BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Komunikasi merupakan aspek yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Bagaimana tidak? Telah kita ketahui bersama bahwa komunikasi yang terjadi, baik sempurna maupun tidak, dapat mengakibatkan terjadinya berbagai peristiwa. Dari peristiwa mengagumkan, hingga mengubah situasi dari buruk menjadi baik atau bahkan sebaliknya. Salah satu cabang dari ilmu komunikasi yaitu komunikasi interpersonal. Komunikasi interpersonal telah menjadi aspek penting dalam berbagai program yang diluncurkan pemerintah, termasuk BKKBN. Dalam istilah BKKBN, komunikasi interpersonal lebih dikenal dengan istilah KIP/Konseling. BKKBN merupakan lembaga non kementerian milik pemerintah yang kini fokus pada Kependudukan, Keluarga Berencana dan Pembangunan Keluarga (KKBPK), tidak hanya KB saja. Selama puluhan tahun, BKKBN dianggap berhasil menyebarkan virus-virus program KKBPK di Indonesia melalui ujung tombaknya yaitu Penyuluh Keluarga Berencana (PKB). Akan tetapi, seiring dengan perkembangan kondisi sosial, ekonomi, budaya dan politik di Indonesia, ternyata KIP/Konseling yang dilaksanakan oleh PKB mengenai program KKBPK ternyata sangat perlu mengalami penyesuaian di level lini lapangan agar sesuai dengan kebutuhan masyarakat sebagai subjek kebijakan. Perlu ditetapkan standar minimum bagi pelaksanaan komunikasi interpersonal untuk dapat dilakukan evaluasi. Hal ini mendesak untuk dilakukan karena PKB akan segera menjadi pegawai BKKBN kembali (pegawai pusat) pasca implementasi UU No.23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Amanat dalam UU No.23 Tahun 2014 tersebut, harus diimplementasikan di seluruh Indonesia selambatnya pada tahun 2017 mendatang. KIP/Konseling yang dilaksanakan oleh PKB, merupakan bagian dari Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE) Program KKB yang merupakan
program utama BKKBN. Kondisi KIE Program KB yang berjalan kurang baik pasca orde baru ditunjukkan dengan data yang mencengangkan, diantaranya: dalam Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2012, Total Fertility Rate (TFR) Indonesia atau angka rata-rata jumlah anak yang dilahirkan oleh seorang perempuan selama 10 tahun terakhir, bertahan di angka 2,6. Angka kelahiran anak dari perempuan remaja usia 15 – 19 tahun yang ditargetkan mencapai 30 per 1.000 perempuan remaja hanya terealisasi di angka 48 per 1.000. Sedangkan
Contraception
Prevalence
Rate-CPR
(prevalensi
pemakaian
kontrasepsi) dalam SDKI 2012 hanya naik menjadi 57,9 % dari 57,4 % pada SDKI 2007. Selain itu, SDKI 2012 mengindikasikan bahwa Unmet Need masih di kisaran angka 11%, angka ini justru mengalami kenaikan dari SDKI 2007 yang hanya mencapai angka 9,1 %. Data ini semakin memacu BKKBN untuk melaksanakan Revolusi KIE dibidang Kependudukan dan Keluarga Berencana (KKB). Revolusi Advokasi dan KIE Program KKB diperkenalkan pada tahun 2013 melalui Behaviour Change Communication (BCC) yang fokus pada 4 aspek, yaitu (1) perubahan dalam pendekatan dan strategi penggunaan media dari media lini atas (above the line-ATL) ke media lini bawah (below the line-BTL); (2) perubahan mindset dan spirit segenap aktor komunikasi bahwa semua pegawai BKKBN
tanpa
kecuali
adalah
aktor
komunikasi
(advokator
sekaligus
komunikator) dan agen perubahan (learning, creative and innovative)dalam progam KKB; (3) perubahan media dan saluran komunikasi dengan menggunakan media baru (new media) dalam advokasi dan KIE, terutama digunakan untuk memberntuk jaringan sosial (social network) antara BKKBN dan masyarakat terutama remaja; dan (4) perubahan isi pesan dengan fokus pada “Kampanye 4 Terlalu”, “Generasi Berencana (GenRe)”, “8 Fungsi Keluarga”, “Penggunaan MKJP”, dan sosialisasi tagline „2 Anak Cukup” dengan mengintegrasikan muatan kearifan lokal seperti penggunaan bahasa dan tokoh/talent lokal (BKKBN, 2013 : x). Dalam rangka mencapai keempat aspek tersebut, strategi yang digunakan (BKKBN, 2013: 95-107) melalui a) Komunikasi antar personal/interpersonal, b) Komunikasi Kelompok, c) Komunikasi Organisasi, dan d) Komunikasi Massa.
