perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Tumbuhnya era digital turut serta ditandai dengan munculnya berbagai teknologi yang turut berperan mempermudah kehidupan manusia dan menimbulkan perubahan yang signifikan dalam sistem sosial di masyarakat. Kebutuhan untuk mengabadikan sebuah moment dalam sebuah media digital bernama kamera nampaknya sudah menjadi kelaziman sekaligus kebutuhan bagi seseorang. Kesempurnaan untuk mengabadikan berbagai moment berharga menjadi dambaan setiap pengguna kamera. Celah kebutuhan inilah yang kemudian dimanfaatkan produsen untuk mentransformasi ide kamera digital sebagai sarana yang mempermudah pekerjaan khususnya para fotografer profesional. Fotografer profesional memiliki makna pekerja di bidang foto, yang berarti orang atau individu yang mengantungkan hidup atau dengan kata lain pekerjaannya berada dalam lingkup fotografi. Inovasi khususnya di bidang teknologi juga terjadi pada perangkat rekam atau kamera. Di era fotografi film, cermin itu wajib hadir sebab hanya itulah “komunikasi” antara dunia nyata dan mata fotografer. Di dunia fotografi digital, cermin itu tidak diperlukan lagi karena sensor kamera (pengganti film) bisa langsung mengirimkan imaji kepada fotografer baik ke layar LCD maupun ke viewfinder elektronik. Produk kamera DSLR (Digital Single Lens Reflector) sebagai salah satu inovasi yang dirasa mampu memenuhi kebutuhan tersebut. Bahkan menurut Investor Daily Indonesia (2012), pengguna kamera DSLR di Indonesia tumbuh pesat, pada bulan Oktober tahun 2012 penjualan DSLR merk Canon dengan berbagai seri EOS mencapai 60 juta unit, kemudian melesat pada tahun 2014 dengan angka penjualan 70 juta unit. Sejarah kamera yang pada awal tahun 1990 booming dengan sistem analognya, berkembang menjadi sistem digital pada awal tahun 2000. Era analog semakin tergeser dengan industrialisasi produk kamera dari produsen ternama seperti Canon commit to user
1
perpustakaan.uns.ac.id
2 digilib.uns.ac.id
maupun Nikon dari Jepang. Memasuki satu dekade terakhir atau era tahun 2010 hingga saat ini puluhan seri kamera digital telah diluncurkan. Kamera digital DSLR sampai saat ini dianggap mampu memenuhi kebutuhan fotografer profesional dalam menjalankan tugas fotografinya. Kamera ini adalah perkembangan jenis kamera paling mutakhir dan masih digunakan sebagai alat rekam yang mumpuni dalam perkembangan kebutuhan dunia digital saat ini. Keutamaan dari kamera ini adalah adanya memori penyimpanan dalam bentuk digital yang terbuat dari unsur kimia. Data digital mudah dipindahkan dan bisa memuat banyak foto. Dari artikel yang berjudul Sejarah Perkembangan Kamera Digital (diakses dari http://www.fotografi.tp.ac.id/article/sejarah-perkembangan-kamera-digital.html) perkembangan kamera digital tidak terlepas dari pengembangan video tape recorder (VTR), yakni sebuah teknologi merekam gambar pada televisi. Pada tahun 1951, untuk kali pertama, Bing Crosby Laboratorium membuat versi awal dari VTR. Alat tersebut berfungsi untuk mengambil gambar dari kamera televisi, kemudian mengkonversi gambar tersebut menjadi suatu impuls listrik (digital) dan menyimpannya ke dalam tape magnetis. Kemudian pada tahun 1956, Charles P. Ginsburg dan Ampex Corporation menyempurnakan VTR dengan meluncurkan versi VR1000 dan umum dipakai oleh industri televisi. Maka dari sanalah, antara kamera video dengan kamera digital memiliki kesamaan dalam penggunaan CCD (Charged Couple Device) untuk mengatur warna dan intensitas cahaya. Sejak saat itulah, era kamera digital telah dimulai dan berkembang secara pesat. Pada tahun 1981, dimana Sony memperkenalkan kamera elektronik komersil pertama mereka yang disebut Mavica. Adapun cara kerja dari kamera digital pertama ini yakni gambar yang direkam ke mini disc kemudian dimasukkan ke dalam video reader yang terhubung ke monitor atau televisi warna. Walaupun Mavica belum dapat dikatakan kamera digital, itu sebenarnya merupakan modifikasi kamera video yang mengambil foto secara spontan. Sementara itu, sejak pertengahan tahun 1970an, Kodak Company memiliki beberapa penemuan tentang solid-state atau kejernihan untuk sensor gambar, yaitu mengubah cahaya ke gambar digital untuk penggunaan pada tingkat profesional dan konsumen rumah tangga. Dilanjutkan tahun 1986, Kodak untuk pertama kalinya di dunia mengenalkan sensor megapixel. Sensor ini commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
3 digilib.uns.ac.id
mampu merekam 1,4 juta pixel yang dapat menghasilkan 5x7 inci foto digital cetak berkualitas baik pada saat itu. Setahun kemudian (1987), Kodak pun merilis tujuh produk lainnya untuk merekam, menyimpan, memanipulasi, transmisi elektronik, serta untuk mencetak gambar atau objek. Pada tahun 1990, Kodak mengembangkan sistem foto CD dan mengusulkan pertama kalinya di seluruh dunia untuk menetapkan standar warna digital dalam lingkungan komputer dan peripheral komputer. Pada tahun 1991, Kodak merilis pertama kalinya untuk para profesional, suatu sistem dalam pemotretan yaitu Digital Camera System (DCS) yang bertujuan untuk foto jurnalistik. Kamera tersebut adalah Nikon F-3 yang dilengkapi dengan sensor 1.3 Megapixels. Sedangkan kamera digital yang pertama untuk tingkat konsumen pasar yang bekerja dengan komputer rumah melalui USB (Unit serial Bus) adalah kamera QuickTake 100 Aplle yang diluncurkan pada 17 Februari 1994, kemudian kamera Kodak DC40 pada tanggal 28 Maret 1995, dilanjutkan dengan Casio QV-11 dengan monitor LCD pada akhir 1995, dan Sony Cyber-Shot Digital Still Camera di tahun 1996. Dipihak lain, Hewlett-Packard (HP) adalah perusahaan pertama dalam hal membuat warna di produk mereka yaitu Inkjet Printer, sehingga melengkapi sistem pewarnaan untuk gambar yang dicetak dari kamera digital. Maka dimulailah perubahan kamera digital dengan bentuk yang baru. Kamera digital seperti kamera konvesional, tersedia model Point-And-Shoot dan lensa refleks tunggal digital atau Digital Single Lens Reflector (DSLR). Point-and-Shoot Camera adalah kamera kecil, murah, dan mudah digunakan, karena kamera tersebut hanya berisi lensa dan built-in flash. Untuk mendapatkan bingkai gambar, kamera tersebut memiliki Liquid Crystal Display (LCD) berbasis viewfinder. Adapun keuntungan dan kerugian dari model Point-And-Shoot adalah, kamera tersebut dirancang agar memudahkan dalam penggunaan. Walaupun model ini masih memiliki keterbatasan, yaitu penggunaan kontrol atas kamera. Beberapa kamera ada yang mengatur fokus dan eksposure secara otomatis. Sementara jenis DSLR adalah kamera dengan model kebalikan dari Point-and-shoot camera. Kamera DSLR memiliki optical viewfinders, removable lens, external flash, dan kemampuan untuk fokus serta kemampuan untuk menyesuaikan commit to user eksposur secara manual bila
perpustakaan.uns.ac.id
4 digilib.uns.ac.id
diperlukan. Hal ini merupakan pengganti langsung dari kamera yang menggunakan negatif film berbasis model lensa refleks tunggal atau Single Lens Reflex (SLR) yang digunakan kebanyakan orang waktu dulu. Ada sebuah contoh menarik bagaimana pentingnya inovasi teknologi dalam perkembangan dunia jurnalistik khususnya media cetak. Fred S. Parrish (2002 : 4-10) menyebutkan harian Arizona Daily Star adalah sebuah koran yang memiliki sirkulasi lebih dari 100.000 eksemplar tiap harinya. Dimiliki oleh Pulitzer Publishing Co. Berdiri pada tahun 1877, harian ini berlokasi di Tucson, wilayah yang rata-rata adalah gurun yang berdekatan dengan perbatasan negara Meksiko. Harian Arizona Daily Star merupakan koran yang terbit tujuh hari dalam seminggu yang mengambil isu seputar perkembangan pemerintahan, dan isu imigran. Koran ini memiliki idealisme yang tinggi dalam hal penggunaan media foto sebagai nilai tambah yang besar dalam media mereka. Mereka percaya melalui penyajian foto yang apik pembaca akan terpuaskan dengan sajian berita mereka. Menyadari akan pentingnya konten foto sebagai pendukung pemberitaan, maka fotografer harian ini dituntut menyajikan foto jurnalis yang baik dan memenuhi kaidah jurnalistik. Foto yang disajikan diwajibkan memberi pemahaman lebih pada pembaca tentang isu yang tengah dihadapi. Setidaknya ada delapan fotografer tetap, ditambah fotografer freelance yang bekerja pada media ini. Dalam sehari mereka diwajibkan mengerjakan dua sampai tiga isu untuk disajikan dalam berbagai karya fotografi. Melalui media kamera analog fotografer harus bekerja lintas tempat dan waktu dalam sehari, ditambah mereka harus menyisakan cukup waktu untuk mengolah film negatif menjadi jajaran film positif, bergelut dengan proses seleksi foto di ruang gelap, bermain dengan zat kimia dan dilanjutkan proses memotong dan menyeleksi ratusan deret negatif film menjadi beberapa buah foto yang layak untuk masuk proses pre-cetak. Panjangnya proses produksi dan sempitnya waktu deadline membuat media ini beralih menggunakan kamera digital pada dekade tahun 1990-an, seri Nikon NC2000e dipilih untuk memenuhi kebutuhan akan efisiensi waktu dan tenaga. Perubahan dari analog menjadi digital membuat perusahaan merubah pula sistem transmisi data dari bentuk hard file (negatif film) commit to usermenjadi bentuk soft file (file foto).
5 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Sistem internet pun digunakan sebagai alat penghubung (transmisi) dan alat penyebaran foto dari fotografer menuju editor foto mereka. Hal ini semakin memberikan kemudahan ketika fotografer harus pergi ke luar kota untuk penugasan, Machintos Powerbook akan menjamin foto mereka terkirim cepat menuju meja redaksi. Selain itu kamera digital mampu memenuhi kebutuhan media ini dalam menangkap momen foto yang cepat dan membutuhkan kualitas baik. Pada akhirnya saat ini kita perlu menandai kemajuan industri media Arizona Daily Star ketika mereka memunculkan fasilitas Daily Star’s Online dimana langkah ini merupakan terobosan bagi industri media dan kemajuan dunia fotografi digital yang berjalan beriringan dengan kemajuan teknologi. Daily Star’s Online memberikan jasa berbayar bagi mereka yang ingin mengunduh atau membaca koran secara online. Bagi fotografer hal ini membuat mereka lebih cepat menyajikan karya mereka bagi pembaca sehingga aktualitas berita lebih terjamin. Lebih banyak foto yang bisa mereka bagi melalui media online daripada memikirkan halaman koran yang terbatas. Digitalisasi atau proses perubahan dari sistem analog menjadi sistem digital sering juga disebut sebagai komputerisasi, turut berperan mendorong masyarakat mengikuti arus perubahan dan turut dalam penggunaan mekanisme digital. Sebagai sebuah perubahan yang bersifat masif, tentunya masyarakat dihadapkan pada pilihan untuk belajar atau tetinggal dalam perkembangan teknologi ini. Peneliti melihat perubahan teknologi dari sistem analog menjadi digital turut “memaksa” seorang mempelajari inovasi baru yang ditawarkan kepada mereka. Sebagai contoh perlu adanya penyesuaian baru dengan mengenal perangkat dan tombol operasional sebuah kamera digital yang berbeda dari kamera analog. Kemudian muncul lagi perbedaan dari segi olah gambar sampai transmisi gambar, semuanya merupakan hal baru yang berbeda dari sistem analog sebelumnya. Dalam dunia fotografi digital, istilah digitalisasi terdiri atas dua proses penting, yakni proses pengambilan gambar dan proses pengolahan gambar setelah gambar diambil. Proses digital mampu memotong proses ruang gelap dimana fotografer harus bergulat dengan bahan kimia demi menghasilkan sebuah gambar pilihan. Proses digital memudahkan fotografer dalam memenuhi tuntutan deadline perusahaan.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
6 digilib.uns.ac.id
Rogers (1983 : 135) memberikan definisi sebagai berikut : “technology is a design for instrumental action that reduces the uncertainty in the cause-effect relationships involved in achieving a desired outcome. A technology usually has hardware and software components. Our definition implies some need or problem.” Rogers (1983 : 135) mendefinisikan sebuah teknologi biasanya berupa perangkat keras dan lunak. “The tool has (1) a material aspect (the equipment, products, etc.), and (2) a software aspect, consisting of knowledge, skills, procedures, and/or principles that are an information base for the tool.” Rogers (1983 : 135), digitalisasi adalah sebuah produk inovasi, sedangkan inovasi merupakan ide, gagasan, atau konsep yang diterima sebagai sesuatu yang baru oleh masyarakat atau unit penerima yang lain. “The innovation-development process consists of all of the decisions, activities, and their impacts that occur from recognition of a need or problem, through research, development, and commercialization of an innovation, through diffusion and adoption of the innovation by users, to its consequences.” Berbagai perubahan yang terjadi akibat pergeseran sistem dari analog menjadi digital merupakan hal yang menarik untuk diteliti. Berbagai faktor yang mempengaruhi seorang fotografer profesional, dalam proses difusi inovasi teknologi kamera analog menjadi digital, inilah yang menurut peneliti dianggap sebagai proses perubahan masif dalam dunia fotografi. Perubahan dari proses pengambilan gambar hingga proses pengolahan gambar semua mengalami perkembangan yang luar biasa. Dalam ranah ilmu komunikasi, peneliti melihat fenomena difusi inovasi kamera jenis DSLR ini sebagai sebuah hal yang menarik. Bagaimana sesuatu yang dianggap baru (inovasi) dapat diterima oleh khalayak menjadi alat untuk problem solving dalam kehidupan sehari-hari. Peneliti ingin melihat bagaimana peran individu dalam proses penerimaan dan penyebaran (difusi) sebuah informasi tentang ide baru (inovasi). Teori difusi inovasi pada dasarnya menjelaskan proses bagaimana suatu inovasi disampaikan (dikomunikasikan) melalui saluran-saluran tertentu sepanjang waktu kepada sekelompok anggota dari sistem sosial. Hal tersebut sejalan dengan pengertian difusi dari Rogers (1983), yaitu “as the process by which an innovation is commit to user communicated through certain channels over time among the members of a social
perpustakaan.uns.ac.id
7 digilib.uns.ac.id
system.” Lebih jauh dijelaskan bahwa difusi adalah suatu bentuk komunikasi yang bersifat khusus berkaitan dengan penyebaranan pesan-pesan yang berupa gagasan baru, atau dalam istilah Rogers, difusi menyangkut “which is the spread of a new idea from its source of invention or creation to its ultimate users or adopters.” Difusi inovasi dijelaskan oleh Rogers (1983) sebagai proses keputusan terhadap inovasi adalah proses bagaimana seorang individu (atau unit pembuat keputusan lain) melalui tahapan pertama dari pengetahuan mengenai inovasi, untuk menciptakan sebuah sikap terhadap inovasi tersebut, kepada keputusan untuk menerima atau menolak. Studi lain yang dilakukan oleh Marijke van der Veen (2010 : 4), dalam jurnal Agricultural innovation: invention and adoption or change and adaptation? Menguatkan pendapat Rogers (1983) mengenai definisi difusi inovasi bahwa : “Rogers, in his textbook Diffusion of Innovations (2003: 169), draws on these aspects to categorize the stages an individual may pass through during the adoption process – knowledge, persuasion, decision, implementation and confirmation – and he stresses the nature of communication channels and the importance of certain individuals: opinion leaders who exert influence from within, and change agents who represent specialists from outside.” Salah satu unsur berhasilnya sebuah inovasi adalah keberadaan seorang opinion leader seperti dijelaskan oleh Tina Gouws and George Peter van Rheede van Oudtshoorn (2011 : 238), dalam jurnal yang berjudul Correlation between brand longevity and the diffusion of innovations theory : “Rogers (1983, p. 27) identifies an opinion leader as someone who is able to influence other individuals’ attitudes or overt behaviour informally in a desired way with relative frequency. Opinion leadership is earned and maintained by the individuals’ technical competence, social accessibility and conformity to the system’s norms.” Dari kedua penelitian yang telah dilakukan oleh pakar tersebut menekankan faktor-faktor yang mempengaruhi sebuah difusi inovasi bisa menjadi solusi atas permasalahan yang muncul. Faktor-faktor tersebut antara lain, faktor sosial, ekonomi, dan sosial psikologis individu. Dalam ranah ilmu komunikasi peneliti ingin melihat pada proses terjadinya difusi itu sendiri. Bagaimana sebuah ide atau gagasan baru, yakni informasi mengenai kamera digital jenis DSLR diadopsi oleh komunikator untuk diterima dan commit to user disebarkan ke dalam lingkup sistem sosial.
8 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Menunjuk pada pengertian informasi dijelaskan dalam jurnal About Information Concept, Its Essence, and Role In Social and Technical System oleh Fedorov (2007 : 84) dilihat dari segi bahasa bahwasanya informasi berasal dari bahasa latin, informatio yang berarti penyelidikan (penelitian), penjelasan, dan penjabaran. Persepsi keseharian yang beupa pesan dan data tertentu. Informasi juga bisa berarti sebuah temuan, berita, data, dan seperangkat pengetahuan. Dijelaskan pula oleh Bell’s and Shenon’s (2007 : 86) bahwasanya informasi adalah : 1.
Pesan yang melekat pada kontrol : kesatuan sinyal yang bersifat dan karakteristik sintatis, semantik, dan pragmatis
2.
Transmisi, refleksi dari berbagai macam objek dan proses (dari benda hidup maupun mati)
3.
Data mengenai individu, objek, fakta, kejadian, fenomena, dan proses yang menghiraukan bentuk presentasinya.
Dapat disimpulkan melalui informasi kita dapat memahami refleksi dari proses, fenomena atau kejadian tertentu baik dari sebuah objek benda maupun makhluk hidup dalam dunia fisik tanpa memperhatikan refleksi bentuk, siapa yang membawa dan posisinya dalam waktu dan space tertentu. Informasi menjadi hal penting karena mampu membantu meraih tujuan tertentu. Komunikasi menjadi titik penting dalam proses difusi, karena esensi dari proses penyampaian ide / gagasan itu berawal dari bagaimana sebuah pesan diciptakan oleh komunikator (message production) untuk selanjutnya ditransmikan (message dissemination) melalui saluran komunikasi dan dapat diterima oleh komunikan (message reception) Pada dekade tahun 1970-an, muncul sebuah teori mengenai konstruksi pesan (constructivist theory) yang dikembangkan oleh Jesse Delia dan sarjana komunikasi lain pada masa itu. Teori ini merupakan gagasan paling logis untuk menjelaskan luasnya jangkauan teori produksi pesan. Dalam ranah penelitian ini peneliti melihat difusi inovasi yang diawali dengan proses penyebaran pesan. Seorang inovator dalam melakukan proses difusi ini mempunyai peran untuk menciptakan pesan yang disalurkan melalui media tertentu commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
9 digilib.uns.ac.id
maupun melalui interaksi komunikasi interpersonal untuk selanjutnya ditransmisikan kepada target yang ingin dituju. Pada tingkatan dibawahnya, seorang early adopter adalah target utama dari seorang inovator dalam proses difusi inovasi. Seorang early adopter dianggap mempunyai posisi strategis dalam lingkup sistem sosial. Dalam proses difusi ide baru, seorang early adopter menerima pesan (message reception) dari inovator untuk selanjutnya melakukan proses penyebaran bagi tingkatan di bawahnya. Dirinya dianggap memiliki power menyebarkan pesan sama seperti inovator dimana pesan ini akan disampaikan lewat interaksi komunikasi interpersonal maupun media tertentu yang mereka gunakan. Pada akhirnya pesan ini yang mempengaruhi orang lain akan terpaan sebuah inovasi. Dalam proses difusi inovasi, tingkatan ketiga yakni, early majority merupakan tingkatan penerima pesan (message receptor) dari seorang early adopter. Pada tahap ini, seorang early majority memiliki fungsi untuk menerima pesan dan menyebarkan pada sistem sosial di bawahnya, seorang early majority cenderung lama menerima pesan dibanding dua tingkat diatasnya. Pada tingkatan keempat, yakni seorang late adopter, dimana tingkatan ini bersifat pasif menerima pesan (message reception) dari tiga tingkatan diatasnya. Seorang late adopter dalam menerima sebuah inovasi sangat mempertimbangkan tingkat kemampuan ekonomi dan desakan kebutuhan untuk memperluas jaringan. Dirinya akan mengadopsi sebuah inovasi ketika hampir seluruh anggota dalam sistem sosialnya sudah menggunakan inovasi tersebut dan dirasa aman untuk memakainya. Tingkatan terakhir, yakni laggard , merupakan penerima pasif yang berpegang teguh pada tata cara tradisional dan sangat berpengaruh pada agen perubahan yang dekat dengan mereka. Berdasarkan paparan teori di atas, peneliti tertarik untuk melihat bagaimana penyebaran dan penerimaan ide baru, yang dalam hal ini merupakan informasi mengenai teknologi kamera DSLR di kalangan fotografer profesional di Kota Solo dan Yogyakarta. Dalam melakukan penelitian mengenai proses difusi inovasi
ini, peneliti
menggunakan pendekatan penelitiancommit komunikasi kualitatif. Menurut Pawito (2007 : to user
10 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
35), penelitian komunikasi kualitatif, biasanya tidak dimaksudkan untuk memberikan penjelasan-penjelasan (explanations), mengontrol gejala-gejala komunikasi atau mengemukakan prediksi-prediksi, tetapi lebih dimaksudkan untuk mengemukakan gambaran dan/atau pemahaman (understanding) mengenai bagaimana dan mengapa suatu gejala atau realitas komunikasi terjadi. Menurut Pawito (2007 : 83), metodologi meliputi cara pandang dan prinsip berpikir mengenai gejala yang diteliti, pendekatan yang digunakan, prosedur ilmiah (metode) yang ditempuh, termasuk dalam mengumpulkan data, analisis data dan penarikan kesimpulan. Metode adalah cara paling utama yang digunakan untuk mencapai tujuan penelitian. Pada penelitian ini penulis ingin menggambarkan suatu realitas, maka jenis penelitian yang paling tepat adalah jenis kualitatif dengan metode studi kasus. Peneliti menggunakan metode penelitian kualitatif
studi kasus untuk
mendapatkan uraian dan penjelasan komprehensif mengenai berbagai aspek seorang individu, suatu kelompok, suatu organisasi (komunitas), suatu program, atau suatu situasi sosial. Peneliti studi kasus berupaya menelaah sebanyak mungkin
data
mengenai subjek yang diteliti, mereka sering menggunakan berbagai metode : wawancara (riwayat hidup), pengamatan, penelaahan dokumen, (hasil) survei, dan data apapun untuk menguraikan suatu kasus secara terinci.
commit to user
11 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
B. Rumusan Masalah Berdasarkan masalah yang di ungkapkan pada latar belakang, maka dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut : 1.
Bagaimana karakter individu dilihat dari peran masing-masing individu sebagai inovator, early adopter, early majority, dan late majority di dalam proses difusi inovasi ?
2.
Bagaimana peran individu dalam proses difusi inovasi informasi kamera DSLR dilihat dari dua sisi, sebagai komunikator (message dissemiination) dan menjadi seorang komunikan (message reception) ?
C. Tujuan Penelitian 1.
Mendeskripsikan dan menganalisis karakter individu dilihat dari peran masingmasing individu sebagai inovator, early adopter, early majority, dan late majority di dalam proses difusi inovasi.
3.
Mendeskripsikan dan menganalisis peran individu dalam proses difusi inovasi kamera
DSLR
dilihat
dari
dua
sisi,
sebagai
komunikator
(message
dissemiination) dan menjadi seorang komunikan (message reception).
D. Manfaat Penelitian 1.
Bagi ilmu komunikasi, penelitian diharapkan dapat memberikan referensi bagi pembangunan body of knowledge teori komunikasi yang tengah berkembang.
2.
Bagi pembaca, diharapkan mampu memberikan manfaat praktis untuk menentukan saluran komunikasi yang efektif dalam proses difusi sebuah inovasi.
3.
Bagi peneliti lain sebagai bahan acuan untuk melakukan penelitian lanjutan. Mengingat masih banyaknya lubang dari teori difusi inovasi yang masih bisa digali melalui penelitian lain.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Kajian Teori Untuk memahami bagaimana sebuah proses difusi inovasi dapat berjalan dalam sistem sosial khususnya dalam lingkungan fotografer profesional di Kota Solo dan Yogyakarta, peneliti akan mendeskripsikan beberapa aspek yang berperan penting dalam berhasilnya proses penciptaan dan penerimaan pesan tersebut. I. Komunikasi Peneliti melihat kajian penelitian ini sebagai sebuah fenomena komunikasi, untuk itu perlu adanya definisi komunikasi secara luas dan menyeluruh. Definisi komunikasi perlu dijelaskan di awal karena definisi mengenai komunikasi masih bersifat tentatif dan belum menemukan satu definisi yang disepakati bersama. Dalam beberapa dekade perumusan mengenai definisi komunikasi sangat berlimpah pun dengan perubahan mengenai definisi tersebut ikut mengalami perubahan secara terus menerus. Mungkin salah satu titik temu dalam memahami komunikasi adalah komunikasi merupakan sebuah proses. Proses merupakan sesuatu yang dinamis dan tidak bisa dikekang. David Berlo (lihat, Miller 2005 : 5) mengemukakan sebuah ide mengenai definisi proses sebagai sebuah kejadian atau hubungan yang bersifat dinamis dan terjadi secara terus menerus, selalu berubah, dan berkelanjutan. Proses tidak memiliki awal maupun akhir, tidak statis, melihat komunikasi sebagai proses interaksi dimana satu orang mempengaruhi orang lain. Seorang profesor komunikasi dari Michigan Tech University, Jennifer Slack menyadari betapa sulitnya mencari pehaman tunggal mengenai makna dari komunikasi tersebut, dalam buku A first look at communication theory, karya Em Griffin (2012 : 6), mengungkapkan bahwa : “there is no single, absolute essence of communication that adequately explains the phenomena we study. Such a definition does not exist; neither is it merely awaiting the next brightest communication scholar to nail it down once and for all.” commit to user
12
perpustakaan.uns.ac.id
13 digilib.uns.ac.id
Penjelasan tersebut menunjukan betapa kompleks dan tentatif nya ilmu komunikasi. Dimana sulit mencari sebuah definisi yang bisa mencakup pemikiran beberapa ahli untuk meramunya menjadi sebuah konsep yang disepakati. Namun, dalam bukunya tersebut, Em Griffin (2012 : 6) mencoba memberikan sebuah pengertian sederhana mengenai definisi komunikasi. Communication is the relational process of creating and interpreting messages that elicit a response. Dari satu kalimat tersebut diatas dapat diambil arti bahwa komunikasi merupakan proses yang saling berhubungan dalam hal menciptakan pesan dan meng-interpretasikan pesan tersebut yang pada akhirnya menghasilkan sebuah respon. John Fiske (2012), dalam bukunya Introduction to Communication Studies: Second Edition juga melihat ilmu komunikasi sebagai sebuah multidisiplin ilmu, dirinya mencoba menarik kesimpulan lewat beberapa asumsi dari pemahamannya tersebut. Dari beberapa asumsi yang ditekankan, Fiske (2012) menekankan dua pokok atau esensi dari ilmu komunikasi, yakni komunikasi sebuah proses transmisi pesan antara seorang komunikator dan komunikan, sedangkan pokok yang kedua dia melihat komunikasi lebih kompleks communication as the production and exchange of meaning atau komunikasi adalah proses produksi dan pertukaran makna. Pokok kedua menekankan bagaimana pesan atau teks bisa dipahami dan menghasilkan interaksi antar manusia. Pendapat lain muncul dari Stephen W. Little John (2010), dalam bukunya Theories of Human Communication : Tenth Edition, menjelaskan bagaimana sebuah komunikasi tidak bisa dijabarkan dalam sebuah pengertian single namun harus dijelaskan menurut “teori mana yang rasa cocok untuk anda” sepenuhnya diserahkan pada bagaimana kita mampu memahami komunikasi sebagai sebuah teori. Dari pendapat beberapa ahli tersebut dapat ditarik beberapa kesimpulan bahwa proses komunikasi memiliki beberapa aspek penting yang ada di dalamnya. Disebutkan oleh Em Griffin (2012 : 6-7) tentang aspek-aspek penting komunikasi dilihat dari beberapa konsep : commityakni to user
14 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
a. Message (pesan) Message atau pesan adalah salah satu aspek inti dalam proses komunikasi. Profesor Ilmu Komunikasi dari University of Colorado, Robert T. Craig menyebut bahwasanya komunikasi meliputi berbicara dan menulis, menulis dan membaca, menampilkan dan menyaksikan, atau secara umum melakukan apapun yang melibatkan “pesan”dalam berbagai media dan situasi. Dalam ranah komunikasi, pesan sering diidentikan dengan teks, yakni seperangkat rekaman pesan yang dapat dianalisa oleh orang lain, sebagai contoh buku, film, foto, atau contoh rekaman pidato maupun siaran pesan lewat televisi. b. Creation of Message (penciptaan pesan) Pada proses ini seseorang akan melakukan proses menyusun, membentuk, merangkai, mengadopsi, dan memilih pesan mana yang akan dia sampaikan pada orang lain. c. Interpretation of Message (interpretasi pesan) Messages do not interpret themselves. Pesan tidak akan mengintrepretasikan dirinya sendiri. Words don’t mean things, people mean things Kata tidak berarti sesuatu, orang lah yang memberi arti kepadanya. Dari dua kalimat di atas dapat dikatakan bahwa interpretasi pesan merupakan dua hubungan kausal antara seorang komunikator dengan komunikannya. Herbert Blumer (lihat, Griffin 2012 : 55) mengenai fase ini disebut dengan “Humans act toward people or things on the basis of the meanings they assign to those people or things.” Manusia berperilaku untuk menghadapi orang lain atau sesuatu berdasar makna yang mereka tetapkan untuk orang atau hal tersebut. Kata dan simbol lain terbuka atas berbagai interpretasi yang disematkan kepadanya. Komunikasi merupakan simbolik, karena itu kita tidak memiliki akses untuk mengetahui pikiran atau maksud seseorang, apa yang kita mampu adalah mengintepretasikan pemikiran atau perasaan seseorang lewat pemahaman simbolik tersebut. Kita menciptakan simbol untuk memahami makna-makna tertentu. commit to user
15 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Griffin (2012 : 8) membagi dua bentuk komunikasi sebagai sebuah proses yang saling mempengaruhi. Keduanya dijabarkan sebagai berikut : a. Relational Process (proses yang saling berhubungan) Komunikasi adalah sebuah proses, komunikasi bersifat sangat dinamis dan tidak pernah sama. Celeste Condit, seorang ahli retorika, menyebutkan bahwa komunikasi cenderung melihat pada proses dibandingkan konten di dalamnya. Komunikasi disebut sebagai proses yang saling berhubungan dikarenakan komunikasi bukan hanya menunjukan hubungan antara manusia satu dengan lainnya namun, juga melihat pada efek yang muncul yang
mampu
mempengaruhi hubungan antara manusia tersebut. b. Message That Elicit of Response (pesan yang menimbulkan respon) Pada tahapan ini akan disinggung mengenai bagaimana sebuah pesan akan menimbulkan respon / tindakan bagi penerimanya. Respon ini terkait bagaimana sebuah pesan mampu memberikan reaksi baik kognitif, emosional, sampai pada perilaku penerimanya. Dikutip oleh Julia T. Wood (2011 : 16) dalam bukunya, Communication Mosaic mengutip pernyataan dari Pinker, et al. bahwa ada dua tingkatan dalam memahami makna tersebut yakni, content level yang bermakna tingkatan isi dari makna yang bersifat literal (harfiah) dan tingkatan kedua adalah relationship level of meaning yang menunjukan hubungan antar komunikator yang terlibat.
II. Proses Komunikasi Proses komunikasi secara singkat menjelaskan bagaimana komunikasi terjadi, siapa dan apa saja yang terlibat dalam proses tersebut. Beberapa ahli telah menunjukan beberapa model proses komunikasi untuk memudahkan para sarjana komunikasi memahami rangkaian proses tersebut. Proses komunikasi secara linear dikenalkan oleh Laswell (1948) dimana komunikasi sebagai proses satu arah, dimana seseorang berusaha mempengaruhi orang lain, atau sering disebut dengan model transmisi komunikasi. Pada tahun 1949, Shannon dan Weaver (lihat, Wood 2011 : 16) menyempurnakan gagasan dari Laswell dengan menambahkan konsep noise commit to user
16 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
(gangguan). Gangguan adalah segala sesuatu yang menginterfensi makna komunikasi yang sebenarnya.
Information source
Receiver
Transmitter
Message Signal
Sender
Noise source
Message
Destination
Message Received signal
Receiver
Gambar 2.1 The Linear Model of Communication
Kritik mengenai pola komunikasi tersebut dikemukakan oleh Gronbeck (lihat, Wood 2011 : 17), The major shortcoming of the early models was that they portrayed communication as flowing in only one direction, from a sender to a receiver. Ketika komunikasi dipandang sebagai sebuah proses dimana seorang komunikator mengirimkan pesan pada komunikan, komunikasi tersebut bersifat linear, karena seorang komunikan hanya pasif menerima pesan dari seorang komunikator. Berbeda dengan konsep terdahulu, Wilbur Schramm (lihat, Wood 2011 : 17) memunculkan konsep feedback yakni sebuah respon atas pesan bisa berupa respon verbal maupun non verbal. Wilbur Schramm menambahkan bahwa semakin banyak perangkat pengalaman yang dimiliki komunikator untuk menyampaikan dan menginterpretasikan pesan, maka semakin baik pemahaman yang akan terjadi satu sama lain.
commit to user
17 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Field of experience
Field of experience Message
Encoder
Decoder
Source
Receiver
Decoder
Encoder
Feedback
Gambar 2.2 The Interactive Model of Communication
III. Level Komunikasi Beberapa ahli mengelompokan komunikasi dalam berbagai tingkatan sesuai dengan keterlibatan individu dalam proses tersebut. Diungkapkan oleh Julia T. Wood dalam Communication Mosaics (2011 : 34-36) tingkatan (level) komunikasi tersebut adalah sebagai berikut : 1. Komunikasi Intrapersonal Komunikasi dengan diri sendiri atau self talk merupakan proses kognitif bagaimana seorang individu melakukan komunikasi dengan dirinya sendiri. Komunikasi intrapersonal mampu membantu individu dalam merumuskan pola komunikasi yang tepat serta hasil yang dia inginkan dalam rangka berkomunikasi dengan individu yang lebih luas (komunikasi organisasi). 2. Komunikasi Interpersonal Komunikasi interpersonal secara harfiah diartikan sebagai komunikasi antar individu. Semakin banyak personal yang kita libatkan dalam sebuah komunikasi maka proses komunikasi menjadi semakin interpersonal. Komunikasi disebut sebagai interpersonal ketika terjadi proses interaksi secara interaktif antar individu dalam rangka memberikan pengaruh satu sama lain, umumnya untuk menjaga sebuah hubungan. Komunikasi interpersonal harus melibatkan individu secara interaktif, bukan monolog individu harus terlibat dalam interaksi maupun memberikan reaksi dalam sebuah interaksi commit to user interpersonal. Komunikasi interpersonal memiliki peranan penting dalam
18 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
menjaga sebuah hubungan, komunikasi interpersonal menciptakan reaksi mendengar dan merespon, memberi dan menerima pesan untuk menciptakan keharmonisan dalam interaksi melalui interpretasi pesan verbal maupun non verbal. 3. Group Communication Komunikasi dalam sebuah grup terjadi ketika beberapa individu berinteraksi dalam sebuah kelompok kecil. Sebagai makhluk sosial, individu harus bekerja secara kolektif dalam sebuah kelompok atau tim. Grup kecil ini atau smallgroup communication adalah sebuah bentuk transaksi pesan verbal dan non verbal antara tiga atau sekitar lima belas orang atau lebih yang memiliki kesamaan tujuan, memiliki rasa memiliki dalam sebuah grup dan mempengaruhi satu sama lain. Individu yang tergabung dalam sebuah grup memiliki beberapa kecenderungan yakni berusaha mencapai tujuan tertentu lewat interaksi antar individu di dalamnya. Individu dalam sebuah grup sangat berpotensial mempengaruhi tindakan dan respon anggota grup lainnya. 4. Public Communication Komunikasi publik terjadi ketika pembicara (komunikator) melakukan proses transmisi pesan pada orang lain untuk memberikan informasi, membujuk atau menghibur. Retorika adalah salah satu bentuk komunikasi publik dimana retorika merupakan proses menemukan makna tertentu dalam melakukan persuasi pada situasi tertentu. Seorang pembicara yang bagus mampu memahami cara berkomunikasi mereka dan bagaimana mereka berinteraksi dengan audiens. 5. Komunikasi Organisasi Komunikasi organisasi berkembang menjadi sebuah media pertukaran pesan dalam organisasi untuk meningkatkan kinerja, kepemimpinan, hingga proses pengambilan keputusan. Komunikasi organisasi melihat bagaimana hubungan antara atasan dan bawahan dalam sebuah organisasi, tentang bagaimana pimpinan mampu menjaga hubungan untuk meningkatkan mutu organisasi. Komunikasi menjadi penting ketika dalam sebuah organisasi yang terdiri atas berbagai ras dan kategori yang berbeda berkumpul, menjadi tantangan commit to user
19 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
tersebdiri bagi seorang komunikator untuk memahami keberagaman gaya komunikasi dalam sebuah organisasi. 6. Komunikasi Massa Komunikasi massa, adalah sebuah proses dimana individu, grup atau masyarakat, atau organisasi yang lebih luas (besar) menciptakan pesan dan mentransmisikannya kepada masyarakat luas, anonymous, dan audiens yang terdiri atas beragam tipe. Tipe komunikator dalam komunikasi massa biasanya merupakan komunikator profesional atau organisasi khusus dengan budget besar. Sifat pesannya massal dan bermacam tipe. Feedback dalam komunikasi massa secara umum tidak langsung dan terlambat. Perkembangan teknologi baru, baik televisi maupun internet memberikan kemudahan penyebaran pesan secara masif. Komunikasi massa menurut Littlejohn (2010 : 304) adalah proses dimana organisasi media memproduksi dan mentransmisikan pesan kepada publik yang lebih luas dan proses bagaimana pesan tersebut dicari, digunakan, dan dipahami, dan mempengaruhi audiens. Dalam
menggambarkan
komunikasi
massa
ini,
Liitle
John
(2010)
menggambarkan sebuah model organisasi. Sarjana komunikasi menyadari “dua wajah” komunikasi massa, satu wajah menghadap sosial budaya dan satu wajah menghadap media sebagai institusi.
commit to user
20 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
(2) Institutional Links (Marxist theory) SOCIETAL STRUCTURES AND
(3) Personal Links (Network and Diffusion Theory)
(1) Media Content and Structure
AUDIENCES
CULTURE
(Innis and Mc Luhan) (Semiotics)
(4) Cultural Outcome
(5) Individual Outcome
(Functional Theory)
(Effects Research)
(Cultivation Theory)
(Agenda Setting)
(Spiral of Silence)
(Uses and Gratification) (Dependency Theory)
Gambar 2.3 An Organizing Model
Dari diagram diatas, dapat dilihat pengaruh media ke audiens merupakan pemetaan teori-teori penggunaan media yang mempengaruhi khalayak. Dari pemetaan terlihat teori difusi inovasi menjelaskan pengaruh media di mikro level adalah pengaruh isi media ke khalayak. Isi media kepada khalayak bukan melihat efek, namun lebih pada individu yang mengalami pengaruh media. Difusi inovasi melihat pada peran-peran individu yang terlibat di dalamnya.
IV. Difusi Inovasi Dalam penelitian ini, peneliti ingin melihat proses difusi inovasi sebagai proses bagaimana sebuah inovasi mengalami proses difusi sampai akhirnya bisa diaplikasi kan oleh beberapa adopter. Proses difusi dilihat sebagai bentuk komunikasi khusus yang dilakukan oleh seorang komunikator melalui beberapa saluran komunikasi untuk dapat diterima oleh komunikator. Ada dua bahasan pokok dalam penelitian ini, yakni bagaimana sebuah pesan disebarkan (message dissemination) dan bagaimana sebuah pesan diterima / diintepretasikan (message commit to user reception). Ada pula dua peranan individu yang ingin dilihat peneliti di dalam
perpustakaan.uns.ac.id
21 digilib.uns.ac.id
penelitian ini, yakni bagaimana peran seorang individu / organisasi menjadi seorang komunikator dalam penyebaran pesan (message dissemination) dan bagaimana peran individu ketika dia menjadi seorang komunikan yang menerima pesan (message reception). Sebelum membahas kedua pokok proses komunikasi tersebut, peneliti ingin membahas beberapa aspek pokok bahasan dalam proses difusi inovasi tersebut. Apakah yang dimaksud difusi inovasi itu ? Rogers (1983 : 5) “Diffusion is the process by which an innovation is communicated through certain channels over time among the members of a social system. It is a special type of communication, in that the messages are. concerned with new ideas. Communication is a process in which participants create and share information with one another in order to reach a mutual understanding. (Rogers and Kincaid, 1981).” Rogers (1983 : 163) menyebut proses difusi inovasi sebagai tindakan mengkomunikasikan sebuah pesan atau ide mengenai sebuah hal baru (inovasi) untuk dapat digunakan sebagai alat menyelesaikan problem atau masalah yang sudah ada. ‘The innovation-decision process is the process through which an individual (or other decision-making unit) passes from first knowledge of an innovation, to forming an attitude toward the innovation, to a decision to adopt or reject, to implementation of the new idea, and to confirmation of this decision.” “This process consists of a series of actions and choices over time through which an individual or an organization evaluates a new idea and decides whether or not to incorporate the new idea into ongoing practice. This behavior consists essentially of dealing with the uncertainty that is inherently involved in deciding about a new alternative to those previously in existence.” Rogers (1983 : 11), menyebut setidaknya ada empat elemen pokok dalam proses difusi inovasi, yakni : 1.
The Innovation (Inovasi) Inovasi adalah gagasan, ide, praktek, atau objek yang diterima sebagai sesuatu yang baru oleh seorang individu atau unit adopter lainnya. Sifat “baru”dari inovasi ini sangat tergantung pada reaksi individu atas inovasi tersebut. Sesuatu dikatakan baru bisa diungkapkan melalui terminologi to user pengetahuan, persuasi, atau commit keputusan untuk mengadopsi.
22 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Karakter sebuah inovasi menurut Rogers (1983 : 213-232) harus memiliki beberapa syarat yang mempengaruhi penerimaan oleh seorang individu terhadap inovasi yakni sebagai berikut : a. Relative Advantage (Kegunaan Relatif) Adalah sebuah tingkatan dimana inovasi diterima sebagai sesuatu yang lebih baik untuk menggantikan sebuah ide. Tingkat relatifitas ini bisa diukur melalui faktor ekonomi, kepuasan, dan kecocokan dalam menggunakan sebuah inovasi. Makin tinggi sebuah keuntungan relatif dari inovasi, maka makin cepat pula sebuah adopsi akan terjadi. b. Compatibility (Kecocokan) Adalah sebuah tingkatan dimana sebuah inovasi diterima karena konsisten dengan nilai-nilai yang sudah ada, pengalaman masa lalu, dan kebutuhan oleh adopter potensial. c. Complexity (Kompleksitas/Kerumitan) Adalah sebuah tingkatan dimana sebuah inovasi dilihat dari sisi kesulitan untuk memahami dan menggunakannya. Beberapa inovasi sudah siap untuk dipahami oleh beberapa anggota sistem sosial : anggota yang lain mungkin merasa rumit dan lambat dalam mengadopsi. d. Trialability (Percobaan) Adalah tingkatan dimana sebuah inovasi dapat di eksperimen dengan batasan dasar. Sebuah inovasi atau ide baru yang bisa dicoba dalam rencana instalasi akan lebih cepat diadopsi dibanding sebuah ide baru yang tidak bisa dicoba. e. Observability (Observatif) Adalah sebuah tingkatan dimana hasil dari sebuah inovasi dapat dilihat oleh orang lain. Makin mudah sebuah hasil inovasi diamati oleh seseorang, maka inovasi tersebut akan mudah untuk diadopsi.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
23 digilib.uns.ac.id
2. Communication Channels (Saluran Komunikasi) Difusi adalah bentuk komunikasi khusus dimana informasi yang ditukar berkenaan dengan sebuah ide baru. Esensi dari proses difusi ini adalah pertukaran informasi dimana seorang individu mengkomunikasikan ide baru kepada individu lain. Sedangkan saluran komunikasi merupakan sarana atau alat dimana pesan / ide baru disampaikan kepada orang lain. Ada dua saluran menurut Rogers (1983 : 17) yang lazim digunakan, yakni mass media channels dan interpersonal channels. Mass media adalah segala sesuatu yang digunakan sebagai sarana transmisi pesan, meliputi radio, televisi, koran, dan lainnya yang memungkinkan sumber untuk mencakup beberapa audiens. Di sisi lain, saluran interpersonal lebih efektif untuk membujuk seorang mengadopsi ide baru, khususnya jika channel interpersonal tersebut menghubungkan dua atau lebih individu yang berdekatan.
3. Time (Waktu) Rogers (1983 : 20) variabel waktu dalam proses difusi ini meliputi : a. Pada proses keputusan difusi inovasi, dimana individu melewati proses pengetahuan pertama dari sebuah inovasi meliputi, penerimaan atau penolakan. b. Pada kemampuan inovasi oleh individu dan unit adopter lain, dimana relativitas secara cepat atau lambat sebuah inovasi dapat diterima dibanding individu lain dalam sistem. c. Tingkatan adopsi dalam sebuah sistem, biasanya periode waktu diukur sebagai jumlah anggota dari sistem sosial yang mengadopsi sebuah inovasi.
4. A Social System (Sistem Sosial) Sistem sosial adalah seperangkat unit yang saling berkomitmen dalam rangka kerjasama untuk menyelesaikan masalah dan meraih tujuan tertentu. Sebuah sistem sosial yang ada dalam masyarakat ikut menentukan apakah sebuah inovasi dapat ditransmisikan commit todengan user baik. Sistem sosial memberikan
24 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
batasan atas sebuah difusi yang terjadi dalam masyarakat, sistem sosial seperti norma, pendapat opinion leader, tipe difusi yang terjadi, konsekuensi dari difusi itu sendiri memegang peranan penting (Rogers 1983 : 20).
Gambar 2.4 A paradigm of variables determining the rate of adoption of innovations
Dari gambar diatas Rogers (1983) menjelaskan beberapa elemen yang mampu mempengaruhi tingkat kecepatan adopsi sebuah inovasi. Cepat atau tidaknya sebuah inovasi bisa diadopsi oleh adopter setidaknya bisaa ditinjau dari sifat inovasi itu sendiri, tipe keputusan pengambilan keputusan, saluran komunikasi yang dipergunakan, sifat sistem sosial dalam masyarakat, dan usaha dari agen perubah untuk melakukan usaha promosi. Menurut Littlejohn dan Foss (2010 : 380), disebutkan kunci dari teori difusi inovasi adalah : 1. Adanya Change agents, yakni orang-orang yang berinisiatif atas sebuah inovasi, mengambil peran besar sebagai sumber informasi dari sebuah inovasi. 2. Persepsi adopter mengenai pentingnya sebuah inovasi untuk disebarkan. 3. Proses adopsi, yang secara khusus dimulai melalui kontak komunikasi interpersonal dalam jaringan yang mempengaruhi. commit to user
25 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Rogers (1983 : 135-149), dalam bukunya Diffusion of Innovations, menyatakan bahwa sebuah inovasi bisa mengalami proses difusi, setelah melalui beberapa tahapan, yakni : 1. Kesadaran Akan Adanya Masalah atau Kebutuhan Salah satu cara dimana proses inovasi berkembang adalah dimana muncul kesadaran mengenai adanya problem atau masalah yang mendorong adanya penelitian dan pengembangan yang didesain untuk menciptakan
sebuah
inovasi
yang
mampu
memecahkan
problem/masalah. Dalam beberapa kasus, seorang peneliti mungkin akan menghadapi masalah dan menciptakan penelitian untuk menemukan solusi). 2. Penelitian Dasar dan Penerapan Seringkali dalam berbagai penelitian, inovasi memiliki sinonim dengan teknologi, dimana kedua hal ini memiliki kesamaan, yakni : “Technology is a design for instrumental action that reduces the uncertainty in the cause-effect relationships involved in achieving a desired outcome. A technology usually has hardware and software components.” “Our definition implies some need or problem. The tool has (1) a material aspect (the equipment, products, etc.), and (2) a software aspect, consisting of knowledge, skills, procedures, and/or principles that are an information base for the tool.” 3. Pengembangan Pengembangan dari inovasi adalah proses meletakan sebuah gagasan baru dalam sebuah bentuk yang diharapkan mampu memenuhi kebutuhan audiens / adopter potensial. 4. Komersialisasi Inovasi sering dihasilkan melalu berbagai aktivitas penelitian; mereka biasanya dihasilkan dalam sebuah paket yang siap diadopsi langsung oleh pemakai. Karena seperti halnya pengemasan dari hasil penelitian sebuah inovasi yang biasanya dikerjakan oleh perusahaan swasta, tingkatan ini dalam proses pengembangan teknologi biasa disebut “komersialisasi”. Komersialisasi adalah, produksi, manufaktur, pengemasan, marketing commit to user dan distribusi produk yang membungkus sebuah inovasi.
26 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
5. Difusi dan Adopsi Proses ini adalah saat yang paling sulit dalam rangkaian pengembangan inovasi dimana produsen menentukan sebuah produk inovasi akan disebarkan dan diadopsi kepada audiens luas. Pada tahap ini adaptor akan menentukan apakah sebuah ide atau gagasan baru bisa diterima atau ditolak oleh adaptor. Titik yang sangat penting dalam proses pengembangan inovasi adalah keputusan untuk memulai men-difusi inovasi kepada adaptor potensial. Pada titik ini sistem penelitian/pengembangan/komersialisasi harus berhubungan dengan agen-agen difusi yang akan mengkomunikasikan inovasi kepada pengguna.) Dikutip dari jurnal karya Ozaki dan Mark (2010 : 321) yang berjudul Adopting Consuming and dikemukakan bahwasanya : “Consumers make decisions to adopt innovations for a variety of reasons that can be socially influenced or personal.” 6. Konsekuensi Fase final dalam proses pengembangan inovasi ini adalah konsekuensi dari inovasi itu sendiri. Pada tingkatan ini masalah asli/kebutuhan yang meliputi seluruh proses baik yang dapat diselesaikan atau belum diselesaikan oleh inovasi. Seringkali masalah baru/kebutuhan mungkin disebabkan oleh inovasi sehingga putaran inovasi baru akan diciptakan). Unsur-unsur dalam difusi inovasi menunjukan bagaimana kompleksnya proses difusi sebagai bentuk komunikasi khusus. Untuk memahami lebih mengerucut kepada proses komunikasi tersebut, peneliti mencoba menguraikan bagaimana proses difusi inovasi terjadi dalam sebuah sistem sosial.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
27 digilib.uns.ac.id
Proses Difusi Inovasi Rogers (1983 : 163) melihat difusi inovasi sebagai proses dimana individu melewati proses pertama dari pengetahuan mengenai inovasi. Proses ini terjadi atas beberapa seri tindakan dan pemilihan berulang dimana seorang individu ataupun mengevaluasi munculnya ide baru untuk selanjutnya menentukan apakah bekerjasama menerima inovasi atau tidak untuk selanjutnya bisa dikerjakan melalui praktek berkelanjutan. Gambaran tentang beberapa tahapan dalam proses pengambilan keputusan dalam difusi inovasi dijelaskan sebagai berikut (Rogers 1983 : 164-185) : a.
Knowledge Pada tahapan ini, individu atau unit pengambilan keputusan lain merasakan terpaan inovasi yang ada dan mencapai pemahaman bagaimana inovasi tersebut berfungsi. Pada fase ini sesorang akan mempertimbangkan kebutuhan dan perhatian terhadap sebuah inovasi. Dengan kata lain seseorang akan sadar terhadap kebutuhan dan mulai mencari informasi yang mengurangi keraguan terhadap sebuah inovasi melalui proses pencarian informasi. Ketika kebutuhan akan sebuah inovasi semakin tinggi, akan terjadi proses pencarian informasi yang dilakukan oleh individu. Tipe pencarian informasi pada tahapan ini dapat dijabarkan menjadi, software information, yang terdapat pada inovasi itu sendiri dan mampu mengurangi ketidakpastian tentang hubungan sebab dan akibat yang terlibat dalam rangka meraih hasil yang kita inginkan (seperti menyadari adanya kebutuhan dan masalah individu), how-to knowledge yang terdiri atas penggunaan informasi penting untuk menggunakan inovasi dengan benar. Ketika seorang individu tidak mendapat informasi memadai pada tahapan ini, maka mereka akan menolak atau tidak meneruskan sebuah inovasi. Principles knowledge terdiri atas informasi yang berkenaan dengan fungsi dasar yang menjadi pokok bagaimana sebuah inovasi bekerja. Kebanyakan, seorang change agents akan berkonsentrasi pada usaha untuk menciptakan pengetahuan dalam tahapan awareness atau penciptaan kesadaran individu, meskipun
tujuan ini bisa dicapai lebih efisien pada
beberapa tahapan sistem masyarakat commit melalui to user saluran media massa.
perpustakaan.uns.ac.id
28 digilib.uns.ac.id
Secara umum dapat dirangkum sebagai berikut : Generalization 5-1: Earlier knowers of an innovation have more education than later knowers. Generalization 5-2: Earlier knowers of an innovation have higher social status than later knowers. Generalization 5-3: Earlier knowers of an innovation have more exposure to mass media channels of communication than later knowers. Generalization 5-4: Earlier knowers of an innovation have more exposure to interpersonal channels of communication than later knowers. Generalization 5-5: Earlier knowers of an innovation have more change agent contact than later knowers. Generalization 5-6: Earlier knowers of an innovation have more social participation than later knowers. Generalization 5-7: Earlier knowers of an innovation are more cosmopolite than later knowers.
b. Persuasion Stage (Tahapan Persuasi) Tahapan ini menunjukan bagaimana seorang individu bersikap setelah melalui tahapan pertama dalam pengetahuan. Seorang individu akan terlibat lebih secara psikologis kepada inovasi tersebut: mereka akan aktif mencari informasi mengenai sebuah ide baru, dimana mereka mencari informasi, pesan apa yang mereka terima, dan bagaimana mereka menginterpretasikan pesan tersebut. Pada tahapan persuasi yang erat hubungannya dengan proses pengambilan keputusan, seorang individu akan aktif mencari beberapa tipe informasi, yakni : innovation-evaluation information yang mana untuk mengurangi ketidakpastian tentang konsekuensi yang diharapkan pada sebuah ide baru (inovasi). Tipe informasi ini didapat dengan mudah melalui evaluasi ilmiah mengenai inovasi, biasanya bersifat subjektif berasal dari orang terdekat yang telah menggunakan ide tersebut dan sangat meyakinkan. A preventive innovation adalah ide baru yang diadopsi individu dalam rangka menghindari peristiwa yang tidak diinginkan terjadi masa depan. commit todiuser
perpustakaan.uns.ac.id
c.
29 digilib.uns.ac.id
Decision Stage (Tahapan Keputusan) Tahapan pengambilan keputusan terjadi ketika seorang individu atau unit pengambilan keputusan lain terlibat dalam aktivitas yang bertujuan untuk memilih atau menolak sebuah inovasi. Adopsi adalah keputusan untuk menggunakan secarap penuh sebuah inovasi jalan tindakaan terbaik. Rejection adalah penolakan dalam menggunakan sebuah inovasi. Rogers (1983 : 29) mengemukakan terdapat tiga bentuk pengambilan keputusan mengadopsi sebuah inovasi, yakni : 1. Optional innovation-decisions terjadi ketika individu dalam sistem sosial memutuskan untuk mengadopsi sebuah inovasi karena keputusan yang merdeka dari dirinya sendiri terlepas dari anggota lain dalam sistem sosial. Meskipun dalam pengambilan keputusannya mereka dipengaruhi oleh norma sosial dan pengaruh komunikasi interpersonal. 2. Collective innovation-decisions adalah pilihan untuk mengadopsi atau menolak inovasi yang dibuat secara konsesus diantara anggota dari sistem sosial. Semua anggota unit dari sistem sosial biasanya akan patuh terhadap keputusan dari sistem ketika melakukan adopsi. 3. Authority innovation-decisions adalah keputusan untuk mengadopsi ataupun menolak sebuah inovasi ketika keputusan mengadopsi muncul dari anggota sistem sosial yang memiliki kekuatan, status, ataupun kemampuan secara teknis. Secara simpel anggota individu akan mengikuti keputusan adopsi. Pada tahapan pengambilan keputusan, penting bagi seorang inovator untuk menghasilkan relative advantage bagi calon adopter yang ingin mereka tuju karena tidak ada satu inovasi yang mampu diadopsi tanpa melalui proses trial atas inovasi tersebut. Ketika relative advantage dirasakan seorang adopter maka akan mendorong mereka pada proses adopsi inovasi secara menyeluruh. Metode pemberian sampel gratis pada seorang adopter dirasa mampu mempercepat adopsi produk. Penggunaan agen perubahan bisa mempercepat proses inovasi untuk beberapa individu dengan memberikancommit sponsortountuk user melakukan demonstrasi ide baru
perpustakaan.uns.ac.id
30 digilib.uns.ac.id
pada sistem sosial, dan ada bukti bahwa strategi demonstrasi bisa cukup efektif, khususnya jika demonstrator adalah seorang opinion leader). Saat tahapan pengambilan keputusan berlangsung, beberapa inovasi atau ide baru sering menggunakan seorang change agents / opinion leader untuk menggantikan individu-individu dalam sebuah sistem sosial. Melalui percobaan lewat ichange agents / opinion leader inilah akan memunculkan keterwakilan dalam sebuah sistem yang luas. Karena seorang change agents sering dicari untuk mempercepat proses difusi kepada khalayak luas mengenai sebuah ide baru dalam sistem sosial. Biasanya teknik yang dipilih melalui cara demonstrasi produk.
d. Implementation Stage (Tahapan Implementasi) Disebut implementasi ketika seorang individu atau unit pengambil keputusan lain melakukan penggunaan pada sebuah inovasi atau ide baru tersebut. Implementasi merupakan bentuk perubahan meliputi perilaku dari adopter saat melakukan penggunaan inovasi. Tahapan implementasi akan berakhir secara alami, namun biasanya ketika inovasi sudah tidak umum dan dianggap tidak sesuai dengan proses operasional yang dialami individu.
e. Confirmation Stage (Tahapan Konfirmasi) Proses difusi inovasi menganggap proses implementasi sebagai tahapan akhir, namun pada beberapa kasus seorang individu atau unit pengambil keputusan lain mencoba mencari informasi dalam rangka menguatkan keyakinan mereka atas penggunaan sebuah inovasi atau ide baru. Pada tahap ini seseorang berusaha meninggalkan informasi yang bisa meningkatkan ketidakyakinan mereka atas inovasi yang mereka gunakan. Ketidakcocokan atau dissonance muncul ketika ada ketidaknyamanan seorang individu secara umum akan merubah pengetahuan, sikap, dan tindakan mereka. Individu akan tertarik mencari informasi baru tentang ide baru lain demi memuaskan kebutuhan mereka. Pada tahap lanjut, individu akan mengalami discontinuance atau menghentikan penggunaan sebuah inovasi demi mencari ide barucommit lain yang sesuai dengan kebutuhan mereka. to user
perpustakaan.uns.ac.id
31 digilib.uns.ac.id
Gambar 2.5 Proses Tahapan Difusi Inovasi
Peran Individu Berdasar Tingkat Inovasi dan Kategori Adopter Difusi inovasi sebagai proses komunikasi menekankan pada pentingnya individu sebagai komunikator (pengirim) dan komunikan (penerima) pesan. Namun, dalam sebuah sistem sosial tidak sepenuhnya inovasi atau ide baru dapat diterima oleh kelompok masyarakat di dalamnya. Tidak semua individu dalam sistem sosial mengadopsi sebuah inovasi dalam waktu yang bersamaan. Mereka cenderung melakukan adopsi pada sekuen waktu tertentu dan bisa dikelompokan dalam beberapa tipe adopter (Rogers 1983 : 241). Individu pada masing-masing kategori berperan dalam proses difusi kepada kategori di bawahnya, begitu seterusnya. Penggunaan saluran komunikasi seperti media massa dan komunikasi interpersonal merupakan sarana transmisi pesan untuk mencapai tingkatan adopsi pesan. Berdasarkan pendapat Rogers (1983) idealnya terdapat lima tipe ideal adopter dalam proses difusi inovasi, yakni sebagai berikut : 1.
Innovator : Venturesome Seorang inovator adalah pribadi yang suka berpetualang, mencoba hal-hal baru, dan mempunyai obsesi mengenai suatu hal baru. Sifatnya ini membuatnya berada pada lingkaran hubungan sosial kosmopolitan, jauh dari lingkup putaran lokal (local circle). Seorang innovator harus memiliki finansial yang kuat terkait beberapa proses pengembangan pengetahuan ide baru yang akan dilakukan. Mereka harus bergelut dengan ketidakpastian commit to user mengenai kapan inovasi yang mereka ciptakan akan diadopsi oleh adopter.
perpustakaan.uns.ac.id
32 digilib.uns.ac.id
Jadi, inovator memegang peranan sebagai gatekeeping mengenai ide baru dalam sistem sosial (Rogers 1983 : 248). Disebutkan oleh Barbara Wejnert (2002 : 302) dalam jurnal yang berjudul Integrating Models of Diffusion of Innovations : A Conceptual Framework, kategori inovator memiliki beberapa karakteristik sebagai berikut : Enam karakter dari variabel pelaku yang nampak untuk mengatur adopsi inovasi adalah : 1. Status sosial dari inovator 2. Tingkat pemahaman terhadap inovasi 3. Karakter status 4. Karakter sosial ekonomi 5. Posisi relatif dalam jaringan sosial 6. Karakter personal yang berhubungan dengan variabel kultur yang memodifikasi karakter personal dari pelaku di level populasi. 2.
Early Adopter : Respectable Early adopter lebih terintegrasi dengan sistem lokal dibandingkan seorang inovator. Pada kategori ini seorang individu harus mempunyai peranan yang paling besar menjadi seorang opinion leader di dalam kebanyakan sistem sosial. early adopter sering mencari informasi dan hal-hal terkait dengan sebuah inovasi, karena sifatnya inilah seorang change agents sering menunjuknya sebagai misionaris lokal untuk menyebarkan proses difusi. Karena kedekatannya dengan inovasi ini, menjadikannya sebagai model contoh bagi masyarakat lain, dirinya sangat dihormati dalam lingkup sistem sosial. jadi, peran seorang early adopter adalah mengurangi ketidakpastian mengenai sebuah inovasi untuk dapat diadopsi, perannya menyampaikan evaluasi subjektif mengenai inovasi kepada rekan terdekatnya melalui saluran interpersonal (Rogers 198 : 249).
3.
Early Majority : Deliberate Seorang early majority mengadopsi ide baru sesaat sebelum rata-rata anggota sistem sosial melakukan adopsi serupa. Individu pada tahap ini sering berinteraksi dengan peers tapi jarang memegang posisi pemimpin. Early majority mendapatkan posisitounik commit userdi antara early majority dan late
33 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
adopter membuat mereka menjadi link penghubung yang penting dalam proses difusi. Mereka menjadi penghubung antar fase dalam prses difusi. Periode pengambilan keputusan difusi pada proses ini cenderung lambat dibanding seorang early adopter (Rogers 1983 : 249). 4.
Late Majority : Skeptical Individu pada tahap ini cenderung melakukan adopsi sebuah ide baru ketika mayoritas anggota dalam sistem sosial telah melakukan adopsi terlebih dahulu. Tindakan adopsi yang lambat biasanya didasari atas kebutuhan ekonomi dan keinginan menjawab tekanan sosial. mereka tidak akan mengadopsi sampai sebagian besar individu melakukan adopsi terlebih dahulu. Sistem norma sering berperan menciptakan sikap skeptis ini, peranan seorang peers sangat tinggi dalam memberikan motivasi untuk melakukan sebuah adopsi inovasi (Rogers 1983 : 250).
5.
Laggards : Traditional Laggards merupakan kategori terakhir dalam fase adopsi. Mereka sama sekali tidak memiliki seorang opinion leader, sifatnya cenderung diluar sistem sosial dan terisolir. Keputusan untuk melakukan difusi sering diambil setelah mengamati penggunaan ide baru melalui generasi sebelumnya dan mereka cenderung berinteraksi dengan sesama kaum tradisional. Kategori ini melambatkan proses difusi karena sifatnya yang sangat tradisional dan sulit menerima masukan (Rogers 1983 : 250).
V. Saluran Komunikasi Dalam Proses Difusi inovasi Dalam penelitian ini, peneliti menekankan proses komunikasi sebagai kajian utama penelitian. Dalam proses difusi inovasi, saluran komunikasi memegang peran penting dalam proses penyebaran ide baru. Pada bahasan sebelumnya telah disebutkan bahwa inti dalam proses difusi adalah bagaimana sebuah ide baru mampu diterima dan diadopsi oleh kategori tertentu dalam masyarakat. Ada beberapa unsur yang berperan dalam proses komunikasi tersebut.
commit to user
34 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Kategori Saluran Komunikasi Sebelum memahami proses difusi inovasi melalui saluran komunikasi perluadanya pemahaman mengenai unsur source dan channel. Source atau sumber adalah individu atau organisasi yang menciptakan pesan. Sedangkan channel adalah sarana yang digunakan untuk menyebarkan pesan pada penerima (receiver) (Rogers, 1983 : 198). Rogers (1983 : 19-20) mengemukakan bahwasanya proses komunikasi yang efektif akan tercipta ketika dua individu yang terlibat adalah homophily. Homophily adalah tingkatan dimana individu yang berinteraksi dalam sistem sosial memiliki kesamaan atribut tertentu seperti pendidikan, kepercayaam, status sosial dan lainnya. Ketika mereka berbagi makna kesamaan bahasa, personal, dan karakter sosial, efek komunikasi akan menjadi besar dalam hal pencapaian pengetahuan, perubahan sikap, dan perubahan perilaku yang lain. Ada dua saluran menurut Rogers (1983 : 17) yang lazim digunakan, yakni mass media channels dan interpersonal channels. Mass media adalah segala sesuatu yang digunakan sebagai sarana transmisi pesan, meliputi radio, televisi, koran, dan lainnya yang memungkinkan sumber untuk mencakup beberapa audiens. Di sisi lain, saluran interpersonal lebih efektif untuk membujuk seorang mengadopsi
ide
baru,
khususnya
jika
channel
interpersonal
tersebut
menghubungkan dua atau lebih individu yang berdekatan. Mass media channel (Rogers 1983 : 198) diartikan sebagai proses transmisi pesan yang melibatkan media massa luas seperti, radio, televisi, koran, dan lainnya. Media massa mampu : a. Menjangkau massa secara luas dengan cepat b. Menciptakan pengetahuan dan menyebarkan informasi c. Membangun perubahan sikap yang terjadi dengan lemah Saluran komunikasi melalui media massa dirasa mampu menjangkau target audiens secara luas, namun dari efek perubahan perilaku, saluran komunikasi interpersonal memiliki cakupan yang lebih efektif. Dalam jurnal yang berjudul The Messenger is the Medium oleh Valente dan Myers (2010 : 254), dikemukakan bahwasanya : commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
35 digilib.uns.ac.id
“Scholars have argued that mass media are effective at disseminating information but that interpersonal communication is necessary for behavior changes to occur.” Saluran komunikasi melalui media massa menemui hambatan karena kompleksnya audiens. Jaringan dan koneksi antar individu tidak bisa diprediksi. Untuk itu saluran komunikasi individu melalui komunikasi interpersonal dirasa mampu menjangkau jaringan sosial tersebut. Sedangkan saluran interpesonal dianggap mampu memberikan pengaruh yang kuat. Saluran komunikasi interpersonal meliputi penyampaian pesan melalui proses tatap muka antar dua individu atau lebih. Proses komunikasi interpersonal menurut Rogers (1983 : 198) mampu untuk : a.
Menyediakan pertukaran informasi dua arah. Karakteristik komunikasi interpersonal mampu mengatasi batasan / penghalang sosial-psikologis atas terpaan selektif, persepsi, dan ingatan.
b.
Mengajak individu untuk membentuk atau merubah sikap dengan kuat.
Ada beberapa unsur di dalam sebuah komunikasi interpersonal menurut Littlejohn dalam Encyclopedia of Communication Theory (2009 : 547) : 1. Numerical adalah berapa jumlah individu yang terlibat dalam komunikasi interpersonal ? Pendapat klasik melihat dua orang yang terlibat sudah dikatakan sebagai komunikasi interpersonal, namun tiga sampai lima individu masih diklasifikasikan dalam komunikasi interpersonal. 2. Channel adalah media apa yang digunakan sebagai sarana komunikasi. Tatap muka merupakan sarana yang lazim dalam komunikasi interpersonal. 3. Feedback adalah kemampuan untuk memahami dan membalas pesan (respon) kepada orang lain untuk meningkatkan komunikasi dan membuatnya lebih interpersonal. 4. Privacy adalah interaksi, apakah interaksi yang terjadi berada di depan banyak publik ataukah terjadi lebih intim antara dua orang saja. 5. Goal adalah tujuan yang ingin diraih dalam komunikasi. Apakah digunakan untuk menyelesaikan tugas? Menunjukan identitas? Ataukah menunjukan hubungan yang baik? commit to user
36 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
6. Relationship type and stage apakah dalam komunikasi antara partisipan sudah saling mengenal atau sudah menjalin hubungan, menentukan tingkat dan sifat komunikasi. 7. Knowledge bagaimana komunikator dan komunikan saling mengetahui sama lain, dan bagaimana orang lain akan bereaksi kepadanya. Apakah seorang komunikator memiliki ekspektasi terhadap perilaku orang lain? Makin kenal dan tahu dengan orang tersebut maka makin meudah menebak reaksi yang akan terjadi. 8. Mutual influence makin tinggi pengaruh mutual dalam komunikasi, maka komunikasi tersebut makin interpersonal. Model komunikasi multi-step flow secara umum dapat diterima untuk menjelaskan saluran komunikasi dan pola penyebaran pesan dalam proses difusi inovasi. Model multi-step flow menyadari adanya banyak penghubung antara media dan final receiver, model ini melihat lebih banyak kemungkinan dalam proses penyebaran dan penerimaan pesan. Dalam proses difusi inovasi, individu tertentu akan mendengar langsung sebuah informasi melalui media dimana individu yang lain tidak melakukannya (Littlejohn, 2002 : 314). Seorang inovator misalnya akan menggunakan media massa sebagai sarana transmisi pesan langsung kepada audiens nya namun, seorang inovator juga akan menggunakan sarana komunikasi interpersonal sebagai media transmisi pesan kepada seorang opinion leader. Relay atau dinamisnya saluran yang digunakan dalam multi-step flow inilah yang mampu menjelaskan kompleksnya proses komunikasi dalam difusi inovasi.
VI. Message Dissemination & Message Reception Difusi inovasi adalah sebuah bentuk perubahan sosial. beberapa penulis terdahulu menyebut proses difusi sebagai sebuah bentuk proses diseminasi. Difusi dilihat sebagai sebuah proses penyampaian ide baru yang spontan, tidak terencana, dan menggunakan konsep diseminasi untuk sebuah proses difusi yang terarah dan teratur. Kemudian pada akhirnya proses difusi inovasi disamakan dengan proses diseminasi karena tidak adanya perbedaan yang mencolok. Pada commit to user
37 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
akhirnya difusi dilihat sebagai proses persebaran ide baru yang terencana dan spontan (Rogers, 1983 : 6). Seperti yang telah disinggung di atas, proses difusi inovasi memiliki beberapa fase jika dilihat dari kategori adopter berdasar fase waktu (lama) adopsi sebuah ide baru. Namun, dalam penelitian ini peneliti ingin menitikberatkan pada proses komunikasi terkait dengan proses persebaran pesan (message dissemination) dan penerimaan pesan (message reception). Pesan disini adalah ide baru yang akan ditransmisikan, jadi bagaimana masing-masing kategori adapter melakukan fungsi transmisi pesan (ide baru) hingga mengalami proses adopsi secara penuh. Message atau pesan adalah titik fokus utama kajian dalam proses komunikasi. Dalam ranah ilmu komunikasi kita akan dihadapkan pada pertanyaan bagaimana menciptakan pesan yang efektif ? Karena inti dari proses komunikasi adalah bagaimana seorang komunikator meramu pesan untuk mencapai goal dari proses komunikasi. Proses penciptaan dan penerimaan pesan dalam proses komunikasi seperti dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan, keduanya merupakan sekuen yang saling berurutan satu sama lain. Melalui penelitian ini, peneliti ingin melihat keduanya sebagai proses inti dari difusi inovasi.
A. Message Dissemination Dalam proses penyebaran pesan ini, kategori adopter akan berperan sebagai komunikator. Apa yang perlu dilakukan sebelum seorang menyebarkannya ? Sebagai contoh seorang inovator yang akan melakukan persebaran pesan akan berfikir terlebih dahulu bagaimana mereka merepresentasikan diri mereka kepada audiens, media apa yang akan digunakan, dan pesan apa yang mampu mewakili target audiens nya tersebut. A.1 The Presentation of Self Sebagai seorang komunikator yang menciptakan sebuah pesan atau gagasan, seseorang harus tahu siapa audiens yang menjadi lawan bicaranya. Menempatkan diri sebagai seseorang (self) pada situasi tertentu membantu kita lebih memahami siapa komunikan kita. Menurut Erving Goffman yang commit to user
38 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dikutip melalui Littlejohn dan Foss (2010 : 101), melihat bagaimana komunikator menunjukan diri mereka dalam sebuah sistem sosial. Ketika kita berada pada situasi tertentu, kita menunjukan presentasi atau penampilan-kita harus memutuskan bagaimana posisi diri kita, apa yang akan dilakukan dan bagaimana bertindak. Goffman melihat bahwa seseorang harus masuk akal dalam menghadapi berbagai kejadian dalam kehidupan
sosial.
Tindakan
ini
dimulai
dengan
bagaimana
kita
mendefinisikan situasi. Frame Analysis dalam diri individu menentukan bagaimana seorang individu mengorganisasi dan memahami perilaku mereka pada berbagai situasi. Frames membantu kita mengidentifikasi dan memahami sebuah kejadian, memberi makna pada aktivitas yang tengah terjadi dalam kehidupan. Aktivitas komunikasi, bisa dilihat melalui konsep frame analysis. A face engagement dan encounter terjadi dalam proses interaksi atau komunikasi. Dalam proses face engagement baik secara verbal maupun non verbal terdapat
satu
fokus
perhatian
dan
aktivitas
sejenis
yang
saling
menguntungkan. Keduanya membantu menciptakan definisi mutual dalam sebuah situasi. Goffman memberikan gambaran mengenai sebuah drama, dimana komunikator menyajikan peran dirinya dalam sebuah pertunjukan, menawarkan frame yang dia bawa untuk selanjutnya diterima sebagai karakteristik oleh komunikan. Komunikator adalah presentasi dari self yang ia miliki dan satu orang memiliki banyak self dalam dirinya tergantung bagaimana mereka merepresentasikan dirinya dalam masyarakat. Sebagai komunikator ada beberapa tahapan yang dilalui ketika sebuah pesan diciptakan. Sebagai komunikator, proses pertama adalah melihat karakter individu.
commit to user
39 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
A.2 Traits and Behaviors Littlejohn (2002 : 94-95) mengemukakan teori yangmenjelaskan bagaimana kita sebagai individu bertindak atas kombinasi sifat dasar dan faktor situasional. Jadi saat berkomunikasi, kita akan sangat bergantung pada sifat kita dan situasi dimana kita berada. Tiga contoh sifat ini adalah : a. Conversational Narcissism Teori yang dikembangkan oleh Anita Vangelisti, Mark Knapp, dan John Daly yang mengidentifikasikan sikap manusia yang terpikat atas dirinya sendiri dalam percakapan. Seseorang cenderung mengangungkan dirinya sendiri dan mengatur pola dari komunikasi yang dihadapi. Perilakunya cenderung non verbal dan melebih-lebihkan dalam gestur, dan cenderung kurang responsif terhadap lawan bicara. b. Argumentativeness Adalah kecenderungan seorang individu terlibat dalam percakapan tentang topik kontroversial, untuk mendukung sudut pandangnya sendiri, dan menolak kepercayaan yang berlawanan. c. Social and Communicative Anxiety Diungkapkan oleh James Mc Croskey teori communication apprehension dimana seseorang cenderung tidak berkomunikasi atas dasar alasan tertentu, bisa dilihat dari tingkat ketakutan mereka untuk berkomunikasi. Semakin tinggi tingkat ketakutan, maka akan tercipta masalah personal, seperti ketidaknyamanan
dan
menghindari
komunikasi.
CA
sangat
erat
hubungannnya dengan sisi psikologis seseorang, bisa dilihat dari ekspresi seperti malu, dan detak jantung, perilaku nyata seperti menghindar dan melindungi diri sendiri, maupun sisi kognitif seperti self-focus ataupun berfikiran buruk.
Tahapan seorang komunikator dalam menyebarkan sebuah pesan akan diimbangi dengan bagaimana sebuah pesan atau gagasan baru ditransmisikan melalui berbagai saluran komunikasi (media choice). Everett M. Rogers memberikan
beberapa
asumsi
mengenai
tingkatan
penggunaan
komunikasi dalam proses difusi tersebut commit(Rogers, to user 1983 : 200).
saluran
40 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
1. Asumsi 1 : Mass media relatif lebih penting pada fase pengetahuan dan saluran komunikasi interpersonal lebih penting pada fase persuasi Sill (1958) menemukan bahwa jika menginginkan daya serap terhadap adopsi bisa tinggi, maka diperlukan penggunaan saluran komunikasi dengan waktu ideal dan secara berkelanjutan, bergantian antara penggunaan saluran media massa kemudian saluran interpersonal. Pada fase pengetahuan mengenai inovasi, penggunaan media massa memberikan perhatian / awareness, menuju grup, dan pada akhirnya menuju masing-masing individu. Daya dorong pengetahuan terhadap inovasi diciptakan oleh media massa untuk kemudian saluran interpersonal berperan menggerakan individu pada fase persuasi. 2. Asumsi 2 : Saluran kosmopolitan relatif lebih penting pada fase pengetahuan (knowledge), dan saluran lokal (localite) relatif lebih penting pada fase persuasi pada proses keputusan-difusi inovasi Cosmpolite communication channel atau secara harfiah saluran komunikasi kosmpolitan, adalah mereka yang berasal dari luar sistem sosial yang tengah diinvestigasi : saluran lain mengenai ide baru yang mencakup individuindividu dari sumber di dalam sistem sosial mereka. Saluran interpersonal masuk ke dalam lokal maupun kosmopolitan, sedangkan mas media keseluruhan merupakan kosmopolitan. 3. Asumsi 3 : Saluran media massa relatif lebih penting dibanding saluran interpersonal untuk adopter tingkat awal dibanding adopter tingkat akhir. Pada saat ini inovator hanyalah satu-satunya tingkatan dalam sistem difusi yang mengadopsi sebuah ide baru sehingga tidak ada seorang pun dalam sistem yang berpengalaman dengan inovasi. Seorang late adopter tidak perlu berhubungan langsung dengan media massa, dirinya lekat dengan saluran interpersonal pada sistem sosial. Early adopter membutuhkan informasi karena sifatnya yang suka berpetualang mencari informasi, untuk itu stimulus dari media massa cukup untuk menggerakan mereka. Sedangkan late adopter membutuhkan pengaruh yang kuat dan cepat, seperti jaringan interpersonal. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
41 digilib.uns.ac.id
4. Asumsi 4 : Saluran kosmopolitan relatif lebih penting dibanding saluran lokal untuk early adopter dibanding late adopter. Inovasi masuk ke dalam sistem sosial melalui sumber dari luar, yakni : mereka yang mengadopsi pertama kali lebih bergantung pada saluran kosmopolitan. Mereka, para early adopter, secara kebalikan bertindak sebagai saluran interpersonal dan saluran lokal untuk adopter dibawahnya.
