BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Medernisasi sudah menjadi gejala umum yang terjadi pada kebanyakan masyarakat di dunia, termasuk Indonesia. Proses modernisasi di Indonesia sendiri dilandasi oleh keinginan untuk maju dan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari pembangunan. Bagi Indonesia modernisasi dipandang sebagai proses adopsi nilai-nilai modern yang bersifat universal untuk diterapkan dengan menyesuaikan pada latar belakang budaya dan pandangan hidup bangsa. Pengembangan nilainilai medernitas yakni nilai-nilai teori, nilai sosial, nilai ekonomi, nilai estetika diarahkan untuk menunjang keberhasilan pembangunan nasional tersebut. Dalam hal ini masyarakat modern yang merupakan hasil dari modernisasi dapat dijadikan modal dalam era globalisasi. Era globalisasi ditandai oleh berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi. Melalui perkembangan teknologi komunikasi saat ini kita dapat langsung mendengar ataupun melihat tentang apa saja yang terjadi di manca negara pada waktu yang sama. Melalui perkembangan teknologi transportasi memungkinkan manusia untuk melakukan mobilitas secara cepat dan seolah-olah kemajuan tersebut menerjang pembatas antar negara ataupun bangsa di muka bumi ini. Modernisasi mempengaruhi hampir semua aspek yang ada di masyarakat, termasuk diantaranya aspek budaya. Kebudayaan dapat diartikan sebagai nilainilai yang dianut oleh masyarakat ataupun persepsi yang dimiliki oleh warga masyarakat terhadap berbagai hal. Baik nilai-nilai maupun persepsi berkaitan dengan aspek-aspek psikologis, yaitu apa yang terdapat dalam alam pikiran. Aspek-aspek kejiwaan ini menjadi penting artinya apabila disadari, bahwa tingkah laku seseorang sangat dipengaruhi oleh apa yang ada dalam alam pikiran orang yang bersangkutan. Sebagai salah satu hasil pemikiran dan penemuan seseorang adalah adat-istiadat, yang merupakan subsistem dari kebudayaan. Modernisasi yang ditunjang oleh globalisasi, mengakibatkan terjadinya perubahan dalam konsep ruang dan waktu. Perkembangan teknologi seperti
1
2
telepon genggam, televisi satelit, dan internet menunjukkan bahwa komunikasi global terjadi demikian cepatnya, sementara melalui pergerakan massa semacam turisme memungkinkan kita merasakan banyak hal dari budaya yang berbeda. Peningkatan interaksi kultural melalui perkembangan media massa (terutama televisi, film, musik, dan transmisi berita), kita dapat mempunyai gagasan dan pengalaman baru mengenai hal-hal yang melintasi beraneka ragam budaya, misalnya dalam bidang fashion, literatur, makanan, dan gaya hidup. Pengaruh globalisasi terhadap anak muda sekarang ini dirasakan begitu kuat. Pengaruh tersebut telah membuat banyak anak muda kita kehilangan kepribadian sebagai bangsa Indonesia. Hal ini ditunjukkan dengan gejala-gejala yang muncul dalam kehidupan sehari-hari anak muda zaman sekarang. Misalnya dari cara berpakaian, banyak remaja kita yang berpakaian minim seperti orang-orang Barat. Padahal cara berpakaian tersebut jelas-jelas tidak sesuai dengan kebudayaan kita. Tidak banyak remaja yang mau melestarikan budaya bangsa dengan mengenakan pakaian yang sopan sesuai dengan kepribadian bangsa. Hal ini menunjukkan bahwa globalisasi membawa pengaruh yang negatif terhadap budaya bangsa. Salah satu produk globalisasi adalah teknologi internet. Teknologi internet merupakan teknologi yang memberikan informasi tanpa batas dan dapat diakses oleh siapa saja. Dengan adaya internet, remaja sekarang ini bisa mendapatkan berbagai informasi dari mana saja, termasuk informasi dari luar negeri. Pengaruh dari informasi yang didapatkannya tersebut akan mempengaruhi pola fikir remaja dan akan mempengaruhi sikapnya terhadap budaya tradisional. Sebagian besar remaja menganggap bahwa budaya tradisional adalah kuno dan ketinggalan zaman. Dilihat dari sikap, banyak remaja yang tingkah lakunya tidak kenal sopan santun dan cenderung cuek, sebagian besar dari mereka tidak ada rasa peduli terhadap lingkungan. Berdasarkan analisa dan uraian tersebut globalisasi membawa pengaruh yang negatif, disamping pengaruh yang positif. Dari penjelasan di atas, jelaslah bahwa globalisasi telah membawa dampak yang negatif dalam pelestarian budaya. Thomas Friedman dalam bukunya The Lexus and the OliveTree (2000) menyatakan bahwa “ancaman global saat ini adalah globalisasi”. Artinya sistem di dalam globalisasi itu sendiri menyimpan
3
potensi penghancuran. Ritme cepat globalisasi yang ditentukan oleh negaranegara maju pada gilirannya telah menimbulkan dikotomi baru dalam hubungan antar negara. Negara-negara yang tidak mengikuti irama globalisasi dimasukkan ke dalam katagori negara primitive atau “ketinggalan jaman”. Dari pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa globalisasi dapat mendorong masyarakat untuk meninggalkan budaya tradisional (http://www.kompas.com/). “Masyarakat adalah kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem adat istiadat tertentu yang bersifat kontinu dan terikat oleh suatu rasa identitas bersama” (Koentjaranigrat, 1980: 160). Segala kejadian yang muncul dalam kehidupan masyarakat selalu berkaitan erat dengan remaja, termasuk tingkah laku remaja. Tingkah laku remaja dalam masyarakat dapat diterangkan sebagai reaksi terhadap tuntutan atau tekanan dari lingkungannya. Tuntutan dari perkembangan zaman yang mengikuti arus globalisasi, salah satunya membawa pengaruh terhadap gaya hidup remaja yang pada umumnya mulai meninggalkan nilai-nilai tradisional karena dianggap kuno. Meskipun arus globalisasi mempengaruhi gaya hidup remaja yang pada umumnya cenderung cuek, tetapi sebagai makhluk sosial remaja selalu berhubungan dengan lingkungan sosialnya. Lingkungan sosial di sekitar sangat berpengaruh terhadap pembentukan sikap remaja. Lingkungan sosial yang mendukung nilai-nilai tradisional, akan menciptakan sikap remaja yang positif terhadap pelestarian budaya tradisional, sedangkan lingkungan sosial yang menentang nilai-nilai tradisional akan berpengaruh negatif terhadap sikap pelestarian budaya tradisional. “Hubungan utama antara individu manusia dan lingkungannya, yaitu bahwa manusia itu senantiasa berusaha untuk menyesuaikan dirinya dengan lingkungannya” (Gerungan, 2004: 59). Dalam hal ini, remaja berusaha untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan sosialnya, yang pada akhirnya akan menolak atau mau melestarikan budaya tradisional. Remaja yang memahami nilai-nilai tradisional akan berusaha untuk melestarikan kebudayaan daerahnya, sedangkan remaja yang tidak memahami nilai-nilai tradisional cenderung tidak mau melestarikan budaya daerahnya.
4
Melestarikan kebudayaan daerah, utamanya yang sesuai dengan keadaan zaman dapat memajukan kebudayaan bangsa. Kebudayaan daerah merupakan unsur kebudayaan nasional, sehingga melestarikan kebudayaan daerah dapat menunjang kebudayaan nasional. Namun apabila kita telusuri, kebudayaan bangsa Indonesia sesungguhnya sudah sejak beberapa abad lamanya dipengaruhi dan diperkaya oleh kebudayaan asing yang dibawa oleh para penjajah. Sungguhpun demikian dalam suatu keadaan saling pengaruh-mempengaruhi tampaknya tidak ada suatu masyarakat yang merelakan begitu saja kebudayaannya digeser oleh kebudayaan lain. Sehingga, walaupun ada pengaruh budaya asing, identitas dan keunikan budaya yang dimilikinya akan cenderung dipertahankan semaksimal mungkin. Kebudayaan bangsa merupakan identitas bangsa yang perlu dilestarikan. Dalam rangka melestarikan kebudayaan bangsa, perlu digali kembali kebudayaan daerah yang hampir lenyap. Kebudayaan daerah yang hampir lenyap salah satunya adalah pernikahan secara adat. Pernikahan secara adat merupakan salah satu unsur kebudayaan yang sangat luhur dan mengandung nilai tinggi. Warisan yang paling luhur dan asli dari nenek moyang kita ini perlu dilestarikan, agar generasi berikutnya tidak kehilangan jejak. Upacara pernikahan adat mempunyai nilai luhur dan suci meskipun diselenggarakan secara sederhana (Thomas Wiyasa, 1985: 1). Indonesia merupakan negara yang kaya akan berbagai ragam budaya, adatistiadat dan tradisi. Begitu juga dalam hal upacara pernikahan adat, di Indonesia terdapat bermacam-macam pernikahan adat, misalnya : upacara perkawinan adat Bone, adat Batak, dan adat Jawa. Upacara perkawinan tersebut memiliki keunikan masing-masing, antara daerah yang satu berbeda dengan daerah yang lain dalam hal pelaksanaannya. Dalam perkawinan adat pelaksanaannya ditentukan oleh norma-norma maupun tradisi yang berlaku secara turun-temurun dalam kehidupan masyarakat pendukungnya sebagai warisan leluhur. Menurut masyarakat, upacara adat sebenarnya merupakan cerminan kehidupan masyarakat setempat yang selalu hati-hati, dengan maksud agar dalam melaksanakan segala sesuatu mendapat keselamatan baik lahir maupun batin.
5
Dewasa ini upacara adat dalam pernikahan sering dilaksanakan meskipun dalam bentuk yang sangat sederhana. Hampir setiap orang tua yang akan menikahkan putra-putrinya tidak lepas dengan upacara adat. Meskipun masyarakat berkali-kali menyaksikan upacara adat tetapi mereka kurang dapat memahami arti dan makna upacara tersebut. Di Jawa, sementara ini sebagian kecil masyarakat Jawa masih melaksanakan pernikahan secara adat. Melunturnya upacara pernikahan adat Jawa dipengaruhi oleh kurangnya pengetahuan tentang makna pernikahan adat Jawa, tingkat pendidikan, pandangan-pandangan, nilai-nilai dan budaya yang berlaku dalam masyarakat setempat. Masih banyak remaja yang tidak mengetahui makna pernikahan adat Jawa, sehingga pemahaman mengenai makna pernikahan adat Jawa perlu ditingkatkan. Untuk itu perlu adanya kerjasama dari berbagai pihak untuk menyadarkan kembali kepada generasi muda, tentang pentingnya pemahaman mengenai makna pernikahan adat Jawa. Berkaitan dengan hal tersebut, maka masyarakat perlu memainkan peranannya dalam rangka menggali kembali nilai-nilai luhur yang terkandung dalam pernikahan adat Jawa dan dalam pewarisannya kepada generasi muda. Berdasarkan uraian tersebut, maka keberadaan generasi muda sebenarnya merupakan suatu fenomena yang menarik untuk dikaji karena merekalah sebagai generasi penerus. Sebagai generasi penerus bangsa, remaja berperan penting dalam melestarikan kebudayaan. Perubahan pandangan, pengetahuan, sikap, tingkah laku pada diri mereka akan berdampak besar pada corak dan nuansa kebudayaan pada masa yang akan datang. Oleh karena itu, penulis mencoba mengkaji dan meneliti secara mendalam tentang masalah tersebut dalam penulisan skripsi dengan judul ”Persepsi Remaja Tentang Pernikahan Adat Jawa Dan Lingkungan Sosial Terhadap Sikap Pelestarian Budaya Jawa di Desa Bonyokan, Kecamatan Jatinom, Kabupaten Klaten”.
6
B. Identifikasi Masalah Berdasarkan pada latar belakang masalah yang diuraikan di atas, maka dapat diidentifikasikan masalah sebagai berikut : 1. Apa dampak globalisasi terhadap pola fikir anak remaja ? 2. Apakah persepsi remaja tentang pernikahan adat Jawa yang negatif dapat berakibat pada kurangnya perhatian terhadap upaya pelestarian budaya Jawa ? 3. Apakah peningkatan pengetahuan remaja tentang pernikahan adat Jawa dapat meningkatkan sikap pelestarian budaya Jawa ? 4. Pengetahuan apa saja yang dapat membantu dalam pelestarian budaya Jawa ? 5. Apakah masih perlu melestarikan budaya Jawa pada masa ini ? 6. Mengapa pelestarian terhadap budaya Jawa kurang diperhatikan oleh anak remaja sekarang ini ? 7. Apakah lingkungan sosial yang mendukung nilai-nilai tradisional akan menciptakan sikap remaja yang positif terhadap pelestarian budaya Jawa ? 8. Apakah lingkungan sosial yang kurang mendukung nilai-nilai tradisional dapat menghambat pelestarian budaya Jawa ? 9. Lingkungan sosial yang bagaimana yang dapat mendukung pelestarian budaya Jawa ? 10. Apakah nilai-nilai tradisional yang menunjang sikap pelestarian budaya Jawa masih relevan dengan tuntutan zaman ? 11. Apakah antara persepsi remaja mengenai pernikahan adat Jawa dan lingkungan sosialnya dapat mempengaruhi sikap mereka terhadap upaya pelestarian budaya Jawa ? 12. Apakah ada perbedaan sikap, antara remaja yang satu dengan yang lain dalam melestarikan budaya Jawa ? 13. Seperti apa wujud konkrit sikap pelestarian budaya Jawa ? 14. Usaha apa saja yang harus dilakukan untuk menanamkan pentingnya pemahaman nilai-nilai tradisional dalam upaya melestarikan budaya Jawa ?
7
C. Pembatasan Masalah Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah tersebut, perlu dilakukan pembatasan terhadap masalah persepsi remaja tentang pernikahan adat Jawa dan lingkungan sosial terhadap sikap pelestarian budaya Jawa. Persepsi remaja tentang pernikahan adat Jawa adalah pandangan remaja terhadap peristiwa suatu pernikahan yang dilaksanakan menurut aturan-aturan yang dimiliki oleh masyarakat Jawa. Aturan tersebut sudah berlaku sejak zaman dahulu. Persepsi remaja tentang pernikahan adat Jawa dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal serta disertai dengan proses penginderaan. Lingkungan sosial merupakan segala sesuatu yang ada di sekitar manusia dan
segala
aturan
lain
yang
saling
mempengaruhi
dalam
kehidupan
bermasyarakat. Dalam hidup bermasyarakat, remaja melakukan interaksi dengan lingkungan sosialnya, di mana dalam proses interaksi tersebut remaja mendapat pengaruh, yang secara tidak langsung akan berpengaruh terhadap pembentukan sikap. Sikap pelestarian budaya Jawa adalah sikap melestarikan budaya Jawa yang dipengaruhi oleh komponen kognitif, komponen afektif dan komponen behavior yang akan menimbulkan sikap positif maupun negatif terhadap budaya Jawa. Agar di dalam pembahasan permasalahan dapat lebih mendalam dan tidak terlalu luas cakupannya, maka penulis membatasi permasalahan sebagai berikut : 1. Obyek Penelitian Obyek penelitian adalah aspek-aspek dari subyek penelitian yang menjadi sasaran penelitian, meliputi : 1) Persepsi remaja tentang pernikahan adat Jawa yang berada di desa Bonyokan, kecamatan Jatinom, kabupaten Klaten. 2) Lingkungan sosial yang berhubungan dengan remaja di desa Bonyokan, kecamatan Jatinom, kabupaten Klaten. 3) Sikap pelestarian budaya Jawa, khususnya pernikahan adat Jawa yang dilakukan remaja di desa Bonyokan.
8
2. Subyek Penelitian Subyek penelitian ini adalah remaja yang berusia 13 – 24 tahun yang berdomisili di desa Bonyokan, kecamatan Jatinom, kabupaten Klaten.
D. Perumusan Masalah Berdasarkan identifikasi masalah diatas, maka perumusan penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut : 1. Apakah ada hubungan antara persepsi remaja tentang pernikahan adat Jawa dengan sikap pelestarian budaya Jawa ? 2. Apakah ada hubungan antara lingkungan sosial dengan sikap pelestarian budaya Jawa ? 3. Apakah ada hubungan antara persepsi remaja tentang pernikahan adat Jawa dan lingkungan sosial secara bersama-sama terhadap sikap pelestarian budaya Jawa ?
E. Tujuan Penelitian Dalam kegiatan penelitian, seseorang pasti mempunyai maksud dan tujuan yang ingin dicapai, yaitu memecahkan masalah. Adapun tujuan yang berkaitan dengan penelitian ini adalah : 1. Mengetahui ada-tidaknya hubungan antara persepsi remaja tentang pernikahan adat Jawa dengan sikap pelestarian budaya Jawa. 2. Mengetahui ada-tidaknya hubungan antara lingkungan sosial dengan sikap pelestarian terhadap budaya Jawa. 3. Mengetahui ada-tidaknya hubungan antara persepsi remaja tentang pernikahan adat Jawa dan lingkungan sosial secara bersama-sama dengan sikap pelestarian budaya Jawa.
9
F. Manfaat Penelitian Setiap penelitian berharap hasil penelitiannya dapat bermanfaat. Demikian dengan penelitian ini diharapkan dapat memberikan kegunaan. Adapun manfaat yang berkaitan dengan penelitian ini adalah : 1. Manfaat teoritis a. Sebagai karya ilmiah hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya mengenai upaya pelestarian budaya Jawa. b. Sebagai sumbangan pengetahuan bagi para remaja dalam hidup bermasyarakat, sehingga memiliki kesadaran untuk melestarikan budaya Jawa. c. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai pedoman untuk kegiatan penelitian berikutnya yang sejenis.
2. Manfaat Praktis a. Menyebarluaskan informasi mengenai pentingnya melestarikan budaya Jawa, khususnya pernikahan adat Jawa. b. Memberikan informasi tentang upaya-upaya pelestarian budaya Jawa kepada para remaja pada umumnya dan pembaca pada khususnya. c. Sebagai calon pendidik, dengan mengadakan penelitian ini dapat mentransformasikan pengetahuan dan pengalaman kepada peserta didik.
10
BAB II LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka 1. Persepsi Remaja Tentang Pernikahan Adat Jawa a.
Persepsi 1). Pengertian Persepsi Persepsi merupakan cara pandang terhadap sesuatu hal. Individu mengenali
dunia luarnya dengan menggunakan alat inderannya. Bagaimana individu dapat mengenali dirinya sendiri maupun keadaan sekitarnya, hal ini berkaitan dengan persepsi. Melalui stimulus yang diterimanya, individu akan mengalami persepsi. Stimulus yang diterima oleh individu tersebut kemudian diorganisasikan, diintepretasikan, sehingga individu menyadari tentang apa yang diinderanya itu. Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa persepsi merupakan proses pengorganisasian, pengintepretasian terhadap stimulus yang diterima oleh organisme atau individu sehingga merupakan sesuatu yang berarti, dan merupakan aktifitas yang intergrated dalam diri individu, sehingga seluruh apa yang ada dalam diri individu ikut aktif berperan dalam persepsi tersebut (Bimo Walgito, 1978: 46). Wittig (1997: 76) menyatakan bahwa “Persepsi merupakan proses seseorang menafsirkan stimulus sensori. Proses-proses ini hanya melaporkan tentang lingkungan stimulus, dan persepsi menerjemahkan pesan-pesan sensori tersebut ke dalam bentuk-bentuk yang dapat dipahami. Menurut Jalaludin Rakhmat (1996: 51) persepsi adalah “pengamatan tentang obyek, peristiwa atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan, persepsi adalah memberikan makna pada stimulus inderawi”. Dari beberapa pendapat di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa persepsi adalah pandangan seorang individu terhadap suatu obyek yang disertai dengan proses penginderaan. Pandangan mengenai peristiwa pernikahan secara adat Jawa pun akan mempunyai dua sifat positif dan negatif. Pandangan dari dua sifat 10
11
tersebut akan melahirkan persepsi remaja yang berbeda. Persepsi remaja dikatakan tepat dan tidak tepat pada obyek tertentu. Menurut Muhadjir (1992: 56) persepsi sebagai ranah kognitif, tampilannya menjadi ekspresi pendapat yang lebih tepat atau kurang tepat. Dengan demikian, persepsi remaja tentang pernikahan adat Jawa dikatakan positif apabila sesuai dengan apa yang dipersepsi, sebaliknya persepsi remaja tentang pernikahan adat Jawa dikatakan negatif apabila kurang sesuai dengan yang dipersepsi.
2). Syarat Persepsi Bimo Walgito (1997: 54) agar individu dapat menyadari, dapat mengadakan persepsi, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi yaitu : a) Adanya obyek yang dipersepsi. Obyek menimbulkan stimulus yang mengenai alat indera atau reseptor. Stimulus dapat datang dari luar langsung mengenai alat indera (reseptor), dapat datang dari dalam, yang langsung mengenai syaraf penerima (stimulus) yang bekerja sebagai reseptor. b) Adanya indera atau reseptor. Indera marupakan alat untuk menerima stimulus. Disamping itu harus ada pula syarat sensoris sebagai alat indera (reseptor). c) Perhatian. Untuk menyadari atau untuk mengadakan persepsi sesuatu diperlukan pula adanya perhatian yang merupakan langkah pertama sebagai persiapan dalam mengadakan persepsi. Tanpa perhatian tidak akan terjadi persepsi.
