BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Setiap manusia memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan. Pendidikan sangat dibutuhkan dalam rangka peningkatan sumber daya manusia. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2009) disebutkan bahwa pendidikan merupakan proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan. Di Indonesia hak untuk mendapatkan pendidikan diatur dalam UndangUndang Dasar Republik Indonesia tahun 1945 yang telah diamandemen, pada pasal 31 mengenai Pendidikan Nasional yang menyatakan bahwa: (1)Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan; (2) setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya; (3) pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketaqwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang. Serta dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 5 ayat (2) yang menyebutkan bahwa, “Warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus”. Berdasarkan peraturan perundangan tersebut, maka setiap anak di Indonesia memiliki hak yang sama untuk dapat memperoleh layanan pendidikan yang bermutu, tidak terkecuali dengan Anak Berkebutuhan Khusus (ABK). ABK adalah anak yang dalam pendidikan memerlukan pelayanan yang spesifik, berbeda dengan anak pada umumnya. ABK dikelompokkan menjadi beberapa macam berdasarkan jenis gangguannya, yaitu anak dengan gangguan penglihatan (Tunanetra), anak dengan gangguan pendengaran dan bicara (Tunarungu/Wicara), anak dengan gangguan kecerdasan (Tunagrahita/Anak Cerdas Istimewa Bakat Istimewa), anak dengan gangguan anggota gerak (Tunadaksa), anak dengan gangguan perilaku dan emosi (Tunalaras), anak gangguan belajar spesifik, anak lamban belajar (Slow Learner), anak Autis dan 1
2 ADHD (Yusuf, 2009). Anak berkebutuhan khusus ini mengalami hambatan belajar dan perkembangan. Oleh sebab itu mereka membutuhkan layanan pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan belajar masing-masing anak. Salah satu dari ABK adalah anak autis, atau autisme, dimana autisme merupakan suatu gangguan perkembangan, gangguan pemahaman/gangguan persuasif, dan bukan suatu bentuk penyakit mental (Peeters, 2009). Anak autis cenderung mengalami hambatan dalam interaksi, komunikasi, dan perilaku sosial (Yusuf, 2009). Senada dengan DSM V (2013) yang menyebutkan bahwa anak autis memiliki karakteristik utama dimana terdapat gangguan yang terus-menerus dalam komunikasi sosial dan interaksi sosial yang timbal balik, dan terbatas dalam minat atau aktivitas dan perilaku yang berulang-ulang. Anak autis memiliki perilaku yang berbeda dengan perilaku anak normal. Anak autis memiliki perilaku yang berlebihan (excessive) atau perilaku yang berkekurangan (deficient), sampai ke tingkat tidak ada perilaku. Dalam hal ini perilaku yang berlebihan (excessive) adalah perilaku hiperaktif anak, dimana anak kurang mampu memusatkan perhatian, sulit untuk mengikuti suatu instruksi, sering menampakkan gelisah dengan menunjukkan tangan dan kaki yang digerak-gerakkan sehingga duduknya tidak bisa diam (Danuatmaja, 2003). Padahal perilaku memiliki peranan yang sangat penting dalam kehidupan sehari-hari anak autis untuk bersosialisasi dengan orang lain, selain itu, dengan perilaku yang sesuai dengan anak normal lainnya, anak akan mampu menyerap informasi dari berbagai ilmu pengetahuan. Anak juga dapat lebih mudah untuk memusatkan konsentrasinya pada pembelajaran. Di kelas VI SDLB SLB Negeri Surakarta, terdapat seorang siswa autis yang memiliki karakteristik autis seperti yang telah dijelaskan di atas, yaitu adanya perilaku berlebihan yang menyebabkan anak menjadi sulit untuk memusatkan perhatian, sehingga menghambat anak tersebut untuk memahami materi yang dijelaskan oleh guru saat proses pembelajaran. Perilaku hiperaktif mengakibatkan anak autis mengalami kesulitan dalam memusatkan perhatian (konsentrasi) terhadap suatu objek, sehingga menganggu dalam proses pembelajarannya. Padahal, konsentrasi sangat dibutuhkan dalam diri
3 setiap manusia yang diantaranya berfungsi untuk pengambilan keputusan mengenai objek yang diminati. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk meminimalkan perilaku hiperaktif anak, yaitu dengan memberikan kesibukan kerja berupa aneka kegiatan (Rusiana, 2013). Dengan pemberian kesibukan berupa kegiatan, konsentrasi dan energi anak dapat dialihkan serta kebutuhan anak yang selalu sibuk dapat terpenuhi tanpa harus dengan kegiatan yang aktif. Kesibukan yang diberikan pada anak tentu bukanlah yang membuat anak merasa tegang dan tertekan. Anak membutuhkan kenyamanan dalam belajar sehingga konsentrasi anak dapat terfokus pada pembelajaran. Dibutuhkan suatu pendekatan yang menyenangkan bagi anak sesuai dengan kebutuhannya. Salah satu pendekatan yang dapat diterapkan adalah dengan permainan. Hal ini sesuai dengan pendapat Hans Daeng (Ismail, 2009: 17) bahwa permainan merupakan bagian mutlak dari kehidupan anak dan permainan merupakan bagian integral dari proses pembentukan kepribadian anak. Artinya, dengan permainan anak dapat belajar. Permainan dapat dijadikan intervensi dalam pembelajaran karena permainan merupakan hal yang disukai oleh anak serta dapat menjadikan anak aktif dan fokus terhadap apa yang dihadapannya. Dengan memberikan intervensi permainan dalam pembelajaran diharapkan dapat meningkatkan konsentrasi anak terhadap materi pembelajaran dan energi anak yang berlebih dapat teralihkan sehingga dapat meminimalkan perilaku hiperaktif anak. Salah
satu
permainan
yang
dapat
diterapkan
dalam
intervensi
pembelajaran adalah puzzle. Dalam Kamus Bahasa Indonesia puzzle berarti mencengangkan,
membingungkan,
mengaduk,
mengacau,
mengganggu,
memperkusut, heran tercengang, kebuntuhan, kesandung. Menurut Ismail, puzzle adalah “Permainan yang menyusun suatu gambar atau benda yang telah dipecah dalam beberapa bagian” (2009: 199). Puzzle termasuk salah satu alat permainan edukatif yang dirancang untuk mengembangkan kemampuan anak belajar sejumlah keterampilan, misalnya motorik halus, yakni dengan gerak-gerak tangan anak saat memindah dan menyusun potongan puzzle; melatih anak untuk memusatkan perhatian, yakni pada saat anak berusaha berkonsentrasi menyusun
4 potongan-potongan puzzle sesuai pola gambarnya; dan melatih konsep tertentu seperti bentuk, warna, ukuran dan jumlah, melalui berbagai bentuk, warna, ukuran dan jumlah potongan puzzle (Wahyuni & Mauren, 2010). Puzzle biasanya terbentuk dari sebuah gambar yang terpotong-potong menurut bagian tertentu. Puzzle dapat terbuat dari kayu, plastik, spon ataupun kertas. Puzzle dapat disesuaikan tingkat kesulitannya dengan kemampuan anak berupa jumlah kepingan, ukuran serta bentuk potongan antar kepingannya. Puzzle pada hakikatnya merupakan suatu bentuk permainan yang umumnya digunakan anak yang sifatnya teka-teki. Puzzle menantang daya kreatifitas dan ingatan siswa lebih mendalam
dikarenakan
munculnya
motivasi
untuk
senantiasa
mencoba
memecahkan masalah, namun tetap menyenangkan sebab dapat di ulang-ulang. Tantangan dalam permainan ini akan memberikan efek ketagihan untuk selalu mencoba, mencoba dan terus mencoba hingga berhasil (Syukron, 2011). Dengan puzzle anak-anak dapat bereksplorasi menurut kemampuan dan minatnya. Penelitian yang dilakukan oleh Wardhani (2012) menunjukkan bahwa setelah dilakukan terapi bermain cooperative play dengan puzzle, kemampuan sosialisasi anak retardasi mental pada kelompok perlakuan sebagian besar mengalami peningkatan. Yang awalnya dari kategori kurang meningkat menjadi kategori cukup. Yang awalnya dari kategori cukup meningkat menjadi kategori baik. Akan tetapi juga ada seorang responden yang tidak mengalami peningkatan kemampuan sosialisasi, yaitu dengan kategori kurang. Sedangkan pada kelompok kontrol yang tidak diberikan intervensi seperti pada kelompok perlakuan hasilnya tidak terjadi perubahan prosentase. Hanya saja sedikit mengalami peningkatan skor. Penelitian lain yang dilakukan oleh Lestari (2014), penanganan anak hiperakif melalui terapi permainan Puzzle menunjukkan adanya pengurangan perilaku hiperaktif pada subjek. Keinginan subjek menunjukkan respon yang baik terhadap permainan puzzle dan hiperaktif yang di alami sudah berkurang, dilihat dari subjek yang awalnya tidak mau mengerjakan puzzle akhirnya dapat menyelesaikan permainan puzzle dengan tenang dan berkonsentrasi dalam waktu yang lama dan juga ada peningkatan konsentrasi saat bermain puzzle. Fajriananda, dkk. (2009) menyebutkan bahwa puzzle khususnya APE Puzzle, merupakan
5 permainan yang dapat menarik minat anak untuk memainkannya dan memberi pengalaman yang baik bagi kecerdasan anak bila dirangsang dan diarahkan oleh tenaga pendidik dengan dukungan yang tepat dan sesuai tujuan. Puzzle sudah cukup dikenal dan digunakan sebagai media pembelajaran, akan tetapi masih jarang digunakan untuk anak autis terkhusus untuk meningkatkan konsentrasi dan mengurangi perilaku hiperaktifnya. Berdasarkan uraian diatas, Peneliti tertarik untuk melakukan penelitian Pengaruh Intervensi Pembelajaran Dengan Puzzle Game dalam Meminimalisasi Perilaku Hiperaktif dan Meningkatkan Konsentrasi pada Anak Autis Kelas VI Semester II di SLB Negeri Surakarta Tahun Ajaran 2015/2016.
B. Identifikasi Masalah Berdasarkan uraian latar belakang masalah tersebut maka diidentifikasikan masalah sebagai berikut. 1.
Anak autis mengalami gangguan dalam perkembangannya
2.
Gangguan perkembangan anak autis salah satunya yaitu perilaku hiperaktif
3.
Perilaku hiperaktif mengakibatkan anak autis kesulitan berkonsentrasi dalam mengikuti pembelajaran
4.
Anak autis cenderung tidak memperhatikan pembelajaran dan anak cenderung melakukan hal sesukanya sendiri
5.
Prestasi anak autis cenderung rendah atau kurang maksimal
C. Pembatasan Masalah Agar penelitian ini terarah dan tidak meluas, maka diperlukan pembatasan masalah sehingga masalah dapat dikaji secara mendalam. Mengingat luasnya permasalahan yang ada dan berbagai keterbatasan, maka penelitian ini hanya dibatasi pada: 1.
Subjek penelitian adalah seorang siswa autis kelas VI di SLB Negeri Surakarta
2.
Perilaku yang diamati adalah hiperaktivitas dan konsentrasi
6 3.
Intervensi yang diberikan berupa penggunaan Puzzle Game di dalam pembelajaran.
D. Rumusan Masalah Rumusan masalah dalam penelitian adalah “Apakah ada pengaruh intervensi pembelajaran dengan puzzle game dalam meminimalisasi perilaku hiperaktif dan meningkatkan konsentrasi pada anak autis kelas VI semester II di SLB Negeri Surakarta tahun ajaran 2015/2016?”
E. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah yang diambil, tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh intervensi pembelajaran dengan puzzle game dalam meminimalisasi perilaku hiperaktif dan meningkatkan konsentrasi pada anak autis kelas VI semester II di SLB Negeri Surakarta tahun ajaran 2015/2016.
F. Manfaat Penelitian Manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian antara lain: 1.
Manfaat teoritis Memberikan wawasan dan khasanah pengetahuan tentang pengaruh intervensi pembelajaran dengan puzzle game dalam meminimalisasi perilaku hiperaktif dan meningkatkan konsentrasi pada anak autis di SLB Negeri Surakarta.
2.
Manfaat praktis Secara praktis penelitian ini bermanfaat bagi: a)
Pendidik Memberikan pengalaman peneliti kepada guru kelas dan guru pendamping khusus tentang intervensi pembelajaran dengan puzzle game dalam meminimalisasi perilaku hiperaktif dan meningkatkan konsentrasi pada anak autis kelas VI di SLB Negeri Surakarta.
7 b) Peneliti Sebagai
latihan
dan
memberikan
wawasan
mengenai
upaya
meminimalisasi perilaku hiperaktif siswa dan meningkatkan konsentrasi dengan menggunakan puzzle game dalam pembelajaran.