B. Message Reception Proses kedua dalam kajian proses komunikasi dalam ranah difusi inovasi ini adalah proses penerimaan pesan (message reception). Proses penerimaan pesan adalah sekuen dari proses penciptaan pesan yang menjadi fokus dalam penelitian ini. Proses komunikasi dalam difusi inovasi terjadi pada beberapa kategori adopter. Pertanyaan mendasar pada fase ini adalah bagaimana komunikan menjadi paham, mengorganisasi, dan menggunakan informasi yang terkandung dalam sebuah pesan.
B.1 Message Interpretation Interpretasi adalah proses bagaimana individu paham dengan apa yang kita (komunikator) sampaikan / paham dengan pengalaman dari komunikator. Teori yang dikembangkan dalam fase ini adalah Attribution Theory oleh Fritz Heider. Teori ini menjelaskan bagaimana kita faham dengan perilaku kita sendiri dan orang lain. Ada beberapa atribut yang mendasari perilaku manusia dalam interpretasi pesan ini yakni, situational causes (dipengaruhi oleh lingkungan), personal effects (dipengaruhi secara personal oleh orang lain), ability (kemampuan untuk melakukan sesuatu), desire (hasrat melakukan sesuatu), sentiment (merasa menyukai sesuatu), belonging (merasa memiliki sesuatu), obligation (merasa harus melakukan), dan permission (diizinkan untuk melakukan/bertindak) (Littlejohn, 2002 : 12-122). Persepsi kausal ditengahi oleh variabel psikologis dari dalam diri individu. Salah satunya adalah meanings (makna). Kita akan selalu menyertakan makna terhadap apa yang kita lihat, dan commit makna to tersebut user berperan penting atas apa yang
42 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
kita lihat. Makna ini akan membantu kita mengintegrasikan persepsi kita dan mengorganisasi pengamatan kita menjadi pola yang membantu kita memaknai dunia. Kajian yang menarik dalam teori ini adalah ketika kita sadar bahwa komunikator memiliki maksud dalam berkomunikasi dengan kita. Jika hal ini terjadi kita akan menyadari adanya dua kemungkinan, yakni ability dan motivation. Sedangkan hal menarik lainnya muncul ketika seseorang ought to atau harus melakukan sesuatu, hal ini tidak memaksa, karena individu bisa melakukan karena dia memang seharusnya melakukan, untuk itu ketika orang ingin konsisten harus ada keseimbangan antara obligations dan values.
B.2 Information Organization Pada bagian ini kita melihat bagaimana individu setuju dengan cara kita mengorganisasi dan mengatur informasi dan bagaimana informasi mempengaruhi sistem kognitif kita (Littlejohn, 2002 : 12-123). Information-Integration Theory melihat bagaimana seseorang mengumpulkan dan mengorganisasi informasi tentang orang lain, objek, situasi, atau ide dan bentuk perilaku. Ada beberapa variabel penting bagaimana sebuah informasi mampu mengubah pola perilaku kita, informasi harus memenuhi dua syarat, yakni Valence, bagaimana sebuah informasi mendukung kepercayaan kita dan sikap yang kita miliki, informasi memiliki “positive valence” namun, ketika sebuah informasi tidak mendukung sikap dan kepercayaan kita informasi tersebut mengandung “negative valence”. Variabel selanjutnya adalah weight, ketika sebuah informasi dirasa memiliki sebuah kebenaran maka kita akan memberikan weight atau penekanan / perhatian yang lebih tinggi atas informasi tersebut. Namun, ketika informasi dirasa tidak benar, tingkat penekanan akan rendah. Sebuah sikap terdiri atas akumulasi dari informasi tentang objek, personal, situasi, dan pengalaman. Perubahan sikap terjadi karena informasi baru menambah sikap atau merubah salah satu pandangan mengenai weight dan valence dari informasi lain. commit to user
43 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
VII. Peran Kategori Inovasi Dalam Proses Penyebaran dan Penerimaan Pesan Melalui penelitian ini, peneliti ingin mendeskripsikan dan menganalisis bagaimana masing-masing kategori adopter berperan dalam proses penyebaran pesan (message dissemination) dan proses penerimaan pesan (message reception). Masing-masing kategori memiliki peran dan cara (saluran) yang berbeda dalam rangka melakukan proses difusi (transmisi) pesan melalui proses komunikasi (communication exchange). 1. Innovator Dalam penelitian ini, inovator adalah seorang atau instansi yang mampu menciptakan produk / ide baru mengenai kamera digital. Peran inovator sebagai gatekeeping menuntut mereka harus mampu memilih ide mana yang mampu ditransmisikan dan diadopsi oleh kategori di bawahnya dengan tepat sasaran. Untuk itulah seorang inovator harus mentransmisikan produk / inovasi mereka dengan pemilihan pesan melalui media (saluran) komunikasi yang tepat. Pemilihan saluran komunikasi yang tepat akan menentukan keberhasilan proses adopsi produk mereka. Secara sistematis, dalam kategori adopter ini seorang inovator memegang peran untuk : message dissemination, media choice, dan penentuan target inovasi. 2. Early Adopter Early adopter adalah kategori adopter yang berada langsung di bawah inovator. Seorang early adopter adalah orang yang dianggap memiliki pengaruh dalam sebuah tatanan sistem sosial. Peran seorang early adopter sebagai opinion leader yang memiliki kekuatan dalam mempengaruhi individu-individu
lain,
mampu
digunakan
inovator
sebagai
sarana
mempercepat proses difusi. Seorang early adopter memiliki peran untuk menjadi penerima pesan dari innovator maupun change agents yang ditunjuk innovator. Proses message reception ini akan dilanjutkan oleh early adopter melalui saluran komunikasi interpersonal kepada kategori di bawahnya. Pada proses terakhir ini early adopter berperan melakukan penyebaran pesan pada kategori early majority. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
44 digilib.uns.ac.id
Secara sistematis seorang early adopter memegang peranan untuk : message reception, media choice, dan message dissemination. 3. Early Majority Kategori ketiga dalam proses difusi inovasi adalah early majority, peranan seorang early majority adalah penghubung bagi kategori adopter awal dan kategori adopter kategori akhir. Sifat early majority sebagai adopter memberikan jaringan dalam sistem sosial adopter. Early majority akan melakukan proses message reception dari seorang early adopter untuk ditransmisikan melalui saluran komunikasi interpersonal kepada kategori di bawahnya. Secara sistematis kategori ini memberikan peran sebagai : message reception, media choice, dan message dissemination. 4. Late Majority Dalam sebuah lingkup sistem sosial, individu yang masuk dalam kategori ini adalah mereka yang melakukan adopsi setelah mayoritas individu sudah melakukan adopsi atas ide baru tersebut. Kategori ini cenderung lambat menerima inovasi, faktor norma sosial, ekonomi, dan kebutuhan untuk meningkatkan jaringan yang bisa menjadi pendorongm ereka melakukan adopsi. Dalam kategori adopter, late majority bertindak pasif untuk menerima pesan dari kategori di atasnya (message reception), pada tahap ini kategori adopsi cenderung melambat setelah mencapai puncaknya. Pendekatan secara interpersonal adalah cara paling tepat untuk melakukan pendekatan individu pada tahap ini. 5. Laggards Merupakan kategori terakhir yang melakukan adopsi. Sifat kategori ini sangat tradisional. Sangat sulit untuk melakukan penetrasi ide baru terhadap kategori ini, karena sifatnya yang terpinggirkan dan tidak memiliki opinion leader. Adopsi pada tahap ini berlangsung bisa antar generasi sampai muncul beberapa ide baru yang menggantikan ide yang baru saja mereka adopsi. Pada tahap ini ide baru (inovasi) cenderung sudah berhenti dan tidak berjalan lagi. Kategori ini hanya bertindak commit sebagai to user penerima pesan pasif (message
45 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
reception) dan cenderung memakan waktu sangat lama dalam adopsi ide baru ini.
C. Fotografer Profesional Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005 : 897), kata profesional memiliki makna segala sesuatu yang berkaitan dengan profesi, memerlukan kepandaian khusus untuk menjalankannya dan mengharuskan adanya pembayaran untuk melakukannya (lawan dari amatir). Dalam konteks fotografi, seorang fotografer tidak hanya diharuskan menguasai teknis fotografi saja namun, wajib paham akan adanya ide, gagasan, perencanaan, pengenalan medan dan pengolahan hasil setelah eksekusi foto (editing). Makna profesional dalam dunia fotografi atau lazim disebut pro bukan semata-mata dinilai dari adanya penghargaan dalam bentuk uang. Fotografer profesional adalah mereka yang dengan sungguh-sungguh mempelajari fotografi dalam segi teknis dan memiliki perencanaan matang dalam eksekusi dan pra produksi. Pekerjaan mereka dilakukan dengan seksama dan konsisten tidak menutup kemungkinan pengakuan dari pihak lain bisa berupa pemberian upah (uang). Perdebatan mengenai definisi pro dan amatir dalam dunia fotografi memang masih berlangsung sampai saat ini. Sebagian dari mereka yang memegang kamera jenis DSLR tidak mau dikatakan amatir namun, dari segi eksekusi dan attitude dalam fotografi mereka belum dikatakan profesional begitu pun sebaliknya. Banyak pula fotografer amatir yang tidak bekerja secara profesional (dibayar) namun, dalam segi hasil melebihi profesional. Dalam penelitian ini, peneliti memberi batasan mengenai definisi fotografer profesional sebagai orang dengan profesi sebagai fotografer untuk menafkahi kehidupan mereka, atau bisa disebut fotografi profesi. Peneliti mengambil dua sampel fotografer profesional dari dunia jurnalistik dan fotografer profesional dari dunia non jurnalistik atau fotografer profesional komersil (wedding photography, still life photography, dsb). commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB III METODE PENELITIAN A. Metodologi Penelitian 1. Jenis Penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Sebuah penelitian kualitatif melibatkan studi tentang bagaimana memakai dan mengumpulkan berbagai jenis material empiris-studi kasus : pengalaman personal, instropeksi, kisah hidup, wawancara, artefak, cultural texts and productions, observasional, historikal, interaksional, visual teks- yang menjelaskan secara rutin dan problematis kejadian dan makna dalam kehidupan individu. Pendekatan yang dilakukan peneliti adalah menggunakan metode studi kasus dimana metode ini cocok digunakan bila penelitian berkenaan dengan how dan why. Yin (2002 : 13) menyebutkan bahwa studi kasus sebagai sebuah bentuk penelitian yang mencoba menginvestigasi fenomena kontemporer dalam konteks kehidupan nyata terutama ketika batasan antara fenomena dan konteks tidak terlalu jelas. Studi kasus bisa berarti metode atau strategi dalam penelitian, bisa juga berarti hasil dari suatu penelitian sebuah kasus tertentu. Studi kasus adalah suatu pendekatan untuk mempelajari, menerangkan, atau menginterpretasi suatu kasus (case) dalam konteksnya secara natural tanpa adanya intervensi dari pihak luar (Salim. 2001 : 93). Secara praktis peneliti melihat realita yang dihadapi dalam penelitian sebagai realitas majemuk yang tidak bisa dilihat bagaimana jawaban dari penelitian mengenai proses penerimaan teknologi kamera DSLR sehingga perlu adanya penggalian lebih dalam mengenai fenomena tersebut. Secara ontologis peneliti harus tahu bagaimana tingkat keterlibatannya dalam penelitian tersebut. Peneliti terlibat secara aktif menjalin relasi di dalam proses interaksi dengan subjek penelitiannya. Secara aksiologis, nilai-nilai di dalam penelitian ini terdapat banyak nilai-nilai dari peneliti yang masuk ke dalam penelitian. Menurut Pawito (2007 : 35), penelitian komunikasi kualitatif, biasanya tidak dimaksudkan untuk memberikan penjelasan-penjelasan (explanations), mengontrol gejala-gejala komunikasi atau mengemukakan prediksi-prediksi, tetapi lebih dimaksudkan untuk mengemukakan gambaran dan/atau pemahaman (understanding) mengenai bagaimana dan mengapa suatu gejala atau realitas komunikasi terjadi. commit to user
46
47 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Menurut Mooney yang dikutip oleh Agus Salim (2001 : 95) menyebutkan bahwasanya studi kasus dapat dilihat sebagai empat macam model pengembangan yang terkait dengan model analisisnya, yaitu : 1.
Studi kasus tunggal dengan single level analysis : studi kasus yang menyoroti perilaku individu atau kelompok individu dengan satu masalah penting
2.
Studi kasus tunggal dengan multi level analysis : studi kasus yang menyoroti perilaku individu atau kelompok individu dengan berbagai tingkatan masalah penting
3.
Studi kasus jamak dengan single level analysis : studi kasus yang menyoroti perilaku kehidupan dari kelompok individu dengan satu masalah penting
4.
Studi kasus jamak dengan multi level analysis : studi kasus yang menyoroti perilaku kehidupan dari kelompok individu dengan berbagai tingkatan masalah penting
Penulis menggunakan studi kasus tunggal dengan single case analysis, karena melihat fenomena yang dikaji adalah sebuah kasus tunggal mengenai pola proses persebaran dan penerimaan informasi tanpa memberikan perbandingan terhadap kasus besar lainnya. Metode adalah cara paling utama yang digunakan untuk mencapai tujuan penelitian. Pada penelitian ini penulis ingin menggambarkan suatu realitas, maka jenis penelitian yang paling tepat adalah jenis kualitatif dengan metode deskriptif. Digunakan metode penelitian deskriptif di mana data akan lebih berbentuk kata-kata dan gambar. Menurut Pawito (2007 : 83), metodologi meliputi cara pandang dan prinsip berpikir mengenai gejala yang diteliti, pendekatan yang digunakan, prosedur ilmiah (metode) yang d1itempuh, termasuk dalam mengumpulkan data, analisis data dan penarikan kesimpulan.
2. Lokasi dan Objek Penelitian Lokasi penelitian dilaksanakan pada fotografer profesional dan jurnalis foto di Kota Solo dan Yogyakarta. commit to user
48 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Pemilihan fotografer profesional dan jurnalis didasari asumsi dan pengamatan peneliti bahwa dua profesi ini mengalami transisi penggunaan kamera dari analog menjadi digital. Kota Solo dan Yogyakarta dipilih karena di kota ini terdapat beberapa media cetak yang cukup lama berdiri dan di dalamnya terdapat fotografer senior yang sudah lama mengabdi. Selain itu di dua kota ini terdapat fotografer profesional lintas jaman yang sangat berpengalaman di bidang fotografi.
3. Jenis Data a. Data Primer Yaitu data yang langsung diperoleh dari informan di lapangan melalui wawancara dan observasi. Data yang diperoleh melalui wawancara berbentuk narasi sedangkan melalui kegiatan observasi peneliti mendapatkan data dalam bentuk narasi dan foto. Kegiatan wawancara mendalam (in-depth interviewing) dilakukan kepada beberapa informan untuk menggali informasi yang dibutuhkan peneliti. Wawancara dilakukan dengan pertanyaan yang bersifat terbuka dan mengarah pada kedalaman informasi, serta dilakukan dengan cara yang tidak secara formal terstruktur guna menggali pandangan subjek yang diteliti tentang banyak hal yang sangat bermanfaat untuk menjadi dasar penggalian informasinya secara lebih jauh, lengkap, dan mendalam. Wawancara dihentikan apabila data yang didapatkan dapat memenuhi kebutuhan informasi yang diperlukan. Observasi, yaitu pengamatan dan pencatatan yang sistematis terhadap gejalagejala yang diteliti. Peneliti turut aktif melakukan observasi pada kegiatan fotografer profesional dalam melakukan kerja di dunia fotografi yang mereka geluti. Hasil dari observasi ini disajikan dalam bentuk narasi dan foto yang dipergunakan untuk memperkuat data yang diperoleh melalui wawancara. b. Data Sekunder Yaitu data yang diperoleh dengan mengutip sumber-sumber melalui dokumendokumen, buku-buku, arsip-arsip, dan catatan-catatan yang berhubungan dengan objek penelitian.
commit to user
49 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Peneliti melakukan studi dokumen/arsip mengenai sejarah kamera, dokumen/arsip mengenai kegiatan jurnalisme dan fotografi yang dibuat melalui media kamera analog maupun digital.
4. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data dalam penulisan ini dilakukan dalam beberapa cara, yaitu : a. Data yang diperoleh dari wawancara. Wawancara mendalam (in-depth interviewing) dilakukan kepada beberapa informan untuk menggali informasi yang dibutuhkan peneliti. Wawancara dilakukan dengan pertanyaan yang bersifat terbuka dan mengarah pada kedalaman informasi, serta dilakukan dengan cara yang tidak secara formal tersturktur guna menggali pandangan subjek yang diteliti tentang banyak hal yang sangat bermanfaat untuk menjadi dasar penggalian informasinya secara lebih jauh, lengkap, dan mendalam. Wawancara dihentikan apabila data yang didapatkan dapat memenuhi kebutuhan informasi yang diperlukan. Penulis mengajukan pertanyaan mengenai karakteristik individu sebagai seorang inovator, early adopter, early majority, dan late majority. Di dalam pertanyaan mengenai karakteristik tersebut peneliti ingin menggali bagaimana karakteristik individu pada masing-masing kategori inovasi. Kemudian peneliti mengajukan pertanyaan mengenai bagaimana pola komunikasi dalam menjalankan peran sebagai komunikator dan komunikan untuk menyebarkan dan menerima informasi di dalam kategori inovasi. Wawancara dilakukan kepada sepuluh informan yang terdiri atas satu orang yang mewakili inovator, satu orang mewakili early adopter, empat orang mewakili early majority, dan empat orang mewakili kategori late majority.
commit to user
50 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Tabel 3.1 Data Narasumber Penelitian
No
Nama informan
Usia
Instansi
1.
Sintra Wong
33 tahun
PT. Datascrip Canon Division
Division Manager Canon Image Communication Product
9 tahun
2.
Sunaryo haryo Bayu
48 tahun
PT. Aksara Solopos
Fotografer Jurnalistik
18 tahun
3.
Franky
34 tahun
PT. Aksara Solopos
Kepala Bagian Umum
6 tahun
4.
Tarko Sujarno
52 tahun
Jakarta Pos Kontributor Yogyakarta
Fotografer Jurnalistik
26 tahun
5.
Ali Lutfi
38 tahun
Jakarta Globe Kontributor Surakarta & EPA wil. Surakarta
Fotografer Jurnalistik
15 tahun
6.
Pang Hway Seng
63 tahun
Bengawan Fotografi
Fotografer Profesional
26 tahun
7.
Agoes Rudianto
27 tahun
Kontributor Kantor Berita Turki Wil. Surakarta
Fotografer Jurnalistik
7 tahun
8.
Kurniawan Arie
28 tahun
Joglosemar Prima Media
Fotografer Jurnalistik
4 tahun
9.
Fahmi Widayat
30 tahun
Freelancer
Fotografer Profesional
3 tahun
10.
Hasan Sakri Ghozali
28 tahun
Tribun Jogja
Fotografer Jurnalistik
4 tahun
commit to user
Jabatan
Masa kerja
51 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Observasi menurut Slamet (2006 : 85-86) dalam buku Metode Penelitian Sosial yaitu teknik pengumpulan data yang bersifat nonverbal. Secara umum teknik observasi dilakukan bagi awal dari kegiatan survai yang dapat dijalankan bersama dengan studi dokumentasi atau eksperimen. Ada dua tipe observasi, yaitu : 1. Observasi berpartisipasi, dan 2. Observasi tidak berpartisipasi. Dalam
penelitian
ini
peneliti
menggunakan
teknik
observasi
tidak
berpartisipasi adalah kegiatan pengumpulan data yang bersifat nonverbal dimana peneliti tidak berperan ganda. Peneliti berperan sebagai pengamat belaka. Dia tidak turut serta sebagai aktor yang melibatkan diri dalam suatu kegiatan. Peneliti turut aktif melakukan observasi pada kegiatan fotografer profesional dalam melakukan kerja di dunia fotografi yang mereka geluti. Peneliti mengamati karakter individu dalam kategori inovasi dan melakukan pengamatan bagaimana pola komunikasi khususnya bagaimana persebaran dan penerimaan informasi dalam kategori inovasi tersebut. Hasil dari observasi ini disajikan dalam bentuk narasi yang dipergunakan untuk memperkuat data yang diperoleh melalui wawancara. b. Data yang berupa dokumen, teks atau karya seni yang kemudian dinarasikan (dikonversi ke dalam bentuk narasi). Peneliti mencari data penulisan dengan cara mencari data-data, referensi-referensi, dokumen-dokumen, literaturliteratur, dan buku-buku sebagai acuan dalam penulisan yang berhubungan dengan objek penelitian. Data yang diperoleh kemudian digunakan untuk memperkuat data yang diperoleh melalui wawancara dan observasi.
5. Teknik Cuplikan (Sampling) Teknik cuplikan pada penulisan ini dilakukan dengan maximum variation sampling atau pengambilan sampel variasi maksimum. Strategi pengambilan sampel variasi maksimum dimaksudkan untuk dapat menangkap atau menggambarkan suatu tema sentral dari studi melalui informasi silang menyilang dari berbagai tipe commityang to user
52 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
responden (Slamet, 2006 : 65-66). Cara menyusun pengambilan sampel variasi maksimum adalah sebagai berikut : peneliti memulai dengan mengambil responden yang memiliki ciri-ciri yang berbeda. Maksud
dari
penggunaan
sampel
variasi
maksimum
bukan
untuk
menggeneralisasikan penemuannya, melainkan mencari informasi yang dapat menjelaskan adanya variasi serta pola-pola umum yang bermakna dalam variasi yang ditemukan tersebut. Yin (2002 : 90) menyebut key informan sebagai personal yang tidak hanya memberikan informasi langsung kepada pokok permasalahan tapi juga bisa memberikan bukti yang menguatkan ataupun bertentangan dengan asumsi peneliti. Selain menggunakan teknik sampel variasi maksimum, peneliti menggunakan teknik cuplikan snowball sampling. Pawito (2007 : 93) melihat teknik cuplikan ini untuk mengimplikasikan jumlah sampel yang semakin membersar seiring dengan perjalanan waktu pengamatan. Peneliti berangkat dari seorang infroman untuk mengawali pengumpulan data. Kepada informan ini peneliti menanyakan siapa lagi berikutnya (atau siapa saja) orang yang selayaknya diwawancarai, kemudian peneliti beralih menemui informan berikutnya sesuai yang disarankan oleh informan pertama, dan begini seterusnya hingga peneliti merasa yakin bahwa data yang dibutuhkan sudah didapatkan secara memadai. Peneliti memilih informan yang memiliki kompetensi untuk menjawab pertanyaan mengenai proses difusi inovasi teknologi yang dilakukan dilakukan oleh fotografer profesional di kota Solo dan Yogyakarta. Informan terdiri atas jurnalis foto dan fotografer komersil di Kota Solo dan Yogyakarta sebagai key informan dan fotografer pemula sebagai informan wawancara.
6. Validitas Data Guna menjamin dan mengembangkan validitas data yang akan dikumpulkan dalam penelitian ini, teknik pengembangan validitas data menggunakan teknik triangulasi sumber atau menurut istilah Patton (1984) juga disebut sebagai triangulasi data. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan teknik triangulasi data yakni triangulasi sumber. Triangulasi menunjukan kita mengkoleksi data dari commit tobagaimana user
53 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
berbagai sumber tapi mengarah pada penguatan sebuah fakta atau fenomena yang diteliti (Yin, 2002 : 99). Ada dua keadaan dalam tirangulasi data, yakni : 1.
Ketika peneliti benar-benar melakukan triangulasi data, fakta atau kejadian dari sebuah studi kasus akan didukung lebih dari satu sumber bukti.
2.
Ketika kita melakukan triangulasi dengan teknik multiple source tapi tidak melakukan triangulasi data, peneliti secara khusus telah melakukan analisa pada
masing-masing
sumber
bukti
secara
terpisah
dan
telah
membandingkan konklusi dari berbagai analisis yang berbeda - tapi tidak melakukan triangulasi data. Triangulasi sumber mengarahkan peneliti agar di dalam mengumpulkan data, dia wajib menggunakan beragam sumber data yang berbeda- beda yang tersedia. Artinya, data yang sama atau sejenis, akan lebih mantap kebenarannya bila digali dari beberapa sumber data yang berbeda. Guna memperoleh kemantapan data dari berbagai informasi yang diperoleh melalui informan di lingkungan fotografer profesional di Kota Solo dan Yogyakarta, maka peneliti menggali informasi dari sumber data yang berbeda jenisnya misalnya dari narasumber tertentu, dari kondisi lokasi, dari catatan atau arsip (koran) dan dokumen (foto) yang memuat data yang berkaitan dengan data yang dimaksudkan peneliti.
7. Teknik Analisa Data Teknik analisa data pada penelitian ini menggunakan analisis yang dikemukakan oleh Yin (2002 : 111-112) strategi yang pertama dan lebih disukai adalah mengikuti proposisi teoritis yang memimpin studi kasus. Proposisi-proposisi tersebut membentuk rencana pengumpulan data dan karenanya memberi prioritas pada strategi analisis yang relevan. Proposisi teoritis membantu peneliti memfokuskan perhatian pada data tertentu dan mengabaikan data yang lain. Proposisi teoritis tentang hubungan-hubungan kausal – jawaban-jawaban terhadap pertanyaan “bagaimana” dan “mengapa” – bisa sangat berguna untuk menuntun analisis studi kasus. Pawito (2007 : 146) mengemukakan bahwasanya analisis dalam studi kasus dapat dilakukan dengan membandingkan (mencari commit to user persamaan atau perbedaan) yang
54 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
ada diantara unit analisis yang berbeda-beda, menghubung-hubungkan satu dengan yang lain. Peneliti melakukan analisis data dengan menemukan gejala pada tiap unit analisis yang diteliti kemudian melakukan perbandingan dengan teori-teori yang digunakan sebagai acuan untuk kemudian mengambil kesimpulan baru dari hasil analisa tersebut.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum Pergeseran Teknologi Analog Menuju Digital Tumbuhnya era digital turut serta ditandai dengan munculnya berbagai teknologi yang turut berperan mempermudah kehidupan manusia dan menimbulkan perubahan yang signifikan dalam sistem sosial di masyarakat. Kebutuhan untuk mengabadikan sebuah moment dalam sebuah media digital bernama kamera nampaknya sudah menjadi kelaziman sekaligus kebutuhan bagi seseorang. Kesempurnaan untuk mengabadikan berbagai moment berharga menjadi dambaan setiap pengguna kamera. Celah kebutuhan inilah yang kemudian dimanfaatkan produsen untuk mentransformasi ide kamera digital sebagai sarana yang mempermudah pekerjaan khususnya para fotografer profesional. Fotografer profesional memiliki makna pekerja di bidang foto, yang berarti orang atau individu yang mengantungkan hidup atau dengan kata lain pekerjaannya berada dalam lingkup fotografi. Inovasi khususnya di bidang teknologi juga terjadi pada perangkat rekam atau kamera. Di era fotografi film, cermin itu wajib hadir sebab hanya itulah ”komunikasi” antara dunia nyata dan mata fotografer. Di dunia fotografi digital, cermin itu tidak diperlukan lagi karena sensor kamera (pengganti film) bisa langsung mengirimkan imaji kepada fotografer baik ke layar LCD maupun ke viewfinder elektronik. Pengguna kamera digital jenis DSLR pada kelompok pengguna jurnalis dan profesional menjadi titik fokus penelitian ini. Pengguna tersebut dipilih karena adanya ketergantungan yang tinggi terhadap inovasi DSLR dalam lingkup dunia kerja mereka sehari-hari. Dalam penelitian ini peneliti mengambil sembilan sampel yang terdiri atas dua orang dari jajaran manajerial dan tujuh orang fotografer. Tujuh fotografer tersebut berasal dari wilayah Solo dan Yogyakarta. Lima orang sampel adalah mereka yang bekerja sebagai fotografer jurnalis, dua orang adalah pekerja di bidang fotografi profesional, dan dua orang adalah pihak manajemen yang berwenang untuk mengadakan sebuah kamera di perusahaanya. Kedua kota ini dianggap mewakili commit to user
55
perpustakaan.uns.ac.id
56 digilib.uns.ac.id
keberadaan pengguna kamera yang cukup tinggi pada dua kategori tersebut. Kotakota ini memiliki beberapa surat kabar lokal maupun nasional yang memiliki kantor perwakilan serta menempatkan puluhan jurnalis di kedua kota tersebut. Para fotografer tersebut berasal dari wilayah Solo dan Yogyakarta. Kedua kota ini dianggap mewakili keberadaan pengguna kamera yang cukup tinggi pada dua kategori tersebut. Kota-kota ini memiliki beberapa surat kabar lokal maupun nasional yang memiliki kantor perwakilan serta menempatkan puluhan jurnalis di kedua kota tersebut. Di dalam dunia profesional tidak dipungkiri keberadaan fotografer menjadi ladang profesi jasa yang menjanjikan. Puluhan jasa fotografer profesional baik freelance maupun perusahan bermunculan untuk menawarkan diri mengabadikan setiap momen berharga.
A.1. Difusi Inovasi DSLR Digitalisasi atau proses perubahan dari sistem analog menjadi sistem digital sering juga disebut sebagai komputerisasi, turut berperan mendorong masyarakat mengikuti arus perubahan dan turut dalam penggunaan mekanisme digital. Sebagai sebuah perubahan yang bersifat masif, tentunya masyarakat dihadapkan pada pilihan untuk belajar atau tetinggal dalam perkembangan teknologi ini. Peneliti melihat perubahan teknologi dari sistem analog menjadi digital turut “memaksa” seorang mempelajari inovasi baru yang ditawarkan kepada mereka. Sebagai contoh perlu adanya penyesuaian baru dengan mengenal perangkat dan tombol operasional sebuah kamera digital yang jauh berbeda dari kamera analog. Kemudian muncul lagi perbedaan dari segi olah gambar sampai transmisi gambar, semuanya merupakan hal baru yang berbeda dari sistem analog sebelumnya. Dalam dunia fotografi digital, istilah digitalisasi terdiri atas dua proses penting, yakni proses pengambilan gambar dan proses pengolahan gambar setelah gambar diambil. Proses digital mampu memotong proses ruang gelap dimana fotografer harus bergulat dengan bahan kimia demi menghasilkan sebuah gambar pilihan. Proses digital memudahkan fotografer dalam memenuhi tuntutan deadline perusahaan. Berbagai perubahan yang terjadi akibat pergeseran sistem dari analog menjadi digital merupakan hal yang menarik commit untuk to user diteliti. Berbagai faktor yang
perpustakaan.uns.ac.id
57 digilib.uns.ac.id
mempengaruhi seorang fotografer profesional, dalam proses difusi inovasi teknologi kamera analog menjadi digital, inilah yang menurut peneliti dianggap sebagai proses perubahan masif dalam dunia fotografi. Perubahan dari proses pengambilan gambar hingga proses pengolahan gambar semua mengalami perkembangan yang luar biasa. Dalam ranah ilmu komunikasi, peneliti melihat fenomena ini melalui aspekaspek teori difusi inovasi. Peneliti ingin melihat bagaimana proses penerimaan dan penyebaran (difusi) informasi mengenai kamera jenis DSLR ini sebagai sebuah hal yang menarik. Peneliti ingin melihat bagaimana peran individu dalam proses penerimaan dan penyebaran (difusi) informasi tentang ide baru (inovasi) kamera DSLR di kalangan fotografer jurnalis dan profesional tersebut. Apakah yang dimaksud difusi inovasi itu ? Rogers (1983 : 5) menyebutkan difusi adalah proses dimana sebuah inovasi di komunikasikan melalui media tertentu secara berulang-ulang diantara anggota sistem sosial. Difusi inovasi adalah tipe khusus dari komunikasi, di dalamnya terdapat pesan berada. Fokus kepada ide-ide baru. Sedangkan komunikasi adalah proses dimana partisipan menciptakan dan membagi informasi dengan orang lain untuk mencapai pemahaman yang sama Proses difusi inovasi adalah tindakan mengkomunikasikan sebuah pesan atau ide mengenai sebuah hal baru (inovasi) untuk dapat digunakan sebagai alat menyelesaikan problem atau masalah yang sudah ada. Proses keputusan-inovasi adalah sebuah proses dimana seorang individu (atau unit pengambil keputusan lain) mendapatkan pengetahuan pertama mengenai sebuah inovasi, untuk membentuk sebuah sikap terhadap inovasi, sebuah keputusan untuk mengadopsi atau menolak, untuk menerapkan sebuah ide baru, dan untuk mengakui keputusannya. Proses ini terdiri dari sebuah seri tindakan dan pemilihan berulang-ulang dimana individu atau organisasi mengevaluasi sebuah ide baru dan memutuskan apakan iya atau tidak untuk bergabung dengan ide baru tersebut untuk kemudian dipraktekan. Perilaku ini dasarnya berhadapan dengan ketidakpastian yang ada pada sikap menentukan pada sebuah alternatif dari inovasi yang sudah ada. Komunikasi menjadi titik penting dalam proses difusi, karena esensi dari proses penyampaian ide / gagasan itu berawal dari bagaimana sebuah pesan diciptakan oleh komunikator (message production) untuk selanjutnya ditransmikan commit to user
oleh
58 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
komunikator (message dissemination) melalui saluran komunikasi dan dapat diterima oleh komunikan (message reception) Hal ini terkait bagaimana sebuah ide / pesan dalam sebuah informasi disebarkan oleh komunikator untuk selanjutnya mengalami proses difusi hingga diterima oleh komunikan. Dalam ranah ilmu komunikasi peneliti ingin melihat pada proses terjadinya difusi itu sendiri. Bagaimana sebuah ide atau gagasan baru, yakni informasi mengenai kamera digital jenis DSLR diadopsi oleh komunikator untuk diterima dan disebarkan ke dalam lingkup sistem sosial. Dalam penelitian ini, peneliti ingin melihat proses difusi inovasi sebagai proses bagaimana sebuah inovasi mengalami proses difusi sampai akhirnya bisa diaplikasi kan oleh beberapa adopter. Proses difusi dilihat sebagai bentuk komunikasi khusus yang dilakukan oleh seorang komunikator melalui beberapa saluran komunikasi untuk dapat diterima oleh komunikator. Ada dua bahasan pokok dalam penelitian ini, yakni bagaimana sebuah pesan disebarkan (message dissemination) dan bagaimana sebuah pesan diterima / diintepretasikan (message reception). Ada pula dua peranan individu yang ingin dilihat peneliti di dalam penelitian ini, yakni bagaimana peran seorang individu / organisasi menjadi seorang komunikator dalam melakukan persebaran pesan (message dissemination) dan bagaimana peran individu ketika dia menjadi seorang komunikator yang menerima pesan (message reception).
B. Karakter Individu Dalam Proses Difusi Inovasi Difusi inovasi sebagai proses komunikasi menekankan pada pentingnya individu sebagai komunikator (penyebar) dan komunikan (penerima) pesan. Namun, dalam sebuah sistem sosial tidak sepenuhnya inovasi atau ide baru dapat diterima oleh kelompok masyarakat di dalamnya. Tidak semua individu dalam sistem sosial mengadopsi sebuah inovasi dalam waktu yang bersamaan. Mereka cenderung melakukan adopsi pada sekuen waktu tertentu dan bisa dikelompokan dalam beberapa tipe adopter (Rogers, 1983 : 241). Berdasarkan penelitian, terdapat empat tipe ideal adopter dalam proses difusi inovasi. Keempat kategori individu tersebut mempunyai beberapa karakteristik yakni sebagai berikut :
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
59 digilib.uns.ac.id
B.1. Innovator : Venturesome Seorang inovator adalah pribadi yang suka berpetualang, mencoba hal-hal baru, dan mempunyai obsesi mengenai suatu hal baru. Sifatnya ini membuatnya berada pada lingkaran hubungan sosial kosmopolitan, jauh dari lingkup putaran lokal (local circle). Seorang innovator harus memiliki finansial yang kuat terkait beberapa proses pengembangan pengetahuan ide baru yang akan dilakukan. Mereka harus bergelut dengan ketidakpastian mengenai kapan inovasi yang mereka ciptakan akan diadopsi oleh adopter. Jadi, inovator memegang peranan sebagai gatekeeping mengenai ide baru dalam sistem sosial (Rogers, 1983 : 248). Dalam penelitian ini kategori inovator diwakili oleh pihak PT. Datascrip Indonesia. PT. Datascrip merupakan distributor tunggal resmi yang menangani distribusi berbagai inovasi teknologi yang di dalamnya memiliki salah satu divisi yang menangani peredaran kamera merk Canon di seluruh wilayah Indonesia. Canon Division dalam penelitian ini memiliki divisi marketing yang dijadikan sampel untuk penelitian ini. Subjek pada kategori ini adalah Sintra Wong, seorang Division Manager Canon Image Communication Product PT. Datascrip di Jakarta sebagai perwakilan Canon global untuk menangani distribusi dan penjualan semua merk dagang kamera Canon di semua wilayah di Indonesia.Seorang inovator dalam penelitian ini mewakili produsen utama. Posisi seorang inovator sangat erat hubungannya dengan karakteristik mereka dalam penyebaran informasi, keterbukaan terhadap inovasi dan akses terhadap saluran komunikasi. Disebutkan oleh Wejnert (2002 : 302) dalam jurnal yang berjudul Integrating Models of Diffusion of Innovations : A Conceptual Framework, kategori inovator memiliki beberapa karakteristik sebagai berikut : Enam karakter dari variabel pelaku yang nampak untuk mengatur adopsi inovasi adalah : 1.
Status sosial dari inovator
2.
Tingkat pemahaman terhadap inovasi
3.
Karakter status
4.
Karakter sosial ekonomi commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
60 digilib.uns.ac.id
5.
Posisi relatif dalam jaringan sosial
6.
Karakter personal yang berhubungan dengan variabel kultur yang memodifikasi karakter personal dari pelaku di level populasi.
Individu pada kategori inovator pada penelitian ini adalah mereka yang memiliki mobilitas tinggi, didukung oleh finansial kuat, memiliki jaringan komunikasi yang luas dan terbuka dalam mengumpulkan informasi. Melihat karakteristik dan fungsi seorang inovator dalam penjabaran diatas menegaskan fungsi inovator adalah mutlak sebagai komunikator untuk sebuah produk inovasi DSLR. Keberadaan kategori ini mutlak fungsinya sebagai penyokong keberlangsungan persebaran informasi kepada kategori adopter potensial kamera jenis DSLR. a.
Pengetahuan Tentang Produk Tinggi Dalam penelitian ini disebutkan oleh informan bahwa semua anggota divisi yang dia pimpin wajib untuk terbuka atas setiap informasi yang mereka terima mengenai sebuah produk kamera. Seorang inovator adalah komunikator bagi produk inovasi yang akan dipasarkan kelak, untuk itulah pemahaman terhadap informasi mengenai sebuah produk inovasi wajib dimiliki. “Tim pemasaran (marketing) yang menangani pemasaran sebuah produk kamera harus mengetahui dan memahami secara menyeluruh semua aspek Product, Pricing, Placement, Promotion, dan Personnel (5P) untuk produk yang dijualnya bahkan sebelum produk tersebut mulai dijual.” (Sintra Wong, Division Manager Canon Image Communication Product PT. Datascrip, 33 th) “Penguasaan terhadap unsur 5P merupakan hal yang mutlak untuk meraih kesuksesan pemasaran sebuah produk, termasuk di dalamnya bagaimana mengomunikasikan / mempromosikan produk tersebut ke konsumen sebagai bagian dari unsur Promotion dalam 5P Marketing Mix di atas.” (Sintra Wong, Division Manager Canon Image Communication Product PT. Datascrip, 33 th)
b. Memiliki Dukungan Finansial Kuat Seorang inovator harus memiliki dukungan finansial yang kuat karena bukan perkara mudah menyebarkan sebuah informasi mengenai sebuah inovasi kepada khalayak luas di wilayah Indonesia dengan tata geografis yang luas dan ragam target pasar yang sangat bervariasi. commit to user
61 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
“Luasnya negara Indonesia yang tersebar di berbagai pulau besar dan kecil mengharuskan kami untuk menggunakan begitu banyak media dan saluran komunikasi yang sangat beragam untuk dapat menjangkau segmen pasar yang kami bidik. Hal ini tentunya juga mengakibatkan timbulnya biaya yang tidak kecil.” (Sintra Wong, Division Manager Canon Image Communication Product PT. Datascrip, 33 th) c.
