BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Thomas Aquinas says that “law is a kind of direction or measure for human activity through which a person is led to do something or held back” (Edward J. Damich, 1985: 87). Apabila diterjemahkan dapat berarti “hukum merupakan arahan atau ukuran untuk seorang manusia beraktifitas, dimana orang tersebut diarahkan untuk dapat melakukan sesuatu atau menahan diri. Hal ini sebagaimana salah satu tujuan hukum yang ada di dunia saat ini, tidak terkecuali Indonesia. Proses tentang acara perkara pidana sipil di Indonesia sebagaimana yang terjadi pada masa lalu dengan berpedoman Het Herziene Inlandsch Reglement (HIR), yang berubah dimana pada masa sekarang ini lebih dikenal dengan istilah hukum acara pidana, yaitu hukum yang mengatur tentang tata cara beracara di badan peradilan dalam lingkup hukum pidana. Istilah hukum acara pidana saat ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 atau lebih dikenal dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana pada tanggal 31 Desember 1981. Undang-Undang ini disambut oleh segenap Bangsa Indonesia dengan perasaan penuh suka cita dan penuh harapan akan terwujudnya kepastian hukum dan tertib hukum berdasarkan kebenaran dan keadilan. Sebagaimana dikutip dari pendapat Andi Hamzah, Van Bemmelen memberikan definisi hukum acara pidana, yang apabila diterjemahkan secara bebas yakni: “Ilmu hukum acara pidana mempelajari peraturan-peraturan yang diciptakan oleh negara, karena adanya pelanggaran undang-undang pidana, yaitu sebagai berikut:
1
2
1. Negara melalui alat-alatnya menyidik kebenaran. 2. Sedapat mungkin menyidik pelaku perbuatan itu. 3. Mengambil tindakan-tindakan yang perlu guna menangkap si pembuat dan kalau perlu menahannya. 4. Mengumpulkan bahan-bahan bukti (bewijsmateriaal) yang telah diperoleh pada penyidikan kebenaran guna dilimpahkan kepada hakim dan membawa terdakwa ke depan hakim tersebut. 5. Hakim memberi keputusan tentang terbukti tidaknya perbuatan yang dituduhkan kepada terdakwa dan untuk itu menjatuhkan pidana atau tindakan tata tertib. 6. Upaya hukum untuk melawan keputusan tersebut. 7. Akhirnya melaksanakan keputusan tentang pidana dan tindakan tata tertib.” (Andi Hamzah, 2011: 6) Selanjutnya sebagaimana telah diatur dalam KUHAP, proses beracara dimulai sejak dilakukannya Penyelidikan dan Penyidikan. Penyelidikan sendiri bertujuan untuk menentukan apakah peristiwa yang terjadi tersebut merupakan tindak pidana atau bukan, apabila dapat dikategorikan sebagai tindak pidana maka akan dilanjutkan ke tingkat penyidikan, yang bertujuan untuk menentukan pelaku/tersangka dari tindak pidana tersebut. Penentuan Tersangka dalam proses penyidikan memerlukan minimal 2 (dua) alat bukti, hal ini sebagaimana tercantum dalam Surat Keputusan Kapolri No.Pol.Skep/1205/IX/2000 tentang Pedoman Administrasi Penyidikan Tindak Pidana yang mengatur bahwa bukti permulaan yang cukup merupakan alat bukti untuk menduga adanya suatu tindak pidana dengan mensyaratkan minimal satu laporan polisi ditambah dengan satu alat bukti yang sah sebagaimana diatur dalam Pasal 184 KUHAP. (m.hukumonline.com/klinik/detail/lt5073b4c6c99ba/buktipermulaan-yang-cukup-sebagai-dasar-penangkapan, diakses pada Selasa, 22 September 2015, pukul 03.03 WIB) Selain itu dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014, dalam pertimbangannya juga menyatakan inkonstitusional bersyarat terhadap frasa “bukti permulaan yang cukup” dan “bukti yang cukup” dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17 dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP harus ditafsirkan sekurang-kurangnya dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP
disertai
pemeriksaan
calon
tersangkanya.
3
(m.hukumonline.com/berita/baca/lt553f5575acd85/mk-rombak-bukti-permulaandan-objek-praperadilan, diakses pada Sabtu, 09 April 2016, pukul 21.27 WIB) Once an investigation is complete, both the investigative file and responsibility for custody of the suspect passes to the prosecution, and police generally have no further role in the process. (Benjamin B. Wagner and Leslie Gielow Jacobs, 2014: 20). Tahapan selanjutnya proses beracara setelah dipenuhinya penyelidikan dan penyidikan adalah penuntutan. Proses penuntutan sendiri diawali dengan dibuatnya Surat Dakwaan oleh Penuntut Umum, pada zaman HIR surat dakwaan disebut “surat tuduhan” atau disebut juga acte van beschuldinging, sedangkan KUHAP seperti yang ditegaskan pada Pasal 140 ayat (1) KUHAP, diberi nama “surat dakwaan”, atau dapat disebut acte van verwijzing atau dalam istilah hukum Inggris disebut imputation. (Andi Sofyan, dkk., 2014:171). Pujiyono (2015: 61) mengungkapkan “According to the Act No. 16 of 2004 on Indonesian National Prosecution, Prosecution is a national institution conducting prosecution power of the state. In accordance to Article 37, prosecution authority is conducted independently and to be accounted to President and the House of Representatives referring to principle of accountability. Constitution of 1945 implicitly sets the Indonesian National Prosecution presence in its state system, as associated body with judicial authorities (see Article 24 paragraph(3) of the 1945 amendments to the 3rd jo. Article 41 Act No. 4 of 2004 on Judicial Power), as an upholder of dominus litis principle,securing control over case processes to determine whether or not a person is a defendant and to be presented in the court based onvalid evidences according to constitution, and as executive ambtenaar, executor of the court’s and verdict in a criminal case.” Pada intinya menyatakan bahwa berdasarkan UndangUndang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, kejaksaan merupakan institusi nasional yang mewakili negara melaksanakan kekuasaan penuntutan, yang berhubungan dengan kekuasaan kehakiman, memiliki kekuasaan atas pemrosesan terhadap kasus atau perkara untuk menentukan apakah
4
seseorang dapat dikategorikan sebagai terdakwa untuk dihadirkan kedalam persidangan berdasarkan bukti-bukti yang sesuai dengan peraturan, serta sebagai eksekutor atas putusan tindak pidana. Dakwaan merupakan dasar penting hukum acara pidana karena berdasarkan hal yang dimuat dalam surat itu, hakim akan memeriksa perkara itu. Pemeriksaan didasarkan kepada surat dakwaan dan menurut Nederburg, pemeriksaan tidak batal jika batas-batas dilampaui, namun putusan hakim hanya boleh mengenai peristiwa-peristiwa yang terletak dalam batas itu. (Andi Hamzah, 2011: 167). Atas adanya Surat Dakwaan tersebut, Terdakwa kemudian diberi kesempatan oleh Hakim/Majelis Hakim untuk mengajukan eksepsi/keberatan. Menurut HIR segera setelah hakim ketua sidang membuka sidang pengadilan, terdakwa atau penasihat hukumnya dapat melakukan suatu verweer atau perlawanan dengan mengemukakan eksepsi, misalnya: a. Pengadilan tidak berwenang untuk mengadili perkara yang bersangkutan; b. Dakwaan dari penuntut umum harus dinyatakan sebagai tidak dapat diterima; atau c. Surat dakwaan dari penuntut umum harus dinyatakan sebagai batal demi hukum. Atas perlawanan tersebut, hakim harus memberikan putusannya dan atas putusan tersebut terdakwa dapat minta banding ke pengadilan tinggi bersamasama dengan banding atas putusan akhir dari pengadilan mengenai perkara pidananya. (P.A.F. Lamintang, dkk., 2013: 345-346). KUHAP sendiri mengatur jenis-jenis eksepsi tersebut dalam Pasal 156 ayat (1) KUHAP, dimana berdasarkan ketentuan Pasal 156 ayat (1) KUHAP dan menurut “Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan Buku I” ada 3 (tiga) macam keberatan yang dapat diajukan oleh terdakwa atau penasihat hukumnya, yaitu: 1. Keberatan tidak berwenang mengadili;
5
2. Keberatan dakwaan tidak dapat diterima; dan 3. Keberatan surat dakwaan harus dibatalkan. Berdasar ketiga macam keberatan tersebut baik terdakwa dan atau penasihat hukumnya dapat mengajukan keberatan tersebut salah satunya atau ketiga macam keberatan tersebut sekaligus, asalkan ada relevansi dan dasar hukumnya terhadap surat dakwaan. Hal ini elementer sifatnya, oleh karena apabila keberatan tidak relevan dan mempunyai dasar hukum, terlebih-lebih apabila sampai dicari-cari dan diada-adakan maka keberatan tersebut pasti akan ditolak oleh majelis hakim. (Lilik Mulyadi, 1996:93) Namun pada prakteknya saat ini keberatan atau eksepsi tidak hanya terbatas pada ketiga jenis sebagaimana tercantum dalam KUHAP dan diungkapkan para ahli hukum tersebut, contohnya sebagaimana kasus yang penulis angkat, terkait dengan pencurian warisan berupa surat-surat kepemilikan tanah yang dilakukan oleh Terdakwa Samson Ritonga bersama-sama dengan Terdakwa Muhammad Tohir Ritonga (dilakukan penuntutan terpisah), namun berdasarkan Penetapan Ahli Waris Pengadilan Agama Padangsidimpuan, Terdakwa Muhammad Tohir Ritonga ternyata merupakan salah saru dari 12 (dua belas) orang ahli waris yang juga berhak atas warisan tersebut, hal tersebut kemudian memberikan celah bagi Penasihat Hukum dan Terdakwa mengajukan keberatan dengan alasan surat dakwaan penuntut umum prematur atau terlalu cepat untuk diajukan. Sementara itu kasus dengan Terdakwa dalam perkara yang sama namun dilakukan penuntutan terpisah (splitsing), yang memiliki hubungan dengan kasus yang penulis angkat sebagai bahan penelitian ini, dalam putusannya Nomor 87/Pid.B/2015/PN.PSP atas nama terdakwa Muhammad Tohir Ritonga, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Padangsidimuan pada akhirnya mengabulkan eksepsi atau nota keberatan yang diajukan oleh Terdakwa, dengan menyatakan bahwa dasar dakwaan bukan domain pidana dan dakwaan prematur. Berdasarkan uraian di atas utamanya terkait dengan pertimbangan hakim tersebut, penulis tertarik untuk mengkaji lebih dalam mengenai kesesuaiannya
6
dengan KUHAP dalam sebuah penulisan hukum (skripsi) yang berjudul, “TINJAUAN TENTANG PENGAJUAN EKSEPSI OLEH TERDAKWA DENGAN
ALASAN
DAKWAAN
PENUNTUT
UMUM
BERSIFAT
PREMATUR DALAM PERKARA PENCURIAN (STUDI PUTUSAN PENGADILAN
NEGERI
PADANGSIDIMPUAN
NOMOR:
88/Pid.B/2015/PN.PSP)”. B.
Rumusan Masalah
1. Apakah pengajuan eksepsi oleh terdakwa dengan alasan dakwaan penuntut umum bersifat prematur sesuai dengan ketentuan KUHAP ? 2. Apakah pengajuan eksepsi oleh terdakwa dengan alasan dakwaan penuntut umum bersifat prematur dipertimbangkan oleh Hakim Pengadilan Negeri Padangsidimpuan ?
C.
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini pada hakekatnya untuk mengungkapkan apa yang hendak dicapai oleh penulis, yang mana tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Tujuan Obyektif: a. Mengetahui pengajuan eksepsi oleh terdakwa dengan alasan dakwaan penuntut umum bersifat prematur sesuai dengan ketentuan KUHAP. b. Mengetahui pengajuan eksepsi oleh terdakwa dengan alasan dakwaan penuntut umum bersifat prematur dipertimbangkan oleh Hakim Pengadilan Negeri Padangsidimpuan atau tidak.
7
2. Tujuan Subyektif: a. Menambah wawasan dan pengetahuan penulis dalam bidang hukum dan meningkatkan pemahaman teori dan praktek hukum yang diaplikasikan ke dalam kehidupan nyata. b. Memenuhi syarat akademis guna memperoleh gelar kesarjanaan di bidang Ilmu Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. c. Memberikan wujud nyata dari hasil perkuliahan dan ilmu serta teori-teori hukum yang didapatkan penulis selama perkuliahan agar dapat bermanfaat bagi penulis dan masyarakat.
D.
Manfaat Penelitian
Setiap penelitian diharapkan adanya suatu manfaat dan kegunaan yang dapat diambil dari penelitian yang dilakukan, sebab besar kecilnya manfaat penelitian akan menentukan nilai-nilai dari penelitian tersebut. Adapun manfaat atas penelitian ini adalah: 1. Manfaat Teoritis a. Memberikan manfaat dan kontribusi pemikiran bagi pengembangan Ilmu Hukum dan Hukum Acara Pidana, serta dapat menggunakan penelitian ini sebagai bahan pengajaran bagi penelitian hukum selanjutnya yang berguna bagi para pihak yang berkepentingan. b. Sebagai bahan tambahan referensi bagi ilmu pengetahuan dalam bidang hukum, utamanya mengenai pengajuan eksepsi oleh terdakwa dengan alasan dakwaan Penuntut Umum bersifat prematur.
2. Manfaat Praktis a. Memberikan manfaat bagi pengembangan ilmu hukum pada umumnya dan hukum acara pidana pada khususnya, serta dapat dijadikan referensi bagi para penegak hukum mengenai pengajuan eksepsi oleh terdakwa dengan alasan dakwaan Penuntut Umum bersifat prematur.
8
b. Memberikan manfaat dalam penegakan hukum bagi para judex facti dalam menerapkan hukum atau pembuatan pertimbangan atas eksepsi yang diajukan. c. Menjadi masukan dalam bidang Ilmu Hukum bagi masyarakat pada umumnya dan bagi praktisi Ilmu Hukum pada khususnya.
E.
Metode Penelitian
Penelitian hukum dilakukan untuk mencari pemecahan atas isu hukum yang timbul. Oleh karena itulah, penelitian hukum merupakan suatu penelitian di dalam kerangka know-how di dalam hukum. Hasil yang dicapai adalah untuk memberikan preskripsi mengenai apa yang seyogyanya atas isu yang diajukan (Peter Mahmud Marzuki, 2014: 83). Penelitian hukum dilakukan untuk mencari pemecahan atas isu hukum yang timbul. Oleh karena itulah, penelitian hukum merupakan suatu penelitian di dalam kerangka know-how di dalam hukum. Hasil yang dicapai adalah untuk memberikan preskripsi mengenai apa yang seyogyanya atas isu yang diajukan (Peter Mahmud Marzuki, 2014: 83). Berdasarkan hal tersebut maka penulis dalam penelitian ini menggunakan metode penelitian antara lain sebagai berikut: a. Jenis Penelitian Jenis Penelitian dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif adaah suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi. Penelitian hukum normatif atau dikenal juga sebagai penelitian doktrinal, yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara menliti bahan pustaka yang ada dengan mendasarkan hukum sebagai suatu norma. Menurut Peter Mahmud Marzuki tidak perlu menyebut istilah penelitian hukum normatif, karena istilah legal research atau dalam bahasa Belanda rechtsonderzoek selalu bersifat normatif. (Peter Mahmud Marzuki, 2014: 55-56).
9
b. Sifat Penelitian Ilmu hukum tidak bersifat deskriptif, tetapi bersifat preskriptif. Objek ilmu hukum adalah koherensi antara norma hukum dan prinsip hukum, antara aturan hukum dan norma hukum, serta koherensi antara tingkah laku (act) bukan perilaku (behavior) individu dengan norma hukum. Sebagai ilmu terapan, ilmu hukum menetapkan standar prosedur, ketentuan-ketentuan, rambu-rambu dalam aturan hukum. Suatu ilmu terapan memang hanya dapat diterapkan oleh ahlinya. Sama halnya yang dapat menyelesaikan masalah hukum adalah ahli hukum melalui kaidahkaidah keilmuan hukum. (Peter Mahmud Marzuki, 2014: 67)
c. Pendekatan Penelitian Penelitian
hukum
terdapat
beberapa
pendekatan.
Dengan
pendekatan tersebut, peneliti akan mendapatkan informasi dari berbagai aspek mengenai isu yang sedang dicoba untuk dicari jawabnya. Pendekatan-pendekatan yang digunakan di dalam penelitian hukum adalah pendekatan undang-undang (statute approach), pendekatan kasus (case approach), pendekatan komparatif
(comparative
historis (historical approach),
dan
approach), pendekatan pendekatan
konseptual
(conceptual approach). Pendekatan yang digunakan oleh penulis dalam penelitian ini adalah pendekatan kasus (case approach). Pendekatan kasus dilakukan dengan cara melakukan telaah terhadap kasus-kasus yang berkaitan dengan isu yang dihadapi yang telah menjadi putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Yang menjadi kajian pokok di dalam pendekatan kasus adalah ratio decidendi atau reasoning, yaitu pertimbangan pengadilan untuk sampai kepada suatu putusan (Peter Mahmud Marzuki, 2014: 134).
10
d. Jenis dan Sumber Bahan Hukum Sumber-sumber penelitian hukum dapat dibedakan menjadi sumber-sumber penelitian yang berupa bahan-bahan hukum primer dan bahan-bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif, artinya mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum primer terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim. Adapun bahan-bahan sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang hukum meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnaljurnal hukum, dan komentar-komentar atas putusan pengadilan (Peter Mahmud Marzuki, 2014: 181). Adapun sumber-sumber hukum yang digunakan dalam penelitian hukum ini adalah: a. Bahan hukum primer: 1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Hukum Pidana; 3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana; 4) Surat
Keputusan
Kapolri
No.Pol.Skep/1205/IX/2000
tentang Pedoman Administrasi Penyidikan Tindak Pidana 5) Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2012 Tentang Manajemen Tindak Pidana 6) Putusan Pengadilan Negeri Padangsidimpuan Nomor: 88/Pid.B/2015/PN.PSP.
b. Bahan hukum sekunder: 1) Buku-buku mengenai hukum dan yang berkaitan dengan topik yang diangkat; 2) Jurnal hukum;
11
3) Majalah dan artikel; 4) Bahan yang bersumber dari internet maupun komentar putusan pengadilan yang berkaitan.
e. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Teknik pengumpulan bahan hukum dalam penelitian hukum dalam penelitian ini adalah menggunakan teknik studi pustaka. Pengumpulan bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier diinventarisasi dan diklasifikasi dengan menyesuaikan masalah yang dibahas
dipaparkan,
disistemisasi,
kemudian
dianalisis
untuk
menginterprestasikan hukum yang berlaku (Johny Ibrahim, 2008:296). Prosedur pengumpulan bahan hukum yang dilakukan oleh penulis adalah dengan cara membaca peraturan perundang-undangan, dokumendokumen resmi maupun literatur-literatur yang erat kaitannya dengan permasalahan yang dibahas untuk kemudian dianalisis dan dirumuskan sebagai bahan pendukung di dalam penelitian ini.
f. Teknik Analisis Bahan Hukum Bahan-bahan hukum yangtelah terkumpul selanjutnya akan dianalisis dengan metode deduksi silogisme. Dalam hal ini sebagaimana silogisme yang diajarkan Aristoteles, penggunaan metode deduksi ini berpangkal dari pengajuan premis mayor, kemudian diajukan premis minor. Dari kedua premis ini kemudian ditarik suatu kesimpulan atau conclusio (Peter Mahmud Marzuki, 2014:89). Dimana dalam hal ini premis mayor adalah aturan hukum (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana) sedangkan premis minornya adalah fakta hukum dalam Putusan Pengadilan Negeri Padangsidimpuan Nomor: 88/Pid.B/2015/PN.PSP. sehingga dari kedua hal tersebut akan dapat ditarik kesimpulan sebagai jawaban atas rumusan masalah apakah pengajuan eksepsi oleh terdakwa dengan alasan dakwaan penuntut umum bersifat prematur sesuai dengan ketentuan KUHAP ? dan apakah pengajuan eksepsi oleh terdakwa dengan
12
alasan dakwaan penuntut umum bersifat prematur dipertimbangkan oleh Hakim Pengadilan Negeri Padangsidimpuan ?
F.
Sistematika Penulisan Hukum
Penulisan hukum ini dibagi menjadi empat bab, yang tiap babnya akan dibagi ke dalam sub-sub bab yang bertujuan untuk memudahkan dalam memahami keseluruhan isi dari penulisan huum ini. Sistematika dalam penulisan hukum ini adalah sebagai berikut: BAB I
: PENDAHULUAN Bab ini penulis menguraikan latar belakang
masalah,
perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan hukum (skripsi) BAB II
: TINJAUAN PUSTAKA Bab ini
penulis
memberikan landasan teori
atau
memberikan penjelasan secara teoritik yang bersumber pada bahan hukum yang penulis gunakan dan doktrin ilmu hukum yang dianut secara universal mengenai persoalan yang berkaitan dengan permasalahan yang sedang penulis teliti. Landasan teori tersebut meliputi tinjauan mengenai surat dakwaan, tinjauan mengenai eksepsi, tinjauan mengenai laporan dan aduan, serta tinjauan mengenai putusan. Selain itu untuk mempermudah pemahaman alur berfikir, maka dalam bab ini juga akan disertai kerangka pemikiran. BAB III
: HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Bab ini penulis menguraikan dan menyajikan mengenai pembahasan
berdasarkan
rumusan
masalah
yakni,
kesesuain antara pengajuan eksepsi oleh Terdakwa dengan alasan dakwaan penuntut umum bersifat prematur dengan KUHAP, dan apakah pengajuan eksepsi oleh terdakwa
13
dengan alasan dakwaan penuntut umum bersifat prematur dipertimbangkan
oleh
Hakim
Pengadilan
Negeri
Padangsidimpuan ? BAB IV
: PENUTUP Bab ini berisi mengenai kesimpulan dan saran berkaitan dengan permasalahan yang diteliti dalam penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA