BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara yang di dalamnya terdapat beraneka ragam kebudayaan yang berbeda-beda tiap daerahnya. Sistem pewarisan yang dipakai di Indonesia juga beragam tergantung dari keluarga maupun lingkungan. Indonesia mengenal tiga macam sistem hukum waris sebagai hukum positif yaitu Sistem Hukum Waris KUH Perdata (BW), Sistem Hukum Waris Adat dan Sistem Hukum Waris Islam. Hal ini berdasarkan atas ketentuan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945, secara yuridis yang dimaksud dengan peralihan yaitu berlaku sementara sepanjang belum ditentukan hukum yang baru atas dasar UUD 1945 sebagai Hukum Nasional. Sistem hukum waris positif saat ini hanya berlaku sementara atas dasar Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945, sampai terbentuk peraturan baru yang bersumber dan berdasarkan atas UUD 1945 dan Pancasila. Tiap-tiap pembagian waris tersebut mempunyai aturan yang berbeda-beda. Hukum Adat disesuaikan dengan adat istiadat tiap-tiap daerah di Indonesia. Dalam konteks hukum adat menurut pendapat Van Dijk berpandangan bahwa hukum waris menurut hukum adat adalah suatu kompleks kaidah-kaidah yang mengatur proses penerusan dan pengoperan daripada harta, baik materiil maupun inmateriil dari generasi ke generasi berikutnya.1 Setiap sistem keturunan yang terdapat dalam masyarakat Indonesia memiliki kekhususan dalam hukum warisnya yang satu sama lain berbeda-beda. Sistem Patrilineal sistem kekeluargaan yang menarik garis keturunan dari nenek moyang pihak laki-laki, yang menjadi ahli waris hanya anak laki-laki, sebab anak perempuan yang telah kawin dan 1
Sri Warjiati, Memahami Hukum Adat, Buku Ajar Mahasiswa, Surabaya: Fakultas Syariah IAIN Sunan Ampel, hlm.75
1
2
menjadi anggota keluarga dari pihak suami, tidak akan menjadi ahli waris dari orangtuanya yang meninggal. Sistem matrilineal, sistem kekeluargaan yang menarik garis keturunan dari nenek moyang pihak perempuan. Anakanak yang menjadi ahli waris adalah dari garis keturunan ibu. Sistem Parental, sistem yang menarik garis keturunan dari dua sisi, dalam sistem ini kedudukan anak laki-laki dan perempuan sejajar atau sama dan merupakan ahli waris dari harta peninggalan orangtua mereka. Jadi hukum waris adat di Indonesia sangat dipengaruhi oleh garis keturunan yang berlaku pada masyarakat yang bersangkutan.2 Hukum waris Barat diatur di dalam Buku II KUHPerdata, yaitu Pasal 830 sampai dengan Pasal 1130. Buku II KUHPerdata ini berkaitan dengan hukum kebendaan.3 Sistem waris KUHPerdata tidak mengenal istilah harta asal maupun harta gono-gini atau harta yang diperoleh bersama dalam perkawinan sebab harta warisan dalam KUHPerdata dari siapapun juga, merupakan kesatuan yang secara bulat dan utuh dalam keseluruhan akan beralih dari tangan peninggal warisan/pewaris ke ahli warisnya. Artinya dalam KUHPerdata tidak dikenal perbedaan pengaturan atas dasar macam atau asal barang-barang yang ditinggalkan pewaris. Dalam KUHPerdata terdapat empat golongan berdasarkan hubungan darah. Golongan pertama keluarga dalam garis keturunan ke bawah, anak beserta keturunannya, suami/istri yang ditinggalkan/atau hidup paling lama. Golongan kedua keluarga dalam garis lurus ke atas, meliputi orangtua dan saudara, baik laki-laki maupun perempuan beserta keturunannya. Golongan ketiga meliputi kakek, nenek, dan leluhur selanjutnya ke atas dari pewaris. Golongan keempat meliputi anggota keluarga dalam garis ke samping dan sanak keluarga lainnya sampai derajat keenam. Undang-undang tidak membedakan ahli waris laki-laki dan perempuan, juga tidak membedakan urutan kelahiran, hanya ada 2
Eman suparman, SH,MH,Hukum Waris Indonesia dalam Perspektif Islam, Adat, dan BW, PT. Refika Aditama, Bandung, 2014, hlm.41-42 3 Titik Triwulan Tutik,SH,MH,Pengantar Hukum Perdata di Indonesia,Prestasi Pustaka Publisher, Jakarta, 2006, hlm.275.
