungan pensiun adalah take home pay, - Manfaat pensiun dlm bentuk pemberian discount pelayanan pemerintah, - Sistem on-off manfaat pensiun.
87
88
Bab V Penutup A. Kesimpulan Setelah melakukan analisis terhadap temuan data dan informasi yang diperoleh dalam kajian ini berikut disampaikan beberapa kesimpulan terkait reformasi dalam penyelenggaraan sistem pensiun PNS di Indonesia. 1. Kebijakan atau peraturan yang terkait dengan penyelenggaraan pensiun PNS dirasakan sudah tidak relevan lagi dengan perkembangan jaman sehingga perlu dilakukan perubahan; 2. Permasalahan utama yang dirasakan oleh peserta pensiun adalah nilai manfaat pensiun yang dirasakan belum mampu meningkatkan kesejahteraan peserta; 3. Permasalahan yang berhasil diidentifikasi oleh Tim dalam penyelenggaraan program pensiun PNS meliputi lima (5) masalah, yaitu : pembiayaan dana pensiun, pengelolaan dana pensiun, lembaga pengelola dana pensiun, peserta pensiun dan manfaat pensiun; 4. Permasalahan tersebut saling terkait sehingga tidak bisa diselesaikan satu persatu tetapi harus diselesaikan secara bersama-sama. 5. Terkait masalah pembiayaan pensiun, ditemukan bahwa pemerintah belum memenuhi kewajiban memberikan iuran dalam rangka pembentukan dana pensiun. Selama ini pemerintah membayar pensiun PNS dengan sistem pay us you go; 6. Terkait masalah pengelolaan dana pensiun, PT Taspen yang diserahi tanggung jawab melakukan investasi dana pensiun tetapi dibatasi bentuk-bentuk investasinya. Pembatasan ini dengan pertimbangan bahwa investasi dana pensiun perlu dilakukan dengan prinsip kehatian-hatian dan dalam bentuk low risk investment; 89
7. Terkait dengan lembaga pengelola dana pensiun, PT Taspen sebagai lembaga yang diserahi tanggung jawab melakukan investasi dana pensiun tetapi belum diberi kewenangan yang luas. Kewenangan pemanfaatan dana pensiun masih dipegang oleh Kementerian Keuangan; 8. Terkait masalah peserta pensiun, ditemukan bahwa ada kebijakan-kebijakan pemerintah yang justeru menambah jumlah peserta pensiun dengan masa mengiur yang pendek, sementara masa menerima manfaatnya panjang. Misalnya pengangkatan pegawai honorer daerah dan pengangkatan sekretaris desa menjadi PNS. Selain itu juga kebijakan memberikan pensiun kepada pejabat negara yang berdampak peserta menerima manfaat pensiun lebih dari satu; 9. Terkait masalah manfaat pensiun, ditemukan bahwa manfaat pensiun masih belum mampu meningkatkan kesejahteraan peserta. Penghitungan manfaat pensiun dengan dasar gaji pokok dirasakan merugikan peserta. Kecilnya manfaat pensiun juga merupakan akumulasi permasalahan yang ada dalam pengelolaan sistem pensiun PNS. B. Saran Berikut disampaikan beberapa saran dan rekomendasi terkait reformasi penyelenggaraan sistem pensiun PNS di Indonesia khususnya dalam menyusun desain sistem pensiun PNS yang tepat dari aspek anggaran negara, kesejahteraan PNS dan kelembagaan pengelola dana pensiun. Supaya manfaat pensiun yang diterima dapat meningkatkan kesejahteraan peserta maka harus ada perubahan dalam desain sistem pensiun PNS. Perubahan ini mencakup pada ketegasan perlunya sharing contribution dalam pembiayaan pensiun, yaitu antara pekerja (PNS) dan pemberi kerja (pemerintah), besaran 90
nominal iuran juga harus ditetapkan. Dengan adanya ketegasan ini maka pembentukan dana pensiun segera dapat diwujudkan dan pembiayaan pensiun dapat dilakukan dengan fully funded sehingga tidak lagi membebani anggaran negara. Selanjutnya ditetapkan lembaga yang berwenang untuk menangani pensiun PNS. Lembaga ini bertanggung jawab dalam penyelenggaraan program pensiun sejak pengumpulan dana, pengelolaan dana sampai pembayaran manfaat pensiun. Lembaga ini diberi kewenangan penuh dalam pelayanan pensiun. Terutama terkait dengan pengelolaan atau investasi dana pensiun. Dana yang terkumpul dari iuran pekerja dan pemberi kerja selanjutnya dikelola dan diinvestasikan oleh lembaga yang berwenang dalam berbagai bentuk atau model investasi sehingga bisa berkembang. Pengelolaan dana tetap mengutamakan pada prinsip profesionalisme dan kehati-hatian sehingga dananya aman. Akan tetapi karena semua bentuk investasi selalu mengandung resiko maka lembaga pengelola dana pensiun dan pemerintah sebagai pemberi kerja wajib menjamin resiko investasi ini. Apabila dana pensiun sudah berkembang maka manfaat yang diterima peserta bisa lebih besar. Nilai manfaat yang diterima bisa didasarkan pada nilai dasar (basic benefit) ditambah keuntungan yang diperoleh dari investasi. Sehingga nilai manfaat minimal sudah cukup memadai ditambah dengan bonus apabila ada keuntungan investasi. Selain itu, manfaat juga bisa diberikan dalam bentuk lain. Yaitu dengan memberikan discount untuk berbagai jenis pelayanan pemerintah bagi peserta pensiun PNS. Misalnya pelayanan transportasi, kesehatan, pendidikan, perumahan, dan lain sebagainya. Dengan adanya discount ini maka dapat meringankan pengeluaran para peserta. Selain itu juga dapat meringankan beban anggaran negara karena beban pemberian manfaat pensiun dibagi ke beberapa lembaga pemerintah. 91
92
Daftar Pustaka Achmad Subianto, Reformasi Kesejahteraan Aparatur Negara, Penerbit Yayasan Bermula dari Kanan, Jakarta, Cetakan Kedua, Agustus 2010. Bahan Seminar Nasional Grand Design Reformasi Sistem Pensiun PNS di Indonesia (Tantangan dan Solusi), Hotel Borobudur Intercontinental, Jakarta, 13 Desember 2012. Bullock III, Charles S., James E. Anderson and David W. Brady. 1983. Public Policy in the Eighties, Monterery, CA: Brooks/Cole Publishing Company. Direktorat Jenderal Anggaran : Asuransi Sosial Pegawai Negeri Sipil. Bahan Presentasi Diskusi Terbatas Permasalahan Sistem Pensiun PNS di Indonesia, LAN 30 Maret 2011, Jakarta. DPR RI : Rancangan Undang-Undang Aparatur Sipil Negara, Jakarta, 2011. Dunn, William N : An Introduction to Public Policy Analysis, Englewood Cliffs, N.J: Prentice Hall. Inc., 1981. Independent Public Service Pensions Commission : Final Report, London : Crown, 10 Maret 2011. Lembaga Administrasi Negara : Kajian Telaahan Kebijakan Sistem Pensiun PNS, Jakarta, 2011. Mustopadidjaja AR. Manajemen Proses Kebijakan (Bahan Kuliah Diklat SPAMEN dan SPATI), Lembaga Administrasi Negara, Jakarta, 1999. Nugroho, Riant : Public Policy, Jakarta : Elex Media Komputindo, 2009. Peraturan Presiden Nomor 81 Tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi Tahun 2010-2025. PT Taspen : Bahan Paparan Reformasi Sistem Pensiun PNS, Jakarta, 2012. 93
Setiawati, Budhi, Wakiran, Hadiyati dan Herman : Reformasi Sistem Pensiun Pegawai Negeri Sipil. Badan Kepegawaian Negara dan Kemitraan, Jakarta, 2006. Wakiran : Penyelenggaraan Program Pensiun PNS dan Permasalahannya. Bahan Presentasi pada Diskusi Terbatas LAN, 29 April 2011. Jakarta : Direktorat Gaji dan Kesejahteraan Badan Kepegawaian Negara. Wiener(h), M : International Comparisons. Discussion Material for the World Bank Jakarta Office Informal Working Group on Civil Service Pension Reform. Jakarta : the World Bank, 2011.
---
94