BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Autisme merupakan suatu kumpulan gejala yang diakibatkan oleh kerusakan saraf. Gejalanya sudah tampak sebelum anak mencapai usia tiga tahun. Penyandang autisme menunjukkan gangguan komunikasi yang menyimpang. Gangguan komunikasi tersebut dapat terlihat dalam bentuk keterlambatan bicara, tidak bicara, bicara dengan bahasa yang tidak dapat dimengerti (bahasa planet), atau bicara hanya dengan meniru saja (ekolalia). Selain gangguan komunikasi, anak juga menunjukkan gangguan interaksi dengan orang disekitarnya, baik orang dewasa maupun orang sebayanya (Maulana, 2007). Hampir pada seluruh kasus, autisme muncul saat anak lahir atau pada usia tiga tahun pertama. Jika anak autistik terlambat atau bahkan tidak mendapat intervensi hingga dewasa, maka gejala autis bisa semakin parah. Hal ini yang kemudian akan menyebabkan terjadinya banyak kasus autis yang gagal dalam mengembangkan kemampuan sosial dan komunikasi. Untuk itu, perlu dilakukan terapi secara dini, terpadu, dan intensif sehingga anak mampu bergaul layaknya anak-anak yang lain tumbuh secara normal (Huzaemah, 2010). Anak autis di Indonesia diperkirakan jumlahnya mencapai lebih dari 400.000 anak. Menurut Maulana (2007), jumlah penyandang autisme akan semakin meningkat menjadi 15-20 anak atau 1 per 500 anak tiga tahun yang akan datang. Prevalensi anak autis di Jawa Tengah pada tahun 2009 di perkirakan 1 anak mengalami autis per 500 kelahiran sedangkan anak autis di Semarang diperkirakan 1 : 150 anak (Priyatna, 2010). Orangtua yang dihadapkan pada suatu kenyataan bahwa anaknya merupakan anak autis. Banyak orangtua yang dengan terpaksa menerima keadaan anaknya. Keberadaan anak autis dalam suatu keluarga membuat orang tua pasrah atau sebaliknya, orangtua menganggap anak autis sebagai aib dalam keluarga.
11
2
Kenyataan yang demikian ini dapat memberikan pengaruh pada dukungan orang tua terhadap anaknya yang autis (Safaria, 2005). Setiap orang tua akan mengalami kecemasan dalam menghadapi anak yang autis. Setiap orang tua pasti memiliki reaksi emosional serta sikap yang berbeda-beda, yang sering terjadi adalah perasaan tidak percaya, marah sedih dan bingung serta tidak dapat menerima dengan harapan bahwa diagnosis tersebut salah. Sebagian orang tua dapat menerima anak autis dan mengupayakan untuk membantu kesembuhan anaknya. Tetapi masih ada orang tua yang belum dapat menerima kenyataan bahwa anaknya di diagnosa mengalami gangguan autisme (Priyatna, 2010). Fenomena semakin meningkatnya jumlah prevalensi autisme maka, akan semakin banyak pula orang tua yang mengalami konflik batin dalam menerima keberadaan anaknya yang autis. Konflik ini dapat terjadi karena adanya kesenjangan karena adanya keinginan dan harapan orang tua yang tidak terpenuhi untuk memiliki anak yang dapat dibanggakan dalam keluarga, sehingga dapat mempengaruhi penerimaan orang tua yang memiliki anak autis khususnya Ibu (Mansur, 2009). Dukungan keluarga merupakan suatu proses hubungan antara anggota keluarga dengan adanya dukungan timbal balik, umpan balik dan keterlibatan emosional. Selain itu dukungan dari dalam keluarga dapat menciptakan suasan saling memiliki, untuk memenuhi kebutuhan pada perkembangan keluarga. Dukungan keluarga merupakan sikap, tindakan dan penerimaan keluarga terhadap penderita yang sakit, anggota keluarga memandang bahwa orang yang bersifat mendukung selalu siap memberikan pertolongan dan bantuan jika diperlukan. (Friedman, 1998). Milyawati dan Hastuti (2009) yang melakukan penelitian dukungan keluarga, pengetahuan, dan persepsi ibu serta hubunganya dengan strategi koping ibu pada anak dengan gangguan autisme menunjukan hasil bahwa karakteristik keluarga, dukungan keluarga, pengetahuan serta persepsi anak autis tidak berhubungan signifikan dengan strategi koping yang digunakan ibu
3
