BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Radiasi sinar matahari cukup kuat di Indonesia yang merupakan negara tropis. Sinar matahari menghasilkan radiasi yang tersusun dari sinar ultraviolet (UV), cahaya tampak, serta sinar inframerah. Sinar matahari bermanfaat bagi kesehatan antara lain membantu pembentukan provitamin D menjadi vitamin D3, yang berfungsi untuk metabolisme kalsium, dan selanjutnya membentuk tulang yang kuat. Tetapi, absorpsi sinar matahari, khususnya sinar UV, juga dapat membahayakan tubuh manusia, terutama kulit, jika terpapar langsung dengan sinar matahari. Kulit merupakan organ tubuh terluar yang berfungsi sebagai perlindungan terhadap serangan fisika dan kimia. Kulit juga berfungsi sebagai termostat dalam mempertahankan suhu tubuh, melindungi tubuh dari serangan mikroorganisme, sinar UV, dan berperan pula dalam mengatur tekanan darah (Lachman et al., 1994). Meskipun kulit relatif impermeabel terhadap senyawa-senyawa kimia, namun kulit dapat ditembus oleh senyawa kimia atau bahan berbahaya lain seperti radiasi sinar matahari atau radiasi sinar UV (Nursal dkk., 2006). Secara normal, kulit memiliki perlindungan alami terhadap sengatan matahari yang merugikan dengan penebalan stratum corneum, pengeluaran keringat, dan pigmentasi kulit. Radiasi sinar matahari dapat menambah mitosis sel epidermis yang menyebabkan penebalan stratum corneum. Radiasi UV dapat merusak DNA, menekan kekebalan tubuh, dan mengaktifkan bahan kimia dalam tubuh, sehingga dapat menimbulkan kanker, menyebabkan kerusakan kulit, kulit terbakar (sunburn), eritema, menyebabkan noda-noda cokelat, serta penebalan dan keringnya kulit. Pejanan yang berlebihan dan berlangsung lama dapat menimbulkan perubahan dan degenerasi pada kulit dan kanker kulit (Oroh & Ekowati, 2001).
Adanya efek negatif akibat radiasi sinar UV menyebabkan perlu menggunakan suatu pelindung terhadap kerusakan kulit. Salah satunya adalah tabir surya (sunscreen) dalam sediaan kosmetik (Anonim, 1985). Tabir surya berfungsi menyerap atau menyebarkan sinar matahari sehingga intensitas sinar yang mampu mencapai kulit jauh lebih sedikit (Wasitaatmadja, 1997). Senyawa yang memiliki aktivitas sebagai tabir surya antara lain turunan asam amino benzoat (PABA), asam salisilat, antranilat, sinamat, dan benzofenon (Finnen, 1987). Banyak bentuk sediaan farmasi yang digunakan sebagai tabir surya, antara lain sediaan krim, lotion, dan cairan. Lotion merupakan salah satu bentuk sediaan tabir surya yang banyak digunakan, karena praktis dalam penggunaan yaitu dengan cara dioleskan pada kulit (Ansel et al., 1989). Lotion adalah produk kosmetik yang umumnya berupa emulsi, terdiri dari sedikitnya dua cairan yang tidak tercampur dan mempunyai viskositas rendah sehingga mudah mengalir (Wilkinson & More, 1982). Kekentalan produk diatur sehingga sesuai dengan tujuan penggunaan dan mempertahankan kestabilan produk (Mitsui, 1997), yaitu dengan mencegah pemisahan partikel dari emulsi. Secara umum, sifat fisik yang dinginkan dalam pemakaian sediaan topikal adalah mudah dituang, mudah diratakan, tahan lama pada permukaan kulit, serta sediaan yang stabil. Sifat stabil biasa diwujudkan dalam kekentalan yang memadai. Sifat-sifat ini dipengaruhi oleh komposisi formulasi sediaan, termasuk jenis dan jumlah komponen dalam formula. Dalam penelitian ini, dibuat sediaan lotion tabir surya tipe O/W dengan bahan aktif benzofenon 3% dan bahan tambahan asam stearat, setil alkohol, gliserin, trietanolamina, lanolin, aquadest, serta pengawet metil paraben dan propil paraben. Oleh karena itu, perlu diketahui dampak masing-masing komponen dan/atau antaraksinya.
B. Rumusan Masalah Dari latar belakang tersebut dapat dirumuskan permasalahan penelitian yang akan diselesaikan adalah perlu menentukan formula yang optimal dari lotion O/W tabir surya dengan zat aktif benzofenon 3%.
C. Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui dampak komponen dalam formula lotion O/W tabir surya dengan zat aktif benzofenon 3%, serta menemukan formula optimal dari lotion dalam hal perbandingan komposisi asam stearat, setil alkohol, dan trietanolamina, terhadap sifat fisik daya sebar, daya lekat, dan viskositas.
D. Manfaat Penelitian Penelitian ini dapat digunakan sebagai bukti ilmiah tentang formulasi lotion tipe O/W tabir surya dengan zat aktif benzofenon 3%. Diharapkan formulasi optimum lotion tabir surya dengan zat aktif benzofenon yang diperoleh dapat menjadi salah satu alternatif formulasi sediaan tabir surya dengan sifat fisik sesuai dengan yang diharapkan.
E. Tinjauan Pustaka 1. Kulit Kulit adalah organ penting, bagian terbesar dan terluar yang membatasi tubuh manusia dari lingkungan. Luas permukaan kulit orang dewasa sekitar 1,6-2,0 m2 (Mitsui, 1998) dengan berat kira-kira 15-17% berat badan. Lapisan kulit secara garis besar tersusun atas tiga lapisan utama yang dipisahkan oleh membran tipis, yaitu lapisan epidermis, lapisan dermis, dan lapisan atau jaringan subkutis (Cooper & Lazarus, 1970; Ansel et al., 1995).
Gambar 1. Penampang melintang anatomi kulit
Kulit mempunyai sejumlah peranan dan fungsi yang penting, termasuk melindungi tubuh dari luka dan berperan sebagai barrier terhadap mikroorganisme. Selain itu, kulit adalah organ pengindera, yang menerima input sensori, khususnya sentuhan dan suhu (Bowman & More, 2000; Cooper & Lazarus, 1970). Fungsi utama kulit adalah proteksi, absorpsi, ekskresi, persepsi, pengaturan suhu tubuh, pembentukan pigmen, pembentukan vitamin D, dan keratinasi. Kulit juga mempunyai arti estetik, ras, indikator sistemik, dan komunikasi non verbal antara individu satu dengan yang lainnya. (Djuanda dkk., 1999; Wilkinson, 1982; Cooper & Lazarus, 1970). Kulit melindungi bagian dalam tubuh terhadap gangguan fisik atau mekanis, misal tekanan, gesekan, tarikan; gangguan kimia, misal zat-zat kimia iritan; gangguan panas, misal radiasi, sengatan sinar UV; serta gangguan infeksi luar terutama kuman atau bakteri maupun jamur.
Perlindungan ini dimungkinkan karena adanya bantalan lemak, lapisan kulit yang tebal, dan serabut-serabut jaringan penunjang yang berperan sebagai pelindung terhadap gangguan fisik. Proteksi rangsangan kimia dapat terjadi karena sifat stratum corneum yang impermeabel terhadap zat kimia dan air, di samping itu terdapat lapisan keasaman kulit yang melindungi kontak zat-zat kimia dengan kulit. Penyerapan melalui celah antara sel, menembus sel-sel epidermis atau melalui muara saluran kelenjar. Absorpsi menembus kulit dipengaruhi oleh ketebalan kulit, hidrasi, kelembaban, metabolisme, dan jenis pembawa. Stratum corneum atau lapisan tanduk adalah lapisan paling luar dari epidermis yang terlihat dengan mata telanjang, yang terdiri dari sel mati, memadat pada lapisan terpisah dengan density 1,55 (Ansel et al., 1995). Tebal stratum corneum kira-kira setebal lapisan 20 sel atau 5-600 um, tanpa sel hidup dan tanpa pasokan darah (Cooper & Lazarus, 1970). Stratum corneum memberi barrier pelindung, disebut acid mantle. Lapisan tanduk menjaga lembab di dalam tubuh dari lingkungan luar. Stratum corneum memberi perlindungan terhadap radiasi UV dan dapat mempengaruhi diri sendiri untuk memberi perlindungan tambahan. Stratum corneum adalah barrier utama bagi absorpsi per kutan obat dan terhadap hilangnya air dari tubuh (Caswell, 2000). Menembus melalui lapisan paling luar adalah rate-limiting step untuk absorpsi perkutan. Difusi melalui stratum corneum lambat dan sulit, mungkin karena kandungan keratin yang tinggi dan kandungan moisture yang rendah. Absorpsi melalui rute transepidermal dibatasi oleh lapisan barrier antara stratum corneum dan lapisan hidup dari epidermis (Cooper & Lazarus, 1970). Erythema karena radiasi meningkatkan absorpsi akibat luka bakar termal ringan. Namun paparan mungkin hanya menghasilkan denaturasi protein dan destruksi selular yang membentuk barrier anatomis dan menurunkan absorpsi (Cooper & Lazarus, 1970).
2. Sinar Matahari dan kulit Sinar matahari terdiri dari banyak spektrum dengan level energi yang berbeda, mulai dari cosmic ray hingga panjang gelombang radio. Semakin pendek gelombangnya, energi cahaya makin tinggi. Urutan sinar dengan gelombang pendek atau energi tinggi adalah Gammay ray; X-ray; sinar Ultraviolet (UV) (290-400nm); Sinar tampak (400-700 nm); sinar Inframerah (>700nm); Gelombang mikro; dan Gelombang radio (Wilkinson & Moore, 1982; Pugliese, 2001).
a. Radiasi Ultraviolet Selain sinar Vacuum UV, spektrum UV terdiri dari tiga pita utama, yaitu UVC, UVB, dan UVA (DeSimone II, 2000; Caswell, 2000). 1) Radiasi Ultraviolet C Sinar UVC, panjang gelombang 200 – 290 nm, juga dikenal sebagai radiasi germisidal. Hanya sedikit radiasi UVC dari matahari yang mencapai permukaan bumi karena disaring oleh lapisan ozon di atmosfir. Kebanyakan UVC yang mengenai kulit diserap oleh lapisan sel mati stratum corneum. 2) Radiasi Ultraviolet B Dengan panjang gelombang antara 290 dan 320 nm, sinar UVB paling aktif menyebabkan eritema, sehingga disebut radiasi sunburn. Radiasi UVB yang mencapai permukaan bumi paling intensif sejak jam 10 pagi hingga hingga jam 3 sore (DeSimone II, 2000). Paparan UVB berpenetrasi hanya ke dalam epidermis dan berperan dalam sintesa vitamin D3 di kulit. Namun keuntungan terapetik tidak seimbang, karena UVB juga menginduksi kanker kulit, pengkeriputan kulit, hiperplasia epidermal, elastosis, dan kerusakan kolagen (DeSimone II, 2000).
3) Radiasi Ultraviolet A Panjang gelombang radiasi UVA berkisar dari 320 hingga 400 nm. Kini mulai diperhatikan efek merugikannya. Radiasi UVA berpenetrasi lebih dalam ke dalam kulit dibanding UVB, maka mempunyai efek lebih besar pada dermis dibanding pada epidermis, berupa kerusakan histologis dan vaskular. Paparan UVA berikutnya dapat menyebabkan kerusakan akut dan kronik lebih lanjut dan lebih serius pada jaringan dibanding pada paparan UVB. UVA menyebabkan sagging kulit, penebalan dermis dan epidermis, dan peningkatan aktivitas elastase. UVA dipercaya terlibat dalam penekanan sistem imun, misal kerusakan DNA (DeSimone II, 2000). Berdasar efeknya pada kulit, UVA dibagi menjadi dua bagian yaitu UVA II (320 hingga 340 nm) dan UVA I (340 hingga 400 nm).
Kebanyakan molekul organik, termasuk kulit, akan menyerap sinar UV. Pada pancaran sinar UV dan tampak, semakin rendah panjang gelombang sinar, semakin tinggi frekuensi sinar, dan semakin tinggi energinya. Selanjutnya semakin tinggi energi sinar, akan semakin besar pula efek pada molekul dan lebih banyak kerusakan (Pugliese, 2001). Semakin tinggi frekuensi, atau semakin pendek panjang gelombang cahaya, energinya akan makin tinggi. UV-B mempunyai energi per foton 1.000 kali lebih banyak dibanding UVA (Pugliese, 2001). Stratum corneum menebal karena adaptasi paparan UV, sehingga dapat menyerap lebih banyak UV (Caswell, 2000) dan melindungi terhadap paparan berikutnya. UVB kira-kira 50 – 100 kali lebih kuat dibanding UVA dalam memacu perubahan kulit, pemacuan erythema, melanogenesis, kerusakan DNA dan carcinoma squamous cell. Kerusakan yang disebabkan pada 320 nm dipercaya 10 kali lebih tinggi dibanding pada 340 nm, dan kerusakan
di 320 nm 100 kali lebih besar daripada pada 400 nm. Radiasi UVA II paling merusak ke kulit setelah UVB. Meski kira-kira 20 kali lebih banyak UVA
dibanding
UVB
yang
mencapai
permukaan
bumi,
aksi
erythemogenic pita UVA relatif lemah, yaitu membutuhkan energi 200 kali lebih besar dibanding energi UVB. Untuk paparan pada 365 nm (UVA), membutuhkan 1.800 kali lebih banyak energi untuk menghasilkan eritema dibanding pada 297 nm (Pugliese, 2001; Caswell, 2000; DeSimone II, 2000; Chauduri et al., 2002; Bowman & More, 2000) Pemaparan
sinar
matahari
dapat
mempunyai
baik
efek
menguntungkan dan membahayakan pada tubuh manusia, tergantung pada lama dan frekuensi pemaparan, intensitas sinar matahari dan sensitivitas individu (Wilkinson & Moore, 1982).
b. Efek menguntungkan sinar matahari Paparan moderat sinar matahari ke tubuh manusia antara lain memacu sirkulasi darah menaikkan pembentukan hemoglobin, dan dapat juga menyebabkan penurunan tekanan darah. Paparan sinar matahari juga berperan dalam pencegahan dan pengobatan rickets – yang melalui aktivasi 7-dehidrokolesterol (provit D3) yang ada di epidermis – dengan menghasilkan vitamin D, yang meningkatkan absorpsi Ca dari usus. Produksi
melanin
dan
penebalan
kulit,
berperan
dalam
perlindungan alami tubuh terhadap sunburn (Wilkinson & Moore, 1982).
c. Efek Merugikan Sinar Matahari Namun, sinar UVB dan sebagian UVA juga memiliki efek merugikan jangka pendek dan jangka panjang, termasuk kerusakan kulit yang meliputi keriput, respons inflamatori, sunburn, imunitas rendah terhadap infeksi, gangguan lain kulit hingga penuaan dini, erythema (terbakar sinar matahari), katarak, dan terjadinya kanker kulit (Wilkinson
& Moore, 1982). Efek jangka pendek, pada kulit, berupa kerusakan sementara epidermis yang disebut gejala sunburn. Keparahannya berkisar dari sedikit eritema hingga nyeri terbakar dan blistering pada kasus yang lebih parah. Bila sejumlah besar kulit telah terpengaruh, mungkin disertai menggigil, demam dan muntah, dan kadang pruritus (Wilkinson & Moore, 1982). Beberapa kemungkinan mekanisme kerusakan kulit oleh sinar UV antara lain kerusakan kolagen, pembentukan radikal bebas, pengaruh pada perbaikan DNA, dan penghambatan sistem imun. 1) Sunburn Tanda dan gejala sunburn terlihat dalam 4 hingga 24 jam setelah paparan berlebihan. Paparan diperlama menyebabkan nyeri, edema, tenderness kulit, dan kemungkinan blistering (Bowman & More, 2000). Terbakar surya (sunburn) merupakan reaksi akut dengan gejala yang bervariasi mulai dari eritema hingga luka bakar yang nyeri (Wilkinson & Moore, 1982). Menurut Pathak dan Fitzpatrick (1993), sunburn dapat terjadi setelah terkena paparan cahaya matahari terus menerus selama 10-24 jam. Menurut Wilkinson & Moore (1982), gejala sunburn merupakan hasil langsung kerusakan sel dalam lapisan stratum spinosum pada kulit, atau melalui denaturasi protein penyusun. Sunburn adalah hasil dari reaksi inflamatori yang melibatkan sejumlah mediator, termasuk histamin, enzim lysosomal, kinin dan prostaglandin. Ketika UVR mengenai epidermis; sel bisa rusak dan melepaskan
mediator.
Beberapa
mediator
termasuk
histamin
menyebabkan pelebaran pembuluh darah perifer dan eritema. Histamin juga menyebabkan pembengkakan (edema) dan merangsang basal cell untuk
melakukan
proliferasi
(Wilkinson
&
Moore,
1982).
Pembengkakan endothelium dan kebocoran sel darah merah dari
kapiler juga akan terjadi (DeSimone II, 2000). Sunburn disebabkan oleh paparan radiasi UV berlebih dan akut pada kulit selama periode yang melampaui kemampuan melanin, ketebalan kulit dan hidrasi, dan pasokan vaskular untuk melindungi kulit dari injury (Bowman & More, 2000). Keparahan sunburn tergantung pada sifat alami tipe kulit individu dan juga tindakan yang dilakukan, misal pakaian pelindung dan/atau tabir surya untuk melindungi kulit. Namun paparan berulang terhadap UVR bersifat kumulatif dan dapat menghasilkan masalah serius jangka panjang seperti penuaan dini kulit, serta kondisi prakanker dan kanker kulit. Sunburn parah dapat menyebabkan blistering (luka menebal sebagian), demam, muntah, delirium, dan shock. Jika terjadi blister, maka bagian ini akan mengelupas (desquamate atau “peel”) dalam beberapa hari. Ada ancaman infeksi bakteri karena hilangnya barrier kulit terluar. Setelah exfoliation dan selama beberapa minggu setelahnya, kulit akan jadi lebih peka terhadap burning dibanding normal (Bowman & More, 2000). Gejala sistemik serupa pada thermal burn, seperti demam, menggigil, lemas, dan shock, dapat terlihat pada orang dengan sebagian besar telah terpengaruh. Sunburn yang paling sering adalah burn tingkat pertama (superficial), dengan reaksi eritema ringan hingga tenderness, nyeri dan edema. Paparan UVR berlebihan kadang dapat menghasilkan burn tingkat kedua, dengan perkembangan vesicle (blister) atau bullae (banyak blister besar), dan juga dengan gejala seperti demam, menggigil, lemas, dan shock (DeSimone II, 2000). Tingkat perkembangan sunburn tergantung pada sejumlah faktor, termasuk (1) tipe dan jumlah radiasi yang diterima, (2)
ketebalan epidermis dan stratum corneum, (3) pigmentasi kulit, (4) hidrasi kulit, dan (5) distribusi dan konsentrasi pembuluh darah perifer (DeSimone II, 2000). Sunburn ringan yang dilindungi dari paparan berikutnya akan sembuh dalam 1-1,5 jam. Sunburn yang lebih parah biasanya akan sembuh dalam 4-8 hari. Setelah inflamasi mereda, akan diikuti dengan pengelupasan kulit (Wilkinson & Moore, 1982). Antara 8 dan 24 jam setelah iradiasi, di epidermis muncul sel rusak yang disebut “sunburn cell”. Sel menyusut dengan inti memadat dan sitoplasma yang eosinofilik (kemerahan). Kerusakan berlanjut inti sel yang lebih berat mungkin karena peningkatan sintesa DNA pada waktu paparan (Pugliese, 2001). 2) Erythema Salah satu tanda awal yang terlihat dari kerusakan radiasi sinar matahari adalah erythema, atau kemerahan kulit, yang kemudian diikuti oleh pembentukan tan yang dianggap kesehatan fisik. Erythema adalah respons biologis paling penting pada radiasi UV (Caswell, 2000). Tan adalah reaksi protektif tubuh untuk meminimalkan efek merusak dari iradiasi matahari (Wilkinson & Moore, 1982). Sunburn
menyebabkan
luka
bakar
superficial,
yang
dikarakterisasi dengan erythema dan sedikit edema dermal yang dihasilkan oleh pelebaran pembuluh darah dalam dermis dan peningkatan aliran darah ke kulit yang terpengaruh. Hal ini merupakan respons sampingan kerusakan sel. Peningkatan aliran darah mulai terjadi kira-kira 4 jam setelah paparan dan memuncak antara 12 dan 24 jam setelah paparan. Erythema akibat UV bervariasi sesuai jenis UV yang mengenai. UVA butuh paparan lebih lama untuk menghasilkan erythema dibanding UVB atau UVC. Sembuh kembali eritema bervariasi sesuai
panjang gelombang (Pugliese, 2001). Intensitas eritema (kemerahan) pada kulit setelah paparan sinar matahari tergantung pada jumlah energi UV yang diserap oleh kulit. Eritema biasanya mulai berkembang setelah periode laten 2-3 jam dan mencapai intensitas maksimum dalam 10-24 jam setelah pemaparan (Wilkinson & Moore, 1982). Eritema berlangsung selama beberapa jam hingga beberapa hari; tergantung dari energi yang diterima dalam paparan (Pugliese, 2001). Erythema yang dipicu UVA bersifat bifasik, menurun segera setelah penghentian iradiasi tapi kemudian menaik hingga maksimum pada 6 hingga 24 jam. Adapun erythema akibat UVB atau UVC bersifat monofasik, yang maksimal antara 8 dan 24 jam kemudian. Dengan paparan ringan, terjadi erythema dengan selanjutnya terjadi pengelupasan lapisan tanduk (scaling dan exfoliation/peeling). Nyeri dan demam tingkat rendah dapat menyertai erythema. Intensitas atau derajat eritema adalah indikasi keparahan kerusakan kulit akibat matahari. Dimunculkan istilah minimal erythematous dose (MED), untuk tiap individu dalam panel untuk menguji efektivitas tabir surya ketika menentukan sun protective factor, SPF (Pugliese, 2001). 3) Melanin Melanin adalah pigmen kulit yang merupakan pertahanan fisikokimiawi pertama terhadap pancaran matahari yang merusak. Melanin menyerap baik sinar UV maupun sinar tampak, yang tergantung pada jumlah, tempat, dan cara pigmen melanin terdispersi dalam kulit. Paparan ke matahari dengan radiasi UVA dan UVB menstimulasi produksi melanin dengan hasil suntan (Pugliese, 2001). Melanin muncul dari sel melanocyte yang berada di epidermis, yang dikarakterisasi dengan filamen panjang yang mengandung
melanosome, badan pigmen gelap. Melanosome diintroduksi ke keratinocyte untuk memberi efek protektif dari melanin. Sel stratum corneum mengandung pigmen melanin yang diperoleh ketika sel muda merasuk ke dalam epidermis (Pugliese, 2001). Dua hingga tiga hari kemudian muncul efek tunda berupa kenaikan melanocyte dan keratinocyte, dan kulit jadi lebih gelap, yaitu tanning. Namun untuk memperoleh efek yang sama, butuh dosis UVA lebih tinggi dibanding UVB (Pugliese, 2001) 4) Sunburn dan gen p53 (Pugliese, 2001) Bila sudah di luar kemampuan perbaikan, tubuh mempunyai mekanisme untuk merusak sel yang rusak karena pengaruh sinar UV. Gen p53 bertanggung jawab untuk aksi ini melalui apoptosis sel. 5) Kanker Kulit Kanker kulit adalah kanker yang paling lazim pada manusia. Kejadiannya meningkat, dan diperkirakan secara global tiap tahun terjadi lebih dari 2 juta kanker kulit non melanoma dan 10 – 33% darinya melanoma ganas (malignant) (Chauduri et al., 2002). Radiasi ultraviolet berperan utama memacu tumor kulit dan rusaknya DNA (Chauduri et al., 2002). Rusaknya DNA, juga merusak gen p53 sehingga tidak berfungsi untuk menghancurkan sel yang rusak. Tanpa perlindungan dari gen p53, sel ini dapat terus tumbuh dan menjadi ganas. Hal ini mungkin jadi salah satu sebab banyaknya kasus kanker kulit pada area yang terpapar matahari (Pugliese, 2001). Kirakira 80% dari kanker kulit terjadi pada area tubuh yang terpapar, misal wajah, dahi, leher, dan punggung tangan (DeSimone II, 2000). Squamous cell carcinoma (SCC) terkait langsung dengan jumlah paparan UV, yaitu sembuh kembali. Peningkatan jumlah paparan UV dalam populasi akan meningkatkan kejadian SCC (Caswell, 2000).
d. Efek jangka panjang pada kulit Efek utama paparan kronik sinar matahari adalah efek penuaan (aging). Paparan diperlama pada orang yang peka UVR menghasilkan elastosis, yaitu degenerasi kulit karena rusaknya fiber elastik kulit. Paparan lama juga menyebabkan perubahan degenerasi jaringan pengikat dari corium dan menghasilkan penuaan dini kulit, berupa pengeringan, penebalan kulit, hilangnya dan tampilan keriput yang semua dihasilkan dari hilangnya kapasitas water binding kulit (Wilkinson & Moore, 1982; DeSimone II, 2000). Paparan kronis sinar matahari kuat, seperti pelaut, petani dan pekerja konstruksi menghadapkan mereka ke bahaya yang lebih serius, misal berkembangnya kanker kulit.
3. Tabir Surya Menurut preamble Annex VII Directive 76/768/EEC, filter UV adalah substansi yang terkandung dalam produk kosmetik tabir surya, yang secara khusus ditujukan untuk menyaring sinar UV tertentu guna melindungi kulit dari efek berbahaya sinar tersebut. Filter UV dapat ditambahkan ke produk kosmetik lain dalam batas dan pada kondisi yang terdapat dalam Annex (Chauduri et al., 2002). Kecuali menghindari matahari total, pemakaian tabir surya adalah cara terbaik melindungi kerusakan kulit dari UV (DeSimone II, 2000). Jika dikenakan dengan benar sunscreen dapat memblok kebanyakan UV matahari yang berbahaya dengan gejala penuaan dini kulit, kanker kulit, dan efek dermatologis jangka panjang lain. Tabir surya diakui mencegah, atau paling tidak menunda erythema akibat UV (Chauduri et al., 2002). Oleh karena itu, disarankan penyertaan tabir surya dalam dasar make-up, face powder dan after shave lotion (Wilkinson & Moore, 1982); dan industri kosmetik sejak tahun 1978 mulai menambahkan tabir surya pada bermacam kosmetika perawatan
kulit, meski tanpa klim terapi (Chauduri et al., 2002). SCC berkurang bila digunakan tabir surya tiap hari (Caswell, 2000). Risiko actinic keratoses dan karsinoma sel squamous dari kulit dapat dikurangi dengan penggunaan tabir surya secara teratur (Burkhart et al., 2011).
a. Jenis sunscreen dan Mekanisme aksi tabir surya Sunscreen topikal dapat dibagi menjadi tiga jenis, yaitu sunscreen kimiawi, fisik, dan biologis. Beberapa bahan aktif tabir surya mungkin bekerja dengan lebih dari satu cara dari tiga cara berikut (Caswell, 2000; Oroh & Ekowati, 2001). 1) Secara kimiawi menyerap radiasi UV Ingredien aktif sunscreen menyerap paling tidak 85% radiasi UV pada rentang pada panjang gelombang dari 290 hingga 320 nm, dan mungkin hingga panjang gelombang lebih dari 320 nm Dengan menyerap UVR, maka sunscreen kimiawi akan memblock transmisi UVR ke epidermis. 2) Secara fisik memantulkan radiasi UV. Sunscreen fisik, biasa disebut sunblock, antara lain talk, titan oksida (TiO2), seng oksida (ZnO), feri klorida, clay, starch, kaolin, kalsium karbonat (CaCO3), dan magnesium oksida (MgO). Bahanbahan bersifat opak serta beraksi dengan memantulkan dan memendarkan semua sinar dalam rentang UV dan sinar tampak pada panjang gelombang dari 290 hingga 777 nm, sehingga mencegah penetrasi dan absorpsi. Oleh karena itu, sunblock mencegah atau meminimalkan sunburn dan santan (DeSimone II, 2000). Tabir surya fisik lebih aman karena tidak menimbulkan reaksi kimia yang dapat memberikan efek merugikan (Iskandar, 2008; Rahma, 2009).
Sunblock
harus
digunakan
bila
sinar
matahari
harus
dihilangkan total. Penggunaannya dibatasi karena tidak sangat nyaman secara kosmetik (Pugliese, 2001). 3) Secara biologis mengurangi inflamasi baik dengan blocking respons inflamatori biologis atau dengan meningkatkan perbaikan biologis. a) Senyawa yang secara kompetitif bersaing dengan senyawa yang dapat dirusak oleh senyawa matahari. Senyawa antioksidan atau yang mampu menangkap radikal bebas dapat berkompetisi dengan molekul target dan mengurangi efek yang merugikan akibat UV. b). Senyawa yang dapat memperbaiki senyawa yang rusak karena cahaya matahari, misal nukleotida dapat mencegah edema akibat cahaya UV dan digunakan pada perawatan kulit karena fotosensitif. Bahan aktif tabir surya kimiawi atau fisis harus bertahan pada stratum corneum untuk efektif. Namun bahan aktif tabir surya biologik harus mencapai jaringan hidup (viable) untuk efektif.
b. Klasifikasi Sunscreen Penyerap Radiasi UV Sunscreen penyerap radiasi UV diklasifikasi menurut tipe radiasi yang diproteksi sebagai filter UV-A, UV-B atau spektrum lebar UV-AB (Chauduri et al., 2002). Sunscreen dapat juga diklasifikasi berdasar struktur kimianya (Chauduri et al., 2002), yaitu turunan benzofenon; mentil antranilat; butil metoksidibenzoilmetana; turunan sinamat; turunan asam para amino benzoat (PABA); turunan salisilat; turunan kamfer; turunan fenilbenzimidazol; turunan difenil akrilat; turunan benzotriazol; turunan triazin; dan turunan benzilidena-dioksomidazoline. 1) Tabir Surya UVA Bahan tabir surya A menyerap radiasi di daerah 320 hingga 400 nm dari spektrum ultraviolet. Contohnya adalah benzofenon, mentil antranilat, butilmetoksi dibenzoilmetana, bisimidazilat. Di Amerika
Serikat, filter UVA termasuk avobenzone; oxybenzone; titan dioksida; seng oksida; dan ecamsule (Burkhart et al., 2011). 2) Tabir Surya UVB Bahan tabir surya B menyerap radiasi di daerah 290 – 320 nm dari spektrum ultraviolet. Ada banyak filter UVB, termasuk ester PABA, misal padimate O; sinamat, misal octinoxate; octocrylene; salisilat, misal octisalate, serta turunan kamfer, etilheksil triazon (Burkhart et al., 2011; Chauduri et al., 2002). Produk tabir surya, harus banyak memblok UVB (Caswell, 2000). 3) Tabir Surya UV-A dan UVB Bahan Tabir Surya UV-A dan UVB menyerap radiasi di daerah 290 – 400 nm dari spektrum ultraviolet dan mempunyai dua max, yaitu di daerah UV-B (290-320 nm) dan di daerah UV-A (320-400 nm).
Contoh
dari
bahan
ini
adalah
drometrizol
trisiloksan,
bisoktiltriazol dan anisotriazin (Chauduri et al., 2002).
4. Lotion Tabir Surya Menurut Wilkinson & Moore (1982), faktor-faktor yang harus dipertimbangkan dalam formulasi tabir surya adalah sediaan harus nyaman dalam penggunaan, serta zat tabir surya dalam sediaan harus memberi perlindungan dan manfaat yang efektif. Produk tabir surya biasanya dalam bentuk semisolid, yaitu salep, krim, pasta, lotion, gel, spray, stick, atau bentuk lain dengan konsistensi kental yang sesuai untuk aplikasi pada kulit (Cooper & Lazarus, 1970; Caswell, 2000), yang terutama merupakan bentuk emusi. Emulsi semisolid umumnya terdiri dari fase minyak (lipofilik), fase air (hidrofilik), dan zat pengemulsi (emulsifying agent) (Ansel et al., 1989). Fase yang terdispersi dalam bentuk globul mikroskopis halus disebut fase internal, fase dispersi, atau fase diskontinyu, sedang yang lain adalah fase eksternal,
medium dispersi, atau fase kontinyu (Anief, 1999) Ada dua macam tipe emulsi yaitu emulsi O/W (oil in water, minyak dalam air, M/A) dan emulsi W/O (water in oil, air dalam minyak, A/M). Emulsi tipe O/W yaitu emulsi yang mempunyai fase dispersi minyak dan medium dispersi air. Karena fase luar adalah air, maka emulsi O/W dapat diencerkan atau ditambah dengan air atau suatu preparat dalam air. Kebalikannya adalah emulsi tipe W/O yaitu emulsi yang mempunyai fase dalam air dan fase luar minyak (Ansel et al., 1989). Sebagai emulsi, memungkinkan terbentuk sediaan yang dapat tersebar di daerah yang diobati, mudah dicuci, tidak membekas pada pakaian, dengan rupa, bau, warna dan rasa yang baik (Anief, 1999). Menurut USP XVII basis untuk sediaan topikal dapat diklasifikasi menjadi empat kelompok umum, yaitu basis hidrokarbon yang berminyak, basis absorpsi, basis water removable, dan basis larut air (Cooper & Lazarus, 1970; Ansel et al., 1995). Krim secara umum didefinisikan sebagai “emulsi cair kental atau setengah padat”, baik tipe O/W ataupun W/O, dan biasa digunakan untuk pemakaian obat pada kulit. Banyak pasien dan dokter lebih menyukai krim dibanding salep, karena lebih mudah menyebar, dan pada krim tipe emulsi O/W lebih mudah dihilangkan dibanding kebanyakan salep (Ansel et al., 1995)
a. Lotion Bentuk yang lebih cair dibanding krim yang ditujukan untuk pemakaian tanpa digosokkan pada kulit disebut lotion. Meski lotion, selain berbentuk emulsi, bisa juga berupa larutan murni atau suspensi. (Ansel et al., 1995) Pembawa atau medium dispersi yang paling lazim untuk lotion adalah air (Ansel et al., 1995). Lotion suspensi dapat mengandung serbuk halus yang tidak larut
dalam media dispersi dan disuspensikan menggunakan bahan pensuspensi dan/atau bahan pendispersi. Lotion emulsi mengandung fase dispersi bahan cair yang tidak campur dengan pembawa dan biasanya didispersikan dengan emulsifier atau stabilizer lain yang sesuai. Konsistensi lotion yang berbentuk cair memungkinkan penerapan yang cepat dan menyebar rata pada permukaan kulit (Lachman et al., 1994; Ansel et al., 1989). Lotion tabir surya terutama tersusun atas bahan aktif sun screen, serta basis yang terdiri dari komponen fase minyak dan fase air, zat pengemulsi, pelembab (humektan), dan pengawet. Zat pengemulsi dibedakan sebagai surfaktan anionik, kationik dan nonionik (Mitsui, 1997; Jellineck, 1970; Setyaningsih dkk., 2007). Tujuan pembuatan sediaan tabir surya adalah memformulasi produk yang digosokkan pada kulit untuk meninggalkan residu yang tidak terdeteksi pada mata dan tidak tacky ataupun greasy. Pasta keras mungkin sukar untuk digosokkan pada kulit, sukar memakaikan menjadi lapisan rata; dan aplikasi pada kulit yang rusak mungkin menyakitkan. Biasanya konsistensi emulsi dikontrol dengan memvariasi rasio komponen waxy (malam) sebagai bahan matriks struktural terhadap fraksi cair (Idson, 1988). Proses pembuatan lotion emulsi adalah dengan mencampurkan bahan-bahan yang larut dalam fase air pada bahan-bahan yang larut dalam fase lemak, dengan cara pemanasan dan pengadukan (Schmitt, 1996).
b. Emulsifier Emulsifier dapat mempengaruhi spektra serapan bahan aktif tabir surya, resistensi air, penetrasi bahan aktif tabir surya, spreadability (penyebaran) bahan aktif, dan kelengketan bahan aktif pada kulit (Caswell, 2000).
Berdasar sifat ionik dari gugus aktif permukaannya, emulsifier diklasifikasi menjadi jenis anionik, kationik, nonionik, dan amfoterik. Bagian lipofilik dari molekul emulsifier biasanya dianggap bagian aktif permukaan. Emulsifier amfoterik dapat bersifat sebagai anionik atau kationik – tergantung pada pH lingkungannya (Idson, 1988). Surface active agent anionik dan kationik tidak campur, karena masing-masing mempunyai muatan ionik berlawanan yang cenderung menginaktivasi atau menetralkan satu dengan yang lain atau membentuk garam atau kompleks yang mengendap, sehingga efek permukaan aktifnya dinolkan. (Idson, 1988; Martin et al., 1997). Emulsifier jenis anionik terdiri dari gugus lipofilik organik dan gugus hidrofilik. Bagian aktif permukaan adalah gugus hidrofilik molekul, yaitu asam lemak dari sabun yang bermuatan negatif, mewakili gugus anion dalam molekul. Kelompok surfaktan ini dipakai luas dalam kosmetika. Sabun alkali dan amina telah lama digunakan dalam pembuatan emulsi O/W untuk pemakaian eksternal (Idson, 1988). Salah satu surfaktan anionik adalah asam karboksilat dan garamnya. Surfaktan jenis ini membentuk garam larut air dengan metal alkali dan amina bobot molekul rendah, khususnya alkanol amina. Kelarutannya dalam air tergantung pada ionisasi gugus asam karboksilat (Martin et al., 1997). Emulsifier O/W anionik yang paling penting adalah sabun yang membentuk krim stearat. Penggunaan trietanolamina sebagai neutralizing agent lebih lazim. Hampir semua sediaan semisolid emulsi butuh lebih dari satu emulsifier. Kombinasi surfaktan dan emulsifier tambahan yang larut minyak diacu sebagai mixed emulsifier system. Sabun trietanolamin stearat dikombinasi dengan setil alkohol adalah contoh oil-in-water mixed
emulsifier (Idson, 1988). Surfaktan nonionik, adalah substansi yang tidak bermuatan pada rentang pH penggunaan kosmetika. Gugus hidrofilik dalam surfaktan nonionik dapat sangat bervariasi, namun biasanya termasuk gugus polieter atau paling tidak satu gugus OH. Surfaktan nonionik dibagi menjadi lima kelompok besar, antara lain adalah lemak alkohol (Martin et al., 1997). Surfaktan nonionik alkohol yang berguna terutama berkisar dari 8 hingga 18 atom karbon. Kebanyakan surfaktan alkohol tersedia sebagai campuran, yang merupakan bahan baku untuk kosmetik sebagai surfaktan atau emollient (Martin et al., 1997). Alkohol tersedia sebagai cairan atau padatan waxy, tergantung pada bobot molekul. Alkohol tidak dapat digunakan sebagai surfaktan utama, namun berguna sebagai kosurfaktan pada adanya sabun atau alkil sulfat (Martin et al., 1997). Emuslifier nonionik tidak terionisasi, maka dapat dikombinasikan dengan surfaktan nonionik lain, anionik, kationik atau amfoterik. Emulsifier nonionik kurang dipengaruhi oleh aksi elektrolit dibanding surfaktan anionik (Idson, 1988). Jumlah emulsifier yang dibutuhkan dalam formula bervariasi antar formula. Faktor yang mempengaruhi jumlah penggunaan emulsifier (Courtney Sr, 1997), antara lain stabilitas yang disyaratkan; kesulitan ingredien yang diemulsikan; jumlah fase minyak; efisiensi emulsifier; akurasi penentuan angka HLB; penggunaan stabilizer; dan metode preparasi.
c. Pengawet Mikrobial dalam Kosmetika Meski tidak disyaratkan steril, sediaan topikal harus diperhatikan kandungan
mikrobialnya.
Adanya
Pseudomonas
aeruginosa
dan
Staphylococcus aureus dalam produk topikal harus dikontrol, karena
kontaminasi produk oleh organisme ini dapat menimbulkan infeksi pada pasien. Sediaan semisolid yang mengandung air, misal emulsi, riskan terjadi pertumbuhan mikrobial. Oleh karena itu, masalah pengawetan jadi lebih kritis (Ansel et al., 1995). Karena banyaknya komponen dalam sediaan semisolid yang berperan sebagai substrat untuk mikroorganisme, maka untuk mencegah kontaminasi, deterioration, dan spoilage oleh bakteri dan jamur, biasa ditambah pengawet antimikroba dalam formulasi. Pengawet yang biasa digunakan antara lain adalah asam p-hidroksibenzoat, fenol, asam benzoat, asam sorbat, dan garam amonium kuarterner (Cooper & Lazarus, 1970). Nilai pH menentukan derajat disosiasi pengawet. Hanya molekul pengawet tidak terdisosiasi yang aktif sebagai antibakteri. Sebaliknya ion pengawet yang terdisosiasi, tidak berpenetrasi ke dalam sel bakteri dan tidak beraksi pengawet apapun (Nowak, 1985) Ester asam para-hidoksibenzoat lebih efektif bersifat antimikroba pada rentang pH asam dibanding pada media netral atau alkali. Namun pada nilai pH 6,5 masih efektif (Nowak, 1985). Kelarutan pengawet dalam air adalah prasyarat penting karena terutama untuk memproteksi kosmetika yang mengandung air, khususnya fase air dari emulsi (Nowak, 1985). Namun bila digunakan pengawet oleofilik dengan adanya surfaktan, misal pada emulsi, maka ada kemungkinan pengawet terbungkus dalam micelle bahan pengemulsi, sehingga kehilangan pengawet yang seharusnya berada dalam fase air yang perlu dilindungi terhadap pertumbuhan bakteri. Ester metil asam p-hidroksibenzoat relatif memadai larut air (Nowak, 1985). Pengawet dapat berpartisi antara fase minyak dan air, dan bila pengawet lebih larut dalam satu fase dibanding yang lain, maka harus ditambahkan jumlah tambahan pengawet sehingga kedua fase bisa
dilindungi dari spoilage mikrobial. Metil- dan propil paraben sering digunakan dalam semisolid karena kelarutannya lebih baik masing-masing dalam fase air dan minyak (Cooper & Lazarus, 1970). Koefisien partisi pengawet harus kurang dari 1, agar lebih banyak pengawet yang terlarut dalam fase air dibanding dalam fase minyak (Nowak, 1985). Ester metil-, propil-, etil-, dan butil dari asam 4-hidroksibenzoat (asam para-hidroksibenzoat, paraben, PHB) adalah pengawet yang paling sering digunakan dalam sediaan kosmetik dan farmaka, karena dianggap aman (Nowak, 1985) Ester propil atau butil biasanya dilarutkan dalam fase lemak dan harus ditingkatkan untuk sediaan dengan kandungan lemak tinggi. (Cooper & Lazarus, 1970) Paraben
biasa
digunakan
pada
kadar
dekat
kelarutan
maksimumnya dalam air. Ester metil mempunyai kelarutan air terbaik (0,25%), sehingga digunakan dalam kadar dari 0,1 hingga 0,25 %. Adapun ester dengan gugus alkil makin tinggi digunakan pada batas kelarutannya (0,01 hingga 0,025%). Kelarutan paraben dapat diperbaiki dengan penggunaan propilena glikol (Nowak, 1985). Kelarutan beberapa pengawet paraben yang lazim digunakan diberikan dalam Tabel I (Cooper & Lazarus, 1970; Nowak, 1985).
Tabel I. Kelarutan Beberapa Paraben (Cooper & Lazarus, 1970; Nowak, 1985) Ester p-hidroksibenzoat (g/100 ml Pelarut) Pelarut metil etil propil butil o Air pada 25 C 0,25 0,17 0,05 - 0,06 0,02 o Air pada 80 C 2 0,9 0,3 Propilena glikol 22 25 26 110 Gliserin 1,7 0,5 0,4 Mineral Oil 0,03 Soluble
Ester p-hidroksibenzoat kadang digunakan dalam kombinasi satu dengan yang lain karena aksi sinergisnya. Sering dibuat kombinasi antara ester metil dan propil hidroksibenzoat, yaitu masing-masing 0,18 % dan 0,02 % (Nowak, 1985). Aksi mikrobiostatik ester terhadap bakteri, yeast dan fungi meningkat dengan bertambahnya panjang rantai residu alkil (Nowak, 1985).
d. Sifat Fisik Sediaan Semipadat Selain efikasi tabir surya, sediaan yang sesuai untuk aplikasi topikal adalah produk yang mudah dioleskan, dapat menyebar, tidak terasa tebal, meninggalkan lapisan rata tipis, namun tidak mudah terlepas dari kulit, termasuk akibat berenang atau berkeringat. Terlihat ada hubungan antara ketebalan film, spreadability (daya sebar) produk dan efikasi tabir surya (Caswell, 2000). Secara umum karakteristik fisik sediaan semipadat yang sesuai untuk aplikasi topikal adalah sebagai berikut (Paye et al., 2001; Lund, 1994): 1) pH pH menunjukkan derajat keasaman suatu bahan atau sediaan. Untuk menghindari iritasi, nilai pH sediaan biasanya perlu disesuaikan dalam rentang fisiologis, atau sama dengan pH kulit. Banyak reaksi dan proses yang bergantung pada nilai pH, antara lain keefektifan pengawet, emulsifier, stabilitas dan degradasi bahan, dan kelarutan (Paye et al., 2001). Keasaman kulit disebabkan karena adanya asam amino amfoterik, asam laktat, dan asam lemak dalam sekresi glandula sebaceous (Cooper & Lazarus, 1970). pH kulit normalnya antara pH 5 dan pH 6. Namun dalam Journal Cosmetic and Toiletries, SunSmart
Inc. (1998), dinyatakan pH tubuh manusia berkisar 5,5-7,0 dan menurut Schmitt (1996), pH untuk skin lotion adalah 3,5-5,5. 2) Daya sebar (Spreadability) Lotion tabir surya digunakan secara topikal dengan dioleskan pada kulit sehingga salah satu syarat sediaan adalah mudah dioleskan pada daerah aplikasi, tanpa membutuhkan tekanan besar untuk meratakannya. Semakin besar daya sebar, luas permukaan kulit yang kontak dengan lotion akan semakin luas dan zat aktif akan terdistribusi semakin baik. Spreadability penting untuk formulasi tabir surya (Caswell, 2000), khususnya agar lotion mudah menyebar dan mudah diterapkan bila area terbakar besar (Bowman & More, 2000). Namun bila spreadability terlalu besar, produk tabir surya mungkin akan menyebar hingga ke tempat yang tidak perlu, misal mata. Produk tabir surya untuk jenis olah raga atau untuk customer dengan gaya hidup aktif juga perlu dirancang menjaga bahan aktif tabir surya di tempat dan tidak menyebar (Voigt, 1994) Dalam uji daya sebar, lotion sebaiknya memiliki nilai daya sebar dalam kisaran 7-16cm 3) Daya lekat Uji daya lekat lotion digunakan untuk menggambarkan kemampuan lotion melekat pada kulit saat digunakan. Lotion yang baik mampu melekat di kulit dalam waktu yang cukup sehingga tercapai efektivitas tujuan penggunaanya. 4) Uji Viskositas Viskositas adalah suatu besaran kekentalan yang menyatakan tahanan dari cairan untuk bisa mengalir. Semakin besar viskositas maka cairan makin sukar mengalir. Hal ini mempengaruhi kemudahan lotion untuk dituang.
Viskositas juga jadi salah satu parameter stabilitas fisik dalam sediaan emulsi karena akan mempengaruhi kecepatan pemisahan emulsi. Sesuai hukum Stokes, kecepatan pemisahan berbanding terbalik dengan viskositas. Pergerakan partikel atau pemisahan fase minyak dan fase air dalam emulsi semakin sulit bila sediaan semakin kental. Menurut Schmitt (1996) dan Martin et al (1993), semakin tinggi viskositas suatu bahan, maka bahan tersebut akan makin stabil. Viskositas dapat dipengaruhi oleh berbagai hal seperti fase dispersi, medium dispersi, emulgator, bahan tambahan lain, dan perubahan kondisi lingkungan (Martin et al., 1993). Padahal semakin besar konsentrasi emulsifier, maka viskositas akan semakin meningkat. Viskositas juga perlu diperhatikan karena berkaitan dengan kemudahan penggunaan. Viskositas lotion harus menyebabkan lotion mudah diambil dari wadah atau mudah dituang, dan mudah dioleskan di tempat terapi. Jadi diperlukan viskositas yang optimum, yaitu konsistensi yang tidak terlalu kental maupun encer yaitu viskositas antara 20 dan 60 dpa.s.
5. Benzofenon Banyak produk tabir surya yang mengandung benzofenon karena spektrum aksi benzofenon yang lebar dan karena menghindari reaksi alergi pada pemakaian asam aminobenzoat dan turunannya (DeSimone II, 2000). Benzofenon merupakan bahan aktif tabir surya yang menyerap sinar dalam rentang UVB (panjang gelombang 290 hingga 320 nm), dan juga sebagian sinar UVA (320 hingga 360 nm), dan sebagian sinar UVC (250 hingga 290 nm). Oleh karena itu, benzofenon dapat mencegah sunburn dan dapat juga memberi perlindungan terhadap reaksi fotosensitif karena obat atau hal lain yang berhubungan dengan sinar UVA. Benzofenon biasa digabung dengan bahan aktif tabir surya dari kelompok lain, misal Padimate O
(DeSimone II, 2000). Benzofenon praktis tidak larut dalam air (Reynolds, 1996). Oksibenzon (Benzofenon, Oxybenzone) termasuk tabir surya yang boleh digunakan di Indonesia dan negara-negara Asean. Regulasi ini dituangkan dalam Surat Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia (Anonim, 2003) dan Asean Cosmetic Directive (Anonim, 2003), dengan batas maksimum penggunaan 10%.
6.
Bahan Tambahan Bahan-bahan tambahan yang biasa terdapat dalam lotion dan digunakan dalam penelitian ini, adalah: a. Setil Alkohol Setil alkohol adalah lemak alkohol (fatty alcohol), berwarna putih, berbentuk serpihan sisik, butiran granul, kubus atau lempengan lilin yang licin, bau khas lemah, dan rasa tawar lemah (Anonim, 1980; Rowe et al., 2005). Bobot molekul setil alkohol adalah 242,44 g/mol; dan suhu lebur 49°C (Rowe et al., 2005). Nilai HLB Emulsi O/W setil alkohol antara 15 dan 16 (Courtney Sr, 1997). Setil alkohol praktis tidak larut dalam air, dan kelarutannya bertambah dengan kenaikan suhu. Bila dilelehkan setil alkohol dapat bercampur dengan lemak, parafin padat atau cair, dan isopropil miristat (Anonim, 1980; Rowe et al., 2005). Setil alkohol digunakan secara luas dalam sediaan farmasi, salap kulit dan krim kosmetik (Greenberg, 1954). Setil alkohol dalam farmasetika dan kosmetika digunakan sebagai surfaktan, emollient, emulsifier, dan pelembab (Setyaningsih dkk., 2007). Setil alkohol kadar 2-5% digunakan sebagai emolien dan bahan pengemulsi; dan kadar 5% sebagai pengabsorpsi air (Rowe et al., 2005).
Lemak alkohol juga berfungsi sebagai coemulsifier dan pengatur konsistensi atau thickening agent atau stiffening agent dengan kadar 2 – 10% pada lotion (Rowe et al., 2005). Semakin banyak jumlah fatty alcohol, konsistensi krim makin padat. Dalam emulsi O/W setengah padat, setil alkohol memperbaiki stabilitas dengan adanya emulsifying agent larut air. Emulsifier kombinasi ini menghasilkan barrier monomolekular padat pada antar muka minyakair yang membentuk barrier mekanik terhadap coalescence droplet. Dalam emulsi setengah padat, setil alkohol yang berlebih akan bergabung dengan larutan emulsifier aqueous untuk membentuk fase kontinyu viskoelastis yang memberi sifat setengah padat menjadi emulsi. Oleh karena itu setil alkohol kadang diacu sebagai 'consistency improver' atau 'bodying agent'. b. Asam stearat Asam stearat berupa kristal hablur padat atau serbuk, berwarna putih atau kekuningan pucat hingga kekuningan, keras, mengkilap, bau dan rasa lemah mirip lemak (Rowe et al., 2005). Bobot molekul asam stearat 284.47 g/mol; dan titik leburnya 6970oC (Rowe et al., 2005). Asam stearat larut dalam propilen glikol; praktis tidak larut dalam air. Koefisien partisi asam stearat log (minyak : air) = 8,2 (Rowe et al., 2005; Anonim, 1980). Fatty acid – termasuk asam stearat – adalah bahan penting untuk surfaktan, emulsifier, emollient, bertindak sebagai pengatur konsistensi. Asam stearat digunakan luas dalam formulasi farmasetika sebagai vanishing pada krim, serta digunakan luas dalam produk kosmetika. Asam stearat dalam preparasi krim terutama digunakan dalam bentuk sabun, dengan sebagian dinetralkan dengan alkalis atau
trietanolamina. Tampilan dan plastisitas krim ditentukan oleh proporsi alkali yang digunakan. Asam stearat dalam sediaan salep dan krim dipakai dalam rentang kadar 1-20% c. Lanolin Lanolin adalah subtansi seperti lemak berwarna kuning pucat, manis, dengan bau yang khas. Cairan lelehan lanolin kuning jernih. Lanolin praktis tidak larut dalam air. (Winfield, 2005). Nilai HLB Emulsi O/W lanolin anhidrous adalah HLB 9 (Courtney Sr, 1997) Lanolin digunakan secara luas dalam sediaan topical dan kosmetik, sebagai pengemulsi dan basis. Lanolin dapat digunakan sebagai pembawa hidrofobik dalam formulasi sediaan krim dan salep air dalam minyak (Winfield, 2005). d. Gliserin (Gliserol) Gliserin berupa cairan kental, jernih, tidak berwarna, tidak berbau, higroskopis, dan memiliki rasa manis. Titik lebur gliserin 17,8oC; dengan bobot molekul C3H8O3 92,09 g/mol. Gliserin larut dalam air dan praktis tidak larut dalam minyak (Rowe et al., 2005). Pada formulasi sediaan krim dan emulsi topikal dan kosmetik, gliserin berfungsi sebagai pengawet, anti mikroba, emolien, humektan, pelarut atau kosolven, dan plasticizer (Price, 2005; Rowe et al., 2005). e. Trietanolamina Trietanolamina berupa cairan kental, tak berwarna, berwarna kuning pucat, dan sedikit berbau amoniak. Trietanolamina adalah campuran basa terutama nitrilotriethanol, dan mengandung dietanolamina serta jumlah yang lebih kecil dari monoetanolamina (Rowe et al., 2005). Bobot molekul trietanolamina 149,19 g/mol. Trietanolamina dapat bercampur dengan air (Rowe et al., 2005). pH larutan trietanolamina 0,1N adalah 10,5; dengan titik lebur 20-21oC (Rowe et al., 2005).
Trietanolamina banyak digunakan dalam sediaan farmasi topikal, terutama dalam pembentukan emulsi. Bila dicampur dalam proporsi equimolar dengan asam lemak rantai panjang, seperti asam stearat atau asam oleat, trietanolamina membentuk garam sabun anionik larut air dengan pH sekitar 8, yang dapat digunakan sebagai bahan pengemulsi untuk menghasilkan emulsi minyak dalam air yang halus, stabil (Rowe et al., 2005). Emulsi yang stabil dapat diperoleh karena dapat terbentuk electrical double layer di sekitar droplet, yang mencegah berkumpulnya (coalescing) droplet. Sabun trietanolamina biasa dikombinasi dengan ethoxylated fatty alcohol. Kadar tipikal trietanolamina untuk emulsifikasi adalah 2-4% dengan asam lemak 2-5 kalinya. f. Metil Paraben, Nipagin M Metil paraben berbentuk serbuk hablur kecil, tidak berwarna atau putih, tidak berbau atau berbau khas lemah, mempunyai sedikit rasa terbakar. Bobot molekul metil paraben 152,15 g/mol. Metil paraben sukar larut dalam air, namun larut dalam minyak, propilena glikol, dan gliserol. (Anonim, 1995; Rowe et al., 2005) Suhu lebur metil paraben 125 - 128 °C (Rowe et al., 2005); dengan konstanta disosiasi, pKa = 8,4 Metil paraben digunakan sebagai zat pengawet (Anonim, 1995), pada kadar 0,02 – 0,3% pada sediaan topikal. Metilparaben bersama dengan propil paraben digunakan pada berbagai formulasi sediaan farmasetika (Rowe et al., 2005). Dalam regulasi Indonesia (Anonim, 2003) dan Asean (Anonim, 2003) pengawet Asam 4-hidroksi benzoat, garam dan esternya dapat dipakai dengan kadar maksimum 0,4% asam untuk ester tunggal; dan 0,8% asam untuk campuran ester. Karena kelarutan air relatif baik (sekitar 0,25% pada suhu ruang),
ester metil adalah ester asam p-hidroksibenzoat yang paling sering digunakan, terutama dalam jumlah antara 0,15 dan 0,25%, dengan kadar efektif terletak di dekat batas kelarutan (0,2%) (Nowak, 1985). Aktivitas anti bakteri metil paraben dan paraben lainnya akan menurun jika terdapat surfaktan nonionik, seperti sorbitan seskuioleat, digliserin seskuioleat, Tween 80, Tween 20, Tween 60, polisorbat 80, ester asam lemak ethoxylated lain, serta lecithin karena dapat membentuk misel (Nowak, 1985). Metil paraben terhidrolisis dengan basa lemah atau alkali dengan pH di atas 8, dan asam kuat (Rowe et al., 2005), maka lebih disukai dalam suasana asam hingga netral (Nowak, 1985). Kerugian lain metil paraben adalah potensi alergi dan aksi tidak memuaskan terhadap bakteri gram-negatif, khususnya Pseudomonas. g. Propil paraben (Nipasol) Propil paraben berbentuk serbuk hablur, warna putih, tidak berbau, dan tidak berasa (Rowe et al., 2005). Terutama beraksi fungistatik. Kelarutan dalam air lebih rendah (0,05% pada 20oC) dibanding ester metil. Ester propil, setelah ester metil, adalah pengawet yang paling sering kedua digunakan untuk farmaka dan kosmetika dan sering dikombinasikan dengan ester metil (Nowak, 1985). Bobot molekul propilparaben 180,20 g/mol (Rowe et al., 2005). Suhu lebur propilparaben 95 - 98 °C (Anonim, 1995); dengan konstanta disosiasi, pKa = 8,4 (Nowak, 1985). Propil paraben sangat sukar larut dalam air, sukar larut dalam air mendidih dan dalam gliserol, agak sukar larut dalam minyak lemak, mudah larut dalam larutan alkali hidroksida (Anonim,1980, Anonim, 1995). Dalam kadar 0,01 – 0,6% propilparaben digunakan sebagai bahan pengawet pada sediaan topikal. Propil paraben bersama dengan metil
paraben digunakan pada berbagai formulasi sediaan farmasetika (Rowe et al., 2005). Larutan air propilparaben pada pH di atas 8 dapat cepat terhidrolisis (Rowe et al., 2005). Aktivitas antibakteri propil paraben menurun karena adanya surfaktan ninionik yang dapat menghasilkan misel. Propilparaben dapat diserap oleh plastik (Rowe et al., 2005; Nowak, 1985) h. Air murni (Anonim, 1995) Air murni adalah air yang dimurnikan dengan perlakuan destilasi, penukaran ion, osmosis balik, atau proses lain yang sesuai. Air murni baik aqua demineralisata, aqua purificata (purified water), atau hingga air suling (Aqua destillata, distilled water) atau air injeksi (aqua pro iniectionem, water for injection), adalah cairan jernih, tidak berwarna, dan tidak berbau. Bobot molekul air 18,02 g/mol; dengan pH antara 5,0 dan 7,0. Air murni harus memenuhi syarat kemurnian bakteriologi air minum.
7. Design of Experiment (DOE, rancangan penelitian) Proses adalah transformasi input menjadi output. Input adalah faktor atau variabel proses, atau sering hanya disebut sebagai variabel – misal orang, bahan, metode, lingkungan, mesin, prosedur, dan lain-lain – yang secara sendiri atau bersama dapat mempengaruhi output yang dihasilkan. Adapun output yang juga disebut respons atau variabel tergantung atau terikat, adalah suatu atau beberapa karakteristik kritis dari performans atau mutu produk. Jadi, variabel atau faktor bertanggung jawab pada variabilitas atau ketidakkonsistensian performans produk atau respons (Jiju, 2003) Beberapa variabel proses dapat dikontrol, sedang variabel lain tidak terkontrol, namun masih dapat dibatasi atau diketahui nilainya untuk tujuan uji (Montgomery, 2001; Jiju, 2003).
Variabel (faktor) terkendali
(X1)
(X2)
(Xn) Output (Y)
Input PROSES/ SISTEM
(Z1)
(Z2)
(Zn)
Variabel (faktor) tidak dapat dikendalikan
Gambar 2. Model umum suatu proses/sistem (Jiju, 2003; Montgomery, 2001)
Ekperimen adalah suatu uji atau serangkaian uji dengan melakukan perubahan yang disengaja terhadap variabel input (atau faktor) dari suatu proses atau sistem sehingga dapat diamati perubahan pada respons output dan mengidentifikasi
alasannya.
Eksperimen
banyak
dilakukan
untuk
meningkatkan pemahaman dan pengetahuan tentang bermacam performans dan proses manufacturing. Secara umum, eksperimen digunakan untuk menghasilkan produk yang lebih mudah dibuat, produk yang mempunyai performans dan kehandalan yang baik, beaya produk lebih rendah, dan waktu desain dan pengembangan produk yang lebih singkat (Jiju, 2003; Montgomery, 2001). Ada beberapa pendekatan atau strategi suatu eksperimen (Jiju, 2003; Montgomery, 2001), yaitu:
a. Pendekatan best-guess Eksperimen dilakukan dengan mencoba-coba (spekulasi, guess) faktor dan level variasinya. Pendekatan ini dapat bekerja baik bila peneliti
mempunyai banyak pengetahuan teoretis dan teknis, serta pengalaman praktis tentang sistem yang diteliti. Kelemahan pendekatan ini, adalah jika best-guess awal tidak memberikan respons yang diinginkan, maka harus dilakukan spekulasi kombinasi lain pada level variabel. Ini dapat berlangsung lama dan tanpa jaminan keberhasilan. Dan, jika guess awal sudah menghasilkan hasil yang dapat diterima, penghentian penelitian tidak menjamin telah ditemukan solusi yang optimum (Montgomery, 2001). b. Pendekatan One Faktor At a Time (OFAT) atau One-Variable-At-a-Time (OVAT) Metode ini memilih titik awal, atau baseline level untuk tiap variabel, kemudian secara berturutan setiap saat memvariasi satu variabel pada rentangnya dengan menjaga variabel lain konstan pada baseline level. Setelah semua uji dilakukan, kemudian dikonstruksi serangkaian grafik yang variasi tiap variabel yang mempengaruhi respons. Interpretasi dilakukan langsung secara grafis (Montgomery, 2001). Sering terjadi antaraksi antar variabel yang mempengaruhi output. Untuk mempelajari efek ini, semua faktor perlu divariasi secara bersamaan. Hal ini jadi kelemahan utama pendekatan OFAT (Jiju, 2003; Montgomery, 2001). Agar berhasil, pendekatan ini masih tergantung pada prakiraan, keberuntungan, pengalaman dan intuisi untuk. Ekperimen OFAT sering tidak reliable, tidak efisien, makan waktu, butuh banyak sumber daya dan mungkin menghasilkan kondisi optimum palsu (Jiju, 2003). c. Pendekatan Desain Faktorial Pendekatan desain eksperimen faktorial adalah memvariasi variabel-variabel secara bersamaan. Namun, bila jumlah variabel dan levelnya meningkat, maka jumlah kondisi eksperimen yang dibutuhkan bertambah sangat banyak sesuai rumus faktorial (Montgomery, 2001). Untungnya, untuk empat atau lebih variabel, mungkin tidak perlu
menjalankan semua kombinasi dari level variabel. Eksperimen faktorial fraksional adalah variasi dari desain faktorial yang hanya memilih kondisi yang dilakukan, dengan fraksi separoh, seperempat, dan seterusnya (Montgomery, 2001). Model suatu proses paling sederhana adalah hubungan linear. Untuk beberapa variabel bebas, cukup digunakan polinomial order rendah. Dan, bila ada kurvatur dalam sistem, maka perlu digunakan polinomial derajat lebih tinggi, misal model ordo kedua (Jiju, 2003). Bentuk ordo lebih tinggi sering diperlukan untuk mixture model mungkin karena (1) kompleksnya fenomena yang dipelajari dan (2) luasnya daerah operasi pada eksperimen sehingga membutuhkan model yang rumit dan besar. Namun biasanya untuk hampir semua persamaan, cukup menggunakan ordo kesatu atau kedua (Jiju, 2003). Selain metode grafis untuk memperkirakan model persamaan suatu proses, dapat dilakukan dengan metode statistik, misal metode least square. Parameter model dapat diestimasi dengan efektif bila dalam pengumpulan data menggunakan desain eksperimen yang benar (Jiju, 2003). d. Mixture experiment, mixture design Dalam mixture experiment, variabel merupakan komponen atau ingredien penyusun campuran, maka nilai komponen lain tidak bebas lagi. Jika campuran terdiri dari p komponen lain, maka fraksi-fraksi komponen adalah x1 + x2 + ….. xp = 1 atau 100% (Jiju, 2003) Dengan masing-masing 0 < xi < 1
dengan i = 1, 2, …., p
e. Metode Simplex Lattice Design Metode Simplex Lattice Design, yang merupakan pengembangan dari mixture experiment, dapat digunakan untuk menentukan formula
optimal pada berbagai jumlah komposisi bahan. Hasil dari suatu eksperimen dapat digunakan untuk merumuskan suatu persamaan polinomial (simplex) yang dapat digunakan untuk memprediksi profil respons. Persamaan tersebut menggambarkan hubungan antara variabel dengan respons, atau pengaruh dari variabel dan/atau antaraksinya terhadap suatu respons. Pada optimasi formula yang menggunakan variasi tiga komponen, dapat digambarkan secara dua dimensi berupa segitiga sama sisi. Tiga komponen yang divariasi di setiap sudut segitiga (disimbolkan dengan huruf A, B, dan C pada Gambar 3) yang menggambarkan komposisi maksimum tiap komponen. Ini adalah rancangan penelitian paling sederhana. Kemudian ditambah rancangan pada pertengahan ketiga sisi segitiga (D) yang mewakili campuran dua komponen tanpa komponen ketiga (dari sudut yang berlawanan) dengan perbandingan sama banyak (50:50) (Jiju, 2003).
Gambar 3. Segitiga sama sisi yang menggambarkan variasi tiga komponen Kemudian titik tambahan di tengah segitiga (E) yang menunjukkan campuran sama banyak ketiga komponen. Variasi tiga komponen campuran dapat ditunjukkan pada tabel II.
Tabel II. Formula variasi tiga komponen No. 1 2 3 4 5 6 7
Formula X1 X2 X3 X1X2 X1X3 X2 X3 X1X2X3
X1 1,00 0,00 0,00 0,50 0,50 0,00 0,33
X2 0,00 1,00 0,00 0,50 0,00 0,50 0,33
X3 0,00 0,00 1,00 0,00 0,50 0,50 0,33
F. Hipotesis a. Benzofenon dengan kadar 3% diduga dapat diformulasikan dalam bentuk sediaan lotion emulsi oil in water dengan karakteristik fisik yang baik dengan variasi jumlah asam stearat, trietanolamin, dan setil alkohol. b. Kadar setil alkohol, asam stearat, dan trietanolamina, secara sendiri-sendiri atau bersama akan mempengaruhi karakteristik fisis-kimiawi pH, daya sebar, daya lekat, dan viskositas lotion c. Bisa ditemukan komposisi optimal asam stearat, setil alkohol, dan trietanolamina dalam lotion yang memiliki karakteristik fisik yang paling sesuai