BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Hipertensi merupakan masalah serius yang sering diderita oleh jutaan orang di belahan dunia karena dapat menyebabkan komplikasi pada organ-organ penting di dalam tubuh. Hipertensi merupakan faktor yang berkontribusi terhadap banyak penyakit lainnya termasuk Myocardial Infraction (MI), stroke, gagal jantung, gagal ginjal, retinopati dan merupakan penyebab utama kematian (Martin, 2008). Terdapat hubungan yang kuat antara penyakit ginjal kronis dengan tekanan darah tinggi, masing-masing dapat menyebabkan atau memperburuk kondisi satu dengan yang lainnya. Hal ini dapat disebabkan mekanisme kerja dari sistem reninangiotensin pada ginjal yang secara langsung akan mempengaruhi tekanan darah dalam tubuh. Tekanan darah yang meningkat akan menyebabkan tekanan dalam ginjal juga meningkat, sehingga terjadi kerusakan pada nefron (peningkatan interglomerular pressure) yang dapat menyebabkan proteinuria (adanya protein dalam urin). Kontrol tekanan darah merupakan dasar dari perawatan pasien dengan CKD (Chronic Kidney Disease) dan relevan pada semua tahap CKD terlepas dari penyebab yang mendasari (KDIGO, 2012). Hipertensi dan diabetes merupakan dua faktor risiko CKD yang paling penting (KDIGO 2012). Prevalensi hipertensi (HTN) terus meningkat, sekitar 74,5 juta orang di Amerika Serikat berusia 20 tahun dan berusia lebih tua memiliki hipertensi (Cohen & Townsend, 2011). Di Indonesia, angka kejadian hipertensi dengan penyakit ginjal tertinggi terjadi di daerah Jawa Barat dengan angka kejadian mencapai 1303 kasus dan tertinggi kedua terjadi di daerah Jawa Tengah dengan angka kejadian mencapai 1184 kasus pada Tahun 2012 (PERNEFRI, 2012). Penderita hipertensi dengan gangguan ginjal menempati posisi dengan angka kejadian terbesar (35%) dibandingkan dengan hipertensi yang dengan komplikasi pada organ lain. Terdapat 5654 kasus pada penyakit ginjal hipertensi yang dilaporkan sepanjang tahun 2012 (PERNEFRI, 2012). Angka kejadian yang
1
2
semakin meningkat tersebut secara tidak langsung menuntut ketepatan penatalaksanaan terapi pada pasien dengan lebih baik lagi untuk tahun-tahun yang akan datang. Penelitian sebelumnya di Instalasi Rawat Inap RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto hanya dilakukan penelitian tentang gambaran penggunaan obat pada penderita gagal ginjal kronis (Lestari, 2006). Namun pada penelitian tersebut tidak melakukan penelitian secara detail tentang evaluasi penggunaan antihipertensi pada pasien penyakit ginjal kronis. Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan agen antihipertensi yang digunakan pada pasien gagal ginjal kronis di Rumah Sakit tersebut adalah kalium losartan yaitu sebanyak 3 kasus (1,97%), kaptopril sebanyak 1 kasus (0,66%) dan loop diuretik (furosemid) dalam bentuk injeksi sebesar 80,26% kasus (Lestari, 2006). Kontrol tekanan darah merupakan dasar dalam penatalaksanaan terapi pada pasien dengan penyakit ginjal kronis dan sangat tepat diterapkan pada semua tahap penyakit ginjal kronis terlepas dari penyebab yang mendasari (KDIGO, 2012). Evaluasi terhadap pengendalian tekanan darah pada pasien penyakit ginjal kronis dengan hipertensi umumnya masih sangat jarang (Shrestha & Dhungel, 2012). Kontrol tekanan darah pada penyakit ginjal kronis juga masih cukup sulit (Shrestha & Dhungel, 2012). Tempat penelitian dilakukan di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Moewardi karena merupakan rumah sakit rujukan tertinggi di daerah Surakarta. Berdasarkan data yang tercantum di Bagian Rekam Medis RSUD Dr. Moewardi, hipertensi dengan penyakit ginjal kronis merupakan kasus urutan ke-17 yang paling banyak diderita oleh pasien, dengan angka kejadian 976 kasus selama tahun 2014. Selain itu, belum ada penelitian yang dilakukan tentang evaluasi penatalaksanaan terapi hipertensi pada pasien penyakit ginjal kronis di Rumah Sakit tersebut, sehingga lebih mendorong peneliti melakukan penelitian untuk mengetahui ketepatan penatalaksanaan terapi yang diberikan kepada pasien hipertensi dengan penyakit ginjal kronis di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Moewardi.
3
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, disusun rumusan permasalahan penelitian ini, meliputi: Apakah penatalaksanaan terapi hipertensi pada pasien dengan penyakit ginjal kronis di Instalasi Rawat Inap RSUD Dr. Moewardi tahun 2014 sudah tepat obat, tepat dosis dan tepat pasien? C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah mengevaluasi apakah pemberian terapi hipertensi pada pasien penyakit ginjal kronis di Instalasi Rawat Inap RSUD Dr. Moewardi tahun 2014 memenuhi kriteria tepat obat, tepat dosis dan tepat pasien.
D. Tinjauan Pustaka 1.
Definisi Hipertensi dan Penyakit Ginjal Kronis Hipertensi merupakan suatu kondisi di mana tekanan pembuluh darah terus-
menerus mengalami peningkatan. Darah dibawa dari jantung ke seluruh bagian tubuh dalam pembuluh darah. Tekanan darah yang dihasilkan oleh kekuatan darah memompa dinding pembuluh darah (arteri) seperti yang dipompa oleh jantung. Semakin tinggi tekanan, jantung harus memompa lebih keras lagi, sehingga terjadilah peningkatan tekanan darah (WHO, 2013). Terdapat tujuh kategori tekanan darah dalam pedoman JNC 7 yang didefinisikan dari JNC 6, disederhanakan dan dikurangi menjadi empat kategori: a.
Tekanan darah normal: SBP <120 mmHg dan tekanan darah diastolik (DBP) <80 mmHg.
b.
Prehipertensi: Ini adalah pasien di puncak terkena hipertensi. Hal ini didefinisikan sebagai SBP 120-139 mmHg atau DBP dari 80-89 mmHg.
c.
Tahap I hipertensi: SBP 140-159 mm Hg atau DBP 90-99 mmHg.
d.
Tahap II hipertensi: SBP ≥160 mmHg atau DBP ≥100 mmHg. (Martin, 2008)
4
Penyakit Ginjal Kronis (PGK) atau Chronic Kidney Disease (CKD) didefinisikan sebagai adanya kerusakan ginjal, dengan tingkat penurunan fungsi ginjal selama jangka waktu tiga bulan atau lebih. CKD dapat dibagi menjadi lima tahap, tergantung pada seberapa parah kerusakan pada ginjal atau tingkat penurunan fungsi ginjal. Tidak semua tahap CKD berkembang dari Tahap 1 ke Tahap 5. Tahap 5 dikenal sebagai tahap akhir penyakit ginjal atau End-Stage Renal Disease (ESRD). Hal ini juga dapat disebut gagal ginjal stadium akhir. Penting untuk diingat bahwa stadium akhir mengacu pada akhir fungsi ginjal (ginjal bekerja kurang dari 15% dari keadaan normal), bukan akhir dari hidup pasien. Untuk mempertahankan hidup pada tahap ini, diperlukan dialisis atau transplantasi ginjal (The Kidney Foundation of Canada, 2014). Tabel 1. Kriteria Penyakit Ginjal Kronis Kriteria untuk CKD (≥ 3 bulan) Penanda kerusakan ginjal (satu atau lebih) Albuminuria (AER ≥ 30 mg / 24 jam; ACR ≥ 30 mg /g [≥ 3 mg / mmol]) Kelainan sedimen urin Elektrolit dan kelainan lain karena gangguan tubular Kelainan terdeteksi oleh histologi Kelainan struktural terdeteksi oleh imaging Riwayat transplantasi ginjal Penurunan GFR GFR < 60 ml / menit / 1,73 m2 (kategori GFR G3a-G5) Singkatan: CKD, chronic kidney disease; GFR, glomerular filtration rate; AER, albumin excretion rate; ACR, albumin-tocreatinine ratio.