dalam upaya meringankan tekanan yang dihadapi dalam merawat anak autisme. Hasil penelitian Rahmayanti (2007), menunjukkan adanya penerimaan anak autis dipengaruhi faktor dukungan dari keluarga besar, kemampuan keuangan keluarga, latar belakang agama, tingkat pendidikan, status perkawinan, usia serta dukungan para ahli dan masyarakat umum. Subjek cukup berperan serta dalam penanganan anak mereka mulai dari memastikan diagnosis dokter, membina komunikasi dengan dokter, mencari dokter lain apabila dokter yang bersangkutan dinilai kurang kooperatif, berkata jujur saat melakukan konsultasi mengenai perkembangan anaknya, memperkaya pengetahuan, dan mendampingi anak saat melakukan terapi. Hasil penelitian Puspita (2011), yang melakukan penelitian tentang pengetahuan dan sikap ibu dengan kemandirian anak autis menunjukan responden dengan pengetahuan baik sebanyak 21 orang (40,4%). Sikap orang tua positif sebanyak 28 orang (53,8%). Sebagian besar kemandirian anak dengan bantuan sebanyak 18 orang (34,6%). Analisa data menunjukan ada hubungan antara pengetahuan dengan kemandirian merawat diri pada anak autis di SLB Negeri Semarang dan ada hubungan antara sikap dengan dengan kemandirian merawat diri pada anak autis di SLB Negeri Semarang. Sekolah
yang menangani anak berkebutuhan khusus di Semarang
terdiri dari 14 dan 11 yayasan yang di lakukan penelitian adalah: Yayasan Dria Adi, Yayasan Swadaya, Yayasan Widya Bhakti, Yayasan Pelita Ilmu, Yayasan YPAC, Yayasan Hj. Soemiyati Himawan, Yayasan Immanuel, Yayasan Tali Takum, Yayasan SAS, Yayasan Putra Mandiri, Yayasan Yogas Mara. SLB di Kota Semarang pada tahun ajaran 2011/2012 dari 11 yayasan tercatat 36 siswa/siswi di sekolah tersebut yang menderita autis. Sekolah Luar Biasa (SLB) ini menangani anak dengan masalah tunanetra, tunarungu, tunawicara, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras, HIV/AIDS dan narkoba, autis dan sindroma Asperger. Berdasarkan survei pendahuluan di SLB Kota Semarang dengan wawancara terhadap 10 orang ibu yang memiliki anak autis, sebanyak 8 ibu
4
mengetahui anaknya autis, tetapi orang tua tidak mampu dalam merawat anak yang autis dan orang tua merasa cemas dalam menghadapi anak autis. Sedangkan sebanyak 2 orang mengatakan sudah tahu anaknya menderita autis, dan mereka tetap merawat anak mereka dan melakukan terapi-terapi pada anak. Mereka juga sudah menerima bahwa anaknya menderita auitis dan kecemasan yang dirasakan hanya kecil tetapi berharap anak dapat sembuh. Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, maka perlu dilakukan penelitian dengan judul “Hubungan pengetahuan dan dukungan keluarga dengan kecemasan ibu yang memiliki anak autisme di Sekolah Luar Biasa Kota Semarang”.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas maka rumusan masalah penelitian ini “Adakah hubungan pengetahuan dan dukungan keluarga dengan kecemasan ibu yang memiliki anak autisme di Sekolah Luar Biasa Kota Semarang?”.
C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Mengetahui hubungan pengetahuan dan dukungan keluarga dengan kecemasan ibu yang memiliki anak autisme di Sekolah Luar Biasa Kota Semarang. 2. Tujuan Khusus a. Mendeskripsikan pengetahuan ibu tentang autisme di Sekolah Luar Biasa Kota Semarang. b. Mendeskripsikan dukungan keluarga pada ibu yang memiliki anak autis di Sekolah Luar Biasa Kota Semarang c. Mendeskripkan kecemasan ibu yang memiliki anak autisme di Sekolah Luar Biasa Kota Semarang
5
d. Menganalisis
hubungan
pengetahuan
tentang
autisme
dengan
kecemasan ibu yang memiliki anak autisme di Sekolah Luar Biasa Kota Semarang e. Menganalisis hubungan dukungan keluarga dengan kecemasan ibu yang memiliki anak autisme di Sekolah Luar Biasa Kota Semarang
D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat teoritis Hasil penelitian ini di harapkan dapat bermanfaat, memperluas wawasan, dan memberikan sumbangan ilmiah dalam bidang keperawatan anak. Khususnya tentang pengetahuan ibu dalam merawat dan membimbing anaknya secara mandiri. 2. Manfaat bagi institusi Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi institusi pendidikan sebagai bahan pertimbangan untuk dijadikan bahan masukan dalam mengembangkan program pendidikan keperawatan terhadap masalah kepada anak penderita autis. 3. Ibu Hasil penelitian ini diharapkan dapat memotivasi ibu dalam merawat dan membimbing anaknya dengan sabar dan penuh kasih sayang serta dapat menambah pengetahuan tentang penyakit autis untuk dapat di terapkan dalam kehidupan sehari-hari. 4. Peneliti Hasil penelitian ini dapat memberikan suatu pengalaman yang nyata dalam melaksanakan penelitian sederhana dalam rangka mengembangkan diri melalui teknik-teknik ilmiah sesuai dengan praktik keperawatan. 5. Bagi peneliti lain Penelitian ini sebagai bahan dasar acuan lebih lanjut tentang penderita autis serta pengetahuan dan sikap ibu dalam merawat anaknya yang menderita autis, pada mahasiswa lain yang ingin melakukan penelitian berikutnya.
6
E. Bidang Ilmu Bidang ilmu penelitian ini adalah ilmu keperawatan anak.