BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan masa ketika seseorang dihadapkan dengan pencarian jati diri tentang siapa mereka, bagaimana mereka nantinya, dan kemana mereka akan menuju dalam kehidupannya. Biasanya, remaja mudah menerima pengaruh dari orang lain, terutama lingkungan atau teman sebayanya. Kehidupan remaja tidak hanya melibatkan nilai-nilai budaya, status sosial ekonomi, dan etnis, tetapi juga pengaruh dari media. Oleh karena itu, seiring dengan berkembang pesatnya media sosial dan elektronik, perlu adanya kontrol pada diri remaja agar tidak salah dalam pemanfaatan media tersebut. Kurangnya pengawasan dan pendampingan orang dewasa dalam proses perkembangannya juga dapat berakibat pada munculnya berbagai macam masalah pada remaja. Permasalahan
remaja
pada
zaman
sekarang
berada
dalam
taraf
yang
mengkhawatirkan. Kasus-kasus kriminal remaja meningkat dari tahun ke tahun. Tawuran semakin kerap terjadi, seks bebas telah menjadi kebiasaan, narkoba menjadi konsumsi sehari-hari, bahkan membunuh pun menjadi hal yang wajar dilakukan. Permasalahanpermasalahan tersebut jika tetap dibiarkan dan tidak mendapatkan perhatian akan sampai pada taraf krisis identitas bagi remaja. Fenomena yang belum lama terjadi adalah maraknya pembentukan geng-geng remaja yang meresahkan masyarakat. Kekhawatiran masyarakat Yogyakarta memuncak ketika menyaksikan aksi anarkis yang dilakukan genggeng remaja tersebut. Menurut Kapolres Sleman (www.radarjogja.com, 18 Oktober 2014), setidaknya ada 25 geng remaja di Sleman yang berpotensi menimbulkan keresahan masyarakat. Selain aksi anarkis yang dilakukan geng-geng remaja, kekhawatiran orang tua terhadap pertumbuhan remajanya juga semakin meningkat dengan adanya berbagai kasus 1
2 kriminalitas lain yang dilakukan oleh sekelompok remaja tertentu. Data BNN Provinsi DI. Yogyakarta tahun 2013 menyebutkan bahwa jumlah pengguna narkoba di Yogyakarta mencapai 87.473 orang, meningkat dari tahun sebelumnya 78.064 orang. Berdasarkan data tersebut, penyalahgunaan narkoba di Provinsi Yogyakarta mayoritas dilakukan oleh generasi muda, pelajar, dan mahasiswa (www.KRjogja.com, 26 Juni 2013). Tidak hanya berhenti pada pengguna, kasus penyalahgunaan narkoba pada remaja sudah sampai pada tingkat pengedar. Berdasarkan 147 kasus pengedaran narkoba yang terungkap pada tahun 2013, diketahui bahwa beberapa pelaku peredarannya
adalah seorang remaja
(www.tempo.com, 11 Juni 2013). Fenomena yang tidak kalah mengkhawatirkan adalah maraknya seks bebas di lingkungan remaja. Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menyebutkan bahwa selain narkoba dan HIV/AIDS, permasalahan utama pada remaja adalah seks bebas. Penelitian yang dilakukan Komisi Nasional Perlindungan Anak pada tahun 2012 menyebutkan bahwa dari 4.726 responden yang merupakan remaja SMP dan SMA, sebanyak 97% mengatakan pernah menonton pornografi. 93,7% dari hasil tersebut mengaku sudah tidak perawan, bahkan, 21,26% sudah pernah melakukan aborsi (www.bkkbn.go.id, 12 Agustus 2014). Maraknya kasus kriminalitas yang melibatkan remaja membuat banyak orang tua khawatir terhadap anak-anaknya. Orang tua merasa harus lebih waspada dalam mengontrol perkembangan anak-anaknya. Salah satu usaha yang dilakukan oleh orang tua dalam mengawasi perkembangan anaknya adalah dengan mengikutsertakan anak-anaknya dalam kegiatan-kegiatan yang mempunyai nilai manfaat serta berdampak positif bagi kehidupannya dimasa yang akan datang, seperti memasukkan anak-anaknya ke Pondok Pesantren. Menurut Sulaiman (2010), beberapa makna tindakan orang tua memondokkan anaknya ke pondok pesantren adalah karena adanya penawaran program pendidikan yang beragam dan aplikatif, kedisiplinan pesantren, karisma kyai, dan penghindaran pengaruh
3 negatif dari teman sebaya. Orang tua percaya bahwa di pondok pesantren, anaknya akan tumbuh sebagai insan muslim yang berbekal iman, bermoral baik, dan memiliki beragam kemampuan sehingga dapat mengembangkan diri dengan baik dan dapat berguna bagi masyarakat. Pondok pesantren dalam sistem pendidikan Indonesia diatur dalam UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 tentang pendidikan keagamaan pasal 30. Disebutkan bahwa pondok pesantren merupakan salah satu bentuk dari pendidikan keagamaan yang diselenggarakan oleh pemerintah dan/atau kelompok masyarakat dari pemeluk agama Islam, sesuai dengan peraturan perundang-undangan (ayat 1), serta dapat diselenggarakan pada jalur formal, nonformal dan informal (ayat 3). Perbedaan sistem pendidikan pesantren dengan sistem pendidikan yang lainnya adalah kewajiban setiap murid atau santri untuk tinggal di asrama selama 24 jam (Hidayat, 2012). Tujuan utama dari pembelajaran di pondok pesantren adalah menyiapkan santri untuk mendalami dan menguasai ilmu Agama Islam dengan sistem pembelajaran secara bersama-sama. Selain itu, pesantren juga berperan sebagai lembaga dakwah dan tempat syiar Agama Islam serta sebagai benteng pertahanan umat Islam dalam bidang akhlak (Depag RI dalam Maknin, 2011). Sumber lain menyebutkan bahwa pondok pesantren didirikan dengan tujuan sebagai tempat menuntut ilmu, mengembangkan moral, dan menanamkan kemampuan serta pengabdian kepada masyarakat (Azizah, 2013). Pesantren merupakan suatu komunitas yang khas antara kyai, ustadz, santri, serta pengurus pesantren dengan kehidupan yang berlandaskan nilai-nilai Agama Islam lengkap dengan norma-norma dan kebiasaan yang berbeda dengan masyarakat umum yang ada di sekitarnya (Bashori dalam Hidayat, 2012). Kewajiban untuk tinggal di pondok pesantren menuntut santri untuk hidup dengan aktivitas, budaya, dan kebiasaan pesantren yang berbeda dengan aktivitas, budaya, serta kebiasaan yang dilakukan di rumah. Setiap hari
4 santri dibebani oleh kegiatan-kegiatan yang tidak ringan. Kegiatan yang dilakukan mulai dari bangun tidur hingga tidur kembali telah terjadwal sehingga tidak ada waktu yang terbuang percuma (Hidayat, 2012). Kehidupan di pondok pesantren yang sangat berbeda dengan kehidupan di rumah inilah yang menuntut santri untuk menyesuaikan diri agar dapat bertahan sampai santri tersebut menyelesaiakan pendidikannya di pondok pesantren dan menyandang gelar ahli ilmu nafi’. Menurut Santrock (2010), attachment dengan orang tua selama masa remaja merupakan fungsi adaptif dan landasan yang kokoh untuk menjelajahi dan menguasai lingkungan baru dan dunia sosial yang luas. Oleh karena itu, hal yang menjadi beban bagi remaja adalah ketika dihadapkan pada suatu perubahan, khususnya ketika harus tinggal terpisah dengan orang tua dan harus siap menjadi mandiri, seperti yang terjadi pada remaja yang tinggal di pondok pesantren. Kegiatan di pondok pesantren menuntut santri untuk beraktifitas dalam satu hari penuh sesuai jadwal yang telah ditentukan. Kegiatan-kegiatan di pondok pesantren sangat berbeda dengan kegiatan di rumah. Kehidupan sebagai santri dan tinggal di pondok pesantren dianggap sebagai hal yang menakutkan bagi sebagian santri. Oleh karena itu, santri yang tidak dapat menyesuaikan diri dengan perubahan pola hidup di pondok pesantren akan merasa tertekan dan tekanan-tekanan tersebut akan menimbulkan stres bagi santri, seperti yang dirasakan seorang santri TM, usia 16 tahun dan sudah menjalani kehidupan di pondok pesantren selama dua tahun. “Eee...kalo misalnya ada tugas dari sekolah tapi eee juga harus nyiapin buat setoran besuk pagi, buat setoran bu guru malem, jadinya ada taqrir juga jadinya kan ee kepiki banyak pikiran lah padahal kalo dijalanin sih sebenernya selesai-selesai aja tapi kan sebelumnya kadang kan mikir dulu ini mau dikerjain dari mana dulu apa mau yang mulainya darimana gitu kan suka bingung. Ya itulah mungkin stresnya disitu” (TM, V1, 4) Stanley Hall mengatakan bahwa masa remaja merupakan masa badai dan tekanan (storm and stress) yang diwujudkan dengan adanya perubahan emosi yang diiringi dengan
5 pertumbuhan fisik dan pertumbuhan psikis (Santrock, 2010). Atkinson, Atkinson, dan Hilgard (2007) mengatakan bahwa stres merupakan suatu respon individu terhadap rangsangan yang berupa tuntutan besar yang melebihi kemampuan individu untuk memenuhi tuntutan tersebut. Santri yang berada pada fase remaja biasanya mengalami banyak masalah dan tuntutan yang membuat santri mengalami stres. Stres sering dihubungkan dengan hal-hal negatif. Pernyataan tersebut berarti bahwa suatu rangsangan yang berupa tekanan biasanya akan menimbulkan respon negatif baik berupa respon fisik maupun respon psikis. Penelitian yang dilakukan oleh Donovan, Owen, dan Rosemary (2013) menyebutkan bahwa stres dapat mempengaruhi individu dalam berbagai cara baik fisik maupun psikis. Reaksi fisik terhadap stres diantaranya adalah sakit kepala, pusing, nyeri perut, nyeri punggung, iritasi, dan rasa pening sedangkan reaksi psikologis yang terjadi adalah kesulitan untuk tidur dan istirahat, kecemasan, penurunan mood serta berbagai masalah lain yang disebut bisa muncul akibat dari stres. Hal ini didukung dengan pernyataan Steinhardt, Dolbier, dan Smith (2010) yang mengatakan bahwa penelitian-penelitian jaman dulu hanya berfokus pada dampak negatif dari stres, seperti simtom fisik dan mental illness. Dilihat dari sudut pandang psikologi positif, sebuah peristiwa penuh tekanan, seperti bencana alam, penyakit kanker, maupun korban perang pun memiliki aspek perubahan positif (Linley & Stephen, 2004). Hal tersebut berarti bahwa setiap kejadian yang memberikan tekanan sebesar apapun tidak selalu berdampak negatif. Psikologi positif meyakini bahwa setiap pengalaman negatif juga dapat memberikan perubahan positif bagi individu yang mengalaminya. Mekanisme dari perubahan positif tersebut terjadi karena setiap individu mempunyai potensi untuk tumbuh dari pengalaman negatif dalam hidupnya (Caplan dalam Park., Lawrence., Renee, 1996).
6 Kehidupan santri di pondok pesantren dalam bimbingan asatidz dan pengawasan pengasuh pondok pesantren mendukung pernyataan-pernyataan di atas bahwa perubahan positif dapat terjadi pada setiap kejadian yang memberikan tekanan. Santri merupakan remaja yang harus hidup terpisah dengan orang tua dan melakukan segala sesuatu secara mandiri. Selain itu, santri juga dituntut untuk mematuhi segala peraturan pesantren, seperti tidak boleh membawa hand phone, keluar pesantren hanya boleh dilakukan saat hari libur, dilarang bertemu dengan lawan jenis, dan berbagai macam peraturan lain yang tidak diberikan kepada remaja pada umumnya. Santri juga selalu disibukkan dengan kegiatankegiatan sekolah dan kegiatan pesantren yang padat, terlebih ketika menjelang Ujian Akhir Nasional. Kegiatan santri semakin dipadatkan sebagai usaha mencapai kelulusan dan lolos dalam penerimaan mahasiswa baru. Ternyata, tekanan-tekanan yang dihadapi santri dalam kesehariannya tersebut tidak selalu berdampak negatif karena sebagian besar santri mampu melewati tekanan-tekanan tersebut dan berhasil menyelesaikan pendidikannya di pondok pesantren dengan baik. Beberapa diantaranya juga dapat berprestasi dan menjadi tokohtokoh berpengaruh di Indonesia, seperti Presiden ke 4 Indonesia, Dr. KH Abdurrahman Wahid yang diketahui berasal dari keluarga yang hidup di lingkungan pesantren. Selain itu, Sebuah media massa memberitakan bahwa salah satu santri Pesantren Tebuireng, Jawa Timur lolos di ajang olimpiade sains internasional bidang matematika di Singapura (www.tebuireng.org, 16 September 2014). Fakta-fakta tersebut membuktikan bahwa hidup di naungan pondok pesantren yang penuh dengan tekanan tidak tentu berdampak negatif bagi santri. Tekanan-tekanan yang dihadapi justru menjadikan santri tumbuh secara positif. Kesimci, Sevinc, dan Tulin (2005) mengatakan bahwa perubahan positif yang menyertai suatu pengalaman yang penuh dengan tekanan dikenal dengan istilah stressrelated growth (SRG). SRG mengindikasikan bahwa seseorang dapat mengalami perubahan positif dalam penyesuaian dirinya apabila orang tersebut masih berjuang dalam
7 menghadapi tekanan hidupnya (Chun., Youngkhill., Byunggook., & Jinmoo, 2012). Beberapa literatur menyebutkan bahwa SRG terkadang juga disebut perceived benefits, construing benefits, post-traumatic growth, adversial growth, positive adjustment, positive adaptation (Linley & Joseph, 2004), benefit finding, dan thriving (Affleck & Tennen; O’Leary & Ickovics dalam Kesimci., Sevinc., Tulin, 2005). Istilah SRG digunakan karena mencakup perubahan positif dari hasil tekanan dengan level kerumitan yang bervariasi. SRG tidak hanya mencakup respon dari tekanan, akan tetapi lebih pada pengembangan terhadap kemampuan penyesuaian diri dari hal-hal yang telah terjadi sehari-hari (Steinhardt., Dolbier., Smith, 2010). Beberapa peneliti menyebutkan bahwa seseorang yang tumbuh dalam kondisi yang penuh tekanan mempunyai pertumbuhan yang lebih tinggi pada masa yang akan datang daripada seseorang yang berada pada kondisi tanpa tekanan (Murch, 1994). Penelitian yang dilakukan oleh Kesimci, Sevinc, dan Tulin (2005) meneliti tentang faktor yang menentukan SRG. Penelitian tersebut menggunakan perbedaan jenis kelamin, tingkat stres suatu kejadian, dan strategi koping sebagai variabel penelitiannya. Hasil penelitian tersebut mendukung pernyataan sebelumnya bahwa kejadian yang mempunyai tingkat stres lebih tinggi akan menghasilkan SRG yang lebih tinggi pula. Penjelasan di atas memunculkan asumsi bahwa penelitian-penelitian sebelumnya menyatakan hasil yang sesuai dengan fenomena yang terjadi di dunia pesantren. Santri sebagai pelajar yang tinggal di asrama mempunyai tingkat stressor yang lebih tinggi dibandingkan pelajar biasa yang tinggal di rumah. Oleh karena itu, santri juga akan mengalami pertumbuhan yang lebih tinggi dibandingkan pelajar biasa. Dimensi SRG terbagi menjadi tiga kategori, yaitu pertumbuhan dalam hubungan sosial, pertumbuhan pada persepsi diri,
dan pertumbuhan dalam kemampuan
menyesuaikan diri (Ping-Yi, 2012). Contoh tindakan nyata dari ketiga kategori SRG
8 tersebut adalah meningkatnya hubungan sosial dengan orang lain, meningkatnya pemahaman diri, dan meningkatnya kemampuan menyelesaikan masalah. Pertumbuhan yang dialami merupakan hasil dari respon terhadap kejadian-kejadian yang penuh dengan tekanan. Walaupun begitu, Murch (1994) mengatakan bahwa pertumbuhan tersebut juga disertai dengan adanya peningkatan optimisme, perasaan positif, kepuasan terhadap dukungan sosial, serta keyakinan terhadap kebaikan yang akan diterima. Pernyataan ini didukung oleh penelitian sebelumnya yang menyebutkan tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan SRG, yaitu strategi koping, dukungan sosial, dan karakter Individu. Salah satu karakter individu yang berhubungan dengan SRG adalah optimisme (Bostock, Sheikh, & Barton; Tedeschi & Calhoun; dalam Chun., Youngkhill., Byunggook., & Jinmoo 2012). Secara garis besar, santri membutuhkan mental yang kuat agar dapat tumbuh secara positif dalam menghadapi segala situasi kehidupan yang penuh tekanan di pondok pesantren. Ketahanan mental ditentukan oleh karakter yang memiliki toleransi terhadap stres. Salah satu karakter individu yang dapat mempengaruhi individu dalam penyesuaian dirinya terhadap stres adalah sikap optimis. Sikap ini timbul dari cara berpikir positif ketika menghadapi masalah. Sikap optimis memandang masalah dari segi positifnya serta keyakinan bahwa setiap masalah dapat diatasi (Scheier dalam Darmadji, 1996). Sebuah penelitian dilakukan oleh Buxton (2011) pada penderita kanker payudara untuk mengetahui hubungan antara optimisme dengan pertumbuhan positif (PTG). Hasilnya menunjukkan bahwa semakin tinggi optimisme yang dimiliki oleh penderita kanker payudara, maka penderita tersebut semakin mengalami pertumbuhan positif. Hal ini menjadi landasan bahwa optimisme yang tinggi dalam diri santri dapat menyikapi tekanantekanan yang dihadapi dengan hal yang positif. Berdasarkan pemaparan diatas, peneliti ingin mengetahui bagaimana hubungan antara optimisme dengan Stress-Related Growth.
9 B. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan optimisme pada santri pondok pesantren terhadap stress-related growth yang dialaminya selama menempuh pendidikan dan menjalani kegiatan di pondok pesantren.
C. Manfaat Penelitian 1.
Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat bermafaat sebagai tambahan kajian dalam bidang psikologi terutama psikologi klinis dan bagi penelitian-penelitian tentang optimisme serta kaitannya dengan stress-related growth.
2.
Manfaat Praktis Bagi pihak pondok pesantren, diharapkan hasil penelitian ini dapat menjadi bahan pertimbangan dalam usaha peningkatan kesehatan psikologis santri sehingga santri dapat lebih adaptif dalam menghadapi kegiatan pesantren yang padat.