Penelitian ini menjadi sangat penting bagi BKKBN, utamanya karena kondisi terkini Program KKBPK mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang masih membutuhkan perbaikan disana sini demi peningkatan kualitas komunikasi interpersonal PKB sendiri dan kesesuaian program dengan kondisi masyarakat yang ada. Penelitian mengenai komunikasi interpersonal yang selama ini dilaksanakan oleh PKB masih menggunakan logika bahwa PKB merupakan bagian dari otonomi daerah, sehingga pengambil kebijakan adalah sepenuhnya Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) KB di level kabupaten/kota saja, sedangkan BKKBN sebagai perwakilan pemerintah pusat tidak berhak memberikan penilaian dan komando langsung kepada PKB. Salah satu perubahan yang terjadi dalam program KKBPK tercantum dalam UU No.23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Telah disebutkan di atas bahwa dalam UU No. 23 Tahun 2014 tersebut, PKB yang semula menjadi milik kota/kabupaten kembali menjadi milik pemerintah pusat. Kebijakan ini paling lambat pada akhir tahun 2017 sudah harus diterapkan di seluruh wilayah di Indonesia. Oleh karena itu, agar PKB yang kembali menjadi pegawai pusat tidak hanya sekedar berubah status kepegawaiannya dan kesejahteraannya saja, akan tetapi kinerjanya (terutama kualitas komunikasi interpersonal) dapat meningkat, maka diperlukan data-data yang nantinya akan mendukung terwujudnya desain langkah kerja PKB yang pas dengan kondisi masyarakat terkini. Penelitian ini juga perlu dilakukan karena berdasarkan SDKI 2012, informasi KKBPK yang diperoleh Pasangan Usia Subur (PUS) sebagian besar justru berasal dari tenaga medis (perawat, bidan) dengan angka pencapaian sebesar 23,7, sedangkan PKB berada pada urutan kedua yaitu sebesar 10,4 atau berada pada urutan kedua setelah tenaga medis (SDKI 2012, Advokasi). Hal ini perlu menjadi perhatian stakeholder Program KKB karena PKB selama ini dipercaya sebagai garda depan dan utama dalam sosialisasi program KKB akan tetapi ternyata data yang ditunjukkan menunjukkan kondisi sebaliknya. Subjek yang dipilih dalam penelitian ini adalah PUS di Kota Yogyakarta beserta stakeholder KKB di tingkat kota maupun provinsi. Kota Yogyakarta dipilih dalam penelitian ini karena data-data menunjukkan prestasi Kota
Yogyakarta di bidang KKBPK sebagai berikut, disebutkan dalam data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) bahwa nilai TFR tertinggi di DIY dimiliki oleh Kabupaten Gunungkidul yaitu 2,44 dan TFR terendahnya dimiliki oleh Kota Yogyakarta 1,53 (Susenas, 2010). Angka yang muncul dalam TFR dipengaruhi oleh CPR, bisa disimpulkan bahwa penggunaan kontrasepsi di kota ini sudah terbukti baik. Data terakhir menunjukkan bahwa prevalensi penggunaan kontrasepsi di Kota Yogyakarta sudah mencapai 74,84% (Dallap Perwakilan BKKBN DIY, April 2016). Berdasarkan data tersebut, maka peneliti memilih untuk fokus melakukan penelitian di Kota Yogyakarta. Kota Yogyakarta yang memiliki kondisi TFR terendah di DIY saja, masih memiliki tantangan dalam rangka komunikasi interpersonal PKB dengan masyarakat, apalagi kabupaten lain yang secara demografis dan geografis lebih rumit dibandingkan dengan Kota Yogyakarta. Logikanya, daerah dengan pencapaian terbaik saja, implementasi strategi komunikasi serta konten informasi dan edukasi terbarunya masih dipertanyakan kesesuaiannya dengan kondisi masyarakat lokal setempat, apalagi kabupaten/kota lain. Selain itu, PKB di Kota Yogyakarta tantangannya semakin beragam dengan terbatasnya jumlah PKB jika dibandingkan dengan jumlah kecamatan dan PUS di Kota Yogyakarta, dimana 23 orang PKB harus menangani 14 kecamatan dan 45 kelurahan dengan 45.771 PUS. Bahkan menurut BKKBN, secara nasional saat ini jumlah petugas lapangan (PKB/PLKB) sebanyak 22.481 orang (Laporan Perwakilan BKKBN Provinsi, 2013). Jika dibandingkan dengan jumlah desa dan kelurahan yaitu sebanyak 80.335, maka rasio PKB/PLKB terhadap Desa/Kelurahan adalah 1:4 (satu PKB/PLKB membina rata-rata 4 Desa/Kelurahan) (BKKBN, 2014: 2). Melihat data, prestasi dan tantangan dalam penggunaan metode kontrasepsi yang telah dijabarkan tersebut, maka peneliti memilih Kota Yogyakarta. Penelitian akan fokus pada bagaimana langkah PKB dalam melaksanakan komunikasi interpersonal sebagai bagian dari strategi BCC, terutama yang telah dilakukan pada tahun 2015-April 2016. Komunikasi interpersonal ini akan diukur dari sisi Pasangan Usia Subur (PUS), sehingga akan dapat dianalisis faktor apa saja yang berpengaruh terhadap sikap PUS di Kota Yogyakarta pasca sosialisasi
Program KKBPK. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi dalam menyusun rekomendasi akan kompetensi PKB dalam penerapan strategi dan kebijakan KIE terutama KIP/konseling pasca implementasi UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang akan kembali membawa PKB menjadi pegawai pusat (BKKBN). Mengapa demikian, karena kompetensi PKB selama ini belum memiliki standar yang tertuang dalam aturan tertulis untuk dapat diukur pencapaiannya. Selain itu, diharapkan komunikasi interpersonal yang dilakukan oleh PKB Kota Yogyakarta pada khususnya dan PKB Daerah Istimewa Yogyakarta pada umumnya, lebih berkualitas di masa depan, sehingga kualitas informasi KKBPK yang diterima oleh masyarakat juga semakin baik sehingga dapat mengurangi ketidakpastian mereka tentang program tersebut. Jangka panjangnya, diharapkan masyarakat Kota Yogyakarta akan semakin sadar perlunya perencanaan keluarga dalam membentuk keluarga berkualitas.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang dibuat, penelitian ini rumusan masalahnya adalah sebagai berikut : “Sejauh manakah pengaruh Kualitas Komunikasi Interpersonal PKB sebagai bagian dari Strategi Kebijakan Komunikasi Kependudukan dan KB dalam memberikan informasi KKBPK bagi PUS Kota Yogyakarta Tahun 2015-April 2016?”
C. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalahnya, tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Mengetahui implementasi strategi kebijakan komunikasi interpersonal dari PKB kepada masyarakat di Kota Yogyakarta Tahun 2015-April 2016. 2. Mengetahui pengaruh kualitas komunikasi interpersonal yang dimiliki oleh PKB di Kota Yogyakarta terhadap kualitas informasi KKBPK yang dimiliki PUS di Kota Yogyakarta Tahun 2015-April 2016. 3. Menyusun rekomendasi yang bermanfaat dalam rangka mempersiapkan kompetensi komunikasi interpersonal PKB pasca implementasi UU No.23
Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang membawa kembali PKB menjadi pegawai pusat (BKKBN).
D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat antara lain: 1. Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dalam keilmuan, khususnya menambah referensi di bidang KKBPK fokus pada komunikasi interpersonal program Kependudukan dan KB dari PKB kepada masyarakat. 2. Manfaat Praktis a. Bahan pertimbangan bagi BKKBN Pusat, Perwakilan BKKBN DIY, Kantor KB Kota Yogyakarta dan PKB Kota Yogyakarta dalam memperbaiki strategi komunikasi interpersonal Program Kependudukan dan KB di Kota Yogyakarta. b. Bahan pertimbangan bagi BKKBN Pusat, Perwakilan BKKBN DIY, Kantor KB Kota Yogyakarta untuk menetapkan standar strategi komunikasi interpersonal Program KKBPK dari PKB kepada PUS pasca implementasi UU No.23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. c. Bahan pembelajaran bagi kotamadya/kabupaten lain di Daerah Istimewa Yogyakarta khususnya dan Indonesia umumnya, agar lebih maksimal dalam strategi komunikasi interpersonal PKB untuk masyarakat mengenai Program Kependudukan dan KB di wilayahnya.