Memiliki Jaringan Informasi Yang Luas Karakteristik seorang inovator dituntut untuk terbuka akan akses terhadap informasi mengenai sebuah inovasi. Selain itu seorang inovator adalah orang yang memiliki jaringan kuat dalam sebuah sistem sosial. Jaringan ini wajib dimiliki dalam rangka memudahkan akses terhadap sebuah informasi mengenai inovasi. Jaringan yang dimiliki oleh komunikator pada kategori ini digunakan untuk mendapatkan informasi terkait sehingga menambah pengetahuan komunikator mengenai sebuah inovasi. “Sumber utama informasi produk bersumber dari pihak produsen/manufaktur/principal, sedangkan informasi produk kompetitor harus digali dari berbagai sumber yang kini semakin mudah diperoleh di ranah daring/online.” (Sintra Wong, Division Manager Canon Image Communication Product PT. Datascrip, 33 th)
d.
Memiliki Power Untuk Mempengaruhi Seorang inovator pada kategori ini memiliki kekuatan untuk menekan, kekuatan ini digunakan untuk menekan ke dalam (perusahaan) dan menekan ke luar (konsumen) agar mereka paham atas informasi terkait inovasi DSLR tertentu. Hal ini terkait bagaimana individu kategori ini mengharuskan pemahaman informasi mengenai sebuah produk. “Kepada seluruh tim pemasaran, tim penjualan, dan tim pelayanan pelanggan serta segmen pasar yang dibidik kelas produk DSLR tersebut.” (Sintra Wong, Division Manager Canon Image Communication Product PT. Datascrip, 33 th) commit to user
62 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
B.2. Early Adopter : Respectable Early adopter lebih terintegrasi dengan sistem lokal dibandingkan seorang inovator. Pada kategori ini seorang individu harus mempunyai peranan yang paling besar menjadi seorang opinion leader di dalam kebanyakan sistem sosial. early adopter sering mencari informasi dan hal-hal terkait dengan sebuah inovasi, karena sifatnya inilah seorang change agents sering menunjuknya sebagai misionaris lokal untuk menyebarkan proses difusi. Karena kedekatannya dengan inovasi ini, menjadikannya sebagai model contoh bagi masyarakat lain, dirinya sangat dihormati dalam lingkup sistem sosial. jadi, peran seorang early adopter adalah mengurangi ketidakpastian
mengenai
sebuah
inovasi
untuk
dapat
diadopsi,
perannya
menyampaikan evaluasi subjektif mengenai inovasi kepada rekan terdekatnya melalui saluran interpersonal (Rogers, 1983 : 248). Kategori ini diwakili oleh Franky, Kepala Bagian Umum, PT Aksara Solopos sebagai divisi untuk menangani distribusi dan pengadaan semua kamera jenis DSLR di lingkup pekerja media (fotografer) Solopos. a.
Terbuka Terhadap Informasi Karakteristik seorang early adopter dituntut untuk terbuka terhadap informasi mengenai sebuah inovasi. Tanpa adanya keterbukaan terhadap informasi, seorang early adopter tidak akan mendapat pengetahuan mengenai informasi sebuah produk inovasi yang akan diadopsi. “Saya harus terbuka dengan informasi baru, semua staf saya pun harus terbuka atas informasi yang beredar.” (Franky, Kepala Bagian Umum Solopos, 34 th) “Saya harus paham secara spek teknis kamera tersebut. Sekarang ada kamera dengan fasilitas wifi dan GPS, kalau nanti mereka pakai seperti itu? Apakah itu selaras dengan kebutuhan? Kalau semisal mereka mengajukan sebuah spesifikasi kamera misal Canon 6D, kita harus cek dengan manajemen nih, apakah kebutuhan tersebut sudah mendesak atau sekedar mengikuti tren saja ?” (Franky, Kepala Bagian Umum Solopos, 34 th)
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
63 digilib.uns.ac.id
b. Memiliki Jaringan Kuat Seorang adopter pada kategori ini memiliki jaringan yang kuat untuk mendukung proses pencarian informasi. Jaringan ini berguna bagi individu untuk mencari informasi detail mengenai sebuah produk yang akan diadopsi. Pencarian informasi melalui berbagai jaringan untuk mengurangi ketidakpastian mengenai sebuah inovasi sebelum diadopsi. Kemudian saya juga berhubungan dengan komunitas pengguna kamera digital untuk sharing dengan mereka. (Franky, Kepala Bagian Umum Solopos, 34 th)
“Selain itu saya sering juga sharing lewat telepon dengan komunitas pengguna fotografer tadi tentang fungsi dan kemudahan sebuah kamera.” (Franky, Kepala Bagian Umum Solopos, 34 th)
c.
Memiliki Power Untuk Mempengaruhi Seorang early adopter adalah mereka yang memiliki power atau kekuatan untuk mempengaruhi manajerial dalam perusahaan sekaligus menggunakan power tersebut untuk mempengaruhi kategori penerima informasi di bawahnya. “....Kemudian bagian manajerial, di dalamnya ada manajemen penjualan, adalah yang bertanggung jawab atas penjualan produk. Lalu kami, divisi umum adalah divisi yang menjembatani dua divisi besar tersebut.” “...Kami mengendalikan kebutuhan dua divisi tersebut, jika mereka membutuhkan kamera, mereka mengajukan ke manajemen. Dan manajemen akan memerintahkan saya melakukan cek atas kebutuhan tersebut, apakah berlebihan tidak untuk kebutuhan di lapangan.” (Franky, Kepala Bagian Umum Solopos, 34 th) Pada kategori early adopter terlihat bahwa subjek penelitian pada kategori ini menggunakan power atau kekuatan yang dimilikinya untuk menyampaikan informasi dan memberikan pengaruh pada manajemen ke atas dan kategori penerima adopter di bawahnya (early majority). Pada perusahaan ini komunikasi dilakukan melalui media rapat internal untuk memberikan masukan dan commit to user mengambil keputusan untuk mengadopsi sebuah inovasi.
perpustakaan.uns.ac.id
64 digilib.uns.ac.id
Dari keterangan subjek tersebut menunjukan bahwa dirinya memegang peranan vital dalam pengambilan keputusan di dalam instansi tersebut. Subjek memiliki power untuk memberikan masukan informasi mengenai sebuah inovasi dan melakukan pengadaan produk inovasi DSLR tertentu. “...Jadi memang setiap pengadaan tentunya harus ada usul dari redaksi dulu, SOP perusahaan menegaskan kami tidak boleh mengadakan sesuatu tanpa ada permintaan dari divisi manapun. Pun dengan mereka, mereka tidak bisa membeli tanpa melalui saya.” (Franky, Kepala Bagian Umum Solopos, 34 th) “Kita melakukan komunikasi melalui rapat ketika ada pengajuan kamera merek tertentu dari pihak redaksi. Saya sebagai penengah. Semua disesuaikan dengan kebutuhan dari sisi kecepatan dan pengolahannya, kita cari kemudahan. Kita dari perusahaan kita akan memilih apakah kita akan menonjolkan sisi kecepatan kemudahan ataupun sisi mana saja yang ingin kita kejar.” (Franky, Kepala Bagian Umum Solopos, 34 th) “Benar divisi ini sangat vital dalam pengadaan kamera khususnya. Bukan hanya pengadaan tapi proses after salesnya yang kita kerjakan disini. Jadi memang setiap pengadaan tentunya harus ada usul dari redaksi dulu, SOP perusahaan menegaskan kami tidak boleh mengadakan sesuatu tanpa ada permintaan dari divisi manapun. Pun dengan mereka, mereka tidak bisa membeli tanpa melalui saya.” (Franky, Kepala Bagian Umum Solopos, 34 th) B.3. Early Majority : Deliberate Seorang early majority mengadopsi ide baru sesaat sebelum rata-rata anggota sistem sosial melakukan adopsi serupa. Individu pada tahap ini sering berinteraksi dengan peers tapi jarang memegang posisi pemimpin. Early majority mendapatkan posisi unik di antara early majority dan late adopter membuat mereka menjadi link penghubung yang penting dalam proses difusi. Mereka menjadi penghubung antar fase dalam prses difusi. Periode pengambilan keputusan difusi pada proses ini cenderung lambat dibanding seorang early adopter (Rogers, 1983 : 249). Dalam mengadopsi sebuah inovasi seorang early majority relatif lebih panjang dibanding seorang inovator maupun seorang late adopter. Dalam penelitian ini peneliti mengambil sampel sebanyak empat orang fotografer, tiga dari kategori fotografer jurnalistik dan satu orang fotografer profesional. Seorang early majority commit to user bisa ditandai dengan tingkat kecepatan seseorang mengadopsi sebuah inovasi. Dalam
perpustakaan.uns.ac.id
65 digilib.uns.ac.id
penelitian ini keempat sampel adalah mereka yang merupakan fotografer senior dengan masa kerja di atas 10 tahun, yang artinya mereka sudah mengadopsi DSLR saat pertama kali terjadi transisi dari analog menuju digital. a.
Memiliki Senioritas Dalam Proses Adopsi Karakter seorang early majority adalah mereka cenderung mendapatkan penghormatan dari anggota kategori di bawahnya, dan mereka memiliki partisipasi sosial yang tinggi dalam hal berkomunikasi.
Dalam dunia foto
jurnalistik maupun fotografer profesional hal ini menurut peneliti sangat dipengaruhi oleh tingkat senioritas seorang fotografer dalam lingkup sosialnya. Hal ini bisa dikaitkan bagaimana periode awal mereka mengadopsi teknologi ini setelah mengalami transisi dari teknologi analog. “Analog ke digital awal tahun 2000 , tepatnya lupa , belum langsung ke DSLR, saya Cuma pakai Fuji pocket , adanya Cuma itu, yang pakai dslr belum ada, ada tp jarang karena harganya yang mahal sekali. Jadi pertama kali pakai DSLR itu karena kantor menyediakan itu, mau ga mau harus makai itu, pertama kali sih makainya D70, merek Nikon itu. Waktu itu fotografer di Solopos masih saya, sama Yayus. Sekarang sudah empat orang.” (Sunaryo Haryo Bayu, Fotografer Senior Solopos, 48 th) “Waktu itu kita belum bayangin ada digital seperti saat ini. Ya waktu itu makai apa adanya analog aja, nyari cetak yang cepat dimana. Saya makai pertama kali sih pocket masih 2.3 MP, pertama kali mungkin di Jogja. Beberapa kejadian besar seperti jatuhnya pesawat di Bengawan Solo itu saya masih pakai poket. Kebakaran kilang minyak di Cepu juga. Susah karena beberapa kejadian malam hari, saya akal-akalin saja sensornya. DSLR saya mulai pakai tahun 2000-an awal. Dulu masih jarang yang makai DLSR, saya pertama kayanya, dapatnya juga nitip dari temen saya yang lagi pergi ke luar negeri saat itu.” (Tarko Sujarno, Jakarta Pos Kontributor Yogyakarta, 52 th) “Pertama kali memakai teknologi digital saya menggunakan kamera compact digital Fuji saat itu, dengan kapasitas memori 8 MB saja. Dengan kualitas 2-3 MP saja saat itu. Saya mulai pegang DSLR tahun 2003.” (Ali Lutfi, Jakarta Globe dan Kontributor EPA, 38 th) “Periode tahun 2002-2004 saya transisi sudah pakai DSLR, tapi masih ndobel waktu itu, karena saya belum sepenuhnya percaya dan yakin dengan DSLR, jadi setiap motret saya selalu pakai dua kamera, satu digital satu analog. Mulai tahun 2004 saya mulai lepas sepenuhnya dari analogcommit menggunakan to user digital seri D70. “ (Pang Hway Seng, Fotografer Profesional, 63 th)
perpustakaan.uns.ac.id
b.
66 digilib.uns.ac.id
Terbuka Terhadap Informasi Selain tingkat kecepatan adaptasi teknologi, kategori ini memiliki keterbukaan terhadap informasi terkait inovasi DSLR. Individu-individu pada kelompok ini aktif mencari informasi dari berbagai media cetak saat itu, hal ini dikarenakan informasi mengenai internet belum seperti saat ini, saat itu gelombang informasi melalui internet sangat terbatas dan sulit didapat. Selain itu produsen ataupun manufaktur pada saat itu belum gencar melakukan promosi seperti saat ini karena DSLR masuk pada kategori barang mahal yang tidak semua orang mampu membeli dan menggunakannya. “Saya waktu itu sempetnya belajar dari brosur, biasanya dapet dari produsen, atau pameran. Dulu brosur ini dikirim ke media-media kita. Di brosur itu terbatas informasinya, saya cuma belajar soal spesifikasi aja dari brosur itu, bukan teknis.” (Sunaryo Haryo Bayu, Fotografer Senior Solopos, 48 th) “...Kalau informasi soal DSLR saya tanya temen-temen aja yang lain. Waktu itu saya dapat informasi soal kamera D70 itu saya bacabaca dari iklan koran aja terus titip temen yang berada di Singapore. Di Jogja (daerah) belum ada mungkin saat itu.” (Tarko Sujarno, Jakarta Pos Kontributor Yogyakarta, 52 th) “Saya mendapat informasi soal DLSR dari majalah.” (Ali Lutfi, Jakarta Globe dan Kontributor EPA, 38 th) “Belum ada internet saat seperti saat ini. Saya belajar dari majalah soal hasil foto dari fotografer luar negeri dari majalah itu. Dari majalah seperti Foto Asia dan Foto Media saya mendapatkan info dari media itu.” (Ali Lutfi, Jakarta Globe dan Kontributor EPA, 38 th) Selain penggunaan media cetak sebagai sarana untuk mencari informasi, tidak jarang saluran komunikasi interpersonal melalui forum fotografi dan rekan sejawat menjadi pilihan untuk mendapatkan informasi mengenai DSLR yang masih sangat terbatas. “Saya dapat pelatihan dari Jakarta waktu itu soal kamera digital. Dari Forum Fotografi Jakarta waktu itu yang mengadakan, sekitar tahun 2003-an.” (Sunaryo Haryo Bayu, Fotografer Senior Solopos, 48 th) commit to user
67 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
“Saya dapat informasi mengenai DSLR itu dari toko kamera, majalah dan dari temen-temen, banyak saat itu temen-temen yang pindah ke DSLR jadi saya tanya-tanya mereka.” (Pang Hway Seng, Fotografer Profesional, 63 th) “Saya banyak tanya nya ke penjual kamera nya malahan apa kelebihan dan kekurangan kamera ini.” (Pang Hway Seng, Fotografer Profesional, 63 th)
B.4. Late Majority : Skeptical Individu pada tahap ini cenderung melakukan adopsi sebuah ide baru ketika mayoritas anggota dalam sistem sosial telah melakukan adopsi terlebih dahulu. Tindakan adopsi yang lambat biasanya didasari atas kebutuhan ekonomi dan keinginan menjawab tekanan sosial. mereka tidak akan mengadopsi sampai sebagian besar individu melakukan adopsi terlebih dahulu. Sistem norma sering berperan menciptakan sikap skeptis ini, peranan seorang peers sangat tinggi dalam memberikan motivasi untuk melakukan sebuah adopsi inovasi (Rogers, 1983 : 250). Pada kategori ini peneliti mengambil empat sampel fotografer, tiga orang fotografer jurnalis dan seorang merupakan fotografer profesional (dokumentasi). Mereka adalah fotografer yang selalu menggunakan DSLR dalam menunjang kinerja mereka sehari-hari. a.
Lambat Dalam Proses Adopsi Karakteristik seorang late majority cenderung lambat jika dilihat melalui periode waktu dimana mereka mulai mengadopsi kamera DSLR. Individu pada kategori ini cenderung terlambat mengadopsi DSLR dalam proses kerjanya. “Mulai kenal digital khususnya DSLR itu sekitar pertengahan tahun 2008. Saat itu saya antusias menerima informasi soal DSLR di tahun 2008 itu. Karena kesenangan saya di dunia fotografi.” (Kurniawan Arie, Fotografer Harian Joglosemar, 28 th) “Saya beralih ke DSLR pada tahun 2008. Karena memang sudah lazim pemakaian DSLR waktu itu, karena tuntutan tugas juga.” (Agoes Rudianto, Kontributor Kantor Berita Turki, 28 th) commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
68 digilib.uns.ac.id
“Kalau mengenal dan mulai menggunakan DSLR sendiri sekitar 5-6 tahun yang lalu (2009-2010).” (Fahmi Widayat, Fotografer Profesional, 30 th) “Ya awalnya sudah suka duluan dgn dunia fotografi sejak jaman SMA terus waktu kuliah ikut UKM fotografi. Belajar mengenai dasar fotografi, cuci cetak dll. Kemudian mulai rajin motret dengan kamera analog kakak tingkat dulu waktu kuliah kurang lebih setahun. Kalau tidak salah sekitar tahun 2006.” (Hasan Sakri Ghozali, Fotografer Tribun Jogja, 28 th) b.
Terbuka Pada Akses Informasi Meskipun dipandang sebagai kategori yang skeptis dalam hal penerimaan hal baru, individu pada kategori ini ternyata memiliki keterbukaan terhadap informasi mengenai sebuah produk inovasi. Hal ini terlihat dari bagaimana keaktifan mereka mencari infomasi dari berbagai media baik elektronik maupun saluran komunikasi interpersonal. “Saya kenal DSLR dari teman-teman, nyoba-nyoba pakai. Selain itu saya sering baca majalah Chip Foto Video saat itu saya baca-baca preview kamera lewat media itu sekitar tahun 2006 an. Kadang saya lihat dulu hasil-hasil dari fotografer Kompas atau Radar Jogja.” (Kurniawan Arie, Fotografer Harian Joglosemar, 28 th) “...Biasanya lewat internet, majalah, sekitar seminggu dua kali mungkin. Informasi yang saya cari lebih ke dramatisasi foto, pemilihan angle, lebih ke pemilihan foto.” (Agoes Rudianto, Kontributor Kantor Berita Turki, 28 th)
“...Maksudnya ? kalau untuk membelinya saya dulu nanya-nanya temen dulu cari info.” (Fahmi Widayat, Fotografer Profesional, 30 th) “...Saya dulu dapat referensi soal DSLR itu dari teman, dan internet. kalau penggunaan kameranya saya dapatkan dari manual book kamera.” (Fahmi Widayat, Fotografer Profesional, 30 th) commit to user
69 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
“Kalau dari internet biasanya lebih ke perbandingan harga dan detail spesifikasinya, kalau jaman itu belum ada situs yang signifikan membahas fotografi seperti sekarang ini. Dulu cuma pake google untuk mencari website toko-toko kamera untuk mengecek harga saja.” (Hasan Sakri Ghozali, Fotografer Tribun Jogja, 28 th) C. Peran Individu Dalam Proses Difusi Inovasi Peran individu dalam penelitian ini dibagi menjadi empat kategori inovasi. Masing-masing kategori memiliki pola komunikasi yang berbeda-beda dalam sebuah proses difusi inovasi. Secara garis besar ada dua pola komunikasi yang akan terlihat yakni ketika seorang individu berperan sebagai komunikator dan komunikan. Masing-masing kategori memiliki fungsi tersendiri untuk menyebarkan pesan (message dissemination) dan proses penerimaan pesan (message reception) hal ini terlihat ketika mereka melakukan fungsinya dalam menyebarkan atau menerima informasi terkait kamera DSLR dimana informasi tersebut mampu mempengaruhi proses adopsi sebuah inovasi. Kedua garis besar pola komunikasi pada masingmasing kategori inovasi akan dijabarkan sebagai berikut : C.1. Innovator a. Inovator Sebagai Komunikator (Message Dissemination) Seorang inovator memegang peranan penting untuk melakukan komunikasi produk terhadap kategori di bawahnya. Mereka harus menjalankan fungsi komunikasi untuk menyebarkan pesan (message dissemination) hingga dapat diterima oleh kategori adopter di bawahnya. Proses ini bisa meliputi pemilihan target pasar, alasan memilih target pasar tersebut, penggunaan saluran komunikasi yang tepat yang tepat untuk menjangkau target pasar yang telah ditentukan. Menentukan Target Informasi Individu pada kategori ini memulai proses persebaran pesan dengan terlebih dahulu menentukan siapa target persebaran informasi. Siapa saja yang akan menerima informasi mengenai spesifikasi kamera, keunggulan kamera, dan segala sesuatu terkait produk inovasi. commit to user
70 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Dalam penelitian ini, komunikator tidak hanya berperan untuk memberikan informasi mengenai inovasi produk kepada target pasar, namun juga kepada pihak internal (tim marketing) untuk dapat membantu percepatan persebaran informasi kepada target pasar. Proses persebaran informasi ditujukan kepada dua target utama yakni ke dalam (tim pemasaran) dan keluar (target komersil). “Kepada seluruh tim pemasaran, tim penjualan, dan tim pelayanan pelanggan serta segmen pasar yang dibidik kelas produk DSLR tersebut. (Sintra Wong, Division Manager Canon Image Communication Product PT. Datascrip, 33 th) Dalam penelitian ini, peneliti menekankan proses komunikasi sebagai kajian utama penelitian. Dalam proses difusi inovasi, saluran komunikasi memegang peran penting dalam proses penyebaran ide baru. Pada bahasan sebelumnya telah disebutkan bahwa inti dalam proses difusi adalah bagaimana sebuah ide baru mampu diterima dan diadopsi oleh kategori tertentu dalam masyarakat. Inovator adalah kategori yang berperan aktif untuk menyampaikan sebuah informasi mengenai prdoduk informasi untuk diterima kategori di bawahnya. Dalam proses penyebaran pesan ini, inovator akan berperan sebagai komunikator. Apa yang perlu dilakukan sebelum seorang menyebarkan sebuah pesan ? media apa yang akan digunakan ? Sebelum memahami proses difusi inovasi melalui saluran komunikasi perlu adanya pemahaman mengenai unsur source dan channel. Source atau sumber adalah individu atau organisasi yang menciptakan pesan. Sedangkan channel adalah sarana yang digunakan untuk menyebarkan pesan pada penerima (receiver) (Rogers, 1983 : 198).
Saluran Komunikasi Dalam Proses Persebaran Pesan Tahapan seorang komunikator dalam menyebarkan sebuah pesan akan diimbangi dengan bagaimana sebuah pesan atau gagasan baru ditransmisikan melalui berbagai saluran komunikasi (media choice). commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
71 digilib.uns.ac.id
Inovator menggunakan beberapa saluran komunikasi untuk menyebarkan informasi mengenai sebuah produk. Media Above The Line dan Below The Line untuk menunjang promosi sebuah produk kepada kategori penerima (receiver). “Perencanaan komunikasi harus disesuaikan dengan sifat segmen pasar yang dibidik. Secara umum komunikasi harus dilakukan secara terintegrasi antara media Above The Line dan media Below The Line dengan porsi yang disesuaikan dengan sifat segmen pasar yang dibidik.” (Sintra Wong, Division Manager Canon Image Communication Product PT. Datascrip, 33 th) Secara lebih spesifik Pemilihan saluran komunikasi yang tepat untuk melakukan transmisi informasi ini mutlak diperlukan. Tanpa penggunaan saluran komunikasi ini seorang inovator tidak akan mampu menjangkau segmen pasar yang telah mereka bangun. Mass media channel diartikan sebagai proses transmisi pesan yang melibatkan media massa luas seperti, radio, televisi, koran, dan lainnya. Media massa mampu (Rogers, 1983 : 17) : a. Menjangkau massa secara luas dengan cepat b. Menciptakan pengetahuan dan menyebarkan informasi c. Membangun perubahan sikap yang terjadi dengan lemah Saluran komunikasi melalui media massa dirasa mampu menjangkau target audiens secara luas, namun dari efek perubahan perilaku, saluran komunikasi interpersonal memiliki cakupan yang lebih efektif. Dalam jurnal yang berjudul The Messenger is the Medium oleh Thomas Valente dan Myers (2010, 254), dikemukakan bahwasanya : “Scholars have argued that mass media are effective at disseminating information but that interpersonal communication is necessary for behavior changes to occur.” Inovator dalam penelitian ini menggunakan berbagai media massa dan pendekatan secara personal melalui komunikasi interpersonal dengan target pasar yang telah ditentukan. Penggunaan media massa baik cetak maupun elektronik dipilih karena alasan geografis negara Indonesia yang luas sehingga penggunaan media secara masif mutlak dilakukan. commit to user
72 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
“Kami menggunakan saluran komunikasi yang menyeluruh mulai dari media massa hingga pendekatan langsung ke personal dan komunitas. Hal ini dikarenakan jajaran produk DSLR yang kami pasarkan melingkupi kebutuhan dari berbagai segmen pasar mulai dari pengguna awam hingga para profesional.” (Sintra Wong, Division Manager Canon Image Communication Product PT. Datascrip, 33 th) “Luasnya negara Indonesia yang tersebar di berbagai pulau besar dan kecil mengharuskan kami untuk menggunakan begitu banyak media dan saluran komunikasi yang sangat beragam untuk dapat menjangkau segmen pasar yang kami bidik. Hal ini tentunya juga mengakibatkan timbulnya biaya yang tidak kecil.” (Sintra Wong, Division Manager Canon Image Communication Product PT. Datascrip, 33 th) Ada dua saluran menurut Rogers yang lazim digunakan, yakni mass media channels dan interpersonal channels. Mass media adalah segala sesuatu yang digunakan sebagai sarana transmisi pesan, meliputi radio, televisi, koran, dan lainnya yang memungkinkan sumber untuk mencakup beberapa audiens. Di sisi lain, saluran interpersonal lebih efektif untuk membujuk seorang mengadopsi ide baru, khususnya jika channel interpersonal tersebut menghubungkan dua atau lebih individu yang berdekatan (Rogers, 1983 : 17). Saluran komunikasi melalui media massa menemui hambatan karena kompleksnya audiens. Jaringan dan koneksi antar individu tidak bisa diprediksi. Untuk itu saluran komunikasi individu melalui komunikasi interpersonal dirasa mampu menjangkau jaringan sosial tersebut. Sedangkan saluran interpesonal dianggap mampu memberikan pengaruh yang kuat. Saluran komunikasi interpersonal meliputi penyampaian pesan melalui proses tatap muka antar dua individu atau lebih. Proses komunikasi interpersonal mampu untuk (Rogers, 1983 : 198) : a. Menyediakan pertukaran informasi dua arah. Karakteristik komunikasi interpersonal mampu mengatasi batasan / penghalang sosial-psikologis atas terpaan selektif, persepsi, dan ingatan. b. Mengajak individu untuk membentuk atau merubah sikap dengan kuat.
commit to user
73 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Everett M. Rogers memberikan beberapa asumsi mengenai tingkatan penggunaan saluran komunikasi dalam proses difusi tersebut (Rogers, 1983 : 200). 1. Asumsi 1 : Mass media relatif lebih penting pada fase pengetahuan dan saluran komunikasi interpersonal lebih penting pada fase persuasi Sill (1958) menemukan bahwa jika menginginkan daya serap terhadap adopsi bisa tinggi, maka diperlukan penggunaan saluran komunikasi dengan waktu ideal dan secara berkelanjutan, bergantian antara penggunaan saluran media massa kemudian saluran interpersonal. Pada fase pengetahuan mengenai inovasi, penggunaan media massa memberikan perhatian / awareness, menuju grup, dan pada akhirnya menuju masing-masing individu. Daya dorong pengetahuan terhadap inovasi diciptakan oleh media massa untuk kemudian saluran interpersonal berperan menggerakan individu pada fase persuasi. 2. Asumsi 2 : Saluran kosmopolitan relatif lebih penting pada fase pengetahuan (knowledge), dan saluran lokal (localite) relatif lebih penting pada fase persuasi pada proses keputusan-difusi inovasi Cosmpolite communication channel atau secara harfiah saluran komunikasi kosmpolitan, adalah mereka yang berasal dari luar sistem sosial yang tengah diinvestigasi : saluran lain mengenai ide baru yang mencakup individuindividu dari sumber di dalam sistem sosial mereka. Saluran interpersonal masuk ke dalam lokal maupun kosmopolitan, sedangkan mas media keseluruhan merupakan kosmopolitan. Selain menggunakan berbagai media untuk sarana transmisi informasi, komunikator pada kategori ini menggunakan sarana komunikasi interpersonal sebagai media transmisi pesan, hal ini mengingat bahwa segmentasi pasar dari produk ini merupakan komunitas yang membutuhkan pendekatan khusus dari segi saluran komunikasinya. Pendekatan komunikasi interpersonal dilakukan salah satunya melalui pendekatan kepada komunitas fotografi dengan menggunakan endorser, karena dalam dunia fotografi sosok profesional banyak menjadi panutan untuk mendapatkan rekomendasi. commit to user
74 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
“Endorser dalam arti luas memang mutlak digunakan dalam pemasaran produk DSLR terutama yang menyasar ke segmen pasar komunitas karena sebagian besar penggemar fotografi yang terlibat dalam salah satu atau beberapa komunitas fotografi cenderung mencari informasi dan rekomendasi dari para anggota komunitas yang dianggap lebih senior dan lebih menguasai bidang ini.” (Sintra Wong, Division Manager Canon Image Communication Product PT. Datascrip, 33 th) Melalui pemberian informasi mengenai sebuah produk, seorang inovator secara tidak sadar berusaha untuk “menaklukan” target pasar yang telah mereka pilih. Dengan memberikan endorser sebagai cara mengkomunikasikan sebuah produk inovasi, individu pada kelompok ini berusaha memberikan bagaimana personifikasi produk mereka kepada pasar luas. Melalui berbagai strategi komunikasi yang telah disusun salah satunya dengan penggunaan endorser untuk menjangkau komunitas fotografi tertentu, sebenarnya seorang komunikator ingin menunjukan bagaimana penggambaran positif seseorang yang memakai produk mereka. Hal ini untuk menunjukan kepada komuitas calon pengguna merek tertentu bahwa mereka mempunyai figur contoh pengguna profesional yang berhasil dengan produk tersebut. Dengan metode tersebut komunikasi interpersonal menjadi lebih efektif untuk menjangkau adopter potensial yang telah ditentukan. Proses selanjutnya kita akan melihat pada kategori penerima awal yakni kategori early adopter. Pada kategori ini kita akan melihat dua pola komunikasi yang akan dialami individu yakni bagaimana ketika mereka menerima pesan (message reception) dan ketika menyebarkan pesan (message dissemination).
C.2. Early Adopter a. Early Adopter Sebagai Komunikan (Message Reception) Proses komunikasi dalam kategori early adopter dimulai dengan bagaimana seorang early adopter menerima pesan (message reception). Individu pada kategori ini menerima pesan dari inovator untuk memperkuat pengetahuan mereka mengenai inovasi DSLR.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
75 digilib.uns.ac.id
Dalam ranah komunikasi, pesan sering diidentikan dengan teks, yakni seperangkat rekaman pesan yang dapat dianalisa oleh orang lain, sebagai contoh buku, film, foto, atau contoh rekaman pidato maupun siaran pesan lewat televisi (Griffin, 2012 : 6). Kategori early adopter menerima rangkaian pesan dari kategori inovator tentang sebuah inovasi. Selain inovator sebagai sumber pesan, rekanan atau individu lain dalam sebuah sistem sosial yang memiliki kompetensi di bidang fotografi digunakan sebagai rujukan sumber informasi. Messages do not interpret themselves. Griffin (2012 : 6-7) menyebutkan bahwa pesan tidak akan mengintrepretasikan dirinya sendiri. Words don’t mean things, people mean things Kata tidak berarti sesuatu, oranglah yang memberi arti kepadanya. Dari dua kalimat di atas dapat dikatakan bahwa interpretasi pesan merupakan dua hubungan kausal antara seorang komunikator dengan komunikannya. Herbert Blumer, mengenai fase ini disebut dengan “Humans act toward people or things on the basis of the meanings they assign to those people or things” (Griffin, 2012 : 7). Proses penerimaan pesan pada kategori ini sendiri dihubungkan dengan aspek teori difusi inovasi dimulai dengan bagaimana seorang komunikan melakukan proses pencarian atau pengumpulan informasi yang memiliki keterkaitan dengan sebuah inovasi. Selanjutnya proses penerimaan pesan dihubungkan dengan aspek teori dalam difusi inovasi, dimana sebelum suatu kategori mengadopsi sebuah inovasi dibutuhkan beberapa fase yang harus dilewati. Dalam fase-fase tersebut terdapat proses penerimaan pesan dari inovator kepada early adopter. Rogers (1983 : 164-185) memberikan gambaran tentang beberapa tahapan dalam proses pengambilan keputusan dalam difusi inovasi sebagai berikut : 1.
Knowledge Pada tahapan ini, individu atau unit pengambilan keputusan lain merasakan terpaan inovasi yang ada dan mencapai pemahaman bagaimana inovasi tersebut berfungsi. Tipe pencarian informasi pada tahapan ini dapat dijabarkan menjadi, software information, yang terdapat pada inovasi itu sendiri dan mampu mengurangi ketidakpastian tentang hubungan sebab dan akibat yang terlibat dalam rangka commitmeraih to userhasil yang kita inginkan (seperti
perpustakaan.uns.ac.id
76 digilib.uns.ac.id
menyadari adanya kebutuhan dan masalah individu), how-to knowledge yang terdiri atas penggunaan informasi penting untuk menggunakan inovasi dengan benar. Ketika seorang individu tidak mendapat informasi memadai pada tahapan ini, maka mereka akan menolak atau tidak meneruskan sebuah inovasi. Principles knowledge terdiri atas informasi yang berkenaan dengan fungsi dasar yang menjadi pokok bagaimana sebuah inovasi bekerja. Dalam kategori ini, seorang early adopter mulai menerima terpaan informasi yang bersumber dari berbagai saluran komunikasi, baik melalui media massa (internet) maupun melalui saluran komunikasi interpersonal. Rogers (1983) menyebutkan pada fase awal seseorang menyadari kebutuhan akan sebuah inovasi, individu tersebut akan mengalami exposure media yang begitu kuat. Hal ini menjadikan seseorang menjadi seorang information seeker yang aktif mencari segala informasi terkait inovasi apa yang akan diadopsi demi mengurangi ketidakpastian terhadap inovasi. Model komunikasi multi-step flow secara umum dapat diterima untuk menjelaskan saluran komunikasi dan pola penyebaran pesan dalam proses difusi inovasi. Model multi-step flow menyadari adanya banyak penghubung antara media dan final receiver, model ini melihat lebih banyak kemungkinan dalam proses penyebaran dan penerimaan pesan. Dalam proses difusi inovasi, individu tertentu akan mendengar langsung sebuah informasi melalui media dimana individu yang lain tidak melakukannya (Littlejohn, 2002 : 314). Ada dua saluran menurut Rogers yang lazim digunakan, yakni mass media channels dan interpersonal channels. Mass media adalah segala sesuatu yang digunakan sebagai sarana transmisi pesan, meliputi radio, televisi, koran, dan lainnya yang memungkinkan sumber untuk mencakup beberapa audiens. Di sisi lain, saluran interpersonal lebih efektif untuk membujuk seorang mengadopsi ide baru, khususnya jika channel interpersonal tersebut menghubungkan dua atau lebih individu yang berdekatan (Rogers, 1983 : 17). Mass media channel diartikan sebagai proses transmisi pesan yang melibatkan media massa luas seperti, radio, televisi, koran, dan lainnya. Saluran komunikasi melalui commit media massa to userdirasa mampu menjangkau target
77 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
audiens secara luas, namun dari efek perubahan perilaku, saluran komunikasi interpersonal memiliki cakupan yang lebih efektif. Penggunaan media elektronik seperti internet saat ini lazim digunakan individu pada kategori ini untuk mendapatkan referensi yang tepat mengenai teknologi inovasi. Kemudian saluran komunikasi interpersonal menjadi pilihan ketika informasi yang tersedia melalui media elektronik dirasa belum mencukupi untuk meyakinkan individu dalam proses penerimaan informasi ini. “Saya harus mengumpulkan informasi paling banyak melalui web (internet), saya berhubungan langsung dengan pihak Canon maupun Nikon di Jakarta. Kemudian saya juga berhubungan dengan komunitas pengguna kamera digital untuk sharing dengan mereka. Ada komunitas di facebook di Kota Jakarta, misalnya yang saya gunakan rujukan untuk mencari informasi.” (Franky, Kepala Bagian Umum Solopos, 34 th) “...Kalau seri terbaru saya dapatkan melalui release email dari produsen Canon dan Nikon, saya harus memahami spek-spek tersebut, kami harus tahu mendetail fungsinya, jangan sampai mereka mengajukan tanpa saya tahu tentang produk tersebut.” (Franky, Kepala Bagian Umum Solopos, 34 th) Pada proses pengumpulan informasi ini, subjek mengalami proses pengurangan ketidakpastian dengan mendapatkan informasi yang memiliki nilai tambah atas apa yang tengah dia cari. Jadi informasi yang didapatkan adalah informasi yang menurutnya memiliki nilai tambah bagi pengetahuan yang dimilikinya mengenai DSLR. Information-Integration
Theory
melihat
bagaimana
seseorang
mengumpulkan dan mengorganisasi informasi tentang orang lain, objek, situasi, atau ide dan bentuk perilaku (Littlejohn, 2002 : 123). Ada beberapa variabel penting bagaimana sebuah informasi mampu mengubah pola perilaku kita, informasi harus memenuhi dua syarat, yakni Valence, bagaimana sebuah informasi mendukung kepercayaan kita dan sikap yang kita miliki, informasi memiliki “positive valence” namun, ketika sebuah informasi tidak mendukung sikap dan kepercayaan kita informasi tersebut mengandung “negative valence” (Littlejohn, 2002 : 124). commit to user
78 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Variabel selanjutnya adalah weight , ketika sebuah informasi dirasa memiliki sebuah kebenaran maka kita akan memberikan weight atau penekanan / perhatian yang lebih tinggi atas informasi tersebut. Namun, ketika informasi dirasa tidak benar, tingkat penekanan akan rendah. Sebuah sikap terdiri atas akumulasi dari informasi tentang objek, personal, situasi, dan pengalaman. Perubahan sikap terjadi karena informasi baru menambah sikap atau merubah salah satu pandangan mengenai weight dan valence dari informasi lain. Sedangkan saluran interpesonal dianggap mampu memberikan pengaruh yang kuat. Saluran komunikasi interpersonal meliputi penyampaian pesan melalui proses tatap muka antar dua individu atau lebih. Rogers (1983 : 198) menyatakan bahwa proses komunikasi interpersonal mampu untuk: a. Menyediakan
pertukaran
informasi
dua
arah.
