BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Konsepsi dasar pembentukan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI 1945) sebagai landasan hukum tertinggi Bangsa Indonesia membawa konsekuensi logis bagi Pemerintah untuk mewujudkan kesejahteraan umum bagi warga negaranya sebagai wujud penjabaran tujuan pembentukan bangsa yang termaktub dalam alinea keempat pembukaan UUD NRI 1945. Pembangunan di segala bidang pada umumnya dan pembangunan infrastruktur pada khususnya merupakan sebuah upaya untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera, adil dan makmur yang merata secara material maupun spiritual berdasarkan Pancasila dan amanat UUD NRI 1945 dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Riyadi dan Deddy Supriyadi Bratakusumah (2005: 275), menyatakan bahwa pembangunan adalah semua proses perubahan yang dilakukan melalui upaya-upaya secara sadar dan terencana. Mengacu pada konsepsi pembangunan tersebut, seiring dengan perkembangan sosial, budaya dan perekonomian masyarakat, berkembang pula berbagai pembangunan dalam bidang infrastruktur yang diakomodir dengan jasa dalam bidang konstruksi. Produk akhir jasa konstruksi yang berupa bangunan fisik, baik berupa sarana maupun prasarana mempunyai peran untuk mendukung tumbuh kembangnya berbagai industri barang dan jasa yang diperlukan dalam penyelenggaraan konstruksi (Mohammad Amari dan Asep Mulyana, 2010: 12). Maka keberadaan jasa konstruksi dapat ditandai sebagai salah satu bukti nyata berkembangnya pembangunan di Indonesia yang memiliki peranan penting dalam pencapaian berbagai sasaran guna menunjang terwujudnya pembangunan nasional (Abdulkadir Muhammad, 2000: 585). Salim H.S. (2004: 4) menyatakan bahwa eksistensi jasa konstruksi yang tumbuh dan berkembang di masyarakat merupakan implikasi dari adanya sifat terbuka (open system) buku ke-III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH
1
2
Perdata) yang menjadi dasar paham hukum akan asas kebebasan berkontrak yang menyatakan bahwa para pihak bebas untuk mengadakan kontrak dengan siapa pun, menentukan syarat-syaratnya, pelaksanannnya, dan bentuk kontrak baik lisan ataupun tertulis, baik yang telah tercantum dalam KUH Perdata ataupun diluar KUH
Perdata.
Melihat
betapa
kompleksnya
bidang
konstruksi,
maka
diperlukanlah sebuah payung hukum yang sifatnya lebih khusus (specialist) tentang jasa konstruksi di Indonesia sebagai penjabaran dari konsepsi Negara Indonesia yang berdasar pada hukum sebagaimana termaktub dalam Pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945, sehingga pembangunan yang sedang dilaksanakan tidaklah terlepas dari peraturan-peraturan hukum terkait. Lahirnya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Undang-Undang Jasa Konstruksi (selanjutnya disebut UUJK), sebagaimana tercantum dalam penjelasan umumnya menunjukkan bahwa Pemerintah sudah mulai serius dalam mengelola bidang konstruksi dalam rangka mewujudkan peran strategis jasa konstruksi dalam pembangunan nasional. Mengacu pada pengadaan jasa konstruksi, sejak berlakunya UUJK jenis kontrak dengan objek pekerjaan jasa konstruksi adalah kontrak kerja konstruksi, dan bukan perjanjian pemborongan bangunan sebagaimana lazim digunakan sebelum lahirnya UUJK (Yohanes Sogar Simamora, 2013: 214). Kontrak kerja konstruksi merupakan salah satu kontrak yang cukup banyak dipraktekkan orang. Mulai dari kontrak sederhana untuk mendirikan bangunan atau rumah kecil sampai pada pembangunan proyek-proyek besar atau mega proyek seperti gedung bertingkat, jalan raya, jembatan, irigasi, gedung olahraga, dan lain sebagainya (Munir Fuady, 2002: 197). Kontrak kerja konstruksi merupakan kontrak yang dikenal dalam pelaksanaan konstruksi bangunan baik yang dilaksanakan oleh pemerintah maupun swasta (Salim H.S, 2004: 90), yang mana dalam pelaksanaannya kontrak kerja konstruksi diatur dalam beberapa regulasi. Khusus kontrak kerja konstruksi yang diselenggarakan oleh Pemerintah diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (Perpres PBJP) yang menentukan bahwa pekerjaan konstruksi (yang dalam UUJK disebut jasa konstruksi atau kontrak kerja
3
konstruksi) merupakan salah satu bagian dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (yang selanjutnya disebut PBJP). Perpres PBJP ini merupakan peraturan tentang PBJP sebagai pengganti dari peraturan sebelumnya yaitu Keputusan Presiden Nomor 80 tahun 2003. Ketentuan dalam Bab XIII Perpres PBJP ini telah dicantumkan metode pengadaan terbaru yaitu secara elektronik yang mana merupakan suatu manifestasi dalam mengikuti perkembangan teknologi di era globalisasi (Saifoe El Unas, 2012: i). Terkait dengan pelaksanaan pembangunan yang mengikuti teknologi di era global, Pemerintah menetapkan Peraturan Presiden Nomor 4 tahun 2015 yang merupakan Perubahan Keempat atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (selanjutnya disebut dengan Perubahan Keempat Perpres PBJP), guna menegaskan bahwa seluruh penyelenggaraan PBJP haruslah dilakukan secara elektronik melalui tender elektronik (e-tendering) dan katalog elektronik (e-purcashing), dan bukan lagi bersifat pilihan (optional) sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 106 Perubahan Keempat Perpres PBJP. Metode Pengadaan Barang/Jasa secara elekronik (e-procurement) ini merupakan sebuah upaya dalam sistem pengadaan termasuk juga pekerjaan konstruksi agar dalam proses pengadaan maupun pengawasan pekerjaannya akan lebih terarah sebagaimana dimaksud dalam Perpres PBJP mupun dalam Perubahan Keempat Perpres PBJP. Merujuk pada penjelasan Perubahan Keempat Perpres PBJP menyatakan bahwa pemanfaatan teknologi informasi selain bertujuan untuk memperingan beban pengelola PBJP juga bertujuan untuk tetap menjaga sisi akuntabilitas dalam pelaksanaan PBJP. Inovasi terhadap metode PBJP ini juga diperlukan dalam pelaksanaan percepatan belanja Pemerintah, khususnya terhadap barang/jasa yang secara luas dibutuhkan oleh Pemerintah. Berpedoman pada regulasi terkait e-procurement tersebut selain membawa dampak
positif,
tidak
jarang
pula
masih
terdapat
kekurangan
dalam
pelaksanaannya. Hal tersebut ditandai dengan ketidakoptimalan penyelenggaraan mulai dari tahap pemilihan penyedia barang/jasa melalui e-tendering, pelaksanaan penyelenggaraan pekerjaan konstruksi, hingga evaluasi yang berpotensi menimbulkan kerugian bagi negara selaku pengguna barang/jasa. Berdasar pada
4
data yang dihimpun oleh Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Republik Indonesia (selanjutnya disebut LKPP RI) sepanjang tahun 2008-2015 transaksi e-tendering Lembaga Pengadaan Secara Elektronik (yang selanjutnya disebut LPSE) mengindikasikan bahwa hingga tanggal 30 November 2015 masih terdapat sebuah celah penyelenggaraan yang mengakibatkan ketidakoptimalan pemilihan penyedia barang/jasa melalui e-tendering PBJP, yang disajikan sebagai berikut: Tabel 1. Total Status Transaksi e-tendering PBJP LPSE dalam kurun waktu 2008-2015 Total PBJP kurun waktu 2008-2015
Selisih
Prosentase (%)
Jumlah Lelang
543.279
-
Jumlah Lelang
501.485
41.794
7,69
Selesai Jumlah Alokasi Rp1.097.073.407.000,-
-
Anggaran (pagu) Jumlah Alokasi
Rp869.995.620.000,-
Rp227.077.787.000,-
9,91
Anggaran (pagu) Selesai Sumber: LPSE LKPP RI berdasar tabel tersebut di atas, dalam kurun waktu 2008-2015 masih terdapat 41.794 (empat puluh satu ribu tujuh ratus sembilan puluh empat) atau setara dengan 7,69 % (tujuh koma enam sembilan persen) hasil lelang belum selesai dengan selisih nilai pagu sebesar Rp227.077.787.000,- (dua ratus dua puluh tujuh miliar tujuh puluh tujuh juta tujuh ratus delapan puluh tujuh ribu rupiah) atau setara dengan 9,91 % (sembilan koma sembilan puluh satu persen) dana pengadaan tidak terserap, yang menunjukkan bahwa pelaksanaan e-tendering masih
belum
optimal
(LPSE
LKPP
RI,
2015,
http://report-
lpse.lkpp.go.id/v2/lelang/beranda#, diakses pada 14 Desember 2015 pukul 14.00
5
WIB). Berdasar pada hitungan prosentase angka 9,91 % memang terbilang kecil, namun berbicara dalam konteks penyelenggaraan yang bersumber dari dana APBN dan APBD dengan subjeknya adalah negara hal tersebut dapat dikatakan sebagai tindakan pengadaan yang tidak beretika karena dengan tidak terserapnya anggaran dengan baik berarti telah terjadi pemborosan dan kebocoran keuangan negara dalam Pengadaan Barang/Jasa sebagaimana termaktub dalam ketentuan Pasal 6 huruf f Perpres PBJP. Terkait dengan pelaksanaan tender pemerintah, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) merilis bahwa berdasar laporan tahunan 2014 tercatat sebanyak 109 (seratus sembilan) kasus persaingan usaha tidak sehat dilaporkan pada KPPU. Sebanyak 20 (dua puluh) kasus persekongkolan tender berdasar ketentuan Pasal 22 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU Anti Monopoli) yang diinvestigasi, 6 (enam) diantaranya merupakan persekongkolan tender pemerintah yang mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat dalam rangka pemilihan penyedia barang/jasa PBJP (KPPU, 2014, http://www.kppu.go.id/id/media-danpublikasi/laporan-berkala/laporan
tahunan-
kppu/2014, diakses pada 15 Maret 2016 pukul 09.08 WIB). Merujuk pada publikasi yang dirilis LKPP RI dalam web resmi oleh Selamet Budiharto Kepala Bagian Sistem Informasi menyatakan bahwa dalam penyelenggaraan PBJP juga masih terdapat berbagai potensi problematika hukum tinggi yang berujung pada sengketa mulai dari tahap perencanaan, pemilihan, pelaksanaan, hingga serah terima barang/jasa yang mengakibatkan proses pengadaan menjadi terhambat atau bahkan tidak terealisasi hasil observasi LKPP RI menunjukkan hingga Mei 2015, LKPP RI telah mencatat lebih kurang ada 1.620 kasus sanggahan, 1.510 pengaduan, 777 sengketa pelaksanaan kontrak, dan 251 kasus blacklist. Namun dari seluruh kasus tersebut, hanya 10% sengketa yang diperkarakan. Akibatnya, kepercayaan publik dan gairah pelaku pengadaan menjadi rendah. Permasalahan tersebut diantaranya adalah gugatan penyedia yang tidak dapat berkompetisi karena ketidaktahuan atas Rencana Umum Pengadaan, ketidakpuasan putusan sanggah, pengaduan perkara atas ketidaksetujuan perubahan spesifikasi teknis pada kontrak, serta ketidakmampuan penyedia dalam memenuhi kontrak