3). Faktor-faktor yang Mempengaruhi Persepsi Krech dan Crutchield dalam “Psikologi Sosial” karangan Sarlito Wirawan Sarwono (1991: 94) menyatakan ada dua variabel yang mempengaruhi persepsi, yaitu : (a). variabel struktural, yaitu faktor-faktor yang terkandung dalam rangsang fisik, (b). variabel fungsional, yaitu faktor-faktor yang terdapat dalam diri si pengamat, seperti : kebutuhan (need), suasana hati (mood), pengalaman masa lampau dan sifat-sifat individual lainnya. Sedangkan Tagiuri dan Petrullo dalam “Psikologi Sosial” karangan Bimo Walgito (1978: 48) menyatakan bahwa yang dapat ikut berperan dan dapat
12
berpengaruh dalam mempersepsi manusia, yaitu (1) keadaan stimulus, dalam hal ini berwujud manusia yang akan dipersepsi; (2) situasi atau keadaan sosial yang melatarbelakangi stimulus; dan (3) keadaan orang yang akan mempersepsi. Mengenai keadaan individu yang dapat mempengaruhi hasil persepsi datang dari dua sumber, yaitu yang berhubungan dengan segi kejasmanian, dan yang berhubungan dengan segi psikologis. Bila sistem fisiologisnya terganggu, hal tersebut dapat berpengaruh dalam persepsi seseorang, sedangkan segi psikologis seperti pengalaman, perasaan, kemampuan berfikir, kerangka acuan, motivasi akan berpengaruh pada seseorang dalam mengadakan persepsi. Dengan demikian persepsi seseorang tidak datang begitu saja. Persepsi seseorang tidak timbul begitu saja. Tentu ada faktor-faktor yang mempengaruhinya. Faktor-faktor inilah yang menyebabkan mengapa dua orang yang melihat sesuatu mungkin memberi intepretasi yang berbeda tentang yang dilihatnya itu. Secara umum dapat dikatakan bahwa terdapat 3 faktor yang mempengaruhi persepsi seseorang : pertama, diri orang yang bersangkutan sendiri. Kedua, sasaran persepsi, dan ketiga faktor situasi. (Sondang P. Siagian, 1989: 100). Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa persepsi seseorang dipengaruhi oleh : a) Faktor internal, yaitu faktor yang terdapat pada diri pengamat, yang meliputi kebutuhan, suasana hati, kemampuan, motivasi, pendidikan dan pengalaman. b) Faktor eksternal, yaitu faktor yang terdapat di luar diri si pengamat. Faktor eksternal adalah ciri fisik dari obyek yang diamati dan situasi pada saat seseorang mengintepretasikan tentang obyek yang diamati. Misalnya : kesehatan, kelengkapan organ tubuh seseorang, kebiasaan dalam masyarakat, kebiasaan berpakaian dan kebiasaan lainnya.
b.
Remaja 1). Pengertian Remaja Sarlito Wirawan S. (1989: 4), mendefinisikan remaja sebagai “Individu yang
telah mengalami perkembangan fisik dan mental dengan batasan usia 11-24 tahun dan belum menikah”.
13
Menurut Sarlito Wirawan S. (1989: 14) batasan usia 11-24 tahun dan belum menikah untuk remaja dengan pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut: a) Usia 11 tahun adalah usia dimana pada umumnya tanda-tanda seksual sekunder mulai nampak (kriteria fisik). b) Kebanyakan masyarakat Indonesia, usia 11 tahun sudah dianggap akil baligh baik menurut adat dan agama, sehingga masyarakat tidak lagi memperlakukan mereka sebagai anak-anak (criteria social). c) Pada usia tersebut ada tanda-tanda penyempurnaan perkembangan jiwa. d) Batasan usia 24 tahun merupakan batasan maksimum untuk memberi kesempatan mereka mengembangkan dirinya setelah sebelumnya masih tergantung pada orang lain. Hasan Basri (2000: 10) menjelaskan bahwa “Remaja sebagai kelompok yang tengah meninggalkan masa kanak-kanak yang penuh dengan ketergantungan dan menuju pembentukan tanggung jawab”. Sedangkan Monks dalam buku ”Psikologi Perkembangan” karangan siti Rahayu Haditono (1991: 216) menyatakan bahwa: Anak remaja sebetulnya tidak mempunyai tempat yang jelas. Ia tidak termasuk golongan anak, tetapi tidak termasuk golongan orang dewasa. Remaja masih belum mampu untuk menguasai fungsi-fungsi fisik maupun psikisnya. Ditinjau dari segi tersebut mrereka masih termasuk golongan kanak-kanak, mereka masih harus menemukan tempatnya dalam masyarakat. Pada umumnya mereka masih belajar di sekolah Menengah atau Perguruan Tinggi. Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa remaja adalah seorang yang mengalami perkembangan dari anak-anak menuju dewasa, mulai dari segi seksualnya, emosionalnya, serta rasa keinginan untuk mencoba tidak tergantung pada orang tua agar lebih tanggung jawab. Dalam penelitian ini mengambil sampel remaja yang mempunyai batasan usia antara 13 - 24 tahun dan belum menikah. Pertimbangan dalam pengambilan batasan usia tersebut dikarenakan persepsi dipengaruhi oleh faktor pengetahuan dan pengalaman. Batasan usia 13 – 24 tahun dan belum menikah tersebut minimal mereka telah mengenyam pendidikan di sekolah Menengah sehingga telah memiliki pengetahuan dan pengalaman baik dari Sekolah maupun dari masyarakat di mana mereka tinggal.
14
2). Ciri-ciri Masa Remaja Menurut Singgih D. Gunarso (1991: 124) ciri-ciri masa remaja sebagai berikut : a) Remaja merupakan masa transisi dari anak-anak ke dewasa . b) Masa remaja merupakan masa peralihan artinya mengalami perubahan dalm kematangan seksualitasnya. c) Keberanian yang sering tanpa memperhatikan resiko yang dihadapinya. d) Banyak khayalan merupakan ciri khas remaja. e) Masa remaja mengalami badai dan topan dalam kehidupan perasaan dan emosional sehingga kadang-kadang timbul emosi yang memuncak. Dari ciri-ciri di atas dapat disimpulkan bahwa masa remaja merupakan suatu masa dalam hidup manusia yang banyak mengalami perubahan. Masa remaja merupakan masa transisi dari anak-anak menuju dewasa sehingga perasaan emosionalnya tidak stabil, kadang-kadang timbul emosi yang memuncak. c.
Pernikahan Adat Jawa 1). Pengertian Pernikahan Soerojo Wignyodipuro (1987: 122) menyatakan bahwa “Pernikahan adalah
peristiwa sebagai rentetan perbuatan magis yang bertujuan untuk menjamin ketenangan, kebahagiaan dan kesuburan”. Sedangkan Moch Ali Hasan (1994: 32) menyatakan bahwa “Nikah adalah aqad yang mengandung arti halalnya hubungan antara pria dan wanita dan berkewajiban tolong-menolong, serta menentukan hak dan kewajiban masing-masing sebagai suami-isteri”. UU No. 1 th 1974 pasal 1 menyatakan bahwa “Pernikahan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan wanita yang bertujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia kekal berdasarkan ketuhanan YME”. Sedangkan Goodenough dalam buku “Antropologi Jilid 2” karangan William A. Havilland (1993: 77) menyatakan bahwa : Pernikahan adalah suatu transaksi dan kontrak yang sah dan resmi antara seseorang wanita dan seorang pria yang mengukuhkan hak mereka yang tetap untuk berhubungan seksual satu sama lain dan yang menegaskan bahwa wanita yang bersangkutan sudah memenuhi syarat untuk melahiran anak. Berdasarkan beberapa pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa pernikahan adalah hubungan antara seorang pria dengan wanita yang bertujuan
15
untuk menjamin ketenangan, kebahagiaan, dan kesuburan, serta menimbulkan hak dan kewajiban masing-masing sebagai suami isteri.
2). Pengertian Adat Jawa Surojo Wingjodipuro (1993: 13) menyatakan bahwa “Adat adalah pencerminan daripada kepribadian suatu bangsa, merupakan salah satu penjelmaan daripada jiwa bangsa yang bersangkutan dari abad ke abad”. Sedangkan Djaka P.S. (1990: 7) menyatakan bahwa “Adat adalah kebiasaan atau aturan yang berlaku sejak zaman dahulu”. a). Azas-azas Perkawinan Menurut Hukum Adat Menurut Hilman Hadi Kusuma (1990: 71) asas-asas perkawinan menurut hukum adat adalah sebagai berukut : 1. Perkawinan bertujuan membentuk keluarga rumah tangga dan hubungan kekerabatan yang rukun dan damai, bahagia dan kekal. 2. Perkawinan tidak saja harus sah dilaksanakan menurut hukum agama dan atau kepercayaan, tetapi juga harus mendengar pengakuan dari para anggota kerabat. 3. Perkawinan dapat dilakukan oleh seorang pria dengan beberapa wanita sebagai isteri yang kedudukannya masing-masing ditentukan menurut hukum adat setempat. 4. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan orang tua dan anggota kerabat, masyarakat adat dapat menolak kedudukan suami-isteri yang tidak diakui masyarakat adat. 5. Perkawinan dapat dilakukan oleh pria dan wanita yang belum cukup umur atau masih anak-anak. Walaupun sudah cukup umur perkawinan harus berdasarkan ijin dari orang tua atau keluarga dan kerabat. Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa pernikahan adat Jawa adalah peristiwa perkawinan antara seorang pria dengan wanita yang bertujuan untuk menjamin ketenangan, kebahagiaan dan kesuburan, serta menimbulkan hak dan kewajiban sebagai suami isteri yang dilaksanakan menurut aturan-aturan yang dimiliki oleh masyarakat Jawa yang beraku sejak zaman dahulu. Perkawinan yang dilakukan masyarakat Jawa tersebut, terutama pernikahan yang bersifat wajar pada dasarnya selalu memperhitungkan waktu. Pernikahan adat Jawa menggunakan perlengkapan tertentu, serta melalui suatu upacara atau jalannya upacara. Hal tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :
16
1. Waktu Dalam melaksanakan pernikahan adat Jawa, biasanya dilakukan dengan melalui perhitungan waktu terlebih dahulu. Di sini dilakukan mencari waktu yang baik dengan harapan pada saat perkawinan dapat berjalan lancar, tidak ada halangan atau hambatan. Waktu yang baik dalam melakukan sesuatu pernikahan tersebut biasanya dapat ditentukan dengan mengacu pada perhitungan yang ada dalam Primbon yang dimiliki masyarakat Jawa. Perhitungan hari baik pernikahan disebut hari pasaran. Hari pasaran dihitung berdasarkan hari kelahiran masing-masing calon mempelai. Setelah dihitung dan ditemukan hari yang baik, maka ditentukan kapan sebaiknya dilakukan hari pernikahan. Biasanya bulan yang baik untuk pernikahan juga diperhatikan, yakni pada bulan-bulan besar, seperti bulan Jumadilakhir, Rajab, dan Ruwah (Satuti Yamin, 1989: 12). 2. Perlengkapan Dalam pernikahan adat Jawa ini cukup banyak perlengkapan yang digunakan. Selain perlengkapan untuk kedua mempelai juga perlengkapan yang berkaitan dengan kegiatan dalam pernikahan tersebut. Pada waktu menjelang tiga hari pelaksanaan pernikahan, biasanya dilakukan pemasangan tarub. Tarub sering juga disebut atap. Jadi mendirikan tarub berarti membuat suatu tenpat yang diberi atap. Tarub tersebut terbuat dari kajang atau blarak (daun kelapa) yang dianyam. Fungsi tarub adalah untuk melindungi para tamu dan untuk memperluas ruangan (Andjar Any, 1986: 113). Adapun benda-benda yang dipakai utuk membuat tarub adalah kajang yang berfungsi sebagai atap, kemudian bleketepe yang dibuat dari daun nyiur yang dianyam. Bleketepe berfungsi sebagai penutup lubang angin di bawah atap. Hiasan tarub terdiri atas janur yang diambil lidinya sehingga menjuntai seperti sulur pohon beringin. Sulur janur ini mengandung lambang sebagai penolak bala, diharapkan calon pengantin bisa hidup rukun tanpa mendapat halangan yang berarti. Hiasan janur biasanya dipasang di halaman rumah atau di tempat yang strategis yang akan dilewati para tamu. Dengan demikian fungsi janur juga
17
melambangkan bahwa di tempat itu ada orang yang hendak mempunyai hajat mantu (Satuti Yamin, 1989: 12) Menjelang satu hari pernikahan dilakukan pemasangan tuwuhan. Tuwuhan mengandung makna kehidupan makin lama makin besar. Tuwuhan tersebut terdiri dari dua tundun pisang raja yang sudah hampir matang, tebu arjuna sepasang, cengkir gadhing dan cengkir legi serakit, padi segedheng dibagi dua, butir otek segedheng dibagi dua, daun kluwih, daun alang-alang, daun kara, daun maja, dan daun kemuning. Tuwuhan itu harus dipasang di dekat tiang, supaya dapat diikat dengan tiang agar tidak mudah roboh. Untuk melengkapi acara pernikahan tersebut, diperlukan juga kembang mayang. Kembang mayang dibuat oleh orang yang cukup ahli, biasanya mereka yang sudah tua. Kembang mayang tersebut diserahkan pada pihak keluarga calon mempelai wanita melalui suatu upacara tertentu. Misalnya kembang mayang tersebut akan diserahkan pada pihak wanita, apabila yang menerimanya pria harus dua orang dengan berpakaian Jawa lengkap, menggunakan keris. Kembang mayang yang diterima itu harus dipayungi. Bila yang menerima wanita, juga harus berdua, dan bila yang menerima adalah ibu pihak wanita, kembang mayang tidak perlu dipayungi (Winarno Wiromidjojo, 1983: 5-8). Sehari sebelum pernikahan, dilakukan upacara siraman. Dalam upacara siraman, calon mempelai wanita dimandikan agar memperoleh kecantikan seperti bidadari. Perlengkapan yang diperlukan antara lain : banyu setaman (air yang dicampur dengan bunga mawar, melati, kenanga dan lain-lain), tujuh macam tepung beras yang dicampur mangir (alat penguning), pandan wangi, serta daun kemuning sebagai penggosok. Kemudian juga digunakan kursi yang diberi alas tikar pandan baru, daun kara, daun kluwih, daun dadap, sereh, rumput alangalang, serta bermacam-macam, kain. Kain tersebut antara lain : kain letrek, bangun tulak, jingga, sindur, dan mori putih. Selain itu perlengkapan yang diletakkan di dekat tempat memandikan berupa bubur merah dan putih, jajan pasar, kembang boreh, clupak (lampu minyak tanah kecil), kendi, ayam hidup, klenthing atau jun berisi air untuk wudhu calon pengantin setelah dimandikan (Winarno Wiromidjojo, 1983: 11).
18
Setelah siraman kemudian diadakan midodareni. Pada waktu midodareni, calon pengantin wanita sudah dirias dengan diberi paes dan rambut sudah disanggul. Pakaian yang digunakan yakni kebaya polos berkain trutun dan bersabuk sindur. Pada waktu pihak calon mempelai wanita mengadakan midodareni, calon mempelai laki-laki datang dengan sanak keluarga. Mereka ini ditempatkan di tempat yang telah disediakan yang disebut dengan nyantri. Calon mempelai pria mengenakan pakaian kesatriyan. Pakaian tersebut meniru pakaian seorang pangeran. Pakaian kesatriyan terdiri atas : jarik, jas taqwa, ikat kepala jebehan, tanpa bunga hanya dilengkapi sumping. Untuk menggantikan bunga, dipakai satu kudhup melati, kalung ulur-ulur, keris warangka ladrang / branggah, memakai selop. Akhir-akhir ini calon mempelai pria kalau nyantri biasanya hanya memakai pantolan dan jas lengkap saja (Winarno Wiromidjojo, 1983: 14). Pada waktu pelaksanaan pernikahan, mempelai pria dan mempelai wanita mengenakan pakaian masing-masing. Pakaian yang dikenakan adalah pakaian Jawa. Pakaian Jawa yang dikenakan bisa pakaian basahan, kuncaran, langen kusuman. Adapun pakaian basahan seperti pakaian raja yang mengenakan kain panjang, disebut kampuh yang berenda, celana cinde gudeg, kuluk bir matak, stagen, sabuk borok epek timang dan kalung bersusun, namun tidak mengenakan baju. Jika pakaian yang dikenakan mempelai pria adalah pakaian kuncaran, berarti pengantin pria itu mengenakan baju hitam, di depan tertutup sehingga sabuk dan timang bagian depan tidak nampak. Sedangkan di bagian belakang melengkung ke atas sehingga sabuk belakang nampak. Kain yang digunakan adalah kain sidomukti, sido luhur atau sido asin, selain itu mengenakan stagen, sabuk boro dan grek. Jika mempelai pria mengenakan pakaian langen kusuman, hampir sama dengan kuncaran, tetapi baju baian depan terbuka. Dengan baju bagian depan terbuka, dada, sabuk dan timang kelihatan. Supaya dada tidak sampai nampak, digunakan pasadan (semacam hem tetapi tidak memakai lengan) sebagai baju dalam.
19
Untuk mempelai wanita, disesuaikan dengan pakaian mempelai pria. Apabila mempelai pria mengenakan pakaian basahan, mempelai wanita juga demikian. Pakaian basahan untuk mempelai wanita terdiri atas : kampu seperti puteri keraton cindhe seretan, sabuk cinde berkembang. Kemudian di bawah ranti mengenakan buntal yang ujungnya dipasang saputangan berkembang tanpa baju. Apabila mempelai pria mengenakan kuncaran, langen kusuman, mempelai wanita mengenakan baju panjang dan berkain seperti pengantin pria (kain sido luhur, sido mukti dan sido asih) (Winarno Wiromidjojo, 1983: 19). Dalam upacara panggih, perlengkapan yang diperlukan antara lain : pengaron (jamban kecil berisi air setaman), telur ayam mentah diletakkan dalam cobek atau pinang, pasangan lembu atau kerbau, dan sadak. Sadak yang dibawa mempelai pria terbuat dari daun sirih yang digulung, didalamnya berisi kapur dan diikat dengan benang sehingga berbentuk seperti rokok. Sedangkan sadak yang dibawa mempelai wanita terbuat dari sirih yang dibungkus seperti bungkusan tempe. Sirih yang digunakan sebaiknya sirih yang bertemu ruas dengan maksud agar kelak pasangan pengantin tersebut bertemu rasa (Satuti Yamin, 1989: 18). Pada pelaminan, perlengkapannya antara lain : tikar yang di atasnya dibentangkan kain yang habis dipergunakan untuk alas duduk kedua mempelai ketika dihias, dan ditutup dengan kain putih serta ditaburi bunga. Alat kacar-kucur terdiri dari klasa bangka kecil atau saputangan dan biji-bijian (beras kuning, kacang hijau, kedelai, jagung), uang logam. Selain itu juga harus ada dua buah klemuk yang sebuah berisi beras kuning, kluwak, kemiri, jendhul dan telur ayam mentah. Sedangkan sebuah lagi berisi air tempuran, yaitu air yang berasal dari dua sungai yang bertemu (Satuti Yamin, 1989: 22).
3. Upacara Pelaksanaan Pernikahan Adapun berbagai macam acara serta upacara yang harus dilakukan menurut perkawinan adat Jawa adalah : a. Upacara Sebelum Pernikahan Pada zaman dulu, orang tua yang mempunyai anak laki-laki menginjak dewasa akan mencarikan jodoh secara diam-diam, tanpa diketahui anak laki-
20
lakinya. Orang tua mengirim utusan yang disebut congkok ke tempat yang dituju. Tugas congkok adalah melakukan pembicaraan permulaan, menanyakan apakah gadis yang dimaksud masih bebas artinya belum ada yang mempersunting. Seandainya belum, bagaimana jika gadis ini dilamar oleh orang tua yang mengutusnya untuk dijadikan menantunya. Congkok memberikan gambaran sepintas kilas tentang keadaan pria yang akan melamarnya, dengan menjelaskan tentang status sosialnya, keturunan siapa, dan sifat-sifatnya. Kepandaian congkok sangat menentukan berhasil atau gagalnya lamaran tersebut (Andjar Any, 1986: 105). 1). “Nontoni” Bila congkok berhasil melakukan tugasnya dan si gadis bersedia dilamar, maka orang tua pria memberitahu kepada orang tua si gadis bahwa pihak pria akan datang ke rumah si gadis untuk melakukan acara nontoni. Nontoni berasal dari kata “nonton” artinya melihat. Calon mempelai pria ingin melihat secara langsung keadaan si gadis yang akan menjadi calon isterinya, baik wajahnya, sifat-sifatnya dan sebagainya. Hal ini biasa dilakukan karena si pria belum mengetahui dan belum mengenalnya sama sekali (Anjar Any, 1986: 106). 2). Lamaran Jika keduanya sudah merasa cocok, maka orang tua pengantin laki-laki mengirim utusan ke orang tua pengantin perempuan untuk melamar puteri mereka. Beberapa hari sebelum acara lamaran dilaksanakan, pihak keluarga si gadis sudah diberi tahu tentang waktunya melamar. Di rumah si gadis sudah ada beberapa penerima tamu. Acara dimulai setelah mengabarkan keselamatan masing-masing pihak dan congkok menyampaikan lamaran secara lisan (Anjar Any, 1986: 107). 3). “Peningsetan” Setelah lamaran diterima, pihak pria memberi peningset atau tanda pengikat pembicaraan, dengan menyerahkan peningset. Saat itu masing-masing telah terikat untuk melaksanakan pembicaraan yang telah mereka setujui bersama, yaitu pelaksanaan pernikahan. Pihak calon pengantin wanita kemudian membagikan peningset
tersebut
kepada
tetangganya.