3
ketentuan bahwa ahli waris golongan pertama jika masih ada maka akan menutup hak anggota keluarga lainnya dalam garis lurus ke atas maupun ke samping.4 Hukum Islam dalam pembagian waris, berpatokan pada Alquran dan Hadits dan juga diatur dalam Inpres Nomor 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. Pengertian hukum waris Kompilasi Hukum Islam difokuskan pada ruang lingkup hukum kewarisan Islam yaitu hukum kewarisan yang berlaku bagi orang Islam saja. Adapun tujuan hukum waris Islam adalah mengatur cara-cara membagi harta peninggalan agar supaya dapat bermanfaat kepada ahli waris secara adil dan baik.5 Terdapat beberapa unsur pokok yang melekat pada ketentuan hukum waris yaitu: kaidah hukum, pewaris, pemindahan harta warisan, ahli waris, bagian yang diterima ahli waris, dan hubungan ahli waris dengan pihak ketiga. Kaidah hukum pada dasarnya merupakan aturan atau norma hukum yang mengatur tentang hal-hal yang berkaitan tentang waris. Kaidah hukum dalam hukum waris ada yang tertulis dan juga ada yang tidak tertulis. Pemindahan harta kekayaan pewaris merupakan harta yang diperoleh pewaris selama hidupnya, yang kemudian dibagikan dan diserahkan kepada ahli waris yang berhak menerimanya. Harta kekayaan ini biasa disebut harta warisan. Ahli waris merupakan orang perorangan yang berhak mendapatkan harta warisan dari pewaris jika pewaris telah meninggal dunia, biasanya merupakan orang-orang yang memiliki ikatan darah atau ikatan persaudaraan dengan pewaris. Bagian yang diterima oleh ahli waris ini disesuaikan dengan ketentuan waris yang digunakan, karena ketentuan hukum waris itu berbeda-beda. Tidak sama antara hukum adat, Hukum Waris Barat maupun Hukum Islam.6
4
Eman suparman, SH,MH,Hukum Waris Indonesia dalam Perspektif Islam, Adat, dan BW, PT. Refika Aditama, Bandung, 2014, hlm.27-30 5 Titik Triwulan Tutik,SH,MH, Pengantar Hukum Perdata di Indonesia, Prestasi Pustaka, 2006,hlm 276 6 Ibid hlm 278
4
Maka dalam hukum waris di Indonesia belum dapat disimpulkan secara jelas hukum waris mana yang dipergunakan, karena ada macammacam sistem hukum waris. Hal ini disebabkan suku bangsa Indonesia yang majemuk. Dengan berlakunya Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang mengatur Hukum Keluarga, Hukum Perkawinan, Kedudukan suami istri di dalam perkawinan dan Harta Benda Perkawinan yang berbeda dengan prinsip KUH Perdata (BW). Sejak berlakunya Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, ketiga Sistem Hukum Waris Positif posisinya mulai terlihat bersifat sementara, terutama Sistem Hukum Waris BW. Sistem Hukum Waris KUH Perdata (BW) hanya berlaku bagi orang yang semula tunduk kepada KUH Perdata (BW). Untuk Sistem Hukum Islam dan Sistem Hukum Adat masih berlaku sebagai hukum positif karena secara historis kedua sistem tersebut telah lama hidup dan berlaku dalam masyarakat yang sama yaitu masyarakat Indonesia yang beragama Islam, khususnya dalam bidang Hukum waris kedua sistem tersebut memegang peranan penting dalam mewujudkan cita-cita hukum yaitu sebagai sumber hukum terbentuknya Hukum Nasional. Berbeda dengan posisi Sistem Hukum Waris KUH Perdata (BW), Sistem Hukum Waris Islam dan Sistem Hukum Waris Adat ke depan akan menjadi sumber hukum potensial dalam terbentuknya Hukum Waris Nasional. Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan merupakan salah satu bentuk produk Hukum Nasional yang bersumber dan berdasarkan atas UUD 1945 dan Pancasila. Berkaitan dengan bidang hukum waris, maka dalam hal ini pembentuk Undang-undang melalui UU No. 1 Tahun 1974 melakukan perubahan politik hukum terhadap aspek hukum keluarga dan perkawinan.7 Secara kodrati (hukum alam) dalam sejarah peradaban manusia, anak-anak selalu berada di bawah kekuasaan ayahnya (patria potetas). 7
http://sigitbudhiarto.blogspot.com/2013/05/perkembangan-politik-hukum-di-ndonesia_1089.html
5
Kekuasaan ini bersifat mutlak, artinya baik orang lain, maupun Negara tidak dapat melakukan campur tangan. Akan tetapi lambat laun hal tersebut berubah dan kekuasaan tersebut semakin lama semakin berkurang, namun masih cukup besar pula. Sementara ibu sama sekali tidak mempunyai kekuasaan atas anak-anaknya. Konsep hukum alam tersebut secara tidak langsung berpengaruh terhadap Hukum Romawi yang menjadi sumber utama Hukm Perancis dan Hukum Belanda, selain itu juga Hukum Perdata Barat (BW Indonesia) yang merupakan konkordansi dengan BW Nederland.8 Sebuah ikatan perkawinan penting artinya bagi keturunan dan hubungan kekeluargaan, apalagi bagi seorang anak. Kedudukan anak berkaitan pula dengan proses pewarisan, seorang anak harus mempunyai hubungan hukum dengan pewaris agar anak ini berhak sebagai waris yang sah. Perkawinan yang dilakukan di bawah tangan atau tidak didaftarkan pada Pejabat Pencatat Nikah, seperti diatur dan ditentukan oleh UndangUndang Nomor 1 tahun 1974 mempunyai akibat hukum yang berbeda apabila pernikahan itu dicatatkan. Berpengaruh juga terhadap anak jika di kemudian hari dari pernikahan tersebut lahir seorang anak. Anak luar kawin dalam kehidupan sehari-hari adalah serba sulit, di satu pihak karena status yang demikian oleh sebagian masyarakat mereka dipandang rendah dan hina, di lain pihak dalam hal kesejahteraan dan hak keperdataan masih mendapat pembatasan-pembatasan. Anak luar kawin juga mempunyai hak untuk mendapatkan warisan, tetapi dengan bagian yang berbeda apabila dia adalah anak sah. Seperti halnya dalam kasus yang dialami oleh Machica Muchtar dan Moerdiono, dari hubungan mereka lahir seorang anak. Anak tersebut menjadi anak luar kawin, yang tidak berhak untuk mendapatkan hakhaknya sebagai seorang anak, layaknya dia anak sah. Maka dari itu Machica mengajukan judicial review kepada Mahkamah Konstitusi terhadap Pasal 43 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang 8
Ibid hlm.81.