(KDIGO, 2013)
2.
Diagnosis dan Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronis CKD diklasifikasikan berdasarkan penyebab, kategori GFR dan kategori
albuminuria atau disebut Cause, GFR and Albuminuria Categories (CGA): a.
Menetapkan penyebab CKD berdasarkan ada atau tidak adanya penyakit sistemik dan patologis-anatomi ginjal. Evaluasi konteks klinis, termasuk kondisi individu dan riwayat keluarga, faktor sosial, lingkungan, obatobatan, pemeriksaan fisik, pemeriksanaan laboratorium, Imaging, dan diagnosis patologis untuk menentukan penyebab penyakit ginjal (KDIGO, 2013).
5
b.
Kategori Glomerular Filtration Rate (GFR) pada Penyakit Ginjal Kronis
Tabel 2. Kategori GFR pada Penyakit Ginjal Kronis Kategori GFR GFR (ml/min/1,73 m2) Ketentuan G1 ≥ 90 Normal atau tinggi G2 60-89 Penurunan ringan* G3a 45-59 Penurunan ringan-sedang G3b 30-44 Penurunan sedang-parah G4 15-29 Penurunan parah G5 < 15 Gagal ginjal Singkatan: CKD, chronic kidney disease; GFR, glomerular fitration rate. *Sehubungan dengan umur remaja Tidak adanya bukti kerusakan ginjal, tidak satu pun kategori GFR G1 ataupun G2 memenuhi kriteria untuk CKD.
(KDIGO, 2013) c.
Penetapan kategori albuminuria pada penyakit ginjal kronis sebagai berikut: Apabila pengukuran albuminuria tidak tersedia, dapat digantikan dengan hasil strip reagen urin.
Tabel 3. Penetapan Kategori Albuminuria pada Penyakit Ginjal Kronis Kategori AER ACR Ketentuan (mg/24jam) (mg/mmol) (mg/g) < 30 <3 < 30 Normal-ringan A1 30-300 3-30 30-300 Peningkatan sedang* A2 > 300 > 30 > 300 Peningkatan berat** A3 Singkatan: AER, albumin excretion rate; ACR, albumin-to-kreatinin rasio; CKD, chronic kidney disease. * Sehubungan dengan tingkat remaja. **Termasuk sindrom nefrotik (albumin ekskresi biasanya >2200 mg / 2 jam [ACR>2220 mg/g; >220 mg/mmol]).
(KDIGO, 2013)
3.