Hal
ini
dimaksudkan
sebagai
21
pengumuman kepada para tetangga bahwa gadis tersebut telah diikat oleh seorang laki-laki. Pada acara peningset ditentukan juga perkiraan hari pelaksanaan pernikahan. Pada masyarakat Jawa Tengah, kepercayaan akan hari naas dan baik sangat utama. Hari pernikahan ada yang ditentukan berdasarkan hari lahir kedua calon pengantin atau berdasarkan huruf awal dan huruf akhir nama kedua calon pengantin. Setelah diterimanya peningset, maka pihak wanita tidak boleh menerima lamaran laki-laki lain (Anjar Any, 1986: 108). 4). “Srah-srahan” Setelah kedua keluarga menyetujui pernikahan, mereka akan menjadi besan. Keluarga dari pengantin laki-laki berkunjung ke tempat keluarga pengantin perempuan sambil membawa hadiah. Dalam kesempatan ini, kedua keluarga beramah tamah. Pada upacara ini, pihak laki-laki menyerahkan barang-barang dan uang sekedar membantu materi untuk penyelenggaraan pesta pernikahan dirumah pengantin wanita. Hal ini terjadi karena pada waktu upacara pernikahan berlangsung, pihak laki-laki akan datang membawa beberapa orang pengantar (Anjar Any, 1986: 110). 5). “Tarub” Tarub merupakan perpaduan antara dua kata, yaitu “tata” dan “sumurup”. Maksudnya rumah yang akan dipergunakan untuk pesta pernikahan tersebut ditata (dihias dan diatur). Penataan itu dimaksudkan supaya tetangga sumurup (tahu) bahwa akan diselengarakan pesta pernikahan. Jadi ini merupakan alat pemberitahuan kepada tetangga-tetangga (Anjar Any, 1986: 113). 6). “Siraman” Makna dari upacara siraman adalah untuk membersihkan jiwa dan raga. Upacara siraman ini biasanya diadakan di siang hari, sehari sebelum acara pernikahan. Siraman diadakan di rumah orang tua pengantin masing-masing. Siraman biasanya dilakukan di kamar mandi atau di taman. Biasanya orang yang melakukan siraman yaitu orang tua dan keluarga dekat atau orang yang dituakan. Jalannya upacara sebagai berikut :
22
Sembilan orang yaitu orang tua, saudara-saudara tua secara bergantian menyiramkan air ke badan calon pengantin dengan menggunakan gayung yang terbuat dari tempurung kelapa. Penyiram pertama membacakan doa untuk calon pengantin. Pengantin kemudian disuruh wudhu. Sebagai penutup upacara siraman, bapak dan ibu calon pengantin menjual dawet, sebagai pembelinya adalah para tamu yang hadir, sekaligus sebagai hidangan mereka (Anjar Any, 1986: 114). 7). “Upacara midodareni” Malam sebelum berlangsunganya pernikahan disebut malam midodareni. Di rumah pengantin wanita diselenggarakan malam tirakatan. Malam tirakatan dilaksanakan dengan tujuan mengharap kedatangan “widodari sekethi kurang siji”, yaitu bidadari dari kayangan yang berjumlah sepuluh ribu kurang satu (sebagai pelengkap kurangnya adalah pengantin wanita). Calon pengantin wanita pada waktu itu didudukkan sendirian di pelaminan dengan penjagaan ketat. Kurang lebih pukul 00.03 dihidangkan “majemukan” yaitu nasi uduk dengan ayam utuh disertai lalapan mentah yaitu kol, biji kacang panjang, jengkol, kedelai hitam digoreng, dll, dan selesailah acara midodareni (Anjar Any, 1986: 116).
b. Upacara Pelaksanaan Pernikahan 1). Upacara Ijab-kabul Upacara Ijab merupakan syarat yang paling penting dalam mengesahkan pernikahan. Pelaksanaan ijab sesuai dengan agama dari pasangan pengantin. Pada saat ijab orang tua pengantin perempuan menikahkan anaknya dengan pengantin pria. Dan pengantin pria menerima nikahnya pengantin wanita yang disertai dengan penyerahan mas kawin untuk pengantin wanita. Pada saat ijab, disaksikan oleh Penghulu atau pejabat pemerintah yang akan mencatat pernikahan mereka (Satuti Yamin, 1989: 48). 2). Upacara “Panggih” (bertemunya pengantin) Upacara panggih adalah pertemuan antara pengantin wanita dengan pengantin laki-laki yang tampan di depan rumah yang di hias dengan tanaman
23
tarub. Pengantin laki-laki diantar oleh keluarganya, tiba di rumah dari orangtua pengantin wanita dan berhenti di depan pintu gerbang. Pengantin wanita di antar oleh dua wanita yang dituakan, berjalan keluar dari kamar pengantin. Orang tuanya dan keluarga dekat berjalan di belakangnya. Pengantin wanita kemudian duduk di pelaminan, menunggu datangnya pengantin pria. Pengantin wanita ditemani dua orang puteri. Orang tua pengantin wanita siap menerima kedua pengantin di depan pintu masuk. Pengantin pria yang telah diberi sadak keluar dari tempat sementaranya, diiringi oleh sanak keluarganya serta handai taulannya. Setibanya di depan pintu “pendhapa”, rombongan berhenti sebentar untuk menunggu pengantin wanita keluar dari rumahnya yang juga diiringi rombongan dan membawa sadak. Setelah kedua pengantin berhadapan, mulailah “upacara sadakan”, yakni saling melempar sadak. Dalam upacara ini ada kepercayaan, bahwa barang siapa melempar terlebih dahulu, maka nanti dalam rumah tangganya akan selalu menang (Satuti Yamin, 1989: 49). 3). Upacara Menginjak Telur Dalam upacara ini pengantin pria menginjak telur, sedangkan pengantin wanita jongkok untuk mencuci kaki pengantin pria dengan “air setaman” yang tersedia dalam “pengaron”. Telur melambangkan kegadisan mempelai wanita, sehingga dengan dipecahkannya telur tersebut, berarti kegadisan mempelai wanita sudah hilang. Mencuci kaki pengantin pria oleh mempelai wanita, mengandung makna bahwa kelak dalam menjalani rumah tangga, istri harus setia pada suaminya. Selesai mencuci kaki, pengantin wanita berdiri dengan dibantu oleh pengantin pria dan bergandengan berkaitan jari kelingkingnya, kemudian menaiki bagian bajak yaitu pasangan lembu atau kerbau. Pengantin pria di sebelah kanan, pengantin wanita di sebelah kiri. Makna menaiki bajak ialah sesudah kedua pengantin menikah, jika mendapat beban berat harus diselesaikan bersama-sama. Setelah itu, kedua pengantin berjalan menuju ke pelaminan. Saat berjalan menuju pelaminan, keduanya dikalungi sindur oleh ibu pengantin wanita (Satuti Yamin, 1989: 50).
24
4). Upacara Nasi “Walimahan” Nasi walimahan adalah nasi dengan lauk-pauk pindang. Tetapi kini sering diganti dengan nasi kuning untuk kemudahan pembuatan. Pasangan pengantin makan bersama dan menyuapi satu sama lain. Pertama, pengantin laki-laki membuat tiga bulatan kecil dari nasi dengan tangan kanannya dan di berinya ke pengantin wanita. Setelah pengantin wanita memakannya, dia melakukan sama untuk suaminya. Sekarang ini upacara kepalan nasi jarang dilakukan tetapi kedua mempelai saling suap-menyuap dengan menggunakan sendok. Setelah mereka selesai, mereka minum teh manis. Upacara itu melukiskan bahwa pasangan akan menggunakan dan menikmati hidup bahagia satu sama lain (Satuti Yamin, 1989: 51). 5). Upacara “Kacar-Kucur” Dalam upacara ini pengantin pria memberikan uang logam dan berbagai jenis biji-bijian misalnya jagung, kacang kedelai, kacang panjang, dan lain-lain ke pangkuan pengantin wanita. Hal ini melambangkan pemberian nafkah pengantin laki-laki kepada isterinya. Disusul kemudian upacara “pangkon” yaitu kedua pengantin duduk diatas kedua paha ayah pengantin wanita, sebagai lambang orang tua pengantin wanita memperlakukan sama terhadap keduanya (Satuti Yamin, 1989: 51). 6). Upacara “Ngabekti” atau “Sungkeman” Selesai upacara kacar-kucur, dilanjutkan dengan uacara ngabekti. Kedua mempelai bersujud kepada kedua orang tua untuk mohon doa restu dari orang tua mereka masing-masing. Pertama sungkem pada orang tua pengantin wanita, kemudian pada orang tua pengantin pria. Selama sungkeman sedang berlangsung, Pemaes mengambil keris dari pengantin laki-laki. Setelah sungkeman, pengantin laki-laki memakai kembali kerisnya (Satuti Yamin, 1989: 53). 7). Upacara “Kirab” Upacara “kirab” atau kirab pengantin adalah upacara yang dilakukan oleh kedua pengantin dengan berjalan mengelilingi para tamu, sampai seluruh bagian rumah dilalui. Maksud upacara ini agar para tamu dapat melihat dan mengenali kedua pengantin. Selain itu merupakan saat pertama kali kedua pengantin berjalan
25
berdampingan sebagai suami-isteri disaksikan banyak orang (Satuti Yamin, 1989: 53).
c. Upacara Sesudah Pernikahan 1). “Sungsuman” Setelah seluruh upacara selesai dan rumah orang tua pengantin wanita rapi kembali, diselenggarakan sungsuman. Sungsuman dilakukan dengan mengundang orang-orang yang membantu selama melakukan perhelatan. Upacara ini diadakan dengan makan “jenang sumsum” (bubur yang terbuat dari tepung beras dengan dituangi air gula kelapa atau “juruh”). Maksud dari “sungsuman” ini agar kelelahan selama perhelatan pernikahan dilaksanakan segera hilang dan tenaga mereka akan pulih kembali seperti sediakala. Sesuai dengan makna ungkapan “pulih balung sungsume”, yakni tulang belulang serta sungsum tubuh akan pulih kembali, sehat wal’afiat dengan memakan bubur sungsum yang disediakan oleh pihak orang tua wanita (Andjar Any, 1986: 118). 2). “Boyongan” Yang dimaksud dengan “boyongan” adalah mengajak pengantin wanita pulang ke rumah pengantin pria. Pulangnya kedua pengantin ke rumah pengantin pria ini tidak sendirian, melainkan diantar oleh sanak saudara dan handai taulan pihak pengantin wanita. Keduanya berpakaian seperti ketika melangsungkan “upacara panggih”. Di rumah pengantin pria diadakan pesta dengan mengundang sanak-saudara serta handai taulan untuk menyambut kedatangan rombongan pengantin wanita. Boyongan ini biasanya dilaksanakan setelah lima hari, dihitung dari berlangsungnya upacara “panggih”. Meskipun demikian, ada juga yang melakukan boyongan pada hari pernikahan itu juga (Andjar Any, 1986: 118). Berdasarkan beberapa pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa persepsi remaja tentang pernikahan adat Jawa adalah proses pemahaman remaja yang dipengaruhi oleh faktor internal (kebutuhan, suasana hati, kemampuan dan motivasi) dan faktor eksternal (kesehatan, kelengkapan organ tubuh seseorang dan kebiasaan) yang disertai dengan proses penginderaan terhadap peristiwa
26
suatu perkawinan yang dilaksanakan menurut aturan-aturan yang dimiliki oleh masyarakat Jawa yang beraku sejak zaman dahulu.
2. Lingkungan Sosial a.
Pengertian Lingkungan Sosial Menurut Nursid Sumaatmaja (1981: 72) lingkungan merupakan semua
kondisi yang berpengaruh terhadap pertumbuhan dan karakter atau segala sesuatu yang berpengaruh terhadap pertumbuhan dan karakter makhluk hidup, semuanya termasuk lingkungan. Macam-macam lingkungan menurut Abu Ahmadi dan Nur Uhbiyati (2001: 64-66) adalah sebagai berikut: 1. Lingkungan dalam, berupa cairan yang meresap ke dalam tubuh manusia yang berasal dari makanan dan minuman, yang dapat menimbulkan cairan dalam jaringan tubuh. 2. Lingkungan fisik, lingkungan sekitar kita, yang meliputi jenis tumbuhtumbuhan, hewan, tanah, rumah, jenis makanan, dsb. 3. Lingkungan budaya, adalah lingkungan yang berwujud kesusastraan, kesenian, ilmu pengetahuan, adat-istiadat dan lainnya. 4. Lingkungan sosial, meliputi bentuk hubungan antara manusia satu dengan manusia lainnya. 5. Lingkungan spiritual, adalah lingkungan yang berupa agama, keyakinan yang dianut masyarakat sekitarnya dan ide-ide yang muncul dalam masyarakat dimana akan hidup. Dari pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa macam-macam lingkungan baik lingkungan dalam, fisik, budaya, sosial, sangat berhubungan erat dengan kehidupan manusia, karena lingkungan merupakan tempat atau keadaan yang ada di sekitar manusia. Menurut Seratain yang dikutip oleh M. Ngalim purwanto (1990: 28) lingkungan dapat dibagi menjadi tiga, yaitu: 1) Lingkungan alam/luar (external or physical environtmen) 2) Lingkungan dalam (internal environtmen), dan 3) Lingkungan sosial atau masyarakat (social environtment) Penjelasan dari pendapat tersebut adalah:
27
1) Lingkungan alam/luar (external or physical environtmen) Lingkungan alam/luar adalah lingkungan yang mempengaruhi manusia secara alami. Lingkungan ini berupa keadaan nyata di sekelilingnya yang dialami manusia dalam kehidupannya. 2) Lingkungan dalam (internal environtmen) Lingkungan dalam adalah berupa cairan yang meresap ke dalam tubuh manusia yang berasal dari makanan dan minuman yang menimbulkan cairan dalam jaringan tubuh. Lingkungan ini sangat berpengaruh terhadap perkembangan dan pertumbuhan seseorang. Apabila cairan yang masuk ke dalam diri seseorang baik, maka akan menghasilkan suatu tenaga yang bermanfaat untuk melakukan aktivitas atau kegiatan. 3) Lingkungan sosial atau masyarakat (social environtment) Lingkungan sosial merupakan lingkungan yang ada dalam masyarakat secara umum. Lingkungan ini berada di sekeliling manusia yang dapat mempengaruhi aktifitas manusia. Sertain (1990: 3) mengemukakan bahwa “Lingkungan sosial adalah semua orang atau manusia lain yang mempengaruhi kita”. Amsyari (1989: 11-12) menyatakan bahwa lingkungan sosial adalah makhluk-makhluk lain yang di sekitarnya seperti serangga, tanaman, dan bahkan orang lain yang dikenal. Sedangkan Nursid Sumaatmaja (1985: 64) menyatakan lingkungan sosial termasuk semua manusia yang ada di sekitar seseorang atau di sekitar suatu kelompok. Lingkungan sosial ini dapat berbentuk perorangan, maupun dalam bentuk kelompok, keluarga, teman sepermainan, tetangga, warga desa, warga kota, bangsa dan seterusnya. Masa remaja memang masa yang penuh dengan bergaul. Remaja biasanya lebih suka dengan pergaulan yang bebas dan bergaul dengan teman sebayanya, karena teman sebaya dapat dijadikan teman untuk bicara yang akrab dan teman curhat (curahan hati). Walaupun orang tua juga dapat dijadikan teman untuk bicara, tetapi para remaja lebih suka bercerita dan bergaul dengan temannya, sehingga para remaja harus lebih hati-hati dalam memilih teman.
28
Pergaulan masa remaja terbentuk seiring dengan bertambahnya wawasan remaja terhadap lingkungan pergaulannya. Menurut Simamora (1993: 104-105) aspek lingkungan pergaulan remaja merupakan tempat sosialisme remaja. Tempat sosialisme remaja meliputi tiga tempat, antara lain: 1) Lingkungan keluarga 2) Lingkungan kelompok sebaya 3) Lingkungan sekolah Dari pendapat di atas dapat dijelaskan bahwa lingkungan-lingkungan tersebut meliputi: 1) Lingkungan keluarga Lingkungan keluarga merupakan lingkungan sosialisasi atau pergaulan remaja pertama. Lingkungan keluarga sangat penting karena dapat mempengaruhi sikap remaja dalam bergaul di lingkungan luar. Lingkungan pergaulan remaja dalam lingkungan keluarga di sini hubungannya dengan orang tua dan saudara. a) Orang tua Orang tua merupakan lingkungan pergaulan remaja yang paling utama di rumah, adanya kehadiran orang tua dapat mempengaruhi perkembangan anak( remaja). b) Saudara Saudara merupakan orang kedua setelah orang tua dalam lingkungan pergaulan remaja. Saudara disini juga dapat memberikan pengaruh terhadap remaja. 2) Lingkungan kelompok sebaya dan lingkungan masyarakat. Lingkungan kelompok sebaya merupakan lingkungan pergaulan remaja yang penting setelah lingkungan keluarga. Lingkungan kelompok sebaya dapat mempengaruhi perilaku remaja yang bersangkutan. Lingkungan pergaulan remaja dalam lingkungan kelompok sebaya hubungannya dengan teman bermain, teman karang taruna dan masyarakat.
29
3) Lingkungan sekolah Pergaulan di sekolah penting pada masa remaja karena remaja pada umumnya berstatus sebagai pelajar. Pergaulan remaja di sekolah yang meliputi pergaulan dengan teman sekelas, pergaulan di lingkungan organisasi sekolah, pegaulan dengan guru merupakan aspek yang penting dalam membentuk perilaku remaja. Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa perilaku remaja dapat dipengaruhi oleh lingkungan di sekitarnya. Menurut Van der Linden dan Roeders yang dikutip oleh F.J. Monks, Knoers, Siti Rahayu handitono (1992: 272) ”Remaja memperoleh banyak informasi dan nilai-nilai melalui sekolah sendiri, tetapi juga melalui kontak dengan teman–teman sebayadari keluarga dan lingkungan yang berlainan”. Mengenai hubungan atau sikap individu terhadap lingkungan, yaitu dengan cara: pertama, individu menolak lingkungan, ini terjadi apabila individu tidak sesuai dengan keadaan lingkungannya. Dengan keadaan yang demikian ini, individu dapat memberikan bentuk pada lingkungan sesuai yang diharapkan oleh individu yang bersangkutan. Contohnya dalam kehidupan bermasyarakat, kadangkadang orang tidak cocok dengan norma-norma yang ada dalam lingkungannya; kedua, individu menerima lingkungan, yaitu apabila keadaan lingkungan sesuai atau cocok dengan keadaan individu. Dengan demikian individu akan menerima keadaan lingkungan tersebut; ketiga, individu bersifat netral, yaitu bila individu tidak cocok dengan lingkungan, tetapi individu bersikap biasa saja dan tidak mengambil langkah-langkah bagaimana yang akan ia lakukan (M.Ngalim Purwanto, 1990: 30). Pada masyarakat desa, usaha pemerintah kearah mengembangkan atau membangun desa ialah : pertama, menempatkan warga desa dalam kedudukan yang sebenarnya sebagai warga desa dalam wadah Indonesia, artinya tidak ada perbedaan status antara penduduk desa dengan penduduk kota seperti pada zaman kolonial. Kedua, mengusahakan agar corak kehidupan dan penghidupan warga desa dapat ditingkatkan atas dasar pikiran yang logis, fragmatis dan rasional. Ketiga, mengusahakan agar warga desa dapat lebih bersifat realistis, kreatif,
30
dinamis dan fleksibel dalam menghadapi kesulitan-kesulitan yang dijumpai, sehingga lebih dapat meningkatkan semangat pembangunannya. Dalam hal ini maka desa akan mengalami modernisasi, sehingga pewarisan nilai-nilai luhur dari generasi satu ke generasi yang berikutnya tentu akan memperhatikan prosesproses penyesuaian dalam rangka menuju masyarakat modern (Bintarto, 1991: 1819). Dalam setiap masyarakat, dijumpai suatu proses, dimana seorang anggota masyarakat yang baru (misalnya seorang bayi) akan mempelajari norma-norma dan kebudayaan masyarakat dimana dia menjadi anggota yang mendatangkan interaksi sosial. Adapun yang dimaksud interaksi sosial yaitu hubungan timbal balik antara individu dengan individu, kelompok dengan kelompok (Soerjono Soekanto, 1982: 29). Hati nurani, norma-norma, cita-cita pribadi tidak mungkin terbentuk dan berkembang tanpa manusia itu bergaul dengan manusia lainnya, oleh karena itu tanpa pergaulan sosial manusia tidak dapat berkembang sebagai manusia selengkap-lengkapnya (Gerungan, 1966: 29). Pola hubungan dalam kehidupan bermasyarakat dapat dijelaskan sebagai berikut: 1). Interaksi sosial a). Pengertian Interaksi Sosial Salah satu sifat manusia adalah keinginan untuk hidup bersama dengan makhluk lainnya. Dalam hidup bersama antara manusia dan manusia atau manusia dan kelompok tersebut terjadi hubungan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya. Melalui hubungan itu manusia ingin menyampaikan maksud, tujuan, dan keinginannya masing-masing. Sedangkan untuk mencapai keinginannya itu harus diwujudkan dengan tindakan melalui hubungan timbal-balik. Hubungan iniah yang disebut dengan interaksi. Interaksi terjadi apabila satu individu melakukan tindakan sehingga menimbulkan reaksi dari-individu-individu lain. Basrowi (2005: 138) menyatakan bahwa “Interaksi sosial adalah hubungan yang dinamis yang mempertemukan orang dengan orang, kelompok dengan kelompok maupun orang dengan kelompok manusia”. Bentuk interaksi tersebut
31
tidak hanya bersifat kerja sama, tetapi bisa juga berbentuk tindakan persaingan, pertikaian dan sejenisnya. Bimo Walgito (1978: 57) menyatakan bahwa : Sebagai makhluk sosial manusia mempunyai dorongan atau motif untuk mengadakan hubungan dengan orang lain, manusia mempunyai dorongan sosial. Dengan adanya dorongan atau motif sosial pada manusia, maka manusia akan mencari orang lain untuk mengadakan hubungan atau untuk mengadakan interaksi. Dengan demikian akan terjadi interaksi antara manusia atau dengan manusia yang lain. Kimbal Young dan Raymond dalam Soekanto (1984: 50) mengemukakan bahwa “Interaksi sosial merupakan kunci dari semua kehidupan sosial, oleh karena tanpa interaksi sosial, tak mungkin ada kehidupan bersama”. Bertemunya orang perorangan secara badaniyah belaka tidak akan menghasilkan pergaulan, hidup semacam itu baru akan terjadi apabila orang-orang atau kelompokkelompok manusia bekerja sama, saling berbicara, dan seterusnya untuk mencapai suatu tujuan bersama. Oleh sebab itu, dapat dikatakan bahwa interaksi sosial adalah dasar proses-proses sosial. b). Faktor yang mendasari interaksi sosial Soerjono Soekanto (1990: 63) menyatakan bahwa faktor-faktor yang mendasari interaksi sosial adalah: a). Faktor Imitasi Imitasi merupakan dorongan untuk meniru orang lain. Imitasi mempunyai peranan yang sangat penting dalam proses interaksi sosial. Salah satu segi positifnya adalah bahwa imitasi dapat mendorong untuk mematuhi kaidah-kaidah dan nilai-nilai yang berlaku. Namun demikian, imitasi mungkin pula mengakibatkan terjadinya hal-hal yang negatif di mana misalnya, yang ditiru adalah tindakan-tindakan yang menyimpang (Soerjono Soekanto, 1990: 63). b). Faktor Sugesti Yang dimaksud dengan sugesti ialah pengaruh psikis yang pada umumnya diterima tanpa adanya kritik dari individu yang bersangkutan. Pengaruh psikis tersebut ada yang datang dari diri sendiri, maupun yang datang dari orang lain. Karena itu sugesti dapat dibedakan (1) auto-sugesti, yaitu sugesti terhadap diri
32
sendiri, dan (2) hetero-sugesti, yaitu sugesti yang datang dari orang lain (Bimo Walgito, 1978: 59). Faktor sugesti berlangsung apabila seseorang memberikan suatu pandangan atau sesuatu sikap yang berasal dari dirinya yang kemudian diterima oleh pihak lain. Berlangsungnya sugesti dapat terjadi karena pihak yang menerima dilanda oleh emosi, hal mana menghambat daya berpikirnya secara rasional (Soerjono Soekanto, 1990: 63). c). Faktor identifikasi Identifikasi merupakan kecenderungan-kecenderungan atau keinginankeinginan dalam diri seseorang untuk menjadi sama dengan pihak lain. Proses identifikasi dapat berlangsung dengan sendirinya, maupun tidak disengaja oleh karena seringkali seseorang memerlukan tipe-tipe ideal tertentu di dalam proses kehidupannya.
Walaupun
dapat
berlangsung
dengan
sendirinya,
proses
identifikasi berlangsung dalam suatu keadaan di mana seseorang yang beridentifikasi benar-benar mengenal pihak lain, sehingga pandangan, sikap maupun kaidah-kaidah yang berlaku pada pihak lain tadi dapat melembaga dan bahkan menjiwainya (Soerjono Soekanto, 1990: 63-64). Masa perkembangan individu paling banyak melakukan identifikasi kepada orang lain adalah pada masa remaja. Dalam masa ini individu melepaskan identifikasinya dengan orang tua dan mencari norma-norma sosial sendiri. Karena itu dalam masa remaja banyak anak remaja mencari identifikasi pada orang-orang dalam masyarakat yang dianggapnya ideal bagi yang bersangkutan (Bimo Walgito, 1978: 64). d). Faktor simpati Simpati merupakan proses di mana seseorang merasa tertarik pada pihak lain. Di dalam proses ini perasaan memegang peranan yang sangat penting, walaupun dorongan utama pada simpati adalah keinginan untuk memahami pihak lain dan untuk untuk bekerja sama dengan pihak lain. Proses simpati akan dapat berkembang di dalam suatu keadaan di mana faktor saling mengerti terjamin (Soerjono Soekanto, 1990: 64).
33
Dalam antipati individu menunjukkan adanya rasa penolakan pada orang lain. Simpati berkembang dalam hubungan individu satu dengan individu yang lain, demikian pula antipati. Dengan timbulnya simpati, akan terjalin saling pegertian yang mendalam antara individu satu dengan individu yang lain. Dengan demikian maka interaksi sosial yang berdasarkan atar simpati akan jauh lebih mendalam bila dibandingkan dengan interaksi baik atas dasar sugesti maupun imitasi (Bimo Walgito, 1978: 64). 2). Norma-norma Sosial Secara sederhana norma-norma merupakan pedoman atau patokan perilaku yang bersumber dari nilai-nilai dalam masyarakat. Pedoman perilaku tersebut didasarkan pada konsepsi-konsepsi yang abstrak tentang apa yang baik dan apa yang buruk. Jadi dapatlah dinyatakan bahwa norma-norma merupakan wujud konkrit dari nilai-nilai ; pedoman yag berisikan suatu keharusan, kebolehan, dan larangan. Norma-norma dapat pula disebut suatu standart atau skala yang terdiri dari berbagai kategori tingkah laku. Norma-norma kemasyarakatan memberikan petunjuk bagi perilaku seseorang yang hidup di dalam masyarakat (Soerjono Soekanto, 1990: 200). Secara
sosiologis
norma-norma
sosial
itu
tumbuh
dari
proses
kemasyarakatan, yang merupakan hasil dari kehidupan bermasyarakat. Individu dilahirkan dalam suatu masyarakat dan disosialisasikan untuk menerima aturanaturan dari masyarakat yang sudah ada sebelumnya. Emile Durkheim (1990: 67) menyatakan bahwa “Norma-norma sosial itu adalah sesuatu yang berada di luar individu, membatasi mereka dan mengendalikan tinggkah laku mereka”. Menurut Berry yang dikutip oleh Soleman B. Taneko (1990: 68) “Unsur pokok dari suatu norma adalah tekanan sosial terhadap anggota-anggota masyarakat
untuk
menjalankan
norma-norma
tersebut”.
Latar
belakang
pemikirannya adalah aturan-aturan yang dikuatkan oleh desakan sosial. Desakan sosial ini merupakan pertanda bahwa norma-norma itu benar-benar telah menjadi norma sosial, sebab norma disebut sebagi norma sosal bukan saja karena telah
34
mendapatkan sifat kemasyarakatannya, akan tetapi telah dijadikan patokan dalam perilaku. Alvin L. Betrand yang dikutip dalam Basrowi (2005: 88) mendefinisikan, “Norma sebagai suatu standar-standar tingkah laku yang terdapat di dalam semua masyarakat”. Norma sebagai suatu bagian dari kebudayaan nonmateri, normanorma tersebut menyatakan konsepsi-konsepsi teridealisasi dari tingkah laku. Sudah barang tentu, tingkah laku erat hubungannya dengan apa yang menurut pendapat seseorang itu benar atau baik, walaupun begitu, tingkah laku yang sebenarnya dipandang sebagai suatu apek dari organisasi sosial. Dari pengertian di atas dapat diambil suatu kesimpulan bahwa norma sosial adalah standar-standar tingkah laku yang terdapat di dalam semua masyarakat, yang membatasi mereka dan mengendalikan tingkah laku mereka. Norma sosial dibuat secara sadar yang bersumber dari nilai-nilai baik dan buruk dalam suatu masyarakat. Peraturan tersebut berisi suatu keharusan dan larangan yang berfungsi untuk mengendalikan perilaku individu dalam masyarakat. Dengan demikian lingkungan sosial yang mencakup interaksi dan normanorma sosial sangat berhubungan dengan pola prilaku anak remaja. Anak remaja hidup dan dibesarkan di lingkungan masyarakat sehingga secara otomatis melakukan interaksi dengan masyarakat di sekitarnya. Selain itu, dalam bermasyarakat sudah barang tentu prilaku remaja juga memperhatikan normanorma yang berlaku dalam masyarakat. Dalam hal ini, lingkungan sosial yang mendukung nilai-nilai tradisional akan membawa dampak positif terhadap sikap remaja untuk melestarikan budaya Jawa. Dari pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa lingkungan sosial adalah segala sesuatu yang ada di sekitar manusia dan segala aturan lain yang saling mempengaruhi dalam kehidupan bermasyarakat, yang dalam hal ini mencakup interaksi remaja dan norma-norma masyarakat di sekitarnya. Interaksi sosial merupakan hubungan yang tertata dalam bentuk tindakan–tindakan yang berdasarkan nilai-nilai dan norma-norma sosial yang berlaku dalam masyarakat.
35
3. Tinjauan Tentang Sikap Pelestarian Budaya Jawa a.
Sikap 1). Pengertian Sikap Thrustone (lih. Edwars, 1957: 2) memgemukakan bahwa sikap sebagai suatu
tingkatan afeksi yang bersifat positif maupun negatif dalam hubungannya dengan obyek-obyek psikologis. Afeksi yang positif, yaitu afeksi senang, sedangkan afeksi negatif adalah afeksi yang tidak menyenangkan. Dengan demikian obyek dapat menimbulkan berbagai macam sikap, dapat menimbulkan berbagai macam tingkatan afeksi pada seseorang. Newcomb (1965: 40) menghubungkan sikap dengan komponen kognitif dan komponen konatif. Rokeach (1968: 112) dalam pengertian sikap telah terkandung komponen kognitif dan juga komponen konatif, yaitu sikap merupakan predisposing untuk merespon, untuk berperilaku. Sedangkan Gerungan (1966: 151) mendefinisikan sikap sebagai berikut: Pengertian attitude itu dapat kita terjemahkan dengan kata sikap terhadap obyek tertentu, yang dapat merupakan sikap pandangan atau sikap perasaan, tetapi sikap mana dipengaruhi oleh kecenderungan bertindak sesuai dengan sikap terhadap objek tadi. Jadi attitude itu lebih tepat diterjemahkan sebagai sikap dan kesediaan bereaksi terhadap sesuatu hal. Dari bermacam-macam pendapat tersebut dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa sikap itu merupakan organisasi pendapat, keyakinan seseorang mengenai obyek atau situasi yang relatif ajeg, yang disertai adanya perasaan tertentu, dan memberikan dasar kepada orang tersebut untuk membuat respons atau berperilaku dalam cara yang tertentu yang dipilihnya. 2). Komponen – komponen Sikap Baron, Byrne, dan Myers dalam “Psikologi Sosial” karangan Bimo Walgito (1990: 111) menyatakan bahwa sikap melibatkan 3 komponen yang saling berhubungan, antara lain : 1) Komponen cognitive : berupa pengetahuan, kepercayaan atau pikiran yang didasarkan pada informasi, yang berhubungan dengan obyek.
36
2) Komponen affective : menunjuk pada dimensi emosional dari sikap, yaiu emosi yang berhubungan dengan obyek, obyek disini dirasakan sebagai menyenangkan atau tidak menyenangkan. 3) Komponen behavior : melibatkan salah satu predisposisi untuk bertindak terhadap obyek. 3). Pembagian Sikap Sikap dapat dibedakan atas : 1) Sikap positif : sikap yang menunjukkan atau memperlihatkan, menerima, mengakui, menyetujui, serta melaksanakan norma-norma yang berlaku dimana individu itu berada. 2) Sikap negatif : sikap yang menunjukkan atau memperlihatkan penolakan atau tidak menyetujui terhadap norma-norma yang berlaku dimana individu berada. Apabila individu memiliki sikap yang positif terhadap suatu obyek ia akan siap membantu, memperhatikan, berbuat sesuatu yang menguntungkan obyek itu. Sebaliknya bila ia memiliki sikap yang negatif terhadap suatu obyek, maka ia akan mengecam, mencela, menyerang bahkan membinasakan obyek itu. b. Pelestarian Di dalam kamus besar Bahasa Indonesia kata pelestarian berasal dari kata lestari yang artinya tetap sediakala, tidak mengalalami perubahan. Sedangkan kata lestari manjadi pelestarian berarti proses, cara mengusahakan agar sesuatu itu tetap sediakala tidak berubah (Bedudu, 1996: 807). Bila dikaitkan dengan kebudayaan daerah, proses mengusahakan agar kebudayaan itu tetap sediakala tidak berubah. Widjaya (1988: 19) mengartikan pelestarian sebagai segala kegiatan yang dilakukan secara terus menerus, terarah dan terpadu guna mewujudkan tujuan tertentu yang mencerminkan adanya sesuatu yang tetap abadi, bersifat dinamis, luwes dan selektif. Sedangkan Rupaka (1995: 32) mengemukakan bahwa pelestarian berarti usaha untuk membina, menjaga dan mewariskannya secara
37
turun-temurun. Maksudnya agar kebudayaan daerah itu dibina dan dijaga dengan penuh kesetiaan, diwariskan secara turun-temurun dalam perjalanan hidupnya. Dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa pelestarian adalah proses mengusahakan agar kebudayaan itu tetap sediakala tidak berubah dengan cara membina, menjaga dan mewariskannya secara turun-temurun. c. Kebudayaan Jawa 1). Pengertian Kebudayaan Jawa Kata kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta “Budhayah”, yaitu bentuk jamak dari buddhi yang berarti budi atau akal. Kebudayaan diartikan sebagai halhal yang bersangkutan dengan akal (Soerjono Soekanto, 1990: 172). Adapun istilah lain culture yang merupakan istilah bahasa asing yang sama artinya dengan kebudayaan, berasal dari kata latin colere, artinya mengolah atau mengerjakan, yaitu mengolah tanah atau bertani. Dari asal arti tersebut yaitu colere kemudian culture, diartikan sebagai segala daya dan kegiatan manusia untuk mengolah dan merubah alam (Koentjaraningrat, 1965: 77). Menurut Selo Soemarjan dan Soeleman Soemardi yang dikutip dari Soerjono Soekanto (1990: 189) mendefinisikan kebudayaan sebagai berikut: Kebudayaan sebagai semua hasil karya, rasa dan cipta masyarakat. Karya masyarakat menghasilkan teknologi dan kebudayaan kebendaan atau kebudayaan jasmaniah (material culture), yang diperlukan oleh manusia untuk menguasai alam sekitarnya agar kekuatan serta hasilnya dapat diabdikan untuk keperluan masyarakat. Kuntowijoyo (1987: XI) mengemukakan definisi tentang kebudayaan sebagai berikut: Budaya adalah sebuah sistem yang mempunyai koherensi. Bentuk-bentuk simbolis yang berupa kata, benda, laku, mite, sastra, lukisan, nyanyian, musik. Kepercayaan mempunyai kaitan erat dengan konsep epistomologis dari sistem pengetahuan masyarakatnya. Sistem simbol dan epistimologis juga tidak terpisahkan dari sistem sosial yang berupa stratifikasi sosial yang berupa stratifikasi, gaya hidup, sosialisme, agama, mobilitas sosial, organisasi kenegaraan dan seluruh perilaku sosial. Dengan demikian maka jelaslah bahwa tingkah laku sosial anggota suatu masyarakat tidak akan lepas dari kebudayaan yang pada hakekatnya merupakan
38
kompleks nilai-nilai, gagasan dan keyakinan. Namun, karena nilai-nilai, gagasan, serta keyakinan tersebut bersifat abstrak, maka hanya dapat dilihat melalui perwujudannya. Kebudaaan Jawa menurut H. Karkono Kamajaya Partokusuma (1986: 2) adalah “Pancaran atau pengejawantahan budi manusia Jawa yang merangkum ; kemauannya, cita-citanya, keselamatan, dan kebahagiaan hidup lahir batin. Yang menunjukkan identitas suatu kebudayaan adalah unsur-unsur yang menonjol dari kebudayaan itu. Sedangkan yang menjadi identitas kebudayaan Jawa adalah unsur yang
menonjol
dari
kebudayaan
Jawa.
Koentjaraningrat
(1990:
203)
mengemukakan bahwa unsur yang menonjol dari kebudayaan Jawa meliputi : bahasa dan komunikasi, kesenian dan kesusastraan, keyakinan, keagamaan, ritus, ilmu gaib dan beberapa pranata dalam organisasi sosial. 2). Wujud Kebudayaan Menurut P. Hariyono (1994: 31) kebudayaan memiliki tiga unsur wujud yaitu: 1. Sistem budaya, yaitu kompleks ide-ide dan gagasan manusia yang menjadi sumber inspirasi dan orientasi dalam menghadapi masalah kehidupan manusia. Orientasi atau pandangan ini mengkristal kuat sebagai jiwa dari sekelompok masyarakat tertentu. Gagasan itu saling berkaitan satu sama lain menjadi suatu sistem yang berpola habit of thinking. Kebudayaan ideal ini mengatur dan memberi arah kepada sekelompok masyarakat dalam memahami masalahmasalah kehidupan manusia. Setiap kelompok masyarakat berbeda dalam memahami masalah kehidupan manusia, sehingga mereka akan memiliki pola pikir dan sikap yang berbeda. Ide mengenai pemahaman masalah itu melekat kuat dalam sekelompok masyarakat dan dianggap bernilai, berharga dan penting dalam hidup, sehingga dijunjung tinggi dan berfungsi sebagai suatu pedoman yang memberi arah dan orientasi kepada kehidupan sekelompok masyarakat. Pengertian tentang pedoman di atas disebut juga nilai-nilai budaya atau orientasi nilai budaya. Pedoman ini pada gilirannya memiliki pengaruh yang luas dan mendasar pada kehidupan sekelompok masyarakat,
39
yaitu akan berpengaruh pada wujud sosial dan karya fisiknya. Oleh karena itu, sistem nilai budaya merupakan tingkat yang paling tinggi dan paling abstrak dari kebudayaan. Dalam realita, sistem budaya tidak bisa diraba dan diamati, ia terletak pada pemikiran sekelompok masyarakat. 2. Sistem sosial, yaitu tindakan berpola habit of doing dari sekelompok masyarakat. Sistem sosial ini terdiri dari pola aktivitas-aktivitas manusia yang saling berinteraksi (berhubungan) serta saling bergaul satu dengan yang lain dari waktu ke waktu, selalu membentuk dan mengikuti pola-pola tertentu yang kemudian menetap dalam bentuk adat tata perilaku. Sistem ini dapat diobservasi, difoto, didokumentasi dan diamati, tetapi tidak bisa diraba. Ukuran atau pedoman yang dianut orang lain disebut dengan nilai-nilai sosial. Nilai-nilai sosial ini biasanya dipengaruhi oleh nilai-nilai yang dianut. 3. Kebudayaan fisik, merupakan keseluruhan hasil fisik, perbuatan dan karya manusia dalam sekelompok masyarakat. Oleh karena itu sifatnya paling kongkret, dapat berupa benda-benda atau hal-hal yang dapat diraba. Betuk dan wujud dari karya fisik ini biasanya memiliki corak yang mencerminkan pola pikir nilai budaya dan pola tindakan sekelompok masyarakat. Menurut Soerjono Soekanto (1990: 199-200), hakikat kebudayaan adalah sebagai berikut: 1. Kebudayaan terwujud dan tersalur lewat perilaku manusia. 2. Kebudayaan telah ada terlebih dahulu mendahului lahirnya suatu generasi tertentu, dan tidak akan mati dengan habisnya usia generasi yang bersangkutan. 3. Kebudayaan diperlukan oleh manusia dan diwujudkan dalam tingkah lakunya. 4. Kebudayaan mencangkup aturan-aturan yang berisikan kewajibankewajiban, tindakan-tindakan yang diterima dan ditolak, tindakan-tindakan yang dilarang dan tindakan yang dijinkan.
40
Selain memiliki sistem budaya, masyarakat Jawa memiliki nilai-nilai yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat. P. Hariyono (1994: 44) menyatakan bahwa beberapa nilai-nilai pada masyarakat Jawa adalah sebagai berikut: 1. 2. 3. 4. 5.