Karakteristik
komunikasi interpersonal mampu mengatasi batasan / penghalang sosial-psikologis atas terpaan selektif, persepsi, dan ingatan. b. Mengajak individu untuk membentuk atau merubah sikap dengan kuat. Saluran interpersonal digunakan untuk menjalin komunikasi dengan komunitas fotografi sebagai
sarana bagi individu pada tahap ini untuk
mengumpulkan informasi tambahan. “Kemudian saya juga berhubungan dengan komunitas pengguna kamera digital untuk sharing dengan mereka. (Franky, Kepala Bagian Umum Solopos, 34 th) “Selain itu saya sering juga sharing lewat telepon dengan komunitas pengguna fotografer tadi tentang fungsi dan kemudahan sebuah kamera.” (Franky, Kepala Bagian Umum Solopos,34. th)
commit to user
79 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Rogers (1983 : 200) memberikan beberapa asumsi mengenai tingkatan penggunaan saluran komunikasi dalam proses difusi tersebut. 1. Asumsi 1 : Mass media relatif lebih penting pada fase pengetahuan dan saluran komunikasi interpersonal lebih penting pada fase persuasi Sill (1958) menemukan bahwa jika menginginkan daya serap terhadap adopsi bisa tinggi, maka diperlukan penggunaan saluran komunikasi dengan waktu ideal dan secara berkelanjutan, bergantian antara penggunaan saluran media massa kemudian saluran interpersonal. Pada fase pengetahuan mengenai inovasi, penggunaan media massa memberikan perhatian / awareness, menuju grup, dan pada akhirnya menuju masing-masing individu. Daya dorong pengetahuan terhadap inovasi diciptakan oleh media massa untuk kemudian saluran interpersonal berperan menggerakan individu pada fase persuasi. 2. Asumsi 3 : Saluran media massa relatif lebih penting dibanding saluran interpersonal untuk adopter tingkat awal dibanding adopter tingkat akhir. Pada saat ini inovator hanyalah satu-satunya tingkatan dalam sistem difusi yang mengadopsi sebuah ide baru sehingga tidak ada seorang pun dalam sistem yang berpengalaman dengan inovasi. Seorang late adopter tidak perlu berhubungan langsung dengan media massa, dirinya lekat dengan saluran interpersonal pada sistem sosial. Early adopter membutuhkan informasi karena sifatnya yang suka berpetualang mencari informasi, untuk itu stimulus dari media massa cukup untuk menggerakan mereka. Sedangkan late adopter membutuhkan pengaruh yang kuat dan cepat, seperti jaringan interpersonal.
Semua jenis informasi yang diterima individu pada tahap konowledge pada akhirnya mempengaruhi aspek kognitif mereka terhadap teknologi inovasi DSLR. Pada tahap penerimaan informasi ini pengetahuan mereka akan bertambah dan menjadikan potensi adopsi sebuah teknologi menjadi lebih cepat. Untuk selanjutnya tahap persuasi akan membawa seorang commit to user
80 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
individu lebih dekat terhadap informasi yang mempengaruhi nilai afektif mereka terhadap sebuah inovasi.
2.
Persuasion Stage (Tahapan Persuasi) Tahapan ini menunjukan bagaimana seorang individu bersikap setelah melalui tahapan pertama dalam pengetahuan. Seorang individu akan terlibat lebih secara psikologis kepada inovasi tersebut: mereka akan aktif mencari informasi mengenai sebuah ide baru, dimana mereka mencari informasi, pesan apa yang mereka terima, dan bagaimana mereka menginterpretasikan pesan tersebut. Pada tahapan persuasi yang erat hubungannya dengan proses pengambilan keputusan, seorang individu akan aktif mencari beberapa tipe informasi, yakni : innovation-evaluation information yang mana untuk mengurangi ketidakpastian tentang konsekuensi yang diharapkan pada sebuah ide baru (inovasi). Tipe informasi ini didapat dengan mudah melalui evaluasi ilmiah mengenai inovasi, biasanya bersifat subjektif berasal dari orang terdekat yang telah menggunakan ide tersebut dan sangat meyakinkan. A preventive innovation adalah ide baru yang diadopsi individu dalam rangka menghindari peristiwa yang tidak diinginkan terjadi di masa depan (Rogers, 1983 : 169). Dalam fase persuasi keterlibatan seorang individu pada informasi yang terkait pada pencarian mereka mengenai inovasi DSLR menjadi semakin intens dan terarah. Ketika informasi yang telah didapatkan adopter melalui tahap knowledge dirasa sudah memenuhi tingkat pemahaman mengenai inovasi yang diadopsi, pada tahap ini subjek akan melakukan komunikasi lebih intens untuk meyakinkan dirinya mengenai penting atau tidaknya sebuah adopsi dilakukan. Proses pencarian informasi dilanjutkan dengan intensitas komunikasi lebih mendalam dan lebih luas demi mendukung data informasi yang telah ia dapatkan sebelumnya. commit to user
81 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Saluran komunikasi secara interpersonal terhadap pengguna lain lebih intens dilakukan dalam fase ini untuk memberikan keyakinan terhadap sebuah inovasi. “Saya
harus
punya
data
dulu,
misal
mereka
mau
mengajukan sebuah produk saya sudah punya dulu list mulai dari harga sampai spesifikasi sebuah produk.” (Franky, Kepala Bagian Umum Solopos, 34 th)
“Selain itu saya sering juga sharing lewat telepon dengan komunitas pengguna fotografer tadi tentang fungsi dan kemudahan sebuah kamera.” (Franky, Kepala Bagian Umum Solopos,34. th) “Sub dealer penjualan seperti Kota Raya saya juga melakukan hubungan dengan mereka. Kadang untuk jagajaga saja semisal ada kerusakan saya juga akan butuh mereka. Saya akan tanya kepada mereka dimana tempat membersihkan lensa.” (Franky, Kepala Bagian Umum Solopos, 34 th) Ketika seorang adopter memilih sebuah inovasi, tentunya mereka sudah mengalami reduksi informasi yang mengurangi ketidakpastian akan inovasi yang akan diadopsi. Sebuah inovasi akan mudah diterima atau diadopsi jika memenuhi beberapa unsur seperti relative advantage, compatibility, complexity, trialability, dan observability. Dalam kategori early adopter informasi yang diperoleh dari seorang inovator adalah informasi yang bersifat teknis mengenai sebuah inovasi.
Segala informasi yang terkait dengan
sebuah inovasi yang akan diadopsi semakin intens dicari, pada kasus ini penggunaan saluran komunikasi interpersonal memegang peranan yang cukup besar. Informasi yang dicari tersebut pun sangat menekankan unsur relative advantage (kegunaan relatif), compatibility (kecocokan) dan complexity (kompleksitas). Pada tahapan ini seorang individu akan lebih dalam mempelajari sisi keunggulan dan mereduksi segala informasi yang commit to user mempengaruhi nilai positif mereka terhadap sebuah inovasi. Menurut Rogers
82 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
(1983 : 213-232) beberapa prasyarat harus dipenuhi sebuah inovasi sehingga mampu mempengaruhi afektif dari komunikan pada tahap ini, yakni : a.
Relative Advantage (Kegunaan Relatif) Adalah sebuah tingkatan dimana inovasi diterima sebagai sesuatu yang lebih baik untuk menggantikan sebuah ide. Tingkat relatifitas ini bisa diukur melalui faktor ekonomi, kepuasan, dan kecocokan dalam menggunakan sebuah inovasi. Makin tinggi sebuah keuntungan relatif dari inovasi, maka makin cepat pula sebuah adopsi akan terjadi. Pertimbangan atas beberapa keuntungan yang ditawarkan sebuah inovasi menjadi nilai tambah yang mempengaruhi adopter untuk mempercepat adopsi teknologi kamera DSLR. “Kita fokus ke DSLR karena untuk singkronisasi antara kebutuhan cetak koran dengan plat cetak. Kalau kamera tidak bagus maka hasil cetak pembesaran tidak bagus.” (Franky, Kepala Bagian Umum Solopos, 34 th)
b.
Compatibility (Kecocokan) Adalah sebuah tingkatan dimana sebuah inovasi diterima karena konsisten dengan nilai-nilai yang sudah ada, pengalaman masa lalu, dan kebutuhan oleh adopter potensial. Dalam sebuah lingkup manajerial perusahaan, pengadaan sebuah teknologi mutlak harus mempertimbangkan nilai kecocokan inovasi dengan nilai guna teknologi di lapangan. Individu pada kategori ini harus mempertimbangkan segala informasi terkait dengan kecocokan antara inovasi yang akan diadopsi dengan kebutuhan di lapangan. Sebuah inovasi yang akan diadopsi salah satunya harus memenuhi kecocokan dengan kebutuhan perusahaan. Pentingnya sebuah informasi yang digali oleh individu adalah menekankan pentingnya kecocokan tersebut dengan kebutuhan perusahaan. “...Kalau semisal mereka mengajukan sebuah spesifikasi kamera misal Canon 6D, kita harus cek dengan manajemen nih, apakah kebutuhan tersebut sudah mendesak atau sekedar mengikuti tren saja ?” user Solopos, 34 th) (Franky, Kepalacommit BagiantoUmum
83 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
c.
Complexity (Kompleksitas/Kerumitan) Adalah sebuah tingkatan dimana sebuah inovasi dilihat dari sisi kesulitan untuk memahami dan menggunakannya. Beberapa inovasi sudah siap untuk dipahami oleh beberapa anggota sistem sosial : anggota yang lain mungkin merasa rumit dan lambat dalam mengadopsi. Salah satu fungsi pencarian informasi pada tahap konowledge dan persuasi adalah mengatasi tingkat kerumitan sebuah inovasi agar nantinya adopsi sebuah inovasi bisa dilakukan dengan maksimal. Individu pada tahap ini harus paham nilai kompleksitas sebuah inovasi karena dengan pemahaman yang baik proses penyampaian pesan kepada kategori internal manajerial dan adopter di bawahnya akan berjalan dengan baik. Dengan semakin baiknya pemahaman individu terhadap sebuah inovasi, maka tingkat kerumitan atas sebuah inovasi bisa direduksi sehingga mempercepta proses adopsi. Segala informasi terkait dengan tingkat kerumitan sebuah inovasi akan dicari demi memantapkan pemahaman individu pada kategori ini. “Saya harus paham secara spek teknis kamera tersebut. Sekarang ada kamera dengan fasilitas wifi dan GPS, kalau nanti mereka pakai seperti itu? Apakah itu selaras dengan kebutuhan?” (Franky, Kepala Bagian Umum Solopos, 34 th)
d. Trialability (Percobaan) Adalah tingkatan dimana sebuah inovasi dapat di eksperimen dengan batasan dasar. Sebuah inovasi atau ide baru yang bisa dicoba dalam rencana instalasi akan lebih cepat diadopsi dibanding sebuah ide baru yang tidak bisa dicoba. e. Observability (Observatif) Adalah sebuah tingkatan dimana hasil dari sebuah inovasi dapat dilihat oleh orang lain. Makin mudah sebuah hasil inovasi diamati oleh seseorang, maka inovasi tersebut akan mudah untuk diadopsi. commit to user
84 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
3.
Decision Stage (Tahapan Keputusan) Tahapan pengambilan keputusan terjadi ketika seorang individu atau unit pengambilan keputusan lain terlibat dalam aktivitas yang bertujuan untuk memilih atau menolak sebuah inovasi. Adopsi adalah keputusan untuk menggunakan secarap penuh sebuah inovasi jalan tindakaan terbaik. Rejection adalah penolakan dalam menggunakan sebuah inovasi. Pada tahapan pengambilan keputusan, penting bagi seorang inovator untuk menghasilkan relative advantage bagi calon adopter yang ingin mereka tuju karena tidak ada satu inovasi yang mampu diadopsi tanpa melalui proses trial atas inovasi tersebut. Ketika relative advantage dirasakan seorang adopter maka akan mendorong mereka pada proses adopsi inovasi secara menyeluruh. Rogers (1983) menyebut keputusan adopsi pada tahapan ini sebagai collective innovation-decisions adalah pilihan untuk mengadopsi atau menolak inovasi yang dibuat secara konsesus diantara anggota dari sistem sosial. Semua anggota unit dari sistem sosial biasanya akan patuh terhadap keputusan dari sistem ketika melakukan adopsi. Keputusan yang dibuat atas dasar power yang dimiliki oleh individu pada kategori ini sehingga harus dipatuhi (memaksa) bagi kategori di bawahnya. “Semua tergantung kebutuhan, apakah untuk sport, atau kebutuhan lain. Kita fokus ke DSLR karena untuk singkronisasi antara kebutuhan cetak koran dengan plat cetak. Kalau kamera tidak bagus maka hasil cetak pembesaran tidak bagus.” (Franky, Kepala Bagian Umum Solopos, 34 th) Pada tahapan ini segala informasi terkait teknis dan spesifikasi kamera haruslah sudah dipahami terkait dengan keputusan mengadopsi atau tidaknya sebuah inovasi. Penguasaan informasi mengenai teknis dan spesifikasi kamera DSLR tertentu menjadi hal mutlak untuk dijadikan acuan kelak.
commit to user
85 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
b. Early Adopter Sebagai Komunikator (Message Dissemination) Setelah melalui proses pencarian informasi tiba saatnya bagi individu kategori ini untuk menyampaikan informasi yang dia peroleh sebagai bahan pertimbangan dalam rapat bersama untuk menentukan adopsi sebuah inovasi dalam sebuah sistem sosial. Dalam proses penciptaan pesan ini, kategori early adopter menggunakan power yang dimiliki untuk menyampaikan informasi sehingga menjadi bahan pertimbangan bagi perusahaan dalam menentukan teknologi DSLR apa yang akan diadopsi. Tata aturan perusahaan (SOP) menunjukan bahwa individu pada kategori ini harus “mempertahankan” pendapat yang ia peroleh atas dasar informasi dari berbagai sumber untuk dijadikan acuan bagi pemilihan inovasi tersebut. Seorang komunikator pada kategori early adopter akan mengalami beberapa sekuen penciptaan pesan sebelum pesan disalurkan melalui media tertentu. Sebagai seorang komunikator yang sebuah pesan atau gagasan, seseorang harus tahu siapa audiens yang menjadi lawan bicaranya. Menempatkan diri sebagai seseorang (self) pada situasi tertentu membantu kita lebih memahami siapa komunikan kita. Menurut Ervin Goffman yang dikutip oleh Littlejohn (2002), melihat bagaimana komunikator menunjukan diri mereka dalam sebuah sistem sosial. Teori “drama”yang dikemukakan Goffman menunjukan seorang individu pada kategori ini harus rela menjadi orang lain demi mempertahankan pendapat dan pandangan yang menurutnya benar. Segala bentuk informasi yang dikumpulkan menjadi bahan untuk mempertahankan pendapatnya. Tak jarang hal ini memicu friksi karena seorang early adopter harus bertindak menjadi “orang lain” demi membela kepentingan perusahaan. Frame Analysis dalam diri individu menentukan bagaimana seorang individu mengorganisasi dan memahami perilaku mereka pada berbagai situasi. Frames membantu kita mengidentifikasi dan memahami sebuah kejadian, memberi makna pada aktivitas yang tengah terjadi dalam kehidupan.
commit to user
86 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
“...Benar divisi ini sangat vital dalam pengadaan kamera khususnya. Bukan hanya pengadaan tapi proses after sales nya yang kita kerjakan disini. Jadi memang setiap pengadaan tentunya harus ada usul dari redaksi dulu, SOP perusahaan menegaskan kami tidak boleh mengadakan sesuatu tanpa ada permintaan dari divisi manapun. Pun dengan mereka, mereka tidak bisa membeli tanpa melalui saya.” (Franky, Kepala Bagian Umum Solopos, 34 th) Dalam proses penyebaran pesan dan interpretasi pesan ini terdapat fakta pada salah satu narasumber bahwasanya dalam pengadaan kamera DSLR ini hingga proses adopsinya kadang terjadi friksi dengan pihak early majority dalam
sebuah
forum.
Hal
ini
dikarenakan
masing-masing
pihak
berkomunikasi secara argumentatif sehingga sulit mendapatkan sebuah kesepahaman. Argumentativeness adalah kecenderungan seorang individu terlibat dalam percakapan tentang topik kontroversial, untuk mendukung sudut pandangnya sendiri, dan menolak kepercayaan yang berlawanan (Littlejohn, 2002 : 94). “Friksi terjadi biasanya karena debat soal harga. Kemudian soal fungsi, apakah kalau kita beli yang canggih seperti wifi dan gps tadi akan terpakai ? apakah soal modernisasi ataukah secara fungsi ?” (Franky, Kepala Bagian Umum Solopos, 34 th) “...Gengsi ataukah fungsi, biasanya seperti itu. Titik temu nanti biasanya akan dikonsultasikan dengan pihak keuangan, jadi tidak semua bisa di-acc langsung. Semua kembali kepada direksi. Kalau pihak direksi mungkin tahu tapi tidak mendalam, jadi semua dikembalikan kepada saya. Saya harus memahami teknologi yang diajukan.” (Franky, Kepala Bagian Umum Solopos, 34 th)
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
87 digilib.uns.ac.id
C.3. Early Majority a. Sebagai Komunikan (Message Reception) Proses komunikasi yang terjadi pada kategori ini adalah bagaimana anggota dalam kategori ini menerima pesan (message reception) atau informasi mengenai DSLR dan bagaimana mereka mentransmisikan pesan (message dissemination) tersebut pada kategori di bawahnya. Proses penerimaan pesan pada kategori ini sendiri dimulai dengan bagaimana seorang komunikan melakukan proses pencarian atau pengumpulan informasi yang memiliki keterkaitan dengan sebuah inovasi. Dalam proses penerimaan informasi ini peneliti menghubungkan dengan aspek teori dalam difusi inovasi, dimana sebelum suatu kategori mengadopsi sebuah inovasi dibutuhkan beberapa fase yang harus dilewati. Rogers (1983 : 164-185) memberikan gambaran tentang beberapa tahapan dalam proses pengambilan keputusan dalam difusi inovasi sebagai berikut: 1.
Knowledge Pada tahapan ini, individu atau unit pengambilan keputusan lain merasakan terpaan inovasi yang ada dan mencapai pemahaman bagaimana inovasi tersebut berfungsi. Tipe pencarian informasi pada tahapan ini dapat dijabarkan menjadi, software information, yang terdapat pada inovasi itu sendiri dan mampu mengurangi ketidakpastian tentang hubungan sebab dan akibat yang terlibat dalam rangka meraih hasil yang kita inginkan (seperti menyadari adanya kebutuhan dan masalah individu), how-to knowledge yang terdiri atas penggunaan informasi penting untuk menggunakan inovasi dengan benar. Ketika seorang individu tidak mendapat informasi memadai pada tahapan ini, maka mereka akan menolak atau tidak meneruskan sebuah inovasi. Principles knowledge terdiri atas informasi yang berkenaan dengan fungsi dasar yang menjadi pokok bagaimana sebuah inovasi bekerja. Pada awal pencarian informasi mengenai keberadaan DSLR, kategori awal pengguna ini justru mendapatkan banyak informasi dari teman ataupun relasi mereka (saluran komunikasi interpersonal). Minimnya informasi dari commit DSLR to user menjadi sedikit penghalang bagi inovator saat itu mengenai produk
88 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
individu kategori ini untuk mempelajari sepsifikasi kamera DSLR ini. Hal ini disebabkan teknologi inovasi ini pada saat itu merupakan hal langka dan terlampau mahal untuk dimiliki. Dalam proses difusi inovasi komunikasi menjadi titik penting bagaimana sebuah pesan dapat dikomunikasikan. Sebelum memahami proses difusi inovasi melalui saluran komunikasi perlua danya pemahaman mengenai unsur source dan channel. Source atau sumber adalah individu atau organisasi yang menciptakan pesan. Sedangkan channel adalah sarana yang digunakan untuk menyebarkan pesan pada penerima (receiver) (Rogers, 1983 : 198). Ada dua saluran menurut Rogers (1983 : 17) yang lazim digunakan, yakni mass media channels dan interpersonal channels. Mass media adalah segala sesuatu yang digunakan sebagai sarana transmisi pesan, meliputi radio, televisi, koran, dan lainnya yang memungkinkan sumber untuk mencakup beberapa audiens. Di sisi lain, saluran interpersonal lebih efektif untuk membujuk seorang mengadopsi ide baru, khususnya jika channel interpersonal tersebut menghubungkan dua atau lebih individu yang berdekatan. Saluran komunikasi melalui media massa dirasa mampu menjangkau target audiens secara luas, namun dari efek perubahan perilaku, saluran komunikasi interpersonal memiliki cakupan yang lebih efektif. Saluran komunikasi melalui media massa menemui hambatan karena kompleksnya audiens. Jaringan dan koneksi antar individu tidak bisa diprediksi. Untuk itu saluran komunikasi individu melalui komunikasi interpersonal dirasa mampu menjangkau jaringan sosial tersebut. Sedangkan saluran interpesonal dianggap mampu memberikan pengaruh yang kuat. Saluran komunikasi interpersonal meliputi penyampaian pesan melalui proses tatap muka antar dua individu atau lebih. Pada bagian ini kita melihat bagaimana individu setuju dengan cara kita mengorganisasi
dan
mengatur
informasi
dan
bagaimana
informasi
mempengaruhi sistem kognitif kita (Rogers, 1983 : 123). Littlejohn (2002 : 123) mengemukakan sebuah teori InformationIntegration Theory yang melihat bagaimana commit to user seseorang mengumpulkan dan
perpustakaan.uns.ac.id
89 digilib.uns.ac.id
mengorganisasi informasi tentang orang lain, objek, situasi, atau ide dan bentuk perilaku (Littlejohn, 2002 : 123). Ada beberapa variabel penting bagaimana sebuah informasi mampu mengubah pola perilaku kita, informasi harus memenuhi dua syarat, yakni Valence, bagaimana sebuah informasi mendukung kepercayaan kita dan sikap yang kita miliki, informasi memiliki “positive valence” namun, ketika sebuah informasi tidak mendukung sikap dan kepercayaan kita informasi tersebut mengandung “negative valence” (Littlejohn, 2002 : 124). Variabel selanjutnya adalah weight , ketika sebuah informasi dirasa memiliki sebuah kebenaran maka kita akan memberikan weight atau penekanan / perhatian yang lebih tinggi atas informasi tersebut. Namun, ketika informasi dirasa tidak benar, tingkat penekanan akan rendah. Sebuah sikap terdiri atas akumulasi dari informasi tentang objek, personal, situasi, dan pengalaman. Perubahan sikap terjadi karena informasi baru menambah sikap atau merubah salah satu pandangan mengenai weight dan valence dari informasi lain. Pada tahap knowledge subjek mulai melakukan proses pencarian informasi mengenai DSLR. Hal ini terkait dengan makin mendesaknya penggunaan DSLR karena adanya tuntutan deadline yang tidak bisa dipenuhi dengan menggunakan kamera analog yang mereka gunakan sebelumnya. Selain itu munculnya teknologi digital pada awal periode tahun 2000-an membuat penggunaan analog mulai ditinggalkan. Hal ini terkait dengan kecepatan kerja dan efisiensi dari segi harga dan hasil yang didapatkan. Produsen film untuk kamera analog semakin sulit didapatkan, hal ini yang membuat mereka harus memutar otak bagaimana mencari alternatif teknologi lama mereka. Proses penerimaan pesan (message reception) dilakukan seorang early majority melalui kontak dengan berbagai saluran komunikasi dan sumber informasi. Dari awal muncul inovasi teknologi DSLR mereka aktif mencari informasi mengenai teknologi tersebut. Pada awal kemunculannya pada periode Tahun 2000-an belum tersedia banyak informasi mengenai produk ini. Informasi mereka dapatkan daritoberbagai saluran komunikasi, melalui commit user
90 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
media cetak dan saluran komunikasi interpersonal. Media elektronik seperti internet masih sangat terbatas pada saat itu. Kebanyakan informasi diperoleh melalui media cetak seperti koran dan majalah. “Saya ga belajar dari media apapun. Saya ga pernah baca, teori saya abaikan. Saya waktu itu sempetnya belajar dari brosur, biasanya dapet dari produsen, atau pameran. Dulu brosur ini dikirim ke media-media kita. Di brosur itu terbatas informasinya, saya cuma belajar soal spesifikasi aja dari brosur itu, bukan teknis. Saya pertama kali ga merasakan kesulitan, penggunaannya kan mirip dengan analog. Saya dapat pelatihan dari Jakarta waktu itu soal kamera digital. Dari forum fotografi Jakarta waktu itu sekitar tahun 2003-an. Saya karena terbiasa pakai analog jadi ga kesulitan dengan kamera digital.” (Sunaryo Haryo Bayu, Fotografer Senior Solopos, 48 th) “Pertama kali dapat info sih saya nyari-nyari sendiri. Dari kantor tidak menyediakan. Kalau informasi soal DSLR saya tanya temen-temen aja yang lain. Waktu itu saya dapat informasi soal kamera D70 itu saya bacabaca dari iklan koran aja terus titip temen yang berada di Singapore. Di Jogja (daerah) belum ada mungkin saat itu.” (Tarko Sujarno, Jakarta Pos Kontributor Yogyakarta, 52 th) “Saya mendapat informasi soal DLSR dari majalah, jadi sebelum muncul di pasar saya sudah dapat informasi dari majalah saat itu kalau sebentar lagi akan beredar kamera DSLR. Sejak tahun 1998 saya udah dapat informasi. Belum ada internet saat seperti saat ini. Saya belajar dari majalah soal hasil foto dari fotografer luar negeri dari majalah itu. Dari majalah seperti Foto Asia dan Foto Media saya mendapatkan info dari media itu.” (Ali Lutfi, Jakarta Globe dan Kontributor EPA, 38 th) “Saya dapat informasi mengenai DSLR itu dari toko kamera, majalah dan dari temen-temen, banyak saat itu temen-temen yang pindah ke DSLR jadi saya tanya-tanya mereka. Kalau yang terakhir beli kamera ini saya banyak tanya nya ke penjual kamera nya malahan apa kelebihan dan kekurangan kamera ini. Kalau saya jadi orang tu sering nanya ke temen seperti senior saya dari Jogja. Dia yang sering pertama kali nyoba teknologi baru, jadi sering nanya ke dia.” (Pang Hway Seng, Fotografer Profesional, 63 th) commit to user
91 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Rogers (1983 : 200) memberikan beberapa asumsi mengenai tingkatan penggunaan saluran komunikasi dalam proses difusi tersebut. 1. Asumsi 1 : Mass media relatif lebih penting pada fase pengetahuan dan saluran komunikasi interpersonal lebih penting pada fase persuasi Sill (1958) menemukan bahwa jika menginginkan daya serap terhadap adopsi bisa tinggi, maka diperlukan penggunaan saluran komunikasi dengan waktu ideal dan secara berkelanjutan, bergantian antara penggunaan saluran media massa kemudian saluran interpersonal. Pada fase pengetahuan mengenai inovasi, penggunaan media massa memberikan perhatian / awareness, menuju grup, dan pada akhirnya menuju masing-masing individu. Daya dorong pengetahuan terhadap inovasi diciptakan oleh media massa untuk kemudian saluran interpersonal berperan menggerakan individu pada fase persuasi. ,sedangkan mas media keseluruhan merupakan kosmopolitan. 2. Asumsi 3 : Saluran media massa relatif lebih penting dibanding saluran interpersonal untuk adopter tingkat awal dibanding adopter tingkat akhir. Pada saat ini inovator hanyalah satu-satunya tingkatan dalam sistem difusi yang mengadopsi sebuah ide baru sehingga tidak ada seorang pun dalam sistem yang berpengalaman dengan inovasi. Seorang late adopter tidak perlu berhubungan langsung dengan media massa, dirinya lekat dengan saluran interpersonal pada sistem sosial. Early adopter membutuhkan informasi karena sifatnya yang suka berpetualang mencari informasi, untuk itu stimulus dari media massa cukup untuk menggerakan mereka. Sedangkan late adopter membutuhkan pengaruh yang kuat dan cepat, seperti jaringan interpersonal. Model komunikasi multi-step flow secara umum dapat diterima untuk menjelaskan saluran komunikasi dan pola penyebaran pesan dalam proses difusi inovasi. Model multi-step flow menyadari adanya banyak penghubung antara media dan final receiver, model ini melihat lebih banyak kemungkinan dalam proses penyebaran dan penerimaan pesan. Dalam proses difusi inovasi, commit to user
92 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
individu tertentu akan mendengar langsung sebuah informasi melalui media dimana individu yang lain tidak melakukannya (Littlejohn, 2002 : 314). Segala informasi yang minim melalui media tersebut menciptakan rasa ingin tahu tentang apa saja yang bisa dihasilkan melalui teknologi DSLR ini. Hal ini membawa mereka kepada fase selanjutnya dalam proses difusi inovasi. Bergerak dari fase kognitif menjadi afektif.
2.
Persuasion Stage (Tahapan Persuasi) Tahapan ini menunjukan bagaimana seorang individu bersikap setelah melalui tahapan pertama dalam pengetahuan. Seorang individu akan terlibat lebih secara psikologis kepada inovasi tersebut: mereka akan aktif mencari informasi mengenai sebuah ide baru, dimana mereka mencari informasi, pesan apa yang mereka terima, dan bagaimana mereka menginterpretasikan pesan tersebut. Pada tahapan persuasi yang erat hubungannya dengan proses pengambilan keputusan, seorang individu akan aktif mencari beberapa tipe informasi, yakni : innovation-evaluation information yang mana untuk mengurangi ketidakpastian tentang konsekuensi yang diharapkan pada sebuah ide baru (inovasi). Tipe informasi ini didapat dengan mudah melalui evaluasi ilmiah mengenai inovasi, biasanya bersifat subjektif berasal dari orang terdekat yang telah menggunakan ide tersebut dan sangat meyakinkan. A preventive innovation adalah ide baru yang diadopsi individu dalam rangka menghindari peristiwa yang tidak diinginkan terjadi di masa depan (Rogers, 1983 : 169). Proses pencarian informasi pada tahap ini sangat mempengaruhi sisi afektif dibanding kognitif individu saat mendapatkannya. Inidividu pada kategori ini akan mencari informasi yang terkait dengan segala sesuatu yang mengurangi ketidakpastian terhadap produk inovasi yang akan diadopsi. Karakter sebuah inovasi yang mempengaruhi penerimaan oleh seorang individu dapat dijelaskan sebagai berikut (Rogers, 213-232) : commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
93 digilib.uns.ac.id
a. Relative Advantage (Kegunaan Relatif) Adalah sebuah tingkatan dimana inovasi diterima sebagai sesuatu yang lebih baik untuk menggantikan sebuah ide. Tingkat relatifitas ini bisa diukur melalui faktor ekonomi, kepuasan, dan kecocokan dalam menggunakan sebuah inovasi. Makin tinggi sebuah keuntungan relatif dari inovasi, maka makin cepat pula sebuah adopsi akan terjadi. Pada tahapan ini hampir semua menyadari pentingnya DSLR dalam menunjang kinerja mereka. Kamera analog sudah tidak lagi menjadi acuan karena dirasa sudah tidak mampu memenuhi target kerja dan terlalu rumit dalam proses produksi dan pasca produksinya. Relative advantage yang ditawarkan oleh teknologi DSLR mendorong percepatan adopsi teknologi ini. Kepraktisan dan kecepatan yang menjadi daya tarik bagi sebagian fotografer khususunya di dunia jurnalistik. “Kalo pertama makai DSLR sih ga ada kesulitan, malahan DSLR itu sangat memudahkan. Kalau kamera digital sih saya otodidak karena sering belajar dari hasil memakai analog dulu. Internet belum seperti sekarang waktu tahun 2000 itu.” (Sunaryo Haryo Bayu, Fotografer Senior Solopos, 48 th) “Kalau teknis sih hampir mirip dengan analog kok. Ga ada kesulitan. Waktu pakai film sih kurang leluasa. Tinggal pencet kalau pakai pocket atau DSLR, kepraktisan dan kecepatan. Langsung jalan aja waktu itu ga pakai belajar-belajar, karena udah familiar aja dengan analog Nikon saat itu. Hampir sama dengan kamera analog, Cuma banyak mode yang dimainkan di kamera digital. Begitu menerima saya langsung pakai, belajar di lapangan waktu itu langsung saya pakai. Tidak ada kesulitan, malah langsung terbantu saat itu.” (Tarko Sujarno, Jakarta Pos Kontributor Yogyakarta, 52 th) b. Compatibility (Kecocokan) Adalah sebuah tingkatan dimana sebuah inovasi diterima karena konsisten dengan nilai-nilai yang sudah ada, pengalaman masa lalu, dan kebutuhan oleh adopter potensial. Beberapa temuan dari wawancara menunjukan nilai kecocokan inovasi yang mereka coba adaptasi terbantu karena adanya pengalaman masa lalu commit to userbelajar individu pada tahap ini menggunakan analog. Jadi proses
perpustakaan.uns.ac.id
94 digilib.uns.ac.id
berlangsung cepat. Kecocokan terhadap nilai kebutuhan akan produk digital saat itu menjadikan sebagian besar narasumber menjadi tertarik dan terdorong untuk melakukan adopsi. “...Langsung jalan aja waktu itu ga pakai belajar-belajar, karena udah familiar aja dengan analog Nikon saat itu. Hampir sama dengan kamera analog, Cuma banyak mode yang dimainkan di kamera digital.” (Tarko Sujarno, Jakarta Pos Kontributor Yogyakarta, 52 th) “...Kalau kamera digital sih saya otodidak karena sering belajar dari hasil memakai analog dulu.” (Sunaryo Haryo Bayu, Fotografer Senior Solopos, 48 th)
c. Complexity (Kompleksitas/Kerumitan) Adalah sebuah tingkatan dimana sebuah inovasi dilihat dari sisi kesulitan untuk memahami dan menggunakannya. Beberapa inovasi sudah siap untuk dipahami oleh beberapa anggota sistem sosial : anggota yang lain mungkin merasa rumit dan lambat dalam mengadopsi. Nilai kerumitan pada teknologi digital DSLR mampu teratasi dengan tingkat kemahiran narasumber ketika menggunakan analog. Mereka menyebut teknologi ini tidak berbeda jauh dari sisi penggunaan dengan kamera analog terdahulu. Hal ini membuat proses adopsi berlangsung cepat. Bisa dikatakan pengalaman masa lalu dengan produk analog membawa nilai tambah tersendiri yang mempermudah mereka. Informasi mengenai kamera digital untuk mempermudah penggunaan bukan menjadi hal yang mutlak lagi. Kesulitan yang dialami bagi pengguna awal ini adalah proses post produksi terkait dengan editing yang tidak secara langsung berhubungan dengan adopsi teknologi ini. “...Langsung jalan aja waktu itu ga pakai belajar-belajar, karena udah familiar aja dengan analog Nikon saat itu. Hampir sama dengan kamera analog, Cuma banyak mode yang dimainkan di kamera digital. Begitu menerima saya langsung pakai, belajar di lapangan waktu itu langsung saya pakai. Tidak ada kesulitan, malah langsung terbantu saat itu.” (Tarko Sujarno, Jakarta Pos Yogyakarta, 52 th) commit to Kontributor user
perpustakaan.uns.ac.id
95 digilib.uns.ac.id
“Tidak ada kesulitan dalam transisi penggunaan kamera analog ke digital. Kesulitan lebih ke post produksi nya. Masalah komputer yang lambat pada saat itu.” (Ali Lutfi, Jakarta Globe dan Kontributor EPA, 38 th) “Saya ga ada kesulitan menggunakan kamera DSLR itu, kesulitannya justru pada post produksinya, bagaimana memproses di komputer itu sendiri. Hitungan hari saya belajar. Tidak lama saya belajar, dari sales nya saja saya sudah bisa mengoperasikan. Lebih susahnya ya itu bagaimana back up data nya, gimana kalo file rusak, gimana edit nya, seperti itu lah susahnya.” (Pang Hway Seng, Fotografer Profesional, 63 th) d. Trialability (Percobaan) Adalah tingkatan dimana sebuah inovasi dapat di eksperimen dengan batasan dasar. Sebuah inovasi atau ide baru yang bisa dicoba dalam rencana instalasi akan lebih cepat diadopsi dibanding sebuah ide baru yang tidak bisa dicoba. Meskipun informasi yang didapatkan dari berbagai media masih minim, tingkat pengetahuan individu terhadap teknologi analog terdahulu membantu mereka lekas beradaptasi melakukan percobaan dengan inovasi baru. Hal ini menunjukan DSLR merupakan bentuk inovasi yang mudah diadopsi kategori ini. “...Begitu menerima saya langsung pakai, belajar di lapangan. Waktu itu langsung saya pakai.” (Tarko Sujarno, Jakarta Pos Kontributor Yogyakarta, 52 th) “...Hitungan hari saya belajar.” (Pang Hway Seng, Fotografer Profesional, 63 th)
e. Observability (Observatif) Adalah sebuah tingkatan dimana hasil dari sebuah inovasi dapat dilihat oleh orang lain. Makin mudah sebuah hasil inovasi diamati oleh seseorang, maka inovasi tersebut akan mudah untuk diadopsi. commit to user
96 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Informasi yang didapatkan melalui komunikasi interpersonal mengenai sebuah teknologi menjadikan sebuah inovasi mutlak harus memenuhi sarana observability dengan maksud ketika sebuah inovasi sudah diadopsi tingkat penggunaanya pun harus mudah diamati orang lain agar proses persebaran informasi dapat cepat berlangsung. Pada fase ini saluran komunikasi interpersonal memberi nilai tambah bagi persebaran informasi, artinya sebuah inovasi harus mampu di observasi secara verbal maupun non verbal. Ketika inovasi mampu disaksikan nilai lebih nya, maka proses adopsi akan berjalan cepat. “...Kalau saya jadi orang tu sering nanya ke temen seperti senior saya dari Jogja. Dia yang sering pertama kali nyoba teknologi baru, jadi sering nanya ke dia.” (Pang Hway Seng, Fotografer Profesional, 63 th)
3.