E. Kerangka Pemikiran Ketika kita berbicara mengenai komunikasi interpersonal, indikator yang paling penting tentu saja pengetahuan komunikan akan informasi yang diperoleh selama berkomunikasi. Untuk menimbulkan tindakan nyata ini, kita harus memberikan pengertian, membentuk, mengubah sikap dan menjalin
hubungan baik. Agar sukses memberikan pengertian, mengubah sikap dan menjalin hubungan baik kita memerlukan pemahaman tentang seluruh mekanisme psikologis yang ada di dalam komunikasi, termasuk faktor yang mempengaruhi perilaku. Berkaca dari hal ini, maka kita kemudian tahu bahwa ilmu psikologi sangat erat kaitannya dengan ilmu komunikasi. Psikologi komunikasi adalah ilmu yang berusaha menguraikan, meramalkan dan mengendalikan peristiwa mental dan behavioral dalam komunikasi. Teori behavioristik, merupakan salah satu teori dalam psikologi yang dalam penelitiannya menggunakan metode kuantitatif. Hal ini seperti diungkapkan Musianto bahwa apabila dilihat aspek orientasi teoretiknya, pada pendekatan kuantitatif
dasar
teorinya
ialah
struktural
fungsional,
positivisme,
behaviorisme, logika empirik dan sistem teoritik. Mereka mengutamakan teori yang tersistematik, jelas dan pasti (puslit2.petra.ac.id). Dalam Psikologi Behavioral, titik beratnya adalah proses stimulus-respons. Berdasarkan informasi tersebut, maka penulis menyimpulkan bahwa penelitian ini menggunakan paradigma behavioristik yang secara ontologis bersifat materialistik dan deterministik, yang memahami jiwa manusia tidak lebih dari sebuah respon terhadap stimulus materialisik yang dia terima. Secara epistemologis, behaviorisme memandang bahwa pengetahuan bersifat objektif, pasti, tetap dan tidak berubah (Brooks and Brooks dalam Degeng, 1998: 9). Hubungannya dengan penelitian ini, bahwa sikap (meliputi pengetahuan) PUS, dipengaruhi oleh stimulus yaitu komunikasi interpersonal yang diberikan oleh PKB Kota Yogyakarta. Sehingga akan diketahui pengaruh kualitas komunikasi interpersonal yang dimiliki PKB terhadap informasi KKBPK yang diperoleh PUS. 1. Strategi Behaviour Change Communication (BCC) BKKBN BCC telah banyak dikenal dalam dunia kesehatan, menurut UNFPA, BCC merupakan (Peter F. Chen, 2006: 6) “a set of a simple definition organized communication interventions and processes among many aimed at influencing social and community norms and definitions promote individual behavioural change or positive behaviour
maintenance for a better quality of life. In the context of UNFPA programmes, BCC is critical to addressing among others, responsible sexual behaviour; age at marriage; teenage pregnancy; prevention of sexually transmitted. The purpose of infections and HIV/AIDS; gender-based violence; male. BCC responsibility; gender equality; safe motherhood, maternal and child health, family planning, reproductive rights, discrimination against the girl child and persons with disabilities, and reduction of harm and risks among identified vulnerable population groups. BCC is one of the strategic components of communication for population and development along with advocacy, social mobilization, community mobilization and social marketing. In a specific population or RH communication intervention, these components can be judiciously combined.” Sedangkan menurut USAID, BCC adalah “An interactive process with communities (as integrated with an overall program) to develop tailored messages and approaches using a variety of communication channels to develop positive behaviors; promote and sustain individual, community and societal behavior change; and maintain appropriate behaviors” (USAID, 2012: 3).
Behaviour Change Communicaton (BCC) yang dilaksanakan oleh BKKBN
mengacu
kepada
definisi
milik
UNFPA.
Dalam
implementasinya, BCC BKKBN fokus kepada 4 aspek yaitu: (1) perubahan dalam pendekatan dan strategi penggunaan media dari media lini atas (above the line-ATL) ke media lini bawah (below the line-BTL); (2) perubahan mindset dan spirit segenap aktor komunikasi bahwa semua pegawai BKKBN tanpa kecuali adalah aktor komunikasi (advokator sekaligus komunikator) dan agen perubahan (learning, creative and innovative) dalam progam KKB; (3) perubahan media dan saluran komunikasi dengan menggunakan media baru (new media) dalam advokasi dan KIE, terutama digunakan untuk membentuk jaringan sosial (social network) antara BKKBN dan masyarakat terutama remaja; dan (4) perubahan isi pesan dengan
fokus pada “Kampanye 4 Terlalu”, “Generasi Berencana (GenRe)”, “8 Fungsi Keluarga”, “Penggunaan MKJP”, dan sosialisasi tagline „2 Anak Cukup” dengan mengintegrasikan muatan kearifan lokal seperti penggunaan bahasa dan tokoh/talent lokal (BKKBN, 2013: x). Dalam rangka mencapai keeempat aspek tersebut, strategi yang digunakan adalah (BKKBN, 2013: 95-107): a) Komunikasi antar personal/interpersonal b) Komunikasi Kelompok c) Komunikasi Organisasi d) Komunikasi Massa Dalam strategi komunikasi KKBPK yang diterapkan tersebut, konten informasi dan edukasinya juga mengalami penyesuaian. Diantaranya adalah edukasi mengenai dukungan suami dan anggota keluarga yang lebih tua mengenai program KKBPK, edukasi mengenai perilaku kesehatan keluarga, edukasi mengenai pentingnya komunikasi suami istri, informasi mengenai pilihan yang dapat diterima dalam program KKB, informasi akan program KKBPK, edukasi penggunaan layanan kesehatan yang tersedia, serta edukasi akan pengendalian jumlah anak
2. Teori
Pengurangan
Ketidakpastian
(Uncertainty
Reduction
Theory) Teori Pengurangan Ketidakpastian atau Uncertainty Reduction Theory dikemukakan oleh Charles Berger dan Richard Calabrese pada tahun 1975. Inti dari Teori Pengurangan Ketidakpastian adalah, untuk mengurangi ketidakpastian antara orang asing saat pertama kali bertemu dan melakukan percakapan adalah dengan mencari informasi melalui komunikasi dengan orang lain. Menurut Berger dan Calabrese, ketika orang-orang asing pertama kali bertemu, mereka akan meningkatkan kemampuan untuk bisa memprediksi hal yang akan orang lain lakukan dan apa yang akan kita lakukan kepada lawan bicara.
Prediksi
dapat
diartikan
sebagai
kemampuan
untuk
memperkirakan pilihan perilaku yang mungkin bisa dipilih dari kemungkinan pilihan yang tersedia bagi diri sendiri atau bagi pasangan relasi. Teori ini menyatakan bahwa ada dua tipe dari ketidakpastian dalam perjumpaan pertama yaitu ketidakpastian kognitif dan ketidakpastian perilaku. Ketidakpastian kognitif adalah tingkatan ketidakpastian yang dihubungkan dengan keyakinan dan sikap. Ketidakpastian perilaku adalah berkenaan dengan luasnya perilaku yang dapat diprediksikan dalam situasi yang diberikan. Terdapat dua proses dalam mengurangi ketidakpastian,
yaitu
proaktif
dan
retroaktif.
Pengurangan
ketidakpastian proaktif terjadi ketika seseorang berpikir sebelum melakukan
komunikasi
dengan
orang
lain.
Pengurangan
ketidakpastian retroaktif terjadi ketika menjelaskan perilaku setelah perjumpaan (West dan Turner, 2008: 174). Dalam penelitian ini, untuk melakukan pengurangan ketidakpastian kognitif PUS akan informasi seputar KKBPK, proses yang digunakan adalah pengurangan ketidakpastian
proaktif
dan
retroaktif
melalui
komunikasi
interpersonal yang dilakukan PKB.
3. Komunikasi Interpersonal/Konseling Komunikasi interpersonal menurut Hardjana (2003: 86) merupakan kegiatan yang dinamis. Dengan tetap memperhatikan kedinamisannya, komunikasi interpersonal mempunyai ciri-ciri yang tetap yaitu sebagai berikut: a) Komunikasi interpersonal adalah verbal dan nonverbal Seperti pada komunikasi pada umumnya, selalu mencakup dua unsur pokok yaitu isi pesan dan bagaimana isi tersebut dikatakan atau dilakukan, baik secara verbal maupun nonverbal. b) Komunikasi interpersonal mencakup perilaku tertentu Perilaku dalam komunikasi meliputi perilaku verbal dan nonverbal. Ada tiga perilaku dalam komunikasi interpersonal:
1) Perilaku spontan (spontaneous behaviour) adalah perilaku yang dilakukan karena desakan emosi dan tanpa revisi secara kognitif (terjadi begitu saja seperti mengatakan “Hai”, “Aduh”, atau “Hore” (verbal), melambaikan tangan kepada teman hingga menggebrak jika sedang marah (nonverbal). 2) Perilaku menurut kebiasaan (script behaviour) adalah perilaku dipelajari dari kebiasaan seperti mengucapkan “selamat datang” kepada teman yang datang (verbal) dan “berjabat tangan” dengan teman (nonverbal) 3) Perilaku sadar (contrived behaviour) adalah perilaku yang dipilih karena dianggap sesuai dengan situasi yang ada dan telah dipikirkan dan dirancang sebelumnya. c) Komunikasi interpersonal adalah komunikasi yang berproses pengembangan Komunikasi interpersonal merupakan komunikasi yang berproses pengembangan (development process) dari awal pengenalan yang dangkal, berlanjut makin mendalam, dan berakhir dengan saling pengenalan yang amat mendalam. Tetapi juga dapat putus, sampai akhirnya saling melupakan. d) Komunikasi interpersonal mengandung umpan balik, interaksi, dan koherensi Komunikasi interpersonal merupakan komunikasi tatap muka dengan kemungkinan umpan balik (feedback) besar sekali. Di antara pengirim dan penerima pesan terjadi interaksi (interaction) yang satu mempengaruhi yang lain dan keduanya saling mempengaruhi dan memberi serta menerima dampak. Agar komunikasi interpersonal itu berjalan secara teratur, dalam komunikasi itu pihak-pihak yang terlibat saling menanggapi sesuai dengan isi pesan yang diterima dan membuat terjadinya koherensi.
e) Komunikasi interpersonal berjalan menurut peraturan tertentu Agar berjalan baik, maka komunikasi interpersonal hendaknya mengikuti peraturan (rules) tertentu. Peraturan itu ada yang intrinsik dan ekstrinsik. Peraturan intrinsik adalah peraturan yang dikembangkan oleh masyarakat untuk mengatur cara orang harus berkomunikasi satu sama lain, misalnya sama dalam hal kesopanan pada budaya jawa yang berbeda dengan budaya jepang. Peraturan ekstrinsik adalah peraturan yang ditetapkan oleh situasi dan masyaraka, misalnya nada bicara yang digunakan pada saat berkabung berbeda dengan ketika pesta. f) Komunikasi interpersonal adalah kegiatan aktif Komunikasi interpersonal merupakan kegiatan yang aktif bukan pasif. Pihak-pihak yang berkomunikasi tidak hanya saling bertukar produk tetapi terlibat dalam proses untuk bersama-sama membentuk dan menghasilkan produk. g) Komunikasi interpersonal saling mengubah Melalui interaksi dalam komunikasi, pihak-pihak yang terlibat komunikasi dapat saling memberi inspirasi, semangat dan dorongan untuk mengubah pemikiran, perasaan, dan sikap yang sesuai dengan topik yang dibahas bersama dan merupakan wahana untuk saling belajar dan mengembangkan wawasan, pengetahuan, dan kepribadian
4. Kualitas Komunikasi Interpersonal/Konseling Dalam penelitian ini perspektif yang digunakan dalam konteks komunikasi
interpersonal
yang
berkualitas
adalah
perspektif
humanistik yang memiliki lima kualitas umum yaitu sebagai berikut: a) Keterbukaan (Openness) Kualitas keterbukaan mengacu pada tiga aspek dari komunikasi interpersonal. Pertama, komunikator interpersonal yang efektif harus terbuka kepada orang yang diajaknya berinteraksi. Harus
ada kesediaan untuk membuka diri, mengungkapkan informasi yang biasanya disembunyikan secara patut. Aspek keterbukaan yang kedua mengacu pada kesediaan komunikator untuk bereaksi secara jujur terhadap stimulus yang datang. Aspek ketiga menyangkut “kepemilikan” perasaan dan pikiran (Bochner dan Kelly dalam DeVito, 1997: 260). Terbuka dalam pengertian ini adalah mengakui bahwa perasaan dan pikiran yang diberikan adalah memang milik diri sendiri dengan tanggung jawab. b) Empati (Empathy) Henry Backrack (dalam DeVito, 1997: 260) mendefinisikan empati sebagai “kemampuan seseorang untuk „mengetahui‟ apa yang sedang dialami orang lain pada suatu saat tertentu, dari sudut pandang orang lain itu, melalui kacamata orang lain itu”. Berempati adalah merasakan sesuatu seperti orang yang mengalaminya yaitu dengan merasakan perasaan yang sama dengan cara yang sama. Orang yang empatik mampu memahami motivasi dan pengalaman, perasaan dan sikap, serta harapan dan keinginan orang lain kedepannya. Pengertian yang empatik tersebut akan membuat seseorang lebih mampu menyesuaikan komunikasinya. Langkah pertama dalam mencapai empati adalah mencoba untuk tidak mengevaluasi, menilai, menafsirkan, dan mengkritik agar berfokus pada pemahaman. Kedua, makin banyak seseorang mengenal orang lain, makin mampu seseorang tersebut melihat apa yang dilihat dan merasakan seperti apa yang dirasakan orang tersebut. Ketiga, cobalah merasakan apa yang sedang dirasakan orang lain dari sudut pandangnya. Empati dapat dikomunikasikan baik secara verbal maupun nonverbal. Secara nonverbal,
empati
dapat
dikomunikasikan
dengan
memperlihatkan (1) keterlibatan aktif dengan orang itu melalui ekspresi wajah dan gerak-gerik yang sesuai; (2) konsentrasi terpusat melalui kontak mata, postur tubuh yang penuh perhatian,
dan kedekatan fisik; serta (3) sentuhan atau belaian yang sepantasnya. c) Sikap Mendukung (Supportiveness) Suatu konsep yang perumusannya dilakukan berdasarkan karya Jack Gibb (dalam DeVito, 1997: 261) menyatakan hubungan interpersonal yang efektif adalah hubungan dengan adanya sikap mendukung (supportiveness). Komunikasi yang terbuka dan empatik tidak dapat berlangsung dalam suasana yang tidak mendukung. Sikap mendukung dapat diperlihatkan yaitu sebagai berikut: 1) Deskriptif Sikap mendukung dapat tercipta melalui suasana yang bersikap deskriptif dan bukan evaluatif. Bila seseorang mempersepsikan suatu komunikasi sebagai permintaan akan informasi atau uraian mengenai suatu kejadian tertentu, umumnya tidak merasakannya sebagai ancaman. Di pihak lain, komunikasi yang bernada menilai seringkali membuat seseorang bersikap defensif. 2) Spontanitas Gaya spontan membantu menciptakan suasana mendukung. Orang yang spontan dalam komunikasinya dan terus terang serta terbuka dalam mengutarakan pikirannya biasanya bereaksi dengan cara yang sama. Sebaliknya, bila seseorang merasa bahwa orang lain menyembunyikan perasaannya yang sebenarnya, seseorang tersebut cenderung akan bereaksi secara defensif. 3) Provisional Bersikap provisional artinya bersikap tentatif dan berpikiran terbuka serta bersedia mendengar pandangan yang berlawanan dan bersedia mengubah posisi jika keadaan mengharuskan. d) Sikap Positif (Positiveness) Guna mengkomunikasikan sikap positif dalam komunikasi interpersonal dengan sedikitnya dua cara, yaitu:
1) Sikap Sikap positif mengacu pada sedikitnya dua aspek dari komunikasi interpersonal. Pertama, komunikasi interpersonal terbina jika orang memiliki sikap positif terhadap diri mereka sendiri. Kedua, perasaan positif untuk situasi komunikasi pada umumnya sangat penting untuk interaksi yang efektif. 2) Dorongan (Stroking) Sikap positif dapat dijelaskan lebih jauh dengan istilah stroking (dorongan). Dorongan adalah istilah yang berasal dari kosakata umum, yang dipandang sangat penting dalam analisis transaksional dan dalam interaksi antarmanusia secara umum. Perilaku mendorong menghargai keberadaan dan pentingnya orang lain. e) Kesetaraan (Equality) Komunikasi interpersonal akan lebih efektif bila suasananya setara. Artinya, harus ada pengakuan secara diam-diam bahwa kedua pihak sama-sama bernilai dan berharga, dan bahwa masing-masing pihak mempunyai sesuatu yang penting untuk disumbangkan. Dalam suatu hubungan interpersonal yang ditandai oleh kesetaraan, ketidak-sependapatan dan konflik lebih dilihat sebagai upaya untuk memahami perbedaan yang pasti ada daripada sebagai kesempatan untuk menjatuhkan pihak lain. Kesetaraan tidak mengharuskan seseorang menerima dan menyetujui begitu saja semua perilaku verbal dan nonverbal pihak lain. Kesetaran berarti menerima pihak lain atau menurut istilah Carl Rogers (dalam DeVito, 1997: 263), kesetaraan meminta seseorang untuk memberikan “penghargaan positif tak bersyarat” kepada orang lain.
BKKBN dalam buku Revolusi Advokasi, menyebutkan secara spesifik bahwa untuk meningkatkan hubungan yang berkualitas dengan klien, cara yang bisa ditempuh PKB adalah (BKKBN, 2013: 97-99): a) Informasi psikologis tentang klien Informasi sosiologis yang sudah dimiliki PLKB masih tetap diperlukan, misalnya tentang jenis kelamin, usia, pekerjaan, pendapatan, jumlah anak, alat kontrasepsi yang digunakan klien, dan seterusnya. Namun informasi psikologis klien sangat diperlukan PLKB untuk lebih mengenal klien, misalnya seperti kepribadian, sikap, persepsi dan kognisi klien terhadap program KKB. b) Mengembangkan aturan-aturan hubungan antara PLKB dan klien Pola aturan hubungan antara PKB/PLKB dan klien yang sudah terjalin selama ini, perlu ditingkatkan agar hubungan menjadi seperti keluarga. Misalnya klien bisa datang ke kantor/ruang kerja PKB kapan saja diperlukan, demikian juga sebaliknya, tanpa harus membuat janji melalui telepon. Komunikasi melalui telpon ini dilakukan hanya untuk memastikan bahwa PKB atau klien sedang berada di kantor. Sehingga komunikasi bisa berproses secara lebih informal. c) Peranan dalam hubungan lebih ditentukan oleh karakter pribadi PLKB dan klien Misalnya bila klien lebih nyaman melakukan konsultasi KKB di rumahnya, maka sebaiknya PKB/PLKB mendatangi rumah klien untuk melakukan konsultasi. Demikian juga sebaliknya bila klien lebih nyaman konsultasi di Puskesmas/Kecamatan/Ruang Kerja PKB/PLKB, maka PKB/PLKB hendaknya melayani konsultasi sesuai dengan tempat yang diingini klien. d) Lebih menekankan pilihan individu daripada kelompok Kelompok bukan berarti tidak penting sama sekali, tapi seringkali kebutuhan individu/klien terhadap KKB sangat khas. Kebutuhan
klien yang khas ini perlu didahulukan oleh PKB/PLKB, karena konsultasi yang dilakukan klien tidak bisa dicampur dalam kelompok. Kelompok sangat diperlukan ketika persoalan KKB yang akan dikomunikasikan memang bersifat kelompok.
5. Kualitas Informasi Membicarakan mengenai kualitas informasi, M.J. Eppler dalam bukunya menyebutkan bahwa “quality has a subjective and an objective component, or in other words an absolute and a relative dimension. Any approach to to quality, including information quality, has to take this twofold nature of quality into account. It cannot only be calculated with the help of automatically generated key indicators, but must also be evaluated according to the (subjective) judgements and opinions of the customers” (2006: 20) berdasarkan pernyataan ini maka kita menjadi paham bahwa faktor subjektivitas dan objektivitas tidak dapat diihindarkan jika kita ingin melakukan pendekatan terhadap kualitas informasi. Kualitas informasi harus
dievaluasi
berdasarkan
penilaian
subjektif
dan
opini
pengguna/pelanggan. Dalam penelitian ini, kualitas informasi yang diteliti adalah kualitas informasi KKBPK yang diterima PUS melalui proses komunikasi interpersonal PKB. Pengguna/pelanggan/user dalam penelitian ini adalah PUS yang pernah memperoleh informasi KKBPK melalui komunikasi interpersonal dengan PKB. Kualitas informasi dalam penelitian ini diukur menggunakan kuesioner yang dimensinya mengacu pada kualitas informasi milik Nelson, Todd dan Wixom. Menurut Nelson, Todd, dan Wixom (2005: 206), 4 kunci dimensi dari kualitas informasi (information quality) yaitu: a) Accuracy Dimensi accuracy memperdalam kebenaran sebuah informasi, jelas, berarti, dapat dipercaya dan konsisten. Indikator accuracy dalam penelitian ini adalah kebenaran informasi KKBPK,
kejelasan informasi KKBPK, informasi KKBPK memiliki arti, dan yang terakhir adalah informasi KKBPK konsisten. b) Completeness Dimensi ini ingin mengetahui keseluruhan informasi yang dibutuhkan tersedia. Dimensi completeness dalam penelitian ini meliputi beberapa indikator yaitu what- PUS memahami informasi KKBPK yang diperoleh dari PKB, why- PUS mengetahui mengapa dia harus menerima informasi KKBPK, who- PUS mengetahui dari siapa dapat memperoleh informasi KKBPK,
where-
PUS
mengetahui
dimana
lokasi
untuk
memperoleh informasi KKBPK, when- PUS mengetahui kapan dapat memperoleh pelayanan KKBPK dan how- PUS mengetahui bagaimana cara memperoleh informasi maupun pelayanan KKBPK c) Currency Currency melihat bagaimana infomasi di update, atau sejauh mana informasi secara tepat menggambarkan keadaan sekarang. Dalam dimensi currency, indikator yang digunakan adalah kebaruan informasi KKBPK yang disampaikan PKB. d) Format Dimensi format, merujuk kepada sejauh mana informasi tersedia dan disajikan dalam bentuk yang mudah untuk dipahami dan diartikan oleh pengguna. Dalam penelitian ini, adalah sejauh mana informasi KKBPK yang diberikan PKB dapat dipahami dan diartikan oleh penggunanya yaitu PUS.
F. Kerangka Konsep Dalam rangka menyusun rekomendasi, khususnya bagi penyiapan standar kompetensi komunikasi interpersonal PKB, penelitian ini meminjam teori behaviouristik dimana di dalamnya terdapat cabang komunikasi yaitu psikologi komunikasi. Kebijakan komunikasi interpersonal PKB yang akan dianalisis dalam penelitian ini merupakan bagian dari Behaviour Change Communication versi BKKBN. Penelitian ini akan menggunakan Uncertainty Reduction Theory /Teori Pengurangan Ketidakpastian milik Charles Berger dan Richard Calabrese untuk menganalisa kemampuan komunikasi interpersonal PKB dalam mengurangi ketidakpastian klien/PUS. Analisa ini nantinya mengacu pada pengujian kuantitatif yang mencari pengaruh kualitas komunikasi interpersonal PKB (variabel independen) terhadap kualitas informasi KKBPK PUS (variabel dependen).
Bagan 1.1. Kerangka Konsep Grand Theory
TEORI BEHAVIOURISTIK Middle Theory
BEHAVIOUR CHANGE COMMUNICATION (digunakan dalam Kebijakan Komunikasi Kependudukan dan KB)
Applicant Theory
UNCERTAINTY REDUCTION THEORY VARIABEL INDEPENDEN KUALITAS KOMUNIKASI INTERPERSONAL PKB
VARIABEL DEPENDEN KUALITAS INFORMASI KKBPK PUS
G. Operasionalisasi Konsep Tabel 1.1. Operasionalisasi Konsep NO
VARIABEL
1.
Independen (X)= Kualitas Komunikasi Interpersonal PKB
DIMENSI
INDIKATOR
SUMBER
Keterbukaan
1. Keterbukaan terhadap klien 2. Kejujuran 3. Berperasaan
Joseph DeVito, 1997: 260-263
2.
Empati
Joseph DeVito, 1997: 260-263
3.
Sikap Mendukung
4.
Sikap Positif
5.
Kesetaraan Kemampuan
6.
Informasi psikologis tentang klien
7.
Pengembangan aturan-aturan hubungan antara PKB/PLKB dan klien
8.
Peranan dalam hubungan lebih ditentukan oleh karakter pribadi PLKB dan klien
1. Mencoba untuk tidak mengevaluasi, menilai, menafsirkan, dan mengkritik agar berfokus pada pemahaman 2.Melihat & memahami seperti yang dirasakan klien 3.Merasakan yang dialami klien dari sudut pandangnya 1. Bersikap deskriptif & tidak evaluatif 2. Spontan dalam berkomunikasi 3.Bersikap tentatif dan berpikiran terbuka 1. Sikap positif & perasaan positif terhadap klien 2.Dorongan untuk menghargai keberadaan & pentingnya orang lain 1. Pengakuan bahwa kedua pihak bernilai & berharga 2.Keseimbangan pertukaran informasi konselor dengan klien 1. Kepribadian 2. Sikap 3. Persepsi 4. Kognisi klien terhadap program KKB. 1. Klien bisa datang ke kantor/ruang kerja PKB kapan saja diperlukan, demikian juga sebaliknya 2. Klien dapat bertukar informasi dengan PKB melalui telepon/media sosial 1. Memilih lokasi konseling sesuai kenyamanan klien
Joseph DeVito, 1997: 260-263
Joseph DeVito, 1997: 260-263
Joseph DeVito, 1997: 260-263 BKKBN, 2013: 97-99
BKKBN, 2013: 97-99
BKKBN, 2013: 97-99
NO
VARIABEL
9.
10.
DIMENSI Penekanan pilihan individu daripada kelompok
Variabel Dependen (Y)= Kualitas Informasi Kependuduk an, KB dan Pembanguna n Keluarga
Accuracy
11.
Completeness
12.
Currency
13.
Format
INDIKATOR
SUMBER
1. Kebutuhan individu akan pilihan ber-KB diutamakan 2. Penghargaan atas keputusan ber-KB klien 1. Kebenaran informasi 2. Kejelasan informasi 3. Informasi memiliki arti 4. Informasi konsisten
BKKBN, 2013: 97-99
1. What 2. Why 3. Who 4. Where 5. When 6. How 1. Kebaruan informasi
Nelson, Todd, & Wixom, 2005: 206
1. Mudah dipahami 2. Mudah diartikan
Nelson, Todd, & Wixom, 2005: 206
Nelson, Todd, & Wixom, 2005: 206 Nelson, Todd, & Wixom, 2005: 206
H. Hipotesis H0
: Kualitas komunikasi interpersonal PKB tidak berpengaruh terhadap kualitas informasi KKBPK yang diperoleh PUS Kota Yogyakarta Tahun 2015-April 2016.
Ha
: Kualitas komunikasi interpersonal PKB berpengaruh terhadap kualitas informasi KKBPK yang diperoleh PUS Kota Yogyakarta Tahun 2015-April 2016.
Ha(1)
: Semakin tinggi kualitas komunikasi interpersonal PKB maka semakin tinggi pula kualitas informasi KKBPK yang diperoleh PUS Kota Yogyakarta Tahun 2015-April 2016.
I. Metodologi Penelitian 1. Metode Penelitian Penelitian ini, merupakan penelitian deskriptif kuantitatif menggunakan survei sebagai metode utama, disertai dengan observasi lapangan, yang dilanjutkan dengan wawancara mendalam pada stakeholder KKBPK di level kota maupun provinsi. Hal ini senada dengan yang disampaikan oleh DeVaus bahwa survei bukan saja merupakan teknik umum dalam pengumpulan informasi yang di dalamnya seringkali digunakan kuesioner, akan tetapi instrumen lain seperti wawancara mendalam dan terstruktur dapat digunakan dalam penelitian yang menggunakan survei. Dalam penelitian ini, pendeskripsian dilakukan setelah data ringkasan yang berbentuk angka/kuantitatif (J. Supranto, 2008: 12) terkumpul dari responden penelitian.
2. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini diadakan di seluruh kecamatan yang ada di Kota Yogyakarta (terdiri dari 14 kecamatan) dan Kantor KB di Kota Yogyakarta serta Perwakilan BKKBN DIY, pada bulan Mei-Juli 2016
3. Subjek Penelitian a. Stakeholder KKBPK di Kantor KB Kota Yogyakarta b. Stakeholder KKBPK di Perwakilan BKKBN DIY c. Suami/istri usia subur di Kota Yogyakarta yang telah diadvokasi Petugas KB/Penyuluh Lapangan KB mengenai Kependudukan, KB dan PK menggunakan komunikasi interpersonal.
4. Populasi dan Sampel a. Populasi Populasi dalam penelitian ini adalah stakeholder KKBPK di Kantor KB Kota Yogyakarta, stakeholder KKBPK di Perwakilan BKKBN DIY dan PUS Kota Yogyakarta yang pada tahun 2015-April 2016 telah
mendapatkan KIP/Konseling dari PKB. Jumlah PUS diperoleh berdasarkan data Pengendalian Lapangan (Dallap) Perwakilan BKKBN DIY bulan April tahun 2016. Jumlahnya adalah 45.771 orang, yang tersebar di 14 kecamatan. b. Sampel Sampel dalam penelitian ini merupakan perwakilan dari populasi tersebut. Setelah disesuaikan dengan kebutuhan penelitian ini, sampel yang digunakan untuk melihat kualitas komunikasi interpersonal PKB dalam rangka menilai pengaruhnya terhadap kualitas informasi yang diberikan kepada PUS adalah Kepala Kantor KB Kota Yogyakarta dan Kepala Bidang ADPIN Perwakilan BKKBN DIY. Penentuan jumlah sampel
untuk
PUS,
mengacu
pada
perhitungan
tabel
yang
dikembangkan oleh Arkin dan Colton (Slamet, 2008: 59), dalam tabel tersebut disebutkan bahwa untuk populasi 50-100.000 orang sampelnya adalah 100 orang. Penentuan jumlah ini dengan asumsi standard error sebesar 10 %, dan tingkat kepercayaan/reliabilitas 95%. Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan probability sampling, sehingga sampel yang ditarik dapat dipergunakan untuk melakukan generalisasi terhadap populasi. Lebih spesifik, teknik/metode yang digunakan adalah proportionate random sampling (acak proporsional). Metode ini diambil apabila terdapat variasi populasi dalam penelitian, sehingga pengambilan sampel acak tidak bisa dilakukan secara langsung. Populasi perlu diklasifikasikan terlebih dahulu, baru kemudian dilakukan penarikan sampel secara acak secara proporsional dari masing-masing klasifikasi populasi (W.Gulo, 2004: 90-91). Klasifikasi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah empat belas kecamatan yang ada di Kota Yogyakarta. Dari jumlah tersebut, dibagi secara proporsional dengan rumus (W.Gulo, 2004: 90-91):
Berdasarkan data dari Perwakilan BKKBN DIY, pada Dallap bulan April tahun 2016 jumlah PUS yang ada di Kota Yogyakarta adalah 45.771 pasangan. Dari jumlah ini apabila dibagi secara proporsional berdasarkan jumlah kecamatan, maka hasilnya adalah sebagai berikut: Tabel 1.2. Jumlah Sampel 14 Kecamatan di Kota Yogyakarta NO
KECAMATAN
JUMLAH SAMPEL
1
Tegalrejo
10
2
Jetis
7
3
Gondokusuman
9
4
Danurejan
5
5
Gedongtengen
4
6
Ngampilan
4
7
Wirobrajan
7
8
Mantrijeron
9
9
Kraton
5
10
Gondomanan
3
11
Pakualaman
2
12
Mergangsan
8
13
Umbulharjo
18
14
Kotagede
9
TOTAL
100
Sumber: data diolah Peneliti berdasar Dallap Perwakilan BKKBN DIY, April 2016 5. Instrumen Penelitian Karena metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah survei, maka pengumpulan data tentu saja menggunakan kuesioner. Sedangkan untuk wawancara mendalam akan digunakan interview guide. Kuesioner sedikit
berbeda dengan angket, apabila pada kuesioner pertanyaan disusun dalam bentuk kalimat tanya, pada angket pertanyaan disusun dalam kalimat pernyataan dengan opsi jawaban yang tersedia (W.Gulo, 2004:122). Salah satu keunggulan teknik ini adalah kemampuannya untuk mengumpulkan data dari sejumlah besar responden yang menjadi sampel. Pada penelitian ini, peneliti memakai kuesioner yang menggunakan Skala Interval. Daftar pertanyaan berskala tersebut, diawali terlebih dahulu dengan pertanyaan penyaring, yang variasi jawabannya adalah : ya dan tidak, serta pilihan jawaban yang disediakan. Skala Interval yang digunakan dalam penelitian ini adalah milik Likert. Skala Likert seringkali digunakan untuk mengukur sikap, pendapat, dan persepsi seseorang atau sekelompok orang tentang fenomena sosial (Sugiyono, 2006: 107). Skala ini diungkapkan dalam bentuk variasi jawaban dari yang paling positif sampai paling negatif, berupa pernyataan yang disesuaikan dengan pertanyaan yang diajukan (Aropi, 2007: 88). Variasi jawaban untuk pertanyaan yang digunakan peneliti, yaitu : sangat tidak setuju, tidak setuju, netral, setuju dan sangat setuju. Pertanyaan favorable diberi nilai skor 1 sampai 5, untuk pernyataan sangat tidak setuju sangat setuju, sedangkan penilaian untuk yang pertanyaan yang sifatnya unfavorable dibalik (Edwards dalam Azwar, 2013:147). Skala ini kemudian akan digunakan untuk menyatakan lima buah indikator guna menunjukkan kualitas komunikasi interpersonal dan kualitas informasi KKBPK di Kota Yogyakarta Tahun 2015-April 2016 dengan kategori Sangat Buruk (1,00-1,80), Buruk (1,81-2,60), Sedang (2,61-3,40), Baik (3,41-4,20) dan Sangat Baik (4,21-5,00) berdasarkan skor akumulasi kuesioner yang sudah dibuat rata-rata. Kategori ini dibuat menggunakan rumus umum interval (interval = range/kategori).
6. Uji Validitas dan Uji Reabilitas a. Uji Validitas Sebuah kuesioner riset dikatakan valid apabila instrumen tersebut benar-benar mampu mengukur besarnya nilai variabel yang diteliti. Validitas harus mengandung faktor ketepatan dan kecermatan. Menurut Suliyanto (2009: 149) kriteria yang digunakan untuk pengujian validitas dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu : 1) Koefisien korelasi product moment melebihi 0,3 2) Koefisien korelasi product moment > r-tabel (α ; n-2) n = jumlah sampel 3) Nilai Sig ≤ α Dalam penelitian ini, pengujian validitas instrumen penelitian akan menggunakan korelasi product moment. Nilai uji validitas mengacu kepada Tabel Distribusi Nilai Rtabel Signifikansi 5% dan 1% b. Uji Reliabilitas Uji reliabilitas, ditujukan agar mengetahui sejauh mana hasil suatu pengukuran dapat dipercaya. Uji reliabilitas pada penelitian ini menggunakan reliabilitas internal (Internal Reliability), dengan tujuan agar kelemahan-kelemahan pada uji reliabilitas eksternal dapat dihilangkan yaitu dengan menggunakan Cronbach’s Alpha dalam Suliyanto (2009: 150). Suatu kuesioner dikatakan reliabel apabila nilai Cronbach’s Alpha mendekati 1. Apabila reliabilitas < 0,6 maka reliabilitas dianggap buruk, pada batas 0,7 maka reliabilitas dapat diterima dan semakin mendekati 1 (0,8) maka reliabilitas dianggap baik. Nilai uji reliabilitas dalam penelitian ini mengacu kepada Tabel Distribusi Nilai Rtabel Signifikansi 5% dan 1%. Uji validitas dan reliabilitas terhadap instrumen penelitian ini, dilakukan peneliti dengan bantuan program SPSS.
7. Analisa Data Penelitian ini menggunakan Analisis Korelasi Bivariate Pearson untuk mengetahui keeratan hubungan antara dua variabel dan untuk mengetahui
arah hubungan yang terjadi. Koefisien korelasi sederhana menunjukkan seberapa besar hubungan yang terjadi antara dua variabel. Karena kuesioner mengandung data dengan skala interval, maka yang digunakan dalam penelitian ini adalah Koefisien Korelasi Bivariat Pearson. Nilai korelasi pearson (r) berkisar antara 1 sampai -1, nilai semakin mendekati 1 atau -1 berarti hubungan antara dua variabel semakin kuat, sebaliknya nilai mendekati 0 berarti hubungan antara dua variabel semakin lemah. Nilai positif menunjukkan hubungan searah (X naik maka Y naik) dan nilai negatif menunjukkan hubungan terbalik (X naik maka Y turun). Menurut Sugiyono (2007: 46) pedoman untuk memberikan interpretasi koefisien korelasi sebagai berikut:
0,00
- 0,199
= sangat rendah
0,20
- 0,399
= rendah
0,40
- 0,599
= sedang
0,60
- 0,799
= kuat
0,80
- 1,000
= sangat kuat
8. Limitasi Penelitian Penelitian ini hanya akan melakukan pengukuran terhadap komunikasi interpersonal yang dilakukan oleh PKB terhadap PUS di Kota Yogyakarta tahun 2015-April 2016 saja, untuk mengetahui pengaruhnya terhadap kualitas informasi KKBPK yang diterima PUS. Dipilih langkah demikian karena jika informasi yang diterima PUS yang bertindak sebagai tangan pertama penerima informasi KKBPK dari PKB tidak berkualitas, apalagi tangan-tangan berikutnya. Kuesioner digunakan untuk mengukur kualitas komunikasi interpersonal yang dimiliki oleh PKB dan kualitas informasi yang diterima PUS, sebagai bagian dari strategi kebijakan komunikasi Kependudukan dan KB BKKBN. Hasil yang diperoleh dari lapangan secara kuantitatif, akan digunakan sebagai bahan untuk memperoleh konfirmasi melalui wawancara mendalam dengan stakeholder KKBPK di
tingkat kotamadya maupun provinsi. Faktor antara (faktor jenis kelamin PKB, pendidikan PKB, suku bangsa, agama, cara PKB melakukan komuikasi non verbal, dan lain-lain) belum diteliti dalam penelitian ini, sehingga dapat menjadi masukan dalam penelitian selanjutnya. Sedangkan faktor lain yang mempengaruhi kualitas komunikasi interpersonal PKB terutama dari perspektif PKB akan dibahas lebih jauh dalam penelitian yang diadakan rekan saya Rahmat Hidayat.