Epidemiologi Angka kejadian hipertensi terus meningkat, sekitar 74,5 juta orang di
Amerika Serikat berusia 20 tahun dan lebih tua menderita hipertensi. Faktor penuaan dan obesitas merupakan dua alasan yang paling penting dibalik peningkatan angka kejadian tersebut. Hipertensi (HTN) sering menyertai dan menjadi penyebab dari keparahan CKD (Chronic Kidney Disease). Bahkan lebih banyak
pasien
mengembangkan
hipertensi
dari
CKD
dibandingkan
mengembangkan CKD dari HTN yang disebut nephrosclerosis hipertensi. Dalam satu studi observasional, CKD dan HTN meningkatkan risiko stroke hingga 22% dibandingkan dengan orang yang hipertensi tanpa CKD. Sebaliknya, lebih dari 2 kali lipat peningkatan risiko stroke ketika nilai SBP dibawah 120 mmHg. Risiko gagal jantung dan kematian kardiovaskular pada pasien CKD juga meningkat saat
6
nilai SBP mendekati 120 mmHg dan di bawah ambang batas tersebut (Cohen & Townsend, 2011). Penyebab baru gagal ginjal pasien hemodialisis dari data tahun 2010 menyebutkan bahwa penyakit ginjal hipertensi menempati posisi dengan angka kejadian tertinggi sebesar 35% jika dibandingkan dengan penyakit ginjal kronis dengan komplikasi lain (PERNEFRI, 2012). Jumlah pasien berdasarkan etiologi tahun 2012, E4 (Penyakit Ginjal Hipertensi) masih menduduki angka tertinggi (5654 kasus) (PERNEFRI, 2012). Dari data epidemiologi tersebut dapat dilihat bahwa kejadian hipertensi dengan penyakit ginjal di Indonesia memang masih menjadi masalah serius yang diderita sebagian besar populasi di Indonesia. Dikelompokkan Berdasarkan usia, semua tahap CKD lebih banyak terjadi pada usia diatas 60 tahun (39,4%) dibandingkan pada usia 40-59 tahun (12,6%) atau 20-39 tahun (8,5%). Berdasarkan tingkat pendidikan, orang dengan tingkat pendidikan tinggi cenderung memiliki risiko CKD lebih rendah (15,7%) dibandingkan orang yang memiliki tingkat pendidikan rendah (22,1%) (Cohen & Townsend, 2011).
4.
Etiologi dan Patofisiologi Hipertensi sendiri dapat bertindak sebagai faktor risiko yang dominan pada
pasien dengan CKD dan sebagian besar pasien CKD akan mengalami hipertensi. Mekanisme yang mendasari dan dianggap paling penting dalam peningkatan tekanan darah adalah terkait dengan retensi natrium dan stimulasi sistem reninangiotensin. Aktivasi simpatik dan pelepasan katekolamin juga meningkat pada CKD (Alani, et al., 2014). Dua penelitian besar telah mengevaluasi hubungan antara fungsi ginjal dan kematian pada pasien hipertensi. Berdasarkan data dari Hypertension Detection and Follow-up Program Cooperative Group, 10.490 pasien dianalisis untuk menilai semua penyebab kematian. Hasil menunjukkan bahwa pasien dengan kadar kreatinin ≥1,7mg/dL memiliki risiko kematian 3 kali lebih besar daripada pasien lainnya yang memiliki kadar kreatinin dibawah 1,7mg/dL (Alani, et al., 2014).
7
Studi dari The Hypertension Optimal Treatment (HOT) juga mendukung hasil ini. Menurut The Hypertension Optimal Treatment (HOT), pasien dengan nilai GFR <60 mL/menit (biasanya komplikasi CVD) memiliki risiko kematian lebih besar dibandingkan dengan pasien yang memiliki GFR >60 mL/menit (Alani, et al., 2014). The National Institute for Health and Clinical Excellence (NICE) menunjukkan bahwa pengobatan antihipertensi akan dimulai pada mereka yang berusia dibawah 80 tahun dengan penurunan fungsi ginjal dan hipertensi tahap 1, untuk tujuan target tekanan darah adalah dibawah dari 140/90mmHg. Tekanan darah selama hemodialisis/periode dialisis peritoneal tidak boleh lebih dari 160 mmHg. Terbatasnya jumlah penelitian RCT (Randomised Control Trial) terhadap kontrol tekanan darah yang optimal pada pasien CKD merupakan salah satu faktor penting dalam masalah ini (Alani, et al., 2014). 5.
Faktor Risiko Kategori faktor risiko dari penyakit ginjal kronis dilampirkan dalam tabel
berikut: Tabel 4. Kategori Faktor Risiko Penyakit Ginjal Kronis Klasifikasi Definisi Faktor Risiko Kategori 1 Intervensi faktor spesifik Diabetes, hipertensi, obesitas, mengurangi risiko gangguan metabolik, hiperlipidemia Kategori 2
Intervensi faktor spesifik mungkin dapat mengurangi risiko
Kategori 3
Modifikasi faktor spesifik dapat menurunkan risiko
Kategori 4
Faktor spesifik yang tidak dapat dimodifikasi
Merokok, kokain, paparan nefrotoksik (obat-obatan tertentu), batu ginjal, hipertrofi prostat (obstruksi), media radiocontrast Asupan tinggi protein, obesitas, sindrom metabolik, berpenghasilan rendah dan/atau tingkat pendidikan, bahaya lingkungan kimia Usia lanjut, jenis kelamin laki-laki, etnis (Afrika Amerika, penduduk asli Amerika, Hispanik, dan Asia), riwayat keluarga CKD (penyakit ginjal kistik), berat badan lahir rendah, bawaan atau diperoleh ginjal soliter , dan kerusakan ginjal sebelumnya (trauma, infeksi)
(Krol, 2011)
8
6.
Komplikasi Komplikasi CKD mempengaruhi sebagian besar sistem organ. Kondisi
umum lainnya yang mempengaruhi CKD adalah usia lanjut (elderly), seperti infeksi dan gangguan fisiologis. Selain itu, CKD dikaitkan dengan peningkatan risiko dari efek samping obat, pemberian radiocontrast intravaskular, operasi dan prosedur invasif lainnya. Secara keseluruhan komplikasi CKD berhubungan dengan morbiditas, kematian dan biaya yang lebih tinggi (KDIGO, 2013). Pemeriksaan rutin atau deteksi dini diperlukan pada kelompok yang berisiko tinggi, misalnya orang dengan diabetes, hipertensi, penyakit kardiovaskular, penyakit saluran struktural ginjal. Orang yang memiliki riwayat keluarga gagal ginjal, riwayat keturunan penyakit ginjal, usia lanjut, pasien yang menerima obat nefrotoksik potensial atau yang memiliki hematuria atau proteinuria dapat segera dilakukan karena merupakan indikasi awal kerusakan ginjal (KDIGO, 2013). Faktor yang terkait dengan perkembangan CKD dan dengan peningkatan risiko kardiovaskular sebagian besar saling berhubungan satu dengan yang lain, sehingga target terapi dari faktor-faktor risiko tersebut diharapkan dapat mengurangi risiko CVD (Cardiovascular Disease) pada pasien CKD. Terapi yang dilakukan diharapkan juga dapat mengurangi perkembangan CKD menjadi stadium akhir penyakit ginjal atau End-Stage Renal Disease (ESRD). Terdapat bukti kuat bahwa penghambatan dari Renin-Angiotensin-Aldosterone System (RAAS) merupakan strategi efektif untuk menurunkan tekanan darah atau Blood Pressure (BP) dan dapat mengurangi risiko penyakit ginjal, serta risiko kardiovaskular terhadap albuminuria (KDIGO, 2013).
7.
Penatalaksanaan Terapi Laporan ketujuh dari Joint National Committee (JNC 7) mengeluarkan
serangkaian indikasi yang menarik (lihat tabel 5) untuk pengobatan hipertensi, yang juga harus diikuti dalam terapi pasien CKD. Modifikasi gaya hidup dan diet harus selalu ditegakkan di pasien CKD dengan hipertensi. Pembatasan natrium dapat menghasilkan penurunan BP substansial dan terutama melibatkan mengurangi asupan garam (asin) dalam makanan olahan. Saat ini tidak ada cukup
9
bukti untuk mendukung tujuan SBP <130 mmHg di CKD dengan rasio protein kreatinin urin <0,22. Pada pasien dengan CKD dan proteinuria >1 g/hari, direkomendasikan target SBP adalah 120-130 mmHg. Tabel 5. Indikasi Pengobatan Hipertensi Berdasarkan JNC 7 Indikasi Pengobatan Penyakit ginjal kronis ACEI, ARB Diabetes melitus ACEI, ARB, BB, CCB* Gagal jantung ACEI, ARB, BB, ARA, tiazid Risiko tinggi CAD (Coronary Artery Disease) ACEI, tiazid, BB, CCB* Post-MI (Myocardial infarction) ACEI, BB, ARA Pencegahan primer stroke ARB (losartan, LIFE Trial) Pencegahan sekunder stroke ACEI Singkatan: ACEI, angiotensin converting enzyme inhibitor; ARB, angiotensin receptor blocker; BB, beta blocker; CCB, calcium channel blocker; ARA, antagonist receptor aldosterone (epleronone, spironolactone). *Pemilihan CCB nondihidropiridin lebih disukai pada pasien CKD dengan proteinuria.
Tabel 6. Terapi hipertensi pada pasien penyakit ginjal kronis Target Terapi BP <130/80 mmHg CKD tanpa proteinuria BP 120-129 / 75-79 mmHg CKD dengan proteinuria Terapi Lini-pertama GFR> 20 mL / menit / 1,73 m2 ACEI atau ARB Kebanyakan pasien CKD dengan HTN membutuhkan 2 atau lebih obat antihipertensi. Terapi Lini Kedua dan Ketiga GFR ≥40 mL / menit / 1,73 m2 Tambahkan tiazid dan/atau CCB, jika terapi antiRAAS adalah lini pertama. GFR <40 mL / menit / 1,73 m2 Tambahkan agen loop diuretik, misalnya, bumetanid atau furosemid (dosis dua kali sehari) atau torsemid (dosis sekali sehari) dan/atau CCB, jika agen antiRAAS dimulai sebagai terapi lini pertama. Terapi Lini Keempat HR >80 bpm Beta blocker atau alpha/beta blocker HR ≤80 bpm Pertimbangkan menambahkan ARA (spironolakton atau eplerenon), jika proteinuria. Situasi klinis yang spesifik Diabetes ACEI atau ARB untuk diabetes tipe 1 atau ARB ACEI untuk diabetes tipe 2 CAD (Coronary artery disease) Beta blocker, CCB, alpha/beta blocker, misalnya, labetalol BPH (Benign Prostatic Hyperplasia) Alpha-1 blocker, misalnya, prazosin, terazosin, doxazosin Resistensi thiazide HTN amilorid atau ARA Aldosteronisme primer ARA Hipotensi ortostatik Target 2-min, SBP (> 120 mmHg) Tahap 2 Hipertensi (tidak terkontrol) SBP >150 mmHg DBP >90 mmHg
(Cohen & Townsend, 2011)
10
No 1
2
3
4
5
Tabel 7. Dosis Terapi Hipertensi pada Penyakit Ginjal Kronis Golongan Obat Dosis Frekuensi Durasi (mg/hari) (per hari) ACEI Captopril 12,5 2x1 Tiap 12 jam Lisinopril 2,5- 40 mg 1x1 Tiap 24 jam
Rute
Keterangan
p.o
-
p.o
2,5- 5 mg jika ClCr <30 mL/min (max 40mg /hari); 510mg jika ClCr 3080 mL/min (max 40mg). -
Ramipril
1,25 mg
1x1
Tiap 24 jam
p.o
Candesartan
4 mg
1x1
Tiap 24 jam
p.o
Irbesartan
150 mg
1x1
Tiap 24 jam
Agonis sentral alfa-2 Diuretik Loop diuretik
Klonidin
0,15 mg
2x1
Tiap 12 jam
p.o
Furosemid
20-80 mg
2x1
Tiap 12 jam
i.v
Diuretik Tiazid
Hidroklorotiazid (HCT)
12,5-50mg
1x1
Tiap 24 jam
p.o
Mungkin diperlukan dosis tinggi (max 1,5g per hari). Hindari jika kreatinin < 30mL/min (tidak efektif)
Diltiazem
60-360mg
3x1
p.o
Elderly 2x sehari
Amlodipin
5-10mg
1x1
p.o
-
Nifedipin
5 mg
3x1
Tiap 8 jam Tiap 24 jam Tiap 8 jam Tiap 24 jam
p.o
-
p.o
-
ARB
CCB Nondihidr opiridin Dihidropiri din
6
Β-blocker
Bisoprolol
2,5-10mg
1x1
7
Aldosteron Reseptor Blocker
Spironolakton
25-50mg
1-2x
Dosis ditingkatkan bila diperlukan (max. 32mg) Ditingkatkan hingga 300mg per hari jika ditoleransi (Pada pasien hemodialisis atau usia > 75 th dosis 75mg per hari) -
Monitor plasma kalium, risiko tinggi terjadi hiperkalemia
(BNF, 2007)
11
E. Landasan Teori Penyakit ginjal kronis (PGK) atau chronic kidney disease (CKD) merupakan masalah kesehatan paling umum di masyarakat dan membutuhkan program terpadu untuk mendeteksi, memantau serta mengendalikannya. Salah satu penelitian program CKD tersebut dirancang dan dilaksanakan di Shahreza (Iran) terhadap pasien diabetes dan hipertensi (Barahimi, et al., 2014).
Penelitian
dilakukan dengan uji kreatinin serum dan urin albumin-kreatinin rasio, kemudian dilakukan program manajemen CKD termasuk pelatihan, skrining, pemantauan, dan pengendalian berat badan, hipertensi, diabetes mellitus, lipid, dan serum vitamin D. Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa integrasi program CKD dalam perawatan kesehatan dasar mungkin akan menghasilkan perbaikan dalam pengelolaan pasien CKD (Barahimi, et al., 2014). Penelitian di atas dilakukan terhadap pasien diabetes melitus dan hipertensi, sedangkan pada penelitian skripsi ini secara spesifik hanya mengevaluasi ketepatan dan pengaruh dari penatalaksanaan hipertensi yang dilakukan terhadap pasien penyakit ginjal kronis, tanpa mengevaluasi terapi diabetes melitus. Penelitian sebelumnya juga dilakukan oleh Shrestha & Dhungel (2012) di Nepal Hospital Medical College Teaching selama tiga tahun, dari 16 April 2008 sampai 15 April 2011. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, dapat dilihat bahwa kontrol hipertensi pada pasien CKD masih cukup sulit, karena terdapat lebih dari dua pertiga pasien (68,6%) masih memiliki BP >140/90 mmHg setelah pemberian terapi (Shrestha & Dhungel, 2012). Kelompok tersebut kemudian diberikan agen antihipertensi tambahan, yaitu amlodipin dan furosemid (antihipertensi yang populer digunakan di Nepal) diikuti oleh prazosin dan metoprolol. Efek terapi dari agen hipertensi tersebut memang baik, tetapi kontrol terhadap tekanan darah pada pasien CKD di Nepal umumnya masih sangat memprihatinkan (Shrestha & Dhungel, 2012). Penelitian di atas dilakukan terhadap pasien CKD dengan hipertensi secara prospektif, sedangkan pada penelitian dalam proposal skripsi ini hanya akan dilakukan analisis data dengan metode retrospektif (deskriptif) tanpa adanya perlakuan. Namun pada dua penelitian tersebut dapat dilihat bahwa kontrol
12
tekanan darah pada awal deteksi CKD dan penanganan yang tepat mungkin akan dapat menurunkan risiko morbiditas dan mortalitas terhadap pasien CKD. Penelitian terhadap gambaran penggunaan obat pada penderita gagal ginjal kronis juga pernah dilakukan di Instalasi Rawat Inap RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto (Lestari, 2006). Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa agen antihipertensi yang digunakan pada pasien gagal ginjal kronis adalah kalium losartan sebanyak 3 kasus (1,97%), kaptopril sebanyak 1 kasus (0,66%) dan yang menggunakan diuretik loop (furosemid) sebanyak 80,26% (Lestari, 2006). Namun tidak dijelaskan secara rinci tentang evaluasi terapi hipertensi yang diberikan pada penyakit ginjal kronis.
F. Keterangan Empiris Dari penelitian ini diharapkan dapat diperoleh data penatalaksanaan terapi yang tepat dalam penatalaksanaan hipertensi pada pasien penyakit ginjal kronis di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Moewardi Surakarta Tahun 2014, mengingat angka kejadian yang masih sangat tinggi di daerah Jawa Tengah dan daerah lain di Indonesia.