Decision Stage (Tahapan Keputusan) Tahapan pengambilan keputusan terjadi ketika seorang individu atau unit pengambilan keputusan lain terlibat dalam aktivitas yang bertujuan untuk memilih atau menolak sebuah inovasi. Adopsi adalah keputusan untuk menggunakan secarap penuh sebuah inovasi jalan tindakaan terbaik. Rejection adalah penolakan dalam menggunakan sebuah inovasi. Pada tahapan ini beberapa narasumber memiliki beberapa alasan yang menguatkan mereka untuk segera mengadopsi sebuah inovasi. Berpindah dari sistem manual menjadi digital. Pada fase ini seorang adopter akan mengambil keputusan apakah menerima atau menolak sebuah inovasi. Setiap keputusan disertai alasan yang menguatkan mereka mengenai kegunaan sebuah inovasi. Optional innovation-decisions terjadi ketika individu dalam sistem sosial memutuskan untuk mengadopsi sebuah inovasi karena keputusan yang merdeka dari dirinya sendiri terlepas dari anggota lain dalam sistem sosial. Meskipun dalam pengambilan keputusannya mereka dipengaruhi oleh norma sosial dan pengaruh komunikasi interpersonal. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
97 digilib.uns.ac.id
“Ya karena di analog itu mahal di produksi, beli developer dan sebagainya. Sangat mahal. Kesulitan di lapangan sangat banyak dengan manual, terbatasnya jumlah roll film terutama. Kalau kita dipaksa makai analog ya kalah kita.” (Sunaryo Haryo Bayu, Fotografer Senior Solopos, 48 th) “Waktu itu sih tuntutan keadaan, karena pocket sudah tidak bisa menuruti kecepatan kerja terutama deadline. Kamera DSLR memotong banyak proses kerja dibandingkan dengan analog.” (Tarko Sujarno, Jakarta Pos Kontributor Yogyakarta, 52 th) “Terutama kemudahan ya, proses analog ke hasil fisik biasanya kita membutuhkan 1 jam. Efisiensi waktu, biaya, DSLR sangat memudahkan pekerjaan kita.” (Ali Lutfi, Jakarta Globe dan Kontributor EPA, 38 th) “Saya harus memakai DSLR, saya berfikiran kalau saya tidak memakai DSLR saya mati, waktu itu periode 2001-an toko kamera yang menjual film sudah bangkrut, lalu saya dapat film darimana? Dari majalah Foto Indonesia saya biasanya dapat kabar soal perkembangan dunia kamera, misal isu pailitnya Kodak, makanya saya jadi ngeri. Makanya saya terus terpaksa belajar DSLR itu.” (Pang Hway Seng, Fotografer Profesional, 63 th) Dalam proses penciptaan dan interpretasi pesan ini terdapat fakta pada salah satu narasumber bahwasanya dalam pengadaan kamera DSLR pengambilan keputusan adopsi merupakan proses pertukaran informasi dan bergantung pada keputusan seorang early adopter. Hal ini terkait hirarki perusahaan yang mengharuskan pengadaan dan keputusan mengadopsi teknologi DSLR tertentu merupakan hasil pertukaran informasi dengan early adopter. Sementara pada narasumber lain pengadaan atau adopsi kamera tidak mengalami proses seperti ini dikarenakan mereka secara sukarela menerima kamera (disediakan oleh kantor) ataupun merupakan kepemilikan pribadi. Collective innovation-decisions adalah pilihan untuk mengadopsi atau menolak inovasi yang dibuat secara konsesus diantara anggota dari sistem sosial. Semua anggota unit dari sistem sosial biasanya akan patuh terhadap keputusan dari sistem ketika melakukan adopsi. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
98 digilib.uns.ac.id
“...Kalau pengadaan kamera sih kita yang ngasih saran, misal pakai merk ini hasil seperti ini, kemudahan ini. Saya sharing ke bagian umum untuk pengadaan, kita sharing dengan mereka. Kita meyakinkan mereka pentingnya penggunaan kamera digital itu seperti itu. Kalau bagian umum berorientasi harga sedangkan kita teknis. Sering terjadi crash waktu itu awal-awal penggunaan kamera digital itu. Biasanya soal pengadaan kamera itu. Biasanya karena perbedaan orientasi tadi. Kita ngasih perbandingan tu, bagaimana kalau memakai digital di Kompas atau Jawa Pos. Kadang mereka kurang bisa menerima karena alasan harganya terlalu mahal.” (Sunaryo Haryo Bayu, Fotografer Senior Solopos, 48 th) Pada tahapan pengambilan keputusan, penting bagi seorang inovator untuk menghasilkan relative advantage bagi calon adopter yang ingin mereka tuju karena tidak ada satu inovasi yang mampu diadopsi tanpa melalui proses trial atas inovasi tersebut. Ketika relative advantage dirasakan seorang adopter maka akan mendorong mereka pada proses adopsi inovasi secara menyeluruh. Ketika seorang adopter memilih sebuah inovasi, tentunya mereka sudah mengalami reduksi informasi yang mengurangi ketidakpastian akan inovasi yang akan diadopsi. Innovasi yang baru haruslah memenuhi kelima unsur tersebut diatas untuk memberi kemudahan adopsi ke depannya. Segala kemudahan yang ditawarkan oleh DSLR pada waktu itu membuat semua subjek pada penelitian ini menyatakan bahwa keputusan mereka melakukan adopsi terhadap sebuah inovasi DSLR merupakan hal yang mutlak dilakukan. Selama melakukan adopsi tersebut semua narasumber tidak lagi mempermasalahkan kompleksitas tingkat kesulitan penggunaan, semua teratasi pada saat mereka menggunakan sistem analog. Karena pada dasarnya penggunaan kamera adalah sama saja menurut mereka.
b. Early Majority Sebagai Komunikator (Message Dissemination) Seperti yang telah disinggung di atas, proses difusi inovasi memiliki beberapa fase jika dilihat dari kategori adopter berdasar fase waktu (lama) adopsi sebuah ide baru. Namun, dalam penelitian ini peneliti juga ingin to userterkait dengan proses persebaran menitikberatkan pada prosescommit komunikasi
99 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
pesan (message dissemination) dan penerimaan pesan (message reception). Pesan disini adalah ide baru yang akan ditransmisikan, jadi bagaimana masing-masing kategori adapter melakukan fungsi transmisi pesan (ide baru) hingga mengalami proses adopsi secara penuh. Message atau pesan adalah titik fokus utama kajian dalam proses komunikasi. Dalam ranah ilmu komunikasi kita akan dihadapkan pada pertanyaan bagaimana menciptakan pesan yang efektif ? Karena inti dari proses komunikasi adalah bagaimana seorang komunikator meramu pesan untuk mencapai goal dari proses komunikasi. Dalam proses penciptaan pesan ini, kategori adopter akan berperan sebagai komunikator. Apa yang perlu dilakukan sebelum seorang menciptakan sebuah pesan ? Sebagai contoh seorang inovator yang akan melakukan penciptaan pesan akan berfikir terlebih dahulu bagaimana mereka merepresentasikan diri mereka kepada audiens, media apa yang akan digunakan, dan pesan apa yang mampu mewakili target audiens nya tersebut. Dalam penelitian ditemukan bahwasanya pesan yang disampaikan seorang adopter pada kategori ini adalah proses persebaran pesan (message dissemination) yang bertujuan bukan untuk memberikan masukan untuk penggunaan merk tertentu dari sebuah produk inovasi. Artinya sebuah persebaran informasi mengenai teknologi berjalan lambat pada kategori di bawahnya. Dari segi teoritis Rogers (1983) meyebut kategori ini seharusnya memiliki power untuk menekan kategori di bawahnya (late majority) untuk menggunakan sebuah inovasi. Pada lingkungan yang homophily seperti inilah seharusnya sebuah inovasi mampu di difusikan dengan baik. Namun, fakta dilapangan yang didapatkan adalah penyampaian informasi yang non teknis dan pengalaman kerja terkait dunia fotografi dan sangat jarang memberikan masukan mengenai sebuah merk tertentu. Semua lebih pada presentasi mereka di lapangan sebagai seorang fotografer (etika foto jurnalis). Penciptaan pesan ini terjadi dalam bentuk sharing, namun intensitas membicarakan inovasi teknologi DSLR disini sangat minim terjadi. Aktivitas komunikasi sering dilakukan melalui media tatap muka. commit to user
100 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
“Sering saya sharing soal fotografi di PFI Solo dan memberikan pelatihan juga. Saya dalam sharing tidak pernah membicarakan merek. Paling saya bercerita soal pengalaman dari analog ke digital. Periode tahun 2000-an saat perpindahan dari analog ke digital. Saya waktu itu paling sering bercerita soal bagaimana ribetnya penggunaan kamera analog, mulai dari proses scan, olah film. Sementara digital saya tinggal copy. “... Biasanya saya sharing soal foto lewat slide show, kalau cuma tatap muka ga bisa sharing. Tapi saya ga pernah lewat media internet untuk sharing. Kalau di kantor sih cuma sharing, ga ada pelatihan antar fotografer. Kalau ke junior saya ga pernah ngajari, Cuma sharing sering. Biasanya kita ngomongin hasil, kalau secara teknis saya abaikan.” (Sunaryo Haryo Bayu, Fotografer Senior Solopos, 48 th) Tidak jarang sharing terjadi untuk membandingkan hasil dari sebuah merk kamera Canon dengan merek kamera Nikon. Hal ini lebih pada sharing hasil bukan menentukan keunggulan sebuah merek di balik hasil tersebut. “Saya jarang sih mengisi forum-forum soal kamera. Kalau sharing sih iya ada, biasanya dengan temen sendiri aja. Sharing nya biasanya macem-macem, kita bicara soal hasil dibandingkan dengan foto lain. Saya dari dulu pakai Nikon, biasanya sharing juga kalau pakai Canon itu gimana bedanya. Sering juga kalau kita sharing soal kamera itu, teknis-teknis fotografi misalnya. Terutama dengan anak-anak muda itu ya ? saya biasanya sih tanya ke mereka. Saya justru percaya dengan temen-temen muda, mereka lebih cepet menerima informasi, jadi saya lebih sering sharing dengan mereka, soal ini itu.” (Tarko Sujarno, Jakarta Pos Kontributor Yogyakarta, 52 th) “Saya sering sharing tapi bukan masalah teknologi, karena sudah sangat lama beredar teknologi digital itu, sekarang siapa sih yang masih pakai analog ? transfer knowledge lebih pada hasil. Kalau teknis semua hampir sama antara analog dan digital. Basic nya hampir sama.” “... Kalau saya sering tatap muka untuk forum-forum, lewat mengajar,
diskusi
ataupun
menjadi
pembicara
workshop.” (Ali Lutfi, Jakarta Globe dan Kontributor EPA, 38 th) commit to user
dalam
perpustakaan.uns.ac.id
101 digilib.uns.ac.id
“Kalau saya sekarang aktifnya di forum HSB (Himpunan Solo Bengawan), tapi jarang juga untuk sharing ke teman-teman atau junior saya. Kalau lewat forum saya lebih sering mengajarkan kepada junior untuk belajar dari manual book lebih dulu agar mereka mengenal kameranya masing-masing. Cara saya memberitahu mereka adalah dengan mereka mengoperasikan kameranya sendiri. Saya ga mau memberikan pengajaran sampai ke mendetail ke teknis nya. Saya lebih menekankan bagaimana mengoreksi hasil.” (Pang Hway Seng, Fotografer Profesional, 63 th) Dalam penelitian ini peneliti mengajukan pertanyaan terkait bagaimana adopter pada kategori ini melakukan proses persebaran pesan kepada kategori adopter di bawahnya yakni kategori late majority. Hampir seluruh subjek penelitian menunjukan menunjukan pandangan yang sama bahwa DSLR sebagai sebuah tools semata. Tidak ada penekanan untuk menggunakan sebuah merek atau kamera tertentu. Peneliti berasumsi hal ini terkait rekam jejak mereka selama puluhan tahun menjalani profesi sebagai fotografer di lapanagan. Dimana kinerja seorang fotografer lebih dinilai pada hasil bukan alat yang mereka gunakan. Mereka tahu benar bagaimana menyikapi sebuah perkembangan teknologi. “Saya ga pernah ngasih saran. Cuma pernah beberapa kali ke hobiis untuk menggunakan kamera digital. Kalau ke fotojurnalis jarang, kan udah pinter semua ? Kalau ke hobiis yang temen-temen, saya lebih ke teknis, mereka lebih ke teoritis sama fanatik merek tertentu. Kalau beberapa tementemen saya sih ada yang tanya ke saya soal kamera tertentu, kalau saya sih lebih ke hasilnya bukan teknis kameranya secara mendetail.” (Sunaryo Haryo Bayu, Fotografer Senior Solopos, 48 th) “Kalau saya ke junior sih ga pernah kasih masukan merekmerek tertentu, karena saya beranggapan kalau kamera itu cuma alat saja, semua tergantung pribadi masing-masing fotografer itu sendiri. Dan semua kamera jaman sekarang sih sama semua teknologinya, semua tergantung kita. Saya ga pernah mendebat soal hasil merek Canon dengan Nikon, sering ngobrolin soal itu sih tapi semuanya mengalir saja. Saya ga fanatik merek-merek tertentu Cuma kebiasaan aja merek Nikon sejak awal menggunakan kamera DSLR.” (Tarko Sujarno, Jakarta Pos Kontributor Yogyakarta, 52 th) commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
102 digilib.uns.ac.id
“Saya ga pernah kasih masukan masalah brand. Saya tidak mengharuskan memakai brand terrtentu, tinggal bagaimana kamu menghasilkan sebuah karya dengan teknologi apapun yang kita miliki. Percuma punya teknologi kalau tidak bisa memanfaatkannya.” (Ali Lutfi, Jakarta Globe dan Kontributor EPA, 38 th) “Kalau dimintai pertimbangan sih sering untuk brand-brand tertentu, tapi istilahnya saya tidak mengunggulkan spesifikasi kamera, tapi keunggulan masing-masing merek saya bisa bandingkan. Tapi kalau secara hasil tidak bisa dibedakan, sudah standar semua. Keunggulan biasanya di kecepatan saja antar satu merek dengan lainnya. “ (Pang Hway Seng, Fotografer Profesional, 63 th) Temuan yang menarik didapatkan pada kategori ini, ketika sebuah teknologi seharusnya mampu dikomunikasikan kepada kategori di bawahnya melalui power dan senioritas yang dimiliki, namun kenyataanya tidak terjadi. Merupakan hal yang tabu ketika harus membandingkan merek-merek tertentu yang mereka gunakan. Orientasi hasil menjadi hal yang mutlak bagi semua fotografer senior pada kategori ini. Secara teoritis apa yang dilakukan oleh kategori kelompok ini tidak melakukan penciptaan pesan yang mengajak kategori di bawahnya (late majority) untuk secara langsung dan terangterangan mengajak mereka menggunakan inovasi tertentu yang telah mereka gunakan. Apa yang mereka sampaikan kepada junior atau rekan mereka adalah bagaimana menggunakan kamera dengan benar bukan memilih atau mendorong pada merek tertentu, karena bagi kategori ini teknologi hanya sarana mencapai hasil. Pada tahap ini sebenarnya terlihat proses bagaimana proses berbagi pengalaman antara komunikator dengan komunikan nya.
C.4. Late Majority a. Late Majority Sebagai Komunikan (Message Reception) Proses komunikasi yang terjadi pada kategori ini adalah bagaimana anggota dalam kategori ini menerima pesan (message reception) atau informasi mengenai DSLR. Pada kategori ini mereka tidak lagi mentransmisikan pesan (message dissemination) pada kategori di bawahnya. Karena pada kategori ini mereka tidak commit tokategori user di bawahnya (Laggards). lagi mempunyai power untuk mempengaruhi
103 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Proses penerimaan pesan pada kategori ini sendiri dimulai dengan bagaimana seorang komunikan melakukan proses pencarian atau pengumpulan informasi yang memiliki keterkaitan dengan sebuah inovasi. Informasi mengenai teknologi inovasi bisa didapat dari berbagai saluran komunikasi yang digunakan. Dalam proses penerimaan informasi ini peneliti menghubungkan dengan aspek teori dalam difusi inovasi, dimana sebelum suatu kategori mengadopsi sebuah inovasi dibutuhkan beberapa fase yang harus dilewati. Proses penerimaan pesan (message reception) dilakukan seorang late majority melalui berbagai saluran komunikasi. Kebanyakan dari mereka mulai menggunakan media cetak dan elektronik seperti internet pada saat itu. Hal ini terjadi karena masa dimana mereka menggunakan kamera DSLR untuk pertama kali, gelombang informasi melalui internet tengah mengalami booming. Selain itu pada kategori ini adopter
menggunakan
saluran
komunikasi
interpersonal
dalam
rangka
mengumpulkan informasi mengenai kamera DSLR. Kategori senior sebelum mereka (early majority) tidak memiliki peran dalam memberikan informasi terkait teknologi inovasi DSLR tertentu. Bisa dikatakan subjek penelitian pada kategori ini tidak menggunakan pertimbangan dari early majority dalam proses adopsi teknologi. Informasi lebih digali dari inovator sebagai penyaji informasi teknis. Sedangkan kategori early majority memberikan informasi bersifat non teknis. Karena dari sisi pencarian informasi kategori ini lebih aktif dalam menggunakan berbagai media saluran komunikasi termasuk media elektronik melalui internet. Rogers (1983 : 164-185) memberikan gambaran tentang beberapa tahapan dalam proses pengambilan keputusan dalam difusi inovasi sebagai berikut:
1.
Knowledge Pada tahapan ini, individu atau unit pengambilan keputusan lain merasakan terpaan inovasi yang ada dan mencapai pemahaman bagaimana inovasi tersebut berfungsi. Tipe pencarian informasi pada tahapan ini dapat dijabarkan menjadi, software information, yang terdapat pada inovasi itu sendiri dan mampu mengurangi ketidakpastian tentang hubungan sebab dan akibat yang terlibat dalam rangka meraih hasil yang kitato inginkan (seperti menyadari adanya commit user
104 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
kebutuhan dan masalah individu),
how-to knowledge yang terdiri atas
penggunaan informasi penting untuk menggunakan inovasi dengan benar. Ketika seorang individu tidak mendapat informasi memadai pada tahapan ini, maka mereka akan menolak atau tidak meneruskan sebuah inovasi. Principles knowledge terdiri atas informasi yang berkenaan dengan fungsi dasar yang menjadi pokok bagaimana sebuah inovasi bekerja. Pada bagian ini kita melihat bagaimana individu setuju dengan cara kita mengorganisasi
dan
mengatur
informasi
dan
bagaimana
informasi
mempengaruhi sistem kognitif kita (Littlejohn, 2002 : 123). Information-Integration
Theory
melihat
bagaimana
seseorang
mengumpulkan dan mengorganisasi informasi tentang orang lain, objek, situasi, atau ide dan bentuk perilaku (Littlejohn, 2002 : 123). Ada beberapa variabel penting bagaimana sebuah informasi mampu mengubah pola perilaku kita, informasi harus memenuhi dua syarat, yakni Valence, bagaimana sebuah informasi mendukung kepercayaan kita dan sikap yang kita miliki, informasi memiliki “positive valence” namun, ketika sebuah informasi tidak mendukung sikap dan kepercayaan kita informasi tersebut mengandung “negative valence” (Littlejohn, 2002 : 123). Variabel selanjutnya adalah weight , ketika sebuah informasi dirasa memiliki sebuah kebenaran maka kita akan memberikan weight atau penekanan / perhatian yang lebih tinggi atas informasi tersebut. Namun, ketika informasi dirasa tidak benar, tingkat penekanan akan rendah. Sebuah sikap terdiri atas akumulasi dari informasi tentang objek, personal, situasi, dan pengalaman. Perubahan sikap terjadi karena informasi baru menambah sikap atau merubah salah satu pandangan mengenai weight dan valence dari informasi lain. Dalam teori difusi inovasi, kategori ini merupakan kategori late adopter dimana tingkat penerimaan informasi mengenai inovasi tergolong lambat. Namun, dari sisi penggunaan teknologi untuk mendapatkan informasi, kategori ini adalah mereka yang melek internet. Seiring dengan booming internet pada waktu itu, maka informasi mengenai teknologi kamera DSLR mulai banyak bermunculan disediakan oleh situs-situs tertentu commit to user di dunia maya. Selain itu media
perpustakaan.uns.ac.id
105 digilib.uns.ac.id
cetak seperti majalah serta interaksi dengan individu lain melalui komunitas maupun interpersonal tetap digunakan sebagai acuan mendapatkan informasi. Informasi yang didapatkan melalui media seperti internet lebih banyak digunakan untuk mencari tahu mengenai proses pengambilan foto yang baik, sedangkan saluran interpersonal dijadikan pertimbangan pembelian produk DSLR itu sendiri. Pada kategori muda ini, saluran komunikasi yang digunakan untuk mengumpulkan materi mengenai produk inovasi sangat beragam, namun kebanyakan tidak mencari informasi mengenai apa itu inovasi DSLR ? peneliti melihat temuan ini sebagai hal baru dimana proses knowledge menjadi minim dilakukan. Hal ini bisa terjadi karena sebagian besar anggota sistem sosial sudah mengadopsi teknologi DSLR dan atau mereka telah melihat penggunaan DSLR melalui berbagai media (komunitas foto) atau penggunaan kamera analog sebelumnya. “Saya kenal DSLR dari teman-teman, nyoba-nyoba pakai. Selain itu saya sering baca majalah Chip Foto Video saat itu saya baca-baca preview kamera lewat media itu sekitar tahun 2006-an. Kadang saya lihat dulu hasil-hasil dari fotografer Kompas atau Radar Jogja.” (Kurniawan Arie, Fotografer Harian Joglosemar, 28 th) “...Biasanya lewat internet, majalah, sekitar seminggu dua kali mungkin. Informasi yang saya cari lebih ke dramatisasi foto, pemilihan angle, lebih ke pemilihan foto. “ (Agoes Rudianto, Kontributor Kantor Berita Turki, 28 th)
“...Maksudnya ? kalau untuk membelinya saya dulu nanyananya temen dulu cari info.” (Fahmi Widayat, Fotografer Profesional, 30 th) “...Saya dulu dapat referensi soal DSLR itu dari teman, dan internet. kalau penggunaan kameranya saya dapatkan dari manual book kamera.” (Fahmi Widayat, Fotografer Profesional, 30 th) “Kalau dari internet biasanya commit to user lebih ke perbandingan harga dan detail spesifikasinya, kalau jaman itu belum ada situs yang
perpustakaan.uns.ac.id
106 digilib.uns.ac.id
signifikan membahas fotografi seperti sekarang ini. Dulu Cuma pake google untuk mencari website toko-toko kamera untuk mengecek harga saja.” (Hasan Sakri Ghozali, Fotografer Tribun Jogja, 28 th) Ada dua saluran menurut Rogers yang lazim digunakan, yakni mass media channels dan interpersonal channels. Mass media adalah segala sesuatu yang digunakan sebagai sarana transmisi pesan, meliputi radio, televisi, koran, dan lainnya yang memungkinkan sumber untuk mencakup beberapa audiens. Di sisi lain, saluran interpersonal lebih efektif untuk membujuk seorang mengadopsi ide baru, khususnya jika channel interpersonal tersebut menghubungkan dua atau lebih individu yang berdekatan (Rogers, 1983 : 17). Saluran komunikasi melalui media massa dirasa mampu menjangkau target audiens secara luas, namun dari efek perubahan perilaku, saluran komunikasi interpersonal memiliki cakupan yang lebih efektif. Saluran komunikasi melalui media massa menemui hambatan karena kompleksnya audiens. Jaringan dan koneksi antar individu tidak bisa diprediksi. Untuk itu saluran komunikasi individu melalui komunikasi interpersonal dirasa mampu menjangkau jaringan sosial tersebut. Sedangkan saluran interpesonal dianggap mampu memberikan pengaruh yang kuat. Saluran komunikasi interpersonal meliputi penyampaian pesan melalui proses tatap muka antar dua individu atau lebih. Rogers memberikan beberapa asumsi mengenai tingkatan penggunaan saluran komunikasi dalam proses difusi tersebut (Rogers, 1983 : 200). 1. Asumsi 1 : Mass media relatif lebih penting pada fase pengetahuan dan saluran komunikasi interpersonal lebih penting pada fase persuasi Sill (1958) menemukan bahwa jika menginginkan daya serap terhadap adopsi bisa tinggi, maka diperlukan penggunaan saluran komunikasi dengan waktu ideal dan secara berkelanjutan, bergantian antara penggunaan saluran media massa kemudian saluran interpersonal. Pada fase pengetahuan mengenai inovasi, penggunaan media massa memberikan perhatian / awareness, menuju grup, dan pada akhirnya menuju masing-masing individu. Daya dorong pengetahuan terhadap inovasi commit to user
107 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
diciptakan oleh media massa untuk kemudian saluran interpersonal berperan menggerakan individu pada fase persuasi. 2. Asumsi 2 : Saluran kosmopolitan relatif lebih penting pada fase pengetahuan (knowledge), dan saluran lokal (localite) relatif lebih penting pada fase persuasi pada proses keputusan-difusi inovasi Cosmpolite communication channel atau secara harfiah saluran komunikasi kosmpolitan, adalah mereka yang berasal dari luar sistem sosial yang tengah diinvestigasi : saluran lain mengenai ide baru yang mencakup individuindividu dari sumber di dalam sistem sosial mereka. Saluran interpersonal masuk ke dalam lokal maupun kosmopolitan, sedangkan mas media keseluruhan merupakan kosmopolitan. Dalam proses difusi inovasi komunikasi menjadi titik penting bagaimana sebuah pesan dapat dikomunikasikan. Sebelum memahami proses difusi inovasi melalui saluran komunikasi perlu adanya pemahaman mengenai unsur source dan channel. Source atau sumber adalah individu atau organisasi yang menciptakan pesan. Sedangkan channel adalah sarana yang digunakan untuk menyebarkan pesan pada penerima (receiver) (Rogers, 1983 : 198). Littlejohn (2002 : 314) menyatakan model komunikasi multi-step flow secara umum dapat diterima untuk menjelaskan saluran komunikasi dan pola penyebaran pesan dalam proses difusi inovasi. Model multi-step flow menyadari adanya banyak penghubung antara media dan final receiver, model ini melihat lebih banyak kemungkinan dalam proses penyebaran dan penerimaan pesan. Dalam proses difusi inovasi, individu tertentu akan mendengar langsung sebuah informasi melalui media dimana individu yang lain tidak melakukannya.
2.
Persuasion Stage (Tahapan Persuasi) Tahapan ini menunjukan bagaimana seorang individu bersikap setelah
melalui tahapan pertama dalam pengetahuan. Seorang individu akan terlibat lebih secara psikologis kepada inovasi tersebut: mereka akan aktif mencari informasi mengenai sebuah ide baru, dimana mereka mencari informasi, pesan apa yang mereka terima, dan bagaimana mereka menginterpretasikan pesan tersebut.
commit to user
108 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Pada tahapan ini anggota kategori ini mulai menindaklanjuti apa yang mereka dapatkan pada fase knowledge. Informasi yang diperoleh lebih dalam mengenai spesifikasi kamera, teknik pengambilan gambar, bahkan olah gambar. Media yang digunakan dalam tahap ini bervariasi, mulai dari media internet sampai dengan komunikasi interpersonal dengan rekan di lapangan. “...Media selain itu saya belajar lewat internet misal dari fotografer.net, klinik foto kompas juga sering saya kunjungi. Keinginan saya menghasilkan foto yang baik membuat saya harus mengkonsumsi informasi soal bagaimana spesifikasi kamera dan teknis penggunaan kameranya.” (Kurniawan Arie, Fotografer Harian Joglosemar, 28 th) “...Selain itu untuk belajar teknis saya sering belajar lewat teman-teman di klub foto Fotkom di Jogja.” (Kurniawan Arie, Fotografer Harian Joglosemar, 28 th) “Kalau saya jarang mengikuti perkembangan teknologi, kalau dituruti ga ada habisnya, kalau memperhatikan perkembangan kamera digital sih sekali dua kali, kalau diturutin sekarang bisa banyak sekali perkembangan nya, dan tentunya harga semakin mahal.” (Agoes Rudianto, Kontributor Kantor Berita Turki, 28 th) “...Tapi kalau mempelajari teknis dan spesifikasinya saya biasa nanya temen-temen yang sudah duluan makai mas, kadang browsing di internet juga lewat media Facebook biasanya.” (Fahmi Widayat, Fotografer Profesional, 30 th)
“...Kalau dari teman biasanya kita ngomongin soal merek kamera tertentu, seperti kelebihan dan kekurangannya serta memaksimalkan dana yang dimiliki untuk memiliki teknologi terbaru.” (Hasan Sakri Ghozali, Fotografer Tribun Jogja, 28 th)
commit to user
109 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Sama seperti kategori adopter diatas mereka, pencarian informasi mengenai DSLR dipengaruhi beberapa karakter inovasi (Rogers, 213-232) yang dapat dijelaskan sebagai berikut : a.
Relative Advantage (Kegunaan Relatif) Adalah sebuah tingkatan dimana inovasi diterima sebagai sesuatu yang lebih baik untuk menggantikan sebuah ide. Tingkat relatifitas ini bisa diukur melalui faktor ekonomi, kepuasan, dan kecocokan dalam menggunakan sebuah inovasi. Makin tinggi sebuah keuntungan relatif dari inovasi, maka makin cepat pula sebuah adopsi akan terjadi. Kegunaan dari DSLR yang sangat membantu memudahkan membantu cepatnya adopsi teknologi pada kategori ini. Setelah mengumpulkan berbagai informasi melalui berbagai saluran komunikasi. Keuntungan yang ditawarkan oleh produk inovasi ini menjadi daya tarik untuk diadopsi. Nilai tambah dari sisi kecepatan pengambilan gambar dan kebutuhan mengejar deadline kerja saat itu menjadikan proses adopsi berlangsung cepat. “Saya mulai berpindah ke digital karena kebutuhan magang saya di Antara
Foto,
karena
kebutuhan
di
lapangan
yang
mengharuskan kita menggunakan DSLR.” (Kurniawan Arie, Fotografer Harian Joglosemar, 28 th) “Kebutuhan akan kecepatan mengejar deadline, karena wartawan dituntut untuk mengirim berita dengan cepat, praktis, hemat waktu dan saat gelombang internet yang mulai berkembang.” (Agoes Rudianto, Kontributor Kantor Berita Turki, 28 th) “Kalau dibilang berganti sih belum, karena ya itu tadi kalau walaupun presentasenya kecil tapi kalau masih ada permintaan tidak menutup kemungkinan untuk menggunakan analog lagi. Gampangnya sementara ini analog untuk hobi dan DSLR untuk profesi saya kebanyakan. Jadi karena tuntutan kebutuhan saya saat ini lebih banyak menggunakan DSLR. Kamera digital lebih cepat dalam proses produksi.” (Fahmi Widayat, Fotografer Profesional, 30 th)
commit to user
110 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
b.
Compatibility (Kecocokan) Adalah sebuah tingkatan dimana sebuah inovasi diterima karena konsisten dengan nilai-nilai yang sudah ada, pengalaman masa lalu, dan kebutuhan oleh adopter potensial. Adanya kesulitan untuk tetap mengadopsi teknologi lama membuat seorang adopter harus berpindah mengadopsi sebuah inovasi baru. “Kemudian waktu itu karena penggunaan analog cukup rumit ribet seperti cetak indexprint dan cuci film kemudian cukup berat di di biaya produksi dan kebutuhan perlengkapan kamera analog seperti roll film semakin susah didapatkan.” (Hasan Sakri Ghozali, Fotografer Tribun Jogja, 28 th)
c.
Complexity (Kompleksitas/Kerumitan) Adalah sebuah tingkatan dimana sebuah inovasi dilihat dari sisi kesulitan untuk memahami dan menggunakannya. Beberapa inovasi sudah siap untuk dipahami oleh beberapa anggota sistem sosial, anggota yang lain mungkin merasa rumit dan lambat dalam mengadopsi. Sama dengan kategori di atas mereka, tingkat kerumitan banyak teratasi ketika mereka merasakan proses pembelajaran melalui kamera analog (hampir seluruh individu pada kategori ini mendapatkan pembelajaran fotografi melalui media analog) hal ini membantu mereka cepat dalam proses adaptasi. Selain itu informasi yang didapatkan melalui komunikasi dengan teman profesi dan komunitas memberi masukan tambahan bagi mereka. “Tidak ada kesulitan, karena pengoperasiannya kan dasarnya sama dengan kamera analog.” (Kurniawan Arie, Fotografer Harian Joglosemar, 28 th)
“Tidak ada kesulitan mas, saat pertama kali menggunakan DSLR.” (Fahmi Widayat, Fotografer Profesional, 30 th)
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
111 digilib.uns.ac.id
“Tidak mengalami kesulitan saat penggunaan. Hampir sama kok penggunaan secara teknis dengan kamera analog. Selama 1-2 hari langsung menguasai penggunaan DSLR karena prinsip memotret itu sama.” (Agoes Rudianto, Kontributor Kantor Berita Turki, 28 th) “Tidak terlalu susah karena kamera analog yang dulu saya gunakan juga dengan merk yang sama dengan kamera digital saya saat itu sehingga tidak perlu banyak penyesuaian juga. Cuma kebiasaan kamera analog kebawa ke digital soal bagaimana menghemat film. Tapi itu enaknya DSLR kita sudah ada kerja semu bisa membuat habit foto udah jadi di kamera. Tidak memerlukan banyak edit-an.” (Hasan Sakri Ghozali, Fotografer Tribun Jogja, 28 th) “Waktu itu karena penggunaan analog cukup rumit ribet seperti cetak indexprint dan cuci film kemudian cukup berat di di biaya produksi dan kebutuhan perlengkapan kamera analog seperti roll film semakin susah didapatkan ditambah lagi kamera digital mulai beredar akhirnya memutuskan untuk membeli kamera digital saat itu.” (Hasan Sakri Ghozali, Fotografer Tribun Jogja, 28 th) d.
Trialability (Percobaan) Adalah tingkatan dimana sebuah inovasi dapat di eksperimen dengan batasan dasar. Sebuah inovasi atau ide baru yang bisa dicoba dalam rencana instalasi akan lebih cepat diadopsi dibanding sebuah ide baru yang tidak bisa dicoba.
e.
Observability (Observatif) Adalah sebuah tingkatan dimana hasil dari sebuah inovasi dapat dilihat oleh orang lain. Makin mudah sebuah hasil inovasi diamati oleh seseorang, maka inovasi tersebut akan mudah untuk diadopsi.
Pada tahapan persuasi yang erat hubungannya dengan proses pengambilan keputusan, seorang individu akan aktif mencari beberapa tipe informasi, yakni : innovation-evaluation information yang mana untuk mengurangi ketidakpastian tentang konsekuensi yang diharapkan pada sebuah ide baru (inovasi). Tipe informasi ini didapat dengan mudah melalui evaluasi ilmiah mengenai inovasi, biasanya bersifat subjektif berasal dari orang commit to userterdekat yang telah menggunakan
112 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
ide tersebut dan sangat meyakinkan. A preventive innovation adalah ide baru yang diadopsi individu dalam rangka menghindari peristiwa yang tidak diinginkan terjadi di masa depan (Rogers, 1983 : 169).
3.
Decision Stage (Tahapan Keputusan) Tahapan pengambilan keputusan terjadi ketika seorang individu atau unit
pengambilan keputusan lain terlibat dalam aktivitas yang bertujuan untuk memilih atau menolak sebuah inovasi. Adopsi adalah keputusan untuk menggunakan secarap penuh sebuah inovasi jalan tindakaan terbaik. Rejection adalah penolakan dalam menggunakan sebuah inovasi. Pada tahapan pengambilan keputusan, penting bagi seorang inovator untuk menghasilkan relative advantage bagi calon adopter yang ingin mereka tuju karena tidak ada satu inovasi yang mampu diadopsi tanpa melalui proses trial atas inovasi tersebut. Ketika relative advantage dirasakan seorang adopter maka akan mendorong mereka pada proses adopsi inovasi secara menyeluruh. Ketika seorang adopter memilih sebuah inovasi, tentunya mereka sudah mengalami reduksi informasi yang mengurangi ketidakpastian akan inovasi yang akan diadopsi. Inovasi yang baru haruslah memenuhi kelima unsur tersebut diatas untuk memberi kemudahan adopsi ke depannya. Pada tahapan ini informasi teknis sudah tidak lagi diperhatikan, karena ratarata para adopter sudah melewati kelima karakter inovasi di atas. Beberapa informan memiliki beberapa alasan yang menguatkan mereka untuk segera mengadopsi sebuah inovasi. Berpindah dari sistem manual menjadi digital. Pada fase ini seorang adopter akan mengambil keputusan apakah menerima atau menolak sebuah inovasi. Setiap keputusan disertai alasan yang menguatkan mereka mengenai kegunaan sebuah inovasi. Rogers (1983 : 29) mengemukakan terdapat tiga bentuk pengambilan keputusan mengadopsi sebuah inovasi, yakni : 1. Optional innovation-decisions terjadi ketika individu dalam sistem sosial memutuskan untuk mengadopsi sebuah inovasi karena keputusan yang merdeka dari dirinya sendiri terlepas dari anggota lain dalam sistem commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
113 digilib.uns.ac.id
sosial. Meskipun dalam pengambilan keputusannya mereka dipengaruhi oleh norma sosial dan pengaruh komunikasi interpersonal. 2. Collective innovation-decisions adalah pilihan untuk mengadopsi atau menolak inovasi yang dibuat secara konsesus diantara anggota dari sistem sosial. Semua anggota unit dari sistem sosial biasanya akan patuh terhadap keputusan dari sistem ketika melakukan adopsi. “...karena kebutuhan di lapangan yang mengharuskan kita menggunakan DSLR.” (Kurniawan Arie, Fotografer Harian Joglosemar, 28 th) “Kebutuhan akan kecepatan mengejar deadline, karena wartawan dituntut untuk mengirim berita dengan cepat, praktis, hemat.” (Agoes Rudianto, Kontributor Kantor Berita Turki, 28 th) “...Jadi karena tuntutan kebutuhan saya saat ini lebih banyak menggunakan DSLR. Kamera digital lebih cepat dalam proses produksi.” (Fahmi Widayat, Fotografer Profesional, 30 th) “Waktu itu karena penggunaan analog cukup rumit ribet seperti cetak indexprint dan cuci film kemudian cukup berat di di biaya produksi dan kebutuhan perlengkapan kamera analog seperti roll film semakin susah didapatkan ditambah lagi kamera digital mulai beredar akhirnya memutuskan untuk membeli kamera digital saat itu.” (Hasan Sakri Ghozali, Fotografer Tribun Jogja, 28 th) Anggota kelompok ini memiliki alasan bervariasi mengenai alasan perpindahan mereka dan mengadopsi kamera digital namun, secara garis besar tuntutan kinerja dan cepat serta deadline menjadi alasan mereka mengadopsi teknologi ini. Kategori senior sebelum mereka (early majority) tidak memiliki peran dalam memberikan informasi terkait teknologi inovasi DSLR tertentu. Bisa dikatakan subjek penelitian pada kategori ini tidak menggunakan pertimbangan dari early commit to user majority dalam proses adopsi teknologi. Informasi lebih digali dari inovator
perpustakaan.uns.ac.id
114 digilib.uns.ac.id
sebagai penyaji informasi teknis. Sedangkan kategori early majority memberikan informasi bersifat non teknis. Karena dari sisi pencarian informasi kategori ini lebih aktif dalam menggunakan berbagai media saluran komunikasi termasuk media elektronik melalui internet. Proses komunikasi pada kategori ini berhenti pada proses penerimaan pesan. Pada kategori ini peneliti melihat bahwasanya persebaran pesan yang dilakukan oleh adopter sudah tidak memiliki power untuk mempengaruhi kategori di bawahnya (laggards), sedangkan peneliti tidak memungkinkan untuk menemui pengguna aktif kamera analog yang saat ini masih aktif di wilayah Solo dan Yogyakarta. Proses penciptaan pesan berupa sharing lebih banyak dilakukan kepada rekan kerja mereka sesama fotografer tanpa ada penekanan atau informasi mendalam mengenai perkembangan teknologi. Seperti halnya kategori sebelumnya bahwa pada kategori ini proses penciptaan dan pertukaran informasi bersifat berbagi pengalaman bukan menekankan aspek teknis. Namun, pada kategori ini beberapa narasumber masih giat bertukar informasi mengenai teknologi DSLR, hal ini menandakan bahwa pada kategori ini mereka lebih aktif mengikuti perkembangan dunia kamera digital dibandingkan dengan kategori yang memiliki power di atas mereka (early majority). “...Untuk sharing saya sering lakukan dengan rekan-rekan sesama foto jurnalis, soal teknis , komposisi, bagaimana menangkap momen. Biasanya sering sharing nya malah dengan junior saya di lapangan. Kadang –kadang merasa pekewuh (sungkan) kalau mau sharing dengan rekan senior.” (Kurniawan Arie, Fotografer Harian Joglosemar, 28 th) “...Untuk teknologi biasanya kalau ada kamera baru yang akan keluar, kita bahas bagaimana misal hasil gambar, speed kamera, pasti itu kita bahas bareng temen-temen. Biasanya kita dapet dari internet, ataupun sosial media soal informasi itu.” (Kurniawan Arie, Fotografer Harian Joglosemar, 28 th) “...Kadang kalau senior jarang malah ga pernah ya ngomongin kamera-kamera tertentu, mereka lebih menggunakan apa adanya. Seringnya malah sama yang muda-muda itu. Mereka lebih update dan terbuka untuk informasi.” (Kurniawan Arie, Fotografer Harian Joglosemar, 28 th) commit to user
115 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
“...Kalau sharing lebih sering untuk tatap muka itu pun bukan ngomongin hal yang bersifat ke tools, tapi dari segi warna, lensa, kamera full frame, crop factor , tapi jarang untuk sesuatu yang bersifat teknis. Untuk saya sharing bareng-bareng ga memandang junior ataupun senior. Kadang saya juga chatting sama temen-temen fotografer yang ada di luar solo juga. Kalau biasanya saya lebih enak ngobrol sama yang seumuran dibanding junior.” (Agoes Rudianto, Kontributor Kantor Berita Turki, 28 th) “...Iya biasanya kalau ketemu teman kerja di lapangan aja mas, lumayan sering tapi kita ngorbrolnya paling juga sebatas soal hasil sama teknis fotografi aja.” (Fahmi Widayat, Fotografer Profesional, 30 th)
Bisa disimpulkan subjek penelitian pada kategori ini tidak secara langsung menggunakan pertimbangan dari early majority dalam proses pengumpulan informasi untuk mengadopsi teknologi. Informasi lebih digali dari inovator sebagai penyaji informasi teknis. Sedangkan kategori early majority memberikan informasi bersifat non teknis. Hal ini terkait dengan hasil penelitian pada kategori early majority dimana mereka tidak melakukan proses penyebaran informasi terkait teknis dan spesifikasi kamera tertentu namun, pesan yang disampaikan adalah hal bersifat non teknis dalam fotografi. Namun, kategori late adopter menjadi menarik karena pada kategori ini individu-individu yang ada di dalamnya aktif membicarakan perkembangan teknologi dan inovasi DSLR. Hal ini bisa dikaitkan makin mudahnya akses kepada sumber informasi misalnya melalui media internet. Segala informasi mengenai perkembangan teknologi DSLR tidak lagi ditransmisikan karena tidak ada kategori laggards yang bisa ditemukan dalam penelitian ini. Hal ini menunjukan kategori ini berisi individu yang tidak skeptis seperti apa yang disebutkan oleh Rogers sebelumnya. Dalam kasus ini kategori late adopter berisi kaum muda yang dinamis mengikuti proses perkembangan teknologi dan rajin mengeksplorasi penggunaan kamera untuk mendapatkan kinerja kamera yang maksimal. commit to user
116 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
D. Kesimpulan Analisa Penelitian Dalam Tabel D.1. Karakteristik Individu Dalam Inovasi Pada tabel pertama peneliti menyajikan rangkuman temuan yang didapatkan terkait dengan karakteristik masing-masing individu dalam kategori inovasi. No 1.
Peran Individu Innovator
Karakteristik Individu • Individu pada kategori ini memiliki pengetahuan tinggi terkait produk yang akan disebarluaskan kepada target pasar mereka. Artinya mereka diwajibkan terbuka atas informasi apapun yang mereka dapatkan terkait dengan persebaran produk. • Individu pada kategori ini memiliki dukungan finansial yang kuat terkait fungsi mereka sebagai kategori pertama yang menyebarkan informasi kepada target pasar yang begitu luas. • Individu pada kategori ini memiliki jaringan informasi yang luas, jaringan informasi terutama informan dari pihak manufaktur untuk mendapatkan informasi produk yang menyeluruh. • Memiliki power untuk mempengaruhi. Kekuatan untuk mempengaruhi dibagi atas kekuatan mempengaruhi ke dalam, yakni kepada pihak marketing dan mempengaruhi target pasar untuk melakukan adopsi produk inovasi mereka.
2.
Early Adopter
• Individu pada kategori ini wajib terbuka atas informasi terkait produk yang akan diadopsi sehingga mereka akan giat mencari informasi untuk menambah pemahaman mereka dan mengurangi segala ketidakpastian terkait produk inovasi. Proses pencarian informasi melalui media elektronik seperti internet hingga proses tatap muka. commit to user
117 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Informasi yang dicari mulai dari spesifikasi kamera, harga kamera, hingga proses after sales nya. • Individu pada kategori ini memiliki jaringan yang kuat. Jaringan ini digunakan untuk mendapatkan informasi mengenai sebuah produk kamera DSLR apa yang tepat untuk diadopsi. • Individu
pada
kategori
ini
memiliki
power
untuk
mempengaruhi. Mereka mempengaruhi ke dalam yakni pada tataran manajerial dan mempengaruhi ke bawah kepada kategori penerima inovasi (early majority). 3.
Early Majority
• Individu pada kategori ini memiliki senioritas dalam proses adopsi inovasi. Mereka cenderung melakukan proses adopsi di saat anggota sistem sosial lainnya belum melakukan adopsi. • Individu pada kategori ini terbuka terhadap informasi. Pada era dimana mereka mencari informasi mengenai DSLR, media cetak dan media komunikasi interpersonal menjadi dua pilihan utama.
4.
Late Majority
• Individu pada kategori ini cenderung lambat dalam proses adopsi. Di saat anggota dalam sistem sosial lain sudah melakukan adopsi, individu pada kategori ini baru melakukan adopsi DSLR. • Individu pada kategori ini terbuka pada informasi. Meskipun lambat pada proses adopsi mereka terbuka pada informasi terkait produk inovasi dan perkembangannya. Booming media internet membantu mereka dalam proses pencarian informasi menjadi lebih mudah.
commit to user
118 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
D.2. Pola Komunikasi Individu Dalam Proses Difusi Inovasi Pada tabel pertama peneliti menyajikan rangkuman temuan yang didapatkan terkait dengan pola komunikasi masing-masing individu dalam kategori inovasi.
No
Peran
Sebagai Komunikator
Individu 1. Innovator
a. Individu akan melakukan proses
penentuan
yang
akan
target
menerima
informasi mengenai produk inovasi mereka. Target penerima informasi ini bisa ke dalam kepada tim marketing dan keluar kepada
target
pasar
pengguna DSLR tersebut. b. Informasi atau pesan mengenai produk DSLR kepada target market disampaikan melalui berbagai media terutama media cetak, elektronik, dan media komunikasi interpersonal. Penggunaan media meliputi above the line dan below the line. c. Komunikator menggunakan endorser untuk menjangkau target pasar commit mereka topara user
Sebagai Komunikan
119 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
pengguna
DSLR
yang
biasanya tergabung dalam komunitas fotografi. Hal ini menunjukan “penggambaran” pengguna
positif
DSLR
yang
diwakili oleh endorser. 2. Early Adopter
a. Dalam menjalankan peran
a. Sebagai komunikan mereka
sebagai
komunikator
mereka
menggunakan
informasi mengenai sebuah
informasi
yang
telah
produk DSLR dari berbagai
dapatkan
untuk
mereka
disebarluaskan.
Individu
menerima
media
pesan
atau
komunikasi
elektronik
melalui
baik email,
pada kategori ini melakukan
website, dan media tatap
proses transmisi pesan ke
muka
dalam,
tertentu (multi-step flow).
yakni
masukan
memberi
mana yang akan diadopsi dan memberi masukan ke luar kepada kategori early yang
akan
b. Proses transmisi pesan akan friksi
terkait
teknologi mana yang akan diadopsi.
Hal
ini
dikarenakan masing-masing individu dari kategori early adopter dan early majority memiliki
b. Informasi yang diterima akan dipilah mana saja informasi yang memiliki bobot dan mampu
mengurangi
ketidakpastian
mengenai
sebuah produk inovasi.
menggunakannya.
mengalami
komunitas
kepada
manajemen produk DSLR
majority
dengan
commit to user pertimbangan
c. Proses pencarian informasi terbagi atas proses knowledge, persuasion, dan decision stage. Pada masingmasing tahap adopsi, penggunaan saluran komunikasi akan berbedabeda. Mulai dari saluran
120 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
masing-masing. Tapi power
komunikasi massa hingga
yang dimiliki oleh individu
interpersonal.
pada
kategori
ini
digunakan
akan untuk
mempengaruhi
top
management perusahaan.
d. Dalam proses penerimaan informasi, individu akan memperhatikan sebuah relative advantage, compatibility, complexity, trialability, dan observability dari sebuah produk inovasi DSLR yang akan diadopsi.
3. Early Majority
a. Sebagai
komunikator
a. Sebagai komunikan mereka
mereka melakukan proses
menerima
penyebaran
informasi
informasi mengenai sebuah
(sharing) kepada kategori
produk DSLR dari berbagai
junior
(late
media komunikasi khususnya
media
media cetak dan tatap muka
majority)
mereka melalui
komunikasi tatap muka.
pesan
atau
(multi-step flow).
b. Informasi yang disebarkan
b. Informasi yang diterima akan
adalah informasi non teknis.
dipilah mana saja informasi
Bukan
informasi
yang memiliki bobot dan
mengenai keunggulan dan
mampu untuk mengurangi
spesifikasi kamera tertentu
ketidakpastian
yang digunakan.
sebuah produk inovasi mana
lagi
mengenai
yang akan diadopsi. c. Bisa dikatakan power yang dimiliki oleh individu pada
c. Proses pencarian informasi
kategori ini tidak digunakan
terbagi
untuk mempengaruhi secara
knowledge, persuasion, dan
langsung
decision stage. Pada masing-
proses
adopsi
inovasi.
masing commit to user
penggunaan
atas
tahap
proses
adopsi, saluran
121 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
komunikasi akan berbedabeda. Mulai dari saluran komunikasi massa khususnya media cetak hingga media komunikasi interpersonal. d. Dalam
proses
informasi,
penerimaan
individu
memperhatikan
akan sebuah
relative
advantage,
compatibility,
complexity,
trialability, dan observability dari sebuah produk inovasi DSLR yang akan diadopsi. Proses transisi dari kamera analog
memberikan
kemudahan tersendiri hingga proses penerimaan informasi yang berhubungan dengan hal
teknis
sangat
minim
dilakukan. 4. Late Majority
a. Sebagai mereka
komunikator
a. Sebagai komunikan mereka
tidak
lagi
aktif menerima pesan atau
power
untuk
informasi mengenai sebuah
mempengaruhi kategori di
produk DSLR dari berbagai
bawahnya (laggards).
media.
memiliki
internet b. Proses informasi dengan
persebaran dilakukan individu
pada
kategori yang sama. to user c. Individu padacommit kategori ini
Media komunikasi yang
booming
saat
itu
mempermudah
proses pencarian informasi mereka.
Kategori
majority
tidak
pertimbangan
early
dijadikan secara
122 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
lebih
terbuka
untuk
melakukan sharing terkait perkembangan
muda dan masih dinamis dunia
fotografi
menjadikan mereka aktif mencari
dalam
proses
adopsi inovasi.
informasi
dan teknologi DSLR. Usia
dalam
langsung
informasi
b. Informasi yang diterima akan dipilah mana saja informasi yang memiliki bobot dan mampu untuk mengurangi ketidakpastian
mengenai
sebuah produk inovasi mana
tersebut.
yang akan diadopsi. c. Proses pencarian informasi terbagi
atas
proses
knowledge, persuasion, dan decision stage. Pada masingmasing
tahap
adopsi,
penggunaan
saluran
komunikasi akan berbedabeda. Mulai dari saluran komunikasi massa khususnya media cetak hingga media komunikasi interpersonal. d. Dalam
proses
informasi,
penerimaan
individu
memperhatikan
akan sebuah
relative
advantage,
compatibility,
complexity,
trialability, dan observability dari sebuah produk inovasi DSLR yang akan diadopsi. Proses transisi dari kamera commit to user
analog
memberikan
123 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
kemudahan tersendiri hingga proses penerimaan informasi yang berhubungan dengan hal
teknis
dilakukan.
commit to user
sangat
minim
perpustakaan.uns.ac.id
124 digilib.uns.ac.id
E. Diskusi Proses difusi inovasi yang terjadi pada inovasi teknologi DSLR merupakan hal yang menarik untuk dikaji. Hal ini terkait bagaimana pola komunikasi yang terjadi pada kategori penerima inovasi DSLR tersebut. Artinya bagaimana sebuah informasi mengenai inovasi diterima hingga diadopsi oleh individu berbeda-beda pada masing-masing kategori. Peneliti menemukan beberapa fenomena komunikasi selama melakukan penelitian tersebut. Fenomena disini terkait fakta di lapangan bahwasanya pola komunikasi yang terjadi pada keempat kategori adopter tersebut memiliki pola yang berbeda satu dengan yang lainnya. Demikian pula secara teoritis tidak semua yang terjadi di lapangan menunjukan kesamaan dengan teori yang digunakan, hal ini menjadi temuan yang menarik di lapangan. Difusi inovasi merupakan salah satu teori yang bisa menjelaskan secara logis bagaimana sebuah inovasi dapat diterima dan diadopsi oleh sejumlah individu dalam kategori inovasi. Beberapa tahapan harus dilalui oleh seorang individu hingga sampai pada tahap keputusan untuk menggunakan sebuah inovasi. Hakikatnya difusi inovasi berinti pada bagaimana sebuah informasi mengenai inovasi diterima dan diteruskan oleh individu pada sistem sosial. Jadi, komunikasi lah yang memegang peranan penting dalam proses difusi ini. Bisa ditarik kesimpulan bahwa semua proses difusi dari tahap knowledge hingga proses pengambilan keputusan sebuah inovasi bermuara pada proses komunikasi itu sendiri. Rogers (1983) melihat sifat inovasi turut berperan dalam proses persebaran dan adopsi sebuah inovasi. Kamera DSLR sebagai produk inovasi yang rumit seharusnya membutuhkan waktu adopsi yang tidak cepat. Namun, pada sistem sosial fotografer jurnalis dan profesional hal tersebut tidak terjadi. Serangkaian pengalaman masa lalu dengan pemakaian kamera analog sangat membantu mereka dalam proses adopsi dan mengurangi segala ketidakpastian terkait dengan penggunaan kamera digital tersebut. Tingkat kompleksitas sebuah inovasi yang dikemukakan Rogers (1983) bukan menjadi sebuah halangan yang memperlambat proses adopsi pada kategori sistem sosial ini. Pada kasus yang diteliti, ketika informasi mengenai sebuah inovasi muncul dari commit to user seorang inovator dalam hal ini adalah sebuah kamera DSLR, peneliti melihat
perpustakaan.uns.ac.id
125 digilib.uns.ac.id
adanya perbedaan pola komunikasi antara kategori penerima inovasi. Dari sisi pencarian informasi masing-masing kategori memiliki fungsi dan peranan masingmasing. Mereka adalah individu yang terlibat secara langsung dan membutuhkan sebuah inovasi DSLR, maka informasi yang mereka cari adalah segala informasi yang memiliki bobot (weight) mengenai sebuah inovasi. Pada kategori pertama, inovator yang disebut Rogers (1983) sebagai kategori para petualang (venturesome) yakni orang-orang yang mmiliki jiwa untuk mencoba hal-hal baru dengan segala resiko di dalamnya. Mereka kategori inovasi yang bertanggung jawab atas berhasil tidaknya sebuah produk inovasi disebarkan kepada kategori adopter. Informasi yang disebarkan oleh inovator misalnya, berisi mengenai spesifikasi sebuah produk DSLR, informasi ini wajib diketahui dan dipahami oleh seluruh tim marketing karena mereka lah yang bertanggung jawab untuk persebaran informasi tersebut. Ketika sebuah informasi tidak bisa disampaikan dengan baik melalui media yang tepat oleh komunikator maka tidak akan tercapai influence yang diinginkan artinya sebuah produk gagal mencapai target market. Untuk itulah komunikator pada kategori inovator haruslah mereka yang memiliki dukungan finansial besar untuk mampu memasarkan sebuah produk inovasi DSLR ke seluruh penjuru tanah air Indonesia. Dengan kata lain mereka harus membeli spot iklan dan pemilihan media komunikasi yang tepat. Saluran komunikasi interpersonal pun dilakukan untuk menjangkau target pasar mereka yang tergabung dalam komunitas tertentu. Mereka pula individu yang harus paham dan mampu mengatur jaringan mereka seluas mungkin dengan stakeholder yang berkepentingan. Mereka harus menjaga jaringan tersebut untuk kepentingan difusi sebuah produk inovasi. Kategori early adopter yang selanjutnya menurut Rogers (1983) adalah kategori kedua dibawah inovator dalam penerimaan inovasi. Mereka aktif dalam penggunaan media massa baik cetak, elektronik maupun saluran komunikasi interpersonal. Kategori early adopter sebagai pemilik kekuatan dalam hirarki manajerial perusahaan diwajibkan paham dan mengerti mulai dari spesifikasi produk hingga proses after sales. Untuk itulah proses pencarian informasi mutlak dilakukan untuk mempelajari mulai dari harga, spesifikasi, hingga daya tahan sebuah kamera. Informan dari berbagai sumber seperti distributor utama, komunitas commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
126 digilib.uns.ac.id
fotografi hingga pengguna kamera lain menjadi referensi dalam proses pencarian informasi. Proses pencarian informasi semuanya dilakukan dalam rangka pencarian informasi untuk menambah pengetahuan mereka, untuk memberikan persuasi dan meyakinkan, mengurangi ketidakpastian dalam proses adopsi inovasi. Saluran komunikasi yang digunakan untuk tahap knowledge hingga keputusan mengadopsi sebuah teknologi inovasi merupakan kombinasi yang dipilih oleh individu melalui berbagai media komunikasi. Pada penelitian ini kategori inilah komunikator yang memiliki power menekan kategori di bawahnya. Akan tetapi penekanan disini adalah penggunaan power untuk memberikan masukan dari hasil pencarian mereka mengenai inovasi demi mempertahankan pendapat mereka kepada manajer perusahaan. Perlu atau tidaknya sebuah inovasi diadopsi dalam perusahaan. Individu kategori ini menciptakan keputusan mengadopsi secara collective kepada kategori early majority di bawahnya. Kategori early majority mereka adalah individu-individu yang terdiri atas fotografer senior yang telah puluhan tahun menggeluti dunia fotografi jurnalistik dan fotografi profesional dalam bidang dokumentasi event. Mereka adalah orang yang tergolong awal dalam hal mengenal dan mengadopsi inovasi DSLR. Tentunya mereka pula yang sejak awal mencari informasi dan menggunakan informasi tersebut sebagai referensi menggunakan sebuah produk. Dari sisi penggunaan media, para early majority adalah kategori awal adopter yang secara teoritis mengalami terpaan tinggi oleh media massa namun, pada kenyataannya mereka minim dalam penggunaan media massa. Menurut Rogers (1983) pada fase knowledge media massa memegang peranan penting untuk menyebarkan informasi teknis terkait sebuah produk inovasi. Akan tetapi apakah mereka adalah sosok yang aktif menggunakan media massa sebagai referensi mereka ? Ternyata pada jaman tersebut dimana rata-rata dari mereka mulai menemukan dan menggali informasi mengenai DSLR ini saluran komunikasi melalui media massa belum segencar saat ini, hanya beberapa yang tahu mengenai DSLR lewat media koran, selebihnya menggunakan relasi mereka ataupun bahkan media brosur sebagai sarana mengumpulkan informasi. Hal ini menurut peneliti commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
127 digilib.uns.ac.id
dikarenakan saat itu produk ini adalah sebuah produk mahal dan belum semua orang perlu akan inovasi ini, hanya para early majority yang saat itu terdorong untuk menggunakannya karena alasan sistem analog yang sudah tidak lagi memungkinkan mendukung kinerja mereka. Saluran komunikasi interpersonal menjadi rujukan bagi individu dalam kategori ini karena minimnya informasi yang didapat melalui media massa. Dengan melihat pengguna terdahulu dan mendapat masukan dari anggota sistem sosial lain, proses pencarian informasi mengenai DSLR menjadi terpenuhi. Ketika Rogers (1983) menyebut mereka sebagai kaum yang lambat mengadopsi sebuah inovasi, pada kenyataanya mereka justru yang pertama mengadopsi dan tidak membutuhkan waktu lama dalam proses adaptasi produk baru. Minimnya informasi teknis yang didapat tidak membuat proses adopsi berjalan lambat. Kompleksitas teknologi diminimalisir karena pengalaman penggunaan kamera sistem analog terdahulu. Hakikatnya menurut mereka sama, dari sisi penggunaan dan pengoperasiaanya. Kesulitan yang mereka rasakan pada awal adopsi justru datang dari proses pengolahan atau post-produksi. Sebagai komunikator sebuah informasi mengenai inovasi DSLR mereka seharusnya berperan menyebarkan opini mengenai DSLR kepada anggota late majority di bawah mereka. Kategori ini seharusnya menjadi opinion leader persebaran produk dalam sistem sosial mereka. Mereka inilah yang seharusnya menjadi target potensial dalam persebaran sebuah inovasi karena posisi mereka dalam sebuah sistem sosial fotografer bertindak sebagai seorang senior dan banyak dijadikan rujukan oleh anggota junior di bawahnya. Akan tetapi dalam dunia fotografi ini pembicaraan ataupun komunikasi kepada anggota lain di bawah mereka yang terkait tools dan spesifikasi kamera menjadi hal yang “tabu” untuk dibicarakan. Orientasi hasil menjadi bahan pembicaraan utama, tidak peduli dari alat apa karya itu diciptakan. Kategori terakhir dalam proses difusi inovasi dalam penelitian ini adalah para individu yang tergabung dalam kategori late majority. Secara bahasa mereka inilah yang menurut Rogers (1983) termasuk “terlambat” dalam mengadopsi teknologi. Terlambat di saat sebagian dari anggota sistem sosial dalam fotografi jurnalistik dan profesional telah mengadopsi commit inovasitoDSLR user ini. Hal ini dilihat dari periode
128 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
mereka mengadopsi teknologi ini jauh dibawah para individu dari kategori early majority. Namun, pada saat mereka mengadopsi teknologi ini, pada masa itulah terjadi booming internet yang berarti makin banyak pula rujukan untuk mengenal dan mencari informasi mengenai DSLR. Padahal secara teoritis mereka ini tergolong tidak lagi mengalami terpaan media massa namun, mereka malah aktif menggunakan media massa khususnya internet dan saluran komunikasi interpersonal dengan komunitas dan rekan mereka untuk mencari informasi mengenai DSLR. Masukan dari kategori senior diatas mereka (early majority) tidak digunakan sebagai rujukan mengambil keputusan adopsi. Ketika berperan sebagai komunikator antar individu dalam sistem sosial fotografer, mereka justru pihak yang aktif mencari informasi perkembangan teknologi DSLR terkini untuk didiskusikan dengan rekan mereka, hal ini yang jarang bahkan tidak pernah dilakukan oleh senior mereka. Kemauan anggota individu dalam kategori ini dalam mengakses informasi harusnya dibaca oleh produsen maupun inovator untuk membidik segmen muda ini sebagai agent of change dalam persebaran inovasi mereka.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN Setelah melakukan penelitian terhadap proses persebaran dan penerimaan pesan yang ditinjau dari aspek teori difusi inovasi, peneliti mendapatkan gambaran mengenai bagaimana proses difusi inovasi berjalan di lingkup fotografer profesional di Kota Solo dan Yogyakarta. Proses difusi inovasi terjadi pada beberapa kategori inovasi, dimulai dari inovator, early adopter, early majority, dan late majority. Masing-masing kategori memiliki tahapan tersendiri dalam melakukan adopsi sebuah inovasi serta memiliki peran tersendiri dalam pola komunikasi terkait persebaran pesan (message diseemination) dan penerimaan pesan (message reception). a. Innovator Kategori inovator pada penelitian ini diwakili pihak PT. Datascrip yang memegang distribusi resmi merk kamera Canon di Indonesia. Individu pada kategori ini bertugas menyebarkan informasi mengenai inovasi kepada adopter yang menjadi target pasar mereka. Proses persebaran informasi terkait dengan detail produk dan spesifikasi produk kepada konsumen mereka. Karakter seorang inovator secara sosio-ekonomi adalah mereka yang didukung kemampuan finansial besar karena
upaya persebaran sebuah inovasi
membutuhkan biaya yang tinggi apalagi terkait target market pengguna DSLR yang cukup luas. Seorang inovator dalam penelitian ini adalah mereka yang terbuka atas informasi, harus paham detail produk dan menggunakan jaringan yang luas dalam rangka menggali informasi dan menyebarkan informasi tersebut. Dalam pola komunikasinya, kategori inovator bertugas menyebarluaskan inovasi sehingga mampu diterima oleh kategori adopter di bawahnya. Mereka hanya melakukan fungsi persebaran pesan (message dissemination). Proses persebaran pesan dimulai dengan penentuan target pesan. Dalam menentukan target pesan ini terbagi atas dua target pesan yakni kepada pihak internal (tim marketing) dan eksternal kepada calon adopter atau konsumen. commit to user
129
perpustakaan.uns.ac.id
130 digilib.uns.ac.id
Individu pada kategori ini menggunakan berbagai media komunikasi baik cetak maupun elektronik dan saluran komunikasi interpersonal. Melalui saluran above the line dan below the line. Untuk melakukan pedekatan kepada komunitas pengguna DSLR, penggunaan endorser dipakai sebagai upaya untuk memberikan personifikasi pengguna DSLR di kalangan pengguna komunitas.
b. Early Adopter Kategori early adopter adalah individu yang memiliki power mempengaruhi kategori di bawah mereka. Kategori ini diwakili Kepala Bagian Umum PT Aksara Solopos yang memiliki tanggung jawab dalam pengadaan kamera digital dalam perusahaannya. Individu ini wajib terbuka atas segala informasi mengenai DSLR. Selain itu mereka adalah individu yang memiliki power atau kekuatan untuk mengadakan produk inovasi di perusahaan mereka. Jaringan komunikasi yang dimilliki sebagai relasi juga sangat luas sebagaia referensi mendapatkan informasi mengenai perkembangan inovasi DSLR yang akan diadopsi. Proses difusi inovasi dimulai pada tahap knowledge dimana seorang individu akan aktif mencari informasi mengenai sebuah inovasi. Informasi yang mereka cari terkait dengan apa yang memiliki nilai tambah terhadap inovasi, baik dari segi spesifikasi maupun kualitas produk. Pada tahapan persuation mereka akan semakin giat mencari informasi terkait inovasi lebih dalam. Individu pada tahapan ini akan giat mencari beberapa poin penting dari inovasi, yakni terkait dengan relative advantage (keuntungan relatif), compatibility (kecocokan), complexity (kompleksitas), trialability (dapat dicoba), dan observability (bisa dilihat oleh orang lain). Pada tahapan decision atau keputusan adopsi, proses pertukaran informasi dari early majority akan mempengaruhi proses pengambilan keputusan. Hirarki dalam perusahaan yang mewajibkan hal ini terjadi dalam forum diskusi. Akan tetapi segala keputusan adopsi dan pengadaan sebuah produk inovasi tetap berada di tangan bagian umum perusahaan. Kategori early adopter berperan sebagai komunikator (message dissemination) dan komunikan (message reception) dalam proses difusi inovasi. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
131 digilib.uns.ac.id
Sebagai komunikan, seorang early adopter menerima berbagai informasi terkait inovasi DSLR dari berbagai sumber. Penggunaan media komunikasi elektronik seperti internet melalui email, dan website dipakai untuk mencari informasi dalam rangka mengurangi ketidakpastian terhadap sebuah inovasi. Selain itu media komunikasi interpersonal melalui hubungan dengan berbagai komunitas dan individu yang berkompeten terhadap inovasi DSLR juga digunakan untuk mengumpulkan informasi. Dalam menjalankan peran sebagai komunikator mereka menggunakan informasi yang telah mereka dapatkan untuk disebarluaskan. Individu pada kategori ini melakukan proses transmisi pesan ke dalam, yakni memberi masukan kepada manajemen produk DSLR mana yang akan diadopsi dan memberi masukan ke luar kepada kategori early majority yang akan menggunakannya.
c. Early Majority Kategori ketiga adalah early majority. Secara harfiah kategori ini adalah pengguna awal, terdiri atas individu yang memiliki karakteristik sebagai senior dalam sistem sosial khususnya diantara para fotografer. Mereka adalah pengguna awal yang mengenal dan menggunakan teknologi ini dalam menunjang kinerja mereka. Individu pada kategori ini juga terbuka atas informasi mengenai segala informasi terkait perkembangan DSLR. Mereka adalah senior yang memiliki kedudukan tinggi dalam sistem sosial fotografer. Proses pencarian dan pengumpulan informasi pada tahapan ini dimulai dari tahap knowledge dimana segala informasi yang memiliki nilai (valence) dan mengurangi ketidakpastian tentang teknologi DSLR akan dikumpulkan. Pada tahapan persuation mereka akan semakin giat mencari informasi terkait inovasi lebih dalam. Individu pada tahapan ini akan giat mencari beberapa poin penting dari inovasi, yakni terkait dengan relative advantage (keuntungan relatif), compatibility (kecocokan), complexity (kompleksitas), trialability (dapat dicoba), dan observability (bisa dilihat oleh orang lain). Pada tahapan decision atau keputusan adopsi, proses adopsi cenderung singkat karena sebagian besar individu pada tokategori ini telah mengalami proses commit user
132 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
penggunaan kamera analog yang memiliki kemiripan penggunaan dengan kamera DSLR secara fungsi dan teknis penggunaan. Kategori ini memiliki fungsi menerima pesan (komunikan) dan bertindak sebagai pencipta pesan (komunikator). Sebagai komunikan mereka menerima pesan atau informasi mengenai sebuah produk DSLR yang diciptakan kategori innovator dari berbagai media komunikasi khususnya media cetak dan tatap muka.
Media elektronik seperti internet belum menjadi penyedia informasi
seperti saat ini. Dalam proses penerimaan informasi, individu akan memperhatikan sebuah relative advantage, compatibility, complexity, trialability, dan observability dari sebuah produk inovasi DSLR yang akan diadopsi. Proses transisi dari kamera analog memberikan kemudahan tersendiri hingga proses penerimaan informasi yang berhubungan dengan hal teknis sangat minim dilakukan. Ketika individu ini berperan sebagai komunikator, mereka menciptakan pesan melalui sharing kepada kategori late majority di bawahnya. Namun, sharing yang dilakukan tidak menyinggung mengenai spesifikasi ataupun teknis penggunaan teknologi DSLR tertentu tapi lebih pada hal-hal non teknis seputar pekerjaan di lapangan. Hal ini menunjukan sebenarnya pada kategori ini transfer informasi mengenai inovasi DSLR tidak terjadi.
d. Late Majority Kategori adopter yang terakhir adalah kategori late majority. Mereka mengadopsi sebuah inovasi DSLR ketika sebagian besar anggota sistem sosial telah melakukan adopsi atas inovasi. Dilihat dari proses adopsi mereka cenderung lambat melakukan proses adopsi inovasi. Di saat sebagian besar fotografer beralih menggunakan DSLR, mereka baru melakukan adopsi atas inovasi tersebut. Hal ini menempatkan mereka menjadi “junior” pada kalangan fotografer. Meskipun lambat dalam proses adopsi, mereka adalah individu yang aktif mencari informasi melalui berbagai saluran komunikasi, seperti media cetak dan elektronik khususnya internet. Booming internet saat itu membantu proses commit to user
133 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
pencarian informasi mengenai DSLR. Hal ini membantu mereka dalam mengumpulkan informasi secara cepat dan menyeluruh. Proses difusi inovasi dimulai melalui tahapan knowledge, dimana individu akan mencari segala informasi terkait DSLR dari berbagai media komunikasi seperti majalah atau berbagai website yang menyajikan informasi mengenai spesifikasi dan penggunaan DSLR. Pada tahapan persuation mereka akan semakin giat mencari informasi terkait inovasi lebih dalam. Pada tahapan decision atau keputusan adopsi, proses adopsi cenderung singkat karena sebagian besar individu pada kategori ini telah mengalami proses penggunaan kamera analog yang memiliki kemiripan penggunaan dengan kamera DSLR secara fungsi dan teknis penggunaan. Kategori ini hanya berperan sebagai komunikan karena mereka dianggap tidak lagi mempunyai power untuk melakukan transfer informasi kepada kategori di bawahnya (laggards). Proses sharing yang terjadi antar anggota kelompok ini bukan bersifat mempengaruhi penggunaan sebuah inovasi DSLR namun, lebih pada isu perkembangan teknologi terkini. Sebagian besar individu pada kategori ini terdiri atas individu yang aktif mencari informasi melalui berbagai saluran komunikasi. Mereka giat mengikuti perkembangan teknologi DSLR terkini meskipun secara teoritis mereka kategori yang lambat menerima sebuah inovasi. Sebagai komunikan mereka menerima pesan atau informasi mengenai sebuah produk DSLR yang diciptakan kategori innovator dari berbagai media komunikasi khususnya media cetak dan tatap muka.
Media elektronik seperti internet belum menjadi penyedia informasi
seperti saat ini.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
134 digilib.uns.ac.id
B. IMPLIKASI B. 1. Implikasi Teoritis Hasil penelitian ini mempunyai implikasi teoritis terhadap kajian teori difusi inovasi. Difusi inovasi melihat bagaimana sebuah inovasi ditransmisikan melalui saluran komunikasi kepada anggota dalam sistem sosial. Difusi inovasi adalah sebuah bentuk komunikasi khusus dimana anggota individu dalam kategori inovasi (innovator, early adopter, early majority, dan late majority) menjalankan fungsi sebagai penyebar pesan (komunikator) dan bertindak sebagai penerima pesan (komunikan). Pola komunikasi yang terjadi pada masing-masing kategori berbeda satu dengan yang lainnya. Motivasi untuk mengadopsi inovasi DSLR pun berbeda antara satu dengan individu yang lainnya. Pola komunikasi menjadi titik penting pada penelitian ini dimana peneliti melihat bagaimana individu pada masingmasing kategori bertindak menjadi komunikator dan komunikan. Bagaimana individu menggunakan berbagai saluran komunikasi untuk mengumpulkan informasi sehingga mempengaruhi sikap mereka untuk mengadopsi sebuah inovasi. Berdasarkan kajian terhadap objek, penelitian ini menggambarkan karakteristik individu pada masing-masing kategori dan bentuk-bentuk pola komunikasi pada fotografer profesional yang terbagi atas fotografer jurnalis dan fotografer komersial. Pola komunikasi terjadi atas bagaimana mereka menjadi seorang komunikator (message dissemination) dan bagaimana mereka menjadi seorang komunikan (message reception). Bagaimana mereka menciptakan pesan untuk menjangkau dan mempengaruhi target pasar serta melihat bagaimana mereka mengumpulkan informasi untuk mengurangi ketidakpastian mengenai sebuah inovasi sampai pada akhirnya bisa diadopsi. Peneliti melihat masih banyaknya lubang dari teori difusi inovasi yang masih bisa digali lagi sebagai upaya membangun body of knowledge bagi perkembangan teori komunikasi ke depan.
B. 2. Implikasi Metodologis Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan menggunakan metode studi kasus. Dalam penelitian ini peneliti menemukan keterbatasan penelitian dalam rangka pengumpulan data. Keterbatasan dari ini adalah kesulitan peneliti commit to penelitian user
135 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dalam menggali data pada kategori inovator karena kesibukan narasumber berdampak pada sulitnya mencari waktu untuk menggali data. Pada tahapan difusi inovasi peneliti hanya mengkaji hingga proses pengambilan keputusan (decision stage) bukan sampai pada tahapan konfirmasi sebuah inovasi. Keterbatasan lain terkait triangulasi data dalam hal ini peneliti mengalami kesulitan untuk menjangkau kategori early adopter pada media lain yang memiliki kesamaan posisi dengan media cetak Solopos. Sehingga triangulasi data pada kategori early adopter tidak dapat dilakukan. Selain itu metode studi kasus akan lebih menarik dengan jangkauan penelitian yang lebih luas dan dengan perbandingan kasus dengan variasi lain sehingga akan tercipta temuan baru yang menarik untuk dikaji.
B. 3. Implikasi Praktis Hasil penelitian menunjukkan bahwa masing-masing kategori pada proses difusi inovasi memiliki karakteristik dan pola komunikasi yang beragam. Masingmasing individu memiliki cara tersendiri dalam proses pencarian informasi dan berbeda pula ketika mereka harus melakukan proses transfer informasi pada kategori di bawah mereka. Hal ini secara ekonomis sebenarnya menjadi titik penting pada tingkatan innovator untuk melakukan pemetaan pola komunikasi agar tercipta penyebaran produk inovasi yang lebih baik dan tepat sasaran. Kategori innovator harus mampu menciptakan pesan yang berbeda untuk masing-masing kategori sehingga tercipta penetrasi pesan yang merata dan informasi mengenai produk dapat diterima dengan baik. Bagi pembaca, penulis berharap penelitian ini mampu memberikan sedikitnya gambaran mengenai bagaimana seharusnya sebuah difusi inovasi dilakukan, bagaimana memilih metode yang tepat, dan bagaimana menembus kategori yang tepat agar tercipta proses adopsi yang efektif.
commit to user
136 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
C. SARAN Berdasarkan kesimpulan di atas, peneliti menyarankan beberapa hal, pertama agar penelitian mengenai difusi inovasi dengan metode studi kasus akan menjadi menarik jika mampu menjangkau tahap implementasi hingga konfirmasi, sehingga temuan akan lebih banyak dan bervariasi. Kedua, penelitian mengenai difusi inovasi, mengingat penelitian sejenis di Indonesia yang masih sangat terbatas. Dengan menggunakan metode multilevel analisis yang lebih kompleks lagi, tentunya lebih melihat kompleksitas pola komunikasi dan temuan lain yang lebih menarik. Terakhir untuk pembaca hendaknya mampu menemukan kegunaan praktis terkait dengan proses difusi kepada kategori adopter sehingga proses adopsi dapat dilakukan.
commit to user
137 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
DAFTAR PUSTAKA
BUKU Beebe, Steven A, Beebe, Susan I, and Ivy, Diana K. 2001. Communication Principles For A Lifetime. Massachusetts : Abacon. Denzin, Norman K and Lincoln, Yvonnna S. 2000. Handbook of Qualitative Research. California : Sage Publications. Durham, Meenakshi Gigi and Kellner, Douglas M. 2001. Media and Cultural Studies KeyWorks. Massachusetts : Blackwell Publisher. Griffin, EM. 2012. A First Look At Communication Theory : Eighth Edition. New York : McGraw-Hill. Littejohn, Stephen W. 2002. Theories of Human Communication : Seventh Edition. Alberqurque : Wadsworth. Littlejohn, Stephen W & Foss, Karen A. 2010. Theories of Human Communication : Tenth Edition. Illinois : Waveland Press. ---------------------------------------------------------. 2009. Encyclopedia of Communication Theory. California : SAGE Publications. Miller, Katherine. 2005. Communication Theories : Perspectives, Processes, and Contexts. New York : Mc Graw Hill. Parrish, Fred S. 2002. Photojournalism: An Introduction. Stamford : Wadsworth. Pawito. 2007. Metode Penelitian Komunikasi Kualitatif. Yogyakarta : LKIS. Rogers, Everett M. 1983. Diffusion of Innovations : Third Edition. New York: The Free Press. Salim, Agus. 2001. Teori dan Paradigma Penelitian Sosial (Dari Denzin Guba dan Penerapannya). Yogyakarta : Tiara Wacana. Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung : Alfabeta. Sutopo, H.B. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Surakarta : Sebelas Maret University Press. Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka. Wood, Julia T. 2011. Communication Mosaics. Boston commit to user : Wadsworth.
138 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Yin, Robert K. 2002. Case Study Research Design and Methods : Third Edition. California : Sage Publications.
JURNAL
Fedorov, Alexandr V. 2007. About Information Concept, Its Essence, and Role In Social and Technical System dalam A Process for Developing a Common Vocabulary in the Information Security Area. Moscow : IOS Press, 2007. Ozaki, Ritsuko and Dodgson, Mark. 2010. Adopting and Consuming Innovations dalam Prometheus Vol. 28 No. 4 hlm 311-326. Wejnert, Barbara. 2002. Integrating Models of Diffusion of Innovations : A Conceptual Framework, dalam annual Review of Sociology. 2002. Van Der Veen, Marijke. 2010. Agricultural innovation: invention and adoption or change and adaptation? dalam World Archaelogy : Agricultural Innovation Vol. 42 No. 1 hlm 1-12. Valente, Thomas W dan Myers, Raquel. 2010. The Messenger is The Medium : Communication and Diffusion Principles in the Process of Behavior Change dalam Estudios sobre las Culturas Contemporáneas Vol. XVI No.31 hlm 249276. Gouws, Tina and Peter, George van Rheede. 2011. Correlation between brand longevity and the diffusion of innovations theory dalam Journal of Public Affairs Vol. 11 No. 4 hlm 236-242.
ARTIKEL
Investor Daily Indonesia, Penjualan Canon EOS Tembus 70 Juta Unit, diakses dari http://www.investor.co.id/telecommunication/penjualan-canon-eos-tembus-70juta-unit/78314.html, pada tanggal 23 Februari 2014 pukul 16.00 WIB. N,
Sejarah Perkembangan Kamera Digital, diakses dari http://www.fotografi.tp.ac.id/article/sejarah-perkembangan-kamera-digital.html pada tanggal 23 Februari 2014 pukul 20.00 WIB.
commit to user
139 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Biodata
a. Nama
: Sidiq Setyawan
b. Tempat, tanggal lahir
: Surakarta, 24 April 1988
c. Profesi / jabatan
: Wiraswasta
d. Alamat rumah
: Jl. Sibela Dalam 04, Mojosongo, Solo, 57127
Telp
: 0856 3755 770
Fax
:-
e-mail
:
[email protected]
e. Riwayat pendidikan di Perguruan Tinggi No. 1.
Institusi FISIP UNS Surakarta
Bidang Ilmu Ilmu Komunikasi
Tahun
Gelar
2006
S.Ikom
f. Daftar Karya Ilmiah No. 1.
Judul Komunikasi Pemasaran Wisata
Penerbit/Forum Ilmiah
Tahun
Skripsi FISIP UNS
2011
Surakarta, 26 Februari 2015
Sidiq Setyawan
commit to user
140 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
INTERVIEW GUIDE
KATEGORI INOVATOR Kategori Inovator dalam penelitian ini adalah pihak produsen dalam hal ini diwakili oleh produsen kamera digital jenis DSLR merek Canon yang berada di bawah distribusi PT Datascrip untuk melayani penjualan kamera Canon di Indonesia. Orang yang menjadi subjek penelitian ini adalah marketer di PT Datascrip tersebut. 1. Data terkait karakteristik inovator a. Pengetahuan tentang inovasi •
Tanyakan mengenai pengetahuan inovator mengenai karakteristik DSLR
•
Tanyakan mengenai keterbukaan inovator dalam menerima sebuah informasi mengenai inovasi
•
Tanyakan mengenai status inovator dalam sistem sosial
•
Tanyakan mengenai karakteristik sosial ekonomi inovator
•
Tanyakan mengenai jaringan (network) seorang inovator
•
Tanyakan mengenai karakteristik yang berhubungan dengan kultur dalam masyarakat
b. Peran inovator dalam penyebaran pesan (message dissemination) -
Bagaimana strategi inovator dalam menyebarkan informasi mengenai inovasi DSLR •
Tanyakan mengenai siapa target pasar dari inovasi tersebut
•
Tanyakan alasan memilih target pasar tersebut
•
Tanyakan mengenai perencanaan komunikasi dari inovator
•
Tanyakan mengenai penggunaan saluran komunikasi dan apa alasannya
•
Tanyakan mengenai penggunaan media dalam rangka menjangkau target pasar
•
Tanyakan mengenai pesan yang digunakan dalam menarik minat khalayak o Pesan yang menyinggung masalah produk, keuntungan, dsb o Pesan yang disusun oleh design logic commit to user o Pesan yang berisi compatibility, triability, complexity,
141 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
•
Tanyakan mengenai kendala yang ditemui pihak produsen untuk menyampaikan informasi kepada khalayak mengenai teknologi DSLR ini ?
KATEGORI EARLY ADOPTER Kategori Early Adopter dalam penelitian ini adalah pihak yang memiliki otoritas untuk memberikan perintah atau menggunakan kekuasaan yang dimiliki untuk memberikan informasi mengenai inovasi DSLR kepada golongan di bawah mereka. Pada industri media massa, kategori ini diwakili oleh pemimpin redaksi, redaktur foto, ataupun pimpinan perusahaan. 1. Data terkait karakteristik early adopter a. Pengetahuan tentang inovasi •
Tanyakan mengenai pengetahuan early adopter mengenai karakteristik DSLR
•
Tanyakan mengenai keterbukaan early adopter dalam menerima sebuah informasi mengenai inovasi
•
Tanyakan mengenai status early adopter dalam sistem sosial
•
Tanyakan mengenai karakteristik sosial ekonomi early adopter
•
Tanyakan mengenai jaringan (network) seorang early adopter
•
Tanyakan mengenai karakteristik yang berhubungan dengan kultur dalam masyarakat.
b. Peran early adopter dalam penerimaan pesan (message reception) -
Bagaimana golongan early adopter dalam menerima informasi mengenai inovasi DSLR •
Tanyakan alasan seorang early adopter bersedia menerima informasi mengenai ide baru
•
Tanyakan bagaimana early adopter mendapatkan / mengumpulkan informasi mengenai inovasi DSLR
•
Tanyakan melalui media apa early adopter mendapatkan informasi mengenai informasi mengenai inovasi DSLR commit to user
142 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
c. Peran early adopter dalam penyebaran pesan (message dissemination) -
Bagaimana strategi early adopter dalam menyebarkan informasi mengenai inovasi DSLR •
Tanyakan mengenai siapa target penyebaran pesan tentang inovasi tersebut
•
Tanyakan alasan memilih target pada golongan tersebut
•
Tanyakan mengenai perencanaan komunikasi dari early adopter kepada golongan di bawahnya
•
Tanyakan mengenai penggunaan saluran komunikasi dan apa alasannya
•
Tanyakan mengenai penggunaan media dalam rangka menjangkau target penyebaran informasi tersebut
•
Tanyakan mengenai pesan yang digunakan dalam menarik minat golongan di bawahnya
•
Tanyakan mengenai kendala yang ditemui pihak early adopter untuk menyampaikan informasi kepada golongan di bawah mereka mengenai teknologi DSLR ini ?
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
143 digilib.uns.ac.id
KATEGORI EARLY MAJORITY Kategori Early Majority dalam penelitian ini adalah pihak yang memiliki kecenderungan menerima informasi dan menggunakan inovasi lebih awal dibanding kategori atau golongan lain. Pada industri media massa maupun profesional, kategori ini diwakili oleh fotografer senior dan mereka yang mengalami transisi dari kamera analog menjadi digital. 1. Data terkait karakteristik early majority a. Pengetahuan tentang inovasi •
Tanyakan mengenai pengetahuan early majority mengenai karakteristik DSLR
•
Tanyakan mengenai keterbukaan early majority dalam menerima sebuah informasi mengenai inovasi
•
Tanyakan mengenai status early majority dalam sistem sosial
•
Tanyakan mengenai karakteristik sosial ekonomi early majority
•
Tanyakan mengenai jaringan (network) seorang early majority
•
Tanyakan mengenai karakteristik yang berhubungan dengan kultur dalam masyarakat.
b. Peran early adopter dalam penerimaan pesan (message reception) -
Bagaimana golongan early majority dalam menerima informasi mengenai inovasi DSLR •
Tanyakan alasan seorang early majority bersedia menerima informasi mengenai ide baru
•
Tanyakan bagaimana early majority mendapatkan / mengumpulkan informasi mengenai inovasi DSLR
•
Tanyakan melalui media apa early majority mendapatkan informasi mengenai informasi mengenai inovasi DSLR
c. Peran early majority dalam penyebaran pesan (message dissemination) -
Bagaimana strategi early majority dalam menyebarkan informasi mengenai inovasi DSLR •
Tanyakan mengenai siapa target penyebaran pesan tentang inovasi commit to user tersebut
144 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
•
Tanyakan alasan memilih target pada golongan tersebut
•
Tanyakan mengenai perencanaan komunikasi dari early majority kepada golongan di bawahnya
•
Tanyakan mengenai penggunaan saluran komunikasi dan apa alasannya
•
Tanyakan mengenai penggunaan media dalam rangka menjangkau target penyebaran informasi tersebut
•
Tanyakan mengenai pesan yang digunakan dalam menarik minat golongan di bawahnya
•
Tanyakan mengenai kendala yang ditemui pihak early majority untuk menyampaikan informasi kepada golongan di bawah mereka mengenai teknologi DSLR ini ?
commit to user
145 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
KATEGORI LATE MAJORITY Kategori Early Majority dalam penelitian ini adalah pihak yang memiliki kecenderungan menerima informasi dan menggunakan inovasi saat sebagian kategori atau golongan lain telah menggunakannya. Pada industri media massa maupun profesional, kategori ini diwakili oleh fotografer yang cenderung menggunakan inovasi karena dorongan peers atau alasan meningkatkan status. 1. Data terkait karakteristik late majority a. Pengetahuan tentang inovasi •
Tanyakan mengenai pengetahuan late majority mengenai karakteristik DSLR
•
Tanyakan mengenai keterbukaan late majority dalam menerima sebuah informasi mengenai inovasi
•
Tanyakan mengenai status late majority dalam sistem sosial
•
Tanyakan mengenai karakteristik sosial ekonomi late majority
•
Tanyakan mengenai jaringan (network) seorang late majority
•
Tanyakan mengenai karakteristik yang berhubungan dengan kultur dalam masyarakat.
b. Peran late majority dalam penerimaan pesan (message reception) -
Bagaimana golongan late majority dalam menerima informasi mengenai inovasi DSLR •
Tanyakan alasan seorang late majority bersedia menerima informasi mengenai ide baru
•
Tanyakan bagaimana late majority mendapatkan / mengumpulkan informasi mengenai inovasi DSLR
•
Tanyakan melalui media apa late majority mendapatkan informasi mengenai informasi mengenai inovasi DSLR
commit to user
146 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
TRANSKRIP WAWANCARA
A. Nama
: Sunaryo Haryo
Usia
: 48
Masa kerja
: 18 tahun
Instansi Kerja : Solopos
1. Pernah merasakan menggunakan kamera analog untuk profesi Anda ? Analog saya pakai dari Tahun 1997-2000. 2. Bagaimana awal Anda mengenal DSLR ? Bisa diceritakan ? Analog ke digital awal tahun 2000 , tepatnya lupa , belum langsung ke DSLR, saya Cuma pakai Fuji pocket , adanya Cuma itu, yang pakai dslr belum ada, ada tp jarang karena harganya yang mahal sekali. Jadi pertama kali pakai DSLR itu karena kantor menyediakan itu, mau ga mau harus makai itu, pertama kali sih makainya D70, merek Nikon itu. Waktu itu fotografer di Solopos masih saya, sama Yayus. Sekarang sudah empat orang. 3. Apa alasan Anda untuk memutuskan berganti ke DSLR ? Ya karena di analog itu mahal di produksi, beli developer dan sebagainya. Sangat mahal. Kesulitan di lapangan sangat banyak dengan manual, terbatasnya jumlah roll film terutama. kalau kita dipaksa makai analog ya kalah kita. 4. Saat pertama kali menggunakan DSLR, apakah Anda mengalami kesulitan ? Kalo pertama makai dslr sih ga ada kesulitan, malahan DSLR itu sangat memudahkan. Kalau kamera digital sih saya otodidak karena sering belajar dari hasil memakai analog dulu. Internet belum seperti sekarang waktu tahun 2000 itu 5. Darimana Anda mendapatkan informasi mengenai kamera DSLR ? terutama proses penggunaanya ? commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
147 digilib.uns.ac.id
Saya ga belajar dari media apapun. Saya ga pernah baca, teori saya abaikan. Saya waktu itu sempetnya belajar dari brosur, biasanya dapet dari produsen, atau pameran. Dulu brosur ini dikirim ke media-media kita. Di brosur itu terbatas informasinya, saya Cuma belajar soal spesifikasi aja dari brosur itu, bukan teknis. Saya pertama kali ga merasakan kesulitan, penggunaannya kan mirip dengan analog. Saya dapat pelatihan dari Jakarta waktu itu soal kamera digital. Dari forum fotografi Jakarta waktu itu sekitar tahun 2003-an. Saya karena terbiasa pakai analog jadi ga kesulitan dengan kamera digital. 6. Bisa diceritakan bagaimana proses pengadaan kamera di tempat Anda bekerja ? Pertama kali sih fotografer minta ke kantor karena kebutuhan juga waktu itu. Sekitar tahun 2005 saya makai DSLR, pertama kali di Solo waktu itu. Waktu gempa Jogja itu saya makai D70 sama D100. Karena memang memudahkan kerja waktu itu. Penggunaan pocket udah ga bisa untuk motret cepat atau olahraga. Kemudian Kita minta merk Canon waktu itu, karena waktu itu perkembangan teknologi Nikon kurang cepat. Waktu Erupsi Merapi tahun 2011 saya beralih dari Nikon ke Canon. Saya sedikit mengalami kesulitan waktu pergantian itu. Kalau pengadaan kamera sih kita yang ngasih saran, misal pakai merk ini hasil seperti ini, kemudahan ini. Saya sharing ke bagian umum untuk pengadaan, kita sharing dengan mereka. Kita meyakinkan mereka pentingnya penggunaan kamera digital itu seperti itu. Kalau bagian umum berorientasi harga sedangkan kita teknis. Sering terjadi crash waktu itu awal-awal penggunaan kamera digital itu. Biasanya soal pengadaan kamera itu. Biasanya karena perbedaan orientasi tadi. Kita ngasih perbandingan tu, bagaimana kalau memakai digital di Kompas atau Jawa Pos. Kadang mereka kurang bisa menerima karena alasan harganya terlalu mahal. 7. Apakah selama ini Anda sering melakukan sharing mengenai fotografi atau mengenai teknologi DSLR ? Sering saya sharing soal fotografi di PFI Solo dan memberikan pelatihan juga. Saya dalam sharing tidak pernah membicarakan merek. Paling saya bercerita commit to user
148 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
soal pengalaman dari analog ke digital. Periode tahun 2000-an saat perpindahan dari analog ke digital. Saya waktu itu paling sering bercerita soal bagaimana ribetnya penggunaan kamera analog, mulai dari proses scan, olah film. Sementara digital saya tinggal copy. Biasanya saya sharing soal foto lewat slide show, kalau cuma tatap muka ga bisa sharing. Tapi saya ga pernah lewat media internet untuk sharing. Kalau di kantor sih cuma sharing, ga ada pelatihan antar fotografer. Kalau ke junior saya ga pernah ngajari, Cuma sharing sering. Biasanya kita ngomongin hasil, kalau secara teknis saya abaikan. 8. Apakah dalam sharing itu anda sering memberi masukan mengenai sebuah merk DSLR ? Saya ga pernah ngasih saran. Cuma pernah beberapa kali ke hobiis untuk menggunakan kamera digital. Kalau ke fotojurnalis jarang, kan udah pinter semua. Kalau ke hobiis yang temen-temen, saya lebih ke teknis, mereka lebih ke teoritis sama fanatik merek tertentu. Kalau beberapa temen-temen saya sih ada yang tanya ke saya soal kamera tertentu, kalau saya sih lebih ke hasilnya bukan teknis kameranya secara mendetail.
commit to user
149 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
B. Nama
: Franky
Usia
: 34
Masa Kerja
: 6 tahun
Instansi Kerja : Solopos (Surakarta) 1. Bisa diceritakan bagaimana kedudukan bagian umum di perusahaan ini ? Kalau di Solopos sebagai sebuah perusahaan di dalamnya terdapat beberapa divisi, secara garis besar dibagi dua bagian, ada redaksi dan manajerial, redaksi bertugas menangani segala sesuatu yang berhubungan dengan pemberitaan, termasuk di dalamnya bagian fotografi. Kemudian bagian manajerial, di dalamnya ada manajemen penjualan, adalah yang bertanggung jawab atas penjualan produk. Lalu kami, divisi umum adalah divisi yang menjembatani dua divisi besar tersebut. Kami mengendalikan kebutuhan dua divisi tersebut, jika mereka membutuhkan kamera,
mereka
mengajukan
ke
manajemen.
Dan
manajemen
akan
memerintahkan saya melakukan cek atas kebutuhan tersebut, apakah berlebihan tidak untuk kebutuhan di lapangan. 2. Bagaimana teknis pengadaan kamera di perusahaan Anda ? Semua tergantung kebutuhan, apakah untuk sport, atau kebutuhan lain. Kita fokus ke DSLR karena untuk singkronisasi antara kebutuhan cetak koran dengan plat cetak. Kalau kamera tidak bagus maka hasil cetak pembesaran tidak bagus. 3. Apakah anda dituntut paham mengenai kamera khususnya DSLR ini ? Saya harus paham secara spek teknis kamera tersebut. Sekarang ada kamera dengan fasilitas wifi dan GPS, kalau nanti mereka pakai seperti itu? Apakah itu selaras dengan kebutuhan? Kalau semisal mereka mengajukan sebuah spesifikasi kamera misal Canon 6D, kita harus cek dengan manajemen nih, apakah kebutuhan tersebut sudah mendesak atau sekedar mengikuti tren saja ? 4. Bagaimana anda mendapatkan informasi DSLR ? commit tomengenai user
150 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Saya harus mengumpulkan informasi paling banyak melalui web (internet), saya berhubungan langsung dengan pihak Canon maupun Nikon di Jakarta. Kemudian saya juga berhubungan dengan komunitas pengguna kamera digital untuk sharing dengan mereka. Ada komunitas di facebook di Kota Jakarta, misalnya yang saya gunakan rujukan untuk mencari informasi. Sub dealer penjualan seperti Kota Raya saya juga melakukan hubungan dengan mereka. Kadang untuk jaga-jaga saja semisal ada kerusakan saya juga akan butuh mereka. Saya akan tanya kepada mereka dimana tempat membersihkan lensa. Temen-temen di lapangan ga mau tau misal lensa kotor, mereka akan kembali pada saya, setelah selesai saya berikan lagi dengan mereka. Kalau seri terbaru saya dapatkan melalui release email dari produsen Canon dan Nikon, saya harus memahami spek-spek tersebut, kami harus tahu mendetail fungsinya, jangan sampai mereka mengajukan tanpa saya tahu tentang produk tersebut. Saya harus punya data dulu, misal mereka mau mengajukan sebuah produk saya sudah punya dulu list mulai dari harga sampai spesifikasi sebuah produk. Selain itu saya sering juga sharing lewat telepon dengan komunitas pengguna fotografer tadi tentang fungsi dan kemudahan sebuah kamera. 5. Bagaimana teknis pengadaan nya ? Kita melakukan komunikasi melalui rapat ketika ada pengajuan kamera merek tertentu dari pihak redaksi. Saya sebagai penengah. Semua disesuaikan dengan kebutuhan dari sisi kecepatan dan pengolahannya, kita cari kemudahan. Kita dari perusahaan kita akan memilih apakah kita akan menonjolkan sisi kecepatan kemudahan ataupun sisi mana saja yang ingin kita kejar. Biasanya melalui meeting internal dulu tanpa saya, mereka akan meeting internal dengan pihak redaksi, begitu selesai ada surat masuk ke saya dan pihak direksi akan mengumpulkan kita untuk menyesuaikan kebutuhan tersebut dengan kebutuhan di lapangan, apakah mendesak ataukah tidak
commit to user
151 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
6. Sering ada friksi saat rapat tersebut ? Friksi terjadi biasanya karena debat soal harga. Kemudian soal fungsi, apakah kalau kita beli yang canggih seperti wifi dan gps tadi akan terpakai ? apakah soal modernisasi ataukah secara fungsi ? Gengsi ataukah fungsi, biasanya seperti itu. Titik temu nanti biasanya akan dikonsultasikan dengan pihak keuangan, jadi tidak semua bisa di ACC langsung. Semua kembali kepada direksi. Kalau pihak direksi mungkin tahu tapi tidak mendalam, jadi semua dikembalikan kepada saya. Saya harus memahami teknologi yang diajukan. Saya harus terbuka dengan informasi baru, semua staff saya pun harus terbuka atas informasi yang beredar. 7. Berarti divisi anda memegang peranan penting untuk pengadaan DSLR ? Benar divisi ini sangat vital dalam pengadaan kamera khususnya. Bukan hanya pengadaan tapi proses after salesnya yang kita kerjakan disini. Jadi memang setiap pengadaan tentunya harus ada usul dari redaksi dulu, SOP perusahaan menegaskan kami tidak boleh mengadakan sesuatu tanpa ada permintaan dari divisi manapun.
Pun dengan mereka, mereka tidak bisa
membeli tanpa melalui saya.
commit to user
152 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
C. Nama
: Tarko Sujarno
Usia
: 52 tahun
Masa Kerja
: 26 tahun
Instansi Kerja
: Jakarta Post (Yogyakarta)
1. Bagaimana awal Anda mengenal DSLR ? Bisa diceritakan ? Waktu itu kita belum bayangin ada digital seperti saat ini. Ya waktu itu makai apa adanya analog aja, nyari cetak yang cepat dimana. Saya makai pertama kali sih pocket masih 2.3 MP, pertama kali mungkin di jogja. Beberapa kejadian besar seperti jatuhnya pesawat di Bengawan Solo itu saya masih pakai poket. Kebakaran kilang minyak di Cepu juga. Susah karena beberapa kejadian malam hari, saya akal-akalin saja sensornya. DSLR saya mulai pakai tahun 2000-an awal. Dulu masih jarang yang makai DLSR, saya pertama kayanya, dapatnya juga nitip dari temen saya yang lagi pergi ke luar negeri saat itu. 2. Apa alasan Anda untuk memutuskan berganti ke DSLR ? Waktu itu sih tuntutan keadaan, karena poket sudah tidak bisa menuruti kecepatan kerja terutama deadline. Kamera DSLR memotong banyak proses kerja dibandingkan dengan analog. 3. Saat pertama kali menggunakan DSLR, apakah Anda mengalami kesulitan ? Kalau teknis sih hampir mirip dengan analog kok. Ga ada kesulitan. Waktu pakai film sih kurang leluasa. Tinggal pencet kalau pakai pocket atau DSLR, kepraktisan dan kecepatan. Langsung jalan aja waktu itu ga pakai belajar-belajar, karena udah familiar aja dengan analog Nikon saat itu. Hampir sama dengan kamera analog, Cuma banyak mode yang dimainkan di kamera digital. Begitu menerima saya langsung pakai, belajar di lapangan waktu itu langsung saya pakai. Tidak ada kesulitan, malah langsung terbantu saat itu. commit to user
153 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
4. Darimana Anda mendapatkan informasi mengenai kamera DSLR ? terutama proses penggunaanya ? Pertama kali dapat info sih saya nyari-nyari sendiri.
Dari kantor tidak
menyediakan. Kalau informasi soal dslr saya tanya temen-temen aja yang lain. Waktu itu saya dapat informasi soal kamera D70 itu saya baca-baca dari iklan koran aja terus titip temen yang berada di Singapore. Di Jogja (daerah) belum ada mungkin saat itu. 5. Apakah selama ini Anda sering melakukan sharing mengenai fotografi atau mengenai teknologi DSLR ? Saya jarang sih mengisi forum-forum soal kamera. Kalau sharing sih iya ada, biasanya dengan temen sendiri aja. Sharing nya biasanya macem-macem, kita bicara soal hasil dibandingkan dengan foto lain.saya dari dulu pakai Nikon biasanya sharing juga kalau pakai Canon itu gimana bedanya. Sering juga kalau kita sharing soal kamera itu, teknis-teknis fotografi misalnya. Terutama dengan anak-anak muda itu ya saya biasanya sih tanya ke mereka. Saya justru percaya dengan temen-temen muda, mereka lebih cepet menerima informasi, jadi saya lebih sering sharing dengan mereka, soal ini itu. 6. Apakah dalam sharing itu anda sering memberi masukan mengenai sebuah merk DSLR ? Kalau saya ke junior sih ga pernah kasih masukan merek-merek tertentu, karena saya beranggapan kalau kamera itu Cuma alat saja, semua tergantung pribadi masing-masing fotografer itu sendiri. Dan semua kamera jaman sekarang sih sama semua teknologinya, semua tergantung kita. Saya ga pernah mendebat soal hasil merek Canon dengan Nikon, sering ngobrolin soal itu sih tapi semuanya mengalir saja. Saya ga fanatik merekmerek tertentu Cuma kebiasaan aja merek Nikon sejak awal menggunakan kamera DSLR.
commit to user
154 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
D. Nama
: Ali Lutfi
Usia
: 38 tahun
Masa kerja
: 15 tahun
Instansi Kerja : Jakarta Globe dan EPA (Wilayah Surakarta)
1. Pernah merasakan menggunakan kamera analog untuk profesi Anda ? Saya pertama kali menggunakan analog mulai tahun 1998 untuk membantu kerja saya saat itu. Tahun 1998 – 2000 saya pakai analog. 2. Bagaimana awal Anda mengenal DSLR ? Bisa diceritakan ? Pertama kali memakai teknologi digital saya menggunakan kamera compact digital Fuji saat itu, dengan kapasitas memori 8 mb saja. Dengan kualitas 2-3 MP saja saat itu. Saya pegang DSLR tahun 2003. Saya mendapat informasi soal DLSR dari majalah, jadi sebelum muncul di pasar saya sudah dapat informasi dari majalah saat itu kalau sebentar lagi akan beredar kamera DSLR. Sejak tahun 1998 saya udah dapat informasi. Belum ada internet saat seperti saat ini. Saya belajar dari majalah soal hasil foto dari fotografer luar negeri dari majalah itu. Dari majalah seperti foto Asia dan foto Media saya mendapatkan info dari media itu. 3. Apa alasan Anda untuk memutuskan berganti ke DSLR ? Terutama kemudahan ya, proses analog ke hasil fisik biasanya kita membutuhkan 1 jam. Efisiensi waktu, biaya, DSLR sangat memudahkan pekerjaan kita. 4. Saat pertama kali menggunakan DSLR, apakah Anda mengalami kesulitan ? Tidak ada kesulitan dalam transisi penggunaan kamera analog ke digital. Kesulitan lebih ke post produksi nya. Masalah komputer yang lambat pada saat itu. 5. Darimana Anda mendapatkan informasi mengenai kamera DSLR ? terutama proses penggunaanya ? commit to user
155 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Saya sudah mendapatkan informasi mengenai DSLR dari internet saat itu. Selebihnya tidak ada kesulitan karena teknisnya hampir sama kok seperti kamera analog. 6. Bisa diceritakan bagaimana proses pengadaan kamera di tempat Anda bekerja ? Kantor memberikan dan memilihkan fasilitas mana yang terbaik buat fotografernya. Karena terkait dengan budgeting karena harga DSLR yang sangat mahal saat itu. Kita biasanya memberikan masukan saja kita butuh alat-alat seperti ini. Dan kantor yang memberikan fasilitas itu. 7. Apakah selama ini Anda sering melakukan sharing mengenai fotografi atau mengenai teknologi DSLR ? Saya sering sharing tapi bukan masalah teknologi, karena sudah sangat lama beredar teknologi digital itu, sekarang siapa sih yang masih pakai analog ? transfer knowledge lebih pada hasil. Kalau teknis semua hampir sama antara analog dan digital. Basic nya hampir sama. Kalau saya sering tatap muka untuk forum-forum, lewat mengajar, diskusi ataupun menjadi pembicara dalam workshop. 8. Apakah dalam sharing itu anda sering memberi masukan mengenai sebuah merk DSLR ? Saya ga pernah kasih masukan masalah brand. Saya tidak mengharuskan memakai brand terrtentu, tinggal bagaimana kamu menghasilkan sebuah karya dengan teknologi apapun yang kita miliki. Percuma punya teknologi kalau tidak bisa memanfaatkannya.
commit to user
156 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
E. Nama
: Pang Hway Seng
Usia
: 63
Masa Kerja
: 26 tahun
Instansi Kerja : Fotografer Profesional (Surakarta) 1. Pernah merasakan menggunakan kamera analog untuk profesi Anda ? Saya mulai jadi fotografer periode tahun 1988-an, jadi selama itu sampai tahun 2000-an awal saya masih pakai kamera film format kecil maupun besar pernah saya gunakan. 2. Bagaimana awal Anda mengenal DSLR ? Bisa diceritakan ? Periode tahun 2002-2004 saya transisi sudah pakai DSLR, tapi masih ndobel waktu itu, karena saya belum sepenuhnya percaya dan yakin dengan DSLR, jadi setiap motret saya selalu pakai dua kamera, satu digital satu analog. Mulai tahun 2004 saya mulai lepas sepenuhnya dari analog menggunakan digital seri d70. 3. Apa alasan Anda untuk memutuskan berganti ke DSLR ? Saya harus memakai DSLR, saya berfikiran kalau saya tidak memakai DSLR saya mati, waktu itu periode 2001-an toko kamera yang menjual film sudah bangkrut, lalu saya dapat film darimana? Dari majalah Foto Indonesia saya biasanya dapat kabar soal perkembangan dunia kamera, misal isu pailitnya Kodak, makanya saya jadi ngeri. Makanya saya terus terpaksa belajar DSLR itu 4. Saat pertama kali menggunakan DSLR, apakah Anda mengalami kesulitan ? Saya ga ada kesulitan menggunakan kamera DSLR itu, kesulitannya justru pada post produksinya, bagaimana memproses di komputer itu sendiri. Hitungan hari saya belajar. Tidak lama saya belajar, dari sales nya saja saya sudah bisa mengoperasikan. Lebih susahnya ya itu bagaimana back up data nya, gimana kalo file rusak, gimana edit nya, seperti itu lah susahnya. 5. Darimana Anda mendapatkan informasi mengenai kamera DSLR ? terutama proses penggunaanya ? commit to user
157 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Saya dapat informasi mengenai DSLR itu dari toko kamera, majalah dan dari temen-temen, banyak saat itu temen-temen yang pindah ke DSLR jadi saya tanya-tanya mereka. Kalau yang terakhir beli kamera ini saya banyak tanya nya ke penjual kamera nya malahan apa kelebihan dan kekurangan kamera ini. Kalau saya jadi orang tu sering nanya ke temen seperti senior saya dari Jogja. Dia yang sering pertama kali nyoba teknologi baru, jadi sering nanya ke dia. 6. Apakah selama ini Anda sering melakukan sharing mengenai fotografi atau mengenai teknologi DSLR ? Kalau saya sekarang aktifnya di forum HSB (Himpunan Solo Bengawan), tapi jarang juga untuk sharing ke teman-teman atau junior saya. Kalau lewat forum saya lebih sering mengajarkan kepada junior untuk belajar dari manual book lebih dulu agar mereka mengenal kameranya masing-masing. Cara saya memberitahu mereka adalah dengan mereka mengoperasikan kameranya sendiri. Saya ga mau memberikan pengajaran sampai ke mendetail ke teknis nya. Saya lebih menekankan bagaimana mengoreksi hasil. 7. Apakah dalam sharing itu anda sering memberi masukan mengenai sebuah merk DSLR ? Kalau dimintai pertimbangan sih sering untuk brand-brand tertentu, tapi istilahnya saya tidak mengunggulkan spesifikasi kamera, tapi keunggulan masing-masing merk saya bisa bandingnkan. Tapi kalau secara hasil tidak bisa dibedakan, sudah standar semua. Keunggulan biasanya di kecepatan saja antar satu merek dengan lainnya.
commit to user
158 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
F. Nama
: Kurniawan Arie
Usia
: 28 tahun
Masa Kerja
: 4 Tahun
Instansi Kerja : Joglosemar (Surakarta) 1. Pernah merasakan menggunakan kamera analog untuk profesi Anda ? Saya mengenal fotografi dari tahun 2005. Pertama menggunakan analog Nikon FM 10. 2. Bagaimana awal Anda mengenal DSLR ? Bisa diceritakan ? Mulai kenal digital khususnya DSLR itu sekitar pertengahan tahun 2008. Saat itu saya antusias menerima informasi soal DSLR di tahun 2008 itu. Karena kesenangan saya di dunia fotografi. 3. Apa alasan Anda untuk memutuskan berganti ke DSLR ? Saya mulai berpindah ke digital karena kebutuhan magang saya di Antara Foto, karena kebutuhan di lapangan yang mengharuskan kita menggunakan DSLR. 4. Saat pertama kali menggunakan DSLR, apakah Anda mengalami kesulitan ? Tidak ada kesulitan, karena pengoperasiannya kan dasarnya sama dengan kamera analog. 5. Darimana Anda mendapatkan informasi mengenai kamera DSLR ? terutama proses penggunaanya ? Saya kenal DSLR dari teman-teman, nyoba-nyoba pakai. Selain itu saya sering baca majalah Chip Foto Video saat itu saya baca-baca preview kamera lewat media itu sekitar tahun 2006 an. Kadang saya lihat dulu hasil-hasil dari fotografer Kompas atau Radar Jogja. Media selain itu saya belajar lewat internet misal dari fotografer.net, klinik foto kompas juga sering saya kunjungi. Keinginan saya menghasilkan foto yang baik membuat saya harus mengkonsumsi informasi soal bagaimana spesifikasi kamera dan teknis penggunaan kameranya. commit to user
159 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Selain itu untuk belajar teknis saya sering belajar lewat teman-teman di klub foto Fotkom di Jogja. 6. Apakah selama ini Anda sering melakukan sharing mengenai fotografi atau mengenai teknologi DSLR ? Untuk sharing saya sering lakukan dengan rekan-rekan sesama foto jurnalis, soal teknis , komposisi, bagaimana menangkap momen. Biasanya sering sharing nya malah dengan junior saya di lapangan. Kadang –kadang merasa pekewuh kalau mau sharing dengan rekan senior. Untuk teknologi biasanya kalau ada kamera baru yang akan keluar, kita bahas bagaimana misal hasil gambar, speed kamera, pasti itu kita bahas bareng temen-temen. Biasanya kita dapet dari internet, ataupun sosial media soal informasi itu. Kadang kalau senior jarang malah ga pernah ya ngomongin kamera-kamera tertentu, mereka lebih menggunakan apa adanya. Seringnya malah sama yang muda-muda itu. Mereka lebih update dan terbuka untuk informasi.
commit to user
160 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
G. Nama
: Agoes Rudianto
Usia
: 27 tahun
Masa Kerja
: 7 tahun
Instansi Kerja : Kontributor Kantor Berita Turki (Surakarta)
1. Pernah merasakan menggunakan kamera analog untuk profesi Anda ? Tahun 2007 sekitar satu tahun memakai kamera analog. 2. Bagaimana awal Anda mengenal DSLR ? Bisa diceritakan ? Saya beralih ke DSLR pada tahun 2008. Karena memang sudah lazim pemakaian DSLR waktu itu, karena tuntutan tugas juga 3. Apa alasan Anda untuk memutuskan berganti ke DSLR ? Kebutuhan akan kecepatan mengejar deadline, karena wartawan dituntut untuk mengirim berita dengan cepat, cepat, praktis, hemat waktu dan saat gelombang internet yang mulai berkembang. 4. Saat pertama kali menggunakan DSLR, apakah Anda mengalami kesulitan ? Tidak mengalami kesulitan saat penggunaan. Hampir sama kok penggunaan secara teknis dengan kamera analog. Selama 1-2 hari langsung menguasai penggunaan DSLR karena prinsip memotret itu sama. 5. Darimana Anda mendapatkan informasi mengenai kamera DSLR ? terutama proses penggunaanya ? Biasanya lewat internet, majalah, sekitar seminggu dua kali mungkin. Informasi yang saya cari lebih ke dramatisasi foto, pemilihan angle, lebih ke pemilihan foto. Kalau saya jarang mengikuti perkembangan teknologi, kalau dituruti ga ada habisnya, kalau memperhatikan perkembangan kamera digital sih sekali dua kali, kalau diturutin sekarang bisa banyak sekali perkembangan nya, dan tentunya harga semakin mahal. 6. Apakah selama ini Anda sering melakukan sharing mengenai fotografi atau mengenai teknologi DSLR ?
commit to user
161 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Kalau sharing lebih sering untuk tatap muka itu pun bukan ngomongin hal yang bersifat ke tools, tapi dari segi warna, lensa, kamera full frame, crop factor , tapi jarang untuk sesuatu yang bersifat teknis. Untuk saya sharing barengbareng ga memandang junior ataupun senior. Kadang saya juga chatting sama temen-temen fotografer yang ada di luar solo juga.Kalau biasanya saya lebih enak ngobrol sama yang seumuran dibanding junior.
commit to user
162 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
H. Nama
: Fahmi Widayat
Usia
: 30 tahun
Masa Kerja
: 3 tahun
Instansi
: Fotografer Profesional (Yogyakarta)
1. Pernah merasakan menggunakan kamera analog untuk profesi Anda ? Saya sampai sekarang bisa dibilang masih menggunakan dan produksi foto dengan kamera analog mas, tapi untuk sekedar hobi. Walaupun
Pernah
sesekali diminta menggunakan analog untuk kebutuhan klien tp presentasenya kecil bisa dibilang 1 : 10, jadi belum sepenuhnya saya meninggalkan analog. 2. Bagaimana awal Anda mengenal DSLR ? Bisa diceritakan ? Kalau mengenal dan mulai menggunakan DSLR sendiri sekitar 5-6 tahun yang lalu. 3. Apa alasan Anda untuk memutuskan berganti ke DSLR ? Kalau dibilang berganti sih belum, karenaya itu tadi kalau walaupun presentasenya kecil tapi kalau masih ada permintaan tidak menutup kemungkinan untuk menggunakan analog lagi. Gampangnya sementara ini analog untuk hobi dan DSLR untuk profesi saya kebanyakan. Jadi karena tuntutan kebutuhan saya saat ini lebih banyak menggunakan DSLR. Kamera digital lebih cepat dalam proses produksi. 4. Saat pertama kali menggunakan DSLR, apakah Anda mengalami kesulitan ? Tidak ada kesulitan mas saat pertama kali menggunakan DSLR. 5. Darimana Anda mendapatkan informasi mengenai kamera DSLR ? terutama proses penggunaanya ? Maksudnya ? kalau untuk membelinya saya dulu nanya-nanya temen dulu cari info. Tapi kalau mempelajari teknis dan spesifikasinya saya biasa nanya tementemen yang sudah duluan makai mas, kadang browsing di internet juga lewat commit to user
163 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
media Facebook biasanya. Dulu kalau ada kesulitan saya kadang baca manual book nya dulu. 6. Apakah selama ini Anda sering melakukan sharing mengenai fotografi atau mengenai teknologi DSLR ? Iya biasanya kalau ketemu teman kerja di lapangan aja mas, lumayan sering tapi kita ngorbrolnya paling juga sebatas soal hasil sama teknis fotografi aja.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
164 digilib.uns.ac.id
I. Nama
: Hasan Sakri Ghozali
Usia
: 28 thn
Masa Kerja
: 4 tahun
Instansi Kerja : Staff Redaksi Tribun Jogja (Fotografer) (Yogyakarta)
1. Pernah merasakan menggunakan kamera analog untuk profesi Anda ? Tidak pernah kalau untuk kebutuhan peliputan. Karena ketika mulai aktif bekerja sudah mengalami masa digital meskipun mengalami penggunaan analog tapi saat belajar kamera. 2. Bagaimana awal Anda mengenal DSLR ? Bisa diceritakan ? Ya awalnya sudah suka duluan dgn dunia fotografi sejak jaman SMA terus waktu kuliah ikut UKM fotografi. Belajar mengenai dasar fotografi, cuci cetak dll. Kemudian mulai rajin motret dengan kamera analog kakak tingkat dulu waktu kuliah kurang lebih setahun. 3. Apa alasan Anda untuk memutuskan berganti ke DSLR ? Kemudian waktu itu karena penggunaan analog cukup rumit ribet seperti cetak indexprint dan cuci film kemudian cukup berat di di biaya produksi dan kebutuhan perlengkapan kamera analog seperti roll film semakin susah didapatkan ditambah lagi kamera digital mulai beredar akhirnya memutuskan untuk membeli kamera digital saat itu. Kalau tidak salah sekitar tahun 2006. 4. Saat pertama kali menggunakan DSLR, apakah Anda mengalami kesulitan ? Tidak terlalu susah karena kamera analog yang dulu saya gunakan juga dengan merk yang sama dengan kamera digital saya saat itu sehingga tidak perlu banyak penyesuaian juga. Cuma kebiasaan kamera analog kebawa ke figital soal bagaimana menghemat film. Tapi itu enaknya DSLR kita sudah ada kerja semu bisa membuat habit foto udah jadi di kamera. Tidak memerlukan banyak editan. 5. Darimana Anda mendapatkan informasi mengenai kamera DSLR ? terutama commit to user proses penggunaanya ?
165 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Saya dulu dapat referensi soal DSLR itu dari teman, dan internet. kalau penggunaan kameranya saya dapatkan dari manual book kamera. Kalau dari teman biasanya kita ngomongin soal merk kamera tertentu, seperti kelebihan dan kekurangannya serta memaksimalkan dana yang dimiliki untuk memiliki teknologi terbaru. Kalau dari internet biasanya lebih ke perbandingan harga dan detail spesifikasinya, kalau jaman itu belum ada situs yang signifikan membahas fotografi seperti sekarang ini. Dulu Cuma pake google untuk mencari website toko-toko kamera untuk mengecek harga saja. 6. Apakah selama ini Anda sering melakukan sharing mengenai fotografi atau mengenai teknologi DSLR ? Iya. Biasanya sharing ke sesama penggemar fotografi, dan teman-teman se profesi saya. Kadang banyak yang kita share, kadang teknis sebuah foto dibuat hingga kamera keluaran terbaru. Saling berbagi informasi tentang penggunaan kamera terutama jika terjadi permasalahan terhadap kamera kita. 7. Apakah dalam sharing itu anda sering memberi masukan mengenai sebuah merk DSLR ? Kalau untuk sekarang sudah mulai tidak memikirkannya (merk). Tapi lebih pada penggunaan dan memaksimalkan kerja kamera. Karena kalau saat ini lebih pada adanya alat kerja yang mendukung pekerjaan. Namun juga harus disesuaikan dengan teknologi yang mumpuni untuk tuntutan kerja kita.
commit to user