6
(LKPP RI, 2015, http://www.lkpp.go.id/v3/#/publikasi/ read/3876, diakses pada 14 Desember 2015 pukul 12.27 WIB). Bidang penyelenggaraan pekerjaan konstruksi sebagai salah satu bagian PBJP juga tidak lepas dari banyaknya masalah. Berdasar publikasi yang dirilis oleh KPPU, dalam kurun waktu 2015 terdapat 5 (lima) kasus yang sudah berhasil diinvestigasi dan diputus terkait terjadinya persekongkolan tender, dimana 1 (satu) merupakan persekongkolan vertikal, 1 (satu) merupakan persekongkolan horizontal dan 3 (tiga) diantaranya merupakan persekongkolan gabungan vertikal serta horizontal. Kelima kasus tersebut merupakan kasus persekongkolan tender dalam rangka pemilihan penyedia pekerjaan konstruksi PBJP yang melibatkan Unit Layanan Pengadaan (ULP) di daerah Sumatera Utara, Kepulauan Riau, Sumatera
Selatan
hingga
Jawa
Tengah
(KPPU,
2015,
http://www.kppu.go.id/id/putusan/tahun-2015/, diakses pada 15 Maret 2016 pukul 09.12 WIB). Tahap pelaksanaan pekerjaan konstruksi, bisa dikatakan juga merupakan tempat potensial untuk terjadinya pelanggaran. Permasalahan dalam pelaksanaan pekerjaan konstruksi pada dasarnya berakar pada kurang optimalnya peran LKPP RI dalam mengawal e-procurement, kurangnya pemahaman akan regulasi PBJP yang selalu saja mengalami perubahan, serta masih terdapat kekosongan hukum dalam
penyelesaian
sengketa
PBJP
(LKPP
RI,
2015,
http://www.lkpp.go.id/v3/#/publikasi/ read/3876, diakses pada 14 Desember 2015 pukul 12.27 WIB). Penyelesaian sengketa PBJP dapat dikatakan sangatlah rumit, dikarenakan kedudukan dari PBJP tersebut masuk dalam kategori antara kontrak publik dan kontrak privat. Negara selaku subjek hukum dalam ranah publik melaksanakan kegiatan kontrak
dalam ranah privat (hibrida), hal ini
mengakibatkan masih banyaknya para pihak yang kebingungan untuk membawa kasus mereka ke ranah hukum mana (IPW, 2014: 13). Salah satu kasus terjadi di Madiun Jawa Timur. Dinas Pekerjaan Umum Pemerintah Kota Madiun (DPU Pemkot Madiun) pada tanggal 25 Januari 2013 mengumumkan adanya pelelangan atas Kegiatan Penataan Kawasan GOR dan Stadion Wilis Kota Madiun Tahun Anggaran 2013, dimana dalam pelelangan
7
tersebut PT. Surya Kencana Sakti (PT. SKS) mengirimkan penawaran akan tender pada tanggal 5 Pebruari 2013 dan dinyatakan sebagai pemenang tender dan pelaksana proyek yang sah menurut hukum pada tanggal 18 Februari 2013. PT. SKS melaksanakan pekerjaan berdasarkan Surat Perjanjian Pemborongan Pekerjaan atau Surat Perintah Kerja Nomor 050/PA/1020/401.109/2013 tanggal 8 Maret 2013, namun pada tanggal 22 Juni 2013 kontrak kerja diputus secara sepihak oleh DPU Pemkot Madiun ketika PT. SKS sedang mengerjakan beberapa item proyek di Gedung Olahraga (GOR) dan Stadion Wilis sebelum massa kontrak habis. Pemutusan kontrak secara sepihak ini dikarenakan PT. SKS masuk dalam daftar hitam (blacklist) oleh Dinas Pekerjaan Umum, Bina Marga dan Pengairan
Kabupaten
Trenggalek
Nomor:
050/437/406.033/2013
yang
menyatakan bahwa blacklist terhadap PT. SKS berlaku selama 2 (dua) tahun di seluruh wilayah Jawa Timur. Merujuk pada Pasal 13 ayat (1) Peraturan Kepala LKPP Nomor 18 Tahun 2014 tentang Daftar Hitam Dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah mengatur bahwa penyedia barang/jasa yang dikenakan sanksi pencantuman dalam daftar hitam berdasar penetapan PA/KPA tidak dapat mengikuti pengadaan barang/jasa di seluruh K/L/D/I dalam jangka waktu 2 (dua) tahun sejak tangal ditetapkannya Surat Keputusan Penetapan sanksi pencantuman dalam Daftar Hitam. Yohanes Sogar Simamora dalam artikel ilmiah (skripsi) Candra Setyo Perdana Putra (2015: 7) menyatakan bahwa pada dasarnya kedudukan dari ada atau tidaknya sanksi blacklist tersebut adalah sebagai parameter untuk menilai tingkat kemampuan (kapabilitas) penyedia barang/jasa dalam melaksanakan pekerjaan dalam lingkup PBJP. Berdasar pada sanksi blacklist tersebut PT. SKS dapat dinyatakan kehilangan haknya untuk mengajukan penawaran akan lelang di Pemkot Madiun yang termasuk dalam wilayah Jawa Timur hingga lelang pekerjaan di seluruh K/L/D/I karena telah dinyatakan tidak mampu melaksanakan beban pekerjaannya. LKPP selaku lembaga yang mengawal penyelenggaraan e-procurement justru baru menayangkan blacklist atas PT. SKS di Daftar Hitam Nasional pada website Portal Pengadaan Nasional pada tanggal 5 April
2013, sehingga pengguna
barang/jasa terlambat mengetahuinya yang mengakibatkan Pemkot Madiun
8
menderita kerugian senilai Rp5.926.980.000,00 (lima miliar sembilan ratus puluh enam juta sembilan ratus delapan puluh ribu rupiah). Berdasar pada kasus diatas, pada dasarnya tindakan pemutusan kontrak secara sepihak yang dilaksanakan oleh Pemkot Madiun dapat dinyatakan sebagai tindakan yang tepat karena telah jelas bahwa PT. SKS dengan sengaja turut mengajukan penawaran dalam lelang sedangkan kedudukannya berada dalam blacklist, namun secara yuridis hal tersebut justru merugikan kedudukan Pemkot Madiun. Hal tersebut dikarenakan adanya berkali-kali perubahan dalam ketentuan Perpres PBJP yang mengakibatkan keraguan dan kerancuan bila terjadi kasus terkait dengan overlapping kontrak berjalan dengan pemberlakuan sanksi blacklist. Ketentuan Pasal 93 ayat (1) Perpres PBJP menyatakan bahwa Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dapat membatalkan kontrak secara sepihak bila dalam penyelenggaraannya penyedia barang/jasa melakukan kesalahan yang dapat dibuktikan oleh pejabat yang berwenang yang mana salah satu sanksi yang termasuk di dalamnya adalah pengenaan blacklist, namun sebagaimana penjelasan Pasal 124 Perubahan Kedua Perpres PBJP dinyatakan bahwasanya pengenaan sanksi daftar hitam tidak berlaku surut (non retroaktif), yang artinya penyedia yang terkena sanksi daftar hitam dapat menyelesaikan pekerjaan lain jika kontrak pekerjaan tersebut ditandatangani sebelum pengenaan sanksi, selain itu bila ketidaktahuan keberadaan sanksi blacklist akibat kesalahan dari pihak ketiga juga tidak diakomodir dalam Perpres PBJP. Kasus lainnya terjadi di Lebak Banten, dimana berdasar pada dikeluarkannya
Surat
Keputusan
Bupati
Lebak
Nomor:
606/Kep.133/Adm.pemb/2014 tentang Penetapan Hasil Kinerja Penyedia Jasa Konstruksi Pelaksana Pekerjaan Fisik Konstruksi pada kegiatan yang bersumber dari dana APBD Tahun 2013 mengakibatkan ruginya PT. Lince Romauli Raya (PT. Lince) selaku penyedia pekerjaan konstruksi. Berdasar pada dikeluarkannya Surat Keputusan Bupati Lebak tersebut, mengakibatkan PT. Lince masuk ke dalam daftar perusahaan yang mendapatkan sanksi blacklist dan ditayangkan secara online pada website LPSE Lebak Banten, yang mengakibatkan PT. Lince mengalami pembatalan penunjukan pemenang lelang serta tidak dapat mengikuti
9
pelelangan pekerjaan di lingkungan pemerintah sampai dengan tanggal 31 Desember 2015. PT. Lince sepanjang tahun 2013 telah mengikuti pelelangan pada beberapa paket pekerjaan di lingkungan/instansi pemerintah, bahkan telah ditetapkan sebagai pemenang lelang, namun akibat dikeluarkannya keputusan Bupati Lebak tersebut mengakibatkan PT. Lince mengalami pembatalan penetapan/penunjukkan pemenang di beberapa paket pekerjaan. Berdasar pada hal tersebut, PT. Lince akhirnya mengajukan gugatan pada Pengadilan Tata Usaha Negara Serang (PTUN Serang). Permasalahan yang timbul kemudian adalah terkait dengan sifat hibrida kontrak terkait dengan kedudukan negara sebagai badan publik dalam menjalankan perbuatan hukum dalam lingkup keperdataan atau privat. Para pihak dalam kontrak, masih sering bingung akan diarahkan kemana kasus yang terjadi dalam pelaksanaan kontrak yang melibatkan negara sebagai salah satu subjek hukumnya. Berdasar kasus tersebut, PTUN Serang menerbitkan Putusan Nomor:39/G/2014/PTUN.SRG. dalam amarnya menolak gugatan PT. Lince seluruhnya karena PTUN tidak berwenang mengadili keputusan yang dibuat dalam ranah perdata. Secara harfiah, Surat Keputusan Bupati Lebak tersebut memang dapat dikategorikan sebagai Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan objek dalam perkara PTUN yang dikeluarkan oleh pejabat publik bersifat konkret, individual dan final, namun secara yuridis Surat Keputusan tersebut diterbitkan dalam lingkup perbuatan keperdataan dimana Bupati Lebak dalam menerbitkan Surat Keputusan tersebut bukan dalam kapasitasnya selaku Pejabat Tata Usaha Negara melainkan melaksanakan tugas dan perannya dalam bidang keperdataan selaku Tim Penilai yang ditugaskan untuk melakukan evaluasi penilaian kinerja terhadap Penyedia Jasa Konstruksi yang melaksanakan kontrak pekerjaan konstruksi yang bersumber dari APBD Tahun 2013. Penilaian kinerja dilakukan oleh Pejabat Pembuat Komitmen terhadap Penyedia Jasa Konstruksi yang melaksanakan pekerjaan konstruksi berdasar perjanjian/kontrak. Terkait dengan rumitnya penanganan dalam bidang PBJP akhirnya pada tanggal 30 Maret 2015 LKPP meluncurkan aplikasi berupa electronic pengaduan (e-pengaduan), dimana aplikasi ini diharapkan dapat dimanfaatkan oleh
10
masyarakat ataupun para pihak dalam kontrak untuk melakukan pengaduan bila terdapat indikasi pelanggaran PBJP di sekitar mereka. Masyarakat selaku pihak yang ikut merasakan dampak pembangunan secara langsung dengan adanya aplikasi ini diharapkan mampu untuk berperan aktif dalam pengawasan pelaksanaan PBJP, dalam semua tahapan kontrak mulai dari pra contractual hingga post contractual. Selama masyarakat menemukan indikasi terjadinya penyimpangan PBJP, pengaduan dapat langsung diajukan (LKPP RI, 2015, http://eproc.lkpp.go.id/news/detail/18, diakses pada 21 Desember 2015 pukul 16.46 WIB). Pada bulan November 2015 e-pengaduan LKPP RI merilis tingkat pengaduan masyarakat sebesar: Tabel 2. Kategori Pengaduan Penyelenggaraan Pekerjaan Konstruksi Per bulan November 2015 Kategori Pengaduan
Jumlah
Prosentase
Persaingan Usaha Tidak
28
33.7%
Penyimpangan Prosedur
36
43.4%
Indikasi KKN
16
19.3%
Pengaduan Lainnya
3
3.6%
Sehat
Sumber: LPSE LKPP RI dari data yang ditampilkan dalam tabel di atas tercatat bahwasanya pada bulan November 2015 dalam penyelenggaraan pekerjaan konstruksi terdapat 83 (delapan puluh tiga) pengaduan yang mana hal tersebut menunjukkan bahwa masyarakat mulai aktif dalam ikut serta mengawasi pelaksanaan PBJP, serta menunjukkan pula bahwa pekerjaan konstruksi diindikasikan masih terdapat banyak problematika dalam penyelenggaraannya (LPSE LKPP RI, 2015, http://pengaduan.lkpp.go.id/statistik, diakses pada 21 Desember 2015 pukul 16.43 WIB). Berdasar pada press release yang diterbitkan oleh LKPP RI melalui http://www.lkpp.go.id/, untuk menanggulangi permasalahan dalam bidang PBJP tersebut LKPP akan melakukan inisiasi pembentukan Badan Penyelesaian Sengketa PBJP (BPS PBJP). Keberadaan badan penyelesaian sengketa dalam
11
ranah khusus PBJP diharapkan dapat menyelesaikan permasalahan hukum dalam pengadaan tidak hanya mencakup sengketa persekongkolan atau persaingan usaha tidak sehat, melainkan mencakup seluruh kasus perdata dalam ranah pengadaan barang/jasa (LKPP RI, 2015, http://www.lkpp.go.id/v3/#/publikasi/read/3876. diakses pada 14 Desember 2015 pukul 12.27 WIB). Hal ini menunjukkan bahwa selama ini, para pihak dalam kontrak bahkan institusi negara selalu terbatas pada tindakan represif penyelesaian sengketa atau dalam tahap post contractual saja, bahkan LKPP RI selaku pihak yang bertanggungjawab akan PBJP juga fokus pada tindakan represif saja dalam menanggapi masalah PBJP yang terbilang cukup pelik. Mengutip pendapat Van Dunne dalam Salim H.S. (2004: 4) yang menyatakan bahwasanya kontrak tidak hanya dikaji pada tahap kontraktual semata, melainkan juga harus diperhatikan hubungan hukum yang mendahului maupun sesudahnya, yang mencakup tahap pra contractual maupun post contractual. Tahap pra contractual merupakan tahap penawaran dan penerimaan yang perlu diperhatikan dalam perjanjian yang menentukan adanya akibat hukum yang berkorelasi pada hak maupun kewajiban saat perjanjian atau kontrak berjalan, dimana tahap ini perlu juga dioptimalkan sebagai tindakan pencegahan atau preventif untuk mereduksi kasus PBJP. Maka dari itu, fokus penulisan hukum (skripsi) ini penulis topangkan pada tahap pra contractual dari kontrak, yaitu dalam penyelenggaraan kontrak pekerjaan konstruksi dalam tahap penyerahan penawaran dan penerimaan melalui sistem e-tendering. Upaya pengoptimalan sejak dini pada tahap pra contractual sebagai langkah pencegahan dalam mereduksi permasalahan yang mungkin timbul di kemudian hari dalam bidang PBJP ini dilaksanakan dengan memanfaatkan sinergi antara LKPP RI, Penyedia Pekerjaan Kontruksi, serta Pejabat Pembuat Komitmen selaku pemakai jasa pekerjaan konstruksi yang selanjutnya dikelola oleh LPSE melalui Sistem Pengadaan Secara Elektronik (yang selanjutnya disebut dengan SPSE) melalui pembatasan peserta e-tendering penyedia pekerjaan konstruksi PBJP berdasar Sisa Kemampuan Paket yang dimiliki melalui dokumen kualifikasi dengan tetap memperhatikan prinsip dan asas dalam hukum kontrak. Penelitian ini
12
merupakan penelitian lanjutan dalam rangka mengoptimalkan penyelenggaraan eprocurement untuk mereduksi permasalahan PBJP dari penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Maria Avilla Cahya Arfanti Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang dalam artikel ilmiah penulisan hukum (skripsi) (2014: 12) yang juga mengambil tema serupa yang dilakukan dengan metode yuridis sosiologis dengan judul Pelaksanaan Sistem E-Procurement dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Untuk Mencegah Terjadinya Persekongkolan Tender (Studi di Dinas Pekerjaan Umum, Perumahan, dan Pengawasan Bangunan Kota Malang). Penelitian yang dilakukan oleh Maria Avilla Cahya Arfanti terbatas pada penjabaran tentang penyelenggaraan e-procurement dalam regulasi Perpres PBJP dikaitkan dengan Peraturan Daerah Kota Malang terkait pengadaan saja, serta hambatan apa yang dialami oleh Dinas Pekerjaan Umum Malang. Perbedaan dengan penelitian yang peneliti lakukan terletak pada adanya penjabaran konsep pengoptimalan pemilihan penyedia pekerjaan konstruksi dalam PBJP yang dilaksanakan dalam tahap pra contractual melalui pembatasan peserta e-tendering yang menguraikan tata cara untuk mengoptimalkan sistem eprocurement guna mereduksi permasalahan terkait penyelenggaraan pekerjaan konstruksi. Mengacu pada hal tersebut diatas, maka semangat menghadirkan sistem pengendalian
dalam
penyelengaraan
PBJP
melalui
pengoptimalan
penyelenggaraan proses pra contractual melalui e-tendering SPSE ini perlu dikaji dalam konteks dan konsep secara menyeluruh secara kekinian yang mengikuti perkembangan teknologi di era globalisasi, sehingga keberadaan e-procurement bukan hanya sebagai tindakan latah Pemerintah Indonesia untuk mengikuti tren perkembangan global. Maka penting kiranya untuk melakukan kajian secara komprehensif terkait hal tersebut di atas dalam penulisan hukum (skripsi) yang berjudul “Tinjauan Yuridis Pengoptimalan Pemilihan Penyedia Pekerjaan Konstruksi Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Melalui Pembatasan Peserta E-Tendering Dalam Perspektif Hukum Kontrak Di Indonesia”.
13
B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang, penulis merumuskan masalah yang akan dikaji dalam penelitian hukum ini, sebagai berikut: 1. Apa urgensi pengoptimalan pemilihan penyedia pekerjaan konstruksi pengadaan barang/jasa pemerintah melalui prosedur pembatasan peserta etendering? 2. Bagaimana mekanisme pengoptimalan pemilihan penyedia pekerjaan konstruksi pengadaan barang/jasa pemerintah melalui prosedur pembatasan peserta e-tendering sistem pengadaan secara elektronik dikaitkan dengan perspektif hukum kontrak Indonesia? C. Tujuan Penelitian Hakikat suatu penelitian haruslah memiliki tujuan yang jelas sehingga dapat memberi arah pada konteks pelaksanaannya. Terdapat dua jenis tujuan dalam pelaksanaan suatu penelitian, yaitu tujuan Subjektif yang berasal dan ditujukan untuk penulis sendiri dan tujuan Objektif yang berasal dan ditujukan untuk penelitian itu sendiri. Berdasarkan hal tersebut, maka yang menjadi tujuan penelitian dalam penulisan hukum (skripsi) ini ialah: 1. Tujuan Objektif a. Mengetahui urgensi dari perlunya pengoptimalan pemilihan penyedia pekerjaan konstruksi pengadaan barang/jasa pemerintah melalui prosedur pembatasan peserta e-tendering sistem pengadaan secara elektronik; dan b. Mengetahui bagaimana mekanisme pengoptimalan pemilihan penyedia pekerjaan konstruksi pengadaan barang/jasa pemerintah melalui prosedur pembatasan peserta e-tendering sistem pengadaan secara elektronik dikaitkan dengan perspektif hukum kontrak Indonesia. 2. Tujuan subjektif a. Memperoleh data dan informasi sebagai bahan utama dalam menyusun penulisan hukum (skripsi) agar dapat memenuhi persyaratan akademis guna memperoleh gelar kesarjanaan pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta;
14
b. Memperluas pengetahuan dan pengalaman serta pemahaman penulis dalam bidang Ilmu Hukum pada umumnya dan bidang Hukum Perdata pada khususnya; dan c. Menerapkan ilmu dan teori-teori hukum yang telah penulis peroleh agar dapat memberi manfaat bagi penulis sendiri serta memberikan kontribusi positif dalam pengembangan proses penalaran yang dinamis serta cara berpikir kritis berdasar ilmu pengetahuan yang penulis peroleh selama perkuliahan. D. Manfaat Penelitian Penelitian dalam penulisan hukum (skripsi) ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pengetahuan terutama ilmu hukum baik secara teoritis maupun praktik. Adapun manfaat penelitian dalam penulisan hukum (skripsi) ini adalah: 1. Manfaat Teoritis a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat pada pengembangan ilmu pengetahuan di bidang Ilmu Hukum pada umumnya dan Hukum Perdata pada khususnya; b. Hasil penelitian ini diharapkan memperkaya referensi dan literatur dalam dunia kepustakaan Hukum Perdata tentang pekerjaan konstruksi sebagai bagian dari penyelenggaraan pengadaan barang/jasa pemerintah dikaitkan dengan hukum kontrak di Indonesia; dan c. Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai acuan terhadap penelitian-penelitian sejenis pada tahap selanjutnya. 2. Manfaat Praktis a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan jawaban atas permasalahan-permasalahan yang diteliti; b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan wahana bagi penulis dalam meningkatkan daya penalaran, daya kritis, dan untuk mengetahui kemampuan penulis dalam menerapkan Ilmu Hukum yang diperoleh selama proses belajar di bangku perkuliahan; dan
15
c. Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu serta memberikan tambahan pengetahuan terhadap pihak-pihak terkait dengan masalah yang diteliti, juga untuk berbagai pihak yang memiliki minat pada permasalahan yang sama. E. Metode Penelitian Penelitian hukum (legal research) adalah suatu proses untuk menemukan kebenaran koherensi, yaitu adakah aturan hukum sesuai norma hukum dan adakah norma yang berupa perintah atau larangan itu sesuai dengan prinsip hukum, serta apakah tindakan seseorang sesuai dengan norma hukum atau prinsip hukum (Peter Mahmud Marzuki, 2014: 47). Penelitian hukum dilakukan untuk mencari pemecahan atas isu hukum yang timbul. Hasil yang dicapai adalah untuk memberikan preskripsi mengenai apa yang seyogyanya atas isu yang diajukan (Peter Mahmud Marzuki, 2014: 83). Adapun metode penelitian yang digunakan penulis dalam penulisan hukum (skripsi) ini adalah sebagai berikut: 1. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum doktrinal atau normatif, yang menurut Peter Mahmud Marzuki dalam bukunya Penelitian Hukum (2014: 55-56), penelitian doktrinal (doctrinal research) adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsipprinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka (library based) yang fokusnya pada membaca dan mempelajari bahan-bahan hukum primer dan sekunder, sehingga penelitian hukum akan mampu menghasilkan argumentasi, teori atau konsep baru sebagai preskripsi dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi. 2. Sifat Penelitian Pada dasarnya ilmu hukum berbeda dengan ilmu sosial. Pembeda ilmu hukum berbeda dan ilmu sosial adalah ilmu hukum bukan termasuk ke dalam bilangan ilmu perilaku. Ilmu hukum tidak bersifat deskriptif, tetapi preskriptif. Objek ilmu hukum adalah koherensi antara norma hukum dan prinsip hukum,
16
antara aturan hukum dan norma hukum, serta koherensi antara tingkah laku (act)-bukan perilaku (behavior)-individu dengan norma hukum (Peter Mahmud Marzuki, 2014: 41-42). Sifat penelitian yang penulis gunakan ialah preskriptif, yang dimaksudkan untuk memberikan argumentasi atas hasil penelitian yang telah dilakukan berdasar pada makna hukum dalam hidup bermasyarakat pada umumnya dan hukum perdata pada khususnya dikaitkan dengan fakta-fakta atau gejala sosial di masyarakat (Peter Mahmud Marzuki, 2014: 67) dalam bidang penyelenggaraan pekerjaan konstruksi pengadaan barang/jasa. 3. Pendekatan Penelitian Terdapat beberapa pendekatan yang digunakan dalam sebuah penelitian hukum. Berdasarkan pendekatan tersebut, peneliti akan mendapat informasi dari berbagai aspek mengenai isu yang coba dicari jawabannya. Jenis-jenis pendekatan yang digunakan dalam sebuah penelitian hukum adalah pendekatan undang-undang (statute appoarch), pendekatan kasus (case appoarch), pendekatan historis (historical appoarch), pendekatan komparatif (comparative appoarch), dan pendekatan konseptual (conceptual appoarch) (Peter Mahmud Marzuki, 2014: 133). Pendekatan penelitian yang dipakai penulis dalam penulisan hukum (skripsi) ini adalah pendekatan undang-undang (statute approach), dan pendekatan konseptual (conceptual approach). Pendekatan Undang-Undang (statute approach) dilakukan dengan melakukan telaah terhadap peraturan perundang-undangan dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani untuk memecahkan isu yang dihadapi (Peter Mahmud Marzuki, 2014: 133) yaitu terkait permasalahan dalam bidang pekerjaan konstruksi pengadaan barang/jasa pemerintah. Pendekatan Konseptual (conceptual approach) yang beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum terkait konrak dalam bidang konstruksi. Dengan mempelajari pandangan dan doktrin tersebut peneliti akan mampu mengemukakan ide yang akan melahirkan pengertian hukum, konsep hukum, dan asas-asas hukum
17
yang relevan dengan isu yang dihadapi (Peter Mahmud Marzuki, 2014: 135) yaitu terkait pengoptimalan penyelenggara pekerjaan konstruksi melalui pembatasan penawaran pra contractual melalui proses e-tendering pekerjaan konstruksi. 4. Jenis dan Sumber Bahan Hukum Untuk memecahkan isu hukum dan sekaligus memberikan preskripsi mengenai apa yang seyogyanya, diperlukan sumber-sumber penelitian, yaitu: a. Jenis bahan hukum dapat dibedakan menjadi dua, yaitu bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer merupakan bahan hukum autoritatif (authoritative). Artinya, bahan hukum primer merupakan bahan yang memiliki otoritas atau kekuasaan dalam pelaksanaannya. Bahan hukum primer terdiri dari peraturan perundangundangan, catatan-catatan resmi, atau risalah dalam pembuatan undangundang, dan putusan-putusan hakim. Sedangkan bahan hukum sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumendokumen resmi. Publikasi tentang hukum meliputi buku-buku, teks, kamus-kamus hukum, dan jurnal hukum (Peter Mahmud Marzuki, 2014: 181). b. Sumber bahan-bahan hukum yang digunakan adalah: 1) Bahan hukum primer a) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata); b) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi; c) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak sehat; d) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik; e) Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang telah dirubah berkali-kali yang dirubah terakhir kali dengan Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun 2015 tentang Perubahan Keempat atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah;
18
f) Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2003 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan E-Government; g) Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2015 tentang Percepatan Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah; h) Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 207/PRT/M/2005 tentang Pedoman Pengadaan Jasa Konstruksi Pemerintah Secara Elektronik; i) Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 07/PRT/M/2011 tentang
Pedoman
Evaluasi
Kualifikasi
(Pedoman
Evaluasi
Kualifikasi); j) Peraturan Kepala LKPP Nomor 1 Tahun 2015 tentang e-tendering; k) Peraturan Kepala LKPP Nomor 18 Tahun 2014 tentang Daftar Hitam Dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah; l) Petunjuk Teknis Peraturan
Presiden Nomor 4 Tahun 2015
menggunakan Aplikasi SPSE; m) Putusan
Pengadilan
Negeri
Madiun
Nomor:
35/Pdt.G/2013/PN.Kd.Mn tentang gugatan PT. Surya Kencana Sakti terhadap Dinas Pekerjaan Umum Pemerintah Kota Madiun; n) Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Serang Banten Nomor: 39/G/2014/PTUN.SRG tentang gugatan PT. Lince Romauli Raya terkait dikeluarkannya Surat Keputusan Bupati Lebak Banten Nomor: 606/Kep.133/Adm.pemb/2014; o) Putusan
Komisi
Pengawas
Persaingan
Usaha
Perkara