6
Perkawinan. Mahkamah Konstitusi dalam putusan Nomor 46/PUUVIII/2010 membuat perubahan dalam Undang-undang nomor 1 tahun 1974 Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pasca judicial review berbunyi : “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya”. Pengakuan anak di luar pernikahan yang sah memberikan hak keperdataan bagi anak yang selama ini tidak diakui negara. Dengan diakuinya hak keperdataan anak di luar nikah ini maka anak akan mendapatkan hak waris tidak hanya dari ibunya melainkan juga dari bapaknya. Walaupun memang istilah ‘keperdataan’ tidak bisa otomatis dianggap mempunyai hubungan nasab (keturunan) antara anak luar kawin dengan ayah biologisnya. Inilah yang kemudian menjadi acuan atau pedoman bahwa anak luar kawin tersebut bisa menjadi ahli waris atau tidak. Pembahasan dalam tesis ini dititikberatkan pada hak anak luar kawin dalam proses pewarisan. Karena itu penulis mengangkat tesis dengan judul “KEDUDUKAN ANAK LUAR KAWIN SETELAH PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA NOMOR: 46/PUU-VIII/2010”.
B. Rumusan Masalah Dari hal-hal tersebut di atas maka permasalahan yang akan dibahas adalah sebagai berikut : 1. Bagaimana bentuk-bentuk perlindungan hukum anak luar kawin paska putusan Mahkamah Konstitusi Nomor RI 46/PUU-VIII/2010 menurut hukum Perlindungan anak? 2. Bagaimana kedudukan Anak Luar Kawin dalam Hukum Waris Islam?
7
C. Tujuan Penelitian Maksud adanya tujuan penelitian adalah untuk memberikan arah yang tepat dalam proses penelitian yang dilakukan agar penelitian tersebut berjalan sesuai dengan apa yang dikehendaki. Oleh karena itu dalam penyusunan laporan penulisan hukum ini tujuan yang hendak dicapai penulis adalah: 1.
Tujuan Objektif Tujuan Obyektif dari penelitian ini adalah : a. Meneliti dan menganalisis Perlindungan Hukum bagi anak luar kawin paska putusan Mahkamah Konstitusi Nomor RI 46/PUUVIII/2010. b. Meneliti dan menganalisis kedudukan
anak luar kawin dalam
hukum waris Islam. 2.
Tujuan Subjektif Tujuan Subyektif dari penelitian ini adalah : a. Untuk memperoleh data dan informasi sebagai bahan utama dalam menyusun karya ilmiah guna memenuhi persyaratan yang diwajibkan dalam meraih gelar Magister di bidang Kenotariatan pada Program Pasca Sarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta. b. Untuk menambah, memperluas, mengembangkan pengetahuan dan pengalaman penulis serta pemahaman aspek hukum di dalam teori hukum yang sangat berarti bagi penulis.
D. Manfaat Penelitian Dalam setiap penelitian diharapkan adanya suatu manfaat dan kegunaan yang dapat diambil dari penelitian, sebab besar kecilnya manfaat penelitian akan menentukan nilai-nilai dari penelitian tersebut. Adapun yang menjadi manfaat dari penelitian ini adalah :
8
1. Manfaat Teoritis a. Menambah informasi perbendaharaan kepustakaan mengenai bentuk
perlindungan
hukum
bagi
anak
luar
kawin
dan
kedudukannya dalam hukum waris Islam. b. Sebagai informasi awal untuk penelitian lebih lanjut mengenai topik yang sama dengan permasalahan yang berbeda. 2. Manfaat Praktis a. Diharapkan hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai alternatif bahan masukan dalam penyusunan kebijakan mengenai hak – hak anak luar kawin dalam perolehan perlindungan hukum setelah putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 46/PUU-VIII/2010. b. Dapat memberikan gambaran kepada praktisi hukum mengenai perlindungan hukum bagi anak luar kawin.