Nilai kerukunan Prinsip hormat Etika kebijaksanaan Jalan tengah Perkawinan
1. Nilai Kerukunan Orang Jawa biasa hidup rukun. Tujuan dari prinsip kerukukunan ialah untuk mempertahankan keadaan masyarakat yang harmonis. Atas nama prinsip kerukunan, orang Jawa berusaha untuk menghilangkan tanda-tanda keteganan dalam masyarakat atau antar pribadi, sehingga hubungan sosial tetap harmonis dan baik. Keadaan rukun memuaskan bagi orang Jawa, sekalipun itu suatu kesan belaka yang tidak mencerminkan hakikatnya. Situasi ini cukup menggelitik, tapi justru dianggap sesuatu yang menarik dan dianggap baik (P. Hariyono, 1994: 44).
2. Prinsip hormat Suseno & Reksosusilo dalam P. Hariyono (1994: 44-45) menyatakan bahwa dalam prinsip hormat setiap orang dalam berbicara dan membawakan diri selalu harus menunjukkan sikap hormat terhadap orang lain, sesuai dengan derajat dan kedudukannya dalam masyarakat. Prinsip hormat ini didasarkan pada pendapat bahwa semua hubungan dalam masyarakat teratur secara hierarkis. Keteraturan itu bernilai pada diri sendiri, dan karena itu orang wajib untuk mempertahankan dan membawakan diri sesuai dengan susunan hirarkisnya. Atasan dihormati karena ia mewadahi lebih banyak dari kenyataan kosmis Illahi. Dalam tata nilai Jawa tradisional, sikap hormat terhadap atasan itu mestinya diimbangi oleh sikap hormat atasan terhadap bawahannya. Kehormatan sedemikian penting pada masyarakat Jawa. Segala perbuatan aib akan dipendam sedalam-dalamnya, bahkan kalau perlu adakalanya aib itu dilihat sisi positifnya atau dicari “Jalan Tengah”-nya yang dapat mengembalikan
41
kehormatan, sekalipun itu bertentangan dengan etika
misalnya. Sikap yang
terakhir sering ditemui pada orang Jawa untuk menjaga kehormatan komunitasnya. Ungkapan mikul dhuwur mendhem jero berlaku disini. Bagi orang yang kurang mengenal budaya Jawa pengertian ini sangat mengherankan dan sulit dipahami. Secara keseluruhan dapat dikatakan prinsip hormat pada masyarakat Jawa didasarkan pada kedudukan dan posisinya dalam susunan hierarkis masyarakatnya, serta upaya-upaya untuk menjaga kelestarian dan kebesaran komunitasnya (P. Hariyono, 1994: 45). 3. Etika kebijaksanaan Suseno dalam P. Hariyono (1994: 45) menyatakan orang yang bijaksana menangkap bahwa yang paling baik baginya adalah hidup yang sesuai dengan peraturan-peraturan moral, bahkan apabila itu berarti ia harus melawan nafsunafsunya dan rela untuk tidak langsung memenuhi semua kepentingan jangka pendek. Dengan demikian konsep etika kebijaksanaan orang Jawa didasarkan pada etika moral. 4. Jalan tengah Suseno & Reksosusilo dalam P. Hariyono (1994: 45-46) menyatakan bahwa dalam budaya Jawa segala sesuatu manjadi relatif dan tidak mutlak. Begitu juga norma-norma moral, hanya berlaku secara relatif. Norma-norma itu memang berlaku, tapi tidak mutlak seratus persen, jangan-jangan ia akan kehilangan jarak dan pandangan-pandangan secara keseluruhan. Dalam bersikap dan mengambil keputusan, manusia Jawa biasa menggunakan jalan tengah untuk melihat keseluruhannya. Mencari jalan tengah dirasa lebih enak, akan memudahkan orang untuk berhubungan dengan berbagai pihak serta menambah persahabatan, karena ia merangkul kedua pihak yang berjauhan itu. 5. Perkawinan Geertz dalam P. Hariyono (1994: 45-46) menyatakan bahwa pada masyarakat Jawa perkawinan merupakan suatu peristiwa yang harus terjadi pada kehidupan seseorang. Perkawinan di Jawa tidak dipandang semata-mata sebagai penggabungan dua jarinagn keluarga yang luas. Tetapi yang dipentingkan adalah pembentukan sebuah rumah tangga sebagai unit yang berdiri sendiri. Pandangan
42
ini tampak jelas didalam istilah yang lazim untuk “kawin” ialah omah-omah yang berasal dari kata omah atau rumah. Karena sekedar membentuk rumah tangga saja, maka meskipun secara ekonomi belum memadai dan masih tergantung pada orang tuanya, pasangan itu dapat dengan mudah memperoleh restu dan diijinkan kawin oleh orang tua. Dengan demikian motivasi perkawinan pada tradisi Jawa untuk mencari status perkawinan dalam susunan struktur sosial. Mereka kawin hanya sekedar kewajiban yang harus dialami oleh setiap orang. Sehingga muncul ungkapan Jawa bahwa orang dianggap belum dewasa bila belum menikah, walaupun persiapan materiil-moril belum memadai. Dari beberapa uraian di atas dapat disimpulkan bahwa sikap pelestarian budaya Jawa adalah sikap melestarikan budaya Jawa dengan mengusahakan agar kebudayaan itu tetap sediakala tidak berubah dengan cara membina, menjaga dan mewariskannya secara turun-temurun. Sikap tersebut dipengaruhi oleh komponen kognitif (pengetahuan dan kepercayaan), komponen afektif (emosi yang berhubungan dengan obyek) dan komponen behavior (perilaku), yang akan menimbulkan sikap positif maupun negatif terhadap budaya Jawa. B. Penelitian Yang Relevan Penelitian yang dilakukan oleh W. E. Soetomo Siswokartono tentang “Persepsi, Sikap dan Partisipasi Masyarakat Terhadap Upaya Perlindungan Peninggalan Sejarah. Thesis. Jakarta : Program Pasca Sarjana IKIP Jakarta 1992. Hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang berarti antara persepsi masyarakat terhadap peninggalan sejarah dengan partisipasi dalam usaha perlindunggannya pada taraf signifikansi lima persen (r = 0,58 > r = 0,11). Terdapat hubungan yang berarti antara sikap masyarakat terhadap peninggalan sejarah dengan partisipasi dalam usaha perlindungannya pada taraf signifikansi lima persen (r = 0,58 > r = 0,11). Terdapat hubungan yang berarti antara persepsi dan sikap masyarakat terhadap peninggalan sejarah secara bersama-sama dengan partisipasi dalam upaya perlindungannya pada taraf signifikansi lima persen (r = 0,67 > r = 0,11).
43
Penelitian yang dilakukan oleh Agni Era Hapsari yang berjudul “Hubungan Antara Lingkungan Sosial Budaya dan Pemahaman Nilai Sejarah dengan Sikap Pelestarian Candi Borobudur” (Studi di Masyarakat Sekitar Candi Borobudur). Skripsi. Program Pendidikan Sejarah UNS Surakarta 2003. Hasil uji hipotesis menunjukan (1). Terdapat hubugan yang signifikan antara lingkungan sosial budaya dengan sikap pelestarian Candi Borobudur, terbukti dengan t hitung = 9,114 lebih besar dari t tabel = 2,39 koefisien korelasi untuk hubungan kedua variabel adalah sebesar 0,796 dengan taksiran koefisien determinasinya 0,634 melalui regresi y = 25,844 + 0,675 X 1 ; (2). Terdapat hubungan yang signifikan antara pemahaman nilai sejarah dengan sikap pelestarian Candi Borobudur, terbukti dengan hasil perhitungan didapatkan harga untuk t hitung = 8,298 lebih besar dari t tabel =2,39. Koefisien korelasi untuk hubungan kedua variabel ini adalah sebesar 0,767dengan harga koefisien determinasinya 0,589 melalui regresi y = 53,720 + 1,362 X 2 ; (3). Terdapat hubungan antara lingkungan sosial budaya dan pemahaman nilai sejarah secara bersama-sama dengan sikap pelestarian Candi borobudur, terbukti dengan hasil perhitungan didapatkan harga untuk t hitung = 70,692 lebih besar dari t tabel = 4,98. korelasi ganda antara variabel dan dengan variabel y menghasilkan koefisien korelasi sebesar 0,866 dengan koefisien determinasinya 0,751, melalui regresi y = 32,266 + 0,439 X 1 + 0,782 X 2 . Penelitian yang dilakukan oleh Russell H. Fazio and Carol J. Williams yang berjudul “Attitude Accessibility as a Moderator of the Attitude-Perception and Attitude-Behavior Relations: An Investigation of the 1984 Presidential Election”. Journal of Personality and Social Psychology 1986, Vol. 31, No. 3, 505-514. Indiana University. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1). Correlations Between Attitudes and Perceptions and Attitudes and Voting Behavior Att. The number of respondents upon which any given correlation is based is listed in parentheses. The t value refers to the significance test of the difference between two dependent correlation coefficients. */>< .07. **p< .05. ***p< .005. (2). Correlations
44
Between Attitudes and Perceptions and Between Attitudes and Voting Behavior Within High Accessibility (HA) and Low Accessibility (LA) Groups. The number of respondents upon which any given correlation is based is listed in parentheses. The z value refers to the significance test of the difference between two independent correlation coefficients. *p < .10. **p< .05. ***p < .01. ****p < .001. (3). Multiple Correlations Using Attitudes Toward Reagan and Mondale as Joint Predictors of Perceptions and of Voting Behavior Within High and Low Accessibility Groups Accessibility.
The number of respondents is listed in
parentheses. The z value refers to the significance test of the difference between two independentcorrelation coefficients *p<.075.**p<.025. This relation between attitude-perception discrepancy and attitude behavior discrepancy also was evident within the high (average r = .314, p < .05) and within the low (average r = .398, p < .01) accessibility groups.
C. Kerangka Berfikir Pelestarian budaya Jawa sangatlah penting, mengingat perkembangan zaman saat ini yang semakin maju, membuat masyarakat mulai meninggalkan budaya tradisional. Pelestarian budaya Jawa harus dilakukan oleh masyarakat dan remaja pada khususnya. 1. Hubungan persepsi remaja tentang pernikahan adat Jawa dengan sikap pelestarian budaya Jawa. Persepsi remaja yang negatif tentang pernikahan adat Jawa akan sukar untuk menumbuhkan partisipasi remaja yang positif mengenai upaya pelestarian budaya Jawa. Dengan demikian dapat diduga adanya keterkaitan antara persepsi remaja tentang pernikahan adat Jawa dengan sikap pelestarian budaya Jawa. Persepsi remaja sangat dipengaruhi oleh pendidikan, pengalaman dan pengetahuan tentang filosofi pernikahan adat Jawa. Hal tersebut membawa pengaruh terhadap sikap pelestarian budaya Jawa karena remaja sebagai generasi penerus sangat mudah dipengaruhi oleh unsur-unsur kebudayaan luar. Sehingga, semakin positif persepsi remaja tentang pernikahan adat Jawa,
45
makin tinggi pula perhatiannya untuk melestarikan budaya Jawa. Dengan demikian dapat diduga terdapat hubungan antara persepsi remaja tentang pernikahan adat Jawa dengan sikap pelestarian budaya Jawa. 2. Hubungan lingkungan sosial dengan sikap pelestarian budaya Jawa. Manusia sebagai makhluk sosial secara alami membutuhkan hubungan dengan orang lain dan mempunyai dorongan untuk berhubungan dengan keadaan sekitarnya atau lingkungannya. Hubungan manusia dengan lingkungannya, manusia cenderung berusaha untuk menyesuaikan diri . Oleh karena itu, seseorang yang merupakan bagian dari suatu masyarakat, dalam bersikap dan bertindak tidak lepas dari pengaruh lingkungan sosial dimana orang tersebut bertempat tinggal. Apabila lingkungan berusaha tetap menghargai kebudayaan daerahnya, yang dalam hal ini salah satu contohnya adalah tetap melestarikan pernikahan adat Jawa, maka orang tersebut dengan senang hati akan mempertahankan kebudayaan daerahnya, membina dan mengembangkan serta mewariskannya kepada generasi yang akan datang. Tetapi apabila lingkunggannya tidak bersikap menghargai atau meremehkan bahkan menolak, maka orang tersebut akan bersikap kurang mendukung kebudayaan yang mereka miliki, bahkan kebudayaan tersebut akan mati atau hilang dengan sendirinya. Jadi dapat diduga lingkungan sosial seseorang mempunyai hubungan terhadap pelestarian budaya Jawa. Makin baik linkungan sosial yang mendukung nilai-nilai tradisional, makin baik pula sikap pelestarian orang tersebut terhadap budaya Jawa. Sehingga dapat diduga terdapat hubungan antara lingkungan sosial dengan sikap pelestarian budaya Jawa. 3) Hubungan antara persepsi remaja tentang pernikahan adat Jawa dan lingkungan sosial secara bersama-sama dengan sikap pelestarian budaya Jawa. Persepsi remaja tentang pernikahan adat Jawa dan lingkungan sosial sangat berhubungan dengan upaya pelestarian budaya Jawa. Jika semakin tinggi persepsi remaja tentang pernikahan adat Jawa, semakin tinggi pula kepeduliannya untuk melestarikan budaya Jawa. Begitu pula dengan lingkungan sosial, jika lingkungan sosial mendukung nilai-nilai tradisional
46
maka semakin tinggi kepedulian untuk melestarikan budaya Jawa. Apabila keduanya (persepsi remaja tentang pernikahan adat Jawa dan lingkungan sosial) bersifat positif, maka akan memperkuat terwujudnya sikap pelestarian budaya Jawa. Sehingga dapat diduga terdapat hubungan antara persepsi remaja tentang pernikahan adat Jawa dan lingkungan sosial secara bersamasama dengan sikap pelestarian budaya Jawa.
D. Hipotesis Hipotesis adalah jawaban sementara atas masalah yang sedang diteliti dan masih harus diuji kebenarannya. Berdasarkan kajian teori dan kerangka berpikir di atas maka hipotesis pada penelitian ini sebagai berikut: 1. Terdapat hubungan antara persepsi remaja tentang pernikahan adat Jawa dan sikap pelestarian budaya Jawa. 2. Terdapat hubungan antara lingkungan sosial dan sikap pelestarian budaya Jawa. 3. Terdapat hubungan antara persepsi remaja tentang pernikahan adat Jawa dan lingkungan sosial secara bersama-sama terhadap sikap pelestarian budaya Jawa.
47
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Tempat dan waktu penelitian 1. Tempat Penelitian Untuk mendapatkan data yang diperlukan dalam penelitian ini maka penulis menyesuaikan dengan masalah yang dikaji. Oleh karena itu penulis mengadakan penelitian di desa Bonyokan, kecamatan Jatinom, kabupaten Klaten. Adapun lokasi yang akan dijadikan tempat penelitian meliputi dusun-dusun yang berada di desa Bonyokan yaitu : Karang Poh, Bonyokan, Dukuh, Sawahan, Seman dan Kajen. 2. Waktu Penelitian Penelitian dalam penyusunan skripsi ini, membutuhkan waktu selama 11 bulan. Penelitian ini dimulai dari bulan September 2008 sampai dengan bulan Agustus 2009. Adapun rincian kegiatan tersebut dapat dilihat dalam tabel berikut ini : Tabel 1. Jadwal Kegiatan Penelitian Mengenai Persepsi Remaja Tentang Pernikahan Adat Jawa dan Lingkungan Sosial Terhadap Sikap Pelestarian Budaya Jawa di Desa Bonyokan, Kecamatan Jatinom, Kabupaten Kleten. N o.
Nama Kegiatan
1
Pengajuan judul Proposal penelitian Pengkajian teori Pengumpula n dan pengolahan data Penganalisis an data penelitian Penyusunan Laporan Penelitian
2 3 4
5 6
2008 Sept
Okt
Nov
2009 Des
Jan
47
Feb
Mar
Apr
Mei
Jun
Jul
Ags
48
B. Metode Penelitian 1. Metode Penelitian Metode merupakan prosedur atau cara yang ditempuh dalam mencapai tujuan. Dalam penelitian ini menggunakan metode deskriptif kuantitatif. Metode deskriptif dapat diartikan sebagai prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan atau melukiskan keadaan subyek / obyek penelitian (seseorang, lembaga, masyarakat dan lain-lain) pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana adanya (Hadari Nawawi, 1995: 82). Penelitian ini termasuk penelitian deskriptif karena berusaha memecahkan masalah yang diselidiki dengan mengungkapkan secara nyata hubungan di antara variabel. Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui besarnya korelasi antara persepsi remaja tentang pernikahan adat Jawa dan lingkungan sosial terhadap sikap pelestarian budaya Jawa. Penelitian ini bersifat korelasional karena berusaha untuk mengetahui besarnya korelasi atau hubungan antara variabel bebas dengan variabel terikat.
2. Desain Penelitian Dalam melakukan suatu penelitian diperlukan desain penelitian yang sesuai dengan penelitian yang akan dilakukan. Desain penelitian harus mengikuti metode penelitian. Desain penelitian adalah “semua proses yang diperlukan dalam perencanaan dan analisis data” (Moh Nazir, 1988: 99). Penelitian ini melukiskan keadaan yang ada terhadap masing-masing variabel bebas dan variabel terikat, maka penelitian ini bersifat deskriptif. Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui seberapa besar hubungan antara persepsi remaja tentang pernikahan adat Jawa dengan sikap pelestarian budaya Jawa. Mengetahui seberapa besar hubungan antara lingkungan sosial dengan sikap pelestarian budaya Jawa. Mengetahui seberapa besar hubungan antara persepsi remaja tentang pernikahan adat Jawa dan lingkungan sosial secara bersama-sama terhadap sikap pelestarian budaya Jawa.
49
Berdasarkan pendapat di atas, maka desain penelitian mengenai persepsi remaja tentang pernikahan adat Jawa dan lingkungan sosial terhadap sikap pelestarian budaya Jawa secara sederhana dapat digambarkan dengan skema sebagai berikut:
X1 Y X2
Gambar 1. Desain Penelitian Mengenai Persepsi Remaja tentang Pernikahan Adat Jawa dan Lingkungan Sosial terhadap Sikap Pelestarian Budaya Jawa Keterangan :
X 1 : Persepsi Remaja tentang Pernikahan Adat Jawa X 2 : Lingkungan Sosial Y : Sikap Pelestarian Budaya Jawa Pola hubungannya adalah : 1. X 1 dengan Y 2. X 2 dengan Y 3. X 1 dan X 2 secara bersama-sama dengan Y 4. X 1 dan X 2 = variabel bebas 5. Y = variabel terikat Berdasarkan skema penelitian di atas menunjukkan bahwa variabel bebas adalah variabel yang mempengaruhi variabel terikat. Dalam gambar kerangka di atas yang menjadi variabel bebas adalah persepsi remaja tentang pernikahan adat Jawa ( X 1 ) dan lingkungan sosial ( X 2 ), sedangkan variabel terikatnya adalah sikap pelestarian budaya Jawa (Y). Kerangka pemikiran di atas menunjukkan bahwa persepsi remaja tentang pernikahan adat Jawa dan lingkungan sosial memegang peranan penting dalam sikap pelestarian budaya Jawa.
50
3. Definisi Operasional Variabel Suharsimi Arikunto (1998: 97) berpendapat bahwa “Variabel adalah obyek penelitian yang berupa gejala bervariasi, misalnya jenis kelamin, berat badan dan lain sebagainya”. Adapun variabel yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah : a. Variabel bebas “Variabel bebas merupakan variabel yang mempengaruhi variabel lainnya” (Djarwanto, 1996: 11). Menurut Suharsimi Arikunto (1998: 101), variabel bebas adalah variabel yang mempengaruhi atau disebut juga sebagai variabel penyebab atau independent variabel. Adapun variabel bebas dalam penelitian ini meliputi : 1). Persepsi Remaja tentang Pernikahan Adat Jawa. a). Persepsi remaja tentang pernikahan adat Jawa adalah pandangan remaja yang dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal yang disertai dengan proses
penginderaan
terhadap
peristiwa
suatu
perkawinan
yang
dilaksanakan menurut aturan-aturan yang dimiliki oleh masyarakat Jawa yang berlaku sejak zaman dahulu. b). Indikator : pandangan mengenai pentingnya pernikahan adat Jawa, pandangan mengenai makna upacara pernikahan adat Jawa, rasa bangga terhadap upacara pernikahan adat Jawa, kepercayaan, dan pengetahuan tentang pernikahan adat Jawa. 2). Lingkungan sosial a). Lingkungan sosial adalah segala sesuatu yang ada di sekitar manusia dan segala aturan lain yang saling mempengaruhi dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam penelitian ini, penulis mengkaji tentang interaksi remaja dan norma-norma masyarakat di sekitarnya. b). Indikator : interaksi sosial, norma-norma sosial dalam masyarakat, dan nilai-nilai sosial.
51
b. Variabel Terikat Variabel terikat adalah variabel yang dipengaruhi oleh variabel
bebas.
Variabel terikat dalam penelitian ini adalah sikap pelestarian budaya Jawa. Sikap pelestarian budaya Jawa merupakan upaya yang dilakukan masyarakat untuk mempertahankan maupun melestarikan budaya Jawa. Indikator sikap pelestarian budaya Jawa antara lain : kesadaran untuk mempertahankan keberadaan budaya Jawa, rasa tanggung jawab dalam melestarikan budaya Jawa, dan upaya-upaya yang dilakukan untuk melestarikan budaya Jawa.
C. Populasi, Sampel, dan Teknik Sampling 1. Populasi Suharsini Arikunto (1998: 115) mengatakan bahwa “Populasi adalah keseluruhan subyek penelitian”. Sedangkan Burhan Nurgiantoro (2000: 20) berpendapat bahwa “Populasi adalah keseluruhan obyek penelitian yang menjadi perhatian dan pengamatan serta sebagai penyedia data”. Dapat dikatakan juga bahwa populasi adalah keseluruhan obyek yang menjadi sumber penelitian. Adapun pengertian lain dari populasi adalah seluruh penduduk yang dimaksudkan untuk diteliti (Sutrisno Hadi, 1986: 220). Populasi adalah “Totalitas semua nilai yang mungkin, baik hasil menghitung atau pengukuran, kuantitatif ataupun kualitatif mengenai karakteristik tertentu dari semua anggota kumpulan yang lengkap dan jelas yang ingin dipelajari sifat-sifatnya” (Sudjana, 1996: 161). Dari beberapa pendapat di atas dapat diambil kesimpulan bahwa populasi adalah keseluruhan obyek penelitian yang menjadi perhatian dan sebagai penyedia data. Dalam penelitian ini yang menjadi populasi adalah remaja yang usiannya 1324 tahun di desa Bonyokan, kecamatan Jatinom, kabupaten Klaten.
2. Sampel Sampel adalah bagian-bagian dari keseluruhan yang menjadi obyek sesungguhnya dari suatu penelitian (Koentjaraningrat, 1986: 89). Menurut Burhan
52
Nurgiyantoro (2000: 21) “Sampel adalah sebuah kelompok anggota yang menjadi bagian dari populasi sehingga memiliki karakteristik populasi”. Sedangkan Suharsimi Arikunto (1998: 117) berpendapat bahwa “Sampel adalah sebagian atau wakil populasi yang diteliti”. Sutrisno Hadi (1984: 117) berpendapat bahwa “Sampel adalah sejumlah penduduk yang jumlahnya kurang dari populasi”. Proporsi dari sampel yaitu perimbangan antara jumlah sampel dan jumlah populasi, mungkin sangat besar, mungkin juga sangat kecil. Dari beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa sampel adalah bagian dari populasi yang menjadi obyek penelitian, yang mewakili populasi penelitian. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagian remaja di desa Bonyokan, kecamatan Jatinom, kabupaten Klaten, yang diambil 50 remaja dari kurang lebih 484 remaja yang menjadi populasi.
3. Teknik Pengambilan Sampel / Teknik Sampling Sutrisno Hadi (1989: 22) mengemukakan bahwa “Sampling adalah cara atau teknik yang digunakan untuk mengambil sampel”. Sedangkan Bambang Suwarno (1987: 1) berpendapat bahwa : Pengertian dasar dari pada penarikan sampel (sampling) adalah bahwa kita dapat memperoleh informasi yang mendalam, terperinci, dan efisien dari suatu kumpulan orang, rumah tangga atau lembaga-lembaga atau satuansatuan lainya yang sangat besar jumlah dari hanya sebagian kecil contoh atau sampel yang dikumpulkan secara hati-hati dan teliti. Sampling adalah metodologi untuk menyeleksi individu-individu masuk ke dalam sampel yang representatif. Metodologi sampling yang representatif pada dasarnya menyangkut masalah sampai dimanakah ciri-ciri yang terdapat dalam sampel yang terbatas itu benar-benar menggambarkan keadaan sebenarnya dalam keseluruhan dari populasi (Koentjaraningrat, 1986: 89). Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa teknik sampling adalah suatu cara yang digunakan untuk menentukan atau mengambil sampel yang benar-benar mewakili populasi. Dalam penelitian ini pengambilan sampel menggunakan
53
teknik proporsional random sampling. Dalam penelitian ini mengambil 10% dari jumlah populasi 484 . Jadi jumlah sampel dalam penelitian ini adalah 50. Adapun perincian jumlah sampel dengan pengambilan perwakilan 10 % dari setiap dusun di desa Bonyokan adalah sebagai berikut : Tabel 2. Jumlah Populasi dan Sampel Nama Dusun
Jumlah Populasi
Jumlah Sampel
Bonyokan
125
13
Karangpoh
161
16
Dukuh
25
3
Sawahan
37
4
Seman
100
10
Kajen
36
4
Jumlah
484
50
D. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang peneliti gunakan adalah angket. Angket atau kuesioner adalah “Usaha mengumpulkan informasi dengan menyampaikan sejumlah pertanyaan tertulis, untuk dijawab secara tertulis pula oleh responden”. (Hadari Nawawi, 1995: 117) Data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah data tentang persepsi remaja tentang pernikahan adat Jawa, lingkungan sosial dan sikap pelestarian budaya Jawa. Untuk mengumpulkan data tersebut peneliti menggunakan angket (kuisioner). Adapun instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah instrument angket skala Likert (sikap). Angket tersebut dipakai untuk menjaring data dari variabel-variabel yang ada yaitu : 1. Variabel X 1 atau variabel persepsi remaja tentang pernikahan adat Jawa. 2. Variabel X 2 atau variabel lingkungan sosial. 3. Variabel Y atau variabel sikap pelestarian budaya Jawa. Pengukuran ketiga variabel yaitu persepsi remaja tentang pernikahan adat Jawa, lingkungan sosial dan sikap pelestarian budaya Jawa menggunakan teknik
54
skala Likert. Skala Likert mempunyai 5 kategori jawaban yaitu: sangat setuju, setuju, ragu-ragu, tidak setuju dan sangat tidak setuju. Kelima kategori jawaban tersebut di beri penilaian dengan skala ordinal sebagai berikut: 1) 2) 3) 4) 5)
Sangat setuju (SS) diberi skor 5 Setuju (S) diberi skor 4 Ragu-ragu (R) diberi skor 3 Tidak setuju (TS) diberi skor 2 Sangat tidak setuju (STS) diberi skor 1
Adapun skor penilaian dari pertanyaan yang bersifat positif dan pertanyaan yang bersifat negatif adalah sebagai berikut : Tabel 3. Skala Penilaian Skor Angket Pertanyaan
SS
S
R
TS
STS
Pertanyaan Positif
5
4
3
2
1
Pertanyaan Negatif
1
2
3
4
5
Angket sebagai alat pengumpul variabel penelitian harus disusun dengan baik agar dapat megukur variabel secara tepat. Langkah-langkah yang peneliti gunakan dalam menyusun angket adalah sebagai berikut : 1) Menetapkan tujuan Angket dalam penelitian ini bertujuan untuk memperoleh data tentang persepsi remaja tentang pernikahan adat Jawa dan lingkungan sosial terhadap sikap pelestarian budaya Jawa daerah setempat. 2) Membuat definisi konseptual tiap variabel. 3) Merangkum definisi konseptual tiap variabel ke dalam definisi operasional. 4) Meyusun kisi-kisi angket atau indikator Kisi-kisi angket diperlukan untuk memperjelas dan melihat permasalahan yang akan dituangkan dalam angket serta untuk mempermudah menjawab butir-butir pertanyaan dalam angket. 5) Menyusun angket a. Membuat surat pengantar b. Membuat pedoman pengisian angket c. Membuat pertanyaan sekaligus alternatif jawaban
55
d. Memberikan skor angket.
E. Uji Validitas dan Reliabilitas Instrumen Dalam pembuatan instrumen penelitian tidak sekaligus dapat selalu baik seperti yang kita inginkan, maka dalam penelitian ini instrumen yang dibuat harus diukur lebih dahulu ketepatan (validitasnya) dan keajegannya (reliabilitasnya). Lokasi yang dijadikan tempat uji coba instrumen dalam penelitan ini meliputi dusun-dusun yang berada di desa Bonyokan, kecamatan Jatinom, kabupaten Klaten yaitu : Karang Poh, Bonyokan, Dukuh, Sawahan, Seman dan Kajen. 1. Validitas Instrumen Validitas megandung makna sejauhmana ketepatan dan kecermatan suatu alat ukur dalam melakukan fungsi ukurnya. Suatu instrumen pengukur dapat dikatakan mempunyai validitas yang tinggi apabila alat tersebut memberikan hasil ukur yang sesuai dengan maksud dilakukannya ukuran tersebut. Tes yang menghasilkan data yang tidak relevan dengan tujuan pengukuran dikatakan sebagai tes yang memiliki validitas rendah. (Saifuddin Azwar, 1997: 5). Dalam penelitian ini, uji validitas dilaksanakan dengan dua cara yaitu validitas isi (content validity) dan validitas konstruksi (construct validity). Validitas isi dilakukan dengan mengkonsultasikan daftar pertanyaan kepada para pakar yang mengetahui masalah yang sedang diteliti. Sedangkan validitas konstruksi dengan rumus korelasi product moment. Untuk mengetahui validitas angket, penulis menggunakan teknik korelasi product moment dari Pearson. Adapun rumus korelasi preoduct moment yang dikemukakan oleh Pearson adalah sebagai berikut : rxy =
N å XY - (å X )(å Y )
{N å X
2
}{
- (å X ) 2 N å Y 2 - (å Y ) 2
}
(Suharsimi Arikunto, 2006: 170) Keterangan :
56
rxy : koefisien korelasi
N
: jumlah responden
X
: skor total tiap-tiap item
Y
: skor total
X 2 : jumlah kuadrat dari X Y 2 : jumlah kuadrat dari Y
XY : jumlah perkalian dari X dan Y Dari hasil perhitungan tersebut, kemudian dikonsultasikan dengan rtabel , dengan kriteria pengujian sebagai berikut: §
Jika r > rtabel maka item soal dikatakan valid.
§
Jika r £ rtabel maka item soal dikatakan tidak valid.
Nilai rxy dibandingkan dengan nilai rtabel dengan signifikansi 5 % jika lebih besar dari rtabel maka butir tersebut dinyatakan valid. 2. Reliabilitas Instrumen Reliabilitas merupakan penerjemahan dari kata reliability yang berarti dapat dipercaya. Pengukuran yang memiliki reliabilitas tinggi disebut sebagai pengukuran yang reliabel. Walaupun reliabilitas mempunyai berbagai nama lain seperti keterpercayaan, keterandalan, keajegan, kestabilan, konsistensi, dan sebagainya, namun ide pokok yang terkandung dalam konsep reliabilitas adalah sejauhmana hasil suatu pengukuran dapat dipercaya. (Saifuddin azwar, 1997: 4). Reliabilitas adalah nilai keajegan, yaitu apabila suatu tes atau instrumen data memberikan hasil yang relatif tetap. Reliabilitas mengandung pengertian bahwa suatu instrumen tersebut dapat dipercaya sebagai alat pengumpul data karena instrumen tersebut telah baik (Suarsimi Arikunto, 1998: 50). Dalam penelitian ini untuk menghitung reliabilitas instrumen peneliti menggunakan rumus :
ab 2 k å r11 = 1k -1 at 2
57
Keterangan :
r11
: reliabilitas instrumen
k
: banyak butir pertanyaan
å ab at 2
2
: jumlah varians butir : varians total (Suharsimi Arikunto, 1991: 165)
Dari hasil perhitungan tersebut, kemudian dikonsultasikan dengan rtabel , dengan kriteria pengujian yaitu, jika r11 > rtabel maka dapat disimpulkan bahwa angket tersebut reliabel atau dapat dipercaya.
3. Hasil Uji Coba Instrumen a. Persepsi Remaja Tentang Pernikahan Adat Jawa (X1) Berdasarkan hasil uji validitas variabel persepsi remaja tentang pernikahan adat Jawa (X1), diperoleh rhitung sebesar 0,492. Hasil perhitungan tersebut kemudian dikonsultasikan dengan rtabel korelasi product moment dengan
n = 20 pada taraf signifikansi 5% diperoleh rtabel sebesar 0,444.
Karena rhitung > rtabel atau 0,492 > 0,444 disimpulkan bahwa pernyataan angket tersebut valid. Dari perhitungan tersebut didapatkan 2 item pernyataan yang tidak valid dari 22 item pernyataan yang ada, yaitu item nomer 16 dan 20. Hasil selengkapnya dapat dilihat pada lampiran 4. Berdasarkan hasil uji reliabilitas variabel persepsi remaja tentang pernikahan adat Jawa (X1) didapatkan r11 sebesar 0,856. hasil tersebut dikonsultasikan dengan rtabel untuk n = 20 dengan taraf signifikansi 5% diperoleh hasil 0,444. Karena r11 > rtabel atau 0,856>0,444 maka reliabilitas diterima. Hasil selengkapnya dapat dilihat pada lampiran 4. b. Lingkungan Sosial (X2) Berdasarkan hasil uji validitas variabel lingkungan sosial (X2), diperoleh rhitung sebesar 0,490. Hasil perhitungan tersebut kemudian dikonsultasikan
58
dengan rtabel korelasi product moment dengan n = 20 pada taraf signifikansi 5% diperoleh rtabel sebesar 0,444. Karena rhitung > rtabel atau 0,490 > 0,444 disimpulkan bahwa pernyataan angket tersebut valid. Dari perhitungan tersebut didapatkan 3 item pernyataan yang tidak valid dari 22 item pernyataan yang ada, yaitu item nomer 5, 7 dan 20. Hasil selengkapnya dapat dilihat pada lampiran 4. Berdasarkan hasil uji reliabilitas variabel lingkungan sosial (X2) didapatkan r11 sebesar 0,827. hasil tersebut dikonsultasikan dengan rtabel untuk n = 20 dengan taraf signifikansi 5% diperoleh hasil 0,444. Karena r11 > rtabel atau 0,827 > 0,444 maka reliabilitas diterima. Hasil selengkapnya dapat dilihat pada lampiran 4. c. Sikap Pelestarian Budaya Jawa (Y) Berdasarkan hasil uji validitas variabel Y, diperoleh rhitung sebesar 0,673. Hasil perhitungan tersebut kemudian dikonsultasikan dengan rtabel korelasi product moment dengan n = 20 pada taraf signifikansi 5% diperoleh rtabel sebesar 0,444. Karena rhitung > rtabel atau 0,673 > 0,444 disimpulkan bahwa pernyataan angket tersebut valid. Dari perhitungan tersebut didapatkan 2 item pernyataan yang tidak valid dari 22 item pernyataan yang ada, yaitu item nomer 3 dan 11. Hasil selengkapnya dapat dilihat pada lampiran 4. Berdasarkan hasil uji reliabilitas variabel sikap pelestarian budaya Jawa (Y) didapatkan r11 sebesar 0,875. hasil tersebut dikonsultasikan dengan rtabel untuk n = 20 dengan taraf signifikansi 5% diperoleh hasil 0,444. Karena r11 > rtabel atau 0,875 > 0,444 maka reliabilitas diterima. Hasil selengkapnya dapat dilihat pada lampiran 4.
F. Teknik Analisis Data Menganalisa data merupakan langkah penting dalam membuktikan hipotesis. Dalam analisis data, peneliti menggunakan uji statistik dengan teknik analisis korelasi dan regresi. Teknik korelasi yang digunakan dalam penelitian ini
59
adalah teknik korelasi sederhana dan teknik korelasi ganda. Teknik korelasi sederhana digunakan untuk menentukan hubungan masing-masing variabel X dan Y. Teknik korelasi ganda digunakan untuk menentukan hubungan variabel X 1 dan X 2 secara bersama-sama terhadap variabel Y. Penelitian ini mengkaji dua variabel bebas dan satu variabel terikat, maka peneliti menggunakan teknik analisis korelasi product moment dan regresi ganda untuk menganalisis data yang ada. Sutrisno Hadi (1990: 2) mengemukakan bahwa tugas pokok dari analisis regresi adalah : 1) 2) 3) 4)
Mencari korelasi antara kriterium dan prediktor Menguji apakah korelasi signifikan atau tidak Mencari persamaan garis regresi Menemukan sumbangan relatif antara sesama prediktornya lebih dari satu.
prediktor,
jika
Adapun langkah-langkah dalam menganalisis data antara lain: 1. Mengolah data yang berupa skala ordinal dengan mengubahnya kedalam bentuk skala interval dengan menggunakan rumus: a. Rentang / Range = skor tertinggi – skor terendah b. Banyak kelas interval = 1+ (3,3) log n R (rentang) k (banyaknya kelas)
c. Panjang kelas (p) =
(Sudjana, 2002: 47) d. Menghitung Mean dengan rumus : MeanX =
åX
1
n
Keterangan : X : mean skor
X 1 : skor nilai tengah n
: banyaknya variabel (Sudjana, 2002: 67)
e. Menghitung Modus dengan rumus :
60
æ b1 ö Mo = b + pç ÷ è b1 + b 2 ø
Keterangan : b : batas bawah kelas interval p : panjang kelas interval b1 : frekuansi interval dikurangi frekuensi diatasnya. b2 : frekuensi interval dikurangi frekuensi dibawahnya. (Sudjana, 2002: 77) f. Menghitung Median dengan Rumus :
æ 1 2n - F ö ÷÷ Me = b + pçç f è ø Keterangan : b : batas bawah kelas median p : panjang kelas median n : ukuran sampel F : jumlah semua frekuensi F : frekuensi kelas median (Sudjana, 2002: 79) g. Menghitung Standar Deviasi dengan rumus :
nå f1x1 - (å f1x1 ) 2
S2 = 1
n(n -1)
2
s = s2
Dimana : S : standar deviasi S 2 : varians (simpangan baku (s) adalah skor dari varians) x1 : tanda kelas f1 : frekuensi n :
åf
1
(Sudjana, 2002: 95) 2. Melakukan uji persyaratan analisis data sebelum mencari regresi ganda, dengan langkah-langkah perhitungan sebagai berikut :
61
a. Uji normalitas ketiga variabel penelitian dengan rumus Chi Kuadrat, yaitu sebagai berikut :
x2 = å
( f0 - fh)2 fh
fo : frekuensi yang sesungguhnya fh : frekuensi yang diharapkan (Sutrisno Hadi, 1983: 317) b. Uji linearitas X 1 terhadap Y, dengan menetapkan harga sebagai berikut :
å
1) JK G =
X1å Y
2
-
(å Y ) 2 n1
2) JK TC = JKres - JK G 3) dK TC = K - 2 4) DK G = N - K 5)
JK
TC
JK G dK TC
=
6) RJK G =
fhit =
7)
JK G dK G
RJK TC RJK G
Dimana : JK G : menyatakan jumlah kuadrat galat JK TC dK
: menyatakan jumlah kuadrat tuna cocok : derajat kebebasan (setiap variabel mempunyai kebebasan yang berbeda-beda). Tuna Cocok (TC) = K - 2 Galat (G) = n - K
RJK TC : menyatakan rata-rata jumlah kuadrat tuna cocok RJK G
: menyatakan rata-rata jumlah kuadarat galat. (Sudjana, 1992: 17)
62
c. Uji Independensi dengan korelasi sederhana antara X 1 dan X 2 , dengan rumus:
rX1X2 =
NåX1X2 -(åX1)(åX2 )
{NåX -(åX ) }{NåX -(åX ) 2 1
1
2 2
2
2
}
(Sudjana, 2002: 369) 3. Melakukan Pengujian Hipotesis a. Menentukan persamaan regresi sederhana dengan menggunakan rumus: Yˆ = a + bX1
Keterangan : a = konstanta b = elastisitas variabel X1 = variabel X1
(Djarwanto, 2001 : 185)
b. Menghitung korelasi sederhana antara variabel yang ada dengan rumus korelasi product moment Pearson untuk menguji hipotesis pertama dan kedua sebagai berikut :
r xy =
NåXY - (åX)(åY)
{NåX 2 - (åX )2}{NåY 2 - (åY)2 (Suharsimi Arikunto, 2006: 170)
Keterangan : rxy : koefisien korelasi
N
: jumlah responden
X
: skor total tiap-tiap item
Y
: skor total
X 2 : jumlah kuadrat dari X Y 2 : jumlah kuadrat dari Y
XY : jumlah perkalian dari X dan Y Dari hasil perhitungan tersebut, kemudian dikonsultasikan dengan rtabel kriteria pengujian:
63
§
Jika rhit > rtabel = ada korelasi antara X 1 dan X 2 .
§
Jika rhit < rtabel = tidak ada korelasi antara X 1 dan X 2 . Adapun untuk mengetahui tingkat hubungan antara variabel dapat melihat
pada tabel klasifikasi koefisien korelasi sebagai berikut : Tabel 4. Klasifikasi Koefisien Korelasi Interval Koefisien
Tingkat Hubungan
0,00 – 0,199
Sangat rendah
0,20 – 0,399
Rendah
0,40 – 0,599
Sedang
0,60 – 0,799
Kuat
0,80 – 1,00
Sangat kuat (Sugiyono, 2004: 172)
c. Menguji hipotesis ketiga dengan langkah-langkah sebagai berikut: 1) Menetukan persamaan garis regresi linier ganda dengan rumus: Ù
Y
= a0 + a1x1 + a2x2
Koefisien-koefisien a 0 , a1 , a 2 dapat dihitung dengan rumus : a 0 = Y - a1 X 1 - a 2 X 2
å X )(å X Y ) - (å X X )(å X Y ) = (å X )(å X ) - (å X X ) 2
a1
2
1
1
2
2
2
2
1
2
2
1
2
å X )(å X Y ) - (å X X )(å X Y ) = (å X )(å X ) - (å X X ) 2
a2
1
21
1
2
1
2
2
1
2
2
1
2
(Djarwanto, 2001: 186) 2) Menghitung koefisien korelasi antara kriterium Y dengan prediktor X 1 dan prediktor X 2 dengan rumus :
R(1,2) = Dimana :
a1 å X1Y + a2 å X 2Y
åY
2
64
R y (1, 2) : koefisien korelasi antara Y dengan X 1 dan X 2
a1
: koefisien prediktor X 1
a2
: koefisien prediktor X 2
X 1Y
: jumlah produk antara X 1 dan Y
X 2Y
: jumlah produk antara X 2 dan Y
Y2
: jumlah kuadrat kriterium Y (Sutrisno Hadi, 2001: 25)
3) Melakukan uji signifikasi korelasi antara kriterium Y dengan prediktor
X 1 dan X 2 dicari dengan rumus :
F=
R2 / k (1- R2 ) /(n - k -1)
Dimana : F : harga F garis regresi n : menyatakan jumlah sampel k : menyatakan banyaknya variabel bebas R : koefisien korelasi antara kriterium dengan prediktor– prediktornya. (Sudjana, 2002: 385) Hasil perhitungan tersebut dikonsultasikan dengan Ftabel kriteria pengujian: F > Ftabel = signifikan. F < Ftabel = tidak signifikan. 4. Menghitung sumbangan relatif (SR %) dan sumbangan efektif (SE %) X 1 dan X 2 terhadapY dengan rumus: 1) Sumbangan relatif (SR %) untuk X 1 dan X 2 terhadap Y dengan rumus: Untuk X 1 :
SR % X 1 =
a 1 å X 1Y JK reg
´ 100 %
65
SR% X 2 =
Untuk X 2 :
a1 å X 2Y JK reg
´ 100% (Sutrisno Hadi, 2001: 42)
2) Sumbangan efektif (SE %) X 1 dan X 2 terhadap Y dicari dengan rumus : Untuk X 1 :
SE % X 1 = SR% X 1 ´ R 2
Untuk X 2 :
SE % X 21 = SR% X 2 ´ R 2
(Sutrisno Hadi, 2001: 46)
G. Hipotesis Statistik Dari analisa data di atas dapat dirumuskan hipotesis statistik sebagai berikut: 1. Hipotesis pertama H 0 = rX 1 .Y = 0 ; tidak ada hubungan antara persepsi remaja tentang
pernikahan adat Jawa dengan sikap pelestarian budaya Jawa.
H 1 = rX 1 .Y > 0 ; ada hubungan antara persepsi remaja tentang pernikahan adat Jawa dengan sikap pelestarian budaya Jawa. 2. Hipotesis kedua H 0 = rX 2 .Y = 0 ; tidak ada hubungan antara lingkungan sosial dengan sikap
pelestarian budaya Jawa.
H 2 = rX 2 .Y > 0 ; ada hubungan antara lingkungan sosial dengan sikap pelestarian budaya Jawa. 3. Hipotesis ketiga H 0 = rX 1.2 .Y = 0 ;
tidak ada hubungan antara persepsi remaja tentang pernikahan adat Jawa dan lingkungan sosial secara bersama-sama terhadap sikap pelestarian budaya Jawa.
H 3 = rX 1.2 .Y > 0 ; ada hubungan antara persepsi remaja tentang pernikahan
adat Jawa dan lingkungan sosial secara bersama-sama terhadap sikap pelestarian budaya Jawa.
66
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Deskripsi Data Penelitian tentang persepsi remaja tentang pernikahan adat Jawa dan lingkungan sosial terhadap sikap pelestarian budaya Jawa di desa Bonyokan, kecamatan Jatinom, kabupaten Klaten, meliputi tiga macam data yaitu: a. Persepsi remaja tentang pernikahan adat Jawa (variabel bebas / X1) yang berasal dari skor angket responden. b. Lingkungan sosial (variabel bebas / X 2 ) yang berasal dari skor angket responden. c. Sikap pelestarian budaya Jawa (variabel terikat / Y) yang berasal dari skor angket responden. Ketiga data tersebut dijelaskan dalam uraian di bawah ini: 1. Persepsi Remaja Tentang Pernikahan Adat Jawa (X1) Pengumpulan data persepsi remaja tentang pernikahan adat Jawa adalah dengan menggunakan angket. Dari hasil skor jawaban angket persepsi remaja tentang pernikahan adat Jawa didapatkan skor tertinggi adalah 92 dan skor terendah adalah 58 dengan rata-rata sebesar 73,9, median sebesar 74,444, modus sebesar 75,167 dan standar deviasi sebesar 6,491 (perhitungan selengkapnya dapat dilihat Lampiran 8). Data variabel persepsi remaja tentang pernikahan adat Jawa selanjutnya dapat dideskripsikan dalam tabel berikut ini: Tabel 5. Deskripsi Data Variabel X1 Variabel
Max
Min
Mean
Median
Modus
SD
Persepsi Remaja Tentang Pernikahan Adat Jawa
92
58
73,9
74,444
75,167
6,49 1
66
67
Tabel 6. Penafsiran Nilai Mean Variabel X1 Interval Mean
Kualifikasi
0 – 33
Rendah
34 – 67
Sedang
68 – 100
Tinggi
Berdasarkan deskripsi data dan penafsiran nilai mean di atas, maka mean dalam variabel X1 adalah 73,9 dan masuk dalam kualifikasi tinggi. Sehingga dapat disimpulkan bahwa persepsi remaja tentang pernikahan adat Jawa masuk dalam kualifikasi tinggi jika dibandingkan dengan skor maksimal yang masuk yaitu 100. Data tentang persepsi remaja tentang pernikahan adat Jawa selanjutnya dijadikan data interval yang hasilnya dapat dideskripsikan dalam tabel berikut ini: Tabel 7. Distribusi Frekuensi Variabel X1 Interval Kelas 58 63
-
68 73 78 83 88
62 67 72 77 82 87 92
Batas Nyata
Nilai Tengah
f
Persentase (%)
62,5 67,5 72,5 77,5 82,5 87,5 92,5 Jumlah
60 65 70 75 80 85 90
3 5 10 18 11 2 1 50
6 10 20 36 22 4 2 100
Dari tabel distribusi frekuensi variabel X1 di atas dapat disimpulkan bahwa skor angket yang memiliki frekuensi tertinggi adalah skor antara 73-77. Skor angket yang memiliki frekuensi terendah adalah skor antara 88-92. Distribusi frekuensi variabel X1 lebih jelasnya dapat dilihat dalam grafik histogram sebagai berikut:
68
Gambar 2. Grafik Histogram Variabel X1
Gambar 3. Kurva Sebaran Data Variabel X1 Gambar 3 menunjukkan bahwa hubungan harga-harga statistik sebaran data persepsi remaja tentang pernikahan adat Jawa berupa mean, median dan modus berlaku : mean < me < modus, maka kurva yang terbentuk adalah kurva normal. 2. Lingkungan Sosial Pengumpulan data tentang lingkungan sosial adalah dengan menggunakan angket yang terdiri dari 19 item pertanyaan dengan lima alternatif jawaban dengan skor 1, 2, 3, 4 dan 5. Dari skor jawaban angket lingkungan sosial didapatkan skor tertinggi adalah 84 dan skor terendah 50, dengan rata-rata sebesar 69,5, median sebesar 69,88, modus sebesar 71,5 dan standar deviasi (SD) sebesar 6,943
69
(perhitungan selengkapnya dapat dilihat Lampiran 8 ). Data variabel lingkungan sosial selanjutnya dapat dideskripsikan dalam tabel berikut ini: Tabel 8. Deskripsi Data Variabel X 2 Variabel Lingkungan Sosial
Max
Min
Mean
Median
84
50
69,5
69,88
Modus 71,5
SD 6,943
Tabel 9. Penafsiran Nilai Mean Variabel X 2 Interval Mean 0 – 31 32 – 63 64– 95
Kualifikasi Rendah Sedang Tinggi
Berdasarkan deskripsi data di atas, maka mean dalam variabel X 2 adalah 69,5 dan masuk dalam kualifikasi tinggi. Sehingga dapat disimpulkan bahwa variabel lingkungan sosial masuk dalam kualifikasi tinggi jika dibandingkan dengan skor maksimal yang masuk yaitu 95. Data tentang lingkungan sosial selanjutnya dijadikan data interval yang hasilnya dapat dideskripsikan dalam tabel berikut ini: Tabel 10. Distribusi Frekuensi Variabel X2 Interval Kelas 50 55 60 65 70 75 80
-
54 59 64 69 74 79 84
Batas Nyata 54,5 59,5 64,5 69,5 74,5 79,5 84,5 Jumlah
Nilai Tengah 52 57 62 67 72 77 82
f 1 2 10 11 13 10 3 50
Persentase (%) 2 4 20 22 26 20 6 100
Dari tabel distribusi frekuensi variabel X 2 di atas dapat disimpulkan bahwa skor angket yang memiliki frekuensi tertinggi adalah skor antara 70-74 sedangkan skor angket yang memiliki frekuensi terendah adalah skor antara 50-
70
54. Distribusi frekuensi variabel X 2 lebih jelasnya dapat dilihat dalam grafik histogram sebagai berikut:
Gambar 4. Grafik Histogram Variabel X2
Gambar 5. Kurva Sebaran Data Variabel X2 Gambar 5 menunjukkan bahwa hubungan harga-harga statistik sebaran data lingkungan sosial berupa mean, median dan modus berlaku : mean < me < modus, maka kurva yang terbentuk adalah kurva negatif condong ke kanan.
3. Sikap Pelestarian Budaya Jawa Pengumpulan data tentang sikap pelestarian budaya Jawa adalah dengan menggunakan angket yang terdiri dari 20 item pertanyaan dengan lima alternatif
71
jawaban dengan skor 1, 2, 3, 4 dan 5. Dari skor jawaban angket sikap pelestarian budaya Jawa didapatkan skor tertinggi adalah 91 dan skor terendah 57, dengan rata-rata sebesar 78, median sebesar 78,688, modus sebesar 79,357 dan standar deviasi (SD) sebesar 7,214 (perhitungan selengkapnya dapat dilihat Lampiran 8). Data sikap pelestarian budaya Jawa selanjutnya dapat didiskripsikan dalam tabel berikut ini: Tabel 11. Deskripsi Data Variabel Y Variabel Sikap Pelestarian Budaya Jawa
Max
Min
Mean
Median
91
57
78
78,688
Modus 79,357
SD 7,214
Tabel 12. Penafsiran Nilai Mean Interval Mean 0 – 33 34 – 67 68 – 100
Kualifikasi Rendah Sedang Tinggi
Berdasarkan deskripsi data di atas, maka mean dalam variabel Y adalah 78 dan masuk dalam kualifikasi tinggi. Sehingga dapat disimpulkan bahwa variabel sikap pelestarian budaya Jawa masuk dalam kualifikasi tinggi jika dibandingkan dengan skor maksimal yang masuk yaitu 100. Data tentang sikap pelestarian budayua Jawa selanjutnya dijadikan data interval yang hasilnya dapat dideskripsikan dalam tabel berikut ini: Tabel 13. Distribusi Frekuensi Variabel Y Interval Kelas 57 63 68 73 78 83 88
-
62 67 72 77 82 87 92
Batas Nyata 62,5 67,5 72,5 77,5 82,5 87,5 92,5 Jumlah
Nilai Tengah
f
Persentase (%)
60 65 70 75 80 85 90
3 5 10 18 11 2 1 50
6 10 20 36 22 4 2 100
72
Dari tabel distribusi frekuensi variabel Y di atas dapat disimpulkan bahwa skor angket yang memiliki frekuensi tertinggi adalah skor antara 73-77 sedangkan skor angket yang memiliki frekuensi terendah adalah skor antara 88-92. Distribusi frekuensi variabel Y lebih jelasnya dapat dilihat dalam grafik histogram sebagai berikut:
Gambar 6. Grafik Histogram Variabel Y
Gambar 7. Kurva Sebaran Data Variabel Y Gambar 7. menunjukkan bahwa hubungan harga-harga statistik sebaran data sikap pelestarian budaya Jawa berupa mean, median dan modus berlaku : mean < me < modus.
73
B. Uji Persyaratan Analisis 1. Uji Normalitas Data-data tentang persepsi remaja tentang pernikahan adat Jawa, lingkungan sosial dan sikap pelestarian budaya Jawa yang diperoleh dari hasil penelitian kemudian dilakukan uji normalitas dengan menggunakan uji ChiKuadrat ( x 2 ). Untuk menerima atau menolak hipotesis nol ( H o ) dilakukan dengan membandingkan x 2 hitung dengan x 2 tabel pada taraf signifikasi 5%. Jika x 2 hitung
<
x 2 tabel
hipotesis nol ditolak dan hipotesis alternatif diterima.
Berdasarkan hasil uji normalitas dengan uji Chi-Kuadrat didapatkan harga-harga x 2 hitung
yang dideskripsikan pada tabel rangkuman hasil perhitungan uji
normalitas data sebagai berikut: Tabel 14. Rangkuman Hasil Perhitungan Uji Normalitas Data Variabel
x 2 hitung
Persepsi Remaja Tentang Pernikahan Adat Jawa Lingkungan Sosial Sikap Pelestarian Budaya Jawa
Keputusan Uji
3,4870
x 2 tabel (0,05; 7-3) 9,49
Sebaran Data Normal
1,8055 2,8024
9,49 9,49
Sebaran Data Normal Sebaran Data Normal
Berdasarkan tabel di atas dapat disimpulkan bahwa pada semua data variabel yang
dihasilkan mempunyai distribusi atau sebaran data normal.
Sehingga ketiga data variabel tersebut dinyatakan mempunyai data yang berdistribusi normal, jadi ketiga data variabel tersebut sudah memenuhi persyaratan analisis pertama. (Perhitungan lengkap dapat di lihat pada lampiran 9). 2. Uji Linearitas a. Hubungan Persepsi Remaja Tentang Pernikahan Adat Jawa (X1) dengan Sikap Pelestarian Budaya Jawa (Y) Berdasarkan hasil perhitungan uji linieritas antara X1 terhadap Y yang terdapat dalam lampiran 10, diperoleh harga Fhitung sebesar 0,988. Harga tersebut dikonsultasikan dengan Ftebel pada taraf signifikan 5% db pembilang = k – 2 =
74
18 – 2 = 16 dan db penyebut = n – k = 50 – 18 = 32 diperoleh harga Ftabel sebesar 1,97. Harga Fhitung dikonsultasikan dengan Ftabel. Karena Fhitung < Ftabel atau 0,988 < 1,97 maka regresi variabel persepsi remaja tentang pernikahan adat Jawa (X1) terhadap sikap pelestarian budaya Jawa (Y) adalah linier atau dapat dikatakan bahwa uji prasyarat linieritas terpenuhi. b. Hubungan Lingkungan Sosial (X2) dengan Sikap Pelestarian Budaya Jawa (Y) Berdasarkan hasil perhitungan uji linieritas antara X2 terhadap Y sebagaimana terdapat dalam lampiran 11, diperoleh harga Fhitung sebesar 0,858. Harga tersebut dikonsultasikan dengan Ftabel pada taraf signifikansi 5% db pembilang = k – 2 = 22 – 2 = 20 dan db penyebut = n – k = 50 – 22= 28 diperoleh harga Ftabel sebesar 1,96. Harga Fhitung dikonsultasikan dengan Ftabel dan hasilnya menunjukkan bahwa Fhitung < Ftabel atau 0,858 < 1,96 maka regresi variabel lingkungan sosial (X2) terhadap Y berbentuk linier atau dapat dikatakan bahwa uji prasyarat linieritas terpenuhi. 3. Uji Independensi Uji independensi digunakan untuk memenuhi apakah kedua variabel bebas saling bebas atau tidak mempengaruhi satu sama lainnya. Uji independensi variabel X1 dan X2 menggunakan rumus korelasi product moment sebagaimana terdapat pada lampiran 12. Berdasarkan perhitungan pada lampiran 12 diperoleh rhitung sebesar 0,243. Harga tersebut dikonsultasikan dengan rtabel pada taraf signifikansi 5% dan n = 50 diperoleh rtabel sebesar 0,279. Harga rhitung dikonsultasikan dengan rtabel hasilnya menunjukkan bahwa rhitung < rtabel atau 0,243 < 0,279 berarti antara variabel persepsi remaja tentang pernikahan adat Jawa (X1) dan lingkungan soaial (X2) tidak terdapat hubungan atau dapat dikatakan uji prasyarat independensi terpenuhi.
75
C. Pengujian Hipotesis 1. Uji Hipotesis Pertama Pengujian hipotesis pertama dalam penelitian ini menggunakan teknik analisis korelasi product moment. Hipotesis pertama menyatakan ada hubungan yang positif antara persepsi remaja tentang pernikahan adat Jawa dengan sikap pelestarian budaya Jawa. Dari analisis korelasi product moment pada lampiran 14, didapatkan nilai rX 1Y = 0,639. Hasil tersebut dikonsultasikan dengan nilai rtabel dengan n = 50 pada taraf signifikansi 5% sebesar 0,279, jadi rX 1Y > rtabel atau 0,639 > 0,279 maka H 0 ditolak dan H 1 diterima. Berdasarkan lampiran 13, persamaan garis regresinya adalah Ŷ = 25,544 + 0, 709 X1. Hal ini berarti terdapat hubungan antara persepsi remaja tentang pernikahan adat Jawa dengan sikap pelestarian budaya Jawa. 2. Uji Hipotesis Kedua Pengujian hipotesis kedua dalam penelitian ini menggunakan teknik analisis korelasi product moment. Hipotesis kedua menyatakan ada hubungan yang positif antara lingkungan sosial dengan sikap pelestarian budaya Jawa. Dari analisis korelasi product moment pada lampiran 14, didapatkan nilai rX 2Y = 0,602. Hasil tersebut dikonsultasikan dengan nilai rtabel dengan n = 50 pada taraf signifikansi 5% sebesar 0,279, jadi rX 2Y > rtabel atau 0,602 > 0,279, maka H 0 ditolak dan H 1 diterima. Berdasarkan lampiran 13, persamaan garis regresinya adalah Ŷ = 34,163 + 0,626 X2. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara lingkungan sosial dengan sikap pelestarian budaya Jawa. Perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada lampiran 11. 3. Uji Hipotesis Ketiga Pengujian hipotesis ketiga dalam penelitian ini menggunakan teknik analisis regresi linier ganda dan korelasi ganda. Hipotesis ketiga menyatakan ada hubungan yang positif antara persepsi remaja tentang pernikahan adat Jawa dan lingkungan sosial dengan sikap pelestarian budaya Jawa. Pengujian hipotesis ketiga adalah sebagai berikut:
76
1) Menghitung Persamaan Garis Regresi Linier Ganda Berdasarkan hasil perhitungan persamaan garis regresi linier ganda pada lampiran 13, diperoleh a 0 = 0,70849, a1 = 0,5814, dan a 2 = 0,4939. Dari hasil ^
tersebut, persamaan garis regresinya adalah Y = 0,70849 + 0,5814 X 1 + 0,4939 X 2 . Persamaan garis regresi tersebut berarti bahwa sikap pelestarian budaya Jawa (Y) akan meningkat sebesar 0,5814 untuk setiap peningkatan sikap pelestarian budaya Jawa (X1) dan juga akan meningkat sebesar 0,4939 untuk setiap peningkatan lingkungan sosial (X2). 2) Koefisien Korelasi Ganda Antara X1 dan X2 dengan Y Hasil korelasi ganda antara X1 dan X2 dengan Y sebagaimana terdapat dalam lampiran 16, diperoleh harga Ry(1, 2 ) sebesar 0,7877, sedangkan koefisien determinasi (R2 ) sebesar 0,6205. Ini menunjukkan bahwa 62,05 % variasi yang terjadi pada sikap pelestarian budaya Jawa dapat dijelaskan oleh persepsi remaja tentang pernikahan adat Jawa dan lingkungan sosial, melalui regresi ^
Y = 0,70849 + 0,5814 X 1 + 0,4939 X 2 . Sisanya sebesar 37,95 % dipengaruhi oleh
faktor-faktor lain diluar penelitian. 3) Uji Signifikansi Koefisien Korelasi Ganda Antara X1 dan X2 dengan Y Hasil perhitungan uji signifikansi koefisien korelasi ganda antara variabel persepsi remaja tentang pernikahan adat Jawa (X1) dan lingkungan sosial (X2) dengan sikap pelestarian budaya Jawa (Y) diperoleh Fhitung sebesar 38,424. Harga tersebut dikonsultasikan dengan harga Ftabel pada db pembilang = k = 2 dan dk penyebut = n – k – 1 = 50 – 2 – 1 = 47 pada taraf signifikansi 5% diperoleh Ftabel sebesar 3,20. Karena Fhitung > Ftabel atau 38,424>3,20 maka H 0 ditolak dan sebagai konsekuensinya H 1 diterima. Hal ini menunjukkan terdapat hubungan antara variabel persepsi remaja tentang pernikahan adat Jawa (X1) dan lingkungan sosial (X2) dengan sikap pelestarian budaya Jawa (Y).
77
5. Sumbangan Relatif (SR %) dan Sumbangan Efektif X1 dan X2 Terhadap Y 1) Sumbangan relatif X1 dan X2 terhadap Y
Untuk X 1 :
SR % X 1 =
Untuk X 2 : SR% X 2 =
a1 å X 1Y JK reg
a1 å X 2Y JK reg
´ 100 % =
´ 100% =
0,58 ´ 1571,44 ´ 100% = 53,98 % 1692,53
0,4939 ´ 1577,52 ´ 100% = 46,03% 1692,53
2) Sumbangan efektif (SE %) X 1 dan X 2 terhadap Y terlebih dahulu dicari efektif garis regresi dengan rumus : SE =
JK reg JK tot
´ 100% =
1692,53 ´ 100% = 62,05% 2727,68
Sumbangan efektif (SE %) X 1 dan X 2 terhadap Y adalah sebagai berikut: Untuk X 1 :
SE % X 1 = SR% X 1 ´ R 2 = 53,98 % x 0,6205 = 33,49 %
Untuk X 2 :
SE % X 21 = SR% X 2 ´ R 2 = 46,03 % x 0,6205 = 28,56 %
Dari perhitungan di atas variabel persepsi remaja tentang pernikahan adat Jawa (X1) mempunyai sumbangan efektif sebesar 33,49 % terhadap sikap pelestarian budaya Jawa. Variabel lingkungan sosial (X2) mempunyai sumbangan efektif sebesar 28,56 % terhadap sikap pelestarian budaya Jawa. Jadi total sumbangan evektif variabel persepsi remaja tentang pernikahan adat Jawa (X1) dan lingkungan sosial (X2) terhadap sikap pelestarian budaya Jawa (Y) adalah sebesar 62,05 %, sedangkan sisanya 37,95 % dipengaruhi oleh variabel lain yang tidak diteliti.
D.
Pembahasan Hasil Penelitian
1. Hubungan Antara Persepsi Remaja Tentang Pernikahan Adat Jawa (X1) dengan Sikap Pelestarian Budaya Jawa (Y) Bardasarkan hasil uji hipotesis pertama dengan analisis korelasi product moment Pearson, diperoleh nilai rX 1Y sebesar 0,639 yang masuk dalam tingkat
78
hubungan kuat. Hasil tersebut dikonsultasikan dengan nilai rtabel dengan n = 50 pada taraf signifikansi 5% sebesar 0,279, jadi rX 1Y > rtabel atau 0,639 > 0,279 berarti terdapat hubungan antara persepsi remaja tentang pernikahan adat Jawa dengan sikap pelestarian budaya Jawa. Sedangkan persamaan garis regresinya adalah Ŷ = 25,544 + 0,709 X1. Koefisien regresi variabel persepsi remaja tentang pernikahan adat Jawa adalah 0,709. Angka tersebut mencerminkan bahwa setiap peningkatan persepsi remaja tentang pernikahan adat Jawa sebanyak satu unit skor, maka berpengaruh terhadap peningkatan Sikap pelestarian budaya Jawa sebesar 0,709 unit skor dengan konstanta 25,544. Sumbangan efektif variabel persepsi remaja tentang pernikahan adat Jawa (X1) terhadap sikap pelestarian budaya Jawa adalah sebesar 33,49 %. Ini berarti 33,49 % sikap pelestarian budaya Jawa dipengaruhi oleh persepsi remaja tentang pernikahan adat Jawa. Dari hasil analisis data yang telah dilakukan membuktikan bahwa hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini terbukti ada hubungan
antara
persepsi remaja tentang pernikahan adat Jawa dengan sikap pelestarian budaya Jawa. Hal ini berarti bahwa semakin baik persepsi remaja tentang pernikahan adat Jawa, maka semakin baik pula sikap pelestarian budaya Jawa. Hasil penelitian menyatakan adanya hubungan antara persepsi remaja tentang pernikahan adat Jawa dengan sikap pelestarian budaya Jawa. Hal ini menunjukkan bahwa salah satu upaya meningkatkan sikap pelestarian budaya Jawa adalah dengan memberikan pengertian tentang persepsi yang tepat dan positif mengenai pernikahan adat Jawa. Sebagaimana dikemukakan oleh Russell H. Fazio and Carol J. Williams dalam penelitiannya yang berjudul “Attitude Accessibility as a Moderator of the Attitude-Perception and Attitude-Behavior Relations: An Investigation of the 1984 Presidential Election”. Hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang berarti antara persepsi dengan sikap pengambilan keputusan. “Correlations Between Attitudes and Perceptions and Between Attitudes and Voting Behavior Within High Accessibility (HA) and Low Accessibility (LA) Groups. The number of respondents upon which any given correlation is based is listed in parentheses. The z value refers to the
79
significance test of the difference between two independent correlation coefficients. *p < .10. **p< .05. ***p < .01. ****p < .001”. 2. Hubungan Antara Lingkungan Sosial (X2) dengan Sikap Pelestarian Budaya Jawa (Y) Bardasarkan hasil uji hipotesis pertama dengan analisis korelasi product moment Pearson, diperoleh nilai rX 2Y = 0,602 yang masuk dalam tingkat hubungan kuat. Hasil tersebut dikonsultasikan dengan nilai rtabel dengan n = 50 pada taraf signifikansi 5% sebesar 0,279, jadi rX 1Y > rtabel atau 0,602 > 0,279 berarti terdapat hubungan antara lingkungan sosial dengan sikap pelestarian budaya Jawa. Sedangkan persamaan garis regresinya adalah Ŷ = 34,163 + 0,626 X2. Koefisien regresi variabel lingkungan sosial adalah 0,626. Angka tersebut mencerminkan bahwa setiap lingkungan sosial
ditingkatkan sebanyak satu unit skor, maka
berpengaruh terhadap peningkatan Sikap pelestarian budaya Jawa sebesar 0,626 unit skor dengan konstanta 34,163. Sumbangan efektif variabel lingkungan sosial (X2) terhadap sikap pelestarian budaya Jawa (Y) adalah sebesar 28,56 %. Ini berarti 28,56 % sikap pelestarian budaya Jawa dipengaruhi oleh lingkungan sosial. Dari hasil analisis data yang telah dilakukan, membuktikan bahwa hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini terbukti ada hubungan antara lingkungan sosial (X2) dengan sikap pelestarian budaya Jawa (Y). Hal ini menunjukkan bahwa salah satu upaya untuk meningkatkan sikap pelestarian budaya Jawa dipengaruhi oleh lingkungan sosial. Lingkungan sosial yang baik, yang mau menghargai budaya Jawa diharapkan dapat meningkatkan sikap pelestarian budaya Jawa. Dalam hal ini peran serta masyarakat yang baik dalam memberikan informasi dan pengetahuan tentang budaya Jawa yang tepat sangat diharapkan guna meningkatkan sikap pelestarian budaya Jawa. Sebagaimana dikemukakan oleh Agni Era Hapsari dalam penelitiannya yang berjudul “Hubungan Antara Lingkungan Sosial Budaya dan Pemahaman Nilai Sejarah dengan Sikap Pelestarian Candi Borobudur” yaitu berdasarkan perhitungan koefisien korelasi sederhana untuk hubungan variabel lingkungan sosial budaya dengan sikap pelestarian candi Borobudur. Hasil penelitian
80
menunjukkan bahwa terdapat hubugan yang signifikan antara lingkungan sosial budaya dengan sikap pelestarian Candi Borobudur, terbukti pada taraf signifikansi 5% dengan t hitung = 9,114 lebih besar dari t tabel = 2,39 koefisien korelasi untuk hubungan kedua variabel adalah sebesar 0,796 dengan taksiran koefisien determinasinya 0,634 melalui regresi y = 25,844 + 0,675 X 1 . 3. Hubungan Antara Persepsi Remaja Tentang Pernikahan Adat Jawa (X1) dan Lingkungan Sosial (X2) secara bersama-sama dengan Sikap Pelestarian Budaya Jawa (Y) Hasil analisis data untuk mencari hubungan antara variabel X1 dan X2 dengan Y diperoleh koefisien korelasi ganda Ry(1, 2 ) sebesar 0,7877 yang masuk dalam tingkat hubungan kuat, dengan koefisien determinasi 0,6205. Ini menunjukkan bahwa variasi yang terjadi pada sikap pelestarian budaya Jawa dapat dijelaskan oleh persepsi remaja tentang pernikahan adat Jawa dan lingkungan sosial secara bersama-sama sebesar 62,05 %, melalui regresi ^
Y = 0,70849 + 0,5814 X 1 + 0,4939 X 2 . Sisanya sebesar 37,95 % dipengaruhi oleh
faktor-faktor lain diluar penelitian. Uji signifikansi dengan menggunakan uji
F
menghasilkan Fhitung 38,424. Karena Fhitung38,424 > Ftabel 3, 20 maka terdapat hubungan antara persepsi remaja tentang pernikahan adat Jawa (X1) dan lingkungan sosial (X2) secara bersama-sama dengan sikap pelestarian budaya Jawa (Y). Dari hasil analisis data yang telah dilakukan, membuktikan bahwa hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini terbukti ada hubungan antara persepsi remaja tentang pernikahan adat Jawa dan lingkungan sosial secara bersama-sama dengan sikap pelestarian budaya Jawa. Hal ini menunjukkan bahwa persepsi remaja tentang pernikahan adat Jawa dan lingkungan sosial berpengaruh terhadap sikap pelestarian budaya Jawa. Persepsi remaja yang tepat dan positif mengenai pernikahan adat Jawa dan lingkungan sosial yang baik sangat diharapkan guna meningkatkan sikap pelestarian budaya Jawa. Sehingga persepsi remaja tentang pernikahan adat Jawa dan lingkungan sosial secara bersama-sama dapat meningkatkan sikap pelestarian budaya Jawa.
81
BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN
A. Kesimpulan Berdasarkan analisis data dan pembahasan yang telah diuraikan pada bab-bab sebelumnya, maka penulis dapat menyimpulkan hasil penelitian sebagai berikut: 1. Terdapat hubungan antara persepsi remaja tentang pernikahan adat Jawa dengan sikap pelestarian budaya Jawa. Hal ini terbukti dari analisis korelasi product moment Pearson pada taraf signifikansi ( a ) 5% dengan n = 50 diperoleh rX 1Y
=
0,639 lebih besar dari rtabel
=
0,279. Persamaan garis
regresinya adalah Ŷ = 25,544 + 0,709 X1. Koefisien regresi untuk hubungan kedua variabel adalah 0,709. Angka tersebut mencerminkan bahwa setiap peningkatan Persepsi Remaja Tentang Pernikahan Adat Jawa sebanyak satu unit skor, maka berpengaruh terhadap peningkatan Sikap Pelestarian Budaya Jawa sebesar 0,709 unit skor dengan konstanta 25,544. Sumbangan efektif variabel Persepsi Remaja Tentang Pernikahan Adat Jawa (X1) terhadap Sikap Pelestarian Budaya Jawa adalah sebesar 33,49 %. Ini berarti 33,49 % Sikap Pelestarian Budaya Jawa dipengaruhi oleh Persepsi Remaja Tentang Pernikahan Adat Jawa. 2. Terdapat hubungan antara lingkungan sosial dengan sikap pelestarian budaya Jawa. Hal ini terbukti dari analisis korelasi product moment Pearson pada taraf signifikansi ( a ) 5% dengan n = 50 diperoleh rX 2Y
=
0,602 lebih besar
dari rtabel = 0,279. Persamaan garis regresinya adalah Ŷ = 34,163 + 0,626 X2. Koefisien regresi untuk hubungan kedua variabel adalah 0,626. Angka tersebut mencerminkan bahwa setiap Lingkungan Sosial ditingkatkan sebanyak satu unit skor, maka berpengaruh terhadap peningkatan Sikap Pelestarian Budaya Jawa sebesar 0,626 unit skor dengan konstanta 34,163. Sumbangan efektif variabel Lingkungan Sosial (X2) terhadap Sikap
81
82
Pelestarian Budaya Jawa (Y) adalah sebesar 28,56 %. Ini berarti 28,56 % Sikap Pelestarian Budaya Jawa dipengaruhi oleh Lingkungan Sosial. 3. Terdapat hubungan antara persepsi remaja tentang pernikahan adat Jawa dan lingkungan sosial secara bersama-sama dengan sikap pelestarian budaya Jawa. Hal ini terbukti dari analisis regresi ganda pada taraf signifikansi ( a ) 5% dengan n = 50 diperoleh Fhitung = 38,424 lebih besar dari Ftabel = 3, 20. Korelasi ganda atara variabel X1 dan variabel X2 dengan variabel Y menghasilkan koefisien korelasi 0,7877 dengan koefisien determinasi 0,6205. angka ini mencerminkan bahwa variansi Sikap Pelestarian Budaya Jawa dapat dijelaskan oleh Persepsi Remaja Tentang Pernikahan Adat Jawa dan Lingkungan Sosial secara bersama-sama sebesar 62,05 %, melalui regresi ^
Y = 0,70849 + 0,5814 X 1 + 0,4939 X 2 . Sisanya sebesar 37,95 % dipengaruhi
oleh faktor-faktor lain diluar penelitian.
B. Implikasi Berdasarkan kesimpulan penelitian di atas, maka dapat diambil implikasi penelitian sebagai berikut: 1. Dengan adanya hubungan antara persepsi remaja tentang pernikahan adat Jawa dengan sikap pelestarian budaya Jawa dapat memberi gambaran bahwa semakin tinggi atau positif persepsi remaja tentang pernikahan adat Jawa, makin tinggi pula perhatiannya terhadap sikap pelestarian budaya Jawa. Dalam hai ini, pengetahuan dan pemahaman mengenai pernikahan adat Jawa perlu ditingkatkan guna meningkatkan sikap pelestarian budaya Jawa. 2. Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data menunjukkan bahwa ada hubungan antara lingkungan sosial dengan sikap pelestarian budaya Jawa. Hal ini menunjukkan bahwa salah satu upaya untuk meningkatkan sikap pelestarian budaya Jawa dipengaruhi oleh lingkungan sosial. Lingkungan sosial yang baik, yang mau menghargai budaya Jawa diharapkan dapat meningkatkan sikap pelestarian budaya Jawa. Dalam hal ini peran serta masyarakat yang
83
baik dalam memberikan informasi dan pengetahuan tentang budaya Jawa yang tepat sangat diharapkan guna meningkatkan sikap pelestarian budaya Jawa. 3. Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data menunjukkan bahwa ada hubungan antara persepsi remaja tentang pernikahan adat Jawa dan lingkungan sosial secara bersama-sama dengan sikap pelestarian budaya Jawa. Hal ini menunjukkan bahwa persepsi remaja tentang pernikahan adat Jawa dan lingkungan sosial berpengaruh terhadap sikap pelestarian budaya Jawa. Persepsi remaja yang tepat dan positif mengenai pernikahan adat Jawa dan lingkungan sosial yang baik sangat diharapkan guna meningkatkan sikap pelestarian budaya Jawa.
C. Saran Berdasarkan kesimpulan dan implikasi di atas, maka dapat dikemukakan beberapa saran sebagai berikut: 1. Untuk Remaja a. Remaja diharapkan memperbanyak membaca buku mengenai pernikahan adat Jawa dan terus berusaha melestarikannya agar tidak punah. b. Remaja hendaknya meningkatkan pengetahuan tentang makna filosofi pernikahan adat Jawa ataupun nilai-nilai yang terkandung dalam upacara pernikahan adat Jawa dengan cara terus menggali informasi darimanapun, (internet, majalah, buku, bertanya kepada orang lain, dsb). 2. Untuk Masyarakat a. Masyarakat hendaknya mendukung nilai-nilai tradisional sehingga dapat meningkatkan sikap pelestarian budaya Jawa dan mewariskannya dari generasi ke generasi. b. Masyarakat hendaknya memberikan informasi dan pengetahuan yang benar tentang filosofi budaya Jawa. Hal ini diharapkan dapat bermanfaat bagi peningkatan sikap pelestarian budaya Jawa.
84
3. Untuk Pemerintah Pemerintah hendaknya mendukung sikap pelestarian budaya daerah khususnya budaya Jawa dengan memberi bantuan dana untuk biaya proyek pengkajian budaya daerah. Selain itu hendaknya pemerintah memberikan sosialisasi melalui media massa tentang pentingnya memelihara budaya daerah karena kebudayaan daerah merupakan unsur kebudayaan Nasional.
85
DAFTAR PUSTAKA
Andjar Any. 2986. Perkawinan Adat Jawa Lengkap. Surakarta: PT. Pabelan. Basrowi. 2005. Pengantar Sosiologi. Bogor : Ghalia Indonesia. Bimo Walgito. 2005. Pengantar Ilmu Psikologi. Yogyakarta : Andi Offset. Bintarto. 1991. Interaksi Desa-Kota dan Permasalahannya. Jakarta: Ghalia Indonesia. Cholid Narbuko & Abu Ahmadi. 2005. Metodologi Penelitian. Jakarta: Bumi Aksara. DEPDIKBUD. 1994. Kamus Besar Bahasa Indonesia E.S. Ardinarto. 1996. Hukum Adat. Surakarta : UNS Press. Emile Durkheim. 1990. Sosiologi dan Filsafat. Jakarta: Erlangga. Gerungan. 2004. Psikologi Sosial. Bandung: Refika Aditama. Hadari Nawawi. 1995. Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta: Gajah Mada University. Hilman Hadi Kusumo. 1990. Hukum Perkawinan Adat. Bandung : PT. Citra Adtya Bakti. Ign. Masidjo.1995. Penilaian Pencapaian Hasil Belajar Siswa di Sekolah. Yogyakarta: Kanisius. Koentjaraningrat. 1965. Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: Gramedia. Kuntowijoyo. 1987. Budaya dan Masyarakat. Yogyakarta: Tiara Wacana. Masri Singarimbun & Sofian Efendi. 1995. Metode Penelitian Survei. Jakarta: LP3ES. Moertjibto dkk. 2002. Penngetahuan, Sikap, Keyakinan, dan Perilaku Dikalangan Generasi Muda Berkenaan dengan Perkawinan Tradisional di Kota Semarang Jawa Tengah. Yogyakarta : Badan Pegembangan Kebudayaan Dan Pariwisata. Mohammad Ali, dkk. 2002. Psikologi Remaja : Perkembangan peserta didik .Jakarta : Bumi Aksara. Moh. Nazir. 1988. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia.
86
Monks, F.J.,A.M.P. Knoers, & Siti Rahayu Haditono. 1991. Psikologi Perkembangan: Pengantar dalam Berbagai Bagiannya.Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Newcomb. 1965. Psikologi Sosial. Bandung: Diponegoro. Nursid Sumaatmaja. 1981. Pengantar Studi Sosial. Bandung: Alumni. P. Hariyono. 1994. Kultur Cina dan Jawa (Pemahaman Menuju Asimilasi Kultural). Jakarta: Sinar Harapan. Saifuddin Azwar. 2006. Reliabilitas dan Validitas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Sarlito Wirawan Sarwono. 1995. Psikologi Remaja. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Satuti Yamin. 1989. Seminar Wisata. Surakarta: Reksopustoko. Singgih D. Gunarso. 1990. Psikologi Perkembangan. Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia. Soekanto. 1984. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Soerojo Wingnyodipuro. 1987. Pengantar & Asas-asas Hukum Adat. Jakarta Maragung. Sondang P. Siagian. 2004. Teori Motivasi dan Aplikasinya. Jakarta: Universitas Indonesia Press. Sudjana. 1996. Teknik Analisis Regresi dan Korelasi Bagi para Peneliti. Bandung: Tarsito. ______. 2002. Metode Statistika. Bandung: Tarsito. ______. 2005. Metode Statistika Edisi V. Bandung: Tarsito. Sugiyono dan Eri Wibowo. 2004. Statistika Untuk Penelitian dan Aplikasinya dengan SPSS Ver 10. 0 For Windows. Bandung: Alfabeta. Suharsimi Arikunto. 2002. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta. _______. 1998. Prosedur Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta.
87
Sumarsono dkk. 1998. Pandangan Generasi Muda terhadap Upacara Perkawinan Adat di Kota Jakarta Jakarta : Depdikbud Republik Indonesia. Sutaryadi dkk. 2001. Statistik II. Surakarta: UNS Perss Sutrisno Hadi. 1978. Statistik II Yogyakarta. Yayasan Penerbit Fakultas Psikologi UGM. ___________. 2000. Statistika Jilid 2. Yogyakarta: Andi Offset. ___________ . 2001. Analisis Regresi. Yogyakarta: Andi Offset. Thomas Wiyasa. 1985. Upacara perkawinan adat Jawa. Jakarta : Sinar Harapan. Winarno Surakhmad. 2004. Pengantar Penelitian Ilmiah: Dasar, Metode, dan Teknik. Bandung: Tarsito. Winarno Wiromidjojo. 1983. Tata Cara Perkawinan Jawa. Yogyakarta: Proyek Javanologi BP3K. William A. Havilland. 1993. Antropologi Jilid 2. Jakarta: Erlangga.
Jurnal : Russell H. Fazio and Carol J. Williams. 1986. “Attitude Accessibility as a Moderator of the Attitude-Perception and Attitude-Behavior Relations: An Investigation of the 1984 Presidential Election”. Journal of Personality and Social Psychology, Vol. 31, No. 3, 505-514. Indiana University.
88