Nomor:17/KPPU-L/2014 terkait dengan Tender Pembangunan Gedung (Paruga) Samakai Kabupaten Dompu Propinsi Nusa Tenggara Barat Tahun Anggaran 2014 yang melibatkan Unit Pelayanan Pengadaan (ULP) Kabupaten Dompu Tahun Anggaran 2013; p) Putusan
Komisi
Pengawas
Persaingan
Usaha
Perkara
Nomor:11/KPPU-L/2014 terkait Dua Paket Lelang pada Dinas Pekerjaan Umum Bina Marga Kegiatan Jalan dan Jembatan
19
Pemerintah Kabupaten Ogan Ilir Propinsi Sumatera Selatan Tahun Anggaran 2013 yang melibatkan Panitia Pelelangan Pekerjaan Peningkatan Jalan Menuju Pusat Perkantoran dan Komplek Perkantoran: Ruas Koramil-Perkantoran dan Ruas SakatigaPerkantoran-Peningkatan
Jalan
Kompleks
Perkantoran
dan
Pelelangan Pekerjaan Peningkatan Jalan Ruas Dalam Kota Indralaya Pemerintah Kabupaten Ogan Ilir Sub Agency Dinas Pekerjaan Umum Bina Marga Kegiatan Jalan dan Jembatan dan penyedia pekerjaan konstruksi; q) Putusan
Komisi
Pengawas
Persaingan
Usaha
Perkara
Nomor:05/KPPU-L/2015 terkait Tender Rehab/Pemeliharaan Jalan Lingkar Timur Kota Prabumulih Provinsi Sumatera Selatan Tahun Anggaran 2013; r) Putusan
Komisi
Pengawas
Persaingan
Usaha
Perkara
Nomor:02/KPPU-L/2015 terkait dengan Pelelangan 4 (empat) Paket Pekerjaan di Lingkungan Konstruksi SNVT Pelaksanaan Jalan Nasional Provinsi Kepulauan Riau, ULP Balai Besar Pelaksanaan Jalan Nasional II Kementerian Pekerjaan Umum dengan sistem full-procurement Tahun Anggaran 2014; s) Putusan
Komisi
Pengawas
Persaingan
Usaha
Perkara
Nomor:01/KPPU-L/2015 terkait dengan persekongkolan tender 5 (lima) paket tender dalam bidang pekerjaan konstruksi pada Dinas Pekerjaan Umum, Kabupaten Asahan, Sumatera Utara Tahun Anggara 2013 yang dilakukan oleh Panitia Pengadaan Barang/Jasa pada Dinas PU Kabupaten Asahan beserta 16 (enam belas) penyedia pekerjaan konstruksi; dan t) The UNCITRAL Model Law on Public Procurement. 2) Bahan hukum sekunder Bahan hukum sekunder meliputi hasil karya ilmiah dan penelitian-penelitian yang relevan atau terkait dengan penelitian ini termasuk diantaranya skripsi, tesis, disertasi, maupun jurnal-jurnal
20
hukum, serta kamus-kamus hukum, buku yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti (Peter Mahmud Marzuki, 2014: 195-196) dalam penyelenggaraan pekerjaan konstruksi. 5. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan studi kepustakaan atau studi dokumen (library research), yaitu pengumpulan dan identifikasi bahan hukum yang didapat melalui buku referensi, karangan ilmiah, dokumen resmi, makalah, jurnal, media massa, internet serta bahan-bahan yang memiliki keterkaitan dengan isu hukum yang sedang dibahas. Kemudian bahan hukum tersebut disusun serta dikonstruksikan dengan sistematis (Peter Mahmud Marzuki, 2014: 56). 6. Teknik Analisis Bahan Hukum Teknik analisis bahan hukum yang digunakan dalam penulisan hukum (skripsi) ini adalah dengan metode deduksi. Penggunaan metode deduksi ini berpangkal dari premis mayor yang merupakan aturan hukum terkait regulasi dalam bidang pekerjaan konstruksi dikaitkan dengan perspektif hukum kontrak secara umum, kemudian diajukan dalam premis minor yang merupakan fakta hukum terkait isu yang dihadapi dalam bidang pekerjaan konstruksi. Dari kedua premis tersebut, kemudian ditarik kesimpulan yang menjadi jawaban dari rumusan masalah (Peter Mahmud Marzuki, 2014: 89). F. Sistematika Penulisan Hukum Sistematika penulisan hukum terdiri dari 4 (empat) bab, dimana tiap-tiap bab terbagi dalam sub-sub bagian yang dimaksudkan untuk memudahkan pemahaman terhadap keseluruhan isi penulisan hukum ini. Sistematika penulisan hukum ini adalah sebagai berikut: BAB I : PENDAHULUAN Dalam bab pendahuluan ini, diuraikan mengenai latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan hukum.
21
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA Dalam bab ini, dipaparkan dua sub bab berisi kerangka teori dan kerangka pemikiran. Kerangka Teori memuat tinjauan umum tentang Hukum Kontrak, tinjauan umum tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, dan tinjauan umum tentang Pekerjaan Konstruksi sedangkan dalam Kerangka Pemikiran penulis memberikan gambaran paradigma berpikir (mindset) dalam melakukan penulisan hukum, yang telah dikonstruksikan dalam bentuk bagan/gambar. BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Pada bab ini, diuraikan hasil penelitian yang telah didapat dari proses penelitian serta menganalisis permasalahannya seperti yang telah dirumuskan dalam rumusan masalah. Penulisan hukum ini berfokus pada dua pokok permasalahan yaitu apa urgensi serta bagaimana mekanisme yang penulis bangun dalam mengoptimalkan penyedia pekerjaan konstruksi melalui tahapan pembatasan peserta yang dapat mengajukan penawaran e-tendering dalam kontrak konstruksi pengadaan barang/jasa pemerintah ditinjau dari hukum kontrak. BAB IV : PENUTUP Pada bab ini merupakan bagian akhir dari penulisan hukum yang berisi tentang simpulan dari pembahasan sebelumnya disertai dengan saran atau rekomendasi terhadap hal-hal yang harus dilakukan dan diperbaiki terhadap permasalahan dalam penelitian hukum yang dilakukan. DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN